ISSN: 2337 – 795X
I NYOMAN NURJAYA Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum I KETUT MERTHA Pemberdayaan Desa Pekraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota Denpasar Suatu Kajian Teoritis I PUTU GELGEL Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial I MADE SUWITRA Konflik Penguasaan Tanah Di Bali I NYOMAN ALIT PUSPADMA Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip Kepastian Hukum I NYOMAN PUTU BUDIARTHA Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran MOH. MUHIBBIN Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masayrakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa
i. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. i-i
Susunan Redaksi Jurnal Hukum - Prasada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa
Penanggungjawab :
Dr.I Made Suwitra, S.H.,M.H (Ketua Prodi MIH Unwar)
Dewan Editor :
1. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, S.H.,M.H.
(KETUA)
2. I Ketut Kasta Arya Wijaya, S.H.,M.H 3. I Ketut Selamet, S.E.,M.Si
(SEKRETARIS) (BENDAHARA)
ANGGOTA :
1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Simon Nahak, S.H.,M.H Dr. I Nyoman Sukandia, S.H.,M.H Dr. IB.Putu Kumara Adi Adnyana, S.H.,M.H Dr. I Putu Bagiaartha, S.H.,M.H Dr. I Nyoman Alit Puspadma, S.H.,M.Kn.
Tata Usaha :
1. Ni Ketut Yeni, S.E 2. Ni Nyoman Astiti Asih, S.H.,M.H Sekretariat : Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Jl. Terompong No.24 Tanjung Bungkak Denpasar (80235) Gedung G, Tlp.(0361)223858 Fax.235073, Hp. 081338658407 Kontak E-Mail :
1.
[email protected] 2.
[email protected]
ISSN: 2337-795X (International Standard Serial Number)
Daftar Isi iii DAFTAR ISI SUSUNAN REDAKSI....................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................
ii
PENGANTAR REDAKSI ...............................................................
iii
I NYOMAN NURJAYA Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ...
1-21
I KETUT MERTHA Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota Denpasar Suatu Kajian Teoritis .......................................................
22-30
I PUTU GELGEL Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial .................................................
31-44
I MADE SUWITRA Konflik Penguasaan Tanah Di Bali ..................................................
45-57
I NYOMAN ALIT PUSPADMA Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip Kepastian Hukum ........................................................
58-72
I NYOMAN PUTU BUDIARTHA Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran .................................
73-92
MOH. MUHIBBIN Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masyarakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa ..................................
93-121
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... BIODATA PENULIS .................................................................... PEDOMAN PENULISAN ...............................................................
122-122 123-123 124-124
JURNAL HUKUM – PRASADA Semesteran ini diterbitkan oleh Program Studi Magister (S-2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa sebagai media komunikasi dan pengembangan ilmu. Jurnal terbit setiap bulan September dan Maret. Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, dan artikel konseptual resensi buku sepanjang relevan dengan misi redaksi (daya selingkung agraria dan investasi). Naskah yang dikirim minimal 15 halaman maksimal 20 halaman diketik 1,5 spasi dilengkapi abstrak bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta biodata penulis. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mempengaruhi substansi tulisannya.
iii. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. iii-iv PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa karena berkat-Nyalah Jurnal Hukum - Prasada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Perdana dapat diterbitkan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Penerbitan Jurnal Hukum - Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Perdana ini memuat 7 (tujuh) artikel berbagai bidang ilmu hukum dengan gaya selingkung Hukum Agraria dan Investasi. “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum atau kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Tulisan” I Nyoman Nurjaya. Artikel ini mencoba untuk memberi pemahaman secara komprehensif mengenai ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dengan merujuk pada UUD Tahun 1945, dan mencoba mengidentifikasi, mengkritisi karakter perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta implikasi yuridis, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat yang dapat ditimbulkan dari keberadaan instrumen hukum yang dimaksud. Dari perspektif Sosiologi hukum I Ketut Mertha menulis tentang “Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Kota Denpasar Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”. Tulisan ini menguraikan menegai alasan-alasan pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman dalam penanggulangan banjir yang meliputi alasan teoritis, yuridis dan sosiologis. Kontribusi Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Tengah Dinamika Perubahan Sosial ditulis I Putu Gelgel. Artikel ini menguraikan mengenai keterbukaan menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya ini sepatutnya diikuti dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum. pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Apakah Hukum Adat dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Hukum nasional di tengah dinamika perubahan sosial. Konflik Penguasaan Tanah di Bali tulisan I Made Suwitra mengurai mengenai konversi penguasaan tanah menurut UUPA yang awalnya tunduk pada hukum adat di samping dapat menjamin kepastian hukum dalam pemilikan tanah, juga berimplikasi menimbulkan konflik. Kemudian, “Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau Dari Prinsip Kepastian Hukum” oleh I Nyoman Alit Puspadma yang memaparkan tentang pentingnya penegasan pengaturan perpanjangan HGB bagi Perseroan Terbatas dan memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA dalam rangka menciptakan iklim investasi yang berlandaskan prinsip kepastian hukum. Melalui tulisan I Nyoman Putu Budiartha, “Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran” juga dipaparkan bahwa kepastian hukum pemanfaatan tanah untuk penanaman modal dilakukan melalui
Pengantar Redaksi… iv
penerbitan sertifikat HGU, HGB atau HP yang pelaksanaannya harus terintegrasikan dengan penatagunaan tanah melalui pengaturan zona/wilayah kegiatan investasi pada setiap rencana tata ruang wilayah (RTRW) dalam rangka kebijakan pertanahan nasional bagi pelaksanaan investasi yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran. Selanjutnya, “Pola Penguasaan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masyarakat di Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa” yang ditulis Moh. Muhibbin. artikel ini menguraikan mengenai pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (inner order mechanism/self regulation) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai utara Laut Jawa. Demikian pengantar dalam penerbitan edisi perdana Tahun 2013 jurnal hukum Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan hukum di Indonesia. Selamat membaca. Redaksi,
1. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum 1 I Nyoman Nurjaya2
Abstract The Law (UU No. 2, Year 2012), on Land Procurement for development for public Interest: whether regulating land acquisition for development purposes, or the law governing the deletion / revocation of land rights of the people. First, if the title of the legislation concerns the acquisition of land for development, the actual substance is in the realm of private law, not in the realm of public law as stipulated in UU No. 2, Year 2012; Second, the priority target of this law enforcement is more on the ground where the personal or individual property rights is in urban areas, industrial areas, and rural areas, especially the communal land rights of indigenous people in coastal areas and small islands, forests, plantation, mineral mining, oil and gas , and others. The substance of legislation governing the possession and use of agricultural resources, should reflect the character: 1) orientation is not on exploitation (use-oriented), but for the sake of conservation (resources-oriented) that ensures the preservation and sustainability of agrarian resources for the benefit of inter-intra generations; 2) the chracteristic of management is comprehensive, holistic and integrated as the agrarian resources is an integral ecology (ecological-system) that becomes the source of human life, and 3) regulating the mechanism of inter-sectoral coordination and integration in agrarian resource management, and 4) embracing the ideology of community-based agrarian resources management. Keywords: Land Acquisition, Public Interest, Development Interest Abstrak Pemberlakuan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: apakah mengatur mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, atau undang-undang yang mengatur penghapusan/pencabutan hak atas tanah rakyat? Pertama, kalau judul undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan, maka sesungguhnya substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah hukum publik seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran prioritas dari pemberlakuan undang-undang ini lebih pada keberadaan tanah hak 1
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pasca Berlakunya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Airlangga pada tanggal 27 September 2012 di Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
2 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No.169, Malang (
[email protected]).
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 2 milik perorangan atau individual di daerah perkotaan, kawasan industri, dan perdesaan, terutama tanah hak komunal masyarakat hukum adat di kawasan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, kawasan hutan, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan mineral, minyak dan gas bumi, dll. Substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, semestinya mencerminkan karakter: 1)orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi (use-oriented), tetapi untuk kepentingan konservasi (resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi; 2) pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi karena sumber daya agrarian merupakan satu kesatuan ekologi (ecological-system) yang menjadi sumber kehidupan manusia; 3) mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya agraria; dan 4) menganut ideologi penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community based agrarian resources management). Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Kepentingan Umum, Kepentingan Pembangunan
I.
PENDAHULUAN Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki sumber
daya agraria3 yang melimpah. Kekayaan sumber daya agraria dari persepsi pemerintah adalah modal utama untuk menyelenggarakan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan nasional (in the name of national
development) penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria diorientasikan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi (economic-growth development) dalam rangka meningkatkan pendapatan dan devisa negara ( state revenue). Implikasi yang muncul kemudian adalah sumber daya agraria cenderung dieksploitasi sekadar untuk memenuhi capaian target pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan dimensi process pembangunan nasional, sehingga melalui canangan politik pengurasan (political of exploitation) secara perlahan tetapi
3 Yang dimaksud sumber daya agraria dalam pengertian luas, dengan merujuk pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, adalah sumber daya alam sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, dalam pengertian sempit, sumber daya agraria yang dimaksud hanya sebatas tanah sebagai permukaan bumi. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya agrarian berupa sumber daya alam hayati maupun nonhayati yang melimpah; sumber daya agraria yang terbarukan ( renewable) maupun yang tak terbarukan (nonrenewable); yang berwujud modal alam ( natural resource stock) seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, kawasan rawa dan gambut, dll. maupun berwujud komoditi (natural resource commodity) seperti kayu, rotan, mineral tambang, minyak dan gas bumi, ikan, dll. yang terdapat merata hampir di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 pasti menimbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya agraria di negeri ini. Praktik pengurasan yang berlangsung lebih dari empat dasa warsa terakhir ini pada gilirannya selain menimbulkan dampak negatif berupa degradasi sumber daya agraria (ecological degradation), juga menimbulkan implikasi ekonomi berupa semakin terbatasnya atau bahkan punahnya sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat (economical loss) di daerah. Selain itu, juga menimbulkan implikasi sosial dan budaya berwujud kerusakan tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat di daerah (social and cultural destruction), semakin merebaknya sengketa penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria (conflict over natural resource access and tenure), dan pada gilirannya kemudian memunculkan kemiskinan rakyat di daerah. Implikasi ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya seperti disebutkan di atas sesungguhnya adalah ongkos pembangunan ( cost of development) yang mahal harus dibayar dan selama ini tidak pernah diperhitungkan sebagai hasil pelaksanaan pembangunan nasional, karena yang dihitung sebagai hasil pembangunan
hanya
sebatas
angka-angka
pertumbuhan
ekonomi
dari
pembangunan. Apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagai target pembangunan secara nyata telah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seperti diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau sebaliknya semakin menambah angka korban-korban pembangunan (victims of
development) selama lebih dari empat dasawarsa terakhir ini?4 Makalah bersahaja ini mencoba untuk memberi pemahaman secara komprehensif mengenai
ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria dengan merujuk pada UUD Tahun 1945, dan mencoba mengidentifikasi dan mengkritisi karakter perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan
4 John Bodley, Victims of Progress, Mayfield Publishing Company, California, 1982; Nancy L. Peluso, Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in Java , University of California Press, Berkeley; Mark Poffenberger, Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines, 1990; Mark Poffenberger, Community and Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999; Robert Reppeto and Malcolm Gillis, Public Policies and the Misuse of Forest Resources, Cambridge University Press, New York, 1988; Owen J. Lynch and Kirk Talbott, Balancing Act, CommunityBased Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources Institute, USA, 1995.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 4 pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta implikasi yuridis, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat yang dapat ditimbulkan dari keberadaan instrumen hukum yang dimaksud. II.
IDEOLOGI PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AGRARIA Landasan konstitusional untuk membentuk peraturan perundang-undangan
yang mencerminkan prinsip keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria adalah Alinea IV Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “........ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi .....dst.” Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria untuk kesejahteraan dan kemamuran rakyat selanjutnya diformulasi dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan: ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Jabaran lebih lanjut dari ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud di atas dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009; dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Dalam konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit dinyatakan: ”........peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; oleh karena itu pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan
5. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik”. Prinsip-prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan perundangundangan mengenai pengelolaan sumber daya agraria adalah sebagai berikut:5 a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. Menghormati supremasi
hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
dalam unifikasi hukum; d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi masyarakat; f.
Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; i.
Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j.
Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
5 Pasal 4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 6 l.
Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Dengan demikian, jika dikemas ringkas maka prinsip-prinsip yang dimaksud
di atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip dasar, yaitu keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan sumber daya agraria, dengan penjelasan seperti berikut: (a)
Prinsip Keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara berkesinambungan untuk memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan gender, termasuk keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria;
(b)
Prinsip Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria yang mendesentralisasi kewenangan pusat ke
daerah, akses
informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholder), transparansi dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik ( public acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, pengakuan dan perlindungan terhadap
hak rakyat atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; dan (c)
Prinsip
Berkelanjutan
adalah
kebijakan
penguasaan
harus
mampu
menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya agraria dengan melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya yang tak terbarukan (nonrenewable), keterbatasan daya dukung dan daya tampung (carrying capacity), serta keterbatasan kemampuan sumber daya agraria. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan penguasaan dan pengelolaan
sumber
daya agraria perlu
mengintegrasikan
prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yang meliputi: Pertama, sumber daya agraria harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi; Kedua, sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan demokratis
secara inter-antar generasi dalam kesetaraan gender;
7. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21
Ketiga, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria harus mampu menciptakan kohesivitas sosial, mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya lokal, termasuk tatanan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat; Keempat, pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem) untuk mencegah terjadinya praktikpraktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, tidak terpadu dan terkoordinasi; Kelima,
kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan
sumber daya agraria harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem daerah dan tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat. Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait dan melengkapi, sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa penguasaan dan pemanfaatan
sumber
daya
agraria
dimaksudkan
untuk
mewujudkan
kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan seperti diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan berbasis pada kemajemukan budaya serta keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, pemerintah pada dasarnya sekadar berperan sebagai regulator, administrator, dan fasilitator yang berkewajiban untuk: (a) mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya agraria; (b) menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; (c) mengakui dan melindungi modal sosial dan budaya (socio-cultural capital) seperti etika sosial, kearifan lingkungan, sistem religi, maupun pranata-pranata sosial yang hidup dalam masyarakat; dan (d) mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat ( folk law) atau hukum adat (adat law) selain eksistensi hukum negara ( state law) sebagai
fakta
kemajemukan hukum di Indonesia. III. KARAKTER PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG SUMBER DAYA AGRARIA Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud pada bagian terdahulu kemudian dijabarkan dan diformulasi dalam perundang-undangan di bidang sumber daya agraria. Jika dikritisi secara seksama berdasarkan kronologi pemberlakuan instrumen hukum yang mengatur
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 8 penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti: UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan6; UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan7; UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan8; dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan9; pada dasarnya memiliki karakteristik seperti berikut: Pertama, substansi pengaturannya diorientasikan pada eksploitasi sumber daya agraria (use-oriented agrarian resources), sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan karena hukum semata-mata didayagunakan sebagai piranti untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi; Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (high capital
oriented), sehingga mengabaikan kepentingan, akses, dan hak rakyat atas sumber daya agraria sebagai sumber kehidupan di daerah; Ketiga, menganut ideologi penguasaan sumber daya yang berpusat pada pemerintah (government-based resource management) sehingga orientasi pengelolaan sumber daya agraria bercorak sentralistik; Keempat, manajemen pengelolaan menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya agraria tidak diperhitungkan sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecological system); Kelima, corak sektoral kelembagaan dan kewenangan mengakibatkan tidak adanya
koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber
daya agraria; dan Keenam, tidak diatur ruang pengakuan dan perlindungan atas hak rakyat secara proporsional, terutama hak masyarakat hukum adat secara utuh dan hakiki (genuine legal recognition) dalam pengelolaan sumber daya agraria. Pada perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial seperti diurai di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan memberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 24 Tahun 1992
6
Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Mineral Tambang dan Batubara
7
Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
8
Telah diganti dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
9
Telah diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
9. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 tentang Penataan Ruang;
dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup10. Namun, persoalan mendasar dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria masih belum terjawab dalam substansi apalagi dari implementasi undang-undang tersebut, karena masih mencerminkan karakteristik seperti berikut: Pertama, pemerintah masih mendominasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria (government-dominated resource management); Kedua, prinsip keterpaduan dan koordinasi antar sektor belum diatur secara eksplisit dan terinci; Ketiga, hak rakyat terutama masyarakat hukum adat atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria tidak diakui secara utuh dan hakiki; Keempat, ruang bagi partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya agraria masih diatur secara terbatas; Keenam,
akuntabilitas
pemerintah
kepada publik
atas
penguasaan
dan
pemanfaatan sumber daya agraria belum diatur secara tegas. Sementara itu, beberapa undang-undang yang diberlakukan kemudian, seperti: UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati;
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah11; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, telah mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung sistem regulasi pengelolaan sumber
daya
agraria
yang
mencerminkan
keadilan,
demokrasi,
dan
berkelanjutan. Walau kemudian menyusul diberlakukan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 7 Tahun 2004 tentang Mineral Tambang dan Batubara; UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; tetapi prinsip-prinsip dasar penguasaan dan pemanfaatan
sumber
daya agraria seperti: (a)
prinsip konservasi
10
dan
Telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 11
Telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan … 10 keberlanjutan, (b) prinsip transparansi dan partisipasi publik, (c) prinsip free and
prior informed-consent, dan (d) prinsip pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat yang hakiki (genuine legal recognition), ternyata belum terakomodasi dan terintegrasi secara proporsional sebagai pengejawantahan prinsip keadilan,
demokrasi, dan
berkelanjutan
dalam
penguasaan
dan
pemanfaatan sumber daya agraria.12 Implikasi dari karakteristik instrumen hukum seperti diuraikan di atas adalah persoalan mendasar penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria menjadi potensi yang terus mengancam keberlanjutan sumber daya agraria di negeri ini. Karena itu, agenda nasional yang mendesak direalisasikan adalah apa yang disebut sebagai good agrarian governance13, dengan membentuk peraturan perundang-undangan
yang
responsif
mengakomodasi
prinsip
keadilan,
demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria dalam program legislasi nasional. IV.
PENGADAAN TANAH ATAU PENCABUTAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN? Produk hukum teranyar yang disahkan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 14 Januari 2012 yang secara spesifik mengatur tentang sumber daya tanah sebagai salah satu komponen sumber daya agraria adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI. Nomor 5280). Keberadaan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat UUPT 2012, secara kronologis sesungguhnya merupakan kelanjutan dan peningkatan status
12
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008. 13 Good agrarian Governance adalah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria, termasuk perlindungan daya dukung ekosistem dan perlindungan fungsi lingkungan hidup, secara bijaksana, berdayaguna, aspiratif dan responsif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik (good governance), yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan penanganan masalah-masalah publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, partisipasi publik yang hakiki (genuine public participation) dan akuntabilitas publik (public accountability).
11. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 dari instrumen hukum yang pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu: (1) Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; (2) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Konsidenrans UUPT 2012 dinyatakan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Oleh karena itu, landasan Konstitusional
pemberlakuan
UUPT 2012 adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H, Pasal 28I ayat (5), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4). Sedangkan landasan Yuridis yang digunakan adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara RI.
Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara RI. Nomor 2034). Yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak,14 melalui pelepasan hak15 oleh pemegang hak atas tanah, dengan merujuk pada kewenangan Negara sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.16 Pengadaan
tanah
bagi
pembangunan
untuk
kepentingan
umum
diselenggarakan oleh Pemerintah17, dilaksanakan oleh Gubernur, Instansi yang memerlukan tanah, dan Lembaga Pertanahan, dapat bekerjasama dengan Badan
14
Pasal 1 angka 2 UUPT 2012.
15
Pasal 5 UUPT 2012.
16
Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur dengan Undang-undang”. 17
Pasal 6 UUPT 2012.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 12 Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta 18, dengan tujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, Negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.19 Dari satu sisi kehendak Negara yang direpresentasikan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan sesungguhnya merupakan kegiatan yang mulia sesuai amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, jika dicermati secara kritis sesungguhnya yang dimaksud pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diinterpretasikan tunggal dan sepihak oleh Pemerintah sebatas sebagai dan dianalogikan dengan kepentingan pembangunan sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPT, yang pada dasarnya memiliki 2 (dua) dimensi pokok, yaitu: (1)
Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan
yang langsung
menyentuh kepentingan masyarakat, seperti pembangunan sarana dan prasarana atau infrastruktur dalam rangka penyediaan dan pelayanan kepada publik yang dilaksanakan langsung Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang meliputi penyediaan infrastruktur di bidang pertahanan keamanan, transportasi darat, laut, maupun udara, irigasi pertanian, jaringan telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, fasilitas umum makam, pasar, olahraga, taman kota, ruang terbuka hijau, taman nasional, kawasan cagar alam atau cagar budaya, sarana pemerintahan, atau permukiman penduduk miskin; dan juga termasuk (2)
Pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang diorientasikan untuk kepentingan bisnis dengan tujuan komersial yang dapat dilakukan dan dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), seperti pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Tol, Pelabuhan (bisa pelabuhan peti kemas atau pelabuhan kapal pesiar
18
Pasal 12 ayat (1) UUPT 2012.
19
Pasal 3 UUPT 2012.
13. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 bagi orang-orang kaya), infrastruktur Minyak, Gas, dan Panas Bumi, serta pembangunan infrastruktur Pembangkit, Transmisi, Gardu, Jaringan, dan Distribusi Tenaga Listrik yang sudah mulai dikuasai BUMN/BUMS.20 Kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah dan Lembaga Pertanahan21 melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: tahapan Perencanaan, tahapan Persiapan, tahapan Pelaksanaan, dan tahapan Penyerahan Hasil.22 Bagian krusial dari tahapan-tahapan dimaksud di atas yang menimbulkan kontroversial dari perspektif hukum dan kebijakan adalah sebagai berikut: (a)
Pada tahapan Perencanaan Pengadaan Tanah, khususnya dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pengadaan tanah oleh Instansi yang memerlukan tanah,23 mengabaikan prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan, yaitu prinsip partisipasi publik atau prinsip pelibatan masyarakat
dalam
perencanaan
pembangunan
( public
participation
principle); (b)
Pada
tahapan
Persiapan Pengadaan
Tanah,
khususnya
kewajiban
Pemerintah melakukan Konsultasi Publik mengenai rencana pembangunan oleh Instansi yang memerlukan tanah dilakukan dengan melibatkan Pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak, di tempat rencana pembangunan atau tempat yang disepakati, dengan tujuan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang
20
Lihat dan cermati Pasal 10 hurup b, d, e, dan hurup f UUPT 2012.
21
Yang dimaksud Lembaga Pertanahan menurut Pasal 1 angka 14 UUPT 2012 adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. 22
23
Pasal 13 UUPT 2012.
Pasal 14 dan Pasal 15 UUPT 2012. Yang dimaksud Instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga Negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah (Pasal 1 angka 1 UUPT 2012).
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 14 berhak.24 Apabila kemudian terdapat keberatan atau ketidaksepakatan dari Pihak yang berhak mengenai lokasi rencana pembangunan, maka wajib dilakukan konsultasi publik ulang dengan Pihak yang berkeberatan.25 Jika kemudian masih terdapat ketidaksepakatan atau keberatan dari Pihak yang berhak maka Gubernur membentuk Tim26 untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan.27 Tetapi, kalau keputusan Tim bentukan Gubernur memutuskan keberatan harus ditolak, kemudian lokasi rencana pembangunan ditetapkan Gubernur, maka tidak boleh lagi ada reaksi keberatan dari Pihak yang berhak. Jika setelah penetapan lokasi rencana pembangunan masih terdapat keberatan, maka Pihak yang mengajukan keberatan digiring untuk menempuh jalur litigasi dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam waktu maksimal 30 hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan lokasi oleh Gubernur.28 Apabila kemudian putusan PTUN menolak gugatan Pihak yang berkebaratan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu maksimal 14 hari kerja.29 Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap digunakan sebagai dasar untuk meneruskan atau tidaknya kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.30 Mekanisme konsultasi publik yang secara normatif diatur dalam UUPT 2012 sebagai wujud asas musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan antara Pemerintah dengan Pihak yang berhak
24
Pasal 18 UUPT 2012.
25
Pasal 20 UUPT 2012.
26 Anggota Tim terdiri dari Sekretaris Daerah Provisni atau Pejabat yang ditunjuk sebagai Ketua merangkap anggota, Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai Sekretaris merangkap anggota, Instansi yang menangani urusan perencanaan pembangunan daerah, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, dan Akademisi (Pasal 23 ayat (3) UUPT 2012). 27
Pasal 21 UUPT 2012.
28
Pasal 23 ayat (1) UUPT 2012.
29
Pasal 23 ayat (3) UUPT 2012.
30
Pasal 23 ayat (5) UUPT 2012.
15. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 dalam menetapkan lokasi rencana pembangunan pada tahapan Persiapan terkesan
beralih
menjadi
personifikasi
dari
paksaan
kewenangan
Pemerintah atas nama pembangunan (in the name of development) untuk menekan dan memaksa rakyat menerima penetapan lokasi rencana pembangunan
yang
dikehendaki
Pemerintah
semata-mata
untuk
menyediakan tanah bagi kepentingan Instansi yang memerlukan tanah termasuk kepentingan BUMN dan BUMS. Hal ini menunjukkan mekanisme konsultasi
publik
yang
semu
(pseudo-public
consultation)
dengan
mengabaikan prinsip musyawarah yang hakiki ( genuine-public consultation) dalam proses pengadaan tanah yang katanya untuk kepentingan umum. (c)
Pada tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah, setelah lokasi rencana pembangunan ditetapkan Gubernur, maka diatur kewajiban hukum Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada Lembaga Pertanahan,31 dan di sisi lain Pihak yang berhak juga dibebani kewajiban untuk mengalihkan hak atas tanahnya hanya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan,32 dengan menerima ganti kerugian yang nilainya ditetapkan pada saat nilai pengumuman penetapan lokasi rencana pembangunan,33 berdasarkan hasil penilaian Penilai yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan.34
Ganti
kerugian yang dapat diberikan kepada Pihak yang berhak dalam bentuk (a) uang, (b) tanah pengganti, (c) permukiman kembali, (d) kepemilikan saham, (e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.35 Musyawarah mengenai besar dan/atau bentuk ganti kerugian dilakukan oleh Lembaga Pertanahan dengan Pihak yang berhak dilakukan dalam waktu paling lama 30 (hari) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai
31
Pasal 27 ayat (1) UUPT 2012
32
Pasal 27 ayat (3) UUPT 2012.
33
Pasal 27 ayat (4) UUPT 2012.
34
Pasal 31 ayat (1) UUPT 2012.
35
Pasal 36 UUPT 2012.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 16 disampaikan
kepada
Lembaga
Pertanahan.36
Apabila
tidak
terjadi
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka Pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian,37 dan juga dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung jika keberatan ditolak oleh Pengadilan Negeri.38 Putusan Pengadilan Negeri atau putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada Pihak yang mengajukan keberatan.39 Tetapi, dalam hal Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian, karena hukum Pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian yang telah ditetapkan.40 Apa yang dapat dikritisi dari regulasi seperti di atas adalah: (a) mekanisme musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian bukan dimaksudkan untuk memperoleh kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud asas kebebasan berkontrak, tetapi lebih merupakan proses pemaksaan kewenangan Pemerintah kepada Pihak yang berhak untuk menerima ganti kerugian yang telah ditetapkan secara sepihak oleh Penilai yang ditunjuk Lembaga Pertanahan; (b) mekanisme musyawarah menjadi formalitas untuk memaksakan kehendak Pemerintah, karena apabila terjadi ketidaksepakatan maka Pihak yang berhak digiring untuk menempuh jalur litigasi dengan mengajukan keberatan (atau maksudnya gugatan?) ke Pengadilan Negeri (PN) dan/atau Mahkamah Agung (MA), sehingga yang menentukan hasil musyawarah pada akhirnya adalah PN dan/atau MA, bukan pihak-pihak yang bermusyawarah; dan (c)
36
Pasal 37 ayat (1) UUPT 2012.
37
Pasal 28 ayat (1) UUPT 2012.
38
Pasal 38 ayat (3) UUPT 2012.
39
Pasal 38 ayat (5) UUPT 2012.
40
Pasal 39 UUPT 2012.
17. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 Upaya pemaksaan kewenangan Pemerintah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan terejawantahkan secara eksplisit dengan menggunakan politik pengabaian (political of ignorance) atas asas kebebasan berkontrak dalam bentuk asumsi hukum bahwa apabila Pihak yang berhak tidak mengajukan keberatan dalam limit waktu tertentu, maka karena hukum (atau maksudnya demi hukum?) dianggap menerima bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian; (d) Pemanfaatan lembaga Konsinyasi atau penitipan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian di Pengadilan Negeri, karena adanya penolakan Pihak yang berhak atas hasil musyawarah merupakan
wujud
konkrit
dari
penggunaan
paksaan
kewenangan
Pemerintah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan;41 dan (e) Lembaga Konsinyasi seperti dimaksud pada hurup (d) secara yuridis menimbulkan akibat hukum berupa pengahapusan kepemilikan atau hak atas tanah dari Pihak yang berhak, dan bahkan alat bukti pemilikan hak atas tanah menjadi tidak berlaku dan tanah Pihak yang berhak menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.42 Hal ini menjadi cerminan dari tindakan hukum Pemerintah dengan mengeksploitasi kewenangan Negara mengabaikan pengakuan hak rakyat atas pemilikan tanah. IV
PENUTUP Pembangunan nasional pada hakikatnya dilaksanakan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan meningkatkan kemamuran rakyat, dengan memberi perlindungan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, selaras dengan amanat Alinea IV Pembukaan jo Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, instrumen hukum yang dibentuk untuk mendukung kebijakan pembangunan dengan mendayagunakan sumbersumber agraria termasuk tanah untuk kemakmuran rakyat semestinya memiliki nuansa dan karakteristik yang responsif dan progresif (responsive and
41
Lihat Pasal 42 ayat (1) UUPT 2012.
42
Cermati Pasal 43 UUPT 2012.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 18 progressive state law) dengan merujuk pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud Konstitusi Negara. Instrumen hukum yang meregulasi pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, sebagaimana dikemas dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum semestinya memiliki karakteristik yang berpihak pada perlindungan hak rakyat atas sumber daya agraria, berkeadilan, dan demokratis, dan tidak bernuansa represif. Dengan demikian, implementasi kebijakan pembangunan yang didukung instrumen hukum tidak menimbulkan apa yang disebut Joh Bodley43 sebagai korban-korban pembangunan (victims of development) akibat penggunaan politik pengabaian (political of ignorance) atas kepentingan, akses, dan hak rakyat atas sumber daya agraria terutama sumber daya tanah. Hal ini karena tanah dalam persepsi rakyat secara antropologis tidak sebatas mempunyai nilai ekonomi saja sebagai sumber kehidupan ekonomi, tetapi lebih dari itu tanah juga mempunyai nilai sosiologis secara individual terlebih lagi dalam kehidupan komunal masyarakat hukum adat, dan bernilai magis-religius dalam kehidupan masyarakat yang bercorak multikultural. Karena itu menjadi pertanyaan besar mengenai pemberlakuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: apakah UU No. 2 Tahun 2012 mengatur mengenai pengadaan tanah untuk
kepentingan
pembangunan,
atau
UU
yang
mengatur
Penghapusan/Pencabutan Hak atas Tanah Rakyat? Pertama, kalau judul UU mengenai
Pengadaan
Tanah
untuk
Pembangunan
maka
sesungguhnya
substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah hukum publik seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran prioritas dari pemberlakuan UU ini lebih pada keberadaan tanah hak milik perorangan atau individual di daerah perkotaan, kawasan industri, dan perdesaaan, dan terutama tanah hak komunal masyarakat hukum adat di kawasan pesisir pantai dan pulaupulau kecil, kawasan hutan, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan mineral, minyak dan gas bumi, dll.
43
John Bodley, Op.cit.
19. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 Untuk mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa represif, dalam rangka mewujudkan tata kelola sumber daya agraria yang baik (good agrarian governance) dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi paradigma politik pembangunan hukum nasional yang semula bercorak sentralisme hukum (legal centralism) ke anutan ideologi pluralisme hukum ( legal
pluralism), sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara proporsional bagi pengakuan fakta kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat, khususnya dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. 44 Hal ini karena seperti dikatakan John Griffiths: The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions.45 Jika prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria seperti dimaksud di atas diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria semestinya mencerminkan karakter seperti berikut: 1. Orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi ( use-oriented), tetapi untuk kepentingan konservasi (resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi. 2. Pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi (komprehensifintegral), karena sumber daya agraria merupakan satu kesatuan ekologi (ecological system) yang menjadi sumber kehidupan manusia. 3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya agraria. 4. Menganut ideologi penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community-based agrarian resource management).
44
I Nyoman Nurjaya, ”Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum”, Pidato Pengukuhan Guru Besar di bidang Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008. 45
John Griffiths, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial
Law No. 24/1986, p. 21.
I Nyoman Nurjaya. Pengadaan… 20 5. Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati ( genuine public
participation) dan transparansi pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya agraria. 6. Memberi ruang bagi pengakuan yang hakiki dan perlindungan hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. 7. Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan sumber daya agraria secara lebih eksplisit. 8. Mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat ( folk law) sebagai entitas hukum (legal entity) dalam sistem hukum Indonesia, khususnya tatanan hukum adat yang secara nyata hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan (environmental wisdom) masyarakat adat setempat. Untuk mengakhiri diskusi ini menjadi menarik dan relevan untuk mengutip kata-kata bijak (wise words) yang mencerminkan kearifan lingkungan dari seorang Mahatma Gandhi seperti berikut: The Earth produces enough for everybody’s need, but never enough for enybody’s greed (Alam semesta ini sesungguhnya telah menyediakan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi tidak akan pernah cukup untuk melayani ketamakan, kerakusan, dan keserakahan manusia). Dalam hubungan dengan anutan paradigma pembangunan hukum di Indonesia, maka perlu dicermati pernyataan dari John Griffiths seperti berikut : Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion, a dream, and an imagine. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group (Kemajemukan hukum adalah fakta dalam kehidupan masyarakat, tetapi sentralisme hukum adalah sebuat mitos, sesuatu yang ideal, sebuah ilusi, sebuah mimpi, dan sebuah khayalan belaka yang tidak mungkin terwujud. Hal ini karena kemajemukan pranata hukum dalam masyarakat adalah nama dari kenyataan sosial yang menjadi karakteristik yang dapat diprediksi pasti ada dalam setiap komunitas masyarakat). Dalam hubungan dengan anutan paradigma pembangunan, perlu dicermati kritis kalimat bijak dari seorang Ali Shariati, seorang ulama berkebangsaan Iran seperti berikut:
21. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21 Kesalahan paradigma pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi adalah mengabaikan proses pembangunan yang baik dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini kemudian menyebabkan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan wajah yang bengis dan durhaka. DAFTAR PUSTAKA Bachriadi, Dianto, Merana di Tengah Kelimpahan, Pelanggaran-pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 1998. Barber, Charles V., “The State, the Environment and Development: The Genesis and Transformation of Social Forestry Policy in New Order Indonesia”, Disertasi Doktor University of California, tidak dipublikasikan. Bodley, John, Victims of Progress, Mayfield Publishing Company, California, 1982. Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law No. 24/1986, pp. 1-56. Lynch, Owen J. and Kirk Talbott, Balancing Act, Community-Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources Institute, USA, 1995. Nurjaya, I Nyoman (Ed), Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta, 1993. Nurjaya, I Nyoman, “Hukum Orang Rimbo Versus Hukum Negara : Kasus Tetumbang di Kawasan Hutan Bukit Dua Belas, Jambi”, dalam E.K.M. Masinambow (Ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 208-226. Nurjaya, I Nyoman, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008. Nurjaya, I Nyoman, ”Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum”, Pidato Pengukuhan Guru Besar di bidang Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008. Peluso, Nancy Lee, Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in Java, University of California Press, Berkeley, USA. Poffenberger, Mark, Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines, 1990. Reppeto, Robert and Malcolm Gillis, Public Policies and the Misuse of Forest Resources, Cambridge University Press, New York, 1988. Wagiman, Wahyu dan Widiyanto (Eds), Undang-Undang Perkebunan, Wajah Bau
Agrarische Wet: Dasar dan Alasan Pembatalan Pasal-pasal Kriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi, Elsam – Sawit Watch – Pilnet, Jakarta, 2012.
I Ketut Merta. Pemberdayaan… 22 Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Kota Denpasar Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum I Ketut Mertha 1
Abstract Flooding is one of major problems in many big cities, in addition to traffic congestion and over population issues. It could cause quite a serious impact, not only leading to the loss of properties, damage to people’s housing and public facilities, problems of health and environment, non-material losses, and even threaten the safety of human life. Considering those negative impacts of floods, mitigation could not be done by the government alone, but requires a holistic response, with the involvement of institutions/agencies, private sectors, including rural communities in Bali, which is known as Desa Pekraman. There are theoretical, juridical and sociological reasons on the importance of empowering Desa Pakraman, due its strong and strategic position in Balinese structural society. Empirical fact indicated that empowerment of Desa Pakraman in supporting the implementation of the government programs are not a new issue, but it has a long history of synergies and integration through the implementation of development programs. Empowerment of Desa Pakraman has proved to gain positive effects, as it allow flood disaster management become closer, faster, and more precisely match to needs and expectations of society. Therefore, it is essential to transform Desa Pakraman involvement into a flood disaster management in a more complex nature. Keywords:
Flood, Holistic Responses, Empowerment Of Desa Pakraman Abstrak
Banjir merupakan salah satu masalah utama di banyak kota-kota besar, di samping isu kepadatan lalu lintas dan kelebihan penduduk. Hal ini bisa memberi dampak yang sangat serius, tidak hanya menyebabkan kehilangan harta benda, kerusakan pada perumahan penduduk dan fasilitas umum, masalah kesehatan dan lingkungan, kehilangan non-material, dan bahkan mengancam keselamatan kehidupan manusia. Mempertimbangkan dampak negatif dari banjir tersebut, penanganan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi membutuhkan respon yang holistik, dengan melibatkan institusi/badan, sektor swasta, termasuk masyarakat pedesaan di Bali, yang dikenal dengan nama Desa Pekraman. Terdapat alasan teoritis, hukum dan sosial tentang pentingnya pemberdayaan Desa Pekraman, mengingat posisi kuat dan strategisnya dalam struktur masyarakat Bali. Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa pemberdayaan Desa Pekraman dalam menunjang implementasi program1 Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No.1 Denpasar-Bali.
23. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30 program pemerintah bukanlah merupakan isu yang baru, tetapi telah memiliki sejarah sinergis yang panjang melalui implementasi program-program pembangunan. Pemberdayaan Desa Pekraman telah terbukti mendatangkan efek yang positif, karena menjadikan penanganan bencana lebih dekat, cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu sangat penting untuk merubah keterlibatan Desa Pekraman ke dalam penanggulangan bencana banjir dengan cara yang lebih komplek. Kata Kunci : banjar, Respon holistik, Pemberdayaan Desa Pekraman I.
PENDAHULUAN Banjir, akhir-akhir ini telah menjadi salah satu masalah utama perkotaan,
termasuk di Kota Denpasar. Kota Denpasar berada di dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-75 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan 0-5 persen, namun di bagian lain kemiringannya mencapai 15%2. Hal ini menjadi salah satu daerah yang rentan akan terkena banjir, bila pemanfaatan ruangnya tidak terkontrol dengan baik.3 Banjir menimbulkan dampak negatif terhadap harta benda, pemukiman, fasilitas publik, kerusakan lingkungan, kesehatan bahkan terhadap jiwa manusia. Oleh karena itu daya rusak akibat banjir harus dikendalikan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk Desa Pakraman. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir banjir melanda wilayah Kota Denpasar, terparah terjadi pada 11 Januari 2009 yang menggenangi kawasan Sidakarya,
pemukiman
Padangsambian,
Sanur,
Pura
Demak
merendam
sedikitnya 560 buah rumah, menimbulkan kerugian harta benda, kerusakan jalan dan fasilitas publik.4 Upaya penanggulangan bencana banjir secara terencana, terkoordinasi dan terpadu
telah
memiliki
dasar
hukum
yang
kuat
khususnya
tentang
penanggulangan bencana, yakni Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap
2
Data Selayang pandang Kota Denpasar, Tahun 2010
3
Kinog, I Ketut., 1988, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Utara. Dan lihat pula Tahun 1989, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Selatan. 4
Tempo Interaktif, Minggu 15 Januari 2009
I Ketut Merta. Pemberdayaan… 24 darurat, dan pasca bencana.. Undang-Undang No.24 Tahun 2007 disertai pula dengan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 tanggal 28 Februari 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.. Pasal 87 ayat (1) P.P. No 21 Tahun 2008 menegaskan pentingnya partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat dalam rangka membantu penataan daerah rawan bencana ke arah lebih baik. Pada Pemerintahan Kota Denpasar telah pula membentuk Badan Pelaksanan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Denpasar sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008, tanggal 24 Desember 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Denpasar yang dalam lampiran VIII Peerda tersebut mengatur tentang Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Denpasar. Adanya landasan hukum yang kuat tersebut tidak serta merta penanggulangan bencana banjir diikuti dengan partisipasi optimal desa pakraman dalam penanggulangan bencana banjir disebabkan oleh beberapa faktor, baik karena faktor perundang-undangan, pengambil kebijakan, sarana prasarana, ketersediaan sumber daya dan kesadaran hukum masyarakat. Pada titik inilah kajian dan pembahasan tentang pemberdayaan desa pakraman dalam penanggulangan bencana banjir menjadi penting untuk dilakukan. Bertolak
dari
latar
belakang
tersebut
diatas,
dapat
dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut: 1. Faktor apakah yang mendasari pentingnya pemberdayaan desa pakraman dalam penanggulangan bencana banjir di Kota Denpasar. 2. Pada tahap apa sajakah desa pakraman itu diberdayakan dalam penanggulangan bencana banjir di Kota Denpasar. II.
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MENDASARI
PENTINGNYA
PEMBERDAYAAN DESA PAKRAMAN DALAM MENANGGULANGI BANJIR DI KOTA DENPASAR Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun di pihak lain posisinya
25. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30 berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi dengan baik. Potensi penyebab bencana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Dalam kaitan dengan judul tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahsa semua jenis bencana, namun terfokus pada bencana alam saja. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menentukan bahwa yang dimaksud dengan bencana alam adalah “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”. Pengaturan secara normatif membawa konsekuensi logis pada tatanan implementasi, bahwa penanggulangan bencana harus dipandang sebagai salah satu
bagian
dari
pembangunan
nasional
yaitu
serangkaian
kegiatan
penanggulangan bencana khususnya banjir sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Dalam penjelasan Undang-Undang No.24 tahun 2007 dinyatakan bahwa “selama
ini
dirasakan
adanya
kelemahan
baik
dalam
pelaksanaan
penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya, karena belum ada undang-undang yang secara khusus menangani bencana”. Kelemahan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana tersebut dapat dipahami dalam arti bahwa penanggulangan bencana banjir tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh pemerintah saja, tanpa dukungan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat termasuk desa pakraman. Dalam kaitan tugas pemerintahan, Ryaas Rasyid mengemukakan 3(tiga) tugas
pokok
pemerintahan,
(empowering), dan
yakni
pelayanan
(serving),
pemberdayaan
pembangunan (developing), dimana pelayanan
akan
menumbuhkan rasa keadilan, pemberdayaan akan mendorong kemandirian dan pembangunan menumbuhkan kemakmuran”. Pemahaman dan pelaksanaan ketiga tugas pokok pemerintahan tersebut dengan sungguh-sungguh oleh
I Ketut Merta. Pemberdayaan… 26 pemerintah
akan
menumbuhkan
kepercayaan
dari
masyarakat sehingga
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dapat ditingkatkan secara optimal. 5 Selain landasan teoritis, terdapat pula landasan yuridis, dan sosiologis pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman. Adapun landasan yuridis meliputi Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagaimana telah diubah berdasarkan Undnag-Undnag no.5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hakekat dari undang-undang tersebut adalah mengubah paradigm pertumbuhan untuk selanjutnya menerapkan paradigma baru, yakni pemberdayaan.6 Pada tataran daerah telah ditetapkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Dalam Bab III Pasal 5 ayat (d) Perda Provinsi Bali
dinyatakan tugas Desa Pakraman, yakni
bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan”. Pasal 6 ayat (b) menentukan:” turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana”. Bertolak dari landasan yuridis tersebut di atas eksistensi desa pakraman semakin kuat dalam bersinergi dengan pemerintah melaksanakan tugas pembangunan di segala bidang termasuk penanggulangan bencana banjir, diluar tugasnya dalam bidang agama, adat dan budaya. Secara sosiologis, partisipasi Desa pakraman dalam program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bukan sesuatu yang baru, namun telah berlangsung sejak lama. Kenyataan empirik menunjukkan Desa Pakraman berperan penting dalam menyukseskan program Keluarga Berencana Nasional dengan sistem Banjar. Dukungan dan partisipasi Desa Pakraman juga pernah dilakukan dalam upaya menyukseskan program intensifikasi dan ekstensifikasi
5
Riyas Rassid, 1999, Pembangunan Pemerintah Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pemerintahan, Jakarta. 6
Ibid.
27. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30 pertanian
menuju program swasembada beras di era Orde Baru. Dilihat dari
struktur organisasi yang ada, Banjar merupakan sub sitem dari Desa Pakraman, dan struktur organisasi terkecil dibawah Banjar disebut Tempek. Lembagalembaga dalam struktur organisasi Desa Pakraman itu memiliki otonomi dalam mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan aturan tertulis yang disebut Awig-Awig. Tujuannya adalah terwujudnya kesejahteraan lahir bathin warga Desa Pakraman (Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma). Dengan dasar dan tujuan Desa Pakraman seperti itu, maka sepanjang program pembangunan bersifat pro rakyat yang menyentuh kepentingan dan kesejahteraan
warga
masyarakat lahir batin, akan memperoleh dukungan dan partisipasi Desa Pakraman. Kenyataan empirik keterlibatan Desa Pakraman dalam menyukseskan program pembangunan ditransformasikan secara nyata dalam penanggulangan bencana banjir di Kota Denpasar. Dengan demikian penanggulangan bencana banjir dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat harapan masyarakat melalui sinergi dan integrasi program antara Pemerintah Kota dengan Desa Pakraman. III. TAHAPAN
PEMBERDAYAAN
DESA
PAKRAMAN
DALAM
MENANGGULANGI BANJIR DI KOTA DENPASAR Di muka telah diuraikan, bahwa Undang-Undang No.24 Tahun 2007 dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana baik bencana tingkat kabupaten/kota, provinswi, maupun tingkat nasional. Selain itu dimaksudkan memeberikan keseimbangan perhatian dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dari semula yang cenderung pada pertolongan dan pemberian bantuan, kepada upaya-upaya penanganan sebelum terjadi bencana. Berkaitan dengan hal itu, pada tahapan apa saja pemberdayaan desa pakraman) itu dilaksanakan menjadi penting untuk dikaji. P.P. No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana telah mengatur tentang pemberdayaan masyarakat, pada semua tahapan baik tahap prabencana, tanggap darurat, maupun tahap pasca bencana. Pada tahap prabencana, pasal 9 ayat (3) menentukan: “ kegiataan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat”.
I Ketut Merta. Pemberdayaan… 28 Pada
tahap
keadaan
darurat
bencana,
Kepala
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat. Pada tahap pasca bencana yang meliputi perbaikan lingkungan daerah bencana disebutkan antara lain, harus berdasarkan aspirasi masyarakat daerah rawan bencana ( Pasal 1 ayat (3)) Pada tahap rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat (Pasal 75 ayat (1)e). Berkaitan dengan pengertian partisipasi dibedakan ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu; (1) definisi partisipasi yang berlaku di kalangan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah “kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah, (2) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dengan pemerintah
dalam
merencanakan,
melaksanakan,
melestarikan
dan
mengembangkan hasil pembangunan.7 Bertolak dari landasan teori tersebut di atas, partisipasi nyata sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat khususnya pada tahapan darurat bencana belum optimal. Hal ini disebabkan karena lebih menonjolkan mobilisasi dibandingkan partisipasi yakni adanya ketentuan yang mengatur kewenangan Badan Daerah Penanggulangan Bencana untuk mengerahkan sumber daya manusia atau mobilisasi dibandingkan partisipasi masyarakat. Sedangkan pada tahapan pra bencana, dan pasca bencana, partisipsi masyarakat telah diatur secara eksplisit dalam bentuk tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan demikian tidak digunakan konsep hierarki antara pemerintah dengan masyarakat, tetapi lebih menekankan pada penerapan konsep bottom up and top-down. Agar penanggulangan bencana banjir dapat dilakukan sedini mungkin serta menekan dampaknya seminimal mungkin, sangat dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan 7
h.12.
tata
ruang
secara
konsekuen,
perencanaan
partisipatif
Lukman Sutrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
29. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30 penanggulangan bencana, analisis kemungkinan dampak bencana, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendidikan, penerapan upaya fisik dan non fisik dalam penanggulangan bencana, dan pengembangan budaya sadar bencana. Merupakan kenyataan empirik pula, masih ada sebagian kalangan masyarakat yang skeptik tentang budaya sadar bencana ini,dengan melanjutkan kebiasaan membuang sampah sembarangan ke selokan, sungai yang potensial menimbulkan bencana banjir. Sudah tentu sosialisasi tentang sadar
bencana ini
patut
dioptimalkan
secara
terencana,
terpadu,
dan
terkoordinasi secara baik. IV.
PENUTUP
4.1 Simpulan Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 4.1.1 Terdapat beberapa alasan pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman dalam penanggulangan bencana banjir, meliputi alasan teoritis, yuridis dan sosiologis. Alasan teoritis berkaitan dengan tugas pemerintahan, yaitu
pelayanan
(serving),
pemberdayaan
(empowering),
dan
pembangunan (developing). Selain alasan teoritis, terdapat pula alasan yuridis, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Pusat dan Daerah. Termasuk pula Peraturan Daerah Propinsi Bali No.1 Tahun 2001 sebagaimana diubah berdasarkan Peraturan daerah Provinsi
Bali
menyangkut
No.1
Tahun
tentang
2003.
Sedangkan
pemberdayaan
Desa
alasan
sosiologis
Pakraman
dalam
pembangunan pada umunya di luar tugasnya di bidang agama, adat, budaya. 4.1.2 Pemberdayaan Desa Pakraman dalam tahapan penanggulangan bencana terdapat pada tahap pra bencana, dan pasca bencana. Sedangkan pada tahap tanggap darurat lebih bersifat pengerahan sumber daya atau mobilisasi dibanding partisipasi.
I Ketut Merta. Pemberdayaan… 30 4.2 Saran 4.2.1 Mengingat telah adanya dasar hukum yang kuat dalam upaya pemberdayaan Desa Pakraman, maka pengaturan secara eksplisit tentang
mekanisme
penanggulangan
pemberdayaan
bencana
banjir,
Desa
hak-hak
Pakraman dan
dalam
kewajibannya,
peningkatan pelatihan dan pendidikan sumber daya manusia menjadi penting untuk segera dilakukan secara terencana dan berkelanjutan, termasuk pula pengembangan budaya sadar bencana. 4.2.2 Mengingat bahwa penanggulangan bencana banjir tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah, maka menjadi kebutuhan dan sekaligus keharusan untuk mengoptimalkan pemberdayaan Desa Pakraman, namun tidak dalam hubungan hierarkis, tetapi dalam bentuk integrasi dan sinergitas program-program pemerintah dengan Desa Pakraman, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan secara proporsional. DAFTAR PUSTAKA Kinog, I Ketut , 1988, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Utara ------------------- 1989, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Selatan Rassid, Riyas, 1995, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pemerintahan, Jakarta Sutrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Pananggulangan Bencana Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 21 tahun Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
2008 tentang
Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Data Mini Selayang Pandang Kota Denpasar, 2010
31. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial I Putu Gelgel1
Abstract Openness leads to socio-cultural dynamics in Indonesian society. The cultural dynamics of social life should be followed by changes in the legal field. Development of national laws should be adapted to the dynamics of social and cultural life of their communities. Is Customary Law can contribute to the development of national law in the dynamics of social change? The issue is that I want to write in this journal. Philosophically norms of legal liability there are similarities between the Indigenous values aspired to by the National Law based on Pancasila, namely the realization of the value of justice, expediency, the livelihoods, and the happiness of the Indonesian nation. Through Customary Law that will contribute to the development of the National Law in the pace of socialcultural dynamics of life. Keywords: Customary Law, National Law Development Abstrak Keterbukaan menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya ini sepatutnya diikuti dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum. Pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Apakah Hukum Adat dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Hukum Nasional di tengah dinamikan perubahan sosial? Persoalan inilah yang hendak saya tulis dalam jurnal ini. Secara filosofis norma pertanggungjawaban hukum terdapat kesamaan antara Hukum Adat dengan nilai nilai yang dicita-citakan oleh Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila yaitu terwujudnya nilai keadilan, kemanfaatan, kesejahtraan, dan kebahagian bangsa Indonesia. Melalui itulah Hukum Adat akan memberikan kontribusi bagi pembangunan Hukum Nasional di tengah lajunya dinamika kehidupan sosial budaya. Kata kunci: Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional I. PENDAHULUAN Di era keterbukaan dewasa ini, bangsa Indonesia telah mengadakan hubungan dengan berbagai bangsa di belahan dunia. Hubungan yang terjadi 1 Guru Besar Sosiologi Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Agama Fakultas Ilmu Agama, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Jl. Sulatri, Tembau – Denpasar.
I Putu Gelgel. Kontribusi… 32 telah merasuk ke dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial,
dan
budaya.
Keterbukaan
ini
menyebabkan
terjadinya
dinamika
(perubahan) sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya terutama disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan Iptek telah melanda berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dinamika kehidupan sosial budaya ini sepatutnya diikuti (diantisipasi) dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum. Pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat bahwa pembangunan hukum (substansi dan struktur hukum) di negeri kita masih berjalan tertatih-tatih dibelakang dinamika kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Kemungkinan
kenyataan inilah yang merupakan salah satu sumber yang menjadikan carut marutnya wajah hukum di Indonesia. Memang sangat sulit
bagaimana kita
dapat mengurai apa penyebabnya dari seluruh persoalan yang menimpa wajah hukum kita, karena begitu akumulatif dan bervareasi membentuk jaringan masalah
yang tak kunjung dapat dicari penyelesaiannya. Tetapi kondisi yang
terjadi ini tentu tidak dapat kita biarkan begitu saja, harus dicari jalan keluarnya. Yang menjadi persoalan kini adalah kita harus menemukan penyebab terjadinya keterpurukan pembangunan hukum di Indonesia, serta solusi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya? Apakah Hukum Adat dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi keterpurukan hukum tersebut? Persoalan inilah yang hendak saya tulis sebagai rasa hormat dan penghargaan saya kepada Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, SH. Menjelang purna tugas beliau sebagai Guru Besar di Universitas Diponegoro Semarang. II. REALITA PENEGAKAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL Ditengah dinamika perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, secara umum hukum
(terutama penegakan hukumnya) dirasakan
masih jauh dari ideal. Wacana ini sudah menjadi rahasia umum, hampir sepanjang hari panggung hukum
Indonesia terus
dikritik sebagai hukum
terburuk di dunia, membingungkan, menjengkelkan, tidak dapat dipercaya dan
33. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 seterusnya. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus Gayus hampir semua opini masyarakat menyuarakan kesenadaan reaksi yaitu; kegetiran, kekecewaan, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kemarahan. Hal ini bisa terjadi karena dalam dinamika pembangunan hukum tidak dapat terlepas dari kepentingan politik. Cukup banyak kita lihat dalam proses hukum tidak terlepas dari pengaruh politik. Misalnya
kasus Bank Century, kasus Gayus sangat
dipengaruhi oleh konstelasi politik di negeri ini. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan menciptakan keadilan tanpa pandang bulu, ternyata hanya melayani segelintir orang yang dianggap dekat dengan kekuasaan. Oleh karena itu wajar apabila publik berpendapat bahwa hukum kita telah tidak berdaya, hukum digunakan
tidak
lebih sebagai alat pemanis belaka. Banyak komentar dan istilah yang diberikan atas realita hukum di Indonesia antara lain ada yang mengatakan bahwa; Hukum yang Abracadabra, secara bertahap dan terstruktur keadaan penegakan hukum sangat amburadul, etika hukum mulai luntur, profesionalisme
hukum mulai
ditanggalkan dan ditinggalkan, Produk hukum kita tidak berbobot, kurang cepat bergerak,
integritas personolnya bermental bobrok dan koruptif, turut
berbelasungkawa atas boroknya hukum di Indonesia, jangan percaya hukum, dunia peradilan telah iiamat, dan masih banyak komentar lainya. Dari segi etika dan moral, kita dapat menilai kondisi Indonesia sekarang ini sangat menyedihkan dengan melihat maraknya praktek KKN (korupsi, Kolusi dan nepotisme). Korupsi masih menjadi kejahatan yang luar biasa dinegri ini. Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamanatkan agar penyelenggaraan lebih gencar dalam membrantas korupsi, namun praktekpraktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidaklah menjadi surut, malahan semakin meraja lela dan menggurita. Kunto Wibisono mengatakan bahwa terjadinya kerancuan visi dan misi hukum kita yang diikuti dengan perbedaan, bahkan pertentangan dalam strategi penyelesaian suatu masalah justru menimbulkan hal-hal yang kontra produktif. Hukum bukan lagi dijadikan sarana membedakan
untuk
atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum
sudah dijadikan komuditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran untuk membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan.
I Putu Gelgel. Kontribusi… 34 Jika praktek-praktek KKN ini tidak bisa dikurangi dan diberantas, maka tidak mustahil
keadaan ekonomi
bangsa ini
akan semakin terpuruk.
Keterpurukan ekonomi akan dapat memunculkan sikap apatis masyarakat yang pada gilirannya penghasdilan mengakibatkan
menumbuhkan mental
menerabas
guna mendapatkan
secara cepat dan instan. KKN (terutama korupsi) bukan saja keterpurukan ekonomi, tetapi mental dan kepribadian bangsa
juga ikut terpuruk.
III. KEGAGALAN DOKTRIN POSITIVISME DALAM PENEGAKAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA Tokoh terkemuka yang memberikan penekanan pundamental dari doktrin positivisme adalah John Austin dan Hans Kelsen. 2 Prinsip-prinsip dasar dari doktrin positivisme adalah: 1. Suatu tata hukum negara berlaku
bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. 2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk hukum formal harus dipisahkan dari bentuk hukum material. 3. Isi hukum diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Kelsen menekankan bahwa hukum yang murni harus dibersihkan dari anasir-anasir yang bukan hukum seperti politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Tugasnya ialah untuk mengetahui semua yang esensial dan perlu untuk hukum dan oleh karena itu bebas dari segala sesuatu yang berubah dan kebetulan.3 Hukum termasuk dalam hukum sebagai keharusan ( sollens katagori ) bukan hukum sebagai kenyataan (Seins katagori). Orang mentaati hukum karena karena memang mereka harus mentaati hukum sebagai perintah negara. 2
Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung, h.119 3 W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, Susunan II, Terjemahan M.Arifin, Rajawali, Jakarta, h.169.
35. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 Di tengah dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia dewasa ini, implemantasi doktrin positivisme yang mengatakan bahwa hukum itu obyektif, hukum itu sudah tertentu dan hukum itu netral perlu dipertanyakan. Sebab prakteknya, hukum nyatanya tidak obyektif, tidak tertentu, dan
sama sekali
tidak netral. Dalam kaitan ini Prof. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa hukum lebih berkualitas plus-minus, hukum atau peraturan hukum tidak mampu menuntaskan
rancangan secara akurat
dan tuntas
dengan bekerja sendiri.
Hampir tidak ada bukti yang mendukung kemampuan hukum
yang absolut.
Lengsernya Presiden Soeharto yang dipaksa turun oleh mahasiswa pada tahun 1998, jika dilihat dari kacamata paradigma positivistis adalah tidak dapat diterima karena
tanpa ada rujukan konstitusi, tidak ada satu pasalpun yang
membenarkan tindakan tersebut. Namun kenyataan secara empiris Soeharto lengser dari singgasana kepresidenannya, dan Habibie menggantikannya sebagai presiden.4 Saat Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) mengadakan kongres pada tahun 1998 di Denpasar Bali, dapat berjalan dengan aman dan sukses adalah berkat dilibatkannya para Pecalang dalam menjaga kongres tersebut. Demikian pula dalam Pesta Kesenian Bali maupun dalam pengamanan sidang-sidang Bom Bali para Pecalang sangat berperan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Padahal
peraturan
mengatakan
yang
menmpunyai
tugas
pengamanan dalam menghimpun banyak orang adalah merupakan tugas polisi. Dari kenyataan sosiologis di atas dapat dikatakan bahwa
tidak semua
persoalan bisa diserahkan pada hukum formal saja, hukum atau negara tidak memegang monopoli. Secara empirik terbukti bahwa hukum yang terlalu positivistik yang sangat formal-legalistik gagal untuk menghasilkan suatu keadilan
yang substansial, melainkan hanya sekedar mampu menghasilkan
keadilan yang prosedural. Hukum nyatanya belum mampu mengantisipasi dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat yang semakin terbuka. Oleh karena itu sudah saatnya kita perlu mempertanyakan dan merubah paradigma positivistik yang sangat kental sifat formal dan legalistiknya dengan paradigma hukum yang lebih realistik yang sesuai dengan struktur sosial budaya bangsa Indonesia seperti hukum adat (Hindu).
4
hl.67.
Satjipto Rahadjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta,
I Putu Gelgel. Kontribusi… 36 IV.
KONTRIBUSI HUKUM ADAT (HINDU) DALAM KETERPURUKAN HUKUM NEGARA Dalam dinamikia kehidupan sosial budaya masyarakat dan dalam kondisi
keterpurukan
hukum
saat ini, seruan
dan tuntutan
rakyat
terhadap
pembangunan hukum sudah merupakan suatu keharusan. Karena produk hukum maupun penegakannya sudah semakin menjauh dari nilai-nilai kearifan bangsa kita. Akan tetapi, dalam menjalankan hukum dalam rangka menuju hukum yang desiderata (dicita-citakan) haruslah ada titik beranjak yang dapat dijadikan acuan. Karena dalam membangun dirinya manusia selalu menggunakan segala kemampuannya
untuk memilah dan
memilih, mulai dari mana dan dengan
langkah apa dapat dilakukan. Manusia akan menetapkan landasan sebagai titik awal pijakan
dari apa yang mereka anggap baik
dan benar dalam realitas
kehidupan, titik berangkat dari realita ( das sein) menuju ke desiderata ( das
sollen). Di muka telah disinggung bahwa suasana silang sengkarut wajah hukum kita dan keterpurukan hukum yang terjadi saat ini, kita pakai sebagai titik awal keberangkatan kita dalam menata, memperbaiki,
dan membangun kembali
puing-puing bangunan hukum yang telah hancur. Dari titik inilah kita bangun, kita susun
asumsi-asumsi, menelaah kembali serta menyusun
prioritas
kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pembangunan hukum kita di masa depan. Sehingga dengan jelas dapat ditentukan misi apa yang hendak dilakukan
dalam pembangunan
hukum ke depan, hukum seperti apa yang
didambakan (visi) sehingga hasil yang dicapai
sesuai dengan tujuan, yaitu
hukum hendaknya membuat kita bahagia. Tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini
mendapatkan keadilan,
kesejahteraan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, pembangunan hukum harus merupakan kebijakan disusun berdasarkan
yang
kebutuhan masyarakat itu sendiri disusun berdasarkan
dinamika sosial budaya masyarakat. Tatanan hukum yang beroprasi dalam masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawatahan cita - hukum
yang
dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam prangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan prilaku birokrasi pemerintahan dan warga
37. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 masyarakat. Kebutuhan itu bukan kebutuhan sesaat
tetapi total, menyeluruh
dan sistemik. Oleh karena itu kebijakan pembangunan hukum harus merupakan skema kebijakan
yang di dalamnya melibatkan partisipasi masyarakat, dari
berbagai kelompok dan golongan. L.M. Friedman mengatakan bahwa
berfungsi atau tidaknya hukum
dalam menata pembangunan adalah sangat ditentukan oleh tiga komponen sistem hukum yaitu: materi peraturan perundang-undangan (substansi hukum), penegakan hukum (struktur hukum), dan juga kesadaran hukum (budaya hukum). Sebagai sebuah sistem, hukum harus dicermati dalam perspektif totalitas yang di antara bagian-bagian sistemnya itu merupakan suatu kesatuan pola yang saling melingkupi. Ketiga komponen dalam sistem hukum itu pada dasarnya saling menentukan dan saling berpengaruh satu sama lainnya. Substansi hukum terdiri dari hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer adalah hukum tentang tingkah laku. Sedangkan hukum sekunder adalah hukum tentang bagaimana memberlakukan dan memaksakan hukum primer itu. Struktur hukum merupakan suatu landasan dan merupakan unsur nyata dari suatu sistem hukum. Struktur dapat juga dikatakan sebagai kerangka yang permanen
atau kerangka yang melembaga dari sistem hukum. Sedangkan
budaya hukum, dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, pandangan, cara berpikir dan bertingkah laku yang semuanya itu dapat membentuk kekuatan-kekuatan sosial yang bergerak dengan cara tersendiri mendekati (mentaati) hukum atau sebaliknya bergerak menjauhi (melanggar) hukum.5 Terkait dengan persoalan fungsi hukum ini, Tallcott Parsons dengan teori Struktural Fungsionalnya mengatakan bahwa, struktur normatif (nilai, norma, kolektivitas, dan peran) sangat erat hubungannya dengan sub-sistem fungsional yang lain (pola, komunitas masyarakat, politik/kenegaraan dan ekonomi). Nilai berkaitan dengan pemeliharaan pola, norma diidentifisir sebagai komponen struktural komunitas kemasyarakatan, kolektivitas berkaitan dengan politik/kenegaraan, dan peran merupakan unsur yang berkaitan dengan
5 W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.14.
I Putu Gelgel. Kontribusi… 38 ekonomi.6 Menurutnya setiap sistem sosial mempunyai empat fungsi memaksa. Artinya setiap sistem harus menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah-masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola/nilai. Adaptasi adalah fungsi prilaku organisme, pencapaian tujuan adalah fungsi kepribadian, integrasi adalah fungsi sistem sosial, dan pemeliharaan pola adalah fungsi kultural. Pada tingkat sistem sosial, fungsi adaptasi berhubungan dengan ekonomi, pencapaian tujuan berhubungan dengan pemerintahan/politik, integrasi berhubungan dengan hukum, dan pemeliharaan berpola berhubungan dengan keluarga. Artinya kebutuhan dan lingkungan
fungsi adaptasi menimbulkan tanggapan terhadap untuk mencapai suatu tujuan, integrasi sangat
penting dalam mengatur hubungan antar subsistem dalam ikatan kerja sama dan solidaritas untuk mencapai tujuan, dengan dituntun oleh pola nilai yang ada dalam sistem itu. Artinya hukum dalam menjalankan fungsinya, dipengaruhi pula oleh berbagai bidang kehidupan yang lain, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Ekonomi berhubungan dengan adaptasi, politik berhubungan dengan pencapaian tujuan, dan budaya memberikan masukan tentang nilai-nilai yang merupakan landasan dan penuntun dalam menjalankan fungsi tersebut. Pendapat lain tentang berfungsinya hukum secara efektif, Eugen Ehrlich pemuka dari aliran Sosiological Jurisprodence, mengatakan bahwa: Titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, tetapi dalam masyarakat. Sebenaranya peraturan yang diikuti dalam kehidupan masyarakat adalah living law yang riil, hukum mempunyai cakupan yang jauh lebih luas
dari pada norma-norma yang dibuat dan diterapkan oleh institusi
pemerintah.7 Artinya hukum itu akan efektif jika hukum itu mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh Ehrlich menekankan bahwa hukum yang hidup, yaitu hukum yang nyata hidup dalam masyarakat, terus berevolusi, selalu melebihi hukum negara yang kaku dan tidak bergerak. Jadi
6
Parson dalam Roger Cotterrell, 1998, The Sociology of Law: An Introduction, Butterworths, London, page. 87-88. 7 Ehrlich W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.104.
39. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 pesan Ehrlich adalah, hukum negara hendaknya sesuai atau harmoni dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Jangan sampai pembuat undangundang menciptakan undang-undang yang bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Barda Namawi Arief mengatakan pula bahwa: kajian terhadap sistem hukum yang hidup dalam masyarakat adalah sangat mendesak dilakukan dalam pembaharuan hukum nasional dewasa ini. Karena sistem hukum nasional di samping hendak dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang dalam dalam masyarakat. Dalam melakukan kajian terhadap nilai-nilai dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, diperlukan kajian antropologis, sosiologis dan filosofis. Dengan kajian tersebut, diharapkan ditemukan mutiara-mutiaran yang hilang dari kearifan budaya tradisional yang masih hidup dalam masyarakat.8 Berangkat dari kerangka berpikir teoritis di atas,
agar hukum
dapat
berfungsi dan ditaati oleh masyarakat, hendaknya ketiga komponen sistem hukum baik substansi, struktur, dan budaya hukum hendaknya dibangun harmoni dengan hukum
yang hidup dan berkembang dalam mayarakat
Indonesia (baca Hukum Adat). Hukum
akan dapat berfungsi dan berhasil,
apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dapat mengakomudasi
nilai-nilai dan
norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sehingga masyarakat merasa tergugah dan merasa memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pembangunan di daerahnya. Hukum Adat secara
aktual
masih
dihayati
dan
diimplementasikan
dalam
kehidupan
masyarakat di seluruh nusantara seperti kehidupan dalam masyarakat Dayak, Jawa, Bali, Batak, Sumatra Barat, lampung, Toraja, Ambon, dan masyarakat lainnya. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa norma-norma hukum adat dalam kehidupan masyarakat di seluruh bumi nusantara ini memiliki potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional, baik dalam pembangunan
8 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 117.
I Putu Gelgel. Kontribusi… 40 substansi hukum, struktur hukum, maupun budaya hukum. Potensi hukum adat tersebut, kerap melebihi peran dan kemampuan hukum formal/pemerintah. Dalam penyelesaian sengketa, masyarakat adat di bumi nusantara ini memiliki potensi kearifan lokal yang patut direvitalisasi. Masyarakat Bali misalnya, sebagaimana halnya dengan masyarakat lain di Indonesia ( Dayak Kaharingan, Tengger, Batak, Jawa)
menyukai
sikap hidup harmonis, rukun dan damai.
Setiap individu harus berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga harmoni dan menghindari konflik. Penyelesaian konflik dengan menggunakan mekanisme peradilan formal, bukan merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang terbaik. Keterbatasan lembaga peradilan dalam merespon aspirasi masyarakat dan hanya menekankan pada prosedur hanya menyelesaikan konflik secara semu belum dapat menyelesaiakan sengketa yang sesungguhnya. Penyelesaian sengketa yang terbaik adalah manakala sengketa yang terjadi
diselesaikan
diantara mereka yang berselisih saja secara damai dan kekeluargaan yang difasilitasi oleh pemuka adat. Penyelesaian secara damai dan kekeluargaan ini lazimnya berintikan permohonan maaf dari yang melakukan kesalahan kepada pihak lain yang dirugikan. Agar hukum adat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan hukum nasional di tengah dinamika sosial budaya saat ini, maka langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan hukum nasional perlu dirancang dengan cara: 1. Reinterpretasi fungsi dan makna Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional. Hukum Adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, perlu ditafsirkan kembali fungsi dan maknanya dalam pembangunan hukum nasional. Karena senyatanya dalam kehidupan masyarakat hukum adat masih memiliki kearifan dalam menegakan aturan-aturan yang berlaku dalam menata kehidupannya secara adil dan bernurani. Penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat adat dilakukan dengan cara-cara yang arif dan bijaksana, jauh dari sikap-sikap ketidak jujuran, ketidak adilan, arogansi, dan kekerasan. Sehingga sikap para penegak hukum dalam masyarakat adat senantiasa menjadi panutan dan disegani olah masyarakatnya. Melalui penafsiran kembali fungsi dan makna Hukum Adat
akan dapat ditemukan nilai-nilai kearifan yang patut diangkat
dalam pembangunan hukum nasional ditengah perubahan sosial yang terjadi.
41. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 2. Transformasi Hukum Adat ke dalam Peraturan Perungang-undangan. Tranformasi potensi yang dimiliki Hukum Adat penting dilakukan, karena norma-norma Hukum Adat seperti yang tertuang dalam Awig-awig (Bali), dalam
Kitab Panuturan (Dayak) ternyata sangat efektif dan fungsional dalam menjaga ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakatnya karena sangat dipatuhi, terkadang melebihi kepatuhannya
terhadap hukum nasional. Efektivitas dan
fungsional ini dapat dilaksanakan karena dalam norma-norma Hukum Adat senantiasa
mengedepankan
keadilan,
keharmonisan,
dan
ketentraman,
disamping memberi peran dan kesempatan kepada warga masyarakat dalam proses pembangunan substansi hukumnya. Dalam aturan aturan hukum (awig –
awig) masyarakat adat di Bali misalnya,
diatur tentang tiga aspek yaitu: 1)
Sukerta Tata Parhyangan (keharmonisan, kedamaian, keadilan dalam menata kehidupan beragama), 2) Sukerta Tata Pawongan (keharmonisan, kedamaian, keadilan dalam menata hubungan antara sesama warga masyarakat adat), 3)
Sukerta Tata Palemahan (keharmonisan, kedamaian, keadilan dalam menata hubungan antara warga masyarakat adat dengan lingkungannya). Kearifan hukum adat kiranya perlu ditransformasi ke dalam peraturan perundangundangan di tingkat nasional maupun derah. Paling tidak potensi
kearifan
hukum adat tersebut dapat ditransformasi ke dalam Peraturan Daerah (Perda) setempat. 3. Penggunaan asas -asas Hukum Adat dalam Penyelesaian Sengketa. Dalam masyarakat desa adat penyelesaian konflik dengan menggunakan mekanisme peradilan negeri bukan merupakan
mekanisme penyelesaian
sengketa yang terbaik. Masyarakat adat pada umumnya memiliki rasa enggan untuk terlibat dalam suatu konflik atau sengketa secara terbuka, oleh karena itu mereka berusaha agar sengketa yang ditangani tidak masuk menjadi sengketa di pengadilan negeri. Sengketa baru akan dibawa ke pengadilan jika semua usaha perdamaian tidak berhasil dicapai. Di samping itu, keengganan ini muncul karena keterbatasan lembaga peradilan dalam merespon aspirasi masyarakat dan hanya menekankan pada prosedur, hanya menyelesaikan konflik secara semu belum dapat menyelesaiakan sengketa yang sesungguhnya. Hal ini akan dapat
I Putu Gelgel. Kontribusi… 42 membawa cacat batin bagi kedua belah pihak yang berakibat dendam berkepanjangan. Oleh karenanya konflik dalam desa adat diselesaikan melalui perundingan diantara mereka dengan pola mediasi yaitu penyelesaian sengketa
yang
dimediatori oleh majelis desa adat. Para pihak akan lebih percaya jika yang memediasi adalah orang yang telah dikenal dan paham atas permasalahan yang terjadi, sehingga menjamin lancarnya perundingan. Penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dimediatori oleh majelis ini
dilakukan atas prinsip
sukarela diantara para pihak yang bersengketa. Para pihak
tidak dipaksa
mengikuti prosedur yang baku dan kaku. Perundingan yang dilakukan pada dasarnya ingin memperoleh penyelesaian atau kesepakatan yang memuaskan mereka. Majelis Desa Adat sebagai mediator atau arbiter yang menangani menyelesaikan sengketa tidak berpedoman pada prosedur beracara sebagaimana yang terjadi pada badan peradilan. Majelis bertindak sebagai penengah, memberi pengarahan, pertimbangan serta jalan keluar yang sepantasnya bagi mereka yang bersengketa dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargan dan harmoni. Majelis berusaha dengan segala daya upaya untuk menyelesaikan sengketa
dengan cara arif dan bijaksana, jauh dari sikap ketidak jujuran,
arogansi dan kekerasan dengan menyoroti kepentingan-kepentingan yang sama dan menghindari pertentangan-pertentangan. Penggunaan asas-asas Hukum Adat dalam penyelesaian sengketa sangat penting dilakukan seperti asas kedamaian dan kekeluargaan. Penyelesaian sengketa atau konflik dalam masyarakat adat dilakukan secara damai dan kekeluargaan namun tetap menjaga rasa keadilan dan kepatutan masyarakatnya. Sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik, harmoni, damai, tanpa meninggalkan luka batin atau dendam para pihak yang bersengketa. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, terkadang belum dapat sepenuhnya memenuhi rasa keadilan dan kepatutan, disamping proses peradilannya terlalu lama dan mahal. Penyelesaian sengketa yang terbaik adalah manakala sengketa diselesaikan antara para pihak yang berselisih dapat dilakukan dengan cepat, damai, kekeluargaan, namun tetap tberlandasakan kepastian, kebenaran, keadilan, dan kepatutan dapat dilaksanakan. Cara peradilan yang demikian adalah sesuatu yang diharapkan di era globalisasi ini.
43. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44 4. Revitalisasi Hukum Adat dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam pembangunan. Masyarakat adat dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam tatanan kehidupannya, lebih menggunakan pendekatan persuasif dan edukatif. Petugas keamanan tradisional Bali (seperti Pecalang) dituntut untuk menjauhkan diri dari tindakan kekerasan, arogansi, dan sikap-sikap represif lainnya. Sebaliknya mereka dituntut bisa tampil simpatik, arif, dan bijaksana sehingga disegani dan menjadi panutan bagi masyarakat. Dengan demikian keamanan masyarakat dan keamanan aset-aset pembangunan yang ada dapat dipelihara. Oleh karena itulah revitalisasi atau pendayagunaan Hukum Adat dalam menjaga kelestarian dan keamanan pembangunan sangat diperlukan dalam pembangunan Hukum Nasional. V.
PENUTUP Dengan melihat ketidak berdayaan Hukum Modern dalam mengatasi carut
marutnya wajah hukum di Indonesia, maka kontribusi Hukum Adat dalam pembangunan Hukum Nasional sangat perlu digagas, dikaji, dan dikembangkan. Hukum hendaknya dibangun sejalan dengan struktur sosial budaya bangsa kita sendiri,namun
tetap
dapat
mengakomudasi
dinamika
kehidupan
sosial
budayanya di era keterbukaan ini. Secara filosofis norma pertanggungjawaban hukum terdapat kesamaan antara Hukum Adat dengan nilai nilai yang dicitacitakan oleh Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila yaitu terwujudnya nilai keadilan, kemanfaatan, kesejahtraan, dan kebahagian manusia (Bangsa Indonesia). Melalui itulah Hukum Adat
akan memberikan kontribusi
bagi
pembangunan hukum di negara kita di tengah lajunya dinamika kehidupan sosial budaya. DAFTAR PUSTAKA Barda Namawi Arief, 1998, Bebarapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung Gelgel I Putu, 2006, Hukum Pariwisata, Widya Dharma, Denpasar.
I Putu Gelgel. Kontribusi… 44
_______________ 2007, Pengantar Hukum Hindu, Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar. Khudzaifah Dimiyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadiyan University Press, Surakarta Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung Mochtar Kusumaatmaja, 2002, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. ________________, 1975, Fungsi Hukum dan Pembangunan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. Roger Cotterrell, 1984, The Sosiology of Law: An Intruduction, Butterworths, London. Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. ________________, 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta. _______________, 2004, Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah University Press, Surakarta. Soetandyo Wingnjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Huma, Jakarta. W Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, Susunan II, Terjemahan, M Arifin, Rajawali, Jakarta.
45. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 Konflik Penguasaan Tanah Di Bali I Made Suwitra1
Abstract Conversation of land tenure in the Basic Agrarian Law were initially subject to customary law as well as to ensure legal certainty in land tenure, also causing conflict. While local government are given the mandate to be able to resolve conflicts of customary rights is still giddy. Mediation is often done just to produce an agreement that is artificial. Constitution of 1945 should serve as a major referral base on naïve. Not understood the concept is good and true religious communal land tenure within the Unitary State of the Republic of Indonesia. Key Words: Land Conflict Abstrak Konversi penguasaan tanah menurut UUPA yang awalnya tunduk pada hukum adat disamping dapat menjamin kepastian hukum dalam pemilikan tanah, juga berimplikasi menimbulkan konflik. Sementara Pemerintah Daerah yang diberikan amanat untuk dapat menyelesaikan konflik hak ulayat sampai saat ini masih gamang. Mediasi yang sering dilakukan hanya untuk menghasilkan kesepakatan yang bersifat artifiasial. UUD 1945 yang seharusnya dijadikan rujukan utama sebagai landasan konstutusional selalu di naifkan.Tidak dipahaminya secara baik dan benar konsep komunal religious penguasaan tanah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Kunci: Sengketa Tanah I.
PENDAHULUAN Bali sampai saat ini masih sarat dengan konflik. Meningkatnya konflik oleh
sosiolog Paulus Wirutomo dinyatakan karena pengaruh struktur, kultur, dan proses.2 Struktur berkaitan dengan kebijakan yang diputuskan pemerintah, atau kebijakan dari kepala atau pemimpin masyarakat (adat), sedangkan kultur menyangkut nilai, norma, dan kepercayaan yang diyakini turun temurun. Untuk meminimalisasi konflik, yang masih bisa diubah hanya sisi proses, karena sisi ini
1
Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858 (hunting), Fax (0361) 23505073 E-mail:
[email protected] 2
Bali Post, “Konflik adat” , Denpasar, 27 September 2011, hlm. 2.
I Made Suwitra. Konflik… 46 memberikan dinamika interaksi sehari-hari yang memberi ruang bebas dari ikatan struktur dan kultur. Struktur dinyatakan seringkali dirusak oleh globalisasi dan kepentingan ekonomi. Struktur pemerintahan pun turut membenturkan kultur, seperti keputusan pengadilan yang bertentangan dengan aturan adat. Oleh karena itu diperlukan komunikasi dan negosiasi proses yang menjembatani, baik itu dari dominasi struktur maupun kultur. Ada beberapa contoh konkret yang dapat diungkapkan berkaitan dengan adanya benturan kultur yang belum bisa dijembatani melalui komunikasi dan negosiasi proses, bahkan memunculkan anarkisme seperti konflik adat BudagaKemoning di Klungkung tentang klaim penguasaan tanah Setra, Pura Prajapati dan Pura Dalem sebagai tanah adat. Konflik yang sama (setra) juga sebelumnya terjadi antara Banjar
Bucu dengan Besang Kangin,3 konflik antara warga
Semana dengan warga Ambengan Singakerta di Kabupaten Gianyar, disertai anarkisme warga,4 konflik tanah di Lemukih Buleleng,5 kasus tukar guling tanah SD 1 Melinggih Payangan Kelod.6 Agama adalah tuntunan hidup. Dalam prakteknya ajaran agama (Hindu) berimplementasi ke dalam adat dan budaya Bali. Namun implementasinya sering menimbulkan disharmoni akibat dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Akibatnya marak terjadi konflik adat, praktek budaya anarkis atau frustrasi massal sebagai suatu fakta sosial. Di sisi lain frustrasi masyarakat yang kerap kali tercetus
sebagai
aksi-aksi
kekerasan
memerlukan
contoh
perilaku
dan
keteladanan saat ini kian langka, sehingga agama, adat, dan budaya dianggap tidak berperan sebagaimana mestinya dan dalam beberapa kasus, bahkan dapat
3
Bali Post, “Perang baliho kasus saling klaim pura dan setra Kemoning berlanjut”, Denpasar, 21 April 2011, hlm. 14. 4 Bali Post, ”Soal penutupan pintu masuk setra, Ketandan walk out penyelesiannya tunggu Bupati, Denpasar, 14 Juni 2010, hlm. 4. 5
Bali Post, “Kasus tanah adat Lemukih, giliran pemegang sertifikat datangi KP Buleleng”KP Buleleng”, Selasa 16 Januari 2007, hal. 5. 6 Bali Post, Kisruh tanah SD 1 Melinggih, dewan panggil pemilik dan instansi terkait, Kamis 5 Juli 2012, halm. 11.
47. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 memperburuk kejiwaan masyarakat.7 Kadang-kadang adat dijadikan alat menjustifikasi anarkisme. Dari berbagai konflik yang dideskripsikan, dapat dirumuskan beberapa isu hukum, yaitu: (1) Bagaimana terjadinya konflik penguasaan tanah? (2) Bagaimana penyelesaian konflik tanah ulayat (adat)? II. KONFLIK PENGUASAAN TANAH Bali sebagai daerah yang mengalami sentuhan globalisasi paling dahsyat, dapat dipahami terjadinya konflik penguasaan tanah (adat). Bali selama ini masih dianggap mampu berjalan sesuai fungsinya yang diikat oleh konsensus nilai. Sementara Bali menghadapi berbagai gempuran pengaruh dari luar di saat dirinya harus memegang teguh konsensus yang diwarisi. Bali sedang mengalami perubahan persoalan ekonomi yang semakin padat. Kondisi ini menyebabkan dominasi adat seolah-olah mendapat tandingan. Kepentingan ekonomi dan lainnya akhirnya muncul ke permukaan. Kepentingan yang dulu bersifat laten berubah menjadi manifes. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah, yang penting bagaimana mengelolanya agar konflik tidak mengarah pada kekerasan.8 Konflik di dalamnya mengandung pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama, sehingga timbul rasa tidak puas atau menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Jika rasa tidak puas ini secara langsung dinyatakan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka sebuah konflik akan menjadi sengketa. Jadi konflik akan berkembang menjadi sengketa jika tidak dapat diselesaikan.9 Berbeda dengan Munir Fuady menyatakan, bahwa konflik adalah suatu perbedaan atau pertentangan ide, persepsi, dan kepentingan diantara dua pihak
7
Bali Post, “Budaya anarkis” (Denpasar, 12 Agustus 2009), hlm. 1)
8
Paulus Wirutomo, “Konflik meningkat, dominasi adat mendapat tandingan”, Denpasar: Bali Post, 5 Oktober, 2011, hlm. 1. 9 Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Tugojogjapustaka, Yogyakarta, hlm. 8.
I Made Suwitra. Konflik… 48 atau lebih, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik, baik yang sudah terbuka maupun yang belum terbuka.10 Kata kunci dari teori konflik adalah kepentingan. Kepentingan
tampak
berwujud
dalam
kerugian,
baik
materiil
maupun
immateriil.11 Tidak ada seorangpun mau dirugikan dalam pergaulan masyarakat. Setiap orang selalu mengukur dan menjaga kepentingannya, agar jangan sampai dirongrong oleh orang lain dalam lalu lintas pergaulan sosial. Kepentingan merupakan unsur utama kehidupan sosial masyarakat, dan kepentingan itu tidak jarang berlainan antara orang yang satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan konflik. Untuk menyelaraskan kepentingan yang saling berbeda inilah diperlukan norma (salah satunya norma hukum). Teori konflik akan mencari bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin terlibat dalam setiap konflik. Salah satu cara mengatasi konflik adalah dengan mengatur kepentingan melalui norma hukum. Masyarakat memerlukan hukum agar kepentingannya dapat berjalan selaras satu sama lain. Kehidupan masyarakat dipenuhi oleh kepentingankepentingan yang saling berhubungan dan saling bertentangan, sehingga diperlukan hukum untuk mengaturnya. Di Bali saat ini sedang mencuat konflik yang sebagian besar menyangkut penguasaan tanah adat. Penguasaan menurut Satjipto Rahardjo mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Secara faktual artinya adanya hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaan, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya (corpus possessionis). Sedangkan sikap batin artinya adanya maksud
untuk
12
menguasai atau menggunakannya (animus posidendi). . Mencermati beberapa kasus konflik penguasaan tanah seperti rebutan penguasaan setra, pengklaiman (reclaiming)
tanah adat (ulayat desa)
pada
kasus Lemukih, Kemenuh, Kasus tapal batas desa (adat) pada kasus BelalangPangkungtibah, Banjar Kebontingguh-Banjar Bakisan, klaim penguasaan wilayah
10
Munir Fuady, 2007, Sisiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat. Cetakan ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 95. 11
I Ketut Artadi, 2006, Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Pendekatan Kebudayaan terhadap Hukum, Cetakan Pertama, PT. Ofset Bali Post Denpasar, hlm. 69. 12
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 104.
49. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 adat pada kasus Kebonkuri-Buaji Anyar, klaim jalan adat pada kasus BedhaPangkungkarung, Budaga Galiran, kasus Loloan Tegal Gundul Badung, kasus Kesumasari Sanur Denpasar, akan dikaji dari bekerjanya sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum seperti disebutkan Lawrence M. Friedman.13 Aspek substansi, yaitu peraturan perundang-undangannya yang belum jelas dalam memberikan kepastian hukum, sehingga menimbulkan adanya persepsi yang berbeda terhadap makna konsep penguasaan tanah adat sebagai ulayat desa yang ada dalam hukum adat dan perkembangannya dalam hukum negara seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 3, 5) maupun yang dipertegas lagi melalui amandemen ke empat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD 1945) (Pasal 18B ayat 2). Dengan menggunakan interpretasi otentik, keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat masih diakui sedemikian rupa sepanjang memang secara nyata masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kondisi inilah antara hukum adat dengan hukum negara dikoeksistensikan. Sementara dari aspek kultur hukum, kelompok masyarakat adat menganggap tetap ingin merperlakukan hukum adat terhadap tanah-tanah yang telah diatur dalam UUPA dengan cara melakukan ekspansi melalui pemasangan tanda batas kekuasaan adat ke dalam lingkungan warga lainnya untuk memperoleh
recognitie. Struktur hukum juga dapat menyebabkan konflik pada pemberian hak atas tanah menurut UUPA di atas tanah ulayat, seperti pemberian Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah laba pura pada kasus Culik Karangasem, pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah adat pada kasus loloan Tegal Gundul Badung, pemberian HGB di atas tanah pura pada kasus Kesumasari Sanur Denpasar,
juga
keluarnya
Surat
Keputusan
tentang
pemekaran
Banjar
Tamblingan menjadi Desa Pakraman (Adat) Tamblingan dari lembaga adat Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali yang memicu konflik.
13
Lawrence M. Friedman,, “Legal Culture and Social Development”.dalam Law and the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly eds, The Bobbs-Merrill Company, INC, Kansas City New York, hlm. 1003.
I Made Suwitra. Konflik… 50 Selain itu konflik penguasaan tanah adat (ulayat) disebabkan faktor ekonomi, artinya bagi banjar adat yang ingin mekar menjadi desa adat disebabkan ada keinginan untuk dapat menguasai tanah sebagai aset banjar yang selanjutnya menjadi sumber pendapatan dengan mengeksploitasi sumber daya yang ada dan kegiatan yang ada di atas tanah dimaksud. Kondisi ini diperparah dengan dikedepankan istilah penduduk “asli’ dan “pendatang” yang mengindikasikan telah terjadi degradasi etik dan moral pada masyarakat adat yang menyebabkan adanya penyimpangan dalam memaknai konsep komunal religius dalam penguasaan tanah. Proses reclaiming sebagai wilayah adat dalam konteks yang lebih besar sering muncul pada pembukaan areal baru Hak Guna Usaha (HGU), yaitu tuntutan kembalinya hak adat kepada pemegang HGU yang disebabkan tidak jelasnya batas tanah ulayat dan tanah negara bebas seperti yang terjadi pada masa Hindia Belanda.14 Recaliming ini juga sebagai salah satu penyebab timbulnya konflik tapal batas. Mencermati
latar
belakang
yang
menyebabkan
munculnya
konflik
penguasaan tanah adat (ulayat) tersebut, dapat diberikan beberapa argumentasi, yaitu: Pertama, untuk meminimalisasi konflik akibat adanya pemekaran desa adat (pakraman), lembaga adat yang ada sekarang seperti Majelis Desa Pakraman tidak serta merta mengeluarkan Surat Keputusan Pemekaran sebelum pemekaran itu senyatanya diterima oleh desa induknya, dan desa yang baru mekar sudah teruji mampu melakukan otonominya tanpa menimbulkan gesekan dengan desa induk dalam limit waktu tertentu, umpamnya selama sepuluh tahun. Artinya pemekaran itu memang sudah diterima oleh semua pihak sesuai dengan proses terjadinya hukum adat. Adalah relevan dengan apa yang dinyatakan Von Savigny, bahwa hukum suatu masyarakat merupakan refleksi dan konkritisasi dari jiwa rakyatnya (volkgeist) sebagai pembawaan sejarahnya.15 Dengan demikian hukum adat termasuk di dalamnya desa adat tumbuh dari
14
Achmad Sodiki, 2012, “Kebijakan pertanahan dalam penataan Hak Guna Usaha untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, Makalah, disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Warmadewa Denpasar tanggal 3 Maret 2012, hlm. 9. 15 H. Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan ke delapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 65.
51. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 bawah dan tidak dibuat, serta bukan diciptakan dari atas (oleh struktur hukum) yang ada. Surat Keputusan dari Lembaga Adat (Majelis Desa Pakraman) dan penetapan dari lembaga hukum lain seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya berfungsi sebagai social control jika berhadapan dengan tanah ulayat, dalam arti untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada dalam pola-pola tingkah laku yang sudah diterima olehnya16, bukan sebagai social engineering seperti diungkapkan Roscoe Pound yang menjadikan hukum sebagai instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan.17 Untuk menghindari adanya arogansi yang berakhir anarkis dari masyarakat hukum adat yang terakumulasi dalam gerakan masa yang kelihatan spontan, namun pada dasarnya digerakkan seseorang yang biasanya dilakukan secara diam-diam baik oleh struktur hukum yang ada maupun oleh individu dengan menggunakan warna partai diperlukan pemahaman yang benar dan mendalam terhadap konsep penguasaan tanah adat yang disebut hak ulayat dalam konteks hukum agraria nasional yang kemudian dikenal dengan hak menguasai negara sebagai perwujudan digunakannya hukum adat sebagai bahan utama dalam pembentukan hukum agraria nasional, yaitu “konsep komunal religius” yang mengandung arti, bahwa tanah adat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama yang merupakan “pemberian/anugerah”
dari
suatu
kekuatan
gaib.
sehingga
semua
hak
perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Ter Haar menyebut hubungan ini sebagai Participerend denken.18 Menurut Grotius disebutkan, bahwa segala sesuatu dalam alam sebagai milik bersama. Alam atau dunia ada untuk digunakan secara bersama-sama oleh umat manusia. Hak milik pribadi hanya diterima dalam pengertian hak untuk
16
Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta, hlm. 58.
17 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
129.
18
Herman Soesang Obeng, 1975, “Pertumbuhan Hak Milik individuil menurut Hukum Adat dan menurut UUPA di Jawa Timur”, Majalah Hukum No.3 Tahun ke dua, Penerbitan Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Lawa Center), Jakarta, hln. 51
I Made Suwitra. Konflik… 52 menggunakan milik bersama, dan bukan menjadi miliknya sedemikian rupa yang menutup kemungkinan dimiliki individu lain.19 Dari Konsep ini kemudian melahirkan fungsi sosial hak milik seperti diatur dalam Pasal 6 UUPA. Sedangkan konsep religius diatur dalam Pasal 1 (2) UUPA. Selain itu dipergunakan asas kebangsaan sebagai bahan utama dalam pembentukan UUPA, seperti yang diatur dalam Pasal 2 (1) UUPA, yaitu: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai negara ini meliputi hak mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, juga menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak penguasaan tertinggi dalam hukum adat disebut hak ulayat, yang kemudian dalam UUPA disebut dengan hak menguasai negara. Oleh karena itu diperlukan pemikiran yang mampu mengoeksistensikan model penguasaan dalam hukum adat dengan model penguasan dalam UUPA yang disebut hak menguasai negara sebagai hak penguasan tertinggi. Dalam Penjelasan Umum angka II (2) UUPA disebutkan bahwa Hak menguasai negara dan konsep hak bangsa seperti yang diatur dalam Pasal 1 dan 2 mengandung arti, bahwa tanah-tanah yang ada di daerah-daerah dan pulaupulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat “asli” dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. Merujuk pada interpretasi, sistematisasi tersebut di atas dapat dikostruksi bahwa hak ulayat yang sampai saat ini masih ada tidaklah bersifat eksklusif, 19
59.
A. Sonny Keraf, 1997, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogjakarta, hlm.
53. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 melainkan inklusif sehingga dalam penerapannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dalam arti sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu tidaklah dapat dibenarkan adanya tindakan sewenang-wenang dari masyarakat hukum adat untuk melakukan klaim atas wilayah dengan rujukan hak ulayat. Lebih-lebih dilakukan dengan cara kekerasan dan anarkis. Demikian pula Negara melalui BPN tidak pula sewenang-wenang dalam pemberian hak-hak atas tanah. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa pelaksanaan hak ualyat tidak dapat dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA (Pasal 3a Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Jika terjadi sengketa hak
ulayat,
maka
menjadi
kewajiban
bagi
Pemerintah
Daerah
untuk
menyelesaikannya. III. PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN TANAH ADAT (ULAYAT) Penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat) baik pada konflik pemekaran desa, konflik tapal batas, reclaiming, dan ekspansi kekuasaan adat sampai saat ini memang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) sesuai Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999. Di dalamnya secara empiric termasuk unsur dari babinsa (TNI), polmas (Kepolisian). Selain itu dilakukan oleh lembaga adat yang dikenal Majelias Desa Pakraman (MDP) yang ada di kabupaten/kota atau provinsi secara berjenjang. Sementara dengan menggunakan konstruksi ketentuan pasal 5 Ayat (1) penyelesaian hak ulayat diamanatkan mengikutsertakan pakar dari Perguruan Tinggi, LSM, masyarakat hukum adat sendiri, dan instansi yang mengelola sumber daya alam. Kondisi ini sampai saat ini belum maksimal. Mencermati model penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat) termasuk
tapal
batas
oleh
Pemerintah
Kabupaten/Kota,
yang
biasanya
menginginkan “win-win solution”, namun tidak ada kemampuan merumuskan konsep yang dapat dijadikan acuan dalam menyeimbangkan hak-hak dari salah satu pihak yang sudah terilanggar, berimplikasi adanya pembiaran pelanggaran
I Made Suwitra. Konflik… 54 dan dominasi oleh pihak-pihak yang tidak punya moral etik melakukan tindakan tanpa prosedur yang semestinya dalam penyelesaian konflik. Sikap
yang
ambivalen
Pemerintah
Daerah/Kota
ini
justru
akan
memperparah konflik. Bahkan tidak menutup kemungkinan berimplikasi pada munculnya konflik horisontal, seperti digugatnya Bupati Tabanan ke Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) karena telah mengeluarkan Surat Keputusan tapal. Ini juga menyangkut struktur hukum. Sampai saat ini belum ada konflik tapal batas yang dapat diselesaikan, demikian pula tentang reclaiming tanah adat (ulayat) sepertinya dibiarkan berlarut untuk diselesaikan sendiri, sedangkan penanganannya sudah dilakukan di pemerintah kabupaten/kota. Hasil akhir yang ingin dicapai oleh pemerintah kabupaten/kota
adalah
tercapainya
kesepakatan
damai,
walaupun
tidak
menyentuh materi kasusnya, seperti pada kasus Sulang, Budaga-Kemoning, Kebonkuri-Buana Ayar. Kondisi ini tidak bedanya seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan muncul kembali dalam skala yang lebih besar. Pola penyelesaian konflik di atas, mencerminkan sikap pemerintah kabupaten/kota atau yang terlibat dalam penyelesaian konflik tampak ingin selalu menjaga hubungan baik dengan rakyatnya, tidak mau mempertaruhkan netralitasnya apalagi mempertaruhkan konsep kebenaran hukum walaupun memposisikan sebagai mediator. Penyelesaian konflik yang dilakukan tanpa disertai dan didahului dengan melakukan inventarisasi dan klasifikasi masalah untuk menentukan mana yang merupakan masalah hukum dan mana yang merupakan masalah non hukum dalam
menjamin
adanya
objektivitas
dan
menentukan
rujukan
bahan
hukumnmya secara jelas, maka dirasa sulit akan dapat memberikan pedoman dan penilaian terhadap tindakan yang selama ini dilakukan para pihak dalam menentukan suatu tindakan yang sesuai atau tidak dengan hukum. Menemukan apakah perbuatan para pihak sesuai atau tidak dengan hukum menjadi penting dalam upaya melihat posisi masing-masing pihak yang selanjutnya diadakan format kesepakatan dengan tujuan dapat mengembalikan hak-hak yang dilanggar oleh salah satu pihak. Inilah yang pada awalnya disebut memulihkan keseimbangan. Jika konflik ini tidak dapat diselesaikan secara
55. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57 tuntas, maka desa pakraman (adat) yang selama ini selalu disanjung sebagai benteng kebudayaan Bali dapat hancur oleh diirinya sendiri. Khusus
dalam
penyelesaian
konflik
tanah
ulayat
Pemerintah
Kabupaten/Kota dan instansi terkait belum melakukan amanat ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, sehingga penguasaan terhadap tanah ulayat sampai saat ini masih gamang. Adapun amanat Pasal ini menyebutkan: “Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dinyatakan
dalam
peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah” IV. PENUTUP Mengacu latar belakang terjadinya konflik, seperti aspek substansi hukum yang masih kabur, sehingga tidak dipahami secara baik dan benar yang melahirkan multi tafsir, kultur hukum yang dipaksakan dalam penguasaan tanah adat (ulayat) bahkan ada tindakan ekspansi wilayah adat, aspek struktur hukum yang tidak cermat dalam identifikasi dan klasikasi materi kasus, juga disertai ada muatan ekonomi dan politik yang bersifat laten, maka penyelesaian konflik direkomendasikan untuk mempertimbangkan aspek atau faktor sistem hukum. Selain itu pemberian garis hukum yang pasti untuk mendudukkan konflik secara tepat juga tidak boleh dinafikan agar selalu ada koeksistensi antara hukum adat dengan hukum negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga semua pihak sebagai warga negara memperoleh manfaat yang sama. Akhirnya diperlukan pejabat pemutus yang mampu mempertaruhkan keberanian, kebenaran, ketulusan, dan objektivitas. Selain itu peran pakar menjadi sangat penting. Untuk meminimalisasi konflik penguasaan tanah ulayat, Pemerintah Kabupaten/Kota dan instansi terkait dianggap perlu melakukan amanat ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999.
I Made Suwitra. Konflik… 56 DAFTAR PUSTAKA Achmad Sodiki, 2012, “Kebijakan pertanahan dalam penataan Hak Guna Usaha untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, Makalah, disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Warmadewa Denpasar tanggal 3 Maret 2012. Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Pendekatan Kebudayaan terhadap Hukum, Cetakan Pertama, PT. Ofset Bali Post. Denpasar. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Friedman, Lawrence M. “Legal Culture and Social Development”.dalam Law and the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly Ieds). Kansas City New York: The Bobbs-Merrill Company, INC. 10001017 Harsono, Boedi, 2003. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Jakarta: Djambatan. Herman Soesang Obeng, 1975. “Pertumbuhan hak milik individuil menurut hukum adat dan menurut UUPA di Jawa Timur”. Majalah Hukum. II (3). Lili Rasjidi. H, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan ke delapan, Bandung: Citra Aditya Bakti. Munir Fuady, 2007. Sisiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat, Cetakan ke I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Paulus
Wirutomo, 2011. “Konflik meningkat, tandingan”, Bali Post, Oktober, Denpasar.
dominasi
adat
mendapat
Perlindungan, AP, 1998. Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan VII, Mandar Maju, Bandung. Sarjita, 2005. Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Tugojogjapustaka, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Setiawan, K. Oka, 2003. “Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali Pasca UUPA”. Cetakan I. Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
57. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57
Sonny Keraf. A, 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi , Yogjakarta: Kanisius. Sumardjono, Maria S. W. 2005. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementas, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Surya Prakash Sinha. 1993. Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, ST. Paul, Minn, West Publising CO. Page 233. Suwitra, I Made, 2011. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Cetakan Kedua, Bandung: Logoz Publishing.
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 58 Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau Dari Prinsip Kepastian Hukum I Nyoman Alit Puspadma1
Abstract The extension of Rights for Building in line with Article 35 paragraph (2), which contains norm fuzziness. The word "may" in that article raises different interpretations, so it is contrary to the provisions of Article 5 letters f of Law No. 12. Year 2011. Subject of the Rights for Building are: a. Citizens of Indonesia and b. legal entities. Legal entities that are used in this study are a limited liability company. In this regard, there are three problems examined, namely: How is the extension of Rights for Building arranged? How to interpret the provisions of Article 35 paragraph (2) of Land Law if contain with legal certainty? The theories used to analyze the problems is Legal Certainty theory, the research method is using the statute approach, with the source of legal material in the form of the law of primary legal materials, secondary and tertiary. Conclusion the extension of Rights For Building above state land is stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law in conjunction with Article 26 paragraph (1) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 40 Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 year 1999, the extension of Rights For Building over Land Rights Management stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law Article 26 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 45 Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 1999. Rights For Building on the land of private property is set to be not extended, but according to the provisions of Article 29 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 may be updated. Interpreting the provisions of Article 35 paragraph (2) Land Law should always be associated with Article 2 paragraph (3) and Article 3 of Capital Market Law. In the case of Rights For Building expires, the land is returned to the state when it was coming from State Land or Land Rights Management holder if the land comes from Land Rights Management. Keywords: Extension Rights for Building, Investment, Limited Liability Company, Legal Certainty Abstrak Perpanjangan HGB oleh UUPA diatur dalam Pasal 35 ayat (2), yang mengandung kekaburan norma. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga bertentangan dengan Pasal 5 hurup f UU No. 12 Tahun 2011. Subjek HGB: a. WNI; b. badan hukum. Badan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah PT. Dalam kaitan itu ada dua masalah yang diteliti, yakni: Bagaimanakah perpanjangan HGB itu diatur? 1 Dosen Tetap Kontrak Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali.
59. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 Bagaimanakah memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA bila dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum? Penelitian ini menggunakan teori Kepastian Hukum, metode penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Kesimpula: perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, perpanjangan HGB di atas HPL diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA Pasal 26 ayat (2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999. HGB di atas tanah hak milik diatur untuk tidak diperpanjang, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP 40 taun 1996 dapat diperbaharui. Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA harus selalu dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (3) UUPA dan Pasal 3 UUPM. Dalam hal HGB berakhir, maka tanahnya kembali kepada Negara apabila berasal dari TN atau pemegang HPL apabila tanahnya berasal dari HPL. Kata kunci:
Perpanjangan HGB, Kepastian Hukum.
Investasi,
Perseroan
Terbatas,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (LN. 1960 – 104, TLN. 2043), untuk selanjutnya disebut UUPA, diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA mengatur macam-macam hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, sedangkan mengenai perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) sebagai berikut:
atas
permintaan pemegang hak dan dengan melihat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka
waktu
tersebut
dalam
ayat
(1)
dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA ini mempunyai arti yang tidak jelas, karena kata “dapat” tidak memiliki arti final. Kata “dapat” dalam norma tersebut baru memiliki arti final apabila diikuti dengan kata lain, seperti kata “ditolak” atau “dikabulkan”. Dengan diikuti oleh kata-kata tersebut, maka kata “dapat” akan menjadi “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”. Dengan demikian kata “dapat” dalam norma tersebut memiliki makna ganda, sehingga menjadi norma kabur/tidak jelas. Norma yang menimbulkan lebih dari satu penafsiran menjadikan norma tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf f UU No. 12 tahun 2011
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 60 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN. 2012 – 82, TLN. 5234), selanjutnya disebut UU 12 tahun 2011. Ketentuan Pasal 5 huruf f tersebut memerintahkan agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan yang baik, salah satunya adalah “kejelasan rumusan”. Lebih lanjut dalam penjelasan huruf f ditegaskan agar pembuatan peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Selain itu dengan adanya kekaburan norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketika dalam penerapannya ternyata mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi syarat. Mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi syarat maksudnya adalah, dalam penerapannya ternyata HGB yang masih memenuhi syarat tidak dikabulkan perpanjangannya, di sisi lain HGB yang tidak memenuhi syarat dikabulkan perpanjangannya. Hal ini terjadi karena dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA mengandung norma kabur, yaitu adanya kata “dapat” dalam norma tersebut. Kata dapat tersebut memberi peluang kepada yang berwenang (pejabat pemerintah) untuk memberi keputusan mengabulkan atau menolak sesuai
dengan
keperluan
pejabat
pemerintah
itu
sendiri
tanpa
mempertimbangkan keperluan yang sebenarnya harus didahulukan, yaitu keperluan untuk menyejahterakan rakyat. Mengenai subjek hak dari HGB diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA, yaitu: a. WNI; dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian maka yang dapat memiliki HGB atas tanah hanyalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sehingga apabila ada subjek hak selain dua yang disebutkan tersebut memiliki HGB atas tanah, maka hal itu menjadi bertentangan dengan UUPA. Pembentukan UUPA tersebut berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Selain menjadi dasar dalam pengaturan tentang keagrariaan khususnya hukum tanah melalui UUPA tersebut, Pasal 33 UUD 1945 juga menjadi dasar dalam pengaturan tentang penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.
61. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 Penanaman Modal diatur dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (LN. 2007 – 67, TLN. 4724), selanjutnya disebut UUPM. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUPM, antara lain dinyatakan bahwa penanaman modal terselenggara berdasarkan asas kepastian hukum, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Sedangkan ayat (2) menegaskan antara lain, bahwa penanaman modal bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan,
mendorong
pengembangan
ekonomi
kerakyatan,
dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, maka penanaman modal yang dilakukan harus mempunyai asas dan tujuan seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UUPM tersebut, dan bagi penanaman modal yang sudah berjalan, apabila telah memenuhi ketentuan tersebut, patut dipertahankan eksistensinya. Penanaman modal atau yang sering disebut dengan istilah investasi menurut bentuknya ada dua, pertama investasi tidak langsung dan kedua investasi langsung. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, seperti saham dan obligasi, sedangkan investasi langsung (direct investment) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisisi perusahaan.2 Dalam investasi tidak langsung, tujuan investor bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, dalam jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek. Berbeda dengan investasi tidak langsung, dalam investasi langsung, investor harus hadir secara fisik dalam menjalankan usahanya, tepatnya investor harus mendirikan perusahaan untuk menjalankan usaha-usaha nvestasinya.3
2
Panji Anoraga, 1994, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang, hlm: 46. 3
70-71.
Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi, CV. Nuansa Aulia, Cetakan I, Bandung, hlm.
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 62 Investasi langsung (Direct Investment) yang mensyaratkan investor mendirikan perusahaan, mengakibatkan investor membutuhkan tanah sebagai tempat berdirinya perusuhaan tersebut. Selain itu setelah perusahaan berdiri, akan diperlukan tenaga kerja untuk menjalankan kegiatan usaha-usaha dari perusahaan tersebut. Dengan demikian investasi langsung (Direct Investment) ini memberikan
keuntungan
bagi
rakyat karena dapat membuka lapangan
pekerjaan, oleh karena itu juga memberikan keuntungan bagi Negara (Pemerintah), karena tidak perlu lagi memikirkan lapangan kerja bagi sebagian rakyatnya. Setelah usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam investasi langsung tersebut berjalan, para pekerjanya pun mendapatkan upah (income) yang dapat digunakan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang dan pangan, yang dapat dibeli dari para pedagang, selain itu Negara juga dapat menerima pemasukan dari pajak yang dibayar oleh investor. Dengan demikian investasi langsung dapat menimbulkan efek berganda
(multiplier effect),
yang
menyebabkan
sektor
riil
bergerak
dan
dapat
menimbulkan kesejahteraa rakyat, sehingga dengan adanya investasi langsung semua
pihak,
baik
investor,
rakyat,
maupun
Negara
dapat
menerima
manfaatnya. Penanaman modal (investasi) tidak saja dilakukan melalui badan usaha perseorangan (seperti: usaha dagang/UD, toko, warung, dan sebagainya), atau badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum (seperti: persekutuan firma/Fa, perseroan komanditer/CV), akan tetapi juga dilakukan melalui badan usaha yang berbentuk badan hukum (seperti: perseroan terbatas/PT, koperasi, yayasan, perusahaan Negara/badan usaha milik Negara/BUMN, perusahaan daerah/badan usaha milik daerah/BUMD).4 Dari bentuk-bentuk badan usaha tersebut, yang berhubungan dengan penelitian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan lebih khusus lagi adalah yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Peneliti menggunakan PT dalam penelitan ini karena dari sekian banyak badan usaha yang berbentuk badan hukum, PT yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dan karena PT merupakan badan hukum, maka PT adalah merupakan subjek hukum. PT yang dimaksud adalah PT yang diatur dalam UU 4 R. Djatmiko D, 1996, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa, bandung, hlm: 38.
63. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007 – 106, TLN. 4756). Sehingga dalam penelitian ini subjek hak dari HGB yang digunakan hanyalah PT yang berkedudukan di Indonesia, karena PT adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, sedangkan WNI sebagai subjek HGB bukanlah objek dari penelitian ini. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini ada dua, yaitu: Bagaimanakah perpanjangan HGB itu diatur? Bagaimanakah memaknai ketentua Pasal 35 ayat (2) UUPA bila dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum? II.
TINJAUAN PUSTAKA Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.5 Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu6. Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi: 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku surut; 4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.7
5
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hlm. 158. 6
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 145. Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, 2010, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 95. 7
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 64 HGB seperti yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) UUPA, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Dengan anak kalimat “mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan”, berarti bangunan-bangunan yang
didirikan
di
atas
tanah
tersebut,
adalah
kepunyaan
dari
yang
mendirikannya. Dengan anak kalimat “atas tanah yang bukan miliknya sendiri”, berarti tanah tempatnya mendirikan bangunan-bangunan tersebut adalah milik pihak lain. Itu berarti pemilik bangunan bukanlah pemilik tanah, demikian juga pemilik tanah bukanlah pemilik bangunan. Sedangkan anak kalimat terakhir “dengan jangka waktu 30 tahun”, adalah merupakan batasan waktu yang diperoleh bagi si pemilik bangunan-bangunan untuk memanfaatkan bangunanbangunan yang didirikannya di atas tanah yang bukan miliknya tersebut. Jangka
waktu
tersebut
dapat
diperpanjang,
dengan
syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. Adapun syarat-syarat yang dimaksudkan, yaitu: atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat dialihkan, artinya HGB dapat dijual, dihibahkan, maupun diwariskan. Hal itu tercermin dalam ketentuan Pasal 38 UUPA: (1) HGB termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19; (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya HGB serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 UUPA menentukan: HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Terdapat perbedaan pengertian rumusan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA dengan Pasal 38 dan Pasal 39 UUPA tersebut. Kalau Pasal 35 menentukan hak mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, artinya yang mendirikan bangunan adalah merupakan pemilik bangunan akan tetapi tanahnya bukan miliknya. Sedangkan Pasal 38 dan 39 UUPA menentukan, bahwa HGB dapat dialihkan dan dapat dipakai jaminan, artinya HGB merupakan hak kebendaan.
65. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 dan 39 UUPA dan dengan mengabaikan seperlunya ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut dapatlah dipastikan, bahwa HGB merupaka hak kebendaan yang zakelikerecht, karena ciri-ciri dari HGB sama dengan ciri-ciri hak kebendaan, yaitu dapat dialihkan dan dijadikan jaminan oleh pemegang haknya.
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Pada penelitian ini terutama yang berkaitan dengan terdapatnya norma kabur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA. Dalam kaitan itu, penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pedekatan konsep (conceptual approach), yaitu pendekatan terhadap konsepkonsep hak atas tanah dan investasi, dan pendekatan analisis (analytic
approach), yaitu pendekatan dengan cara menganalisis bahan-bahan hukum yang telah didapat. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan tentang HGB (UUPA, PP 40 tahun 1996 dan PMNA/KBPN 9 tahun 1999) dan investasi (UUPM), bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka yang berisikan pengertian tentang perpanjangan HGB dan investasi yang mutakhir, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa dan kamus hukum. Analisis dilakukan secara interpretasi
hukum dan deskriptif
analitis. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan perpanjangan HGB Pemberian HGB oleh UUPA tidak diatur dengan kata “pemberian”, melainkan diatur dengan kata “terjadi”. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 37 UUPA, yaitu: HGB terjadi, a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan Pemerintah; b) mengenai tanah hak milik karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 66 dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Sedangkan perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. Menyimak ketentuan Pasal 37 UUPA, maka HGB hanya dapat timbul dari tanah Negara (TN) dan tanah hak milik. Dalam hal ada HGB yang timbul dari tanah lain selain TN dan tanah hak milik, maka hal itu bertentangan dengan UUPA. PP 40 tahun 1996 mengatur pemberian HGB dalam Bab III tentang Pemberian HGB. Pasal 21 menentukan: Tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah: a. TN; b. tanah hak pengelolaan (HPL); c. tanah hak milik. Pasal 22 menentukan: 1) HGB atas TN diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk; 2) HGB atas HPL diberikan dengan keputusan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL; 3) ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohoan dan pemberian HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut dengan Keppres. Mengenai perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 25 ayat (1) PP 40 tahun 1996, sebagai berikut: HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Membaca ketentuan Pasal 21 PP 40 tahun 1996, ternyata ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA. Pasal 37 UUPA menentukan HGB hanya dapat timbul dari TN dan hak milik, sedangkan Pasal 21 PP 40 tahun 1996 menentukan HGB dapat timbul dari TN, HPL, dan hak milik. Perlu dipertanyakan, dari mana PP 40 tahun 1996 ini mendapatkan HPL, karena UUPA yang menjadi sumber PP 40 tahun 1996 ini tidak mengenal HPL. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) PP 40 tahun 1996, tata cara dan syarat permohonan dan pemberian HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut dengan Keppres. Penulis tidak menemukan Keppres yang dimaksud, yang penulis temukan hanya PMNA/KBPN 9 tahun 1999. Demi kepastian hukum Keppres yang termaksud harus diterbitkan. PMNA/KBPN 9 tahun 1999 mengatur tentang tata cara pemberian HGB dalam Pasal 33 ayat (1) sebagai berikut: permohonan HGB diajukan secara tertulis. Pasal 35 menentukan sebagai berikut: Permohonan HGB diajukan
67. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) setempat. Mengenai tata cara perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 40, sebagai berikut: HGB dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya. Mengenai subjek HGB diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA, sebagai berikut: yang dapat mempunyai HGB ialah: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu dalam PP 40 tahun 1996 ditentukan subjek HGB pada Pasal 19, yaitu: yang dapat menjadi pemegang HGB adalah: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Demikian pula PMNA/KBPN 9 tahun 1999 menentukan subjek HGB dalam Pasal 32, yaitu: (1) HGB dapat diberikan kepada: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dari ketiga pengaturan tentang subjek HGB tersebut tidak terdapat perbedaan, baik dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA, maupun Pasal 19 PP 40 tahun 1996 serta Pasal 32 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sehingga HGB hanya boleh dimiliki oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Membaca ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat disimak hal-hal sebagai berikut: ternyata permohonan HGB diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kakantah setempat. Setelah jangka waktu HGB berakhir, ternyata dapat diperpanjang dan diperbaharui lagi, dan HGB hanya dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4.2 Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA Kata-kata “kesejahteraan rakyat” terdapat baik dalam UUPA maupun UUPM. UUPA mengaitkan kesejahteraan rakyat dengan tujuan penguasaan tanah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu: Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan UUPM
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan… 68 mengaitkan
kesejahteraan
rakyat
(masyarakat)
dengan
tujuan
ivestasi,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu: Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain (h) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, baik penguasaan tanah menurut UUPA maupun investasi menurut UUPM sama-sama bertujuan untuk “kesejahteraan rakyat”. Kesejahteraan rakyat bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA, perlu kiranya dimaknai hal-hal sebagai berikut: a. Sepanjang mengenai anak kalimat “Atas permintaan pemegang hak...”. dalam hal ini pemegang hak diwajibkan untuk mengajukan permintaan perpanjangan HGB atas tanah. Ketentuan ini merupakan ketentuan mutlak, karena HGB merupakan pemberian, jadi sebagaimana layaknya suatu pemberian biasanya didahului dengan suatu permintaan/permohonan. b. Sepanjang mengenai anak kalimat “...dan dengan mengingat keperluan...”. Norma ini tidak dengan tegas menentukan tentang keperluan yang dimaksud. Keperluan siapakah yang dimaksudkan dalam norma tersebut. Apakah keperluan pemegang hak, keperluan negara atau keperluan pihak lain? Kalau yang dimaksud adalah keperluan pemegang hak, maka pemegang hak pasti memerlukannya,
sehingga
dia
mengajukan
permohonan
perpanjangan
haknya, kalau pemegang hak tidak memerlukan, tidak mungkin pemegang hak mengajukan permohonan perpanjangannya. Sebaliknya kalau yang dimaksud adalah keperluan negara, perlu diperjelas lagi, keperluan yang bagaimana yang dimaksud dengan itu. Akan lebih bermasalah lagi apabila yang dimaksud adalah keperluan pihak ketiga, karena kemungkinan pihak ketiga tersebut adalah pesaing bisnis dari pemegang hak, sehingga pihak ketiga tersebut pasti berkeberatan perpanjangan haknya dikabulkan. Menurut peneliti, HGB merupakan hak atas tanah, maka keperluan yang dimaksud dalam hal ini adalah keperluan tentang penguasaan atas tanah sesuai yang diatur Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Jadi keperluan dalam norma ini adalah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga konsekwensinya demi kepastian hukum selama tanah yang diberikan dengan HGB kepada suatu subjek hak telah memenuhi tujuan penguasaan tanah, selama itu juga keberadaan HGB tersebut harus tetap dipertahankan.
69. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 c. Sepanjang
mengenai
anak
kalimat
“...serta
keadaan
bangunan-
bangunannya...”. Keadaan bangunan-bangunan yang bagaimanakah yang dimaksud dalam norma ini? Kalau yang dimaksud adalah bangunannya harus baik. Apakah bangunan yang dibangun 30 tahun yang lalu, masih dapat dikatakan baik saat ini? Selain itu dengan mengingat perkembangan estetika mengenai bangunan yang bersifat dinamis dan selalu mengikuti selera masyarakat, yang setiap saat berubah dan cenderung berbeda, apakah bangunan-bangunan yang telah didirikan 30 tahun yang lalu masih memenuhi estetika kekinian? Maksud dari anak kalimat ini adalah, bahwa bangunan tersebut harus memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penggunanya. Standar tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 16, 17, dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 32 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN 2002 – 134, TLN 4247) selanjutnya disebut UU Bagunan Gedung. d. Sepanjang mengenai anak kalimat “...jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.” Seperti yang telah diuraikan di atas, kata “dapat” ini merupakan kata yang mengandung ketidakjelasan. Kata “dapat” bisa ditafsirkan “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”. Karena dapat ditafsirkan berbeda, kata “dapat” tersebut tidak memberikan jaminan kepastian bagi pemegang hak untuk memperoleh perpanjangan hak atas tanah tersebut. Kata “dapat” dalam hal ini dapat ditafsirkan dengan bebas oleh yang berwenang (pejabat pemerintah), dalam satu hal tertentu mungkin saja HGB yang telah memenuhi syarat untuk diperpanjang ditolak permohonan perpanjangannya oleh pejabat yang berwenang karena pejabat yang berwenang tersebut mempunyai keinginan lain, atau sebaliknya mungkin saja HGB yang tidak memenuhi syarat untuk diperpanjang dikabulkan permohonan perpanjangannya karena adanya pertimbangan
lain
pertimbangan
diluar
Akibatnya
oleh
pejabat
pertimbangan
menimbulkan
yang
berwenang,
hukum
ketidakpastian
dan
hukum,
yang
merupakan
kesejahteraan karena
rakyat.
permohonan
perpanjangan hak tersebut belum tentu dikabulkan, juga menjadi tidak adil
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan…70 bagi pemegang hak, karena apabila ditolak, maka pemegang hak tidak dapat melanjutnya investasinya, sehingga tidak tercipta investasi yang berkelanjutan sesuai yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (1) g UUPM. Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA tersebut dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, maka penafsirannya harus selalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA, jo ketentuan Pasal 3 ayat (1) hurup a, f, g dan ayat (2) hurup b dan h UUPM. Ketentuan dari pasal-pasal tersebut bermakna, bahwa HGB diberikan untuk investasi yang berkepastian
hukum,
sehingga
menimbulkan
berkeadilan,
dan
investasi
berkelanjutan, yang pada gilirannya dapat tercapainya kesejahteraan rakyat. Ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA yang ada sekarang ini tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum, karena ada kata-kata yang tidak jelas maknanya dalam norma tersebut, yaitu: anak kalimat “...dan dengan mengingat keperluan...”, anak kalimat “...serta keadaan bangunan-bangunannya...” dan kata “dapat” dalam ketentuan tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, kata “dapat” tersebut bermakna ganda, yaitu “dapat ditolak” atau “dapat dikabulkan”, oleh karena itu kata “dapat” akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang, karena pemerintah dapat menafsirkan kata “dapat” itu sesuai dengan keperluannya dalam
hal
mengabulkan
atau
menolak
perpanjangan
HGB. Agar
tidak
menimbulkan tindakan sewenang-wenang baik oleh pemerintah maupun subjek hak, maka ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA tersebut harus disempurnakan.
III. PENUTUP 3.1. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa simpulan sebagai jawaban atas dua permasalahan penelitian tersebut di atas, sebagai berikut: 1. Ternyata perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sedangkan perpanjangan HGB di atas tanah HPL diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL (Pasal 26 ayat
71. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72 (2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999). HGB di atas tanah Hak Milik tidak diatur untuk perpanjangan, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP 40 tahun 1996 dapat diperbaharui berdasarkan persetujuan antara pemegang hak Milik dan pemegang HGB dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT, selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. 2. Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA harus selalu dikaitkan dengan tujuan penguasaan tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ketentuan Pasal 3 UUPM mengenai asas dan tujuan penanaman modal, antara lain menciptakan lapangan kerja, meningkatan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan investasi yang berkelanjutan. 3.2. Saran Berdasarkan kesimpulan seperti tersebut di atas, dapat diajukan saransaran sebagai berikut: 1. Kepada KBPN: HGB bagi perseroan terbatas dalam investasi langsung, apabila telah terpenuhi tujuan pemberian hak atas tanah dan tujuan investasi langsung berupa memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, maka hak atas tanah termasuk perpanjangannya harus diberikan, agar terpenuhi asas investasi, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan investasi berkelanjutan. 2. Kepada pembuat undang-undang (DPR bersama Presiden), dalam rangka mewujudkan HGB yang memberikan kepastian hukum, keadilan, dan berkelanjutan bagi PT dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka rumusan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA agar disempurnakan menjadi: -Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan penguasaan tanah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta keadaan bangunan-bangunnya yang memenuhi syarat (layak) dipergunakan, jangka waktu Hak Guna Bangunan dalam ayat (1) diperpanjang dengan waktu paling lama dua puluh tahun.
I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan…72 DAFTAR PUSTAKA Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Malang: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2010. Panji
Anoraga, Perusahaan Multinasional Semarang: Pustaka Jaya, 1994.
dan Penanaman Modal Asing,
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. R. Djatmiko D., Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Bandung: Angkasa, 1996. Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, cetakan I, Juli 2007. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960 – 104, TLN. 2043). Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN. 2002 – 134, TLN. 4247). Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (LN. 2007 – 67, TLN. 4724). Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007 – 106, TLN. 4756). Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN. 2011 – 82, TLN. 5234). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai (LN. 1996 – 58, TLN. 3643). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
73. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran1 I Nyoman Putu Budiartha2
Abstract The arrangement of legal certainty of land use in investment, is done by issuing HGU, HGB or HP with a limited period of time and may be extended or renewed. However, legal uncertainty may occur when the concession period of HGU, HGB, or HP expires but the application for extension or renewal is not accepted rejected) so that the land, by- the laws, is controlled by the state. This brings about juridical impact that the productive ongoing company should be relocated or even closed so that it is clearly incompatible with the principle of sustainable investment and welfare of the people. Land use with HGU, HGB, or HP in Eco- Investment for the prosperity of the people should be based on integrated land use management with spatial planning (RTRW) of the regency / city government by determining the investment activity zone within the framework of a national land policy. Keywords: Utilization and Land Use, Eco- Investment and Prosperity Abstrak Kepastian hukum penggunaan tanah dalam penanaman modal, pengaturannya dilakukan dengan pemberian HGU, HGB atau HP dengan jangka waktu terbatas dan dapat diperpanjang atau diperbaharui. Namun demikian ketidakpastian hukum dapat terjadi bilamana jangka waktu HGU, HGB atau HP berakhir tetapi permohonan perpanjangan atau pembaharuan tidak diterima (ditolak) sehingga demi hukum tanah tersebut dikuasai negara. Hal ini berimplikasi yuridis, bahwa perusahaan yang sedang berjalan produktif harus direlokasi atau bahkan harus tutup sehingga jelas tidak sesuai dengan prinsip investasi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat. Pemanfaatan tanah dengan HGU, HGB atau HP yang digunakan investor dalam penanaman modal yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran rakyat harus berdasarkan penatagunaan tanah yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota dengan menentukan zone kegiatan investasi dalam kerangka kebijakan pertanahan nasional. Kata Kunci:
Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah, Investasi Berwawasan Lingkungan dan Kemakmuran
1
Makalah Seminar Regional “Perencanaan Wilayah Kota yang Berwawasan Lingkungan dan berbasis Kearifan Hukum Lokal” diselenggarakan Program Pascasarjana Universitas Warmadewa di Denpasar 10 Juli 2013 2
Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar.
[email protected]
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…74 I.
PENDAHULUAN Negara sebagai organisasi kekuasaan pasti memiliki tujuan. Begitu juga
bagi Negara Indonesia, tujuannya tertuang dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state). Sebagai negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, setiap kegiatan, di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai, juga harus menjadikan hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan termasuk dalam kegiatan investasi. Hukum dalam dunia investasi (bisnis) harus mampu menjamin certainty (kepastian), predictability (bahwa setiap kasus yang sama harus diputus sama),
calculability (bahwa setiap ketentuan yang menyangkut finansial harus dapat diperhitungkan lebih dahulu). Ini semua berhubung setiap keputusan di bidang investasi harus dapat menjangkau kemungkinan apa yang terjadi untuk masa depan.
3
Akan menjadi tidak menarik bagi investor dalam menanamkan modal di Indonesia baik penanam modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) apabila hambatan karena ketiga hal tersebut di atas kurang mendapat jaminan nyata bagi pemerintah. Fasilitas kemudahan-kemudahan dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah berkenaan dengan masa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dengan batasan waktu tertentu yang masing-masing dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku, apabila ketiga faktor tersebut di atas utamanya kepastian hukum tidak dijamin tegaknya berpotensi menghambat daya tarik investasi. Sebaliknya
kewajiban
investor
untuk
bina
lingkungan,
misalnya
mengakomodasi tenaga kerja masyarakat lokal, adalah bagian dari upaya integrasi
kepentingan
investor
dengan
kepentingan
masyarakat.
Hukum
hendaknya dapat memelihara berbagai kepentingan itu hingga menjadi serasi.
3
Achmad Sodiki, 2012, “Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, Makalah Seminar Nasional “Membangun Sumber Daya Manusia yang Berintgrasi Dalam Bidang Hukum Melalui Pendidikan Pascasarjana”, oleh FH. Universitas Warmadewa di Denpasar, 3 Maret 2012, hal. 12.
75. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 Investor sebagai pemodal (pemilik capital), seharusnya tidak mengejar keuntungan semata dengan mengorbankan rakyat sebagaimana kapitalisme kuno, tetapi harus mampu menjadi kapitalisme yang menebarkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebagai salah satu unsur essential pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara yang rakyatnya
berhasrat
melaksanakan
demokrasi
yang
berkeadilan
sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia dan
perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiana, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Namun kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan. Beberapa sengketa tanah bermunculan di perkataan bukan saja dipicu arus urbanisasi, tapi juga dengan adanya proyek-proyek infrastruktur berskala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin di perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan
4
Imam Sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hal. 1.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…76 pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi, seperti yang terjadi di Papua (Freeport) dan Riau (Caltex). Di Kawasan hutan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Perusahaan Perkebunan Besar dan masyarakat adat. Terlepas dari kontroversi pemanfaatan dan penggunaan tanah diantara kepentingan investor di satu sisi dan kepentingan masyarakat pada umumnya, maka peran pemerintah dan regulasi untuk mengatur peruntukan pemanfaatan dan penggunaan tanah bagi investasi agar di satu pihak memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor dan di pihak lain serasi dengan lingkungan dan memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Oleh karena itu perlu
cermati
untuk
dilakukan
pengkajian
mengenai
kepastian
hukum
penggunaan tanah dalam penanaman modal dan pemanfaatan tanah dalam penanaman modal yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran. II. KEPASTIAN HUKUM PENGGUNAAN TANAH DALAM INVESTASI Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu, pertama , adanya
aturan
yang
bersifat
umum
membuat
individu
mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. 5 Dari pengertian kepastian hukum di atas terdapat tiga makna kepastian hukum 1) pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah
pemerintahan
tertentu
yang
abstrak;
2)
pasti
mengenai
kedudukan hukum dari subyek dan obyek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan pemerintahan; 3) mencegah
timbulnya tindakan/perbuatan
sewenang-wenang dari siapapun termasuk dari pemerintah. 6 Kemudahan pelayanan dan atau perizinan hak atas tanah untuk investasi diberikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158. 5
6
I Nyoman Putu Budiartha, 2012, “Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Azasi Manusia”, Malang, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, hal. 119.
77. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 kabupaten/kota setelah memenuhi persyaratan yuridis dan fisik yang diawali dengan pemberian izin lokasi (PMN/BKPN Nomor 2 Tahun 1999 jo Kepres Nomor 34 Tahun 2003) jo Kepres Nomor 38 Than 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 6 antara lain mengenai Pelayanan Pertanahan dan Penanaman Modal). 1. Jenis Hak Atas Tanah yang Digunakan dalam Investasi Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) ditentukan bahwa investor diberikan hak untuk
menggunakan
hak
atas
tanah
yang
terdapat
di
wilayah
Indonesia. Hak atas tanah yang dapat digunakan investor untuk kegiatan investasinya adalah: 1) Hak Guna Usaha (HGU), 2) Hak Guna Bangunan (HGB), dan 3) Hak Pakai (HP). Jangka waktu hak atas tanah tersebut menurut UUPM; HGU 90 tahun (60+30 tahun), HGB 80 tahun (50+30 tahun), HP 70 tahun (45+25 tahun). Hal ini bertentangan dengan pengaturan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah (PP Nomor 40 Tahun 1996) 7. Kemudian ketentuan jangka waktu yang diatur dalam UUPM diajukan Judicial Review dan Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya Nomor 33/PUU.X/2011 membatalkan ketentuan Pasal 22 UUPM, karena dipandang bertentangan dengan makna Pasal 33 UUD NRI 1945 sehingga untuk jangka waktu
HGU, HGB dan HP tetap berlaku UUPA
dan PP Nomor 40 Tahun 1996. 1) Hak Guna Usaha (HGU) Dari rumusan Pasal 28 UUPA diketahui bahwa HGU adalah hak yang diberikan oleh negara guna perusahaan pertani an, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, dalam Pasal 30 UUPA terdapat perluasan subyek hukum yang dapat menjadi
7 Salim dan Budi Sutrisno, 2009, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 315.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…78 pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini HGU, selain orang perseorangan WNI Tunggal, Badan Hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga dimungkinkan untuk menjadi pemegang HGU. Untuk menjadi Badan Hukum Investasi harus memenuhi 2 syarat, yaitu: 1) didirikan menurut ketentuan Hukum Indonesia, 2) Berkedudukan di Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap Badan Hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi pemegang HGU dengan tidak mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal dari Badan Hukum tersebut baik PMA maupun PMDN. Selanjutnya dalam hal pemegang HGU tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut HGU tidak dilepaskan atau dialihkan, HGU tersebut hapus karena hak dan tanahnya menjadi tanah negara. 8 Jangka waktu pemberian HGU dan perpanjangannya yang selama ini menjadi polemik, akhirnya tetap menggunakan ketentuan pasal 29 UUPA dan Pasal 9 PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu HGU bisa diberikan selama 35 tahun dan bisa diperpanjang selama 25 tahun. Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 9 PP Nomor 40 Tahun 1996, bahwa pemegang HGU dapat mengajukan permohonan perpanjangan ataupun pembaharuan kembali HGU yang dimilikinya, jika terpenuhi syarat-syarat: a) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan b) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
8
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, 2007, “Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal di Provinsi Bali”, Makalah Seminar Nasional, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di Denpasar, Agustus 2007, hal. 3.
79. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 Dari ketentuan pasal 4, 6, dan 7 PP Nomor 40 Tahun 1996 dapat diketahui bahwa: a) Pemberian HGU hanya dapat diberikan berdasarkan keputusan pemerintah melalui pejabat yang berwenang atas tanah negara yang merupakan tanah yang dikuasai negara dan tidak telah diberikan hak atas tanah lainnya kepada pihak lain. b) Oleh karena pemberian HGU ini termasuk dalam suatu hak yang berada
dalam
lapangan
diwajibkan
terhadap
penentuan
saat
publik,
pemberian
lahirnya
HGU
maka HGU
pendaftaran
ini
juga
tersebut.
yang
merupakan
Tanpa
adanya
pendaftaran tersebut sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun 1994) tidak pernah ada HGU sama sekali. Meskipun untuk itu telah dikeluarkan keputusan pejabat yang berwenang. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum HGU. 2) Hak Guna Bangunan (HGB) HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan paling lama
miliknya dengan jangka waktu
30 tahun dan dapat diperpanjang paling
lama 20
tahun. (Pasal 35 UUPA dan Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun 1996). Dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti pemegang HGB adalah berbeda dari pemegang hak milik atas sebidang tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Dalam kaitannya dengan kepemilikan HGB dari rumusan Pasal 36 UUPA dan pasal 19 PP Nomor 40 Tahun 1996 juga dapat dikatakan bahwa undang-undang memungkinkan dimilikinya HGB oleh Badan Hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia
dan yang berkedudukan di Indonesia. Hal ini
sama dengan ketentuan Badan Hukum dalam memperoleh HGU seperti
di
atas.
Terhadap
persyaratan
Badan
Hukum
untuk
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…80 memperoleh HGB, teori yang berkembang dalam Hukum Perdata Internasional dimungkinkan bahwa, kedudukan suatu Badan Hukum telah berkembang sedemikian rupa sehingga pada taraf tertentu mereka juga dianggap memiliki “ persona standi in yudicio ” pada suatu negara di mana mereka melakukan kegiatan operasionalnya dan tidak harus di mana pusatnya berkedudukan. Dalam
konteks
ini, maka kedua syarat tersebut yakni didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia menjadi keharusan komulatif. Pada dasarnya, tanah yang dapat diberikan HGB adalah tanah negara, Tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan Tanah Hak Milik. 9 Perpanjangan/pembaharuan
HBG sesuai
ketentuan Pasal 26 PP
Nomor 40 Tahun 1996 dapat dilakukan jika memenuhi syarat-syarat: a) Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. b) Syarat pemberian hak tersebut terpenuhi dengan baik oleh pemegang hak. c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. d) Tanah tersebut masih sesuai dengan
Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang bersangkutan. HGB
atas
tanah
Hak
Pengelolaan
(HPL)
juga
dapat
diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan dari pemegang HGB harus memperoleh persetujuan lebih dahulu dari pemegang HPL.10 Sehubungan dengan pemberian HGB di atas Tanah Negara dan HPL merupakan bagian dari penanaman modal y ang disetujui oleh pemerintah, berdasarkan pada ketentuan penanaman modal, baik
PMA
maupun
PMDN
dengan
memperhatikan
izin
lokasi
sebagaimana diatur dalam PMA/BKPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang 9
Sudargo Gautama, Elyda T. Soetiyarto, 1997, Komentar atas Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1996, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 18-19. 10
Ibid, hal. 25.
81. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 Izin Lokasi dalam Kepres Nomor 34 Tahun 2003 jo Kepres Nomor 38 Tahun 2007 dimana pemberian izin lokasi menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
bergantung
letak
dan
luas
tanah
yang
dimohonkan. Supaya ada kepastian hukum, berdasarkan Pasal 23 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 pemberian HGB harus didaftarkan sehingga sebagai tanda bukti hak pada pemegang HGB diberikan sertifikat hak atas tanah. 3) Hak Pakai (HP) Hak
Pakai
adalah
hak
untuk
menggunakan
dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negar a atau tanah hak milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA (pasal 41 ayat (1) UUPA). Pemberian HP dapat dilakukan kepada: a) Warga negara Indonesia b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pemberian HP berdasarkan jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 45 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996). HP dapat diberikan di atas tanah negara, Tanah
Hak
Pengelolaan dan Tanah Hak Milik (sama seperti HGB). Demikian halnya perpanjangan HP juga sama dengan perpanjangan atau pembaharuan HGU dan HGB, cuma dalam hal perpanjangan atau
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…82 pembaharuan HP atas tanah pengelolaan harus diajukan atas usul dari pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Dalam rangka lebih menjamin adanya kepastian hukum HP juga harus didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (3) PP Nomor 40 Tahun 1996 agar mendapatkan sertifikat sebagai bukti hak bagi pemegangnya. 2. Tata Cara Permohonan Hak Atas Tanah Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 menegaskan bahwa sebelum mengajukan permohonan suatu hak atas bidang tanah, pemohon harus menguasai tanahnya yang dimohon dan dibuktikan dengan data yuridis serta data fisik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
mengenai
kewenangan
memberikan
HGU
dapat
ditemukan dalam Pasal 8, 13 dan 14 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dari ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa terhadap: a) Sampai 200 Ha, pemberian HGU dilakukan oleh Kanwil BPN Provinsi; b) Mulai dari 200 Ha ke atas pemberian HGU dilakukan oleh Kepala BPNRI. Adapun syarat-syarat permohonan HGU sesuai PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 adalah: 1) Permohonan HGU diajukan secara tertulis 2) Permohonan HGU memuat: a) Keterangan mengenai pemohon b) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik. c) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanahtanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon. d) Keterangan lain yang dianggap perlu.
83. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 Kemudian untuk HGB yang diberikan di atas tanah negara dan tanah HPL diberikan berdasarkan PMNA/BPN Nomor 3 Tahun 1999. Dari ketentuan Pasal 4, 9 dan 14-nya diketahui pemberian HGB: 1) Sampai dengan 2000 m², pemberian HGB atas tanah negara dilakukan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota. 2) Mulai di atas 2000 m² hingga 150.000 m² pemberian HGB atas tanah negara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. 3) Di atas 150.000 m² pemberian HGB atas tanah negara dilakukan oleh Kepala Kantor BPN RI. 4) Pemberian HGB atas tanah HPL dilakukan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota. Permohonan Hak Pakai (HP) atas
tanah hak milik dan tanah
negara sesuai ketentuan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 diberikan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota, BPN Provinsi, dan BPN RI sesuai
kewenangannya masing-masing (Kepres Nomor 38 Tahun
2007). Tata cara permohonan HGB dan HP dipers yaratkan sama
halnya
dengan permohonan HGU. 3. Pencabutan dan Pelepasan Hak Atas Tanah HGU, HGB dan HP dapat dihentikan atau dibatalkan pada dasarnya disebabkan: 1) Menelantarkan tanah. 2) Merugikan kepentingan umum. 3) Tidak sesuai peruntukan. 4) Melanggar peraturan pertanahan. Sedangkan pelepasan hak terhadap HGU, HGB dan HP dapat terjadi karena: 1) Habis jangka waktunya, atau tidak diperpanjang/diperbaharui. 2) Dialihkan kepada subyek yang tidak berhak. 3) Pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi dan dalam 1 tahun tidak mengalihkan kepada pihak lain.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…84 Menarik untuk dicermati praktek administrasi pertanahan mengenai berakhirnya hak atas tanah yang bersifat terbatas jangka waktunya, seperti HGU, HGB dan HP di atas tanah negara, sebab UUPA dan PP Nomor 40 Tahun 1996 menentukan jika jangka waktu hak atas tanah yang terbatas itu berakhir, maka status tanahnya menjadi tanah negara. Namun, praktek administrasi pertanahan selama ini menunjukkan bahwa kepada bekas pemegang hak atas tanah tetap ada apa yang disebut oleh birokrasi pertanahan sebagai “Hak Prioritas” atau “Hak Keperdataan”. 11 Pendirian semacam ini tampak jelas pada surat Kepala
BPN Nomor 540-1-434-DI
tanggal 22 Februari 2006, yang menyatakan bahwa meskipun HGU sudah berakhir jangka waktunya berstatus sebagai tanah yang langsung dikuasai negara, namun tidak dengan sendirinya menghapuskan asset dari bekas pemgang hak termasuk perbuatan-perbuatan hukum oleh bekas pemegang hak terhadap tanah tersebut. Julius Sambiring memaknai keharusan pelepasan bekas pemegang hak itu sebagai kebijakan pemutusan hubungan hukum bekas pemegang hak atas tanah. 12 Namun, praktek administrasi pertanahan di atas belum sepenuhnya diterima oleh penegak hukum. Oleh karena, jajaran kepolisian dan kejaksaan misalnya, masih memandang bahwa peralihan tanah neg ara bekas HGU sebagai tindakan pidana korupsi, karena dipandang mengambil keuntungan dari pengalihan tanah negara kepada pihak lain. 13 Dengan demikian terdapat perbedaan persepsi terhadap status tanah negara bekas HGU yang berakhir jangka waktunya. Untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang suatu hak atas tanah dalam hal ini, untuk HGU, HGB dan HP bagi kepentingan penanaman modal, setelah memenuhi segala persyaratan dan mekanisme
11
Oloan Sitorus, 2013, “Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan dan Pemilikan serta Penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria” (Makalah, Seminar Nasional Pertanahan oleh BPN di Denpasar), hal. 6. 12
Julius Sambiring, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta, hal. 65.
13
Oloan Sitorus, Op.Cit., hal. 7.
85. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 tatacara sesuai ketentuan tersebut di atas, berdasar pasal 19 UUPA pelaksanaan pendaftaran hak dan juga dalam hal peralihan haknya, kepada yang berhak akan diberikan tanda bukti hak atau yang lazim disebut sertifikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, 14 sebagaimana ketentuan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 III. PEMANFAATAN TANAH DALAM INVESTASI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK KEMAKMURAN Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.15 Penatagunaan tanah merupakan wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang perlu diatur karena tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, baik setelah dikuasai atau dimiliki oleh orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat dan atau badan hukum maupun yang belum diatur dalam hubungan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berbagai bentuk hubungan hukum dengan tanah yang berwujud hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan haknya berdasarkan persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaannya. Tanah merupakan unsur yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam rangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan Undang-Undang
14
Nomor 26
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, PT. Prenada Group, Jakarta, hal. 274-275.
Media
15 Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Kontek UUPAUUPR-UUPLH, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 71.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…86 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Untuk itu dalam rangka pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan penguasaan penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagai mana diatur dalam
peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (PP Nomor 16 Tahun 2004). Penatagunaan tanah merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Bagi kabupaten/kota yang belum menetapkan RTRW, penatagunaan tanah merujuk pada RTRW Provinsi atau yang telah ditetapkan dengan perundang-undangan. Penatagunaan tanah sangat penting dalam menentukan bagi persediaan peruntukan dan penggunaan tanah untuk menjamin adanya kelestarian lingkungan akibat adanya pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan investasi sehingga dalam hal ini diperlukan Peraturan Daerah yang menunjang pasal 15 UUPA, yaitu memelihara tanah
termasuk menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya, adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu. Penatagunaan
tanah
juga
sangat
berkaitan
dengan
pelestarian
lingkungan hidup dimana penataan dilaksanakan pada areal atau lokasi penggunaan tanah dalam hal ini untuk investasi atau kegiatan usaha telah sesuai dengan RTRW, pada areal wilayah ini ditetapkan program dengan berbagai pemberdayaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pemanfaatan tanah sangat aktual dalam rencana tata guna tanah dapat dilengkapi dengan klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian kawasan fungsional yang dikenal yaitu: 1) Subwilayah lindung; 2) Subwilayah penyangga; 3) Subwilayah budidaya pertanian, dan 4) Subwilayah budidaya non pertanian.16 Pada subwilayah budidaya non pertanian pemanfaatan tanah untuk kepentingan investasi (dunia bisnis) dikembangkan sehingga sesuai dengan tata ruang yang berwawasan lingkungan. Dalam Pasal 2 PP Nomor 16 Tahun 2004, penatagunaan tanah pada dasarnya, berdasarkan kepada keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna,
16
Ibid, hal. 81-83.
87. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92
serasi, selaras, seimbang berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Di samping itu, penatagunaan tanah juga mempunyai tujuan antara lain, menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Oleh karena itu pemegang hak atas tanah dalam hal ini bagi investor yaitu HGU, HGB dan HP wajib menggunakan dan memanfaatkan tanah agar sesuai dengan RTRW serta memelihara dan mencegah kerusakan tanah secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan perubahan terhadap sifat fisik atau hayatinya. Hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk melindungi fungsi tanah, misalnya kemampuan tanah terhadap tekanan perubahan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan usaha (investor) agar tetap mampu mendukung perikahidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti pemulihan kembali tanah yang rusak, upaya konservasi tanah
pertanian/perkebunan,
upaya
rehabilitasi
tanah
bekas
galian
pertambangan, reboisasi terhadap tanah dan/atau hutan setelah dilakukan usaha penebangan oleh perusahaan dan sebagainya. Terhadap tanah-tanah yang termasuk di dalam kebijakan penatagunaan tanah sebagaimana disebutkan di atas harus dilaksanakan penyelesaian administrasi pertanahan dan ketika para pemegang hak atas tanah atau kuasanya memenuhi syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan RTRW. Syarat-syarat
tersebut
antara lain: pemindahan hak,
peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan, dan pemisahan hak atas tanah. Syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) di wilayah perdesaan, serta aman, lestari, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkataan. 17 Selain itu pemegang hak atas tanah dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib
pula mengikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
diantaranya,
pedoman
teknis
penggunaan
persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam Analisis
17
Ibid, hal. 89.
tanah,
Mengenai
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…88 Dampak Lingkungan (AMDAL), Persyaratan Usaha Investasi (bisnis) dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
di
kawasan
lindung,
pelaksanaannya tidak boleh mengganggu fungsi alam dan tidak boleh mengubah bentang alam dan ekosistem alami. Selain itu pemanfaatan tanah dalam kawasan lindung dapat juga digunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan IPTEKS selama tidak mengganggu fungsi dari kawasan lindung tersebut. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), penyerahan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota perlu kiranya dicermati politik pertanhan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota secara garis besar, politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun
ekonomi guna
memenuhi interaksi antara individu di daerah. Pengaturan ini meliputi pembentukan zona ekonomi, lokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan pencadangan terhadap tanah.18 Kewenangan
pemerintah kabupaten/kota terhadap tataguna tanah
tersebut dalam rangka perencanaan ke depan agar secara sosial maupun ekonomis dapat bertahan dalam menghadapi ancaman-ancaman yang akan muncul kemudian. Politik pertanahan itu tentu sepenuhnya harus dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar perubahan alokasi sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dapt diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat setempat. Pengaturan ini harus diintegrasikan dengan
sistem lainnya pada
pemerintah kabupaten/kota seperti sistem sosial, sistem perekonomian, sistem pendidikan dan lainnya.
18
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 169.
89. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92
Kewenangan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada pemerintah
kabupaten/kota
mengingat
pemerintah
pusat
tidak
mampu
menjangkau setiap detail permasalahan tersebut.19 Kenyataan ini menunjukkan bahwa politik pertanahan tidak boleh terlepas
dari
penyelenggaraan
pemerintahan
secara
nasional
perwujuduan dari NKRI. Perbedaan secara teknis mengingat
sebagai
perbedaan
karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan, namun tetap mempertahankan semangat hukum tanah nasional. Di samping itu tetap dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervisi terhadap administrasi pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar terciptanya tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib penggunaan, tertib pemeliharaan dan pertimbangan
wawasan
lingkungan
hidup
dapat
dilaksanakan
dengan
semestinya.20 Mencermati pengaturan penanaman modal dalam pasal 3 UUPM bahwa salah satu asas penanaman modal adalah berwawasan lingkungan. Artinya, bahwa penanaman modal diselenggarakan
berdasarkan prinsip berwawasan
lingkungan, dimana segala aktivitas usaha yang dilakukan dengan memanfaatkan hak atas tanah oleh badan usaha/perusahaan harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Sejalan dengan prinsip berwawasan lingkungan, badan usaha yang melakukan
usaha
(investasi)
dalam
bentuk
perseroan
terbatas
yang
menggunakan dan memanfaatkan hak atas tanah HGU, HGB atau HP maka dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada Pasal 74 ayat (1) ditentukan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
19
Ibnu Subiyanto, 2002, “Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat di Era Desentralisasi”, Diskusi Terbatas Kebijakan Pertanahan Dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada Masyarakat, Jakarta, 12 September 2002 disusun dalam Buku Prosiding, Bappenas, Jakarta, hal. 6. 20
Ibid.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…90 Tanggung jawab perusahaan yang sering disebut corporate social
responsibility (CSR),21 berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata-mata hanya berdasarkan faktor keuangan belaka, seperti halnya keuntungan atau deviden, tetapi juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan, baik untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Program CSR merupakan kewajiban investor untuk “bina lingkungan” seperti memperkerjakan tenaga kerja setempat, membantu anak-anak kurang mampu untuk lanjut sekolah melalui program beasiswa, membantu pendanaan program Bedah Rumah bagi warga miskin yang ada di sekitar perusahaan, mendanai pelestarian
lingkungan melalui program bersih dan hijau dan lain
sebagainya, sehingga perusahaan (investor) mampu menjadi kapitalisme yang memberikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini akan sangat sejalan dengan salah satu tujuan penyelenggaraan penanaman modal sebagai mana ditentukan Pasal 3 ayat (2) huruf h UUPM, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka sebaliknya masyarakat akan senantiasa merasa welcome terhadap investor. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan itu akan dapat meningkatkan iklim yang kondusif bagi investasi di Indonesia. IV. PENUTUP 4.1 Simpulan 1. Kepastian hukum penggunaan hak atas tanah dalam penanaman modal pengaturannya dilakukan dengan pemberian HGU, HGB atau HP dengan jangka waktu terbatas kepada orang perseorangan atau badan hukum yang memenuhi persyaratan melalui keputusan pemberian hak oleh pejabat pemerintahan yang berwenang dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan guna mendapatkan kepastian hak berupa sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat bagi pemegang hak atas tanah bersangkutan.
Ketidakpastian hukum dapat terjadi bila jangka waktu
HGU, HGB atau HP berakhir, tetapi
permohonan perpanjangan atau
21 Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, (UU NO. 40 Tahun 2007) , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 94.
91. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92 pembaharuan hak atas tanah tidak dapat diterima (ditolak) maka demi hukum hak atas tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai negara, sehingga
perusahaan yang sedang berjalan dan produktif harus
direlokasi atau bahkan harus ditutup sehingga tidak sesuai dengan prinsip investasi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat. 2. Pemanfaatan tanah dengan HGU, HGB atau HP yang digunakan investor dalam
menanamkan
modal
agar
berwawasan
lingkungan
untuk
kemakmuran rakyat harus berdasarkan penatagunaan tanah yang merupakan bagian subsistem dari RTRW yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam kerangka kebijakan pertanahan nasional. Dengan demikian kegiatan investasi (ekonomi/bisnis) ditempatkan pada suatu zona wilayah tertentu yang dalam pelaksanaannya dapat dikendalikan dan diawasi pertumbuh kembangnnya. Di samping itu tetap mewajibkan kepada perusahaan penanaman modal agar melakukan bina lingkungan melalui Program CSR agar lingkungan menjadi lestari dan masyarakat sekitar menjadi lebih makmur dan sejahtera yang sudah tentu melalui pengalokasian dana yang disisihkan dari keuntungan perusahaan. 4.2 Saran 1. Perlu ada pengaturan penggunaan HGU, HGB dan HP yang eksplisit dalam UUPM maupun UUPA mengenai jaminan perpanjangan dan pembaharuan HGU, HGB dan HP untuk tetap dapat berlangsungnya kegiatan produksi perusahaan penanaman modal termasuk jaminan persediaan tanah untuk relokasi perusahaan sehingga kepastian hukum keberlanjutan perusahaan yang bersangkutan dapat memberi keadilan dan kemakmuran rakyat. 2. Untuk
pelaksanaan
otonomi
daerah
yang
seluas-luasnya
dan
bertanggungjawab sebagai implementasi UUPD dan Kepres Nomor 38 Tahun 2007 jo PP Nomor 16 Tahun 2004 agar selaras dengan RTRW, perlu ada wujud pengaturan berupa Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
tentang Rencana Penatagunaan Tanah, antara lain mengatur zona wilayah kegiatan investasi (ekonomi bisnis) yang jelas pengendalian dan pengawasannya agar perusahaan penanaman modal dapat berkembang sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan mensejahterakan rakyat.
I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan…92 DAFTAR PUSTAKA Budiartha, I Nyoman Putu, 2012, “Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Azasi Manusia” , Malang, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Gautama, Sudargo, Elyda T. Soetiyarto, 1997, Komentar atas PeraturanPeraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1996, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Ginting, Jamin, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, (UU NO. 40 Tahun 2007) , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Kontek UUPA-UUPR-UUPLH, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, 2007, “Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal di Provinsi Bali”, Makalah Seminar nasional, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di Denpasar, Agustus 2007. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Salim dan Budi Sutrisno, 2009, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sambiring, Julius, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, PT. Prenada Media Group, Jakarta. Sitorus, Oloan, 2013, “Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan dan Pemilikan serta Penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria ” (Makalah, Seminar Nasional Pertanahan oleh BPN di Denpasar). Sodiki, Achmad, 2012, “Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, Makalah Seminar Nasional “Membangun Sumber Daya Manusia yang Berintgrasi Dalam Bidang Hukum Melalui Pendidikan Pascasarjana”, oleh FH. Universitas Warmadewa di Denpasar, 3 Maret 2012. Subiyanto, Ibnu, 2002, “Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat di Era Desentralisasi”, Diskusi Terbatas Kebijakan Pertanahan Dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada Masyarakat, Jakarta, 12 September 2002 disusun dalam Buku Prosiding, Bappenas, Jakarta. Sudiyat, Imam, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.
93. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121
Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Timbul (Aanslibbing) Oleh Masyarakat Di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa Moh. Muhibbin1
Abstract The mud islands referred to as muddy land are a new natural resource that in economical terms is potential for farming and backish-water business resulting in the authority and ownship of the land by the local society. On the one hand, the written state law suggest that muddy land is state propety dominated by government. On other, historical fact show that local society have authority over it for generation according to the previling customs.The authority of muddy land (aanslibbing/tanah timbul) in Gresik sub-provinve and pasuruan requaires law certainty warranty,in other site, the extension of the Indonesian Agrarian Law is still pluralistic. For the society of Gresik and Pasuruan,it could be a social sensitivity if it is not handled wisely by considering the prinsiple of certainity and usefullness.
Key words: muddy land (aanslibbing), authority and ownership
Abstrak Munculnya pulau-pulau lumpur (Mud Island) yang disebut sebagai tanah timbul, merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis potensial untuk pertanian dan usaha tambak bahkan kegiatan industri yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh masyarakat setempat. Disatu pihak, menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul merupakan tanah negara yang dikuasai oleh negara. Dilain pihak, secara historis faktual masyarakat desa setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Penguasaan tanah timbul di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan membutuhkan jaminan kepatian hukum, padahal disisi lain eksistensi hukum pertanahan Indonesia masih pluralistik. Bagi masyarakat di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan, dapat menjadi kerawanan sosial jika tidak ditangani secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan asas kepastian dan kemanfaatan. Kata kunci: Tanah timbul, penguasaan dan pemilikan
1 Dosen Tetap Fakultas Hukum UNISMA Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang. 0341581613. 08123179055
[email protected]
Moh. Muhibbin. Pola… 94 1.1 PENDAHULUAN Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat beberapa hal yang diatur oleh Undang-Undang N0. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,2 yang lebih dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya dalam hukum pertanahan atau agraria. Untuk itu terhadap tanah-tanah yang belum ada sesuatu hak atas tanah, yaitu bidang-bidang tanah yang belum ada pengaturan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, diperlukan pengaturan lebih rinci dalam berbagai bentuk peraturan organik, baik berupa undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah. Salah satu dari beberapa hal yang belum dijabarkan, di antaranya adalah pengaturan tentang penguasaan tanah di pesisir pantai akibat proses sedimentasi yang belum jelas status kepemilikannya. Banyaknya tanah di Indonesia yang masih belum jelas status hak kepemilikannya merupakan pemicu konflik masyarakat, baik warga masyarakat yang satu dengan warga masyarakat yang lain, warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, warga masyarakat dengan investor atau investor dengan pemerintah. Salah satu bentuk tanah yang memicu konflik pada masyarakat Indonesia adalah munculnya tanah timbul di pesisir pantai yang tumbuh karena suatu peristiwa atau proses alam yang menjadi hamparan/daratan tepi sungai atau pantai Tanah timbul merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis potensial untuk pertanian dan usaha tambak yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh masyarakat setempat. Di satu pihak, menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Di pihak lain, secara historis faktual masyarakat setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-
2
Lahirnya UUPA yang telah diundangkan pada tanggal 24 September 1960 ( LN 1960-104, TLN. 2043) ini untuk mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya dan berlaku di Indonesia, yakni hukum tanah barat yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk asli (adat) Indonesia.
95. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan kebiasaan yang berlaku. Hal ini hampir terjadi
di seluruh
perairan wilayah Indonesia, khususnya di perairan
pantai utara laut Jawa. Namun demikian munculnya tanah timbul di tepi sungai tersebut dapat menimbulkan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Proses terjadinya kepemilikan atas tanah timbul adalah melalui proses evolusi yang terjadi bertitik awal dari adanya tanah tak bertuan (tanah kosong). Proses penguasaan tanah tersebut tidak sama pada setiap masyarakat, karena akan sangat bergantung kepada perkembangan budaya, termasuk hukum yang mengatur tentang penguasaan tanah pada suatu masyarakat atau norma hukum yang berkembang pada masyarakat setempat. Pada aturan yang ditemui di suatu masyarakat, pendudukan ( okupasi) dan penemuan terhadap tanah timbul selama ini dapat dimiliki atau dilekati hak secara individu oleh anggota masyarakat tersebut, tetapi dapat juga ditemui kondisi tanah tak bertuan (tanah kosong) terjadi bagai siklus yang tidak berhenti seperti pada hukum tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sampai saat ini belum ada kejelasan tentang pengaturan penguasaan terhadap tanah timbul (belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tanah timbul secara alami). Hal ini akan sangat bergantung kepada peraturan yang terdapat pada masyarakat setempat. Terbentuknya dan terdapatnya hukum tanah yang berasal dari nilai yang berkembang di tengah masyarakat merupakan doktrin hukum Ubi Societas Ibi Ius, pada setiap masyarakat mempunyai aturan hukum yang dapat dijalankan oleh masyarakat itu sendiri. Menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul merupakan tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara. Dilain pihak, secara historis faktual masyarakat desa setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Sebagai fenomena hukum, sangat menarik untuk dikaji pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul menurut budaya masyarakat setempat yang didasarkan pada mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (self regulation), dan upaya-upaya yang ditempuh oleh masyarakat untuk memperoleh hak penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.
Moh. Muhibbin. Pola… 96
II.
TINJAUAN PUSTAKA Di dalam perspektif hukum Islam, pada dasarnya semua tanah adalah milik
sang pencipta, yaitu Allah. Allah telah menciptakan bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dipergunakan untuk kepentingan manusia, sehingga hubungan sang pencipta dengan tanah adalah hubungan pencipta dan yang diciptakan.
Dengan demikian orang yang menguasai atau memiliki tanah
dianggap menerima amanah/kepercayaan dari Allah untuk menggunakannya sesuai dengan ketentuan yang digariskan Allah di dalam peraturan-peraturan yang berlaku dengan menitik-beratkan pada kemaslahatan umat. Dalam hal perolehan tanah oleh manusia yang hidup dalam suatu negara, hukum Islam memberikan jaminan kepada khalifah (pemerintah) untuk mengaturnya. Karena pemerintah merupakan perwujudan dari penggolongan umat manusia dalam kapasitas yang besar, terorganisir dalam sistem tata hidup di suatu wilayah. Demi kepentingan umum, pemerintah dapat memberikan tanah-tanah negara kepada rakyat yang membutuhkannya. Pemberian oleh negara kepada rakyat yang membutuhkannya atau kepada rakyat yang patut untuk diberinya dalam istilah hukum Islam disebut Al Iqtho’. Tanah yang diberikan atau dibagikan oleh pemerintah ini ada dua cara: 1. Sebagian tanah itu dikeluarkan dan diberikan kepada orang yang dapat mengurusnya atau menjaganya untuk memperbaiki kehidupan mereka sendiri. 2. Sebagian tanah itu diberikan kepadanya, sekedar untuk diambil hasilnya pada masa atau waktu yang ditentukan. Dalam hukum Islam pendistribusian tanah yang belum menjadi milik pribadi itu diperkenankan, misalnya tanah negara yang didapat dengan jalan perang atau tanah kosong yang belum pernah dibuka atau dimiliki orang lain. Selain tanah yang dikuasai negara dan negara yang membaginya (disebut Al Iqtho”), ada juga sistem penguasaan dan pemilikan tanah dengan cara membuka sebidang tanah yang belum diolah (tanah kosong) oleh seseorang atas inisiatif dan usahanya. Penguasaan dan pemilikan seperti ini di dalam hukum Islam disebut dengan istilah ihya’ul mawat atau usaha menghidupkan tanah mati.
97. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 Terhadap tanah kosong atau tanah di bawah kekuasaan khalifah (pemerintah) yang belum diolah, maka dapat diusahakan pemilikannya oleh siapapun, yakni memberdayakan tanah yang tidak produktif dan siapa yang lebih dulu membuka dan menggarap tanah tersebut maka dia yang lebih berhak menguasainya. Terhadap penguasaan dan pemilikan tanah baik tanah Al Iqtho’ atau tanah yang diperoleh dari ihya’ul mawat harus digarap atau diolah dalam waktu 3 tahun secara berturut-turut. Jika selama 3 tahun tanah tersebut tidak diolah secara intensif atau ditelantarkan maka pihak pemerintah (dalam hal ini negara) berhak mengambil kembali tanah tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Pada dasarnya tujuan agama (maqosid al-syar’i) adalah bagaimana tanah itu memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas, dan tidak hanya dinikmati oleh beberapa gelintir manusia saja. Penggusuran dari hak orang-orang yang memilikinya dipandang sebagai perbuatan yang tercela dan berdosa. Islam menghendaki tanah sebagai sumber kesejahteraan dan bukan sebagai sumber penderitaan. Oleh karenanya tanah-tanah yang sudah ada hak miliknya (pemiliknya) tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun tanpa persetujuan pemiliknya. Uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan pemerintah terhadap penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di wilayahnya, hakikatnya bertumpu pada pelimpahan Allah pada badan/penguasa untuk mengatur, mengawasi, mendistribusikan dan mengarahkan kegunaan tanah sesuai dengan tujuan Allah menciptakan bumi dan manusia itu sendiri. Sebab segala sesuatu yang ada di bumi adalah milik Allah dan manusia diberi wewenang oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melaksanakan amanat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul oleh masyarakat, peneliti telah menyaksikan peranan dari berbagai kelompok sosial atau individu dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat. Peran hukum masyarakat lokal yang didasarkan pada tradisi dan kebiasaannya, ternyata tidak hanya terbatas pada pengambilan inisiatif dalam hukum ketika sumber hukum lain tidak memberikan jawaban, karena hukum masyarakat lokal
Moh. Muhibbin. Pola… 98 pada kenyataannya juga mempunyai peran yang penting yang harus dimainkan dalam masalah aplikasi hukum yang muncul. Dari sinilah kedua sistem hukum yaitu antara hukum Islam dan adat atau hukum masyarakat lokal dalam kenyataannya masih eksis keberadaanya dalam kehidupan masyarakat. Peran dari kedua sistem hukum tersebut dalam proses legislasi masih tidak mampu untuk dihapuskan, terutama dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul. Dalam lapangan hukum ini, kepentingan dari kedua sistem hukum dalam proses pemecahan masalah kontemporer tidak dapat dihindari, karena baik hukum Islam maupun hukum adat keduanya bersatu padu saling memberikan pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung dalam memformulasikan aturan-aturan hukum yang baru. Oleh karena itu hukum Islam dan praktek adat istiadat dipandang oleh negara yang mayoritas masyarakat beragama Islam ini sebagai dua sistem hukum yang fungsional dan saling berdampingan. Selain konsep hukum adat dan hukum Islam di atas terdapat pula beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dari aliran hukum alam. Berkaitan dengan
sistem
penguasaan
dan
pemilikan
tanah
tak
bertuan
( tanah
kosong/tanah tak bertuan) yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara pendudukan dan dijadikannya sebagai kepunyaan mereka, maka dalam hal terbentuknya hak milik tersebut John Locke misalnya mengemukakan, bahwa sesungguhnya Tuhan telah menciptakan bumi ini untuk diberikan kepada sesama manusia, agar bumi ini dikerjakan dan memberikan kesejahteraan bagi setiap orang, tiada seorangpun yang mempunyai hak istimewa baik atas hasil alam maupun binatang yang diciptakan di atas bumi ini, segalanya merupakan warisan kita bersama, dimana untuk mencapai kesejahteraan tersebut haruslah ada cara agar benda-benda tersebut dapat dimiliki. Dengan kata lain individu dapat memetik kegunaan secara kongkrit apabila ia mempunyai hak milik atas benda itu dan atas pekerjaannya sendiri.3 Hal senada juga dikemukakan oleh Van Setten Van Der Meer yang mengatakan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah secara individu itu diperoleh dengan cara membuka tanah. Dengan demikian dapat dikatakan
3 John Locke, Two Treaties of Government, Cambridge, Cambridge University Press, 1988, page. 290.
99. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 bahwa hak untuk menguasai tanah berawal dan bersumber dari kerja seseorang membuka tanah yang sebelumnya tidak tergarap.4 Asas dalam perolehan cipil (civil acquisition) pada hukum Romawi yang terkenal adalah asas unicuique tribuere (berikanlah apa yang merupakan haknya). Inti asas ini adalah merekomendasikan adanya pengakuan terhadap hak setiap orang untuk menguasai dan memiliki suatu benda yang disajikan oleh alam. Keberadaan hukum adalah untuk menjaga benda yang telah diperoleh sebagai kepunyaan dari orang tersebut. Disinilah selalu timbul masalah, yaitu karena adanya pelapisan sosial dalam masyarakat dan dengan terbentuknya hubungan lembaga-lembaga sosial yang menimbulkan sistem sosial dalam masyarakat, maka terhadap benda yang sama akan terjadi pengulangan “perolehan”. Individu memperoleh dengan usahanya, masyarakat (kelompok) memperoleh karena individu-individu tersebut membentuk kelompok-kelompok, dan kepemilikan (dominium) tersebut juga ikut tergabung dalam bentuk
condominium
(pemilikan
bersama),
sehingga
tunduk
kepada
ketentuan
pemakaian bersama (res communes).5 Pemilikan bersama yang dipertahankan pada zaman Romawi menimbulkan pengakuan hak “seseorang” yang dikenal dengan asas Suum Cuiquetribuer. Hak dari seseorang untuk menikmati, menggunakan, menggarap (memanfaatkan) benda yang telah menjadi “miliknya” baik karena usaha maupun karena kerja otak, dan seseorang juga berhak untuk memenuhi penurunan (derived) dari seseorang dan merupakan keharusan dari orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Adanya evolusi terhadap tanah tak bertuan ( tanah kosong) untuk sampai pada tahap timbulnya penguasaan dan pemilikan adalah karena proses pemilikannya bergantung pada perkembangan budaya masyarakat setempat (proses alamiah).
4
Van Setten Van Der Meer, Sawah Cultivation in Accient Java, Oriental Monograph Serie, No. 229, Canberra Australian National University, 1979.page. 66. 5
Hermayulius, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan Pada Sistem Kekerabatan Patrilinial Minangkabau Di Sumatra Barat, Jakarta: PT. Rajawali Prees, 1999, h.73
Moh. Muhibbin. Pola… 100 Penguasaan tanah timbul oleh masyarakat yang terjadi selama ini apabila dikaji dengan menganalisis pada pemikiran hukum alam, tentunya dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat Indonesia dalam proses pemecahan masalah penguasaan tanah timbul yang tumbuh di pesisir pantai dalam memformulasikan aturan-aturan hukum yang baru sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat. Menurut teori hukum alam, hak milik pribadi adalah hak kodrati yang langsung timbul dari kepribadian manusia. Untuk dapat hidup dan melangsungkan jenisnya, manusia perlu menguasai benda-benda yang ada di dunia, termasuk tanah. Dengan menguasai benda-benda ini baru dia dapat mengembangkan diri.6 Teori hukum alam yang dipelopori oleh Thomas Aquino,
Grotius, Pufendrof beranggapan bahwa hak milik pribadi adalah hak alamiah, artinya hak milik yang secara kodrati untuk kepentingan pribadi manusia itu masing-masing. Teori Okupasi juga menjelaskan bahwa milik pribadi itu diperoleh melalui pekerjaan atau pendudukan (Occupation), yaitu perolehan hak milik melalui pendudukan atau penggarapan suatu tanah yang tidak ada pemiliknya dan karenanya orang yang menduduki tanah tersebut mempunyai hak untuk menurunkan atau mewariskan pada ahli warisnya. Begitulah orang-orang Romawi menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah ( Natural Acquisition). Hak milik pribadi menurut Thomas Aquino terdiri dari hak-hak atas benda (termasuk tanah), hak atas pendapatan, hak untuk mengelola barang milik pribadi. Selanjutnya Thomas Aquino mengakui bahwa benda-benda yang ada di dunia ini (termasuk tanah), pada hakikatnya dimaksudkan untuk melayani dan menunjang hidup manusia serta memberi kenyamanan, ketenangan bagi manusia.7 Walaupun demikian, hak milik pribadi tidak bersifat individualistis tetapi hak milik pribadi dalam semangat komunal. Artinya pemilik secara suka rela menggunakan hak miliknya sebagai milik bersama dengan orang lain dan juga untuk mereka yang membutuhkannya.
6
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. 1994, h. 13. 7
Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Yogyakarta, Kanisius,1997, h. 57.
101. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 Sementara itu Grotius berpendapat, bahwa dalam keadaan kodrat yang asli
(originair) segala sesuatu adalah milik bersama, pemberian Tuhan kepada umat manusia pada umumnya. Baru pada waktu barang-barang menjadi berkurang, sedang manusia tidak lagi hidup sederhana seperti semula, timbullah hak milik. Ajaran Grotius dan Pufendorf boleh dipandang sebagai jenis-jenis dari teori hukum alam yang sudah lebih tua mengenai milik. Menurut pendapat Grotius, semua benda pada mulanya adalah res nullius (Benda-benda yang tidak ada pemiliknya). Tetapi manusia di dalam masyarakat membagi-bagi hampir semua benda itu dengan persetujuan. Benda-benda yang tidak dibagi-bagi secara demikian, ditemukan kemudian oleh seseorang, dijadikannya kepunyaan mereka. Begitulah benda-benda tersebut menjadi tunduk kepada penguasaan individual. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum empiris atau lazim disebut Penelitian Hukum Non Doktrinal ( Socio Legal Research). Penelitian hukum non doktrinal yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah kaidah hukum yang dilihat dari segi penerapannya atau hukum dilihat sebagai suatu kekuatan sosial yang empiris. Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk mencermati secara komprehensif, bagaimana proses alam terjadinya tanah timbul, kemudian proses penguasaan tanah timbul oleh masyarakat, selanjutnya bagaimana daerah menyikapi dan bertindak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dalam mengatur penguasaan tanah timbul dari perspektif norma dan nilai yang berkembang di masyarakat setempat yang dianut oleh masyarakat di Jawa timur, khususnya di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan. Untuk
memperoleh
data
dalam
penelitian
ini
ditempuh
dengan
menggunakan data primer dan data sekunder. Cara memperoleh data primer adalah dengan menggunakan dua cara, yaitu: 1) Teknik wawancara mendalam (dept interview). 2) observasi (observation). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dokumen dan literatur. Setelah data tersebut di atas terkumpul (pengurutan, pengelompokan dan pengkodean) baik berupa data primer maupun sekunder yang telah dianggap valid maka langkah berikutnya mengkonstruksikan data tersebut lewat strategi
Moh. Muhibbin. Pola… 102 atau pendekatan yang bertumpu pada logika berpikir induksi konseptualis di satu pihak, dan logika berpikir secara emik di pihak lain. Analisis berikutnya dilakukan dengan menggunakan metode “analisis yuridis kualitatif” yang bertitik tolak pada kerja “penalaran yuridis”. Ada tiga acuan dasar yang harus diperhatikan dalam penalaran yuridis, yaitu: 1) Berpretensi untuk mewujudkan positivitas (hukum itu harus memiliki otoritas); 2) Mewujudkan koherensi (hukum sebagai tatanan); 3) Mewujudkan keadilan (hukum sebagai pengaturan hubungan antar manusia yang tepat). Acuan-acuan tersebut dalam asasnya semuanya menuntut suatu klaim pada ketentuan hukum, artinya setiap ketentuan hukum harus bermuatan atau berpretensi untuk mewujudkan positivitas, koherensi dan keadilan, karena ketiga acuan itu adalah muatan dari cita hukum. IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah timbul adalah tanah yang tumbuh/muncul di permukaan air sungai
atau laut
sebagai hasil
proses alam ( proses sedimentasi) dan perbuatan
manusia. Tanah timbul dapat terjadi di pantai dan aliran sungai. Tindakan manusia yang cukup lama akan mempercepat proses terbentuknya tanah timbul. Tanah timbul yang terjadi di Indonesia dalam kenyataannya dapat dikuasai baik oleh perorangan maupun secara komunal terutama dengan alasan ekonomi untuk diusahakan sebagai usaha tambak, pertanian, serta untuk pemukiman penduduk. Bagi masyarakat di daerah Kabupaten Gresik yang letaknya di pesisir pantai Utara laut Jawa, tanah yang tumbuh sebagai proses sedimentasi (endapan Lumpur) di pesisir pantai disebut dengan istilah tanah oloran. Menurut masyarakat setempat dikatakan tanah oloran karena kenyataan yang ada di daerah tersebut tanah kampung yang semula dekat dengan laut menjadi molor atau bertambah panjang sehingga jauh dari permukaan air laut sebagai hasil proses pengendapan lumpur (sendimentasi) yang dibawa oleh arus sungai atau bengawan solo. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah Kabupaten Pasuruan menyebut tanah baru yang merupakan hasil pengendapan atau proses sedimentasi dengan
103. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 istilah tanah oloran dan juga ada yang menyebutnya dengan istilah tanah
hamparan. Tanah hamparan artinya tanah yang muncul di sepanjang aliran sungai atau tepi pantai yang semula tertutup air kemudian tumbuh menjadi hamparan tanah yang belum ada hak di atasnya. Sebagian masyarkat Kabupaten Pasuruan
juga menyebutnya tanah
timbul dengan
sebutan
Tanah
GG
(Government Grond). Masyarakat setempat tidak mengetahui secara pasti arti istilah tersebut, namun mereka menyamakan arti tanah ”GG” dengan ”tanah negara”. Tanah timbul di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, yang artinya pengendapan lumpur; tanah dari endapan lumpur, misalnya de
oever slibt sterk aanslibbing (tepi itu tertimbun oleh endapan lumpur)8. Di dalam bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul.9 Istilah tanah timbul di berbagai daerah mempunyai sebutan yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Di Jawa Timur, khususnya di pesisir pantai utara menyebutnya dengan istilah tanah oloran, di Yoqyakarta menyebutnya dengan istilah wedikengser.10 Sementara itu di daerah Surakarta menyebutnya dengan istilah: tanah bokongan atau tanah asean, di Banyumas: tanah semen, sedangkan di luar Jawa Boedi Harsono,11 menyebutnya dengan istilah lidah
tanah, sementara itu Roestandi menyebutnya dengan istilah tanah pembawaan lumpur.12 Letak tanah timbul di wilayah pesisir pantai utara Jawa tepatnya di daerah Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Jawa Timur. Di wilayah tersebut terdapat beberapa aliran sungai. Di antara aliran sungai yang terbesar adalah aliran
8
S. Wojowasito, Kamus Bahasa Belanda, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 11.
9
Sulastriyono. Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, h.185. 10
Mudjiono. Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta: Liberty, 1997, h.82
11
Boedi Harsono Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid ke-2, Jakarta: Jembatan, 2003. h. 80 12
h.71
R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, Bandung: Penerbit Masa baru, 1962,
Moh. Muhibbin. Pola… 104 sungai dengan nama Bengawan Solo yang menghubungkan aliran sungai dari beberapa sungai di Jawa Timur. Aliran muara sungai yang tempatnya di daerah Ujung Pangkah tersebut telah menjadi sentral keluarnya aliran air menuju laut, misalnya aliran sungai mulai dari Bojonegoro, Babat, Lamongan dan Gresik semuanya bermuara di delta sungai (bengawan) Solo ini yang mengakibatkan terjadinya penumpukan lumpur tanah di tepi sungai atau pesisir pantai. Sedangkan tanah timbul di wilayah pesisir pantai utara Jawa tepatnya di Kabupaten Pasuruan terdapat di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil, Kraton, Lekok dan Kecamatan Nguling. Keberadaan tanah timbul yang terdapat di empat kecamatan tersebut, pertama, di Desa Raci Kecamatan Bangil, kedua, di Desa Semare dan Pulokerto Kecamatan Kraton, ketiga, di Desa Tambaklekok Kecamatan Lekok dan keempat
di Desa Melaten Kecamatan Nguling. Letak
tanah timbul di empat daerah tersebut letaknya berada di sepanjang pantai atau tepi pantai yang berbatasan di pesisir pantai utara laut Jawa. Keempat daerah tersebut terdapat juga beberapa aliaran sungai yang menghubungkan muara sungai di pesisir utara laut Jawa menuju keluarnya aliran sungai menuju ke laut yang mengakibatkan terjadinya penumpukan lumpur tanah di tepi sungai atau pesisir pantai. Luas tanah timbul di dua desa baik Desa Ujung Pangkah Wetan maupun Desa Ujung Pangkah Kulon Kecamatan Ujung Pangkah, sampai saat ini adalah kurang lebih 6.500 hektar dengan perincian sebagai berikut: 1) Luas tanah timbul Desa Ujung Pangkah Wetan adalah 4.000 ha.2) Luas tanah timbul Desa Ujung Pangkah Kulon adalah 2. 500 ha, sedangkan luas tanah timbul di empat kecamatan Kabupaten Pasuruan sampai tahun 2010 adalah 655,7133 Ha. (enam ratus lima puluh lima hektar tujuh ribu seratus tiga puluh tiga meter persegi). Berdasarkan hasil penelitian di daerah Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul diawali dengan membuka tanah yang tidak ada pemiliknya oleh warga masyarakat setempat dengan seizin tokoh masyarakat
(pemuka
agama)
di
daerah
tersebut.
Setelah
tokoh-tokoh
masyarakat (pemuka agama) memberi izin, masyarakat secara bersama-sama membuka tanah timbul dengan cara memberi tanda pada tanah yang akan dibuka. Tanda tersebut dimaksudkan sebagai larangan bagi masyarakat yang lain
105. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 bahwa tanah yang ditandai sedemikian itu tanah larangan. Tanda-tanda larangan itu kadang-kadang berupa pohon kecil sebagai pembatas atau galah yang ditancapkan pada batas-batas tanah yang akan dibuka. Keadaan yang demikian itu berjalan sebelum lahirnya UUPA. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi pemohon atau calon penggarap tanah timbul adalah sebagai berikut: 1) calon pengarap harus orangorang yang berdomisili di lingkungan daerah tersebut (di Kecamatan Ujung Pangkah), 2) calon penggarap harus bertanggungjawab atas pemeliharaan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya bila tanah tersebut sudah dapat dimanfaatkan. 3) calon penggarap tidak boleh memindahkan hak garapannya kepada pihak lain tanpa izin khusus kepala desa setempat. 4) calon penggarap harus mentaati segala peraturan tentang penggunaan tanah tersebut. 5) apabila tanah tersebut terkena abrasi tidak mendapat ganti rugi dan segala kerugian atas tanah tersebut menjadi tanggung jawab penggarap. Adapun upaya-upaya yang ditempuh untuk memperoleh hak penguasaan dan pemilikan tanah timbul di Desa Ujung Pangkah Kabupaten Gresik berupa surat Segel. Surat Segel yang dikeluarkan kepala desa adalah berdasarkan pengajuan permohonan oleh masyarakat setempat. Melalui surat permohonan ini kepala desa membuatkan surat persetujuan atau surat keterangan sebagai calon penggarap yang disebut segel. Setelah adanya permohonan dari masyarakat, kepala desa melalui perangkat-perangkat lainnya bersama-sama dengan yang bersangkutan (pemohon) meninjau ke lokasi tanah timbul atau tanah oloran di tepi pantai atau sungai (bengawan) Solo Ujung Pangkah dengan melakukan pengukuran, pemetaan dengan luas masing-masing tidak boleh lebih dari 3 ha. Tanah yang sudah diukur ini belum menjadi tanah garapan yang siap untuk dijadikan lahan pertanian tambak, akan tetapi masih berupa genangan air (rawarawa), lahan setengah jadi, masih berupa tanah lumpur. Setelah dilakukan pengukuran dan pemetaan kemudian diberi tanda batas atau pematang sebagai batas antara pemilik satu dengan pemilik lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih penguasaannya dan dapat diketahui milik dari calon masing-masing penggarap.
Moh. Muhibbin. Pola… 106 Pada masyarakat Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan, pola penguasaannya adalah dengan cara melakukan pendudukan atau membuka tanah tak bertuan oleh masyarakat secara bersama-sama. Mereka memperoleh tanah timbul diawali dengan sebuah pertemuan sekelompok orang yang berasal dari rukun tangga/dusun, keluarga atau dusun yang sama, dan sama-sama ingin memiliki tanah tersebut. Kelompok ini membuat rencana pendudukan dalam pertemuan tertutup sekali dua kali mengenai bagaimana melaksanakan pendudukan atas tanah timbul itu. Masyarakat berangsur-angsur mendiami tanah timbul yang ada di sekitar pesisir
pantai
secara
diam-diam
tanpa
sepengetahuan
kepala
desa
setempat.Mereka membuka tanah secara bersama-sama dan membagi secara bersama-sama pula. Dengan cara seperti ini mereka berangsur-angsur mendiami tanah yang ada di sekitar pesisir pantai sampai akhirnya mereka menduduki seluruh wilayah yang tumbuh di pesisir pantai. Mereka membagi dengan cara member batas-batas berupa patok-patok sebagai batas penguasaan masingmasing perorangan. Setelah tanah dibuka, diberi batas penguasaan pada masing-masing perorangan, kemudian mereka secara gotong royong mengerjakan dan mengelola tanah tersebut secara bersama-sama untuk dijadikan pertanian tambak. Selama 2 tahun lamanya tanah tersebut dikerjakan, diolah kemudian tanah tersebut sudah dapat dijadikan sebagai budidaya ikan (areal tambak). Setelah tanah timbul tersebut diolah menjadi areal budi daya ikan (tambak), mereka melaporkan kepada kepala desa dan kepala desa mengeluarkan Surat Izin Pengelolaan Tanah Tambak Oloran yang isinya bahwa kepala desa memberikan izin
kepada warga masyarakat untuk mengelola tanah tambak
oloran yang tumbuh di pesisir pantai dan tanah tersebut tidak boleh diperjual belikan kepada siapapun. Sedangkan penguasaan tanah timbul yang terjadi di Desa Melaten Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan berbeda dengan penguasaan tanah yang terjadi di Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan. Pendudukan/pembukaan tanah oloran di Desa Melaten ini dilakukan oleh Kepala Desa beserta perangkatnya dan secara umum tanah tersebut dikuasai oleh desa
107. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 (desa yang menguasai lebih dulu), setelah itu kepala desa membagikan tanah tersebut kepada warga yang membutuhkan dan diutamakan kepada penduduk yang kurang mampu dan belum mempunyai tempat tinggal. Sampai saat ini tanah yang dikuasai masyarakat dari hasil pembagian dengan kepala desa beserta masyarakat belum ada satupun yang terdaftar sebagai hak milik, bahkan izin penguasaan terhadap tanah tersebut hanya dari kepala desa setempat dan juga belum ada SPPT. Berbeda dengan pola penguasaan tersebut di atas, masyarakat Desa Raci Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan dan masyarakat Desa Tambaklekok Kecamatan Lekok mempunyai cara tersendiri terhadap pola penguasaan Tanah Timbul. Cara penguasaan /pendudukan terhadap tanah yang tumbuh di pesisir pantai tersebut dilakukan oleh masyarakat dengan siizin kepala desa. Masyarakat melakukan pendudukan tanah dengan cara memberi batas-batas yang akan dikuasai, dikerjakan secara intensif, kemudian ketika tanah tersebut sudah tampak dan bisa dikerjakan sebagai tempat budi daya ikan (tambak), masyarakat melaporkan kepada kepala desa, kemudian Kepala desa memberikan izin penggarapan atas tanah timbul kepada masyarakat yang telah membuka tanah sebagai tanah garapan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Adapun upaya-upaya yang ditempuh untuk memperoleh hak penguasaan dan pemilikan tanah timbul di Kabupaten Pasuruan pada umumnya adalah dikeluarkannya Surat Izin Pengelolaan Tanah Tambak Oloran oleh kepala desa berdasarkan pengajuan permohonan oleh masyarakat setempat. Melalui surat permohonan ini kepala desa mengeluarkan surat persetujuan atau surat keterangan
sebagai
petani/penggarap. Setelah
adanya permohonan dari
masyarakat, kepala desa melalui perangkat-perangkat lainnya bersama-sama dengan yang bersangkutan (pemohon) terjun ke lokasi tanah timbul dengan melakukan pengukuran, pemetaan dengan luas masing-masing tanah yang telah digarap. Tanah yang sudah diukur ini tentunya sudah menjadi tanah garapan yang siap untuk dijadikan lahan pertanian tambak dengan memberi tanda batas antara batas tambak satu dengan batas tambak lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih penguasaannya dan dapat diketahui milik dari masing-masing penggarap.
Moh. Muhibbin. Pola… 108 Masyarakat yang sudah menguasai tanah timbul dari proses sedimentasi sebagai hak pengelolaan/garapan tanah tambak oloran di Kabupaten Pasuruan tersebut dilakukan penataan oleh masing-masing kepala desa setempat untuk dinaikkan statusnya menjadi hak milik. Hal ini dilakukan karena Kabupaten Pasuruan pada tahun 2007 telah mendapatkan proyek reforma agrarian terhadap tanah timbul yang telah dikuasai oleh masyarakat dengan biaya anggaran APBN (DIPA Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur).Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur telah memberikan izin/dispensasi
redistribusi
tanah
obyek
pengaturan
penguasaan
tanah/landreform yang menghasilkan pemilikan tanah yang disebut dengan kegiatan Reforma Agraria. Kegiatan Reforma Agraria merupakan kegiatan identifikasi dan redistribusi tanah negara. Tambak yang telah dikuasai masyarakat sekaligus membuka akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditetapkan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil, Kraton dan Lekok Kabupaten Pasuruan. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi untuk mengeluarkan keputusan terhadap adanya permohonan hak atas Tanah Negara diatur dalam pasal 7 Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi berwenang memberi keputusan mengenai: a) pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 (dua) hektar. b) pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5.000 meter persegi kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Berdasarkan pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 3 Tahun 1999, Menteri Negara Agraria/KaBPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum, sedangkan pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 3 Tahun 1999, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berwenang memberikan keputusan mengenai: a) Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar, b) pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi kecuali
109. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 mengenai tanah bekas Hak Guana Usaha (HGU), c) pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: 1) transmigrasi, 2) redistribusi tanah, 3) konsolidasi tanah, 4) pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik Dengan demikian pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan mengenai pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah negara adalah Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini didasarkan pada kompetensi dalam mengeluarkan keputusan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Pasuruan, secara garis besar permohonan dan pemberian hak atas Tanah Timbul dalam rangka program redistribusi tanah terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: a) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang untuk memberikan hak atas tanah melalui Kantor Pertanahan setempat. b) kantor pertanahan akan memeriksa kelengkapan permohonan dan dokumen-dokumen yang diperlukan, diantaranya: 1) gambar situasi/surat ukur, 2) Nama-nama petani penggarap/pemohon, 3) tanah yang dimohon statusnya tidak dalam sengketa, 4) pemohon adalah benar-benar penduduk setempat, 5) keterangan kepala desa setempat prihal lamanya masyarakat telah menguasai tanah timbul/riwayat tanah dan luas tanah timbul yang diajukan untuk permohonan hak Setelah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten melakukan pemeriksaan, melakukan
penelitian
terhadap obyek tanah
di
lapangan/lokasi
dengan
melakukan pengukuran terhadap tanah yang diajukan untuk didaftarkan sebagai hak
milik,
selanjutnya
Kepala
Daerah
Kabupaten
(Bupati)
memberikan
rekomendasi. Langkah selanjutnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten adalah mempersiapkan usul atau permohonan penegasan untuk ditegaskan menjadi tanah obyek landreform sebagai tanah yang dikuasai negara, selanjutnya diajukan oleh Kantor Pertanahan setempat lewat Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan diteruskan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPNRI).
Moh. Muhibbin. Pola… 110 Setelah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI) telah memeriksa permohonan penegasan tanah yang dikuasai langsung oleh negara menjadi obyek landreform dengan cermat, teliti dan memenuhi syarat untuk dibagikan dengan status hak milik menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku, sebagaimana surat permohonan yang diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur, maka Kepala BPNRI menerbitkan Surat Keputusan Penegasan Tanah yang dikuasai langsung oleh negara Sebagai Obyek Landreform yang pemanfaatannya untuk tanah pertanian dengan status hak milik, dengan menginstruksikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten untuk: 1) melaksanakan pengukuran dalam rangka memperoleh letak dan luas yang pasti atas tanah yang ditegaskan sebagai obyek
landreform, 2) melaksanakan pembagian dan penataan tanah yang ditegaskan sebagai tanah obyek landreform dan selanjutnya melaksanakan pemberian hak milik atas tanah yang ditegaskan pemberian hak milik, 3) mencantumkan larangan pengalihan hak milik atas tanah yang dibagikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dalam surat keputusan pemberian hak milik redistribusi tanah, buku tanah dan sertipikat hak atas tanah, 4) melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 5) setelah semua syarat dan kewajiban yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) dipenuhi termasuk pendaftaran haknya maka kantor pertanahan dalam
hal ini
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menerbitkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten tentang Pemberian Hak Milik dalam rangka Redistribusi Tanah Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah dan menyerahkan sertipikat tanah yang bersangkutan kepada pemegang haknya. Sertipikat sebagai tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya. Konstruksi hukum Sertipikat yang lahir dari permohonan hak atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara mempunyai karakter yang bersifat konstitutif. Sifat karakter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan/pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang yang
111. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah negara. Fungsi dari Surat Keputusan Pemberian Hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang memperoleh hak atas suatu bidang tanah. Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atas sebidang tanah yang dikuasainya. Karena untuk mendapatkan hak memiliki atau menguasai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bilamana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah. Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Pasuruan dan Gresik, warga desa yang telah menguasai dan memanfaatkan tanah timbul dapat mengajukan permohonan hak milik atas tanah timbul yang merupakan tanah Negara. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 410-1293 Tahun 1996 tentang Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi . Pada angka 5 Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa kepada para pemohon hak atas tanah-tanah timbul dapat segera diproses melalui prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik dan Pasuruan, secara garis besar permohonan dan pemberian hak atas tanah terdiri dari tahapantahapan sebagai berikut: 1) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan hak atas tanah melalui kantor pertanahan setempat, 2) kantor pertanahan akan memeriksa kelengkapan permohonan dan dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen yang diperlukan adalah: a) gambar situasi/surat ukur, b) fatwa tata guna tanah, c) risalah pemeriksaan tanah oleh “Panitia A”, 3) apabila wewenang pemberian hak atas tanah yang dimohon ada pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten, maka Kepala Kantor Pertanahan setempat akan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH), tetapi apabila wewenang tersebut ada pada Kepala Kantor Wilayah BPN, maka berkas permohonan dan dokumen-dokumen yang telah lengkap dan disertai dengan pertimbangan dari Kepala Kantor Pertanahan
Moh. Muhibbin. Pola… 112 setempat mengenai dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut dikirim ke Kantor Wilayah BPN Provinsi dan kemudian Kepala Kantor Wilayah akan memperoses permohonan tersebut dan mengeluarkan SKPH. Apabila wewenang untuk memberikan hak atas tanah
ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala
BPNRI, maka berkas permohonan dan dokumen yang telah lengkap dan disertai pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah untuk dikirim ke Menteri Negara Agraria/KaBPN Pusat dan kemudian Menteri Negara Agraria/KaBPN akan mengeluarkan SKPH. 4) Surat Keputusan Pemberian Hak diserahkan kepada pemohon melalui kantor pertanahan setempat. 5) pemohon hak atas tanah diwajibkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam SKPH. 6) Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan sertipikat hak atas tanah dan menyerahkannya kepada pemegang hak atas tanah. Dari hasil penelitian tersebut di atas, terkait dengan pola penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat di pesisir pantai utara laut Jawa apabila ditelaah secara mendalam sangat bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat. Menurut Roestandi, Berdasarkan ketentuan hukum adat, hak milik itu dapat diperoleh atas tanah pembawaan lumpur (tanah yang tumbuh di pesisir pantai, atau biasa disebut dengan tanah timbul yang muncul di tepi sungai dan pantai). Pada umumnya di Jawa tanah yang timbul karena pembawaan lumpur adalah hak orang yang mempunyai tanah di mana tambahan tanah itu terjadi. Apabila tanah yang sudah ada di tepi sungai dan pantai itu adalah tanah hak milik, maka orang yang memiliki tanah bersebelahan dengan sungai dan pantai itu memperoleh hak milik pula atas tanah tambahan itu. Apabila di daerah itu berlaku hak ulayat yang masih kuat, hak atas tanah baru itu menjadi hak penguasaan hak ulayat setempat. Di daerah lainnya terdapat ketentuan hukum adat, bahwa walaupun tanah pembawaan lumpur itu timbul di tempat bersebelahan dengan hak milik perseorangan, maka desalah yang pertama-tama menguasai tentang tanah timbul tersebut. Sejalan dengan hukum adat bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat adalah bersumber pada pembukaan atas tanah hutan yang merupakan
113. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Cara lain untuk memperoleh hak milik menurut hukum adat di sementara daerah adalah dengan terjadinya tanah timbul, yang muncul di tepi sungai atau pantai atau karena proses alam menjadi endapan-endapan tanah lumpur.13 Tanah timbul di tepi sungai atau pantai dianggap menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tanah tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan demikian terjadinya hak milik secara demikian itu juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memakan waktu.14 Uraian tersebut di atas baik resmi maupun pendapat perorangan menunjukkan terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah melalui pembukaan tanah sebagaimana telah dikenal secara tradisional dalam masyarakat hukum adat Indonesia. Dalam perkembangannya apa yang digariskan melalui pasal 46 UUPA yang menegaskan “hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah”. Terbentuknya hak atas tanah yang berasal dari nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat, menurut Von Savigny (mazab sejarah) merupakan doktrin hukum yaitu ubi societas ibi ius (pada setiap masyarakat dan kelompok masyarakat mempunyai hukumnya sendiri). Dengan kata lain bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang sesuai jiwa bangsanya.15 Di Indonesia upaya pembangunan hukum pertanahan dilakukan dengan memadukan dua ajaran atau aliran hukum. Penerapan ajaran atau aliran pikiran hukum yang dipelopori Von Savigny terungkap dalam penjelasan umum angka III UUPA yang mengemukakan bahwa “….hukum agraria yang baru sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan didasarkan kepada hukum adat sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern…”. Penerapan ajaran atau aliran pikiran 13
14
15
Rancangan Undang-Undang Hak Milik atas Tanah, (RUUHM), 1997, h. 2. Boedi Harsono, Op., cit., h. 80 Edgar Bodenheimer, “Seventy Five Years of Evolution Legal Philosophy”, America:
American Journal Jurisprudence, 1978, h. 3
Moh. Muhibbin. Pola… 114 hukum Roscoe Pound ditunjukkan oleh tujuan dan fungsi hukum yang dibentuk yaitu mengadakan perubahan pola penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat. Semula penguasaan tanah di sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat komunal dan tanpa bukti tertulis. Melalui UUPA diintroduksikan sistem penguasaan dan pemilikan tanah yang menyeluruh dan pada akhirnya dapat dibuktikan. Di dalam penguasaan dan pemilikan itu individu ditampilkan sebagai orang yang memiliki hak sehingga menunjukkan pergerakan dari sistem komunal ke individu. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum (tanah) adat digantikan dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku secara nasional untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Penggantian tersebut ditujukan untuk mengadakan perubahan pola penguasaan dan pemilikan tanah di masyarakat, sehingga diharapkan fungsi hukum as a tool of social engineering. Apabila hukum hanya berfungsi sebagai kontrol sosial maka fungsi hukum yang demikian itu bagi suatu masyarakat yang sedang membangun tidak cukup lengkap, sebab apabila hukum hanya berfungsi seperti demikian maka yang diharapkan hanyalah sekedar terwujudnya ketertiban, kemakmuran dalam kehidupan masyarakat, belum mengarah pada hukum yang berprinsip untuk melakukan
perubahan-perubahan
sesuai
dengan
apa
yang
diharapkan
masyarakat. Hukum dikatakan berfungsi sebagai sarana perubahan sosial bilamana hukum itu digunakan secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau
keadaan
masyarakat sebagaimana
yang
dicita-citakan
atau
untuk
melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.16 Pengenalan nilai-nilai baru tersebut sudah barang tentu menimbulkan pengaruh dan perubahan terhadap pranata hukum dan tatanan nilai yang telah ada dan berkembang dalam masyarakat. Seperti halnya hukum yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup di pesisir pantai dalam perolehan tanah timbul yang semula sebelum adanya UUPA telah menggunakan aturan-aturan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni penguasaan dan pemilikan tanah timbul
16
M. Munir, “Penegakan Hukum Dalam Masyarakat: Suatu Rumusan Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum UNIBRAW, Malang. 1998, h. 4
115. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 dilakukan dengan cara pendudukan tanah atau membuka tanah tak bertuan dengan tanpa izin siapapun kecuali kepala adat atau tokoh masyarakat, sekarang berubah menjadi bentuk adanya pengajuan permohonan oleh masyarakat kepada kepala desa setempat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kawasan pesisir pantai utara laut Jawa, khususnya di Kabupaten Gresik dan Pasuruan, bahwa tanah timbul yang dikuasai oleh masyarakat jauh sebelum adanya UUPA, sampai saat ini sebagian status tanah tersebut sudah menjadi hak milik dalam bentuk sertipikat. Bahkan di wilayah Kabupaten Gresik kurang lebih 38% dan 45% di Kabupaten Pasuruan sudah didaftarkan dan menjadi sertipikat. Ini menunjukkan adanya perubahan status yang dulunya mereka menguasai secara fakta, namun demikian dengan adanya pendaftaran tanah dan menjadi sertipikat, status penguasaan tanah dan pemilikan tanahnya secara yuridis menjadi tanah hak milik. Ketentuan-ketentuan perubahan hukum di atas tidak statis melainkan dinamis dan selalu berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Supomo, bahwa setiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap bersamaan dengan lahirnya peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani seluruh warga masyarakat yang menimbulkan perubahan peraturan, begitu seterusnya keadaannya seperti jalannya ombak di pesisir samudra.17 Perbedaan fungsi hukum sebagaimana tersebut di atas menunjukkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum berbeda. Fungsi hukum mengalami perkembangan sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Perkembangan fungsi hukum tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya.
Fungsi
hukum
dalam
suatu
masyarakat
sebenarnya
mencerminkan kebutuhan masyarakat dimana tempat hukum itu berlaku. Oleh karena hukum itu diciptakan oleh masyarakat sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan.
17 Kartosapoetra, et.,al. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta, Rineka Cipta, 199 ,h. 93.
Moh. Muhibbin. Pola… 116 Terjadinya perubahan secara perlahan-lahan (evolusi) ini dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan kehendak dan perkembangan zaman yang selalu mendambakan keadilan dan dalam upaya mewujudkan satu kesatuan hukum yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, dan keberadaan hukum tanah ada kalanya harus ditinggalkan atau diubah dan disesuaikan dengan kepentingan nasional. Bagi masyarakat yang tinggal di Pesisir pantai, munculnya tanah timbul di berbagai pesisir sungai atau pantai merupakan tanah komunal (desa) yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai usaha mereka. Secara historis faktual masyarakat setempat di wilayah pesisisir pantai telah membuka tanah (babat desa) dan menguasai dari zaman dahulu untuk berbagai kepentingan. Hakikat penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat dengan pemerintah adalah berbeda. Masyarakat setempat menganggap bahwa mereka yang sudah menguasai berarti memiliki karena masyarakat atau warga desa telah melakukan tindakan atau aktifitas secara nyata ( in concreto) menduduki dan mengolah tanah serta memetik hasilnya, sedangkan bagi pemerintah (negara) dalam hal ini pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) menganggap bahwa tanah tersebut menjadi hak penguasaan negara yang mempunyai kewenangan untuk mengatur kepemilikannya. Menurut persepsi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai, khususnya di Kabupaten Gresik dan Pasuruan, bahwa status tanah timbul tersebut merupakan tanah
desa
yang
sekaligus
juga
sebagai
tanah
negara,
masyarakat
diperkenankan untuk membukanya dan memanfaatkannya dengan batas yang sudah ditentukan sebagai usaha pertanian tambak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sulastriyono tentang kasus penguasaan tanah timbul di sungai Citandui yang mengatakan bahwa, pembukaan tanah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak-hak atas tanah dengan melalui tata cara tertentu, yaitu diketahui atau seizin kepala desa setempat.18 Realitas hukum yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa setiap orang yang membuka tanah kosong, membuka hutan diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah (erfelijk indiviueel bezits recht). Hal ini sejalan dengan konsep
18 Sulastriyono, Op.,cit., h. 188
117. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 hukum adat dalam memperoleh hak milik atas tanah, sejalan dengan teori hukum Islam dan teori-teori lama, seperti teori occupatio, kodrat, dan individual
labor
mengenai perolehan hak milik atas tanah. Dari beberapa teori diatas,
nampaknya untuk kondisi sekarang cara perolehan hak milik secara adat masih memungkinkan
selama
UUPA
mengakui
keberadaan
hukum
masyarakat
setempat (adat). Sebagaimana dijelaskan pasal 5 UUPA yang menyatakan “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini….”. Dari pasal ini dapat diketahui bahwa latar belakang, sejarah dan proses penyusunan serta dasar berfikir penyusunan UUPA menunjukkan bahwa Undang-Undang ini merupakan hukum yang terbentuk berdasarkan kesadaran hukum masyarakat hukum adat. Hal ini ditegaskan pada penjelasan umum III angka I UUPA bahwa “… Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuanketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat di berbagai daerah di wilayah Indonesia, masih mempunyai tempat manakala
di hadapkan kepada
pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.... Pasal 5 UUPA secara implisit tidak menegaskan doktrin hukum mana yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Cita-cita UUPA adalah mewujudkan kepastian hukum tanah di Indonesia dan dengan kesatuan hukum yang diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Ketidaktegasan pasal 5 UUPA tersebut secara implisit juga mengakui adanya pluralisme hukum, yaitu hukum adat yang dianut oleh berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia. Ketidaktegasan tersebut mengakibatkan hukum tertulis (UUPA) dihadapkan kepada dua keadaan, yaitu kepastian dan ketidakpastian, lebih lanjut akan dihadapkan pula kepada pertanyaan dan tuntutan tentang kesebandingan
Moh. Muhibbin. Pola… 118 masalah dan pertanyaan ini akan selalu timbul bila berhadapan dengan tiga kepentingan, yaitu kepentingan individu, masyarakat hukum adat dan negara dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh negara RI. Berkaitan dengan pelaksanaan hak penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat di Kabupaten Gresik dan Pasuruan terdapat dua sistem hukum yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para pihak, yaitu hukum negara (hukum tertulis) dan hukum masyarakat melalui mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (hukum tidak tertulis). Masyarakat (warga desa) Gresik dan Pasuruan telah menggunakan hukum masyarakat melalui mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat sebagai hukum kebiasaan mereka jauh sebelum terbentuknya UUPA (hukum tertulis), sebagai dasar untuk menguasai dan memiliki tanah timbul. Akan tetapi dalam praktek, masyarakat yang hidup di pesisir pantai khususnya di Kabupaten Gresik mulai tahun
1990-an
menggunakan
selain hukum
menggunakan tertulis
hukum
lokal
ketika permohonan
(tidak hak
tertulis)
diajukan
juga
kepada
pemerintah, dimana peraturan yang dipakai oleh pemerintah adalah UU No. 56/Prp./1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian, PP Nomor 224/tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian dan PP Nomor 24/tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Untuk
menyeimbangkan
atau
mengakomodasi
antara
beberapa
kepentingan yaitu kepentingan individu, masyarakat dan negara agar tidak terjadi pertentangan kepentingan, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap penguasaan terhadap tanah-tanah yang masih kosong/tanah yang belum dibebani hak, sehingga terjadi keseimbangan diantara tiga kepentingan (individu, masyarakat, dan negara). Oleh karena itu upaya yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah pertentangan kepentingan yang berhadapan dengan tuntutan terwujudnya keseimbangan adalah dengan melakukan pengkajian terhadap latar belakang masalah tersebut kepada keseimbangan dari ketiga kepentingan. Dengan demikian melihat kenyataan yang ada di Indonesia masih terdapat pluralisme hukum di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah
kosong, seperti tanah timbul. Wujud pluralisme hukum tersebut nampak jelas di lapangan, yaitu ada dua sistem yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para
119. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 pihak. Dua sistem hukum tersebut adalah hukum masyarakat lokal (tidak tertulis), hukum negara (tertulis). Dengan mengacu konsep pluralisme/kemajemukan hukum dari Sally F. Moore maka masing-masing pihak yang berkepentingan untuk menguasai tanah timbul tersebut di atas merupakan wujud nyata dari semi autonomous social field (lapangan sosial semi otonom). Karakteristik lapangan sosial semi otonom adalah kemampuan
untuk
menciptakan
aturan-aturan
yang
berlaku
dalam
lingkungannya sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati aturan tersebut.19 Wujud dari semi autonomous social field membuat para pihak mempunyai strategi untuk memilih dan menggunakan aturan-aturan dari negara (hukum tertulis) maupun hukum lokal (tidak tertulis) sesuai dengan manfaat yang akan diperolehnya. V. PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan uraian di atas sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :1)Pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (inner order mechanism/self regulation) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai, diawali dengan pembukaan atas tanah yang belum dilekati hak (tanah kosong) yaitu munculnya tanah di pesisir pantai sebagai proses sedimentasi (tanah timbul) dengan mendapat izin dari penguasa masyarakat (Kepala Desa) dan dituangkan dalam surat keterangan menggarap (surat Segel di Kabupaten Gresik) dan Surat Izin Pengelolaan Tambak Tanah Oloran (SIPTTO di Kabupaten Pasuruan), dikerjakan dan dikelola secara intensif dengan iktikad baik kemudian terjadilah penguasaan tanah oleh masyarakat dengan hak menggarap. 2) Pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan yang letaknya di pesisir pantai utara
19 Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, h. 152
Moh. Muhibbin. Pola… 120 Jawa Timur, sangat dibutuhkan oleh kesungguhan penguasaan dan penggunaan (intensitas de facto) atau penggarapan manusia atas tanah tersebut. Semakin intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah tersebut. 5.2 Saran-Saran Peraturan
perundang-undangan
pertanahan
di
Indonesia
belum
memberikan pengaturan yang memadai mengenai penguasaan tanah timbul di pesisir pantai. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah untuk: 1) Melakukan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah timbul melalui penyempurnaan dalam peraturan perundang-undangan pertanahan di Indonesia. Atau hendaknya pemerintah segera membentuk peraturan perundang-undangan tentang hak milik yang di dalamnya memuat penjelasan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai. Pentingnya pengaturan tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan atau landasan hukum yang jelas bagi masyarakat yang melakukan penguasaan atas tanah timbul. 2) Dalam penyempurnakan atau membentuk peraturan perundangundangan, hendaknya pembentuk undang-undang memperhatikan hukum yang hidup dalam
kehidupan masyarakat yang merupakan
cerminan
budaya
masyarakat, atau didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-mekanisme pengaturan lokal
dalam
masyarakat
(inner order
mechanism/self regulation) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai. 3) Efektifitas penyuluhan hukum pada masyarakat berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah timbul perlu ditingkatkan, agar masyarakat sadar dan mengerti tentang status tanah tersebut yang muncul di perairan pantai utara laut Jawa.
121. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121 DAFTAR PUSTAKA Ardiwilaga, R. Roestandi (1962), Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Masa baru, Bandung. Bodenheimer, Edgar. (1978) Seventy Five Years of Evolution Legal Philosophy, American Journal Jurisprudence, America. Harsono, Boedi. (2003) Undang-undang Pokok Agraria : Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid ke-2, Jembatan, Jakarta. Hermayulis.(1999) Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap
Hubungan Kekerabatan pada Sistem Kekerabatan Matrialinial Minangkabau di Sumatra Barat, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kartasapoetra. et.,al. (1991) Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, jakarta. Keraf, Sonny. (1997) Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi , , Kanisius, Yogyakarta. Locke, John. (1988)Two Treaties of Government, Cambridge University Press, Cambridge. Munir, M. (1998) Penegakan Hukum Dalam Masyarakat: Suatu Rumusan Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum UNIBRAW, Malang. Mudjiono. (1997) Politik dan Hukum Agraria, Liberty,Yogyakarta Sulastriyono. (2000) Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus
Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Soetiknjo, Iman(1994) Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Prees, Yogyakarta. Van Der Meer, Van Setten (1979) Sawah Cultivation in Accient Java, Oriental Monograph Serie, No. 229, Canberra Australian National University. Wojowasito.S, (1997), Kamus Bahasa Belanda, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Ucapan Terima Kasih… 122
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Mitra Bestari yang telah membantu melakukan penilaian tentang kelayakan substansi dari artikel yang dimuat dalam jurnal hukum – Prasada, Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar, seri penerbitan perdana yaitu : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. I Made Weni, S.H.,M.S Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Dr. I Made Sepud, S.H.,M.H. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar Dr. I Gusti Anom Kerti, S.H.,M.Kn. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar
Denpasar, September 2013
Redaksi
123. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 123-123 BIODATA PENULIS I Nyoman Nurjaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No. 169 Malang. I Ketut Mertha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar-Bali. I Putu Gelgel, Program Studi Hukum Agama Hindu Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sulatri Tembau, Denpasar-Bali. I Made Suwitra, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali. I Nyoman Alit Puspadma, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali. I Nyoman Putu Budiartha, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali. Moh. Muhibbin, Fakultas Hukum Universitas Islam, Malang, Jl. MT. Haryono 195 Malang.
Pedoman Penulisan… 124 PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL HUKUM - PRASADA Substansi artikel : Artikel dapat berupa hasil penelitian, kajian normatif, studi empiris, sebagai hasil pengembangan ilmu hukum dari berbagai bidang ilmu hukum dengan daya selingkung agraria dan Investasi. Artikel belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan pada media lain. Sistematika artikel : Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan sistematika : hasil penelitian, judul, nama penulis dan alamat lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, pendahuluan, Metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka; Selain hasil penelitian, judul, nama penulis dan alamat lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan, dan daftar pustaka. Tulisan berbentuk narasi, tanpa penomoran, data tabel diupayakan seminim mungkin dan tanpa kolom (baris saja). Judul : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tidak lebih dari 12 kata, singkat dan jelas menggambarkan isi pokok tulisan. Nama penulis: tanpa gelar disertai alamat lengkap, lembaga penulis dan nomor telepon, atau HP, E-mail, untuk memudahkan korespondensi. Abstrak : ditulis dalam bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris; tidak lebih dari 200 kata, dalam satu paragraf ; memuat latar belakang permasalahan, metode penelitian, hasil dan pembahasan (untuk hasil penelitian); serta simpulan. Kata kunci : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; terdiri dari tiga sampai delapan kata; memuat istilah2, konsep2, atau kata-kata penting dari tulisan. Pendahuluan : berisi latar belakang dan permasalahan. Metode penelitian : menurut uraian jenis penelitian, pendekatan masalah, metode pengumpulan, pengolahan dan analisis. Hasil dan Pembahasan : (boleh digabung). Memuat data, informasi, dan hasil analis. Simpulan : memuat intisari pembahasan dari permasalahan serta menjawab tujuan. Daftar Pustaka : memuat acuan primer yang mutakhir (75% mengacu kepada pustaka 10 tahun terakhir), dan disusun menurut alfabetis secara kronologis.; 1. BUKU ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), tahun terbit (titik), judul buku (ditulis miring) (titik); 2. Tulisan dalam buku ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), tahun terbit (titik), judul tulisan (titik), inisial dan nama editor (titik), judul buku (ditulis miring) (titik), tempat penerbit (titik dua), nama penerbit (titik); 3. Tulisan dalam jurnal ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), Singkatan nama jurnal (titik), Volume – nomor- bulan dan tahun terbit (titik); 4. Tulisan dalam pertemuan ilmiah ; nama pokok dan inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), nama pertemuan (titik), tempat pertemuan (titik), waktu pertemuan (titik). Penulisan kutipan : kutipan menggunakan cara catatan kaki atau foot note. Catatan memuat nama pengarang buku, judul buku, (Kota buku diterbitkan, Penerbit, tahun), dan halaman buku yang dikutip. Judul buku ditulis miring. Sedangkan untuk judul artikel, makalah, tesis, dan disertasi, ditulis dalam tanda petik tanpa cetak miring. Catatan kaki dimulai setelah ketukan keenam (sama dengan mulainya alinea), jika catatan kaki lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya ditulis dari awal margin kiri halaman. Hal yang dikutip diawali dan diakhiri dengan tanda (“). Jika kutipan lebih dari tiga baris, maka hal yang dikutip harus ditulis dengan satu spasi dan ketikan dimulai setelah ketukan keempat. Contoh : penulisan catatan kaki : 12Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Rajawali Pers, 1995), hlm. 117 13Adami Chazzawi, Hukum Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi, (Malang, Bayu Media, 2007), hlm. 76 Penyerahan artikel : artikel dikirimkan sejumlah dua eksemplar naskah asli beserta soft copynya di dalam CD. Ditulis dengan menggunakan kertas A4, sepasi ganda, huruf time new roman, font 12, dan panjang artikel 15-20 halaman. Artikel dikirimkan ke sekretariat redaksi Jurnal Hukum - Prasada d.a. : Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar (80235) telepom 0361 223858 (hunting), E-mail :
[email protected] Dan
[email protected] Catatan : 1. Redaksi berhak menolak pemuatan artikel yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam petunjuk penulisan atau berdasarkan hasil penelahaan mitra bestari. 2. Untuk menjaga konsistensi jumlah artikel dan jumlah halaman masing2 nomor penerbitan, pemuatan artikel dilakukan berdasarkan pada urutan prioritas penerimaan artikel. 3. Artikel yang diterima menjadi hak lembaga penerbit, dan artikel yang tidak dimuat tidak akan dikemablikan kecuali ada persetujuan sebelumnya. 4. Artikel harus sudah masuk redaksi paling lambat bulan April untuk penerbitan edisi Juli, dan bulan oktober untuk edisi januari.