HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda disajikan pada Tabel 3. Pengaruh pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda pada dendeng menunjukkan adanya perbedaan kandungan total fenolat yang nyata (P<0,05) antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan bumbu II terhadap kandungan total fenolatnya (Tabel 3). Dendeng sapi dengan komposisi bumbu I dan bumbu II mempunyai kandungan total fenolat lebih tinggi (P<0,05) daripada kontrol. Secara kimia senyawa fenolat didefinisikan sebagai senyawa kimia yang memiliki cincin aromatik yang bergandengan dengan gugus hidroksil, termasuk derivat-derivat fungsionalnya seperti ester, metil eter, glikosida, dan sebagainya (Souto, et al., 2001). Senyawa fenolat banyak terkandung dalam tanaman termasuk rempah-rempah. Senyawa ini berfungsi melindungi tanaman dari herbivora dan penyakit (Hagerman, 2002). Adanya senyawa fenolat dalam rempah-rempah ini menyebabkan kandungan total fenolat dendeng yang mendapat tambahan bumbu lebih tinggi daripada yang tidak ditambahkan bumbu. Tabel 3.
Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Perlakuan
Konsentrasi Fenolat (mg EAG/100 g BK sampel)
Kontrol
438,24 ± 32,27a
Bumbu I
1191,65 ± 193,04b
Bumbu II
1022,09 ± 225,79b
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05).
Velioglu et al. (1998) melaporkan adanya hubungan yang kuat antara kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan pada sayuran, buah-buahan, dan produk biji-bijian. Namun dalam studi oleh Kähkönen et al. (1999), diketahui bahwa
tidak ada korelasi antara aktivitas antioksidan dan kandungan fenolat pada beberapa ekstrak tanaman yang mengandung senyawa fenolat. Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada umumnya, antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1) dengan donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada radikal peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi oksidasi parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan berkaitan dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008). Tingkat Oksidasi Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan oksidatif pada minyak atau lemak. Bilangan peroksida dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata (P<0,05) terhadap bilangan peroksida antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara bumbu I dengan bumbu II. Menurut Suharyanto et al. (2008) bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg. Angka peroksida tersebut lebih tinggi daripada angka peroksida dendeng dalam penelitian ini (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan berperan dalam menurunkan tingkat oksidasi yang terjadi pada dendeng. Tabel 4. Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Perlakuan
Bilangan Peroksida (meq/kg)
Kontrol
0,00 ± 0,00b
Bumbu I
2,72 ± 1,06ab
Bumbu II
6,11 ± 1,48a
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05).
23
Bilangan peroksida dendeng sapi pada dendeng sapi kontrol lebih rendah daripada dendeng komposisi bumbu II (Tabel 4). Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Dendeng sapi komposisi bumbu II pada penelitian ini mempunyai bilangan peroksida lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 4), seiring dengan semakin tingginya kandungan fenolat total pada dendeng sapi bumbu II (Tabel 3). Tingginya bilangan peroksida ini menunjukkan bahwa senyawa fenolat yang terkandung dalam rempahrempah yang ditambahkan pada pembuatan dendeng khususnya penambahan bawang putih dan ketumbar, mampu mencegah terjadinya degradasi senyawa peroksil menjadi senyawa lain. Sebaliknya rendahnya kandungan senyawa fenolat pada dendeng sapi kontrol menyebabkan kandungan lemak atau minyak pada dendeng sapi kontrol secara keseluruhan telah mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang mengubah senyawa peroksil menjadi senyawa malonaldehida sebagai produk sekunder reaksi oksidasi. Menurut Suhairi (2007) meningkatnya kadar thiobarbituric acid (TBA) dan menurunnya bilangan peroksida pada suatu produk dapat menjadi salah satu tanda terjadinya ketengikan dan kerusakan produk. Ketengikan pada produk pangan tidak hanya disebabkan oleh reksi oksidasi, namun dapat juga disebabkan oleh rekasi hidrolisis. Menurut Kusnandar (2010) reaksi hidrolisis dapat membebaskan ketiga asam lemak dari gliserin. Reaksi ini dapat terjadi jika ada air dan pemanasan. Mula-mula lemak akan terhidrolisis membentuk gliserin dan asam lemak bebas, kemudian akan terjadi reaksi lanjutan yang menyebabkan pemecahan molekul gliserin dan asam lemak bebas. Air juga dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi konsentrasi dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan pereaksi, dan yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi penggabungan kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur bahan pangan juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Kenaikan nilai a w sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak
24
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami oksidasi (Purnomo, 1995). Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti pada bahan pangan semi basah (intermediate moisture food), oksidasi lemak akan meningkat. Kenaikan tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah disebabkan oleh mobilitas logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam sistem dan pemekaran matriks, yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga tingkatan oksidasi menjadi lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi pengenceran katalis logam yang terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya kadar air pada nilai aw yang sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak (Purnomo, 1995). Karakteristik Organoleptik Penilaian organoleptik merupakan suatu cara mengukur, menilai, atau menguji mutu suatu produk dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia. Penilaian organoleptik telah banyak digunakan untuk menilai mutu suatu produk dalam industri pangan. Data karakteristik organoleptik dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda disajikan pada Tabel 5. Atribut mutu yang digunakan meliputi warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan. Tabel 5. Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Atribut Mutu
Kontrol
Bumbu I
Bumbu II
Warna dendeng
2,84 ± 0,85a
2,32 ± 1,41b
1,72 ± 0,94b
Intensitas aroma bumbu
2,04 ± 1,06a
5,00 ± 1,04b
6,04 ± 1,40c
Tingkat kelembaban
2,44 ± 1,26a
5,08 ± 0,81b
6,12 ± 1,27c
Tingkat kelenturan
2,56 ± 1,56a
5,52 ± 1,00b
6,48 ± 0,87c
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05). Skor warna : 1 = hitam, 2 = coklat kehitaman, 3 = coklat agak kehitaman, 4 = coklat agak kemerahan, 5 = coklat kemerahan, 6 = merah kecoklatan, 7 = merah agak kecoklatan, 8 = merah. Skor intensitas aroma bumbu : 1 = amat sangat tidak kuat, 2 = sangat tidak kuat, 3 = tidak kuat, 4 = agak tidak kuat, 5 = agak kuat, 6 = kuat, 7 = amat kuat, 8 = amat sangat kuat. Skor tingkat kelembaban : 1 = amat sangat tidak lembab, 2 = sangat tidak lembab, 3 = tidak lembab, 4 = agak tidak lembab, 5 = agak lembab, 6 = lembab, 7 = sangat lembab, 8 = amat sangat lembab. Skor tingkat kelenturan : 1 = amat sangat kaku, 2 = sangat kaku, 3 = kaku, 4 = agak kaku, 5 = agak lentur, 6 = lentur, 7 = sangat lentur, 8 = amat sangat lentur.
25
Nilai yang diperoleh di atas berasal dari nilai rata-rata hasil analisis organoleptik pada 25 orang panelis. Hasil dari analisis organoleptik yang meliputi atribut warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan dendeng sapi mentah dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut. Warna Dendeng Warna merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap suatu produk makanan. Konsumen umumnya menyukai dendeng yang mempunyai warna coklat
kemerahan.
Hasil analisis Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa dendeng sapi memiliki warna yang berbeda nyata antara kontrol dengan bumbu I dan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan bumbu II (P<0,05). Warna dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,84 atau menunjukkan warna dendeng coklat agak kehitaman (Tabel 5). Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II mempunyai rataan antara 2,32 sampai 1,72 atau menunjukkan warna dendeng coklat kehitaman. Dendeng sapi dengan komposisi bumbu I dan II memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan kontrol, hal ini disebabkan oleh gula yang ditambahkan pada dendeng tersebut bereaksi dengan asam amino yang terdapat dalam daging yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis sehingga memicu terbentuknya pigmen melanoidin (Bailey, 1998). Pencoklatan non enzimatis sering ditemukan pada produk pangan semi basah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa makanan dapat mengalami proses pencoklatan non enzimatis secara maksimum jika nilai aktivitas airnya berkisar antara 0,30-0,70; namun beberapa peneliti yang lain menemukan kisaran nilai aktivitas air antara 0,600,80 merupakan kisaran nilai aktivitas air dimana reaksi pencoklatan non enzimatis dapat berlangsung secara maksimum (Labuza dan Saltmarch, 1981). Nilai aktivitas air dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,58-0,77 (Tabel 7). Hal ini memungkinkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada dendeng sapi dapat berlangsung secara maksimum. Oleh karena dendeng sapi kontrol tidak mendapat penambahan gula, baik gula pasir maupun gula merah kelapa sehingga menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi menjadi lebih rendah dibandingkan dengan dendeng bumbu I dan II berdasarkan analisis organoleptiknya.
26
Intensitas Aroma Bumbu Pengaruh pemberian konsentrasi bumbu yang berbeda pada dendeng menunjukkan adanya perbedaan intensitas aroma bumbu yang nyata (P<0,05). Intensitas aroma bumbu pada dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,04 atau menunjukkan intensitas aroma bumbu dendeng sapi yang sangat tidak kuat. Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,00 atau menunjukkan intensitas aroma bumbu yang agak kuat. Bumbu II mempunyai rataan 6,04 atau menunjukkan intensitas aroma bumbu yang kuat. Intensitas aroma bumbu dendeng sapi pada komposisi bumbu II lebih kuat daripada dendeng sapi bumbu I dan kontrolnya (Tabel 5). Konsentrasi bawang putih dan ketumbar pada bumbu II dua kali lebih banyak daripada bumbu I sehingga menyebabkan intensitas aroma bumbu lebih kuat. Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia yang terdapat dalam minyak atsiri. Berdasarkan jenis unsur penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi (Suhirman dan Yuhono, 2007). Tingkat Kelembaban Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat kelembaban yang nyata (P<0,05) pada setiap perlakuan. Tingkat kelembaban dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,44 atau menunjukkan dendeng yang sangat tidak lembab. Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,08 atau menunjukkan dendeng yang agak lembab, sedangkan bumbu II mempunyai rataan 6,12 atau menunjukkan dendeng yang lembab. Dendeng sapi dengan komposisi bumbu II lebih lembab daripada dendeng bumbu I dan kontrol (Tabel 5). Kadar air yang terkandung dalam bumbu yang ditambahkan pada dendeng menyebabkan permukaan dendeng menjadi lebih lembab terutama pada penambahan bawang putih. Bawang putih yang ditambahkan pada komposisi bumbu II dua kali lebih banyak dari pada bumbu I, hal ini yang menjadi penyebab dendeng pada formulasi bumbu II lebih lembab daripada dendeng yang lain. Kandungan kadar air bawang putih menurut Leelarungrayub et al. (2006), yaitu sebesar 37,87 ± 0,6%. Selain itu penambahan gula pada dendeng dapat menyebabkan penampakan produk yang tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 2005). 27
Tingkat Kelenturan Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat kelenturan dendeng yang nyata (P<0,05). Tingkat kelenturan dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,56 atau menunjukkan dendeng yang kaku. Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,52 atau menunjukkan dendeng yang lentur, sedangkan bumbu II mempunyai rataan 6,48 yang juga menunjukkan dendeng yang lentur. Dendeng sapi dengan komposisi bumbu I dan II lebih lentur daripada dendeng kontrol (Tabel 5). Kelenturan dendeng dipengaruhi oleh jumlah air yang terkandung di dalam dendeng. Kadar air dendeng sapi bumbu I dan II lebih tinggi daripada dendeng sapi kontrol (Tabel 8). Air tersebut dapat berasal dari daging maupun dari bumbu yang ditambahkan. Semakin banyak air yang terkandung di dalam dendeng, maka semakin berkurang tingkat kekakuan dendeng (Setyowati, 2002). Rendemen Rendemen merupakan presentase hasil bagi antara berat dendeng yang dihasilkan dengan berat adonan dendeng sebelum dikeringkan dengan oven. Semakin tinggi nilai rendemen produk dendeng maka semakin tinggi efektivitas dan efisiensi dari produk dendeng yang dihasilkan, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Dengan kata lain rendemen merupakan keuntungan atau kelebihan dalam pendapatan, sebagai akibat daripada usaha kerja. Rataan rendemen dendeng yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Rendemen Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Perlakuan
Rendemen Dendeng (%)
Kontrol
30,11 ± 3,32b
Bumbu I
46,37 ± 1,07a
Bumbu II
48,08 ± 3,77a
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05).
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara kontrol dengan bumbu II (P<0,05), namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan bumbu II. Rata-rata nilai rendemen dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara
28
30,11% sampai dengan 48,08% (Tabel 6). Rendemen dendeng sapi yang diberi perlakuan tanpa bumbu (kontrol) memiliki rendemen yang lebih rendah daripada dendeng yang diberi perlakuan bumbu I dan bumbu II. Hal ini disebabkan dendeng sapi bumbu I dan bumbu II mendapat penambahan bumbu-bumbu berupa gula, garam, dan rempah-rempah. Bumbu-bumbu tersebut menyebabkan persentase penurunan kadar air menjadi lebih rendah, khususnya gula. Gula yang ditambahkan pada pembuatan dendeng mampu mengikat air bebas yang terdapat pada dendeng, selain itu gula juga berperan dalam mencegah penguapan air (Soeparno, 2005). Rendahnya air yang hilang dari produk akibat penguapan menyebabkan berat produk lebih tinggi sehingga nilai rendemen meningkat, sebaliknya tingginya air yang hilang menyebabkan berat produk menjadi lebih rendah sehingga nilai rendemen menurun (Setianingtias, 2005). Aktivitas Air Aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Salah satu cara yang umumnya digunakan dalam menentukan masa simpan suatu produk pangan adalah aw. Aktivitas air yang terkandung di dalam makanan dijadikan indikator pertumbuhan mikroba. Nilai aktivitas air dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai aw Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Perlakuan
Aktivitas Air
Kontrol
0,77 ± 0,07a
Bumbu I
0,58 ± 0,02b
Bumbu II
0,62 ± 0,03b
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05).
Hasil analisis ragam pada aktivitas air menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata (P<0,05) antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan bumbu II (Tabel 7). Aktivitas air pada dendeng sapi kontrol lebih tinggi (P<0,05) daripada dendeng sapi bumbu I dan bumbu II. Turunnya nilai
29
aw pada dendeng sapi bumbu I dan bumbu II ini dipengaruhi oleh gula dan garam yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng. Kegunaan gula dalam pengolahan bahan makanan dengan konsentrasi tinggi menyebabkan sebagian air yang ada dalam bahan menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroba, sehingga aw dari bahan pangan menjadi menurun (Supardi dan Sukamto, 1999). Purnomo (1995) menambahkan, bahwa sukrosa sebagai komponen utama dari gula kelapa yang ditambahkan bersama garam dapur berperan sangat nyata dalam menurunkan nilai aw. Gula dan garam memiliki kemampuan untuk mengikat air dari bahan. Kemampuan mengikat air ini dipengaruhi osmosis. Osmosis adalah peresapan air melalui sebuah membran tipis, dan terjadi pada dua larutan berbeda konsentrasi (kepekatan). Air akan mengalir dari larutan kurang pekat ke larutan yang lebih pekat melewati membran, sehingga air di dalam sel akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula atau garam (Winarno, et al., 1980). Pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda antara bumbu I dan bumbu II ternyata tidak memberikan pengaruh perlakuan terhadap a w, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi bawang putih dan ketumbar yang ditambahkan pada pembuatan dendeng tidak dapat menurunkan aw. Menurut Scott (1957) bakteri tumbuh dari aw 0,75 sampai dengan 0,99, sedangkan ragi dan fungi tumbuh lamban pada nilai a w 0,62. Aktivitas air dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,583 sampai dengan 0,767 (Tabel 7). Hal ini menyebabkan dendeng rawan ditumbuhi oleh jamur maupun bakteri jika penanganan penyimpanan tidak dilakukan dengan benar. Kadar Air Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari suatu bahan pangan. Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Menurut Winarno (1997) air sangat berpengaruh terhadap penampakan, tekstur, cita rasa, daya terima, kesegaran serta daya tahan suatu bahan pangan. Kandungan air pada dendeng yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda ditunjukkan pada Tabel 8. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata (P<0,05) terhadap kadar air antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara 30
kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara bumbu I dengan bumbu II. Kadar air dendeng sapi kontrol lebih rendah (P<0,05) daripada dendeng pada komposisi bumbu I dan bumbu II (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan tidak berperan dalam menurunkan kadar air tetapi hanya berperan dalam pembentukan cita rasa yang khas pada dendeng. Menurut Huang dan Nip (2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai aw berkisar antara 0,60-0,92, spesifikasi ini sudah sesuai dengan kadar air dan aw dendeng sapi yang dibuat dalam penelitian ini. Tabel 8. Kadar Air Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda Perlakuan
Kadar Air (%)
Kontrol
21,64 ± 3,57a
Bumbu I
30,48 ± 1,95b
Bumbu II
31,49 ± 2,30b
Keterangan :
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05).
Kadar air pada produk akhir merupakan kadar air total dendeng setelah dilakukan pengolahan. Kondisi kadar air ini salah satunya dipengaruhi oleh kandungan air bahan serta air yang ditambahkan ke dalam produk. Rempah-rempah yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng mempunyai kandungan air yang cukup tinggi sehingga menyebabkan kadar air total dendeng sapi bumbu I dan II menjadi lebih tinggi daripada kontrol. Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh gula yang ditambahkan. Menurut Soeparno (2005) gula berperan dalam mencegah penguapan air, sehingga air yang hilang dari produk dendeng menjadi lebih sedikit. Nilai kadar air dan aktivitas air pada penelitian ini berbanding terbalik. Kadar air dendeng sapi kontrol lebih rendah daripada bumbu I dan bumbu II, namun aktivitas air dendeng sapi kontrol lebih tinggi daripada bumbu I dan bumbu II. Hal ini disebabkan air bebas (air tipe III) yang terdapat pada dendeng sapi kontrol lebih tinggi daripada bumbu I dan bumbu II, walaupun kandungan airnya lebih sedikit. Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II memiliki kandungan air tipe II lebih tinggi
31
disebabkan adanya penambahan gula dan garam yang mengikat air bebas yang terdapat dalam produk. Air tipe II adalah molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dengan air minum. Air ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar 3%-7% dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh. Air tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12%-25% dengan aw kirakira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu (Winarno,1997).
32