HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Viabilitas Benih Proses perkecambahan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri atas faktor genetik, tingkat kemasakan benih, dan umur benih. Sementara faktor eksternal terdiri atas air, suhu, cahaya, gas, dan medium perkecambahan (Widajati et al. 2008). Tabel 2 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM) benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan Konvensional
PTM (%) 96
PGPR
92
PGPR + T. polysporum
89
Tabel 2 menunjukkan bahwa potensi tumbuh maksimum pada seluruh perlakuan menghasilkan nilai di atas 85%. Kondisi tanah atau media tanam dapat berpengaruh terhadap perkecambahan, hal ini disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik adalah keadaan fisik tanah dan sifat kimia tanah (kadar garam tinggi, nitrat, nitrit, dan lain-lain). Faktor biotik adalah ada atau tidaknya aktivitas mikroorganisme penghasil inhibitor perkecambahan (Widajati et al. 2008).
Tabel 3 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap daya berkecambah (DB) benih tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
DB (%)
Konvensional
84
PGPR
70
PGPR + T. polysporum.
70
PGPR diketahui memiliki potensi dalam mendukung pertumbuhan tanaman, mekanismenya menurut Soesanto (2008) diperkirakan melalui
menguasai bintil akar dan pelarutan nutrisi. Namun, pada perlakuan konvensional memiliki PTM yang paling tinggi diantara kedua perlakuan lainnya yang mengandung mikroba penghuni tanah atau PGPR (Tabel 2). Begitu pula terjadi pada hasil DB yang diperoleh (Tabel 3). Hal ini terjadi karena pada perlakuan konvensional dilakukan seleksi benih sehingga bisa mengurangi jumlah benih yang gagal berkecambah, sedangkan pada kedua perlakuan lainnya tidak dilakukan seleksi benih. Sementara itu, pada perlakuan PGPR + T. polysporum menghasilkan nilai PTM lebih kecil daripada perlakuan PGPR dan konvensional, hal ini disebabkan oleh suhu pada kondisi persemaian untuk perlakuan ini lebih rendah karena lebih lama terkena naungan pohon sehingga sinar matahari yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Menurut Widajati et al (2008) suhu dapat mempengaruhi perkecambahan melalui cara menentukan kapasitas dan kecepatan perkecambahan (okra suhu 45 oC, 10 hari langsung sesudah tanamam dapat meningkatkan pertumbuhan kecambah). Kemudian menurut Goldsworthy dan Fisher (1996) dua persyaratan umum ekologi perkecambahan biji adalah suhu yang sesuai dan lengas yang cukup. Suhu juga mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk berkecambah dan kondisi hangat menyokong perkecambahan lebih cepat.
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis terhadap Pertumbuhan Bibit Variabel pertumbuhan bibit yang diamati meliputi: panjang akar, volume akar, diameter batang, dan tinggi. Tabel 4 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap panjang akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Panjang akar bibit (cm)
Konvensional
10,79 ± 3,44 (n=10)
PGPR
11,58 ± 2,74 (n=10)
PGPR + T. polysporum
9,92 ± 3,25 (n=10)
Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan dengan PGPR menghasilkan panjang akar yang paling tinggi, diikuti dengan perlakuan konvensional, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya IAA (indoleasetic acid) yang dihasilkan PGPR. Menurut Xie et al (1996 dalam
Glick et al. 1999) efek pada morfologi akar terlihat dari aplikasi
konsentrasi yang bervariasi dari exogenous IAA juga terlihat dari inokulasi pada tanaman dengan bakteri pemacu pertumbuhan yang memproduksi IAA dengan level yang berbeda. PGPR yang digunakan pada penelitian ini mengandung bakteri Pseudomonas flourescens dan Bacillus polymixa. Menurut Beleyer et al. (1997 dalam Glick et al. 1999) mutan P. flourescens CHAO yang ditambahkan pada tanah steril dari gandum dan mentimun yang menimbulkan efek kerusakan pertumbuhan akar primer yang ditunjukkan dari banyak strain yang mensintesis IAA dengan tingkat tinggi. Sementara itu, menurut Soesanto (2008) mekanisme PGPR dalam hal mendukung pertumbuhan tanaman belum sepenuhnya dimengerti, tetapi salah satunya diperkirakan melalui mekanisme pengaturan produksi etilen pada perakaran. Pada penelitian ini diketahui bahwa PGPR dalam mendukung pertumbuhan tanaman sedikit terlihat. Pada beberapa kasus etilen bertindak dalam penghambatan pemanjangan sel. Sebelumnya diketahui bahwa pengaruh penghambatan disebabkan oleh auksin, namun saat ini pengaruh penghambatan dikarenakan adanya sintesis etilen yang diinduksi oleh konsentrasi auksin yang tinggi. Sebagai contoh, diperkirakan etilen yang menghambat pemanjangan akar dan perkembangan tunas aksilar dalam kondisi auksin yang berlebihan (Campbell et al. 2003). Pernyataan tersebut, mendukung bahwa hasil panjang akar pada perlakuan yang menggunakan PGPR tidak berbeda jauh dengan perlakuan konvensional diduga karena adanya produksi IAA yang berlebihan oleh mikroorganisme pada PG PR.
Tabel 5 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap volume akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Volume akar bibit (ml)
Konvensional
0,8 (n=10)
PGPR
1,6 (n=10)
PGPR + T. polysporum
0,4 (n=10)
Berdasarkan hasil pengamatan, volume akar bibit terlihat bahwa adanya perbedaan volume akar dari masing-masing perlakuan. Perlakuan PGPR memperlihatkan hasil yang paling tinggi. Perlakuan PGPR + T. polysporum tinggi tanaman memiliki volume akar paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Berdasarkan (Tabel 4) diketahui bahwa akar bibit yang paling panjang diantara kedua perlakuan lainnya adalah perlakuan dengan PGPR, hal tersebut dapat mempengaruhi besarnya volume akar. Soesanto (2008) menjelaskan bahwa suatu penerapan PGPR pada rizosfer sangat dikaitkan dengan kemampuannya
mengkoloni
perakaran
tanaman.
PGPR
harus
mampu
menyelubungi sepanjang permukaan akar. Adanya keaktifan pengkolonian akar tersebut, akar menyerap produk mikroba yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi akar. Tabel 6 Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap diameter akar bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Diameter batang bibit (mm)
Konvensional
2,05 ± 0,37 (n=10)
PGPR
2,40 ± 0,32 (n=10)
PGPR + T. polysporum
1,98 ± 0,08 (n=10)
Perlakuan PGPR memperlihatkan hasil yang paling tinggi dalam ukuran diameter batang (Tabel 6). Adanya penyerapan nutrisi yang baik oleh tanaman yang dibantu dengan peran PGPR akan berdampak pada morfologi tanaman yang ditunjukkan pada ukuran diameter batang yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan konvensional. Campbell et al. (2003) menjelaskan bahwa selain merangsang pemanjangan sel untuk pertumbuhan primer, auksin juga mempengaruhi pertumbuhan sekunder dengan cara menginduksi pembelahan sel pada pada kambium pembuluh dan mempengaruhi diferensiasi xylem sekunder. Tabel 7
Pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap tinggi bibit tomat di persemaian Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Tinggi bibit (cm)
Konvensional
7,45 ± 0,80 (n=10)
PGPR
7,65 ± 0,79 (n=10)
PGPR + T. polysporum
6,65 ± 0,57 (n=10)
Menurut Campbell et al. (2003) meristem apikal suatu tunas merupakan tempat utama sintesis auksin yang fungsi terpentingnya adalah merangsang pemanjangan sel pada tunas muda yang sedang berkembang. Namun dengan perlakuan PGPR + T. polysporum, tinggi bibit memiliki nilai paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil secara keseluruhan pada pengamatan pertumbuhan bibit menunjukkan bahwa perlakuan dengan PGPR memiliki peranan yang cukup berpengaruh dalam mendukung pertumbuhan bibit. Hal ini terbukti karena menurut Soesanto (2008) PGPR pada awal pertumbuhan tanaman menyebabkan adanya pertumbuhan morfologi tanaman. Sementara itu, dengan perlakuan PGPR + T. polysporum, pertumbuhan bibit paling kecil dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Kandungan pupuk organik yang dapat langsung diserap oleh akar tanaman prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan pupuk kimia sintetik karena pada pupuk organik membutuhkan proses penguraian terlebih dahulu. Oleh karena itu, perlu mikroorganisme pengurai dan pelapuk bahan organik yang membantu dalam mempercepat proses penguraian pupuk tersebut di dalam tanah, contohnya mikroorganisme pengurai seperti PGPR yang mampu membuat nutrisi
yang siap diserap oleh tanaman dari bahan organik dan Trichoderma sp. yang membantu proses pelapukan bahan organik. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman yang menggunakan kombinasi kedua mikroorganisme pengurai tersebut menunjukkan hasil yang tidak semestinya jika dibandingkan dengan perlakuan konvensional yang tidak menggunakan pupuk kimia saat persemaian. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya persaingan antara PGPR dan T. polysporum tersebut dalam menguasai ruang gerak dan perolehan nutrisi di media persemaian yang terbatas karena menggunakan plastik polybag sehingga peran PGPR dan T. polysporum kurang optimal dalam membantu pertumbuhan bibit atau kedua agen tersebut diduga tidak bersifat kompatibel. Menurut Gunawan et al. (2006) populasi cendawan tanah ± 100 kali kurang dari populasi bakteri tanah, namun cendawan biasanya mempunyai biomassa yang lebih besar dan kebanyakan cendawan sering kali kepadatannya bertambah di sekitar akar.
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Pertumbuhan Tanaman Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa pada tinggi tanaman umur 21 HST pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR + guano. Namun, keduanya berbeda nyata dengan perlakuan PGPR + guano + T. polysporum. Meskipun pada pengamatan pada umur 29 HST semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara masing-masing perlakuan (Tabel 8).
Tabel 8 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap tinggi tanaman tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Tinggi tanaman (cm)1 Perlakuan
21 HST
29 HST
Konvensional
48,41a
57,89a
PGPR + guano
49,89a
61,24a
PGPR + guano + T. polysporum
37,35b
45,61a
Keterangan:1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05 HST= Hari Setelah Tanam
Tabel 8 menunjukkan tinggi tanaman pada perlakuan PGPR + guano tidak berbeda nyata dengan perlakuan konvensional. Hasil pengamatan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Rahadi (2008) yang menyatakan bahwa interaksi antara pupuk kandang sapi dan guano berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan batang polong kedelai/10 m2. Selain pernyataan tersebut, telah diketahui bahwa PGPR mampu menghasilkan IAA atau auksin yang membantu pertumbuhan tanaman. Tabel 9 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah tangkai bunga tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Jumlah tangkai bunga1 4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
Konvensional
1,44a
4,33a
8,67a
11,44a
PGPR + guano
2,83a
4,56a
9,61a
11,61a
PGPR + guano + T. polysporum
1,33a
4,28a
7,89a
11,72a
Keterangan:1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05 MST = Minggu Setelah Tanam
Berdasarkan uji Duncan 5% dari perlakuan satu dengan yang lainnya pada (Tabel 9) tidak berbeda nyata dalam menghasilkan jumlah tangkai bunga. Pada penelitian ini, perlakuan konvensional menggunakan pupuk M2C dan
pupuk kompos, sementara kedua perlakuan lainnya menggunakan pupuk organik (dalam bentuk PGPR, guano, pupuk urin, dan pupuk organik cair) dan T. polysporum yang hanya digunakan untuk perlakuan yang ketiga. Pada awal pengamatan menunjukkan bahwa adanya peran PGPR dan guano dalam mempercepat dalam merangsang pembentukan bunga. Beck (1959 dalam Wiyatna 2003) menyatakan bahwa kandungan kasar bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% Nitrogen, 3% Fosfor, dan 1% Potasium. Tingginya kandungan Nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman yang cepat, Posfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, serta Kalium mendukung kekuatan batang tanaman. Tabel 10 Pengaruh aplikasi agen antagonis + guano terhadap jumlah buah tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Jumlah buah1 5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Konvensional
0,78a
5,28a
13,56a
17,22a
PGPR + guano
1,68a
6,94a
9,83a
13,5a
PGPR + guano + T. polysporum
0,28a
7,99a
11,89a
12,56a
1
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α = 0,05 MST = Minggu Setelah Tanam
Pada beberapa tumbuhan, auksin dan gibrelin harus ada supaya dapat berbuah (Campbell et al. 2000). Oleh karena itu, adanya PGPR yang menghasilkan IAA dapat membantu mempercepat pembentukan buah, hal tersebut terlihat pada awal pengamatan jumlah buah terbanyak dihasilkan oleh tanaman saat 5 MST adalah pada perlakuan PGPR + guano. Namun, berdasarkan uji Duncan 5% antara masing-masing perlakuan memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam menghasilkan jumlah buah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesetaraan potensi dalam menghasilkan buah antara perlakuan yang sifatnya organik (menggunakan PGPR, guano, T. polysporum, dan pupuk organik) dan perlakuan konvensional.
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Intensitas Penyakit Bercak Daun Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patogen yang menimbulkan gejala bercak daun pada tanaman tomat umumnya disebabkan oleh dua patogen utama yaitu Alternaria solani yang menjadi penyebab bercak kering dan Fulvia fulva yang menjadi penyebab penyakit kapang daun. Pada saat persemaian sudah muncul gejala bercak kering dengan ciri adanya bercak yang berwarna coklat dan di sekeliling bercak berwana kuning atau sering disebut dengan halo. Apabila serangan sangat berat maka buah yang dihasilkan tidak maksimal dan umur tanaman tidak akan lama. Gejala kapang daun muncul pada saat di pertanaman, gejala awalnya adalah warna daun berubah menjadi kekuning-kuningan yang tidak jelas batasnya dan gejala selanjutnya berwarna agak kecoklatan. Selain itu, terdapat beledu berwarna keungu-unguan pada sisi bawah permukaan daun. Pada saat awal pengamatan di lapang gejala kapang daun sudah ditemukan.
a
b
Konidium
Konidiofor
c
d
Gambar 2 Gejala serangan patogen Alternaria solani penyebab penyakit bercak kering dan Fulvia fulva penyebab penyakit kapang daun. a. Gejala penyakit bercak kering di persemaian; b. Gejala penyakit bercak kering di pertanaman; c. Gejala penyakit kapang daun; dan d. Struktur mikroskopik Fulvia fulva
Tabel 11 Pengaruh aplikasi perlakuan agen antagonis + guano terhadap intensitas penyakit bercak daun pada tanaman tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Perlakuan
Intensitas penyakit bercak daun pada MST ke-(%)
AUDPC
2
3
4
5
6
7
8
Konvensional
31,11a
32,22a
25,56a
23,33b
40,00a
52,78a
82,22a
230,56a
PGPR+guano
28,89a
33,33a
35,56a
40,00a
50,00a
61,11a
83,33a
276,12a
PGPR+guano+T. polysporum
33,33a
31,11a
31,11a
36,67ab
55,56a
68,89a
83,33a
281,68a
1
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α=0,05 MST= Minggu Setelah Tanam
Perkembangan patogen kapang daun yang cepat dipengaruhi oleh air hujan. Selama penelitian berlangsung hujan terjadi setiap hari pada 2 MST. Menurut
Giha (1973
dalam
Abadi 1983)
menyatakan bahwa
untuk
perkecambahan A. solani memerlukan air. Intensitas perkembangan penyakit bercak daun terkecil ditunjukkan pada perlakuan konvensional yang terlihat berbeda nyata pada perlakuan PGPR + guano, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan PGPR + guano + T. polysporum pada 5 MST. Hal ini terjadi karena adanya aplikasi fungisida yang cukup intensif setiap minggunya yaitu 1 hingga 4 MST pada perlakuan konvensional yang menyebabkan adanya kecenderungan penurunan intensitas penyakit dari awal pengamatan hingga tanaman berumur 5 MST, walaupun pada 5 MST tidak dilakukan aplikasi pestisida. Pada (Tabel 11), berdasarkan uji Duncan 5% memperlihatkan intensitas penyakit bercak secara keseluruhan pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya yang mengunakan agen antagonis, kecuali pada pengamatan 5 MST. Hal ini menunjukkan bahwa agen antagonis yang jumlah aplikasinya lebih sedikit mempunyai potensi yang sama dalam mengendalikan penyakit bercak daun dibandingkan dengan menggunakan pestisida yang diaplikasikan hampir intensif seminggu sekali (kecuali pada 5 dan 6 MST). Pernyataan tersebut juga didukung dengan hasil nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve) atau area di bawah kurva perkembangan penyakit yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dalam intensitas penyakit tersebut antar masing-masing perlakuan dengan interval waktu pengamatan. Penelitian yang dilakukan Sari (2008) menunjukkan bahwa pada uji potongan daun, perlakuan filtrat guano mampu menekan penyakit bercak coklat atau bercak kering (Alternaria solani). Pengaruh guano dalam menekan penyakit tersebut disebabkan oleh adanya peran bakteri dalam menekan pertumbuhan patogen tersebut. Namun, pada penelitian ini pengaruh agen antagonis memperlihatkan hasil yang tidak nyata dalam menekan penyakit bercak daun dibandingkan dengan perlakuan konvensional. Hal ini dikarenakan agen antagonis yang diaplikasikan dengan menyemprot tanaman adalah guano yang berasal dari kotoran kelelawar sehingga bakteri antagonis yang ada di dalam
guano membutuhkan penyesuaian yang tinggi di filosfer (permukaan daun) dibandingkan dengan kondisi asalnya.
Gambar 3 Pola intensitas penyakit bercak daun pada tanaman tomat yang diberi aplikasi PGPR, G (guano), dan T (T. polysporum) di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Soesanto (2008) menyebutkan bahwa kelompok bakteri memerlukan kelembaban yang sangat tinggi dan air yang bebas di permukaan filosfer yang teratur. Pada awal pengamatan hujan sering terjadi, sementara pada akhir pengamatan sudah jarang terjadi atau sudah mulai memasuki musim kemarau. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kesesuaian agen antagonis khususnya bakteri di filosfer. Pada (Gambar 3) intensitas penyakit bercak daun menunjukkan bahwa pada awal pengamatan agen antagonis sedikit berpengaruh terhadap perkembangan penyakit bercak karena grafiknya membentuk garis yang cukup stabil. Selain itu, umur tanaman yang semakin tua juga akan mempengaruhi perkembangan penyakit bercak daun. Hal tersebut dapat dilihat pada akhir pengamatan. Penelitian Sumaraw (1999) menyatakan bahwa semakin tua tanaman semakin tinggi tingkat keparahan penyakit dan periode kritis
tanaman tomat terhadap serangan A. solani adalah pada umur 50-60 HSS, saat tanaman memasuki fase awal pertumbuhan generatif.
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Kejadian Layu Berdasarkan hasil pengamatan di lapang dan identifikasi dengan media TZC (Tetrazolium Chloride) yang menjadi penyebab utama penyakit layu bakteri pada tanaman tomat adalah Ralstonia solanacearum atau dulunya dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum.
Ooze
a
b
Koloni patogen
c
Gambar 4 Ralstonia solanacearum pada tanaman tomat. a. Gejala penyakit layu pada tanaman akibat serangan patogen; b. Massa patogen yang keluar dari batang tanaman; c.
Hasil identifikasi patogen dengan
menggunakan media TZC (Tetrazolium Chloride)
Awalnya sebelum diketahui penyebab penyakit layu ini, pada 2 MST tanaman menunjukkan gejala berupa munculnya akar adventif yang menjadi salah satu ciri gejala penyakit layu bakteri. Gejala lain yang ditimbulkan adalah daun menjadi layu dan daun-daun tua menjadi berwarna kuning. Selain itu, apabila batang dipotong dan dicelupkan ke dalam air jernih akan keluar massa bakteri seperti lendir yang disebut ooze (Gambar 4b).
Gambar 5 Pola kejadian penyakit layu pada tanaman tomat yang diberi aplikasi PGPR, G (guano), dan T (T. polysporum) di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Hasil pengamatan awal menunjukkan bahwa pada perkembangan penyakit layu perlakuan yang menggunakan T. polysporum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang tidak menggunakan T. polysporum. Kemudian perlakuan yang menggunakan T. polysporum secara keseluruhan kejadian layu cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan PGPR + guano. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada pengaruh positif dari T. polysporum terhadap penyakit layu bakteri. Menurut penelitian Anik (2001) bahwa pada pengujian persentase antagonis yang paling potensial dibandingkan dengan P.
flouresescens dan Bacillus sp. untuk mengendalikan P. solanacearum adalah Trichoderma harzianum karena sifat kompetitifnya yang tinggi. Pada beberapa kasus yang lain, kelompok cendawan Trichoderma sp. ternyata mampu menekan penyakit layu bakteri, contohnya pada penelitian Yusriadi et al. (1997) yang menghasilkan bahwa mikroorganisme yang potensial bersifat antagonis terhadap P. solanacearum in vitro adalah Trichoderma harzianum (Th), Gliocladium fimbriatum (G.84), Trichoderma viridae (B5T), Gliocladium sp. (C2G), P. flourescens (BSK8), P. flourescens (CMK 12) dan P. solanacearum avirulen (AV3). Pengaruh guano dalam menekan penyakit layu bakteri tidak terlihat secara nyata di lapangan, hal ini terlihat dari kedua perlakuan yang menggunakan guano menunjukkan bahwa kejadian penyakit layu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan konvensional. Berdasarkan penelitian Sasmito (2007) diketahui bahwa perlakuan kompos guano, guano, dan kompos tidak dapat menekan terjadinya penyakit layu bakteri dikarenakan bakteri yang terdapat dalam guano kelelawar tidak bersifat antagonis terhadap Ralstonia solanacearum baik dengan mekanisme antibiosis maupun mekanisme kompetisi dalam uji antagonis. Perlu diketahui juga bahwa agen antagonis yang diterapkan ke suatu ekologi pertanaman, khususnya ekologi di dalam tanah, sering mengalami penurunan kemampuan pengaruh yang ditimbulkan terhadap suatu patogen tanaman.
Penurunan
tampak
ketika
agen
antagonis
tersebut
awalnya
memperlihatkan kemampuan yang tinggi, tetapi kemudian menurun pada waktu tertentu. Hal ini banyak disebabkan oleh faktor lingkungan ekologinya dan agen antagonis. Faktor lingkungan seperti curah hujan, pH tanah, kelembaban, kondisi tanah, dan lain-lainnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan agen antagonis adalah pH tanah. Menurut Soesanto (2008) peningkatan pH tanah dengan penambahan kapur akan meningkatkan kesesuaian agen antagonis dari kelompok bakteri, misalnya genus Bacillus dan Pseudomonas. Sebaliknya, penurunan pH tanah akan meningkatkan kesesuaian agen antagonis dari kelompok cendawan, misalnya genus Trichoderma.
Selama penelitian berlangsung, dilakukan pengukuran pH pada masingmasing perlakuan di setiap blok saat tanaman berumur 4 MST. Secara keseluruhan pH yang didapat berkisar 4 sampai 6,6 sehingga diduga kondisi lahan yang umumnya memiliki pH rendah mendukung kesesuaian T. polysporum. Sifat kesesuaian yang saling berkontradiksi antara agen antagonis Trichoderma sp. dan Pseudomonas sp. ditunjukkan pula pada hasil perlakuan yang menggunakan agen antagonis PGPR + T. polysporum dan perlakuan yang menggunakan agen antagonis berupa PGPR yang mengandung bakteri Pseudomonas flourescens. Hal tersebut terlihat pada perkembangan kejadian layu. Pada (Gambar 5) selama selang waktu pengamatan, perlakuan yang menggunakan PGPR + T. polysporum menghasilkan kejadian layu yang cenderung lebih rendah daripada perlakuan yang menggunakan PGPR tanpa menggunakan T. polysporum walaupun hasilnya tidak terlalu signifikan, bahkan ketika perlakuan yang menggunakan agen antagonis PGPR tanpa T. polysporum pada 7 MST mengalami penurunan dalam hal kecepatan perkembangan kejadian layu. Sebaliknya, pada perlakuan yang menggunakan agen antagonis PGPR + T. polysporum pada 7 MST mengalami kenaikan kecepatan perkembangan penyakit layu. Menurut hasil penelitian Paath (1988) pada perkembangan koloni P. solanacearum isolat tomat, ternyata ketiga isolat hasil identifikasi yang mempengaruhi perkembangan penyakit tersebut, tiga isolat Trichoderma sp.: C14 adalah Trichoderma harzianum Rifai, C33 adalah Trichoderma piluliferum, dan C14 adalah Trichoderma polysporum (Link ex Pers.) Rifai memiliki hasil yang sangat nyata. Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa agen antagonis dan guano tidak mampu menekan penyakit layu bakteri. Sampai saai ini memang belum ada agen antagonis yang mampu mengendalikan penyakit layu bakteri secara efektif. Hasil pengamatan terhadap kedua penyakit baik layu bakteri maupun bercak daun memperlihatkan hasil yang tidak nyata, hal ini juga diduga kombinasi agen antagonis tidak bersifat kompatibel. Sementara itu, kombinasi PGPR dengan T. polysporum yang bersifat antagonis kompatibel belum dikemukakan. Namun, Duffy et al. (1996) menyatakan bahwa semua kombinasi dari Trichoderma koningii dan Pseudomonas kelompok flourescens adalah
kompatibel. Selain itu, berdasarkan hasil percobaan Hadiwiyono et al. (1997) semua agen antagonis yang diuji (agen antagonismenya yaitu: Trichoderma viride, Glocladium fimbriatum, dan Pseudomonas kelompok Flourecens) cukup mampu dalam menekan pertumbuhan koloni Ganoderma boninense pada balok kayu kelapa sawit yang ditanam dalam tanah dan interaksi antara dua atau lebih antagonisme yang diaplikasikan menunjukkan tidak ada pengaruh. Selain itu, Hasil pengamatan terhadap kedua penyakit baik layu bakteri maupun bercak daun memperlihatkan hasil yang tidak nyata diduga karena adanya keragaman lain yang mempengaruhi nilai perkembangan kedua penyakit, salah satunya adalah teknik budidaya yang dilakukan masing-masing petani tidak selalu sama.
Pengaruh Aplikasi Agen Antagonis + Guano terhadap Serangan Hama Penggerek Buah Hama penting yang menggerek buah tomat yaitu Spodoptera litura F atau lebih dikenal dengan sebutan ulat grayak. Selain itu, juga terdapat hama Plusia sp. namun, hasil pengamatan di lahan jumlah populasinya sedikit. Kedua hama tersebut sudah menyerang pada saat persemaian. Pada fase generatif hama tersebut menyerang dengan cara menggerek buah. Hama ulat grayak termasuk poligofag yaitu hama yang inangnya banyak karena dari banyak spesies tanaman dan dari berbagai famili sehingga kemampuan hidup hama ini cukup tinggi karena kisaran inangnya yang luas. Inang hama ini antara lain kubis-kubisan, kacang-kacangan, cabai, tomat, dan lain-lain
Gambar 6 Pola persentase kerusakan buah akibat serangan hama penggerek buah pada tanaman tomat yang diberi aplikasi PGPR, G (guano), dan T (T. polysporum) di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009
Gambar 7 Ulat grayak yang sedang menggerek buah tomat di lahan Pondok Pesantren Ushuluddin, Kecamatan Salaman tahun 2009 Kondisi di sekitar lahan penelitian terdapat komoditas tanaman lain yang dibudidayakan, antara lain kubis, kacang panjang, dan padi. Kondisi lahan seperti itu sekaligus sifat hama yang kepridiannya tinggi dapat mempengaruhi perkembangan populasi ulat grayak. Berdasarkan grafik yang diperoleh (Gambar
6), perlakuan konvensional mampu menekan hama karena terlihat dari pola grafik persentase kerusakan buah yang cenderung stabil. Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan konvensional yang menggunakan insektisida Confidor yang dapat menekan populasi ulat grayak. Perlakuan lainnya yang menggunakan agen antagonis dan pengendalian secara mekanik dengan mengambil ulat grayak dan mematikannya walaupun tidak secara rutin menunjukkan bahwa terjadinya kenaikan persentase kerusakan yang cukup tinggi. Bahkan, pada perlakuan dengan menggunakan PGPR + guano + T. polysporum pada 7 MST menghasilkan persentase kerusakan buah tertinggi. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh aplikasi agen antagonis terhadap perkembangan hama disebabkan karena aplikasi guano dilakukan di awal, sementara kerusakan buah mulai tinggi di akhir pengamatan yang mulai memasuki musim kemarau. Saat ini, belum diketahui secara jelas adanya pengaruh agen antagonis penyakit yang digunakan dalam penelitian ini terhadap adanya serangan hama penggerek buah. Walaupun begitu, penelitian yang telah dilakukan Mulyono (2008) menunjukkan bahwa penyemprotan ekstrak guano effektif dalam menekan tingkat kerusakan oleh Helicoverpa armigera pada tanaman tomat.