IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik 4.1.1. Karakteristik Petani Jagung Hibrida Karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 19. Dari sisi umur, baik petani di Jawa Timur maupun Lampung tergolong usia produktif. Sebagian besar responden petani di Jawa Timur, tingkat pendidikannya SLTP dan SLTA bahkan sekitar 11% adalah lulusan perguruan tinggi. Sementara di Lampung, sebagian besar responden petani berpendidikan SD. Indeks pertanaman (IP) jagung yang umum dilakukan petani adalah 1 – 2 kali dalam setahun dengan rata-rata di Jawa Timur dan Lampung masing-masing 1,63 dan 1,51. Di Jawa Timur dan Lampung, berturut-turut 51% dan 63% petani melakukan IP 2 kali/tahun.
Tabel 19. Persentase petani pada tiap kategori karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian No Uraian karakteristik/kategori 1. Usia petani (%) a. b. c. 2. Tingkat pendidikan (%) a. b. c. 3. IP jagung (%) a. b. 4. Skala usaha (%) a. b. c. d. e.
17 - 25 tahun 25 - 45 tahun > 45 tahun SD SLTP dan SLTA Perguruan Tinggi IP 1 kali/tahun IP 2 kali/tahun Penggarap 0 – 0,5 ha 0,51 – 1 ha 1,01 – 2 ha > 2 ha
Jawa Timur 0 64 36 21 68 11 49 51 15 48 12 25 0
Lampung 2 65 33 70 30 37 63 8 3 30 42 17
Pola tanam jagung di Jawa Timur dan Lampung berbeda. Hal ini karena umumnya petani di Jawa Timur melakukan budidaya jagung di lahan sawah setelah musim padi, sedangkan umumnya petani di Lampung membudidayakan jagung di lahan kering. Baik petani di Lampung, maupun di Jawa Timur, selain 81
berusahatani jagung juga melakukan budidaya komoditi pertanian lainnya, bahkan banyak petani jagung yang melakukan kegiatan usahatani ternak sebagai usaha sampingan khususnya kambing dan sapi. Komoditi lain yang umumnya ditanam petani jagung adalah padi, sayuran seperti cabe, kacang panjang, tomat dan palawija seperti kacang tanah dan lainnya.
Pilihan jenis tanaman ini
menunjukkan petani sebenarnya merespon kebutuhan pasar dengan menanam komoditas yang menghasilkan uang. Sementara petani jagung di lahan tegal, selain menanam jagung, ada juga yang menanam tebu, sayuran, palawija lainnya dan padi.
Petani Lampung yang menanam jagung dua kali dalam setahun
biasanya dilakukan pada MH (musim hujan) dan MKI (musim kemarau I). Sementara di Jawa Timur, petani umumnya menanam jagung setelah budidaya padi yakni di MK I dan atau di MKII. Dari sisi luas tanam, di Lampung relatif lebih luas dibandingkan dengan Jawa Timur. Sebagian besar petani Lampung (89%) luas tanam jagungnya > 0,5 ha, sementara petani gurem (< 0,5 ha) dan petani penggarap (petani tidak memiliki lahan, menanam jagung dengan menyewa) hanya 11%. Di Jawa Timur justru sebanyak 63% petani memiliki luas tanam rata-rata <0,5 ha dan sebagai petani penggarap, sedangkan jumlah petani dengan luas tanam >0,5 ha sebanyak 37% dan tidak ada petani yang mengusahakan jagung di atas 2 ha (Gambar 17).
> 2 Ha
17%
0%
1.01 - 2.0 Ha
42%
25%
0.51 - 1.0 Ha
12%
48% 8%
Penggarap 0%
Lampung Jawa Timur
3%
0 - 0.50 Ha
30%
15% 50%
Gambar 17. Distribusi (persentase petani) luas pengusahaan jagung di wilayah penelitian Jawa Timur dan Lampung.
82
Perbedaan skala usaha yang lebih luas di Lampung tampaknya membuat kontribusi usahatani jagung terhadap penerimaan keluarga di Lampung rata-rata 59% (dengan kisaran 20-100%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Timur rata-rata 44% (dengan kisaran 10-75%).
Sumbangan usahatani jagung
terhadap pendapatan keluarga cukup signifikan besarnya (Gambar 18). Hal ini terkait dengan uraian sebelumnya dimana 63% petani jagung di Lampung menanam jagung dua kali dalam setahun, sementara di Jawa Timur petani yang menanam jagung dua kali dalam setahun sekitar 51%.
Lampung
59%
Rerata
Jawa Timur
44%
100%
Maksimum
75% 20%
Minimum
10% 0%
25%
50%
75%
100%
Gambar 18. Rata-rata dan kisaran minimum-maksimum usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga
kontribusi
Dalam berusahatani, baik petani di lampung maupun Jawa Timur, sudah rasional.
Hal ini dimungkinkan karena semakin berkembangnya teknologi
informasi, pembinaan yang baik dari pihak Pemerintah khususnya Dinas Pertanian maupun pihak swasta dari produsen benih, pupuk atau produsen pestisida. Pilihan terhadap komoditi yang akan dibudidayakan lebih ditentukan oleh alasan ekonomi untuk mendapatkan pendapatan yang baik.
Alasan ekonomi utama memilih
usahatani jagung bagi petani di Jawa Timur adalah menguntungkan/stabil dan alasan ekonomi lainnya adalah biaya atau resiko usaha rendah dan mudah perawatan. Sedangkan alasan kondisi fisik adalah kecocokan dengan lahan dan ketersediaan air yang hanya cukup untuk jagung di MK II (Gambar 19). Sementara di Lampung, alasan ekonomi utama menanam jagung adalah karena mudah perawatan, dan berbagai alasan lainnya seperti umur jagung pendek bila
83
dibandingkan dengan ubi kayu, harga memadai, diajak tetangga, adanya bantuan benih, dan berbagai alasan lain. Menurut petani, perawatan jagung relatif mudah karena tidak terlalu banyak gangguan hama penyakit, tidak seperti usahatani kedelai, padi atau sayuran.
Lainnya
27%
8%
Kemarau, sulit air
Lampung Jawa Timur
17%
Biaya/risiko rendah
8%
Lebih menguntungkan…
8%
Terbiasa/tradisi menanam
38% 13%
4%
17%
Cocok/sesuai dengan lahan Mudah perawatannya
8% 0%
35% 50%
Gambar 19. Alasan petani memilih usahatani jagung di Jawa Timur dan Lampung 4.1.2. Keragaan Budidaya Jagung Hibrida Penggunaan agro-input di wilayah penelitian (Tabel 20) menunjukkan bahwa petani sangat menyadari pentingnya masukan teknologi budidaya yang baik (good agronomic practices) untuk mendapatkan produktifitas yang tinggi. Namun demikian ada sebagian petani yang cenderung menggunakan input dengan dosis yang berlebih seperti pupuk nitrogen. Hal yang mencolok adalah dosis pupuk Urea yang tinggi yakni rata-rata 450 kg/ha, jauh lebih tinggi dari anjuran yang umum untuk budidaya jagung yaitu sekitar 300 kg/ha. Secara umum, petani sudah menggunakan pupuk yang berimbang dalam budidaya jagung, dalam arti jenis pupuk yang digunakan tidak hanya pupuk urea tapi juga digunakan jenis pupuk lainnya seperti pupuk fosfor, KCL dan ZA. Sebagian besar petani, dalam menggunakan pupuk non-urea, lebih menyukai jenis pupuk majemuk khususnya Ponska daripada pupuk non-urea yang terpisah-pisah.
84
Tabel 20. Rata-rata tingkat penggunaan agroinput per hektar dalam usahatani jagung di wilayah penelitian. Komponen 1 Benih (kg) 2 Herbisida paraquat/glifosat (liter) 3 Insektisida - Karbofuran (kg) - Regent & lainnya (ltr) 4 Fungisida b.a. metalaksil (kg) 5 Pupuk - Urea (kg) - Pupuk Majemuk (Phonska/NPK) (kg) - ZA (kg) - KCl (kg) - TSP/SP 36 (kg) - Kompos (kg)+Tetes (ltr)
Jawa Timur 23,03 0,71
Lampung 18,80 4,06
4,32 0,52 0,02
0,24 0,05 -
553,10 171,99 69,09 6,92 33,57 3.034,53
336,77 57,23 56,24 131,48 294,35
Secara keseluruhan, sebagian besar petani menggunakan benih jagung hibrida pada kegiatan usahatani saat ini sejumlah 20 kg/ha (Gambar 20). Namun di Jawa Timur petani menggunakan benih rata-rata sebesar 23 kg/ha, sedangkan di Lampung petani menggunakan benih rata-rata 18,8 kg/ha.
Gambar 20. Pola penggunaan benih (kg/ha) Pola penggunaan pupuk di wilayah penelitian (Jawa Timur dan Lampung) memiliki pola distribusi seperti normal dengan frekuensi terbesar terletak pada dosis sekitar 600 – 700 kg/ha. Pola penggunaan pupuk dan kompos tertera pada Gambar 21 menggambarkan hubungan frekuensi jumlah pengguna vs. dosis yang berbeda. Dari Gambar nampak bahwa pola hubungan yang berbeda antara pupuk anorganik dan kompos dimana sebagian besar petani tidak menerapkan kompos sama sekali pada budidaya jagung.
85
Gambar 21. Pola penggunaan pupuk (kg/ha) dan kompos (kg/ha) Secara keseluruhan, sebanyak 46% petani tidak menggunakan herbisida baik untuk penyiapan lahan maupun untuk penyiangan gulma dalam usahatani jagung hibrida saat ini, sedangkan 68% petani tidak menggunakan insektisida sama sekali seperti terlihat polanya pada Gambar 22.
Gambar 22. Pola penggunaan herbisida (ltr/ha) dan insektisida (ltr/ha) Sistem budidaya jagung di lahan sawah dan lahan tegal relatif sama, dimulai dengan persiapan lahan hingga panen seperti terlihat pada Tabel 21. Di lahan sawah, persiapan lahan untuk usahatani jagung dilakukan dengan cara mengolah tanah yang pada umumnya menggunakan traktor. Khusus untuk MK I, banyak petani yang kondisi lahannya masih cukup gembur setelah musim padi di MH tidak lagi mengolah melainkan cukup dengan membersihkan lahan terutama rumputnya dengan cara disemprot dengan herbisida baik berbahan aktif sistemik atau kontak (tanpa olah tanah). Alasan petani menggunakan cara kimiawi ini umumnya karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan juga dapat menghemat biaya dan waktu.
86
Tabel 21. Tahapan kegiatan budidaya jagung di Jawa Timur dan Lampung No 1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tahapan
Jawa Timur
Lampung
Penyiapan lahan a. Olah lahan Traktor/cangkul/sapi, 15-30 Traktor/cangkul/sapi HBT (hari sebelum tanam) b.Tanpa Olah Umumnya dilakukan pada Tanah (TOT) MK I c.Pembersihan Dengan herbisida sistemik Dengan herbisida sistemik atau rumput atau kontak kontak 7-30 HBT Penanaman Jarak tanam 60x20cm/70x20cm Pemupukan 2 – 3 kali: 7-12 HST; 20-25 HST dan 30-35 HST (hari setelah tanam) Penyiangan Secara manual dicabuti atau Secara manual dicabuti atau gulma dicangkul, atau dibantu sapi, atau menggunakan menggunakan herbisida herbisida Mendangir Dicangkul, sekaligus Dicangkul, sekaligus menyiangi dan menyiangi gulma gulma jika tidak secara khusus membumbun melakukan penyiangan Pengendalian HPT a.Herbisida Berbahan aktif/cara kerja Herbisida kontak atau sistemik, sistemik dan/atau kontak; Digunakan sebelum tanam atau Digunakan sebelum tanam menyiangi atau menyiangi b.Fungisida Berbahan aktif metalaksil dan lainnya untuk mengurangi serangan penyakit bulai (downy mildew), Jarang digunakan; hanya jika terjadi serangan c.Insektisida Berbagai bahan aktif/ formulasi hanya jika terjadi serangan Pengairan Irigasi/pompanisasi/tadah Hampir tidak ada hujan pada saat tanam, saat pemupukan, dan selanjutnya sekali per minggu jika tidak hujan Panen Sistem tebasan atau Diborongkan diborongkan 110-120 HST 110-120 HST Pasca Panen Untuk non-tebasan Angkutan diborongkan
Persiapan lahan untuk usahatani jagung di lahan tegal, pengolahan tanahnya lebih bervarisasi, ada yang menggunakan traktor, ada yang dicangkul dan ada yang menggunakan tenaga sapi atau kerbau.
Kegiatan penanaman
dilakukan setelah persiapan lahan selesai dan sekaligus diatur jarak tanam. Jarak tanam yang umum diterapkan adalah 60x20 cm, 70x20 cm atau 75x20 cm. Umumnya petani sudah terbiasa pada
saat
penanaman
benih
jagung
menambahkan insektisida dalam bentuk butiran dengan maksud mencegah serangan hama.
Sedangkan fungisida biasanya sudah termasuk dalam seed
87
treatment sehingga petani sangat jarang menggunakan tambahan fungisida untuk pencegahan. Terdapat beberapa petani menggunakan tambahan fungisida seperti saromil atau starmil (bahan aktif metalaksil) hanya jika terjadi serangan. Apabila sebelum tanam tidak dilakukan pembersihan rumput, biasanya 10 HST sudah tumbuh rumput yang cukup lebat terutama jika jagung ditanam di MH dan MK I, sehingga petani melakukan penyiangan. Pada umumnya kegiatan penyiangan dilakukan secara manual atau dengan cara dicabuti atau bantuan alat cangkul atau kored oleh tenaga kerja upahan atau keluarga di Jawa Timur. Sedangkan di Lampung biasanya penyiangan dibantu ternak sapi.
Sebagian
petani menggunakan herbisida untuk melakukan penyiangan gulma/rumput. Dalam hal petani melakukan penyiangan secara kimiawi, penyemprotan dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak mengenai tanaman jagung yang sudah tumbuh. Juga biasanya petani melakukan penyemprotan dengan sangat hati-hati yakni dengan mengarahkan nozel alat semprot dekat ke permukaan tanah untuk sedapat mungkin menghindari terkenanya butiran semprot pada daun tanaman.
Jika
sebelum tanam sudah dilakukan pembersihan rumput, biasanya setelah tanaman tumbuh rumput yang tumbuh tidak terlalu lebat sehingga kegiatan penyiangan tidak dilakukan secara khusus, melainkan sekaligus sambil kegiatan pendangiran dan pembumbunan dengan cangkul.
Pendangiran dan pembumbunan adalah
kegiatan pencangkulan dengan mengikuti larik tanaman dengan tujuan agar irigasi dan drainase lancar serta sekaligus penyiangan gulma/rumput. Kegiatan pemupukan dilakukan dua sampai tiga kali hingga tanaman dipanen.
Dewasa ini sebagian kecil petani tidak hanya menggunakan pupuk
kimia, tetapi juga sudah menambahkan pupuk alami sehingga penggunaan pupuk kimia dapat dikurangi. Hal ini karena mereka sudah mulai menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan dapat
merusak
kondisi
tanah,
sehingga
mereka
menambahkan
pupuk
kompos/bokasi ke dalam tanah sebelum tanam atau bersamaan dengan pemupukan pertama. Ada juga yang menambahkan tetes tebu sebagai pengganti pupuk buatan urea khususnya, dengan alasan relatif lebih murah sehingga pengggunaan pupuk urea dapat dikurangi bahkan ada yang sama sekali tidak menggunakan pupuk urea, meskipun penggunaan tetes tebu menurut sebagian
88
petani justru akan memperburuk kondisi lahan. Alternatif pupuk nitrogen lainnya yang mulai dicoba petani adalah urine ternak sapi yang telah difermentasi. Pada dasarnya sebagian besar petani belum melakukan pengendalian hama dan penyakit (HPT) secara preventif, namun lebih pada pengobatan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa HPT dalam usahatani jagung tidak separah tanaman lain seperti padi, sayuran dan hortikultur lain. Kecuali furadan, insektisida lain digunakan hanya jika terjadi serangan hama. Jenis insektisida yang sering digunakan untuk melakukan pemberantasan hama adalah matador dan regent. Jenis penyakit yang sulit diatasi oleh petani adalah bulai (downy mildew). Tanaman jagung sudah dapat dipanen pada umur sekitar 110 hingga 120 hari tergantung varietas jagung yang ditanam.
Kegiatan panen ada yang
menggunakan sistem tebasan dan ada yang menggunakan sistem borongan. Panen yang dilakukan dengan sistem tebasan adalah kegiatan panen yang sekaligus produk hasil panennya dibeli oleh pedagang pengumpul/tengkulak. Dalam hal ini petani jagung tidak lagi harus melakukan kegiatan pasca panen. Cara pembelian biasanya sekitar seminggu atau sepuluh hari sebelum panen, penebas akan datang kepada petani dan melihat tanaman di lapangan, lalu ditaksirnya kemungkinan hasil panen kemudian ditawarkannya harga pembelian. Dengan sistem tebasan, petani pemilik tanaman tidak mengetahui secara persis produktifitas yang dihasilkan dari lahan yang mereka garap, hanya sekedar taksiran saja. Pada umumnya pilihan panen dan penjualan dengan sistem tebasan dengan alasan bahwa tidak ada lantai jemur, cuaca buruk, sulit tenaga kerja, lebih praktis walaupun sebetulnya menurut perhitugan para petani jagung, akan lebih menguntungkan jika dipanen dan dipipil sendiri. Panen dengan sistem borongan artinya petani mengelola sendiri kegiatan panen dan pasca panennya. Biasanya dengan sistem ini, petani mengupahkan kegiatan panen termasuk pengupasan jagung dari kulitnya, dan petani terima jagung di rumah walaupun pembayaran ongkos angkut tetap tanggung jawab petani, tetapi bongkar muat masih tanggung jawab yang memborong kegiatan panen. Jagung dipanen dalam kondisi setengah kering atau tingkat kelembabannnya sekitar 20-30% dan dalam kondisi ini jagung sudah dapat dipipil.
Kegiatan pemipilan biasanya juga diborongkan kepada
89
pemilik mesin pipil dan setelah selesai dipipil baru kemudian dijemur untuk mencapai kadar air sekitar 12-14 persen. Tingkat produktifitas jagung (Tabel 22) di wilayah penelitian saat ini bervariasi dari 2.500 hingga 11.250 kg/ha dimana produktifitas rata-rata jagung di wilayah penelitian Jawa Timur (6.749 kg/ha) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas di Lampung (5.826 kg/ha). Di dalam penelitian ini dengan 125 orang responden, mengkonfirmasi tingkat produktifitas rata-rata yang lebih tinggi di Jatim dibandingkan dengan di Lampung. Secara statistik, produktifitas/ha rata-rata per musim di Jawa Timur berbeda sangat signifikan dibanding dengan produktifitas/ha rata-rata per musim di Lampung. Produktifitas rata-rata per tahun antara kedua propinsi ini tidak berbeda nyata secara statistik. Tabel 22. Produktifitas rata-rata (kg/ha) per musim dan produktifitas total (kg/ha) per tahun petani jagung hibrida di wilayah penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini Keterangan Per Musim 1. Produktifitas rata-rata 2. Standar deviasi Nilai F Nilai p Per Tahun 1. Produktifitas rata-rata 2. Standar deviasi Nilai F Nilai p Indeks Pertanaman (IP) jagung
Propinsi Jawa Timur
Lampung
6.749 2.017
5.826 1.457 8,47 0,004
9.833 3.686
9.255 2.997 0,92 0,341
1,51
1,63
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
Berdasarkan tingkat kesuburan tanah terdapat hal yang menarik dan konsisten sehubungan dengan tingkat produktifitas jagung ini, demikian berdasarkan tipe lahan, intensitas penggunaan pestisida dan tingkat pendidikan (Tabel 23). Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka produktifitas jagung di dalam usahatani juga semakin tinggi. Petani lulusan perguruan tinggi (diploma
90
atau sarjana) memberikan tingkat produktifitas tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa tampaknya terkait dengan akses informasi terhadap baik permodalan maupun input teknologi usahatani jagung yang mendukung peningkatan hasil. Petani yang mempersepsikan tanahnya sebagai lahan yang subur memang ternyata memberikan produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas pada lahan yang dipersepsikan tidak subur atau sedang. Tabel 23. Tingkat produktifitas jagung (kg/ha) di wilayah penelitian Keterangan A. Tingkat Pendidikan 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Perguruan Tinggi Nilai F Nilai p B. Kesuburan Tanah 1. Subur 2. Sedang 3. Tidak subur Nilai F Nilai p C. Tipe Lahan 1. Sawah 2. Tegalan Nilai F Nilai p
Nilai 6.425 6.352 6.946 8.394 4,23 0,007 7.246 6.269 5.106 16,17 0,000 7.403 6.001 14,59 0,000
Keterangan
Nilai
D. Kemiringan Lahan 1. Datar 2. Miring Nilai F Nilai p
6.564 5.847 4,59 0,034
E. Intensitas Penggunaan Herbisida 1. Rendah 2. Tinggi Nilai F Nilai p
6.846 5.791 11,32 0,001
F. Intensitas Penggunaan Insektisida 1. Rendah 2. Tinggi Nilai F Nilai p
6.020 6.913 6,83 0,010
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
Tingkat produktifitas jagung pada tanah subur, sedang dan tidak subur (menurut persepsi petani) secara berturut-turut adalah 7,2; 6,3; dan 5,1 ton/ha. Demikian juga terdapat perbedaan tingkat produktifitas rata-rata jagung menurut tipe lahan yakni lahan sawah dan lahan tegal dimana produktifitas di lahan sawah lebih tinggi daripada di lahan tegal.
Kategori lahan datar memberikan
produktifitas lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dikategorikan miring. Penggunaan insektisida memberikan hasil yang lebih tinggi, sedangkan
91
penggunaan herbisida yang lebih tinggi memberikan produktifitas rata-rata yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi insektisida dapat menekan pengaruh merugikan dari serangga hama tanaman. Sebaliknya aplikasi herbisida khususnya pada penyiangan tanaman memberikan pengaruh merugikan terhadap hasil akibat kerusakan daun tanaman jagung terkena pengaruh semprotan herbisida. Penerimaan/ha per musim untuk propinsi pada individual responden petani (Tabel 24) menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pendapatan antara Jawa Timur dan Lampung dan secara visual seperti ditunjukkan pada Gambar 23. Rata-rata penerimaan/ha petani di Jawa Timur dan Lampung berturut-turut adalah sebesar Rp 12,42 juta dan Rp 10,23 juta dimana penerimaan (revenue) di Jawa Timur lebih tinggi secara signifikan. Demikian pula dari aspek keuntungan yang diperoleh petani ada perbedaan nyata antara propinsi Jawa Timur yang lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi Lampung.
Tabel 24. Penerimaan total, biaya dan keuntungan usahatani hibrida (Rp 000/ha) di wilayah penelitian. Keterangan Penerimaan total Nilai F Nilai p Biaya total Nilai F Nilai p Biaya tenaga kerja Nilai F Nilai p Biaya agroinput Nilai F Nilai p Keuntungan Nilai F Nilai p Rasio R/C
jagung
Propinsi Jawa Timur 12.416
Lampung 10.229 7,50 0,007
6.031
5.638 0,62 0,434
1.964
2.378 2,26 0,135
4.067
3.259 6,93 0,010
6.385
4.591 10,16 0,002
2,06
1,81
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
92
Penerimaan dan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini (Rp 000/ha)
13000
Penerimaan 12416
Keuntungan
Rp 000
10229 6385
6500
4591
0 Jawa Timur
Lampung
Gambar 23. Penerimaan usahatani dan tingkat keuntungan usahatani jagung (Rp 000/ha) di wilayah penelitian
Biaya total dan biaya HOK tidak berbeda nyata, sementara biaya agroinput berbeda nyata (Jatim > Lampung) seperti tertera sebelumnya pada Tabel 25, namun terdapat kecenderungan bahwa biaya tenaga kerja di Lampung lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur (Gambar 24).
Biaya total, biaya tenaga kerja, biaya agro-input usahatani jagung hibrida saat ini (Rp 000/ha) Biaya total 6500
Biaya tenaga kerja
6031
Biaya agroinput 5638
Rp 000
4067 3260
3250 1964
2378
0 Jawa Timur
Lampung
Gambar 24. Biaya total agroinput, biaya total tenaga kerja dan biaya total usahatani jagung di wilayah penelitian
93
Produktifitas rata-rata jagung, penerimaan, biaya total dan tingkat keuntungan antar kabupaten (Tabel 25) menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (nilai p < 0,01). Perbedaan yang sangat nyata ini menunjukkan variasi kinerja usahatani jagung yang beragam di dalam propinsi.
Tingkat
produktifitas rata-rata tertinggi di Jawa Timur dijumpai di kabupaten Kediri, Nganjuk dan Blitar sehingga memberikan penerimaan dan keuntungan yang tinggi di ketiga kabupaten tersebut. Di Lampung tingkat produktifitas tertinggi terdapat di Lampung Selatan, tingkat keuntungan tertinggi dijumpai di Lampung Tengah. Tabel 25. Produktifitas (kg/ha), penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp 000/ha) per musim dan per tahun menurut kabupaten. Kabupaten
Per musim 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. L. Timur 8. L. Tengah 9. L. Selatan Nilai F Nilai p Per tahun 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. L. Timur 8. L. Tengah 9. L. Selatan Nilai F Nilai p
Produktifitas
Penerimaan
Biaya
Keuntungan (%marjin keuntungan)
Rasio R/C
8.172 6.438 5.906 8.134 5.017 7.861 5.895 5.547 6.287
16.406 10.338 8.410 16.867 8.698 15.564 8.193 9.861 12.337
8.081 4.775 4.035 8.906 4.297 8.134 4.060 4.525 8.781
8.325 (51%) 5.563 (54%) 4.375 (52%) 7.961 (47%) 4.311 (50%) 7.430 (48%) 4.133 (50%) 5.337 (54%) 3.556 (29%)
2,06 2,30 2,20 1,94 2,03 2,00 2,19 2,26 1,46
5,85 0,000
10,84 0,000
14,92 0,000
4,83 0,000
3,63 0,001
12.137 9.937 10.813 11.340 8.139 8.469 11.299 9.662 7.069 3,34 0,002
24.651 15.702 14.797 23.396 13.720 16.790 15.454 17.034 13.325 4,16 0,000
11.719 7.469 6.995 12.337 7.100 8.920 7.445 7.672 9.374 3,30 0,002
12.932 8.233 7.802 11.059 6.620 7.870 8.009 9.362 3.951 4,81 0,000
Keterangan: nilai p < 0,01 berarti sangat nyata pada tingkat 95%
94
Biaya tenaga tenaga kerja dan biaya agroinput usahatani jagung menurut kabupaten (Tabel 26) menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01). Seperti telah diuraikan sebelumnya pengeluaran petani untuk agroinput di kabupaten Kediri, Nganjuk dan Blitar di Jawa Timur dan Lampung Selatan di Lampung adalah yang tertinggi dibanding dengan kabupaten-kabupaten lainnya. Penggunaan agroinput yang lebih tinggi ini memberikan kenaikan hasil yang tinggi pula di kabupaten-kabupaten tersebut.
Tabel 26. Biaya tenaga kerja dan agroinput usahatani jagung (Rp 000/ha) per musim menurut kabupaten. Kabupaten 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. Lampung Timur 8. Lampung Tengah 9. Lampung Selatan
Biaya tenaga kerja 2.324 1.684 1.382 3.161 1.154 2.646 1.488 1.590 4.444
Biaya agroinput 5.757 3.091 2.653 5.745 3.143 5.488 2.572 2.935 4.337
Nilai F Nilai p
12,35 0,000
10,67 0,000
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
4.1.3. Simulasi Keragaan Usahatani Jagung Transgenik vs. Jagung Hibrida Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan mengenai sistem budidaya jagung hibrida oleh petani di masing-masing wilayah studi.
Asumsi-asumsi
tingkat harga benih, pestisida, upah tenaga kerja dan harga output panen yang diterima petani pada usahatani jagung saat ini dan diperkirakan akan terjadi bilamana adopsi benih transgenik, serta asumsi-asumsi untuk manfaat yang diperoleh bila mengadopsi benih jagung trasgenik jenis RR, Bt, dan RR+Bt telah dikemukakan pada Bab Metodologi. Tingkat harga input pupuk, kompos, dan input lainnya secara lengkap disajikan pada Lampiran 6. Simulasi peningkatan hasil, penerimaan dan keuntungan finansil usahatani sekiranya petani melakukan adopsi benih jagung transgenik tertera pada Tabel 27.
95
Tabel 27. Simulasi peningkatan produktifitas (kg/ha), penerimaan (Rp ‘000/ha), penghematan biaya serta keuntungan (Rp ‘000/ha) dengan masukan benih jagung transgenik. Skenario A. Hibrida aktual saat ini 1. Produktifitas 2. Penerimaan 3. Biaya total 4. Keuntungan 5. Rasio R/C B. Dengan benih jagung Bt 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 5%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (asumsi penghematan 14%) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C C. Dengan benih jagung RR 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 13%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (asumsi penghematan biaya penyiangan Rp 500 ribu/ha) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C. D. Dengan benih jagung Bt+RR 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 16%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (kombinasi penghematan dengan Bt + RR) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C
Jawa Timur
Lampung
6.749 12.383 6.031 6.352 2,05
5.826 10.234 5.638 4.596 1,82
7.086 13.002 5.187 7.815 2,51
6.117 10.746 4.848 5.897 2,22
7.626 13.993
6.583 11.564
5.531 8.462 2,53
5.138 6.426 2,25
7.829 14.364 4.687
6.758 11.871 4.348
9.677 3,06
7.523 2,73
Analisis simulasi ini menggunakan harga benih dan output panen yang sama, yang membedakan adalah dari segi potensi peningkatan produktifitas dan penghematan biaya dengan adopsi benih transgenik. Dari analisis ini terlihat bahwa keuntungan per ha yang diterima petani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturut-turut adalah Rp 7,8 – 8,4 juta, Rp 8,5 juta dan Rp 9,7 – 10,2 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung keuntungan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,9 – 6,4 juta, Rp 6,4 juta dan Rp 7,5 – 8,0 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta. Rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) juga semakin
96
membaik dengan adopsi benih transgenik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani jagung hibrida sangat menguntungkan bagi petani, lebih-lebih lagi kalau benih transgenik dapat diadopsi. Selanjutnya disimulasikan pengaruh peningkatan harga benih transgenik karena adalah logis untuk menduga bahwa harga benih transgenik akan lebih tinggi (premium price) daripada harga benih hibrida saat ini. Pada Tabel 28 disajikan simulasi analisis input-output usahatani dengan adanya premium harga benih transgenik sebesar 50% dari harga benih hibrida biasa. Di Jawa Timur petani menggunakan benih rata-rata 23 kg/ha, sedangkan di Lampung rata-rata 18,8 kg/ha. Jumlah yang sama diasumsikan digunakan oleh petani bilamana mengadopsi benih jagung transgenik.
Tabel 28. Simulasi analisis laba usahatani dengan harga benih transgenik premium (50%) terhadap harga benih hibrida biasa Keterangan Produktifitas (kg/ha) Jawa Timur Lampung
Dengan hibrida saat ini
Dengan Benih Bt
Dengan Benih RR
Dengan Benih RR+Bt
6.749 5.826
7.086 6.117
7.626 6.583
7.829 6.758
Penerimaan (Rp 000/ha) 1) Jawa Timur 12.383 13.002 13.993 14.364 Lampung 10.234 10.746 11.564 11.871 Biaya total (Rp 000/ha)2) Jawa Timur 6.031 5.608 5.953 5.108 Lampung 5.638 5.147 5.437 4.647 Laba (Rp 000/ha) Jawa Timur 6.352 7.394 8.039 9.256 Lampung 4.596 5.598 6.127 7.224 Rasio R/C Jawa Timur 2,05 2,32 2,35 2,81 Lampung 1,82 2,09 2,13 2,55 Titik impas (kg/ha) Jawa Timur 3.287 3.057 3.244 2.784 Lampung 3.209 2.930 3.095 2.646 Harga benih (Rp/kg) Jawa Timur 36.608 54.912 54.912 54.912 Lampung 31.805 47.708 47.708 47.708 1) Harga output panen untuk hasil hibrida biasa dan transgenik diasumsikan sama yakni Rp 1.834,8/kg di Jawa Timur dan Rp 1.756,6/kg di Lampung. 2) TC (biaya total) dengan asumsi penghematan pada transgenik seperti pada Tabel 27, tetapi dengan harga benih transgenik premium 50%. Input benih 23,0 kg/ha dengan harga di Jawa Timur (Rp 36.608), di Lampung dosis input benih 18,8 kg/ha dengan harga Rp 31.805.
97
Sekiranya petani akan mengadopsi benih jagung transgenik (khususnya jagung RR dan/atau jagung RR/Bt), penghematan pada biaya tenaga kerja pada usahatani transgenik terjadi pada penyiangan gulma, sedangkan penghematan pada pengolahan lahan dikarenakan usahatani pada transgenik ini menggunakan sistem TOT (tanpa olah tanah). Komponen biaya lainnya seperti benih, pestisida dan herbisida justru mengalami peningkatan.
Biaya input yang menyumbang
biaya menjadi lebih besar pada usahatani transgenik ini. Harga benih transgenik yang cukup tinggi menjadikan biaya penggunaan agroinput lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani hibrida. Dari simulasi peningkatan harga benih terlihat bahwa keuntungan (per hektar) yang diterima petani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturut-turut adalah Rp 7,4 juta, Rp 8,7 juta dan Rp 9,4 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung keuntungan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,6 juta, Rp 6,8 juta dan Rp 7,5 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta.
Hal yang menarik juga diamati adalah biaya total pengeluaran usahatani
transgenik tetap lebih rendah walaupun ada premium harga benih.
Biaya
usahatani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturutturut adalah Rp 5,6 juta, Rp 5,2 juta dan Rp 4,9 juta lebih rendah daripada biaya usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung biaya usahatani transgenik Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,1 juta, Rp 4,7 juta dan Rp 4,3 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta.
Dengan simulasi ini titik impas
produksi (TIP) usahatani jagung menjadi lebih rendah artinya akan lebih lentur terhadap kemungkinan perubahan produktifitas riil. 4.1.4. Pengaruh Makro Adopsi dan Potensi Kerugian Tanpa Adopsi Berdasarkan data produktifitas jagung nasional selama kurun waktu 1990 – 2005 (Gambar 9 pada Bab Tinjauan Pustaka) terlihat sebenarnya peningkatan produktifitas yang cukup mantap sebagai akibat dari penerapan cara-cara budidaya yang intensif menggunakan benih hibrida, pupuk dan pestisida. Hal ini
98
terjadi pada kondisi perkembangan areal pertanaman jagung yang relatif flat 3 – 3,5 juta ha.
Hal ini juga menunjukkan kontribusi faktor-faktor adopsi benih
unggul baik hibrida maupun komposit, penggunaan pupuk, irigasi, dan teknik budidaya yang lebih baik yang dilakukan petani selama kurun waktu 15 tahun terakhir. Terdapat pertumbuhan produktifitas dan produksi yang inheren. Dalam analisis selanjutnya dibuat asumsi bahwa masukan teknologi benih transgenik merupakan faktor tambahan yang dilihat kontribusinya dalam produksi jagung nasional dengan asumsi-asumsi laju adopsi yang telah dikemukakan. Dengan menggunakan kurva adopsi dengan model sigmoid (lihat Gambar 14 pada Bab Metode Penelitian) suatu skenario pengaruh adopsi benih jagung transgenik dilakukan untuk melihat tingkat produksi jagung nasional (total) dalam kurun 10 tahun setelah mulainya adopsi. Dengan merujuk pada perkembangan atau laju adopsi benih unggul jagung di Indonesia dalam 10-15 tahun terakhir yang menunjukkan terus kecenderungan peningkatan, dimana hasil (produktifitas) yang lebih tinggi merupakan pemicu utama adopsi.
Hal yang sama pun
diasumsikan dapat berlaku untuk adopsi benih transgenik karena menjanjikan hasil yang lebih tinggi dan juga manfaat lainnya yang menguntungkan petani. Adopter benih transgenik adalah petani hibrida yang sudah mengenal dan mengetahui manfaat yang akan diberikan oleh teknologi tersebut. Dengan WTP benih RR+Bt yang lebih tinggi daripada RR dan Bt hal ini sejalan pula dengan tingkat produktifitas dan manfaat lebih yang bisa diberikan oleh RR+Bt. Dengan asumsi yang realistis akan ada peningkatan sebesar 16% produktifitas dan jenis jagung transgenik RR+Bt sebagai pilihan terbaik, serta petani akan memilih opsi terbaik untuk usahatani yang lebih menguntungkan dan kompetitif. Perhitungan proyeksi produksi secara detil disajikan pada Lampiran 7. Proyeksi produksi dengan adopsi dan tanpa adopsi benih jagung transgenik selama 10 tahun ke depan disajikan pada Gambar 25.
Skenario terbaik adalah terjadinya adopsi
maksimum dengan penetrasi benih transgenik mencapai 85% dari luas areal pertanaman hibrida, sedangkan skenario yang moderat dengan penetrasi ke areal hibrida mencapai 35% saja. Angka-angka proyeksi dalam penelitian ini dibandingkan dengan proyeksi produksi yang pernah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian (2005) dengan
99
mengasumsikan pertumbuhan laju produksi sebesar 3,27% per tahun selama kurun 2005-2025.
Terlihat bahwa proyeksi produksi oleh Badan Litbang
Pertanian lebih agresif bahkan bila dibandingkan dengan skenario proyeksi optimis yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh faktor pertumbuhan luas areal pertanaman jagung: dalam penelitian ini luas areal jagung dianggap flat pada 3,8 juta ha setelah tahun 2009 sementara Badan Litbang Pertanian mengasumsikan laju areal peningkatan areal jagung 1%/tahun.
Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik
Produksi jagung nasional (juta ton)
21 19 18.2 17.7 17.3
17
16.9 16.5 16.1 15.7 15.3
15 13.9
14.2
14.6
14.9
Produksi, tanpa adopsi
13.3
13
Produksi, adopsi max. 85%
12.5 11.6
11
10.9 9.7 9.2
9
Produksi, adopsi max.35%
11.2
9.7 9.2
99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tahun (mulai adopsi thn 2010)
Tahun Pryeksi tanpa adopsi transgenik Proyeksi adopsi transgenik (85%) Proyeksi adopsi transgenik (35%) Proyeksi Badan Litbang Pertanian (2005)
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
14,58
14,94
15,31
15,68
16,07
16,47
16,87
17,29
17,72
18,16
14,60
15,17
15,82
16,72
17,51
18,26
18,83
19,29
19,77
20,26
14,60
15,05
15,62
16,24
16,77
17,25
17,68
18,11
18,56
19,02
14,57
15,19
15,83
16,50
17,20
17,93
18,69
19,48
20,31
21,19
Gambar 25. Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik serta dibandingkan dengan proyeksi Badan Litbang Pertanian.
100
Pada tahun ke-10 setelah adopsi akan terjadi peningkatan produksi total jagung nasional sebesar 12% akibat adopsi teknologi benih jagung transgenik (skenario optimis) atau setara 2,1 juta ton, dan hanya sekitar 5% (skenario konservatif) atau setara 0,9 juta ton.
Dengan proyeksi ini maka diharapkan
kebutuhan akan jagung secara nasional dapat terpenuhi dan sekaligus mengurangi ketergantungan yang telah lama berlangsung akan impor. Sebagaimana diketahui impor biji jagung selama ini sebagian besar berasal dari negara-negara penanam benih jagung transgenik seperti Amerika Serikat, Brasil dan Argentina. Terlihat bahwa pada tahun 2013 saja akan diperoleh kenaikan produksi sebesar 1 juta ton lebih bilamana asumsi adopsi 85% tercapai. Hal ini tentu saja akan dapat mengurangi ketergantungan impor jagung dari luar negeri yang sekaligus: - menghemat devisa negara dan – nilai tambah budidaya jagung (kelayakan finansialnya) akan dinikmati oleh petani di dalam negeri. Berbeda dengan impor jagung dari luar, nilai tambah justru dinikmati oleh petani luar negeri asal impor dan juga oleh para pedagang besar internasional. Peningkatan produksi penting untuk ke depan dengan alasan manfaat yang akan diterima petani dengan penanaman benih teknologi baru, dan yang penting juga terkait dengan neraca perdagangan komoditas jagung yang negatif.
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa besarnya jumlah devisa yang digunakan untuk impor biji jagung dari luar negeri setidak-tidaknya berjumlah US $ 600 juta. Yang menarik adalah justru impor jagung dari luar negeri itu berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Argentina dan Brazil dimana tanaman transgenik sudah ditanam petani dan dikomersialkan sejak lebih 1 dasawarsa lalu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara gamblang potensi manfaat ekonomi dengan adopsi benih jagung transgenik (dengan mengambil contoh angka-angka proyeksi pada tahun ke-4 setelah adopsi) vs. perkiraan kerugian (kehilangan kesempatan manfaat) akibat tidak mengadopsi sebagai berikut: (1) Dengan adopsi: Peningkatan produksi sebesar 1 juta ton/tahun senilai Rp 3,6 triliun (asumsi harga pasar saat itu Rp 2.500/kg dengan produksi pada tahun ke-4 dengan adopsi: 16,7 juta ton sedangkan tanpa adopsi 15,7 juta ton). Pada sub-bab analisis usahatani, marjin keuntungan petani jagung berkisar 30 – 55% dari penerimaan total.
101
Dengan mengambil 30% marjin keuntungan usahatani maka petani domestik akan mendapatkan nilai tambah keuntungan total Rp 1,08 triliun. (2) Tanpa adopsi: Setidaknya potensi nilai penerimaan total usahatani jagung yang hilang tanpa adopsi sebesar Rp 3,6 triliun, ini setara dengan penerimaan usahatani jagung sebesar Rp 2,4 juta/ha; atau setara dengan devisa US $ 400 juta yang akan dikeluarkan untuk mengimpor sebanyak 1 juta ton jagung dari luar negeri.
Potensi
penerimaan yang seharusnya dapat dinikmati oleh petani dalam negeri dengan menanam benih transgenik tidak akan terjadi bilamana tanpa adopsi, melainkan nilai yang setara dinikmati oleh petani jagung negara asal impor. 4.2. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik 4.2.1. Penggunaan Benih dan Tingkat Harga Benih Jagung Hibrida Saat ini Pada umumnya petani jagung di hampir seluruh wilayah studi di Jawa Timur (Kediri, Nganjuk, Blitar, Jombang dan Mojokerto) mengetahui seluruh varietas jagung yang diperdagangkan di pasar. Demikian juga dengan petani jagung di Lampung (Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan), umumnya mengetahui berbagai jenis varietas jagung hibrida maupun komposit yang diperdagangkan. Namun demikian jenis benih komposit ini sudah sangat jarang ditemukan di pasar atau kios-kios benih. Saat penelitian ini dilakukan, jenis varietas jagung yang beredar di pasaran adalah varietas jagung hibrida yakni Pioneer-11 (P11), Pioneer-21 (P21) yang dikeluarkan oleh Dupont Pioneer; NK33 dan NK-22 yang dikeluarkan oleh Syngenta; C-7, C-9, DK-3, DK-979, DK9910 yang dikeluarkan oleh Monsanto; dan Bisi-2 dikeluarkan oleh PT Bisi. Semua
perusahaan
tersebut
merupakan
perusahaan
multinasional
yang
menghasilkan benih jagung atau sebagai produsen benih jagung hibrida yang diperkirakan menguasai setidak-tidaknya 75% pangsa pasar benih jagung hibrida di Indonesia. Semuanya memiliki fasilitas pabrik pengolahan dan penangkaran benih hibrida yang umumnya berlokasi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Belakangan mulai bermunculan juga jenis merek hibrida lain seperti Jaya dan
102
Bioseed. Varietas jagung komposit hampir tidak dijumpai lagi di pasaran. Di daerah Kediri jenis jagung komposit yang masih beredar adalah varietas Arjuna, hanya sekitar satu persen dari total penjualan benih jagung. Ketersediaan jagung komposit ini untuk memenuhi permintaan petani di daerah pegunungan yang melakukan usahatani jagung secara tidak intensif.
Penggunaan benih jagung
komposit di Lampung juga sudah semakin jarang.
Adapun petani yang
menanamnya kebanyakan untuk menambah kekurangan benih jagung hibrida, sehingga penanamannya pun dicampur. Saat studi ini dilakukan, harga benih jagung bervariasi menurut varietas dan tempat yang dapat dilihat pada Tabel 29. Harga benih jagung komposit baik di Jawa Timur maupun Lampung jauh lebih murah dibandingkan dengan benih jagung hibrida. Sementara varietas jagung hibrida yang termurah adalah varietas jagung Bisi-2 dan yang termahal adalah varietas jagung P-11 dan P-21. Ketika menjelang musim tanam, ketersediaan benih jagung umumnya mengalami kelangkaan seperti halnya ketersediaan pupuk dan secara otomatis harga mengalami peningkatan. Harga benih jagung hibrida varietas P-11 dan P-21 bisa mencapai Rp 60 ribu hingga Rp 65 ribu per kilogram, bahkan apabila petani membeli benih tersebut dengan cara membayar setelah panen harganya dapat mencapai Rp 70 ribu hingga Rp 75 ribu.
Tabel 29. Perbandingan Harga Benih Jagung di Jawa Timur dan Lampung, tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Varietas Jagung Komposit Arjuna Hibrida P-21 Hibrida P-11 Hibrida C-7 Hibrida C-9 Hibrida DK3 Hibrida DK979 Hibrida DK9910 Hibrida NK33 Hibrida NK22 Hibrida Bisi2 Harga rerata hibrida
Produsen Benih Tanindo (BISI) Pioneer (DuPont) Pioneer (DuPont) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Syngenta Syngenta Tanindo (BISI)
Harga (Rp/Kg) di Jawa Timur 21.000 44.400 45.000 33.111 32.930 34.000 38.333 36.000 39.142 42.000 28.444 37.336
Harga (Rp/Kg) di Lampung 20.000 36.000 45.000 34.000 32.665 35.000 37.000 36.000 36.000 42.000 28.665 36.233
103
Umumnya harga benih hibrida di wilayah penelitian Lampung dan Jawa Timur berada di kisaran Rp 30 – 40 ribu per kg seperti diperjelas dengan plot titik di bawah ini.
Harga rata-rata dan median berada di sekitar Rp 37 ribu untuk
Jawa Timur dan Rp 36 ribu untuk Lampung. Di Lampung, harga benih bervariasi 79 – 124% dari harga rata-rata, sementara di Jawa Timur harga bervariasi 76 – 121% dari harga rata-rata. Hal ini dapat diartikan bahwa plus-minus 25% dari harga rata-rata petani masih terbiasa dengan pembelian benih (Tabel 30).
Tabel 30. Kisaran harga benih jagung hibrida per kg di wilayah penelitian propinsi Lampung dan Jawa Timur. Wilayah
Harga ratarata
Harga median
Harga minimum (% dari harga rata-rata)
Harga maksimum (% dari harga ratarata)
Jawa Timur
37.336
37.170
28.440 (76%)
45.000 (121%)
Lampung
36.233
36.000
28.670 (79%)
45.000 (124%)
Secara umum di Jawa Timur maupun Lampung ditemukan petani yang loyal atau fanatik pada suatu varietas benih jagung hibrida tertentu. Dengan demikian ketika terjadi kelangkaan benih dan harga melambung tinggi, petani akan tetap mencari dan membeli varietas benih jagung yang menjadi favoritnya dan petani berani membayar lebih mahal dari harga yang biasanya diterima. Namun demikian, karena dewasa ini tersedia banyak verietas benih jagung hibrida substitusinya, terdapat batas maksimum harga yang berani dibayar petani, kecuali bagi beberapa petani yang betul-betul sudah fanatik pada varietas tertentu. Sebagai contoh, petani di Jawa Timur yang fanatik terhadap varietas P-21 berani membayar sampai dengan harga Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu per kilogram yang tadinya hanya sekitar Rp 38 ribu per kilogram.
Lebih dari harga tersebut,
sebagian besar petani fanatik benih jagung hibrida P-21 beralih ke varietas benih jagung hibrida lain yang relatif murah. Hal ini karena peningkatan harga yang terlalu tinggi tidak diikuti dengan peningkatan keunggulannnya, sementara varietas lain yang tersedia mempunyai keunggulan yang relatif sama tetapi dengan harga yang relatif murah. Masih terdapat beberapa petani fanatik benih jagung hibrida P-21 yang tetap membeli varietas benih jagung tersebut meskipun
104
harganya mencapai Rp 70 ribu per kilogram. Petani jagung di kawasan lahan tadah hujan tetap membeli varietas benih jagung hibrida P-21 berapapun harganya karena tidak tersedia substitusi dari varietas jagung tersebut menurut petani. Loyalnya petani terhadap suatu merek (brand) benih jagung, sangat tergantung promosi, kedekatan dan adanya pembuktian-pembuktian keunggulan benih di tingkat petani baik melalui demonstrasi maupun melalui penelitian dan pemberian sampel benih gratis untuk dicobakan. Menurut informan di masingmasing wilayah penelitian, apabila suatu varietas benih jagung tertentu melalui demonstrasi di tingkat petani sudah terbukti keunggulannya maka petani tidak perlu disuruh-suruh lagi untuk menggunakan benih jagung tersebut melainkan mereka akan mencari sendiri dan bahkan ketika harganya meningkat sampai dengan batas tertentu mereka akan tetap setia membelinya. Oleh karena itu, varietas yang menjadi pilihan petani saat ini pada suatu wilayah tertentu adalah varietas dari produsen benih padi yang secara gencar melakukan promosi, demonstrasi dan pembinaan terhadap petani di wilayah tersebut. 4.2.2. Pengetahuan dan Minat Petani tentang Benih Jagung Transgenik dan Sumber Informasi tentang Teknologi Baru Dari semua responden petani yang ditanya tentang apakah selama ini pernah mendengar jagung transgenik, di wilayah Lampung jawabannya sebagian besar belum pernah mendengar adanya jagung transgenik tersebut (88%) dan hanya 12% yang pernah mendengar (Gambar 26). Bila dibandingkan, maka porsi petani di Jawa Timur sedikit lebih tinggi yang sudah mendengar tentang teknologi jagung transgenik, yaitu sebanyak 19% petani pernah mendengar, sedangkan yang belum/tidak pernah mendengar sebesar 81%. Hal ini tampaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan petani kemungkinan besar akses informasi terhadap hal-hal baru lebih terbuka atau cepat.
Di Lampung, 70% memiliki tingkat pendidikan SD,
sedangkan selebihnya adalah SLTP dan SLTA masing 15%. Di Jawa Timur, 10% responden memiliki tingkat pendidikan setingkat Diploma dan Sarjana, sementara tingkat SLTP dan SLTA berturut-turut 40 dan 29%, selebihnya hanya 21% dengan tingkat pendidikan SD.
105
12%
Mengetahui
19%
Lampung Jawa Timur
88%
Tidak mengetahui
81%
0%
100%
Gambar 26. Persentase petani yang pernah dan tidak pernah mendengar jagung transgenik.
Selanjutnya, bagi petani yang pernah mendengar adanya jagung transgenik, pengetahuan mereka pun sebenarnya sangat terbatas tentang jagung transgenik tersebut, yaitu hanya mengetahui jagung RR saja (tahan terhadap herbisida Roundup) sedangkan jagung Bt umumnya petani tidak mengetahui. Ketidaktahuan para petani terhadap produk transgenik tersebut menandakan bahwa perangkat lembaga sosialisasi kurang berperan dalam menyebarkan informasi mengenai teknologi baru. Pada penjelasan berikutnya dijelaskan bahwa media-media informasi seperti TV dan koran memberikan pengaruh paling kecil terhadap proses transfer informasi kepada petani. Justru mereka memperoleh informasi akan teknologi baru dari sesama petani atau kios-kios saprotan di wilayah mereka.
Selanjutnya dalam wawancara dijelaskan kepada petani
responden tentang keragaan teknologi benih jagung transgenik RR, Bt dan RR+Bt. Dalam penjelasannya dibantu dengan alat berupa gambar visual yang menggambarkan cara kerja teknologi tersebut berikut dengan potensi manfaatnya (baik manfaat tangible maupun yang intangible) yang nantinya dapat diperoleh oleh petani (Gambar 27 dan 28).
106
Gambar 27. Ilustrasi pengendalian gulma pada jagung non-RR dan RR.
Gambar 28. Ilustrasi gejala serangan hama pada jagung non-Bt.
107
Gambaran visual tersebut membantu petani dalam memahami kinerja dan potensi manfaatnya. Setelah dianggap memahami kinerja teknologi dan manfaatnya kemudian kepada petani ditanyakan pertanyaan seperti contoh ”kalau benih jagung tahan herbisida (contohnya jagung RR) sudah dilepas dan tersedia di pasar (kios benih) dengan manfaat yang sudah diketahui, apakah petani berminat akan menanamnya di lahan sendiri?”. Dengan mendengarkan penjelasan dan melihat gambar bantu tampaknya petani tidak sulit untuk memahami potensi manfaat benih transgenik RR dan Bt. Terutama untuk teknologi RR lebih mudah dipahami karena banyak petani yang menggunakan herbisida untuk penyiangan gulma. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 31 dan Gambar 29.
Tabel 31. Jumlah dan persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik setelah mendengarkan penjelasan dan melihat gambar pada alat bantu. Jumlah (persentase) petani
Jagung RR Jatim Lampung
Jagung Bt Jatim Lampung
Minat terhadap benih transgenik
60 (92%)
57 (95%)
56 (86%)
53 (88%)
55 (85%)
52 (87%)
5 (8%) 65
3 (5%) 60
9 (14%) 65
7 (12%) 60
10 (15%) 65
8 (13%) 60
Tidak berminat Jumlah
Jagung RR+Bt Jatim Lampung
Sebagian besar dari responden petani (85% atau lebih) di Lampung maupun di Jawa Timur berminat untuk mencoba menanam jagung transgenik, baik jenis RR, Bt maupun RR+Bt. Minat terhadap jenis jagung RR mencapai 95% dari total responden di Lampung dan 92% untuk responden dari Jawa Timur. Minat responden terhadap jenis jagung Bt di Lampung sebesar 88% dan 86% di Jawa Timur. Minat responden terhadap jagung RR+Bt di Lampung mencapai 87% dan 85% di Jawa Timur. Persentase petani yang berminat adopsi benih RR relatif lebih tinggi (baik di Jawa Timur dan Lampung) karena lebih mudah dipahami secara praktis daripada benih Bt dan RR+Bt. Untuk komponen teknologi Bt petani tampaknya masih memerlukan penjelasan yang lebih praktis tentang pengaruh serangan hama penggerek. Pemahaman tentang keragaan dan kinerja suatu teknologi baru sangat menentukan minat petani untuk menerapkan suatu
108
teknologi atau variannya.
Apakah petani akan secara aktual mengadopsi masih
akan tergantung pada promosi dan hasil demplot yang dilakukan. Sekuen adopsi oleh petani sangat ditentukan oleh prinsip seeing is believing dengan melihat performa tanaman yang sesungguhnya di lapangan.
Tidak berminat 13%
RR+Bt Lampung
85%
12%
Bt Lampung
88%
14%
Bt Jatim
RR Jatim
87%
15%
RR+Bt Jatim
RR Lampung
Berminat
86%
5%
95%
8%
92%
Gambar 29. Persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik Uji korelasi antar variabel minat petani terhadap masing-masing jenis benih transgenik menunjukkan hal yang konsisten (berkorelasi positif 90% atau lebih baik) (Tabel 32).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani
responden yang berminat akan salah satu jenis benih jagung transgenik diduga juga akan tertarik akan jenis yang lain. Korelasi yang baik antar variabel ini juga sekaligus menunjukkan bahwa efektifnya penjelasan (verbal dan visual) keragaan dan kinerja teknologi yang disampaikan pada responden pada saat wawancara, sehingga para responden dapat memahami dengan jelas mengenai teknologi tersebut. Pemahaman ini tentu diperlukan oleh petani dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan berikutnya tentang keinginan petani untuk membayar seberapa besar harganya bagi masing-masing benih jagung transgenik.
Tabel 32. Korelasi antar variabel minat benih jagung transgenik. Korelasi antar variabel Minat terhadap Bt Minat terhadap RR+Bt
Minat terhadap RR 0,913 0,981
Minat terhadap Bt 0,931
109
Apabila diperdalam analisis persepsi petani dengan menggali tentang saluran/sumber informasi mengenai teknologi/produk baru yang biasa sampai kepada para petani, tampak bahwa peranan kelompok tani/teman dan agen perusahaan/kios sangat besar. Sumber informasi tersebut kontak langsung dengan petani dengan komunikasi dua arah, dimana petani dapat bertanya lebih jauh tentang informasi teknologi/produk baru tersebut. Dalam hal ini tampak bahwa agen-agen perusahaan dan kios saprotan sudah lebih banyak memberi informasi kepada petani dibandingkan dengan penyuluh. Jawaban ini juga menunjukkan bahwa sumber informasi satu arah, seperti radio, surat kabar, bahkan tv kurang berperan sebagai sumber informasi yang dominan bagi petani (Gambar 30).
40% 34% Lampung
Jatim
28% 24% 19% 18%
19% 16%
5%
5% 4%
3%
1%
4% 0%
0% Radio
18%
TVRI
TV Swasta Surat Kabar Pertemuan Informal
1%
Buletin
PPL/Petugas Kelompok Perusahaan Tani
Gambar 30. Sumber informasi mengenai teknologi atau produk baru. Kemudian, apabila informasi tentang teknologi baru, baik varietas, pupuk, dan lainnya, mereka tertarik untuk mencobanya. Namun pada awalnya masih dalam skala kecil dan bila terbukti memberi hasil yang baik, maka akan memperbanyak penggunaannya.
Adapun sumber permodalan petani untuk
budidaya jagung sebagian besar modal sendiri. Petani Lampung selain mengandalkan modal sendiri juga relatif banyak yang tergantung kepada pedagang pengumpul dengan meminjam modal dan menjualnya kepada pedagang tersebut (Gambar 31). Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa dengan adanya
110
peran perantara ini maka tingkat harga yang diterima petani sedikit lebih rendah daripada yang diterima petani di wilayah Jawa Timur.
Dengan modal sendiri
yang menjadi sumber pembiayaan usahatani maka secara logis dapat diduga bahwa situasi perubahan harga input menjadi faktor penting yang membuat petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi suatu input teknologi baru.
4%
Lainnya
10%
0% 2%
Bantuan/Kredit Industri
0%
Bantuan /Subsidi Pemerintah
Jatim Lampung
7%
0%
Kredit Pdg. Pengumpul
65%
0% 3%
Kredit Bank/Lembaga Modal Sendiri
68%
0%
81%
85%
Gambar 31. Sumber permodalan petani Dari uraian pada Sub-Bab sebelumnya tampak jelas bahwa pemahaman petani akan manfaat suatu input teknologi mempengaruhi minat petani untuk menerapkannya. Oleh karena itu peranan saluran informasi yang efektif dalam penyampaian potensi atau kinerja suatu teknologi baru perlu mendapat perhatian. Lebih lanjut, mengingat sebagian besar petani menggunakan uang kas keluarga untuk melakukan pembiyaan usahatani maka keinginan/kebersediaan untuk membayar terhadap harga suatu input akan ditentukan sendiri dengan rasional yang tentunya terkait dengan potensiu manfaat yang dijanjikan. Khusus untuk Lampung, peranan pedagang pengumpul di tingkat desa juga kelihatannya berperan penting sebagai penyedia biaya (financier) yang dapat mendorong petani untuk menerapkan suatu jenis input.
4.2.3. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Tahap berikutnya adalah menanyakan kepada petani yang berminat seberapa besar kelebihan harga (lebih mahal) daripada harga benih hibrida biasa (misalkan harga Rp X per kg) yang petani mau bayar untuk benih jagung
111
transgenik tersebut untuk per kg. Teknik yang digunakan adalah dengan payment card, dimana kepada petani ditunjukkan daftar harga sehingga petani yang bersangkutan dapat memilih suatu angka harga yang diinginkan. Tabulasi respon petani terhadap WTP yakni keinginan untuk membayar disajikan dalam bentuk kisaran harga seperti pada Tabel 33. Untuk memudahkan analisis maka indikasi harga WTP yang direspon oleh petani dibuat dalam kisaran 0 – 4.000, 4.000 – 8.000, 8.000 – 12.000, 12.000 - 16.000, 16.000 - 20.000, 20.000 – 24.000, 24.000 – 28.000, dan 28.000 – 32.000 rupiah.
Tabel 33. Jumlah petani yang berminat akan benih jagung transgenik dan yang secara eksplisit menyatakan WTP, dikelompokkan dalam kisaran harga di Jawa Timur (Jatim) dan Lampung Kisaran harga WTP (Rp) 0 – 4.000 4.000 – 8.000 8.000 – 12000 12.000 – 16.000 16.000 – 20.000 20.000 – 24.000 24.000 – 28.000 28.000 – 32.000 Jumlah
Jagung RR Jatim Lampung 18 37 16 17 17 3 7 1 1 60 57
Jagung Bt Jatim Lampung 26 53 16 9 4 0 1 0 56 53
Jagung RR+Bt Jatim Lampung 15 31 8 17 11 4 12 5 0 4 0 55 52
Deskripsi statistik WTP petani terhadap masing-masing jenis benih jagung transgenik, yakni kelebihan harga yang mau dibayarkan oleh petani di atas harga benih hibrida konvensional yang selama ini sudah dibeli, ditampilkan pada Tabel 34. Nilai rata-rata kelebihan WTP yang terbesar dijumpai untuk jagung RR+Bt disusul RR dan yang terkecil adalah untuk jagung Bt. Nilai median WTP untuk RR+Bt dan RR adalah sama yakni Rp 4.000; sedangkan nilai kwartil ke-3 (Q3) untuk RR+Bt adalah Rp 8.000 lebih tinggi daripada RR yakni Rp 7.500. Petani mau memberikan WTP rata-rata lebih tinggi untuk jagung RR+Bt dibandingkan dengan jagung RR dan jagung Bt. Sebagian besar petani menginginkan tingkat harga yang tetap hingga sekitar 10% (yakni Rp 4.000/kg sepersepuluh dari Rp 40.000/kg harga rata-rata benih hibrida yang umum dijumpai di pasar saat ini). Nilai rata-rata WTP premium lebih tinggi di Jawa Timur yakni berkisar Rp 4.511 – 8.947 dibandingkan dengan Lampung yang variasinya yakni Rp 16,7 - 1700.
112
Tabel 34. Statistik deskriptif nilai WTP premium (lebih mahal) Jenis benih jagung trasngenik
Kelebihan WTP premium yakni yang mau dibayar petani lebih mahal untuk benih transgenik dari harga benih hibrida saat ini Rata-rata
Minimum
Median
Q3
Maksimum
RR
7.121
0
5.000
10.000
30.000
Bt
4.511
0
5.000
8.125
20.000
RR+Bt
8.947
0
8.000
15.000
26.000
RR
1.600
0
0
4.000
8.000
Bt
16,7
0
0
0
1.000
RR+Bt
1.700
0
0
4.000
8.000
Jawa Timur
Lampung
Kalau dianalisis lebih lanjut dengan mengelompokkan kisaran harga WTP premium pada 3 kelompok yakni: harga tetap – 10% lebih mahal; 10-30% lebih mahal; dan >30% lebih mahal, terlihat dengan jelas (Gambar 32) kecenderungan para petani yang sebagian terbesar sebenarnya menginginkan harga benih transgenik tidak lebih mahal 30% daripada harga benih jagung hibrida konvensional atau non-transgenik. Sekitar 35-55% petani di Jawa Timur dan Lampung mau membayar pada kisaran 10-30% lebih mahal dari harga hibrida saat ini. Namun demikian terdapat porsi petani yang signifikan dengan WTP yang lebih mahal 30% di Jawa Timur untuk jagung RR, Bt dan RR+Bt berturut-turut 15, 9 dan 38%.
Sedangkan di Lampung tidak dijumpai petani yang rela
membayar lebih mahal 30% untuk ketiga jenis benih transgenik tersebut. Hal ini juga terlihat dari nilai median, Q3 dan maksimum WTP untuk ketiga benih tersebut lebih tinggi di Jawa Timur daripada di Lampung. Apreasiasi petani di Jawa Timur terhadap teknologi baru ternyata lebih tinggi yang sekaligus menunjukkan signifikannya jumlah sekelompok inovator dan early adopter rela membayar lebih mahal untuk teknologi yang menurut petani memberikan manfaat atau memenuhi kebutuhan mereka.
113
(1)
Proporsi petani
100% 75%
RR Jatim RR Lampung
65% 55%
50%
35%
30% 25%
15% 0%
0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
(2)
Proporsi petani
100%
100%
Bt Jatim Bt Lampung
75% 50%
46%
45%
25% 0%
9%
0%
0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
(3)
Proporsi petani
100%
RR+Bt Jatim RR+Bt Lampung
75%
60%
50% 27%
35%
40%
38%
25% 0% 0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
Gambar 32. Proporsi petani yang mau membayar harga benih transgenik: (1). RR, (2). Bt, dan (3). RR+Bt lebih mahal daripada harga benih hibrida Kurva rata-rata WTP premium (sebagai sumbu-X) yang diplot terhadap jumlah petani (sumbu-Y) yang memilih tingkat premium WTP (lebih mahal daripada harga hibrida) ditampilkan pada Gambar 33.
Kurva untuk RR+Bt dan
114
RR baik di Jawa Timur dan Lampung lebih berdekatan satu sama lain dan lebih landai dibandingkan dengan kurva WTP untuk Bt.
Hal ini menunjukkan
kecondongan petani untuk membayar harga yang lebih tinggi bagi jenis RR dan RR+Bt. Terlihat untuk titik-titik harga rata-rata WTP yang lebih tinggi, baik kurva RR+Bt dan kurva RR berada di atas kurva Bt. Artinya relatif lebih banyak petani yang mau membayar lebih tinggi untuk benih jagung transgenik RR dan RR+Bt dibandingkan dengan benih Bt. Kurva minat akan semua jenis benih di Jawa Timur terlihat lebih landai dibandingkan dengan Lampung. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa para petani di Jawa Timur lebih apresiatif terhadap teknologi baru dengan kecondongan yang lebih tinggi untuk membayar harga teknologi yang lebih mahal. Selanjutnya, Gambar 33 merupakan suatu model kurva yang menjelaskan hubungan jumlah petani yang berminat menerapkan benih transgenik (permintaan) terhadap rata-rata kisaran harga (lebih mahal daripada harga benih hibrida konvensional saat ini). Dengan model kurva ini kemudian diturunkan suatu hubungan persamaan regresi linier.
Kurva peminat benih transgenik di Jatim vs. WTP premium 60
Kurva peminat benih transgenik di Lampung vs. WTP premium 60
40
Jatim Bt Jatim RR+Bt
20
Lampung RR Jumlah Peminat
Jumlah peminat
Jatim RR 40
Lampung Bt Lampung RR+Bt
20
0
0
Harga WTP premium (Rp/kg)
Harga WTP premium (Rp/kg)
Gambar 33. Kurva jumlah petani peminat vs. WTP premium benih transgenik di Jawa Timur dan Lampung. Hasil analisis regresi jumlah responden dan WTP rata-rata diperoleh persamaan dan koefisien determinasi yang semuanya memiliki nilai p untuk sidik
115
ragam regresi < 0,05 sebagai berikut (hasil analisis regresi dan sidik ragam tertera pada Lampiran 8): 2
Jatim-RR = 82.1 – 7,92 ln_WTP
R = 76,3% (p = 0,005)
Jatim-Bt = 105 – 10,4 ln_WTP
R = 96,8% (p = 0,000)
Jatim-RR+Bt = 54,3 – 5,03 ln_WTP
R = 66,7% (p = 0,013)
Lampung-RR = 139 – 14,0 ln_WTP
R = 88,8% (p = 0,000)
Lampung-Bt = 165 – 16,8 ln_WTP
R = 65,9% (p = 0,000)
Lampung-RR+Bt = 121 – 12,1 ln_WTP
R = 90,5% (p = 0,000)
2 2 2 2
2
dimana peminat RR, Bt, dan RR+Bt berturut-turut di Jawa Timur dan Lampung sebagai jumlah peminat benih transgenik untuk harga WTP rata-rata yang lebih tinggi daripada harga benih hibrida konvensional; ln_WTP merupakan logaritma berbasis natural (e) untuk harga rata-rata WTP premium. Persamaan regresi di atas secara indikatif dapat memprediksi seberapa besar jumlah atau proporsi petani responden yang berminat menerapkan benih transgenik dimana jumlah peminat (indikasi permintaan) berbanding lurus terhadap nilai negatif logaritma natural harga rata-rata WTP. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi petani sehingga memberikan respond terhadap WTP yang berbeda-beda, dilakukan rangkaian sidik ragam (satu arah) WTP terhadap beberapa variabel yakni
tingkat
pendidikan,
IP
pertanaman/panen dalam setahun.
(indeks
pertanaman),
dan
total
luas
Hasil sidik ragam lengkap disajikan pada
Lampiran 9. Ringkasan hasil sidik ragam ditampilkan pada Tabel 35. Tampak bahwa secara umum bahwa perbedaan profil petani dalam hal tingkat pendidikan berpengaruh terhadap WTP akan benih jagung transgenik, pengaruh yang tidak nyata hanya dijumpai terhadap WTP jagung RR+Bt. Sementara penguasaan aset berupa total luas pertanaman jagung dalam setahun semuanya berpengaruh terhadap WTP jenis jagung transgenik apa saja. Intensitas pertanaman palawija yang dilakukan petani (1 – 3 kali pertanaman jagung/ tanaman palawija lain) juga berpengaruh nyata terhadap WTP seluruh jenis benih transgenik.
116
Tabel 35. Ringkasan hasil sidik ragam WTP terhadap berbagai faktor Keterangan A. Tingkat pendidikan a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt B. Indeks pertanaman a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt C. Luas pertanaman a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt
Nilai statistik Nilai F
Nilai p
3,37 4,78 0,94
0,021 *) 0,004 *) 0,425 ns)
16,50 32,88 19,04
0,000 **) 0,000 **) 0,000 **)
4,04 3,62 2,39
0,000 **) 0,000 **) 0,001 **)
Keterangan:
*) pengaruh signifikan faktor terhadap WTP pada selang kepercayaan 95% **) pengaruh signifikan faktor terhadap WTP pada selang kepercayaan 99% ns ) tidak ada pengaruh signifikan faktor terhadap WTP
Apabila ditelaah lebih lanjut, pengetahuan petani tentang manfaatnya maupun risiko atau kekurangan/kelemahan dari jagung transgenik tersebut sangat terbatas. Pendapat petani tentang manfaatnya mengarah pada sifat-sifat (trait) yang dapat memenuhi atau membantu mengatasi masalah teknis budidaya yang dihadapi selama ini. Secara umum komentar dan harapan petani selalu muncul dalam wawancara mengenai kemungkinan penerapan benih jagung transgenik ini adalah petani ingin secepatnya benih jagung tersebut untuk dikomersialkan, sehingga petani dapat membelinya di kios-kios. Hal ini setelah diberi penjelasan dan gambar tentang beberapa keunggulan jagung transgenik tersebut. Berkaitan dengan sifat-sifat yang diharapkan petani dari benih jagung transgenik umumnya sangat bervariasi. Namun demikian keinginan terbanyak adalah agar jagung tersebut memberi produktivitas yang lebih tinggi dari hibrida biasa atau tahan terhadap hama penyakit.
Jawaban selengkapnya terhadap
pertanyaan apa saja yang diharapkan dari benih transgenik tersaji pada Gambar 34. Harapan petani terhadap jenis jagung transgenik adalah yang memiliki karakteristik dan kelebihan akan produktivitas yang tinggi baik Lampung dan Jawa Timur dan tahan terhadap hama khusus untuk Jawa Timur. Sedangkan untuk
117
ketahanan terhadap penyakit tinggi harapan petani di kedua propinsi.
Dari
deskripsi ini terlihat bahwa dengan pilihan jagung transgenik RR, RR+Bt dan Bt, setidak-tidaknya kebutuhan petani akan teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas, tahan hama dan penyakit dapat terpenuhi atau terjawab.
Hal ini
juga menunjukkan bahwa harapan petani akan adanya jenis teknologi trait (sifat) lain yang dibutuhkan petani selain ketahanan hama/penyakit dan produktifitas tinggi juga mencakup efisiensi pemupukan, tahan kekeringan, bahkan sifat kandungan nutrisi yang lebih baik. Persentase petani di Lampung (dengan lahan kering/tegal yang dominan untuk pertanaman jagung) yang berharap benih transgenik tahan kekeringan lebih tinggi daripada di Jawa Timur. Umumnya sifat yang diapresiasi petani tersebut masih dominan dari kategori agronomis (baik ketahanan terhadap cekaman biotis maupun cekaman abiotis), sedangkan sifat yang terkait dengan kualitas output panen seperti kandungan nutrisi masih belum begitu diapresiasi oleh petani.
Tahan Kering
25%
Efisien pupuk
25% 22% 10%
Tahan Herbisida Kandungan nutrisi
6% 3%
Tahan genangan
7%
43%
Jatim Lampung
22%
13%
Tahan penyakit
55%
Tahan hama
17%
69% 79% 87%
Produktivitas
0%
93%
100%
Gambar 34. Persentase harapan petani terhadap sifat jagung transgenik 4.3. Analisis Keberlanjutan Usahatani 4.3.1. Indeks Keberlanjutan Usahatani Jagung Hibrida saat ini Seperti yang dikemukakan pada Bab Metodologi, penilaian indeks keberlanjutan dilakukan dengan pembobotan dimensi dan indikator yang sama
118
nilainya.
Kriteria ekologi dengan 6 indikator yakni jumlah pupuk, jumlah
herbisida, jumlah insektisida, jumlah kompos, kesuburan relatif tanah, dan kemiringan lahan. jagung
hibrida
Kriteria ekonomi dengan 4 indikator yakni produktivitas dan
transgenik,
biaya
total
dan
penghematan
serta
mempertimbangkan kenaikan harga (premium) benih transgenik yang akan dibayar oleh petani, B/C rasio, dan keuntungan usahatani. Kriteria sosial diukur dengan indikator-indikator berupa luas panen per tahun yang menggambarkan akses untuk faktor produksi utama dimana skala usaha semakin luas tentu memberikan posisi yang mantap bahwa usahatani jagung merupakan sumber penghasilan utama keluarga. Profil petani seperti tingkat pendidikan, afiliasi pada kelompok tani, dan kontribusi penerimaan usahatani jagung bagi keluarga juga digunakan sebagai pengukur kriteria sosial. Dalam aspek sosial ini, mengingat harga benih transgenik akan lebih tinggi daripada harga benih hibrida maka persepsi
petani
untuk
menambah
investasi
dalam
usahataninya
dapat
mempengaruhi penerimaan terlepas dari potensi manfaatnya. Nilai indeks indikator, dimensi dan secara agregat menurut berbagai faktor tipe lahan, penggunaan pestisida dan tingkat pendidikan disajikan secara detil pada Lampiran 10, dengan ringkasan penghitungan indeks keberlanjutan pada tingkat kriteria, indikator, dan secara agregat pada tingkat propinsi disajikan pada Tabel 36. Agregat indeks keberlanjutan usahatani jagung hibrida saat ini di Jawa Timur (93,9) umumnya lebih baik daripada indeks di Lampung (83,7) terutama disumbangkan oleh kriteria ekologi dan ekonomi. Indikator kompos, kesuburan tanah relatif, kondisi lahan yang datar serta penggunaan pupuk di Jawa Timur umumnya lebih baik daripada di Lampung, sedangkan indikator penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida) relatif tidak jauh berbeda indeksnya. Selain itu, tingkat produktifitas jagung dan keuntungan usahatani yang diperoleh petani di Jawa Timur lebih baik daripada produktifitas dan keuntungan usahatani di Lampung. Apabila angka indeks ≥ 80 dianggap kategori baik dan kisaran indeks 70 – 80 dianggap kategori sedang, dan indeks < 70 yang perlu mendapat perhatian khusus untuk perbaikan, maka nampak bahwa secara agregat keberlanjutan usahatani jagung saat ini tergolong baik. Akan tetapi, dari Tabel 36 terlihat
119
bahwa ada beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian yang indeksnya lebih kecil dari 70. Dalam kaitan ini sungguh menarik untuk diperhatikan bahwa di Jawa Timur indikator yang perlu mendapat perbaikan adalah biaya pengeluaran usahatani yang tinggi, afiliasi kelompok, luas pertanaman (skala usaha) dan kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan. Di Lampung indikator yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat kesuburan tanah dan penggunaan kompos, penggunaan herbisida, dan biaya pengeluaran usahatani yang tinggi. Ditinjau dari aspek sosial, indikator-indikator sosial di Lampung menunjukkan indeks yang lebih baik dengan skala usaha yang lebih luas, afiliasi kelompok lebih baik dan kontribusi jagung terhadap penerimaan rumahtangga petani, walaupun indeks tingkat pendidikan di Lampung lebih rendah daripada di Jawa Timur. Tabel 36. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut provinsi Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Jawa Timur
Lampung
104,3 114,9 97,1 118,3 146,4 71,1 77,6 103,5 107,0 45,5 145,9 115,6 70,4 53,9 52,5 115,7 66,9 93,9
74,7 107,2 59,4 94,5 49,8 61,5 76,0 89,5 92,4 48,0 134,4 83,1 89,9 115,8 70,4 85,4 85,0 83,7
Jika ditelaah antar kabupaten di Jawa Timur dan Lampung maka ditemukan juga variasi indeks antara kriteria dan indikator. Di kabupatenkabupaten di wilayah penelitian Jawa Timur dari aspek ekologi jelas terlihat
120
peranan kondisi lahan sawah yang datar/relatif datar, penggunaan pupuk dan kompos lebih baik serta dengan kesuburan tanah relatif lebih baik (Tabel 37). Tabel 37. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut kabupaten Kriteria/Indikator
Blitar
Jombang
Kediri
L Selatan
L Tengah
L Timur
Malang
Mojokerto
Nganjuk
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida
109,5 95,3 107,1 111,9 181,0 89,5 71,7
133,5 149,6 89,0 126,5 275,0 69,2 91,6
94,9 85,4 104,2 133,3 118,5 84,9 43,3
72,4 94,6 60,1 67,0 73,3 90,8 48,3
73,6 109,7 59,8 97,0 39,5 50,6 85,3
80,9 118,7 57,3 127,1 42,8 48,1 91,2
91,6 131,0 102,4 114,5 78,2 50,9 88,8
96,1 128,7 83,3 108,3 97,5 68,6 86,4
91,7 69,7 104,2 133,3 119,5 62,3 61,0
EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan
105,4 124,7 29,1 133,3 134,5
103,9 79,6 55,9 165,9 114,2
107,0 129,0 25,5 129,5 144,1
72,2 99,7 27,7 97,2 64,4
97,5 88,0 54,8 150,5 96,6
93,4 93,5 59,5 145,7 74,8
94,9 93,7 60,4 146,4 79,2
103,5 102,1 57,7 153,6 100,7
111,5 129,6 28,1 137,5 150,7
74,0 44,7 62,6
41,4 16,8 31,1
82,4 71,7 57,2
89,5 127,9 35,3
89,0 107,7 91,0
94,1 119,8 82,0
72,0 40,3 34,8
67,6 60,8 62,3
114,5 132,6 69,0
120,3 71,4
67,7 50,0
160,4 71,4
114,6 79,4
76,4 93,6
63,7 70,8
119,8 75,0
93,1 63,3
181,4 75,0
95,2
92,9
94,9
77,3
85,9
91,2
84,7
90,0
105,9
SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Indeks keberlanjutan di Nganjuk menunjukkan angka tertinggi disusul oleh Blitar dan Kediri, sedangkan yang terendah dijumpai di Lampung Selatan disusul oleh Lampung Tengah dan Malang.
Indikator-indikator yang relatif
menonjol di Nganjuk adalah kesuburan tanah (104), lahan yang datar 133), penggunaan kompos (120), produktifitas dan keuntungan usahatani (130; 138), skala usaha (133), dan tingkat pendidikan (133). Sedangkan di Lampung Selatan rendahnya indeks terutama disumbangkan dari indikator-indikator kemiringan lahan (67), penggunaan kompos (73), penggunaan insektisida (48), biaya total
121
yang dikeluarkan (28), dan keuntungan usahatani (64). Walaupun secara agregat tidak ada indeks keberlanjutan yang lebih kecil dari 70 di semua kabupaten yang diteliti, akan tetapi dijumpai indikator-indikator yang perlu mendapat perhatian khusus untuk perbaikan pengelolaan usahatani yakni: Dimensi Ekologis: -
Penggunaan pupuk di Nganjuk yang cenderung overdosis.
-
Tingkat kesuburan tanah relatif rendah di Lampung.
-
Penggunaan kompos sangat minim di Lampung Tengah dan Timur. Petani di Lampung Selatan tampaknya sudah menyadari perlunya kompos untuk memperbaiki kesuburan tanah.
-
Aspek kemiringan lahan di Lampung Selatan dimana usahatani jagung banyak dilakukan di wilayah perbukitan.
-
Penggunaan herbisida yang tinggi di Jombang, Malang, Mojokerto, Nganjuk dan Lampung Tengah dan Timur.
-
Penggunaan insektisida intensif di Kediri, Nganjuk dan Lampung Selatan.
Dimensi Ekonomi: -
Aspek biaya total pengeluaran usahatani semuanya perlu mendapat perhatian di seluruh kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa ongkos produksi saat ini sangat tinggi bagi petani dan menjadi beban berat dalam usahatani jagung bilamanaa harga panen rendah atau jatuh.
-
Tingkat keuntungan relatif rendah diperoleh petani di Lampung Selatan terutama akibat besarnya biaya pengeluaran usahatani jagung.
Dimensi Sosial: -
Skala usaha yang sangat kecil di Blitar, Jombang, Malang dan Mojokerto.
-
Kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan keluarga belum optimal di semua kabupaten kecuali Lampung Tengah, Lampung Timur dan Nganjuk.
-
Tingkat pendidikan yang relatif rendah di Jombang dan Lampung Timur.
-
Afiliasi kelompok yang relatif berjalan baik kecuali yang masih rendah di Jombang dan Mojokerto. Seperti yang telah dikemukakan oleh Miranda (2001), kajian keberlanjutan
sebaiknya menekankan pemecahan masalah pada tingkat lokal dengan sistem usahatani yang ada saat ini. Jika petani mempraktekkan pertanian berkelanjutan
122
pada tataran praktis di level usahatani maka secara menyeluruh akan diperoleh tingkat keberlanjutan yang diharapkan. Kelayakan ekonomi memastikan kegiatan produksi yang stabil, menguntungkan dan efisien, serta aspek sosial yang terkait dengan akses pada penggunaan faktor produksi, akses dukungan dan informasi.
4.3.2. Simulasi Pengaruh Adopsi Keberlanjutan Usahatani
Benih
Transenik
pada
Indeks
Selanjutnya dikaji nilai-nilai indeks pada intensitas penggunaan herbisida dan insektisida karena kedua faktor ini mengalami perubahan penggunaan (bertambah atau berkurang) dengan skenario adopsi benih jagung transgenik. Saat ini pada usahatni jagung hibrida dengan intensitas penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida) yang tinggi tampak bahwa indeks agregat keberlanjutan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pada usahatani dengan pengunaan pestisida yang rendah.
Pada Tabel 38 diperlihatkan nilai
indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida (tinggi atau rendah). Tabel 38. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Tinggi
Rendah
77,4 114,4 74,5 109,8 43,3 38,8 88,4 100,4 91,8 58,5 155,5 95,8 86,8 92,1 71,3 93,0 79,7 86,7
102,5 107,8 83,7 103,8 159,5 95,6 64,6 93,0 108,6 34,5 124,6 104,4 75,7 74,7 51,7 107,0 71,3 89,9
123
Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah sedikit lebih baik (90) dibandingkan dengan intensitas tinggi (87).
Adanya herbisida sebagai input
eksternal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kriteria ekologis dengan perbedaan indeks yang jauh antara intensitas tinggi dan rendah. Kriteria ekonomi pada intensitas tinggi (100) lebih baik daripada indeks ekonomi pada intensitas rendah (93), demikian juga untuk kriteria sosial pada intensitas tinggi (87) lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas rendah (76). Walaupun petani menggunakan herbisida namun itu tidak memberikan produktifitas dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena herbisida yang digunakan untuk penyiapan lahan (sebelum tanam) tidak langsung berkaitan dengan kinerja tanaman (berbeda dengan penggunaan insektisida yang langsung berpengaruh terhadap hama serangga penekan). Bahkan kalau herbisida digunakan untuk penyiangan gulma malah terdapat potensi kerusakan tanaman akibat pengaruh herbisida (gejala terbakar atau menguning, atau dengan istilah crop injury) yang dapat mengurangi potensi hasil panen. Kondisi ini nantinya dapat diperbaiki bilamana petani sudah dapat menerapkan benih jagung tahan herbisida sehingga injury tersebut dapat dihilangkan. Akan tetapi menarik untuk dicatat dimana efisiensi (B/C rasio) untuk penggunaan intensitas tinggi memberikan angka yang lebih baik daripada intensitas rendah disebabkan oleh tenaga kerja yang digunakan untuk penyiapan lahan lebih sedikit. Adanya input herbisida pada kenyataanya membantu petani dalam penghematan tenaga kerja khususnya untuk kegiatan penyiapan lahan dan penyiangan gulma di antara baris tanaman. Dua kegiatan dalam budidaya jagung ini menempati porsi yang besar dalam penggunaan tenaga kerja. Alasan inilah yang tampaknya digunakan oleh para petani jagung di Lampung yang lebih banyak menggunakan herbisida, baik untuk penyiapan lahan tanpa olah tanah (TOT) maupun untuk penyiangan gulma. Herbisida yang digunakan oleh petani biasanya dapat berupa bahan aktif kontak yakni umumnya paraquat, bahkan ada sebagian petani yang justru menggunakan herbisida berbahan aktif sistemik yakni glifosat. Keduanya dapat memberikan efek kerusakan pada jaringan tanaman yang terkena oleh butiran semprotan pada jagung hibrida (non-transgenik) terutama kalau penyemprotan dilakukan secara tidak hati-hati atau pada saat
124
tanaman masih terlalu pendek. Hal ini sebenarnya kalau diteliti secara seksama akan dapat menurunkan hasil produksi mengingat daun-daun pada bagian bawah tanaman akan layu sehingga dapat mengurangi fotosintesis. Pada Tabel 39 diperlihatkan nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan insektisida (tinggi atau rendah). Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah lebih baik daripada indeks pada intensitas tinggi (92 vs. 81) terutama karena perbedaan menonjol dalam indikator-indikator penggunaan pupuk dan kompos, selain indeks penggunaan insektisida itu sendiri. Perbedaan indeks kriteria ekologi juga terlihat berbeda yakni 94 vs. 82. Namun indeks produktifitas dan keuntungan ternyata lebih baik pada penggunaan intensitas insektisida tinggi walaupun petani harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi membeli berbagai jenis input insektisida.
Tabel 39. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut tingkat penggunaan insektisida Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Tinggi 82,2 99,2 80,2 107,0 95,4 79,3 32,2 91,3 109,6 31,7 120,8 103,3 79,7 83,6 50,2 119,8 78,8 80,5
Rendah 93,5 116,9 78,4 106,8 102,2 60,5 97,8 99,4 95,5 53,8 149,7 98,5 84,0 83,7 66,7 91,1 74,1 92,0
Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan adanya masukan teknologi benih transgenik disajikan pada Tabel 40. Terlihat bahwa dalam aspek ekologi faktor yang akan berubah dengan adopsi benih jagung transgenik terkait dengan
125
penggunaan herbisida dan insektisida.
Indeks herbisida akan menurun pada
adopsi benih tahan herbisida disebabkan oleh akan meningkatnya penggunaan herbisida dalam jumlah signifikan yang digunakan petani untuk melakukan penyiangan gulma di antara tanaman. Untuk adopsi benih tahan hama (Bt) akan ada perbaikan indeks karena penurunan jumlah insektisida yang digunakan petani. Untuk benih dengan kombinasi RR+Bt kedua fitur manfaat yang tahan herbisida dan hama penggerek batang/tongkol akan menjadi kinerja utama sehingga diharapkan memberikan manfaat lebih. Hal ini sebenarnya telah terkonfirmasi pada saat analisis WTP dimana petani cenderung mau membayar lebih untuk RR+Bt, kemudian disusul RR dan WTP yang terendah pada Bt.
Tabel 40. Nilai indeks menurut indikator, dimensi dan agregat pada usahatani jagung hibrida dan simulasi adopsi Bt, RR, dan RR+Bt. Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan *)median SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Hibrida
Bt
RR
RR+Bt
89,9 111,2 79,0 106,9 100,0 66,5 76,8 96,8 100,0 46,8 140,4 83,3 81,1 83,6 61,7 100,0 75,6 88,3
95,3 111,2 79,0 106,9 100,0 66,5 109,7 106,7 105,0 47,5 166,2 99,1 77,4 83,6
84,4 111,2 79,0 106,9 100,0 33,9 76,8 109,8 113,0 47,5 178,9 98,4 77,4 83,6 44,9 *) 100,0 75,6 89,0
89,8 111,2 79,0 106,9 100,0 33,9 109,7 111,8 116,0 47,5 183,6 98,1 77,4 83,6
100,0 75,6 91,0
100,0 75,6 91,5
*) faktor koreksi 0,7278 terhadap 61,67 dengan anggapan petani menambah investasi (awal) untuk membeli benih transgenik yang lebih mahal sehingga untuk indeks %-kontribusi menurun; untuk indeks keuntungan pada dimensi ekonomi dihitung berdasarkan nilai median
Pada kriteria ekologi terlihat dengan jelas bahwa indeks dari indikatorindikator selain herbisida dan insektisida adalah tetap, sedangkan indeks
126
keberlanjutan terkait penggunaan herbisida menurun pada adopsi RR dan RR+Bt, dan indeks keberlanjutan terkait penggunaan insektisida meningkat pada Bt dan RR+Bt.
Untuk kriteria ekonomi perubahan yang terutama adalah peningkatan
indeks produktifitas dan rasio B/C, dan keuntungan, sedangkan biaya total relatif tidak mengalami perubahan dengan adanya adopsi benih transgenik.
Indeks
biaya total relatif tetap karena kenaikan biaya untuk pembelian benih dan juga penghematan biaya akibat penghematan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan insektisida adalah proporsional.
Untuk kriteria sosial, satu-satunya
indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh adalah persentase kontribusi usahatani jagung terhadap penerimaan keluarga petani. Hal ini terkait dengan keinginan atau minat petani untuk mengeluarkan biaya tambahan (cash) untuk membeli benih jagung transgenik. Secara agregat, indeks keberlanjutan menunjukkan ada perubahan pada level usahatani bilamana petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 91,5, sebesar 91 untuk Bt, sebesar 89 untuk RR dibandingkan dengan 88 untuk hibrida biasa (konvensional) (Tabel 41). Apakah perubahan indeks keberlanjutan ini secara statistik signifikan atau tidak, maka dilakukan uji-t berpasangan terhadap rerata (mean) nilai indeks untuk masing-masing jenis benih jagung transgenik terhadap benih jagung hibrida.
Hasil uji-t berpasangan (paired T-test) dengan hipotesis nol (H0) yang
diuji adalah indeks keberlanjutan (IK) dengan adopsi benih jagung transgenik sama dengan IK benih hibrida, sedangkan hipotesis alternatif (H1) adalah IK benih transgenik lebih besar (lebih baik) dari IK hibrid disertai dengan batas bawah (lower bound confidence) pada tingkat 95% (α = 0,05), dan diperoleh hasil uji sebagai berikut: Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) RR+Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR+Bt 84 91,50 21,79 2,38 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 3,196 8,819 0,962 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata : 1.595 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 3.32, nilai-P = 0.001 Dalam hal ini nilai p < 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) ditolak dan H1 diterima, berarti IK dari RR+Bt signifikan lebih baik daripada IK dari hibrida.
127
Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) RR vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR 84 89,02 21,49 2,34 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 0,714 8,582 0,936 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata: -0.844 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 0.76, nilai-P = 0.224 Dalam hal ini nilai p > 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) diterima dan H1 ditolak , berarti antara IK dari RR sama dengan IK dari hibrida. Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK Bt 84 91,04 21,75 2,37 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 2,733 8,525 0,930 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata: 1.186 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 2.94, niali-P = 0.002 Dalam hal ini nilai p < 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) diterima dan H1 diterima, berarti antara IK dari Bt lebih besar daripada IK dari hibrida. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa secara agregat aspek keberlanjutan usahatani jagung pada prinsipnya malah akan lebih baik dengan adanya masukan benih transgenik berdasarkan faktor atau indikator yang dikaji dalam penelitian ini. Pola yang serupa dengan agregat di atas juga dapat diamati pada tingkatan provinsi (Gambar 35). Seperti yang telah dibahas di depan bahwa IK usahatani jagung hibrida pada saat ini di Jawa Timur ternyata lebih baik daripada nilai IK di Lampung. Hal ini terutama dipengaruhi oleh indikator penggunaan pupuk dan kompos yang lebih ideal atau baik di Jawa Timur. Dari segi lahan juga demikian, tipe lahan di Jawa Timur umumnya adalah lahan sawah dan datar dengan kesuburan relatif yang lebih baik. Disamping itu, penggunaan herbisida di Jawa Timur lebih rendah daripada di Lampung, sementara penggunaan insektisida relatif sama. Dari segi ekonomi tingkat produktifitas dan keuntungan usahatani jagung lebih tinggi di Jawa Timur. Dari segi sosial, hanya tingkat pendidikan yang lebih baik di Jawa Timur, sedangkan skala usaha, afiliasi kelompok dan persentase kontribusi jagung terhadap pendapatan keluarga ternyata lebih tinggi di Jawa Timur. Faktor-faktor ini juga secara proprosional memiliki pengaruh yang sama bilamana terjadi adopsi benih jagung transgenik oleh para petani sehingga
128
pola IK pada usahatani jagung Bt, RR, dan RR+Bt baik di Jawa Timur dan Lampung mengikuti nilai IK agregat.
Gambar 35. Rata-rata indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik menurut provinsi. Akan tetapi begitu aspek keberlanjutan ini ditelaah lebih mendalam akan terlihat variasi di antara wilayah kabupaten sebagai akibat dari adopsi jenis benih jagung transgenik (Tabel 41). Secara umum adopsi benih Bt dan RR+Bt akan cenderung memberikan indeks yang lebih baik daripada benih hibrida bila dibandingkan dengan benih RR. Terdapat beberapa kabupaten dimana nilai IK (indeks keberlanjutan) dengan adopsi benih transgenik tidak lebih baik daripada usahatani benih hibrida saat ini seperti terlihat untuk kabupaten Lampung Selatan, Blitar, Jombang, Kediri dan Nganjuk.
Hal ini menyiratkan betapa perlunya
memperbaiki indikator-indikator pada usahatani existing seperti yang diuraikan sebelumnya seperti penggunaan pupuk berlebih di Nganjuk, penggunaan pestisida yang intensif antara lain Lampung Selatan, Nganjuk dan Kediri. Sementara di beberapa kabupaten lain seperti Lampung Tengah, Lampung Timur, Malang dan Mojokerto terlihat bahwa dengan adopsi benih jagung transgenik nilai IK menjadi jauh lebih baik. Bahkan di Lampung Timur yang tadinya nilai IK hibrida sekitar 90, namun dengan simulasi adopsi benih transgenik jauh meningkat sehingga menyamai nilai IK tertinggi yang terdapat di Nganjuk.
129
Tabel 41. Nilai indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik menurut kabupaten Kediri
L Selatan
L Tengah
L Timur
Malang
Mojokerto
Nganjuk
Bahkan
Jombang
Hibrida saat ini Benih Bt Benih RR Benih RR+Bt
Blitar
Jenis benih
95,2 93,2 91,0 93,2
92,9 92,4 89,9 92,6
94,9 93,2 92,0 93,8
77,3 78,2 76,0 77,8
85,9 89,0 87,2 90,0
91,2 102,9 101,4 104,4
84,7 94,8 92,8 95,8
90,0 95,7 92,7 95,5
105,9 104,9 103,6 105,7
untuk
kabupaten-kabupaten
yang
telah
secara
intensif
menggunakan insektisida seperti Kediri, Nganjuk dan Lampung Selatan, ditemukan nilai agregat indeks keberlanjutan usahatani yang relatif tetap antara jagung hibrida dan transgenik. Hal ini menunjukkan pengaruh indikator insektisida yang buruk bagi indeks keberlanjutan saat ini akibat tingginya aplikasi insektisida oleh petani, sementara pengurangan dosis insektisida dengan adopsi Bt dan Bt+RR tidak sepenuhnya serta merta menghilangkan pengaruh tersebut (Gambar 36).
IK pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif 110
Kediri L Selatan Nganjuk 75 Hibrida
Benih Bt
Benih RR
Benih RR+Bt
Gambar 36. Agregat indeks keberlanjutan (IK) usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif
130
Dari
kelompok
kabupaten-kabupaten
yang
telah
secara
intensif
menggunakan herbisida yakni Jombang, Nganjuk, dan Lampung Tengah, agregat keberlanjutan antara benih hibrida relatif tidak berubah dan benih RR. Sedangkan di Malang, Mojokerto, dan Lampung Timur agregat keberlanjutan relatif membaik pada benih RR dibandingkan dengan benih hibrida (Gambar 37).
IK pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif 110 Jombang L Tengah L Timur Malang Mojokerto 75
Nganjuk Hibrida
Benih Bt
Benih RR Benih RR+Bt
Gambar 37. Agregat indeks keberlanjutan (IK) usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif. 4.4. Analisis Faktor-faktor Penentu Kelayakan Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik
Pengembangan
dan
4.4.1. Analisis Kriteria Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Kelembagaan Dengan menggunakan teknik AHP, hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak SuperDecision adalah seperti pada Gambar 38, yakni terdiri dari 4 level. Hirarki teratas adalah fokus kelayakan pengembangan benih transgenik di Indonesia sebagai patokan awal bagi pakar dalam memberikan judgement. Level kedua adalah 4 kriteria yakni ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Level ke-3 adalah sub-kriteria dan level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi disajikan pada Lampiran 4. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, subkriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi
131
derajat kepentingan (importance) atau kelayakannya dibandingkan dengan variabel/faktor yang berada dalam satu level. Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteria/subkriteria/alternatif perlu mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut.
Fokus
Kriteria
Indikator Produktifitas & net profit 0,1172
Ekonomi 0,0949
Alternatif
Jagung Bt 0,177
Produksi total 0,2731 Harga & Biaya 0,6093
Jagung RR 0,180
Penerimaan publik 0,1173
Sosial 0,1763
Persepsi risiko kesehatan 0,4482 Sebaran manfaat 0,4345
Adopsi benih tanaman transgenik di Indonesia
Jagung RR+Bt 0,168
Padi Bt 0,135
Fisik (tanah, air, irigasi) 0,1261
Lingkungan 0,3228
Keragaman varietas 0,2144 Keamanan hayati 0,6595
Kentang LBR 0,127
Kedelai TH 0,106
Industri benih 0,1083
Kelembagaan 0,4060
Kapasitas SDM 0,2364
Tomat TV 0,108
Regulasi 0,6553
Gambar 38. Hasil analisis hirearki (AHP) faktor-faktor penentu adopsi benih tanaman transgenik.
132
Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 4 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar, ditampilkan dalam bentuk matriks. Dalam pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Nilai indeks yang diharapkan adalah lebih kecil dari 0,1. Jika hasil analisis menunjukkan nilai lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report sehingga nilainya lebih kecil dari 0,1.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam
menyesuaikan nilai matriks dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap pola atau kecenderungan prioritas/preferensi semula. Langkah-langkah penyesuaian matriks untuk mendapatkan indeks inkonsistensi agar lebih kecil dari 0,1 secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.
Dalam
rangkaian analisis sebanyak 17 matriks pembandingan (Tabel 42), hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada analisis sub-kriteria pada kriteria sosial (nilai inkonsistensi 0,1552).
Tabel 42. Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan pada hirarki fokus kelayakan adopsi Matriks Fokus/kriteria/ sub- Indeks in- Matriks Fokus/kriteria/ kekriteria konsistensi kesub-kriteria 1 Fokus kelayakan adopsi 0,0513 10 Persepsi risiko kesehatan 2 Ekonomi 0,0845 11 Sebaran manfaat 3 Sosial 0,0685*) 12 Fisik 4 Lingkungan 0,0103 13 Keragaman varietas 5 Kelembagaan 0,0143 14 Keamanan hayati 6 Produktifitas/laba bersih 0,0203 15 Industri benih 7 Produksi total 0,0259 16 Kapasitas SDM 8 Harga dan biaya 0,0092 17 Regulasi 9 Penerimaan publik 0,0126
Indeks inkonsistensi 0,0057 0,0417 0,0260 0,0391 0,0121 0,0223 0,0066 0,0093
*) Nilai indeks inkonsistensi yang diperoleh setelah dilakukan revisi matriks dalam kriteria sosial. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0057 0,0845. Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan Sebaran manfaat vs. Persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 (tetap lebih favorable untuk Sebaran manfaat). Dalam hal ini kisaran penilaian masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 (equal) – 3 (moderate), dengan demikian tidak diperlukan revisi yang signifikan
133
dengan review ulang kepada para pakar. Dengan revisi ini indeks inkonsistensi semula 0,1552 berubah menjadi lebih baik yakni 0,0685. Dengan hasil ini valid melanjutkan analisis faktor-faktor atau kriteria dan sub-kriteria/indikator yang perlu secara kritikal diperhatikan dalam menentukan kelayakan pengembangan dan sukses adopsi teknologi transgenik. Dari tampilan hirarkis pada Gambar 38 diperoleh bahwa faktor kelembagaan memiliki bobot paling besar yakni sebesar 41% kemudian diikuti oleh faktor Lingkungan sebesar 32%, faktor Sosial sebesar 18% dan faktor Ekonomi menempati urutan terakhir yakni sebesar 9%. Jadi menurut para pakar, faktor penentu pilihan transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor yang memiliki bobot terbesar yaitu Kelembagaan dan Lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor non-ekonomi lebih penting daripada faktor ekonomi.
Jadi menurut persepsi
pakar, faktor pengembangan transgenik relatif lebih dipengaruhi oleh faktor nonekonomi seperti Kelembagaan, Sosial dan Lingkungan daripada faktor Ekonomi. Untuk faktor kelembagaan apabila dirinci lebih jauh, maka variabel regulasi menempati urutan pertama dengan bobot 65%, kemudian kapasitas SDM kelembagaan (24%) dan terakhir variabel industri benih (11%). Kondisi riil saat ini menunjukkan implementasi regulasi merupakan faktor kunci pembuka pintu agar adopsi terjadi yakni untuk bisa start jalan (Go) atau tidak jalan (No go). Variabel kelembagaan yang mengelola/mengimplementasikan regulasi merupakan kunci
utama
dikembangkan.
yang
harus
dipersiapkan
sebelum
teknologi
transgenik
Misalnya saja, sampai saat ini alasan utama mengapa benih
transgenik belum bisa dikembangkan di Indonesia, karena kelembagaan dan prosedur regulasinya belum lengkap. Setidak-tidaknya hal inilah yang ditangkap oleh kalangan industri penyedia teknologi benih transgenik selama beberapa tahun belakangan ini sehingga keadaan tersebut cenderung dipandang sebagai belum kondusifnya dukungan kebijakan dan kelembagaan untuk aplikasi dan adopsi benih transgenik di Indonesia. Selanjutnya, pada faktor lingkungan, yang sangat menjadi perhatian adalah sub-kriteria keamanan hayati (bobot 66%), kemudian keragaman varietas (21%) dan selanjutnya sub-kriteria fisik (13%). Perhatian terhadap keamanan hayati ini menonjol karena teknologi baru transgenik dikhawatirkan memberi efek negatif
134
kepada lingkungan hayati. Sebagai bottle-neck yang dihadapi saat ini dalam pengembangan benih tanaman transgenik di Indonesia adalah terkait dengan keberadaan Komisi Keamanan Hayati. PP no. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika mensyaratkan dibentuknya komisi nasional yang bertanggung jawab dalam menerima permohonan ijin keamanan hayati, serta kemudian menelaah, mengevaluasi, dan memutuskan apakah suatu produk atau teknologi dikategorikan aman hayati. Namun demikian, hingga saat ini komisi yang dimaksud belum terbentuk secara formal. Sebenarnya PP 21 menetapkan aturan peralihan dimana prosedur yang diatur dalam SKB 4 Menteri dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP 21 tersebut. Kepedulian responden pakar dalam penelitian ini terhadap aspek keamanan hayati dan keragaman varietas menggambarkan bahwa potensi risiko yang terbesar pada faktor biotik ketimbang pada faktor abiotik (fisik). Hal ini sesuai dengan faktor-faktor risiko yang dikemukakan oleh para peneliti atau pakar yang membahas tentang potensi risiko atau dampak lingkungan tanaman transgenik. Dari 9 dampak lingkungan potensial dari tanaman transgenik yang dikemukakan oleh Carpenter, et al. (2002), 6 dampak di antaranya terkait dengan aspek keamanan hayati dan keragaman varietas, yakni: sifat kegulmaan tanaman, aliran gen, resistensi hama, pergeseran populasi hama, pengaruh pada organisme non-target dan menguntungkan, dan pengaruh terpapar pada manusia. Sedangkan 3 dampak lainnya terkait dengan aspek fisik, yakni: efisiensi/produktifitas lahan, perubahan penggunaan pestisida, dan penggunaan lahan dan olah tanah konservasi.
Kepedulian pakar umumnya mewakili pandangan publik yang
cenderung melihat/mempersepsikan dampak dari sisi negatif saja.
Padahal
dampak lingkungan potensial dari produk/teknologi transgenik juga signfikan potensinya memberikan dampak positif terutama dikaitkan dengan sifat teknologi yang inheren memberikan perlindungan tanaman secara built-in ke dalam benih. Perlindungan tanaman dapat dilakukan secara lebih selektif sehingga organisme non-target dan organisme menguntungkan tidak terkena dampak negatif akibat adopsi benih transgenik, tidak seperti pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh aplikasi insektisida yang umumnya memiliki rentang pengendalian yang relatif lebih luas (broad spectrum control). Dampak positif lainnya adalah pada aspek
135
konservasi lahan, penggunaan lahan yang lebih efisien karena peningkatan produktifitas tanaman, dan efisiensi ekonomis dan pengaruh positif pada jejak lingkungan akibat pengurangan aplikasi pestisida secara menyeluruh. Potensi pengaruh terpapar pada manusia terutama ditentukan oleh faktor keamanan pangan. Seperti yang dikemukakan oleh Qaim (1999), aspek keamanan pangan merupakan aspek terpenting dalam evaluasi/pengkajian keamanan produk/teknologi transgenik. Dari uraian di atas, tampaknya menjadi jelas bahwa dengan kelembagaan dan regulasi yang menjamin terlaksananya prosedur evaluasi/penyaringan terhadap berbagai produk/teknologi tanaman transgenik, maka risiko yang potensial mungkin terjadi ditapis/disaring dengan pengkajian yang seksama. Artinya, manajemen risiko sebenarnya telah dimulai sejak dini dimana kelembagaan yang berwenang berhak dan wajib tidak melanjutkan suatu produk/teknologi ke tahap berikutnya jika tidak memenuhi kriteria evaluasi yang digariskan dalam regulasi.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kriteria
pengkajian/evaluasi keputusan bagi benih transgenik dilakukan secara lebih ketat bila dibandingkan dengan benih tanaman konvensional atau non-transgenik. Menarik untuk dibahas disini pembandingan antara pestisida dan benih transgenik.
Kedua bentuk teknologi ini dimaksudkan untuk perlindungan
tanaman dari OPT (organisme pengganggu tanaman), hanya bedanya dengan pestisida adalah aplikasi bahan aktif kimiawi sedangkan dengan benih transgenik dilakukan secara genetik melalui transfer sifat ketahanan terhadap OPT yang built-in ke dalam benih.
Pestisida merupakan salah satu terobosan dalam
Revolusi Hijau (selain pupuk, benih unggul HYV, dan bentuk-bentuk teknologi lain). Dengan transgenik yang oleh banyak pihak disebut sebagai revolusi kedua pertanian, ketahanan terhadap OPT yang inheren dalam benih akan signifikan mengurangi jumlah aplikasi pestisida. Benih tanaman transgenik yang diadopsi secara global umumnya masih dominan merupakan produk teknologi generasi pertama seperti yang dikemukakan oleh Kalaitzandonakes (2003). Ke depan teknologi transgenik generasi kedua dan berikutnya memberikan potensi dampak lingkungan yang tampaknya semakin positif. Dewasa ini sedang giat-giatnya dikembangkan benih transgenik yang efisien menggunakan air (tahan kekeringan) dan efisien menggunakan hara atau pupuk. Hal ini tentu memberikan peluang
136
besar untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan patut dikembangkan di negara-negara berkembang. Kombinasi teknologi dan produk benih transgenik masa depan tampaknya sangat potensial menggantikan atau mengurangi ketergantungan akan input agrokimia semisal pupuk dan pestisida yang menjadi salah satu tulang punggung peningkatan produksi sejak era tahun 70-an. Apabila hal ini terjadi dan diadopsi secara meluas, maka perubahan pola budidaya atau kultur pertanian diprediksi akan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya mempunyai keterkaitan dengan industri-industri baik ke hulu maupun ke hilir. Faktor sosial dengan sub-kriteria persepsi resiko kesehatan dianggap sebagai aspek terpenting dengan bobot 45% kemudian diikuti oleh aspek sebaran manfaat (43%) dan aspek penerimaan publik (12%).
Para responden pakar
melihat bahwa aspek persepsi resiko kesehatan ini paling menonjol termasuk dapat dilihat dengan isu-isu yang sering mengemuka dalam wacana publik misalnya pada media, seminar, dan lokakarya tentang bioteknologi. Sebaran manfaat sebagai aspek yang juga sangat penting. Distribusi surplus manfaat dari komersialisasi teknologi ini menjadi concern karena porsi yang signifikan akan dinikmati oleh perusahaan besar & sistem distribusi agro-input yang ada saat ini. Oleh karena itu, mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan. Faktor ekonomi yang terkait dengan aspek harga teknologi dan penghematan biaya yang mungkin disumbangkannya menduduki prioritas tertinggi sebesar 61% kemudian diikuti aspek pengaruhnya terhadap produksi total (27%) dan aspek produktifitas (yield) dan keuntungan bersih yang mungkin didapatkan (12%). Masalah harga dan biaya ini menunjukkan bahwa sifat petani umumnya adalah risk averse oleh karena itu perlu diyakinkan tentang potensi manfaat teknologi baru. Oleh karena itu, penting untuk membantu petani (subsidi input) agar risiko yang khawatirkan petani dipedulikan oleh Pemerintah. Nilai skor atau bobot kelayakan 7 alternatif yang ada menunjukkan bahwa tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (1718%). Sementara ke-4 alternatif lainnya berkisar 11-13% yakni terpaut hanya sekitar 5-7% (Gambar 38 terdahulu).
Analisis kelayakan semua alternatif
berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan disajikan pada
137
Tabel 43, terlihat urutan prioritas yang sama dimana ketiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (16-19%).
Sementara 4
alternatif lainnya berkisar 10-14%. Dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan nilai skor tidak ada satu pun alternatif yang cukup menonjol dibandingkan dengan lainnya dalam konteks masing-masing krtiteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Hasil ini menunjukkan penilaian yang konsisten oleh responden
pakar terhadap alternatif-alternatif teknologi transgenik yang ditawarkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada kondisi kelembagaan dan/atau regulasi yang belum kondusif atau belum sempurna pada tempatnya maka setiap teknologi transgenik yang prospektif memiliki tingkat kelayakan pengembangan yang relatif sama. Hal ini dapat menjadi justifikasi yang kuat bagi kegiatan (program/proyek penelitian dan pengembangan) berbagai teknologi transgenik dengan komoditas yang bervariasi yang saat ini dilakukan di banyak lembaga dan universitas di Indonesia. Hal yang sama berlaku bagi minat pihak swasta untuk mengintroduksikan teknologi transgenik ke Indonesia dari luar negeri walaupun dengan jenis komoditas yang berbeda dan lebih terbatas jumlahnya yakni dengan nilai komersialisasi yang dianggap tinggi. Tabel 43. Nilai skor prioritas alternatif tanaman transgenik secara agregat, sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Alternatif Jagung RR Jagung Bt Jagung RR+Bt Padi Bt Kentang LBR Kedelai TH Tomat TV
Fokus (agregat) 0.180 0.177 0.168 0.135 0.127 0.106 0.108
Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Kelembagaan
0.192 0.185 0.167 0.127 0.121 0.104 0.104
0.189 0.174 0.156 0.133 0.123 0.104 0.119
0.185 0.182 0.175 0.142 0.117 0.104 0.095
0.168 0.173 0.167 0.131 0.138 0.109 0.115
4.4.2. Analisis Sukses Adopsi Introduksi Benih Transgenik Selain itu, topik lain yang dianalisis adalah kemungkinan sukses adopsi teknologi dalam bentuk produk benih varietas baru. Hasil analisis peluang sukses adopsi dengan kriteria proses transfer, profil pengguna akhir (end-user), dan penerimaan/persepsi publik disajikan pada Gambar 39. Peluang sukses adopsi
138
masing-masing alternatif baik secara keseluruhan ataupun dalam faktor dapat terlihat dengan jelas (proses transfer, profil pengguna dan persepsi publik, serta masing-masing indikator).
Tujuan
Faktor
Indikator Sistem 0,141
Proses transfer 0,138
Kematangan produk 0,419
Alternatif
Jagung RR 0,179
Jagung Bt 0,162
Mekanisme 0,440
Sukses adopsi produk benih transgenik
Perilaku adopsi 0,174
Jagung RR+Bt 0,163
Padi Bt 0,137
Profil enduser 0,243
Permintaan, minat 0,281
Kentang LBR 0,129
Pendidikan 0,545
Persepsi publik 0,619
Sikap terhadap transgenik 0,315 Sikap terhadap residu pestisida 0,685
Kedelai tahan hama 0,106
Tomat tahan penyakit virus 0,122
Gambar 39. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih transgenik. Dalam konteks penelitian ini pengguna akhir yang dimaksud adalah petani sebagai penerima atau pengadopsi suatu teknologi atau varietas benih tertentu. Hirarki teratas adalah berupa sasaran sukses adopsi benih transgenik di Indonesia; level kedua adalah klaster kriteria yang terdiri dari 3 faktor yang dianggap penentu berhasil tidaknya adopsi yakni proses transfer, profil pengguna akhir, dan faktor persepsi publik. Level ke-3 adalah klaster untuk sub-faktor dimana masing-
139
masing kriteria pada level di atasnya diperjelas dengan masing-masing 2 - 3 subkriteria. Level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 5 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar. Dalam proses pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Dalam rangkaian analisis potensi sukses adopsi benih transgenik ini ada sebanyak 12 matriks pembandingan berpasangan, dimana semua matriks memiliki nilai indeks inkonsistensi di bawah 0,1. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0000 - 0,0973 seperti tertera pada Tabel 44.
Tabel 44. Daftar nilai indeks inkonsistensi pembandingan berpasangan Matriks Tujuan/faktor/ kesub-faktor 1 Sukses adopsi 2 Proses transfer 3 Profil end-user 4 Penerimaan publik 5 Sistem 6
Kematangan produk
Indeks inkonsistensi 0,0596 0,0973 0,0231 0,0000 0,0107 0,0069
untuk
setiap
Matriks Tujuan/faktor/ kesub-faktor 7 Mekanisme transfer 8 Perilaku adopter 9 Permintaan, minat 10 Pendidikan 11 Sikap terhadap transgenik 12 Sikap terhadap residu pestisida
matriks
Indeks inkonsistensi 0,0021 0,0105 0,0327 0,0064 0,0052 0,0168
Faktor persepsi publik memiliki bobot paling besar yakni sebesar 61,94% kemudian diikuti oleh faktor profil pengguna akhir dan proses transfer masingmasing 24,3 dan 13,76%.
Hal ini menunjukkan bahwa menurut para pakar
yang diwawancarai dalam penelitian ini persepsi publik memegang peranan sangat dominan sangat dominan menentukan apakah benih transgenik dapat berhasil diadopsi. Untuk faktor persepsi publik, pengaruh sub-faktor persepsi terhadap residu pestisida (68%) terlihat lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik (32%) (Gambar 39). Sementara itu, dalam faktor profil pengguna akhir, aspek pendidikan menunjukan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dari aspek perilaku adopsi dan permintaan atau minat terhadap teknologi transgenik. Aspek kematangan produk dan mekanisme transfer berperan sama pentingnya dalam faktor proses transfer produk atau teknologi hingga diadopsi oleh pengguna.
140
Karaktersitik inovasi baru yang menurut Rogers (2003) ada 5 yakni keunggulan relatif (relative advantage), kecocokan (compatibility), kompleksitas, dapat dicoba (trialability) biasanya secara terbatas terlebih dahulu, dan terlihat atau terbuka untuk yang lain (observability).
Dalam kaitan ini, 2 atribut yg
terakhir akan memegang peranan penting bagi petani. Petani biasanya dengan sifat yang risk averse (umumnya) ingin mencoba pada sebagian kecil petak lahan (tidak langsung 100%) dimana hal ini akan mengurangi resiko dan ketidakpastian adopsi. Selanjutnya observability yang memungkinkan inovasi terlihat bagi orang lain, terjadinya diskusi kelompok (peer discussion) yang menjadi sumber informasi penting dalam pembuatan keputusan akan mempercepat adopsi sehingga tujuan peningkatan produksi dapat tercapai. Peluang sukses adopsi 7 alternatif produk tanaman transgenik secara visual disajikan pada Gambar 40. Tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan sukses adopsi lebih baik (16-18%). Sementara 4 alternatif lainnya yakni padi Bt, kentang, kedelai dan tomat berkisar 11-14%.
Secara keseluruhan,
peluang sukses adopsi benih jagung transgenik sedikit lebih baik. Jenis jagung transgenik menempati urutan kelayakan adopsi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya.
Dari persepsi risiko, hal ini tampaknya logis karena jagung
umumnya digunakan untuk pakan ternak dan bahan baku industri pangan olahan, sedangkan padi, kentang, kedelai dan tomat merupakan bahan pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat di Indonesia.
0.12
Tomat TV
0.11
Kedelai TH
0.13
Kentang LBR
0.14
Padi Bt
0.16
Jagung RR+Bt
0.16
Jagung Bt
0.18
Jagung RR 0
0.05
0.1
0.15
0.2
Gambar 40. Diagram peluang sukses adopsi berbagai alternatif produk tanaman transgenik.
141
4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang Terkait Seperti yang telah dibahas pada Sub-Bab 4.4 dimana faktor penentu terjadinya (Go atau No go) adopsi tanaman transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor yang memiliki bobot terbesar yaitu faktor kelembagaan/regulasi dan pertimbangan lingkungan. Hasil ini sejalan dengan kondisi riil yang terjadi, bahwa variabel kelembagaan yang mengelola/mengimplementasi regulasi merupakan kunci utama yang harus dipersiapkan sebelum teknologi transgenik dikembangkan. Asumsi dasar yang dijadikan acuan dalam bagian ini adalah tujuan dari suatu kebijakan/regulasi yang dibuat adalah untuk memenuhi kepentingan nasional atau tujuan pembangunan dalam hal ini terkait dengan ketahanan pangan yang berkelanjutan. adopsi benih
Dalam konteks inilah pembahasan tentang kemungkinan
jagung transgenik ditempatkan.
Analisis rasional juga tidak
terlepas dari identifikasi fakta dan data yang relevan yang terkait dengan masalah yang dihadapi, termasuk yang berkaitan dengan aspek historis dan perkembangan terbaru yang muncul. Identifikasi variabel kebijakan yang utamanya berada di bawah 4 (empat) payung undang-undang: sistem budidaya, perlindungan varietas, pangan, dan pengkajian keamanan.
4.5.1. State of the Art Kerangka Regulasi tentang Produk Rekayasa Genetika Identifikasi variabel kebijakan yang menyebutkan produk rekayasa genetika utamanya berada di bawah 4 (empat) payung undang-undang: sistem budidaya (UU No. 12/1992), perlindungan varietas (UU No. 29/2000), pangan (UU No. 7/1996), dan pengkajian keamanan hayati (UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, PP No.21/1005 tentang Keamanan Hayati) (Lampiran 11). Pada Tabel 45 dikemukakan hal-hal pokok yang terkait dengan payung undang-undang dan pemegang mandat dan/atau wewenang juridis UU. Secara rasional dan aspek wewenang pengembangan varietas tanaman berada dalam naungan Undang-undang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 dengan mandat pada Departemen Pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi tanaman untuk kepentingan nasional.
UU Perlindungan
Varietas Tanaman
(PVT) No. 29 Tahun 2000 mendorong upaya terus menerus untuk menemukan/
142
menciptakan varietas unggul yang produktifitasnya lebih tinggi, kuantitas dan kualitas produksi semakin tinggi, dan meningkatkan daya saing komoditi.
Tabel 45. Hirarki regulasi terkait dengan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika dan kelembagaan pemegang wewenang/ mandat dalam manajemen implementasinya. UU Perlindungan UU Sistem Varietas Tanaman Budidaya (No. 29/2000) Tanaman (No. 12/1992) PP Penamaan, PP Perbenihan Pendaftaran dan Tanaman (No. Penggunaan 44/1995) Varietas (No. 13/2004) PROSEDUR PELAKSANAAN: Peraturan Menteri Pertanian (No : 01/Pert/SR.120 /2/2006Tentang Syarat Penamaan dan Tata Cara Pendaftaran Varietas Tanaman
KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI: Pusat Perlindungan Varietas Tanaman WEWENANG & MANDAT: Menteri Pertanian
PROSEDUR PELAKSANAAN: Peraturan Menteri Pertanian (No: 37/Permentan/ OT.140/8/2006) Tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan Varietas SKB 4 Menteri tentang Keamanan Hayati dan Pangan KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI: Badan Benih Nasional WEWENANG & MANDAT: Menteri Pertanian
UU Pangan (No. 7/1996)
UU Lingkungan Hidup (No. 23/1997)
PP Keamanan, Mutu PP Keamanan Hayati dan Gizi Pangan (No. Produk Rekayasa 28/2004) Genetika (No. 21/2005) PP Label dan Iklan Pangan No.69/1999 PROSEDUR PELAKSANAAN: disyahkan oleh Kepala BPOM pada tahun 2008
PROSEDUR PELAKSANAAN: menunggu terbentuknya Komisi Keamanan Hayati (KKH) yang kedudukan, keanggotaan, tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Menteri LH.
WEWENANG & WEWENANG & MANDAT: Kepala MANDAT: Menteri Badan POM Lingkungan Hidup KETENTUAN PERALIHAN dalam PP21/2005: proses pendaftaran, pengujian, dan pengkajian tetap berlangsung dengan peraturan yang sudah ada sepanjang tidak bertentangan dengan PP21.
Adanya sistem hak atas kekayaan intelektual (HKI) teknologi merupakan insentif.
Hak PVT melindungi varietas baru melalui pemberian hak komersial
eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk memasarkan varietas baru termasuk bahan
143
reproduktifnya.
Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih
simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.
Implementasi pelepasan benih atau bibit tanaman
tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No:37/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika sebagai penyempurnaan SKB 4 Menteri.7 Disebutkan bahwa PP ini dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, yakni untuk mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya genetika. Penjelasan PP No. 21/2005 pasal 23 menyatakan dengan jelas bahwa ketentuan peredaran produk rekayasa genetika mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang komoditi masing-masing yang menjadi tanggung jawab departemen teknis. Keamanan hayati dalam PP No. 21/2005 mencakup keamanan lingkungan, keamanan pangan dan pakan. Menarik untuk dicatat bahwa telah terjadi pergeseran mandat/wewenang yang
sangat
mendasar
perihal
keamanan
hayati
yakni
dari
sifat
koordinatif/kolektif antara empat departemen menjadi wewenang langsung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Evaluasi keamanan hayati dalam peraturan tersebut bergeser menjadi mandat KLH (setelah ratifikasi Protokol Cartagena dengan UU No. 21/2004). Selain itu, diterapkan mekanisme clearing house termasuk notifikasi publik tentang proses dan keputusan tentang produk transgenik.8 Perubahan signifikan lain adalah bahwa penggerak SKB 4 Menteri 7
8
Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura; No.: 998.1/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999 Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati disepakati pada bulan Desember 1999 di Montreal, Canada. Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH, Biosafety Clearing House) merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena, sesuai dengan pasal 20 pada protokol. Pembentukan dan pengembangan BKKH merupakan kewajiban bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena. Indonesia telah meratifikasi Protokol tersebut melalui Undang-Undang No. 21/2004. Fungsi BKKH diserahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan pelaksana fungsi adalah Puslit Bioteknologi LIPI (www.bchindonesia.org).
144
adalah pejabat eselon-I yang lebih mudah berkoordinasi ketimbang sifat suatu PP (karena hirarkinya yang lebih tinggi) membutuhkan intervensi dari kantor Sekretariat Negara guna memungkinkan terjadinya koordinasi antar menteri. Disamping itu, peraturan yang pernah ada yang mengharuskan dilakukannya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) (Kepmen LH No.17/2001) pada setiap kegiatan usaha yang memakai organisme hasil rekayasa genetika karena pengaruhnya yang besar dan penting bagi lingkungan, kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan.
Kepmen ini sama sekali tidak
menyinggung atau merujuk pada aturan pengkajian keamanan hayati yang ada di dalam SKB 4 Menteri pada waktu itu. Hal ini membuat ketidakjelasan mengenai peran pengkajian keamanan hayati untuk menilai aman atau tidaknya suatu jenis transgenik untuk diusulkan pelepasannya. Dalam ranah pengelolaan lingkungan di Indonesia biasanya AMDAL dilakukan untuk kegiatan usaha dengan batasan skala tertentu serta merupakan bagian tidak terpisahkan dari kelayakan teknis dan finansial dari suatu usaha. Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa terjadi suatu transisi regulasi dan kelembagaan yang berkepanjangan terkait dengan evaluasi keamanan hayati (lingkungan, pangan dan pakan). Disamping itu suatu hal yang menjadi ironis juga mengingat Indonesia sudah mengimpor produk transgenik (khususnya jagung dan kedelai) selama bertahun-tahun untuk konsumsi domestik. Menurut laporan USDA (2006), nilai impor produk transgenik dari AS saja mencapai US $ 600 juta (setara Rp 5,4 triliun dengan 1 dollar AS = Rp 9.000) pada tahun 2005. UU No. 7/1996 mengindikasikan bahwa sebelum dikomersialkan di Indonesia, bahan pangan yang berasal rekayasa genetika harus dikaji dan disetujui terlebih dahulu. Demikian juga PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan mengharuskan pencantuman label. Akan tetapi saat ini belum dijumpai adanya produk pangan yang dilabel sesuai dengan aturan ini.
Situasi ini tentu saja
membuat bingung konsumen, produsen pangan olahan, dan publik pada umumnya. Perkembangan terakhir yang diamati pada tahun 2008 Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) mengindikasikan bahwa ketentuan peralihan dalam
145
PP21/2005 mulai dapat diimplementasikan. Di dalam ketentuan peralihan dan penutup pada PP21/2005 disebutkan: ”Semua permohonan pelepasan dan/atau peredaran PRG yang telah diajukan kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang dan sedang diproses pada saat mulai berlakunya PP ini, diproses lebih lanjut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada” (Pasal 34). Pada saat berlakunya PP ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP 21. Oleh BKKH disebutkan bahwa pemasukan benih (untuk tanaman) pertama sekali diajukan ke Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Perijinan Investasi, Departemen Pertanian. Bab V dalam PP 21 tentang pengkajian, pelepasan dan peredaran serta pemanfaatan produk rekayasa genetika (PRG) menjelaskan tata cara pengkajian dalam (pasal 14 -15)9 yang jelas dan memiliki tenggat waktu yang sudah ditentukan lamanya.
Pengkajian keamanan lingkungan ini menjadi tahapan
pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas. Sebagai contoh prosedur untuk pengkajian keamanan lingkungan (di bawah wewenang KKH) sebagai tahapan pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas (di bawah wewenang BBN = Badan Benih Nasional yang bertanggungjawab kepada Menteri Pertanian). Secara garis besar prosedur ini sama dengan prosedur evaluasi dan pelepasan varietas yang berjalan
9
Pasal 14: ay(1). Pengkajian terhadap PRG wajib dilakukan sebelum pelepasan dan peredaran; ay(2). Pengkajian dilaksanakan berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan oleh pemohon kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang; ay(3).Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari menyampaikan permohonan rekomendasi keamanan hayati PRG kepada Menteri atau Ketua KKH. Pasal 15:ay(1). Dalam rangka pemberian rekomendasi keamanan hayati PRG sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (3) Menteri, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang menugaskan KKH untuk melakukan pengkajian; ay(2). Jangka waktu pengkajian sebagaimana dimaksud ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penugasan; ay(3). Dalam hal pengkajian terkait dengan evaluasi teknis, KKH menugaskan TTKH untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan apabila diperlukan; ay(4). Jangka waktu pengkajian dokumen teknis sebagaimana dimaksud ayat (3) dilaksanakan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sejak diterimanya surat penugasan dari KKH; ay(5). Hasil evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati PRG yang dilakukan oleh TTKH disampaikan kepada KKH sebagai bahan penyusunan usul rekomendasi keamanan hayati PRG dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penyelesaian evaluasi dan kajian teknis.
146
di negara tetangga Filipina. Kedua prosedur ini memiliki prinsip yang sama dalam hal: (1). Kompetensi/ wewenang pengujian/evaluasi sesuai dengan fungsi lembaga; (2). Kejelasan lamanya (durasi) waktu dalam setiap tahapan prosedur yang akan dilalui oleh pemohon; (3). Kewajiban akan adanya pemberitahuan publik; dan (4). Keputusan akhir berupa persetujuan atau penolakan terhadap proposal dari pemohon. Suatu faktor pemicu dimulainya adopsi benih transgenik di Filipina adalah peranan/pengaruh Presidennya dalam menetapkan keputusan (executive order) sehingga departemen/kelembagaan yang berwenang dapat bekerja efektif. Hal pembuatan keputusan seperti ini menjadi faktor terpenting dalam situasi dimana perdebatan terbuka tentang manfaat dan risiko teknologi baru seperti itu tidak terelakkan.
4.5.2. Faktor-faktor lain Sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan Selain faktor transisi regulasi dan kelembagaan keamanan hayati yang diuraikan di atas, tampaknya masih ada faktor-faktor lain yang tidak dapat diabaikan agar pengambilan keputusan yang mendukung adopsi tanaman transgenik berjalan dengan baik. Faktor-faktor lain tersebut sebagai variabel yang sekaligus menjelaskan mengapa selama lebih dari 1 dasawarsa belum ada varietas transgenik khususnya tanaman pangan yang dapat ditanam oleh petani di Indonesia, yang kritikal yakni: Pendaftaran/pelepasan varietas (setelah aman hayati):
Prosedur
evaluasi pelepasan varietas dimulai dengan percobaan multilokasi atau uji observasi pada berbagai lokasi dengan pengujian lebih dari 1 musim.
Hasil
percobaan multilokasi kemudian dilaporkan kepada Badan Benih Nasional (BBN) untuk mendapat persetujuan untuk direkomendasikan kepada Menteri untuk dilepas kalau varietas yang diuji terbukti unggul daripada varietas pembanding. Biasanya rekomendasi BBN ini diputuskan oleh Menteri dalam suatu surat keputusan pelepasan varietas, yang secara gamblang diartikan sebagai lulus persyaratan untuk ditanam oleh petani secara luas; sebaliknya kalau tidak lulus persyaratan berarti ditolak untuk dilepas. Artinya ke depan diharapkan tidak ada lagi terminologi pelepasan terbatas untuk sesuatu varietas.
147
Keamanan pangan, termasuk untuk produk impor:
Terlepas dari
pembahasan mengenai letak dan pemegang mandat keamanan pangan untuk produk segar dan produk olahan, fakta saat ini konsumen di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah memakan produk pangan transgenik karena: (1). jagung transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas, dan (2). kedelai transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan baku pembuat tempe, tahu dan kecap. Hal ini telah berlangsung setidak-tidaknya sejak 7-8 tahun yang lalu. Berdasarkan informasi yang ada (Purwantara, 2008) bahwa peraturan teknis evaluasi keamanan pangan sudah ditandatangani Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Oleh karena itu persetujuan keamanan pangan produk transgenik impor seharusnya menjadi prioritas. Pengalaman tidakberlanjutnya adopsi kapas Bt (2000-03) dan posisi antar pihak stakeholder yang berbeda:
Tidak dapat dipungkiri bahwa
’kegagalan’ adopsi terbatas kapas transgenik Bt di Sulawesi Selatan ternyata di kemudian hari mempengaruhi mood pengambil keputusan. Hal ini tidak terlepasa dari posisi, pendapat atau opini berbagai pihak tentang manfaat, persepsi resiko serta kekhawatiran dominasi swasta untuk suplai benih kalau diamati dapat berlangsung tanpa henti.
Opini kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat)
tentang persepsi resiko dan dominasi korporasi memiliki sisi yang positif untuk diperhatikan dalam pengkajian dan diseminasi informasi sepanjang hal itu dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Akan tetapi kalau keberatan yang diajukan LSM lebih mengarah ke ‘moratorium’ aplikasi transgenik di Indonesia, tampaknya wajar untuk mempertanyakan motif apa di balik penentangan terhadap sesuatu yang dianggap akan memberikan manfaat. Menarik untuk dicatat kembali di sini bahwa tuntutan hukum yang pernah dibuat koalisi LSM terhadap Pemerintah (Adiwilaga, 2003; Purwantara, 2008) karena melepas kapas Bt pada tahun 2000 masih memiliki bekas bagi regulator dan pembuat keputusan yang khawatir akan risiko serupa dalam menetapkan keputusan-keputusan baru tentang produk transgenik. Khusus mengenai kapas Bt, analisis histori terhadap adopsi terbatas benih kapas transgenik di Sulawesi Selatan pada kurun waktu tahun 2000 – 2003 mengimplikasikan adanya masalah dalam variabel kebijakan dan penerimaan
148
publik.
Gambaran yang ada menunjukkan adanya disharmoni hubungan dan
komunikasi antar pemangku kepentingan yang bersikukuh pada posisi masingmasing seperti pada Gambar 41. Pengalaman adopsi terbatas kapas transgenik dan ketidakberlanjutannya adalah kompleks. Situasi ini bisa saja terulang kembali untuk masa yang akan datang kalau variabel-variabel kebijakan yang sudah disebutkan di atas tidak mampu memayungi berbagai kepentingan atau interest dari para stakeholders yang terkait maupun publik secara umum.
Petani: pengalaman pertama, adopsi dan anjuran agronomis, kelompok tani
Pemerintah: peran sentral sebagai regulator, koordi nasi antar departemen/ Pemda, kapasitas kelembagaan/ implementasi
LSM: koalisi antitransgenik, kritik terhadap perusahaan besar, organik vs. transgenik atau koeksistensi, persepsi resiko
Swasta penyedia benih: target bisnis agresif, perubahan manajemen, good corporate governance
Pelepasan (adopsi) terbatas kapas transgenik Bt (2000 – 2003)
Media: perimbangan antara fakta dan opini, bad news is good news, persepsi manfaat dan resiko
Swasta/pembeli hasil panen (ginnery): closedloop system, kapasitas produksi, penan ganan fuzzy seeds
Gambar 41. Analisis posisi stakeholders adopsi benih kapas transgenik Bt (2000-2003)
149
4.5.3. Analisis Implikasi Kebijakan dan Kelembagaan Guna Merealisasikan Potensi Manfaat Benih Transgenik Dalam konteks kebijakan dan regulasi, Pemerintah sebagai juri yang adil dan tegas (fasilitator) yang mengatur dan memutuskan yang berkaitan dengan introduksi teknologi yang memiliki ciri pro-kontra. Dengan regulasi yang jelas maka setiap pemangku kepentingan mampu memposisikan diri dalam konteks kepentingan yang lebih luas daripada sekedar perdebatan terbuka. Disamping itu, kerangka kebijakan dan regulasi yang pasti akan memacu kalangan pelaku usaha dan industri untuk selalu menerapkan tata kelola usaha yang baik (good corporate governance). Dalam konteks ini perlu dukungan bagi diseminasi teknologi baik melalui transfer langsung ke petani oleh lembaga riset publik (motif non-profit) atau melalui mekanisme komersialisasi oleh pihak swasta/industri (motif keuntungan) dari hasil-hasil riset transgenik yang memiliki potensi memenuhi kebutuhan petani. Di sisi lain, komunikasi yang jelas tentang manfaat dan resiko suatu teknologi perlu dilakukan oleh penyedia teknologi agar pemahaman dan persepsi tentang manfaat dan risiko dapat dicapai. Analisis
yang dikemukakan
sebelumnya
mengimplikasikan
fokus
implementasi dari sistem regulasi yang ada saat ini yang lebih dari memadai guna memfasilitasi kegiatan pengkajian keamanan hayati (lingkungan, pangan dan pakan) produk rekayasa genetika.
Dalam kaitan ini beberapa implikasi penting
terkait dengan tataran kebijakan dan kelembagaan dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Terkait dengan potensi tanaman transgenik untuk mendukung ketahanan pangan (food security) serta peningkatan pendapatan petani, peranan dari pemimpin tertinggi Pemerintah dalam memberikan dukungan merupakan kunci pembuka. Bercermin dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mengadopsi benih transgenik,
perintah
keputusan
(executive
order)
dari
kepala
pemerintahan menentukan ya atau tidak terhadap peluang potensi benih transgenik ini. (2) Selain itu peranan atau partisipasi dari pemerintah propinsi dan kabupaten dalam konteks meng-address ketersediaan pangan dengan
150
pengembangan dan aplikasi varietas-varietas baru yang unggul termasuk potensi transgenik ini masih belum digali.
Contoh
pengembangan jagung misalnya di Propinsi Gorontalo – yang membangun kaitan (linkages) antara kegiatan budidaya komoditas jagung dengan sektor-sektor pendukung seperti industri pakan dan pasar ekspor merupakan suatu paradigma baru guna mencapai swasembada tingkat
propinsi dan sekaligus mencapai tujuan
kesejahteraan petani. Peranan pemerintah daerah ini dapat dirancang untuk mendukung/membuka inisiatif pengembangan benih yang spesifik-lokal.
Dengan mengambil contoh di beberapa wilayah
propinsi di Cina dimana, pemerintah propinsi mendirikan joint ventures dalam pemuliaan dan penangkaran benih untuk pertanian di wilayahnya. (3) Mengedepankan peranan lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi guna mempercepat dihasilkannya produk benih/bibit hasil rekayasa genetika yang dapat diadopsi petani. Terkait hal ini, Siregar dan Arifin (2008) misalnya menekankan pentingnya jumlah dana yang mencukupi untuk kegiatan litbang, selain dari anggaran Pemerintah, juga diharapkan berasal dari kolaborasi dengan pihak swasta. Pengembangan kerjasama dibarengi dengan insentif fiskal dan kejelasan hukum kontrak untuk menggunakan invensi dari litbang pemerintah yang kemudian diikuti dengan pengembangan produk dan diseminasinya ke petani tampaknya memerlukan peran swasta. (4) Guna menjamin ketersediaan benih yang lebih baik dan terjangkau bagi petani, pendekatan lisensi terbuka menjadi penting untuk dilakukan. Pemilik teknologi mengharapkan adanya perlindungan hak intelektual dan juga hasil (return) dari investasi yang dibelanjakan mengimplikasikan
perlunya
semacam
lembaga
pengawas
dan
pengelola perlindungan hak atas varietas tanaman. Terkait dengan pengembangan industri perbenihan suatu insentif bagi pemulia dan produsen benih terkait juga dengan HKI
(hak atas kekayaan
intelektual) dimana sejarah pertanian menunjukkan bahwa teknologi
151
pertanian termasuk pemuliaan dan pengembangan varietas baru pada awalnya kebanyakan berasal dari lembaga riset pemerintah (public research). Dewasa ini peran swasta dalam litbang pertanian semakin meningkat, serta ditandai dengan perlunya perlindungan terhadap penemuan-penemuan baru. Adanya sistem HKI atas teknologi baru pertanian (misalnya varietas tanaman, alat dan mesin, dan proses pengolahan) merupakan insentif bagi investasi litbang yang berlanjut sehingga diperoleh suatu gerak inovasi yang dinamis.
Hak
perlindungan varietas tanaman (PVT) melindungi varietas baru melalui pemberian hak komersial eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk memasarkan
varietas
baru
termasuk
bahan
reproduktifnya.
Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Perlindungan seperti ini akan mencegah seseorang untuk memproduksi atau menjual varietas baru tersebut tanpa izin pemilik.
Kalangan industri perbenihan
sangat
mengharapkan undang-undang dan regulasi tentang PVT ini diimplementasikan secara konsisten untuk merangsang investasi. (5) Selain pendekatan industrialis yang dikemukakan pada butir 4 di atas, pendekatan partisipatoris dalam pemuliaan dan penangkaran benih (participatory breeding and seed production) perlu terus semakin digalakkan baik untuk benih dengan nilai komersial tinggi maupun untuk benih tanaman yang nilai komersialnya kurang menarik. Kelompok atau koperasi petani dapat dibina dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk membuat benih/bibit untuk keperluan kelompok dan anggota koperasi. Seperti yang diulas sebelumnya dimana distribusi surplus manfaat dari aplikasi atau komersialisasi teknologi transgenik bisa condong porsi terbesar dinikmati oleh industri dan sistem distribusi agro-input yang ada saat ini, maka mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan.
Sehingga jalur pemuliaan dan penangkaran
152
partisipatoris ini menjadi suatu saluran yang sebaiknya menjadi prioritas khususnya dalam hal ini peran Pemda dan juga universitas di daerah-daerah sangat penting. 4.5.4. Variabel Pendaftaran Varietas dan Hak Perlindungan Varietas (PVT) Guna Merangsang Litbang yang Berlanjut Faktor pendaftaran varietas adalah hal pokok yang disebut dalam dua UU utama yakni Sistem Budidaya Tanaman dan Perlindungan Varietas Tanaman (benih tetua maupun benih komersial). Tanpa pendaftaran pelepasan varietas suatu benih unggul hasil pemuliaan (termasuk hasil transgenik rekayasa genetika) tidaklah dapat diadopsi atau diperkenalkan kepada pengguna. Dengan semakin berkembangnya kegiatan litbang atau pengembangan produk perbenihan saat ini dan di masa mendatang, maka kepastian waktu antara kegiatan litbang dan pelepasan perlu dibuat sesingkat mungkin. Maksudnya agar para petani dapat dengan cepat mengadopsi varietas-varietas baru yang unggul dalam rangka peningkatan produktifitas.
Pertanyaan mendasar di sini adalah berapa tahun
dibutuhkan agar suatu hasil litbang yang unggul dapat dipasarkan? Bilamana suatu produk telah siap untuk dikomersilkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan (time to market) untuk dapat diadopsi pengguna?
Apakah sistem registrasi
varietas baru merangsang kontinuitas kegiatan litbang yang kreatif dan inovatif, sehingga bergerak suatu siklus pengembangan produk yang dinamis dan berkelanjutan?
Kebijakan Pemerintah untuk meregulasi pelepasan varietas
tanaman sangat menentukan minat penyedia teknologi untuk komersialisasi. Bagaimana juklak (petunjuk pelaksanaan) proses pendaftaran varietas dibuat dan dilaksanakan akan menentukan seberapa cepat hasil litbang dapat diterapkan. Proses pelepasan varietas perlu diperbaharui dalam
pengertian dibuat
sedemikian rupa sehingga sebaiknya pasar/penggunalah yang menentukan dan memilih
suatu
produk
baginya.
Prosedur
pendaftaran
produk
yang
disederhanakan memungkinkan produk dapat segera dilepas melalui pengusulan langsung ke Departemen Pertanian atau Badan Benih Nasional.
Aspek
kelembagaan ini perlu juga diperjelas, mengingat baru dibentuknya Pusat Perijinan dan Investasi di Departemen Pertanian. Kejelasan dan penyederhanaan prosedur merupakan insentif tersendiri bagi pelaku industri perbenihan.
153
Penyederhanaan akan dapat menghemat biaya pengembangan dan pendaftaran varietas baru, disamping juga menghemat waktu. Sebaiknya pemohon dapat mengajukan ijin pelepasan berbagai varietas baru berdasarkan basis data yang telah disusun oleh misalnya perusahaan penghasil benih. Sebab pada dasarnya pengujian calon varietas baru pada fase awal uji lapangan telah dilakukan oleh pemulia tanaman dan ahli agronomi (agronomist) yang bekerja di perusahaan swasta melalui bangun data (data generation) yang memenuhi kaidah-kaidah statistik dalam memilih sifat-sifat unggul.
Begitu dilepas dan ternyata varietas
baru tidak diterima oleh pengguna (misalnya karena sifat unggulnya tidak terbukti), maka hal ini menjadi konsekuensi risiko yang ditanggung sendiri penghasil benih. Merujuk pada pemasaran dan penjualan produk benih di negaranegara lain telah menunjukkan hal demikian. Produk yang sukses di pasar merupakan sukses awal untuk mendukung pembiayaan pengembangan produk lebih lanjut. Sementara produk yang tidak sukses di pasar – walaupun dianggap sudah merupakan hasil pengembangan yang sistematis dan terencana – menjadi umpan balik berharga dalam pengembangan selanjutnya. Faktor-faktor lain
yang terkait
dalam menunjang inovasi
yang
berkelanjutan di bidang bioteknologi pertanian ini adalah adanya dukungan positif Pemerintah bagi kegiatan Litbang sektor publik dan swasta, dan mendorong terjadinya kerja sama di antara keduanya melalui regulasi yang kondusif dan implementasi sistem perlindungan terhadap sumberdaya dan HKI bagi pihak baik sektor publik maupun swasta - yang berinvestasi dalam bidang bioteknologi pertanian.
4.6. Gabungan Kelayakan Adopsi Benih Jagung Transgenik dari Berbagai Aspek Pertanyaan sentral dalam penelitian ini adalah apakah benih transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial kelembagaan dengan demikian dapat terjawab. Dari semua analisis yang telah dilakukan, pada bagian ini dibuat gabungan kelayakan pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik yang diringkaskan dalam Tabel 46. Terlihat dengan jelas bahwa pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik layak untuk
154
peningkatan produksi jagung (kajian kelayakan ekonomis), serta layak secara lingkungan (kajian keberlanjutan).
Dari segi regulasi setidak-tidaknya layak
berdasarkan aturan/regulasi yang berlaku dan kajian evaluasi keamanan hayati yang pernah dilakukan. Sebagian besar petani berminat mengadopsi walaupun harus mengeluarkan tambahan biaya benih yang masih berada pada kisaran WTP rata-rata dan maksimum. Tabel 46. Gabungan kelayakan ekonomi (penerimaan dan keuntungan dalam Rp 000/ha), kelayakan lingkungan, dan aspek keamanan hayati dari adopsi benih jagung transgenik di Indonesia Keterangan 1. Produktifitas (kg/ha) 2. Ekonomi usahatani a. Penerimaan b. Biaya c. Keuntungan d. Rasio R/C
3. Biaya benih (Rp/ha) Tambahan (Rp/ha) Tambahan (Rp/kg) % dari Biaya total
Hibrida saat ini 6.288
Dengan Benih Bt 6.602 Layak
Dengan Benih RR 7.105 Layak
Dengan Benih RR+Bt 7.294 Layak
11.308 5.834 5.474 1,95
11.874 5.378 6.496 2,20 Layak
12.778 4.495 7.793 2,56 Layak
11.874 4.493 7.381 2,81 Layak
715.429 1.073.149 1.073.149 1.073.149 357.720 357.720 357.720 17.103 17.103 17.103 12,3% 19,95% 23,87% 23,89% Pengeluaran untuk benih meningkat sebesar Rp 17.103/kg
4. Minat untuk menanam (% responden)
87,0
93,5
86,0
Sebagian besar petani berminat 5. WTP (Rp/kg) tambahan a. Rata-rata b. Maksimum 6. Dampak makro produksi 7. Indeks keberlanjutan
8. Keputusan regulasi
2.206 4.290 5.231 20.000 30.000 26.000 Biaya ekstra benih (Rp/kg) berada pada kisaran WTP Ada potensi tambahan produksi 1 juta ton pada tahun ke-4 setelah adopsi 88,30
-
91,04 Layak
89,02 Layak
Rekomendasi KKH (1999) untuk jagung Bt dan RR dinyatakan aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati
91,50 Layak Untuk jagung Bt+RR belum ada pengujian dan pengkajian
155