16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Umum Wilayah DKI Jakarta Secara geografi
Jakarta terletak
pada posisi koordinat
5019’12” –
6023’54” LS dan 106022’42” – 106058’48” BT yang terbagi kedalam 5 wilayah kota dan 1 kabupaten Kepulauan Seribu yaitu kota Jakarta Pusat (8 Kecamatan), Jakarta Barat (8 Kecamatan), Jakarta Utara (6 Kecamatan), Jakarta Timur (10 Kecamatan) dan Jakarta Selatan (10 Kecamatan). Gambar 5 menunjukan Topografi keseluruhan Jakarta relatif datar tanpa ada pegunungan dengan 13 sungai mengalir dari daerah penopang Jakarta dan bermuara di laut Jawa yang bersinggungan langsung dengan pantai Jakarta utara. Luas wilayah Jakarta sekitar 661,52 km² dengan rata-rata ketinggian 8 m dpl (diatas permukaan laut). Kondisi karakteristik wilayah seperti ini memungkinkan adanya bencana-bencana yang berkaitan aliran air (bencana banjir) akibat dari curah hujan wilayah Jakarta sendiri dan kiriman dari luar daerah Jakarta.
Gambar 4. Peta Topografi DKI Jakarta
Dengan status kota Jakarta sebagai ibu kota Negara dan kota metropolitan yang bergelimang fasilitas serta lapangan kerja, menjadikan kota ini sebagai tujuan utama para pencari kerja dari luar daerah sehingga tingkat kepadatan kota
17
Jakarta sangat tinggi. Selain kepadatan penduduk, tingginya volume kendaraan juga menyebabkan kualitas udara Jakarta kurang baik. Hal ini sebagai dampak pencemaran dari gas buang kendaraan. Bila dilihat dari sisi klimatologis, suhu kota Jakarta secara teoritik merupakan suhu optimum untuk perkembangan nyamuk aedes aegypti ditambah penunjang genangan curah hujan sebagai tempat perkembangbiakannya, sehingga diyakini kalau Jakarta mempunyai kerentanan pada sektor kesehatan sebagai dampak dari perubahan iklim. RATA-RATA TAHUNAN KASUS DBD TINGKAT KECAMATAN PROPINSI DKI JAKARTA
2,000
Jml Kasus DBD (Org)
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400
Gambar 5. Rata-rata Tahunan Kasus DBD DKI Jakarta
Deskrptif Kasus DBD Hasil analisis deskriptif data kasus DBD tingkat kecamatan di Provinsi DKI Jakarta, tampak pada Gambar 5 bahwa rata-rata tahunan tertinggi terdapat pada kecamatan Duren Sawit (1.785 kasus) dan terendah di kecamatan Tanah Abang (251 kasus). Secara keseluruhan setiap kecamatan mempunyai tingkatan kasus DBD yang berbeda namum demikian bila ditinjau secara spatial setiap posisi atau jarak antara wilayah saling mempengaruhi. Hal ini ditunjukan juga pada Gambar 6 sebaran kasus DBD yang telah diklasifikasikan, dimana pola sebaran tampak dipengaruhi oleh kedekatan wilayah.
PASARREBO
PULOGADUNG
MAKASAR
MATRAMAN
KRAMATJATI
JATINEGARA
CIRACAS
DUREN SAWIT
CIPAYUNG
TEBET
CAKUNG
SETIA BUDI
PESANGGRAHAN
PANCORAN
PASARMINGGU
MAMPANGPRAPATAN
KEBAYORAN BARU
KEBAYORAN LAMA
CILANDAK
JAGAKARSA
TAMBORA
PALMERAH
TAMANSARI
KEMBANGAN
KALIDERES
KEBONJERUK
CENGKARENG
GROGOLPETAMBURAN
PENJARINGAN
TANJUNGPRIOK
KOJA
PADEMANGAN
CILINCING
KELAPA GADING
SENEN
TANAHABANG
MENTENG
SAWAH BESAR
KEMAYORAN
GAMBIR
JOHAR BARU
-
CEMPAKA PUTIH
200
18
Gambar 6. Peta Sebaran Kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta
Hampir sepanjang tahun di DKI Jakarta selalu terjadi kasus DBD. Hal ini tampak jelas pada Gambar 7 yang menggambarkan kasus DBD berdasarkan waktu dan menunjukan pola sinusoidal seperti halnya pola curah hujan. Puncak kasus DBD terjadi pada bulan April untuk kemudian menurun sedikit satu bulan berikutnya dan terus menurun hingga Oktober sebagai titik minimum, bulan November naik kembali hingga puncaknya bulan April membentuk siklus tahunan DBD.
19
RATA-RATA BULANAN KASUS DBD PROPINSI DKI JAKARTA
5000
Jml Kasus DBD (Org)
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 JAN
PEB
MRT
APR
MEI
JUN
JUL
AGT SEPT OKT NOV
DES
Gambar 7. Rata-Rata Bulanan Kasus DBD Propinsi DKI Jakarta
Kajian Iklim dan Sosial Kependudukan DKI Jakarta Curah Hujan Unsur iklim yang menjadi bahasan penelitian ini yaitu Curah Hujan dan Suhu, dimana dalam luasan wilayah provinsi DKI Jakarta (661,52 km², Sumber : Bapeda DKI Jakarta) dan terdiri dari 42 kecamatan hanya terdapat 5 Stasiun Meteorologi/Klimatologi/Geofisika serta 8 pos Hujan (Gambar 8). Kondisi ini tentu perlu kajian khusus untuk mendapatkan data seluruh wilayah DKI Jakarta mengingat unit penelitian
penyusunan model kerentanan DBD yaitu level
kecamatan. Curah hujan bulanan untuk wilayah Jakarta berkisar antara 50 mm sampai dengan 350 mm, puncak tertingginya terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus atau September. Bila dilihat pola tahunan curah hujan, maka bulanbulan pada awal tahun merupakan waktu dengan limpahan air yang banyak bahkan berlebih, sehingga apabila sudah terjadi kejenuhan tanah dalam menampung air akan terjadi genangan atau banjir. Bencana ini akan menimbulkan sanitasi lingkungan memburuk yang berdampak timbulnya bibit penyakit, selain itu banyaknya genangan air di berbagai lokasi akan menjadi tempat pertumbuhan nyamuk. Dari Gambar 9 tampak bahwa pola curah hujan menyerupai pola kasus
20
DBD dengan lag time 3 bulan lebih awal, informasi ini cukup penting sebagai awal dalam mendeteksi timbulnya kasus DBD.
Gambar 8. Peta Sebaran Stasiun BMKG dan Pos Hujan DKI Jakarta dan sekitarnya CURAH HUJAN RATA-RATA AREA BULANAN PROVINSI DKI JAKARTA 400
Curah Hujan (mm)
350 300 250 200 150 100 50 0 JAN
PEB
MRT
APR
MEI
JUN
JUL
AGT SEPT OKT
Gambar 9. Curah Hujan Rata-Rata DKI Jakarta
NOV
DES
21
Secara spasial curah hujan diwilayah DKI Jakarta pada saat terjadinya puncak kasus DBD berkisar antara 100 mm sampai dengan 300 mm, lebih spesifik lagi hampir 75% wilayahnya berada pada kisaran curah hujan 100-200 mm, sedangkan 25% berkisar pada 200-300 mm seperti tampak pada Gambar 10.
Gambar 10. Peta Curah Hujan Rata-rata pada saat puncak DBD
Pada kondisi sebagai besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang masih cukup hingga tinggi, kemungkinan besar aktifitas manusia sebagian besar berada didalam ruangan dan relatif tidak banyak bergerak, hal ini berpeluang sangat besar akan terkena gigitan nyamuk aedes aegypti
vektor penyabab
penyakit DBD yang sebagian besar sudah tumbuh menjadi nyamuk dewasa setelah mendapatkan banyak tempat berkembang pada genangan-genangan air bulan sebelumnya.
22
Selain gambaran diatas, rentannya manusia terkena penyakit adalah akibat dari internal daya tahan tubuh yang lemah. Hal ini bisa dipahami bahwa pengaruh eksternal pada saat kondisi cuaca sering turun hujan cukup dominan, tetapi aktifitas olah raga menurun, sedangkan di sisi lain kondisi tubuh dituntut untuk beradaptasi menyesuaikan ketahanannya. Bila kondisi ketahanan tubuh baik maka tingkat kerentanan seseorang akan terkena penyakit menjadi rendah, sebaliknya bila ketahanan tubuh pengaruh lemah maka resiko kerentanan seseoarang akan terkena penyakit menjadi tinggi. Sehingga dari uraian diatas jelas bahwa pengaruh tidak langsung faktor iklim mempunyai peranan penting dalam menentukan kerentanan sektor kesehatan
Temperatur/ Suhu Udara Suhu udara untuk wilayah Jakarta berkisar antara 200C - 340C, dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah terjadi pada bulan Januari. Bila dilihat secara spasial seperti pada Gambar 11, suhu untuk wilayah Jakarta bagian utara lebih panas dibanding bagian selatan, namun secara keseluruhan kisaran suhu di Jakarta sepanjang tahun memungkinkan untuk pertumbuhan nyamuk aedes aegypti. Dari gambaran suhu udara sepanjang tahun, terkait dengan puncak kasus DBD di DKI Jakarta rata-rata terjadi pada bulan April, maka dapat dijelaskan bahwa pada bulan puncak kasus DBD suhu yang terjadi berkisar antara 270C 290C. Menurut teori kisaran suhu seperti tersebut merupakan kondisi optimum bagi pertumbuhan nyamuk aedes aegypti yang bulan-bulan sebelumnya telah bertelur dalam genangan air pada tempat-tempat terbuka.
23
Gambar 11. Peta Temperatur Jakarta
Sosial Kependudukan Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia mempunyai kepadatan penduduk cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, kepadatan penduduk wilayah Jakarta untuk masing-masing wilayah kota tingkat.II ditampilkan pada Tabel 1. Dari kelima wilayah kota tingkat.II, jumlah penduduk terbesar berada di Kota Jakarta Timur 2.634.779 orang sedangkan terendah berada di Kota Jakarta Pusat 916.717, namum bila ditinjau dari tingkat kepadatannya kepadatan/Km2.
maka
Kota
Jakarta
Pusat
yang
terpadat
yaitu
19.447
24
Tabel.1 Jumlah Kepadatan Penduduk per Wilayah Kota Administrasi Bulan : Januari 2011 WNI
WNA
Wilayah
Total Laki-laki
Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur
Perempuan Laki-laki Perempuan
Luas
Kepadatan
(Km2)
/ Km2
47,14
19.447
500.254
416.127
190
146
916.717
777.269
645.408
269
240
1.423.186 139,03 10.237
869.301
765.950
334
302
1.635.887 125,25 13.061
1.060.829 831.106
407
268
1.892.610 145,73 12.987
1.430.380 1.204.163
127
109
2.634.779 189,90 13.875
Sebaran penduduk berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan Jakarta sangat variatif, dari 42 kecamatan yang berada di Jakarta Daratan, Kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat adalah Tambora dan terendah Sawah Besar. Selain 2 kecamatan tersebut masih terdapat 9 kecamatan yang tergolong padat dengan jumlah penduduk berkisar antara 234.000 – 334.567 orang (Gambar 12), kesembilan kecamatan tersebut adalah Tanjungpriok, Koja, Cakung, Durensawit, Makasar, Cipayung, Tebet, Jatinegara, dan Kramatjati. Bila ditinjau dari kepadatannya maka 10 Kecamatan tersebut mempunyai tingkat kerentanan kesehatan yang lebih dibanding kecamatan lainnya sebagai dampak dari perubahan iklim.
25
PETA KLASIFIKASI JUMLAH PENDUDUK DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 12. Peta Klasifikasi Jumlah Penduduk & Tingkat DBD di Jakarta PETA KLASIFIKASI SARANA KESEHATAN DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 13. Peta Klasifikasi Sarana Kesehatan & Tingkat DBD di Jakarta
26
PETA KLASIFIKASI SARANA PENDIDIKAN DAN RATA-RATA KASUS DBD/BULAN
Gambar 14. Peta Klasifikasi Sarana Pendidikan & Tingkat DBD di Jakarta
Analisis Asosiasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD Sebagai Dampak Perubahan Iklim Analisis asosiasi dalam hal ini korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara peubah penyusun kerentanan (iklim dan sosial kependudukan) dengan tingkat kasus DBD. Secara lengkap hasil analisis asosiasi masing-masing peubah (Iklim dan Sosial Kependudukan) terhadap DBD dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2. Korelasi Peubah Penyusun Kerentanan DBD dengan Tingkat DBD No
Peubah Kerentanan
Nilai korelasi dengan DBD
1
Jumlah Penduduk
0.49
2
Skor Jumlah Sarana Kesehatan
0.37
3
Skor Jumlah Sarana Pendidikan
0.41
4
Bobot Temperatur
0.17
5
Bobot Curah Hujan
0.10
27
Berdasarkan nilai korelasi antara peubah kerentanan dengan kasus DBD, tampak pada tabel 2 bahwa untuk peubah sosial kependudukan (jumlah penduduk, skor sarana kesehatan dan skor sarana pendidikan) mempunyai hubungan yang dekat dengan kasus DBD. Kedekatan ini dipahami karena peubah sosial kependudukan bersinggungan langsung dengan kasus DBD, berbeda dengan peubah iklim yang tidak secara langsung berdampak pada kasus DBD. Seperti dijelaskan sebelumnya pola iklim mempunyai lag waktu yang berbeda untuk berdampak pada kasus DBD, dari gambar 7 dan 9 terlihat pola iklim (curah hujan) mempunyai beda waktu antara 1-3 bulan.
Pemodelan Kerentanan DBD Model kerentanan yang dimaksud pada penelitian ini yaitu kerentanan berdasarkan kasus DBD yang disetarakan dengan peubah kerentanan pada fungsi kerentanan dari IPCC. Penyusunan model kerentanan DBD didasari oleh tujuan sebagai peringatan peningkatan kewaspadaan masayarakat dalam mengantisifasi kejadian yang akan terjadi. Hal ini menjadi kunci dalam penetapan peubah-peubah penyusun model kerentanan berkaitan dengan waktu kejadian tertinggi kasus DBD. Dari hasil analisis deskriptif kejadian tertinggi kasus DBD yaitu pada bulan April, sehingga peubah-peubah lainnya yang berkaitan dengan waktu disesuaikan/ dengan hal tersebut. Untuk pemodelan kerentanan, terdapat beberapa kandidat peubah bebas yang berpengaruh terhadap kerentanan DBD sebagai dampak perubahan iklim, peubah-peubah tersebut merupakan hasil adopsi dari fungsi kerentanan yaitu paparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi seperti yang telah diuraikan pada Bab III Data dan Metode. Dengan adanya beberapa kandidat peubah dalam penyusunan model, maka tentu dihasilkan beberapa model yang memungkinkan, sehingga perlu dilakukan pengujian dari beberapa model tersebut untuk kemudian dipilih model terbaik sesuai dengan kriteria ukuran kebaikan model. Pengujian yang dilakukan yaitu pengujian secara individu masing-masing koefisien dan konstanta pada setiap model serta uji secara keseluruhan dari model yang ada.
28
Adapun kategori indek kerentanan terdapat 5(lima) kelas, yaitu : - Sangat Rendah (1)
- Tinggi (4)
- Rendah (2)
- Sangat Tinggi (5)
- Menengah (3) Berikut adalah beberapa model yang disusun oleh peubah-peubah berbeda untuk kemudian dipilih model terbaik : Tabel 3. Koefisien Model dan uji individu terhadap koefisien-konstanta No
Nama Peubah
Koefisien
P-Value
Odds
Model
I
II
Konstanta(1)
0.09
0.535
Konstanta(2)
2.38
0.000
Konstanta(3)
4.10
0.000
Konstanta(4)
5.98
0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
-0.00001
0.000
1.00
X 2 = Jumlah Fasilitas kesehatan
-0.34
0.000
0.71
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
-1.75
0.000
0.17
Konstanta(1)
2.62
0.000
Konstanta(2)
5.01
0.000
Konstanta(3)
6.89
0.000
Konstanta(4)
8.97
0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
-0.00001
0.000
1.00
X 2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan
-0.05
0.001
0.95
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
-1.53
0.000
0.22
X 4 = Bobot Curah Hujan
-2.08
0.000
0.13
X 5 = Bobot Temperatur
-1.90
0.000
0.15
29
Pada tabel.3 tampak ada dua kandidat model, yaitu model yang pertama hanya melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan model yang kedua melibatkan peubah prediktor sosial kependudukan dan iklim. Dari kedua model ini akan dianalisis guna mendapatkan informasi sejauh mana pengaruh perubahan iklim dalam menentukan tingkat kerentanan kesehatan (DBD) di DKI Jakarta, hal ini secara umum bisa dilihat dari perubahan koefisien regresi logistik pada kedua model yaitu model yang melibatkan unsur iklim dan model yang tidak melibatkan unsur iklim.
Model I Untuk model indek kerentanan pertama (model I) yang disusun hanya oleh peubah sosial kependudukan akan diperoleh informasi masing-masing peubah prediktor terhadap respon tingkat DBD, peubah sosial kependudukan yang menyusun model I diantaranya yaitu: - X 1 (Jumlah Penduduk) - X 2 (Jumlah Fasilitas Kesehatan) - X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan) Berdasarkan koefisien regresi logistik pada model I ini tampak pengaruh masingmasing peubah prediktor terhadap peubah respon (tingkat DBD), untuk X 1 yaitu peubah jumlah penduduk nilai β = -0.00001, X 2 (Jumlah Fasilitas Kesehatan) nilai β = -0.3443, X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.7537. Semua nilai koefisien berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah dalam model berpengaruh nyata terhadap tingkat DBD. Di tinjau dari nilai odds dapat dijelaskan bahwa untuk jumlah penduduk dengan nilai odds 1 menandakan bahwa dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase peubah jumlah penduduk akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 1 kali dari peluang yang ada sebelumnya. Untuk peubah jumlah fasilitas kesehatan nilai oddsnya 0.71, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase peubah jumlah fasilitas kesehatan akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.71 kali dari peluang yang ada
30
sebelumnya. Begitupun juga untuk peubah skor fasilitas pendidikan yang mempunyai nilai odds 0.17, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase skor fasilitas pendidikan akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.17 kali dari peluang yang ada sebelumnya. Dari uraian diatas jelas bahwa faktor fasilitas kesehatan sangat berperan penting terhadap tingkat kerentanan DBD, bila di analisis lebih lanjut dengan adanya fasilitas kesehatan yang cukup, secara tidak langsung tingkat pembelajaran dan pemahaman masyarakat sekitar terhadap kerentanan DBD menjadi lebih kuat. Tabel. 4 Uji Individu Parameter Model I No
Nama Peubah
Z2
Konstanta(1)
0.3844 0.535
Konstanta(2)
315.7729 0.000
Konstanta(3)
739.84 0.000
Konstanta(4)
1211.04 0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
94.4784 0.000
P-Value
Model
I
X 2 = Jumlah Fasilitas kesehatan
153.76 0.000
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
29.3764 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah H0
:
β=0
H1
:
β≠0
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X2 df=1 adalah X 02.05, 1= 3.84 , dari hasil hitung nilai Z2 yang bersesuain dengan xα2 ,1 , maka hanya ada satu yang menerima H0 yaitu α 1 (0.384 < 3.84) yang berarti bahwa konstanta tersebut tidak berbeda secara nyata dengan nilai 0(nol) atau dengan kata lain tidak berpengaruh. Untuk nilai uji parameter lainnya semua menolak H0 yang berarti bahwa semua parameter tersebut berpengaruh secara nyata terhadap pendugaan tingkat kerentanan DBD.Pengujian parameter ini juga dimaksudkan untuk menyeleksi model terbaik diantara dua model yang ada pada tabel 3.
31
Model II Peubah prediktor pada model indek kerentanan yang kedua ini (model II) adalah peubah sosial kependudukan dan unsur iklim saat ini. Prediktor untuk model II antara lain : - X 1 (Jumlah Penduduk) - X 2 (Skor FasilitasKesehatan) - X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan) - X 4 (Bobot Curah Hujan) - X 5 (Bobot Temperatur) Berbeda dengan model yang pertama, pada model yang kedua ini sudah ditambahkan unsur iklim yang pada saat ini telah mngalami perubahan, seperti halnya pada model I akan dilakukan analisis pengaruh masing-masing peubah prediktor terhadap respon tingkat DBD. Untuk X 1 yaitu peubah jumlah penduduk nilai β = -0.00001, X 2 (Skor Fasilitas Kesehatan) nilai β = -0.0469, X 3 (Skor Fasilitas Pendidikan) nilai β = -1.5275, X 4 (Bobot Curah Hujan) nilai β = 2.0792, X 5 (Bobot Temperatur) nilai β = -1.8993. Semua koefisien dari model II berbeda nyata dengan nol, artinya semua peubah berpengaruh terhadap kerentanan DBD. Semakin besar nilai koefisien menandakan semakin besar pengaruh suatu peubah terhadap responnya. Tanda negatif pada koefisien berarti bahwa setiap kenaikan nilai pada peubah akan mengurangi peluang kerentanannya. Bila dilihat dari masing-masing odds dapat dijelaskan bahwa untuk peubah bobot curah hujan rasio oddsnya 0.13, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase bobot curah hujan akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.13 kali dari peluang yang ada. Demikian juga untuk peubah bobot temperatur, dengan nilai odds 0.15, artinya dengan asumsi peubah lain tidak berubah, maka peningkatan prosentase bobot temperatur akan menurunkan peluang kerentanan suatu kecamatan sebesar 0.15 kali dari peluang yang ada. Interpretasi ini berlaku untuk kisaran temperatur dimana nyamuk aedes aegypti mampu bertahan hidup (<. 32 OC). Bila dilihat perubahan koefisien model I pada model II, masuknya peubah iklim secara signifikan bisa mempengaruhi besarnya pengaruh peubah sosial pendidikan terhadap tingkat kerentanan DBD. Dengan masuknya peubah iklim
32
pada model, tingkat kapasitas dalam beradaptasi yang diwakili oleh peubah sosial pendidikan harus lebih ditingkatkan, fasilitas kesehatan harus lebih siap, hal ini guna mengurangi tingkat kerentanan DBD yang ada pada saat ini.
Tabel. 5 Uji Individu Parameter Model II No
Nama Peubah
Z2
P-Value
Model
II
Konstanta(1)
526.7025 0.000
Konstanta(2)
826.5625 0.000
Konstanta(3)
1155.32 0.000
Konstanta(4)
149.8176 0.000
X 1 = Jumlah Penduduk
11.2225 0.000
X 2 = Jumlah Fasilitas Kesehatan
18.5761 0.001
X 3 = Bobot Fasilitas Pendidikan
116.8561 0.000
X 4 = Bobot Curah Hujan
116.4241 0.000
X 5 = Bobot Temperatur
526.7025 0.000
Hipotesis untuk pengujian parameter secara individu adalah H0
:
β=0
H1
:
β≠0
Kriteria Uji dengan menggunakan pendekatan X2 df=1 adalah hasil hitung nilai Z2 yang bersesuaian dengan
xα2 ,1
X 02.05, 1= 3.84
, dari
, maka semua hasil uji parameter
secara individu berada pada kriteria untuk menolak H 0 (Z hitung > 3.84) yang berarti bahwa semua parameter tersebut berpengaruh terhadap tingkat kerentanan DBD.
Uji Kesesuaian Model Pengujian keseluruhan kebaikan model dilakukan dengan menggunakan uji Khi-kuadrat pearson, dan untuk pemilihan model terbaik dilihat dari nilai-nilai ukuran kebaikan model dalam melakukan pendugaan terhadap tingkat kerentanan DBD diantaranya yaitu nilai AIC (Akaike Information Criteria), BIC (Bayesian Information Criteria), konkordan, diskordan dan Ties.
33
Tabel.6 Uji kesesuaian dan Pemilihan Model Terbaik Uji Kesuaian Model Model
Khi Kuadrat
Df
Pemilihan Model Terbaik
Nilai P
Konkordan
Diskordan
Ties
Pearson Model I
9648.64
161
0.000
76.6
23.2
0.2
Model II
16615.7
159
0.000
79.5
20.3
0.2
Hipotesis Uji Kesesuian Model H0
:
β1 = β 2 = ... = β k = 0
(Model
tidak
mempunyai
kecocokan/
berpengaruh dalam melakukan pendugaan respon tingkat kerentanan DBD) H1 :
Min ada satu β ≠ 0 (Model mempunyai kecocokan/ berpengaruh dalam melakukan pendugaan respon tingkat kerentanan DBD)
Hasil uji keseuaian model pada α=95%, baik model I maupun model II berdasarkan nilai P (P-Value) maka Ho ditolak, yang berarti bahwa model I dan model II mempunyai kecocokan/ berpengaruh dalam melakukan pendugaan respon tingkat kerentanan DBD. Untuk pemilihan model terbaik, berdasarkan nilai konkordan yaitu nilai yang menjadi ukuran prosentase sejauh mana model benar dalam menduga tingkat kerentanan DBD, nilai konkordan untuk model II sebesar 80% lebih baik daripada model I(77%), selain itu berdasarkan uji individu pada model I ada satu konstanta regresi yang tidak signifikan, maka dengan bukti-bukti tersebut Model II lebih baik dari model I. Bentuk model persamaan Model II yaitu :
π 1 ( X ) = P(Y ≤ 1 X ) =
exp(2.6230 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 ) 1+ exp(2.6230 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
34
π 2 ( X ) = P(Y ≤ 2 X ) − π 1 ( X ) =
exp(5.0138 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 ) − π1 ( X ) 1+ exp(5.0138 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 3 ( X ) = P(Y ≤ 3 X ) − π 2 ( X ) =
exp(6.8887 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 ) −π 2 ( X ) 1 + exp(6.8887 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 4 ( X ) = P(Y ≤ 4 X ) − π 3 ( X ) =
exp(8.9742 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 ) −π 3 ( X ) 1 + exp(8.9742 − 0.00001X 1− 0.0469 X 2 −1.5275 X 3 − 2.0792 X 4 −1.8992 X 5 )
π 5 ( X ) =1 − π 4 ( X ) Persamaan regresi logistik ini digunakan untuk mengehitung kerentanan DBD setiap kategori pada masing-masing kecamatan. Penentuan suatu wilayah masuk ke dalam tingkat kategori kerentanan tertentu, berdasarkan nilai peluang terbesar dari lima peluang yang ada. Evaluasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan analisis tabel tabulasi silang sebagai berikut :
Tebel 7. Tabulasi Silang untuk Evaluasi Model Klasifikasi nilai sebenarnya 1 2 3 4 5
1 0 0 0 0 0
Klasifikasi hasil perhitungan Model 2 3 4 1 3 0 6 3 4 3 8 2 0 1 6 0 0 3
5 0 1 0 1 0
Hasil evaluasi model yang tampak pada tabel 1, menunjukan bahwa dari 42 nilai dugaan, sebanyak 20 nilai sesuai. Dari hasil ini jelas bahwa kemampuan model untuk menduga cukup baik dengan prosentase 48%.
35
Peta Potensi Kerentanan DBD Setelah model terbaik logistik kerentanan kesehatan (DBD) sebagai dampak dari perubahan iklim terbentuk, maka persamaan logistik kerentanan tersebut digunakan menghitung dan menghasilkan nilai kerentanan dari seluruh lokasi untuk kemudian ditampilkan dalam Peta Potensi Kerentanan seperti tampak pada Gambar 15. Bila dibandingkan dengan peta tingkat klasifikasi DBD, maka 48% nilainya sesuai.
Gambar 15. Peta Potensi Kerentanan DBD DKI Jakarta
Tabel.8 TINGKAT KERENTANAN DBD SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI DKI JAKARTA Unit Wilayah Kerentanan
Kecamatan
Sangat Rendah -
Rendah Cempaka Putih Ciracas Gambir Grogolpetamburan Jagakarsa Johar Baru Kelapa Gading Kosambi Makasar Pademangan Palmerah Pancoran Pasarrebo Pondokgede Sawah Besar Senen Tanahabang
Tingkat Kerentanan Menengah Cengkareng Cilandak Cipayung Ciracas Gambir Jagakarsa Kalideres Kebayoran Lama Kebonjeruk Kelapa Gading Kemayoran Kembangan Kramatjati Makasar Mampangprapatan Palmerah Pancoran Pasarminggu Pasarrebo Penjaringan Pesanggrahan Senen Tanahabang Tanjungpriok Tebet
Tinggi Cakung Cengkareng Cilincing Cipayung Duren Sawit Jatinegara Kalideres Kebayoran Baru Kebayoran Lama Kebonjeruk Kemayoran Koja Kramatjati Makasar Pasarminggu Pesanggrahan Pulogadung Setia Budi Tamansari Tanjungpriok Tebet
Sangat Tinggi Jatinegara Kramatjati Tambora