HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Informasi umum mengenai kondisi awal benih sebelum digunakan dalam penelitian ini penting diketahui agar tidak terjadi kekeliruan dalam penarikan kesimpulan (misleading interpretation). Umur panen yang relatif sama atau berdekatan menjadi salah satu faktor penting mengingat penelitian ini terkait dengan vigor genetik benih. Viabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah mengindikasikan bahwa benih yang digunakan masih berkualitas baik. Keseluruhan benih yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata daya berkecambah awal sebesar 92.83% dengan kisaran 83 – 98% dan kadar air awal berkisar antara 11.9 – 12.9%. Kondisi ini sesuai dengan persyaratan dan tata cara sertifikasi benih bina tanaman pangan yang mensyaratkan daya berkecambah minimal benih padi sebesar 80% dan kadar air maksimal 13% (Departemen Pertanian 2009). Informasi lengkap mengenai kondisi awal benih dapat dilihat pada Lampiran 7. Pengujian benih pada kondisi suboptimum terutama dalam kondisi cekaman kekeringan yang dilakukan dengan menggunakan senyawa Polyethylene glycol (PEG) BM 6000 pada beberapa tingkat tekanan osmotik yaitu 0 bar, -2 bar, -4 bar dan -6 bar memberikan hasil yang nyata. Peningkatan tekanan osmotik berdampak pada ketersediaan air bagi perkecambahan sehingga mempengaruhi metabolisme benih atau dengan kata lain semakin tinggi tekanan osmotik yang diberikan pada media perkecambahan maka kemampuan benih berkecambah semakin menurun. Namun, pada pengujian dengan senyawa ini, seringkali masih ditemukan adanya pertumbuhan cendawan pada media setelah beberapa hari penanaman, walaupun dalam persentase yang rendah. Penderaan yang diberikan pada pengusangan cepat terkontrol memberikan hasil yang sangat beragam, hal ini dipengaruhi oleh tingkat kadar air benih pada perlakuan dan lamanya penderaan. Semakin tingginya kadar air dan semakin lamanya penderaan yang dialami oleh benih, maka penurunan viabilitas dan vigor benih akan semakin cepat. Kondisi kadar air benih selama pengusangan cepat terkontrol dapat dikendalikan sesuai rencana seperti tercantum pada Lampiran 8.
20
Pengaruh Varietas dan Tekanan Osmotik PEG 6000 terhadap Vigor Kekeringan Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap variabel daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KCT), indeks vigor (IV) dan panjang akar (PA) memberikan respon yang beragam (Tabel 1). Faktor percobaan varietas terlihat sangat berpengaruh nyata terhadap variabel daya berkecambah dan kecepatan tumbuh, sedangkan pada variabel indeks vigor dan panjang akar memberikan pengaruh yang nyata. Faktor percobaan tekanan osmotik PEG 6000 menunjukkan pengaruh yang sangat nyata pada semua variabel yang diamati dan interaksi antara varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap variabel daya berkecambah dan hanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel kecepatan tumbuh dan indeks vigor, sedangkan terhadap variabel panjang akar tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil analisis ragam pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap keempat variabel yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 9 – 12.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 serta interaksi antara keduanya terhadap variabel yang diamati Variabel DB (%) KCT (%/etmal) IV (%) PA (cm)
Varietas (V) Pr > F <0.0001** <0.0001** 0.0007* 0.0014*
Tekanan osmotik PEG 6000 (T) Pr > F <0.0001** <0.0001** <0.0001** <0.0001**
Interaksi (V x T) Pr > F <0.0001** 0.0002* 0.0011* 0.6643tn
KK (%) 11.26 10.99 21.18 10.91
Keterangan: **)= berpengaruh sangat nyata p ≤ 0.01; *)= berpengaruh nyata p ≤ 0.05; tn= tidak nyata; DB= daya berkecambah; KCT= kecepatan tumbuh; IV= indeks vigor; PA= panjang akar
Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat interaksi antara varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap variabel daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KCT) dan indeks vigor (IV), sedangkan pada variabel panjang akar (PA) tidak terdapat interaksi antara varietas dan tekanan osmotik PEG 6000, tetapi masing-masing faktor memberikan pengaruh nyata secara tunggal (Tabel 2-3). Pada tekanan osmotik PEG 6000 0 bar (kontrol) untuk semua variabel pengamatan (DB, KCT, IV dan PA) tidak menunjukkan banyak variasi antar varietas dan nilai masingmasing variabel masih tinggi.
21
Tabel 2. Pengaruh interaksi varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap beberapa variabel vigor kekeringan Tekanan osmotik PEG 6000 (bar) 0 -2 -4 -6 -------------------- Daya Berkecambah (%) -------------------Inpago 4 90.0 (9.5) a 77.3 (8.8) ab 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f a ab c Inpago 5 91.3 (9.6) 80.7 (9.0) 41.3 (6.2) 2.0 (1.5) ef Inpago 6 89.3 (9.5) a 77.3 (8.8) ab 6.0 (2.5) e 0.0 (0.7) f Batutegi 92.7 (9.6) a 95.3 (9.8) a 2.7 (1.6) ef 0.0 (0.7) f ab b f Towuti 78.7 (8.9) 66.7 (8.2) 1.3 (1.2) 0.0 (0.7) f IR20 94.7 (9.7) a 91.3 (9.6) a 13.3 (3.7) d 0.7 (1.0) f -------------------- Kecepatan Tumbuh (%/etmal) -------------------Inpago 4 17.0 (4.2) ab 12.1 (3.5) de 0.0 (0.7) h 0.0 (0.7) h Inpago 5 17.4 (4.2) ab 14.0 (3.8) bcd 6.3 (2.5) f 0.3 (0.9) h Inpago 6 17.9 (4.3) ab 12.6 (3.6) cde 0.9 (1.2) gh 0.0 (0.7) h a ab gh Batutegi 19.3 (4.4) 16.6 (4.1) 1.6 (1.4) 0.0 (0.7) h Towuti 15.1 (3.9) a-d 10.5 (3.3) e 0.2 (0.8) h 0.0 (0.7) h IR20 19.2 (4.4) a 16.0 (4.0) abc 1.9 (1.6) gh 0.1 (0.8) h -------------------- Indeks Vigor (%) -------------------Inpago 4 53.3 (7.3) b 6.0 (2.5) de 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f b c f Inpago 5 60.0 (7.7) 28.0 (5.2) 0.7 (1.0) 0.0 (0.7) f Inpago 6 56.7 (7.5) b 7.3 (2.7) de 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f Batutegi 81.3 (9.0) a 12.0 (3.5) d 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f b e f Towuti 50.0 (7.1) 6.0 (2.2) 0.0 (0.7) 0.0 (0.7) f IR20 63.3 (8.0) ab 27.3 (5.1) c 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f Varietas
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% angka dalam kurung merupakan hasil transformasi (x + 0.5)1/2
Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan penurunan persentase daya berkecambah yang berbeda-beda pada masing-masing varietas (Tabel 2). Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 hingga -2 bar mengakibatkan persentase daya berkecambah masing-masing varietas mulai menunjukkan adanya penurunan walaupun belum nyata secara statistik, namun telah terdapat beda nyata antar varietas, sehingga telah dapat dibedakan antara varietas yang toleran dan tidak toleran terhadap kekeringan. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan varietas dalam penelitian ini telah sesuai untuk pengujian identifikasi benih yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG karena adanya varietas yang relatif toleran dan tidak toleran terhadap kekeringan. Pada kondisi ini varietas Batutegi memiliki persentase daya berkecambah tertinggi yaitu 95.3% dan terendah dimiliki oleh varietas Towuti yaitu 66.7%.
22
Tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar tidak menurunkan daya berkecambah secara nyata pada masing-masing varietas. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari & Mariska (2006) pada penapisan dini terhadap somaklon asal varietas Gajah Mungkur, Towuti dan IR64 dimana pada pemberian PEG 6000 berkonsentrasi 10% (setara dengan -2 bar) belum mampu menurunkan daya kecambah benih. Penurunan daya berkecambah, panjang tunas dan panjang akar akibat pemberian PEG 6000 baru dapat dilihat pada konsentrasi 20% atau setara dengan -4 bar. Konsentrasi tersebut oleh Lestari & Mariska (2006) dianggap paling efektif sebab dapat memisahkan antara kecambah yang tahan dengan yang agak tahan terhadap kekeringan pada pengujian di laboratorium. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian PEG 6000 -2 bar belum memberikan cekaman yang cukup berarti bagi benih yang digunakan. Hal ini terlihat dari daya berkecambah benih dari masing-masing varietas yang penurunannya tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan hampir semua varietas yang diuji masih memiliki viabilitas potensial yang baik. Persentase daya berkecambah beberapa varietas seperti Inpago 5, IR20 dan Batutegi pada pemberian -2 bar PEG 6000 masih di atas 80%, dengan nilai masingmasing 80.7%, 91.3% dan 95.3%. Hasil ini memperlihatkan bahwa ketiga varietas tersebut memiliki tingkat toleransi terhadap kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan ketiga varietas lainnya yaitu Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti meskipun berdasarkan analisis statistik tidak memberikan perbedaan yang nyata. Hasil tersebut sejalan dengan klasifikasi yang telah dilakukan oleh Satria (2009) dimana varietas Batutegi tergolong genotipe yang moderat (sedang) dan IR20 tergolong dalam genotipe yang toleran terhadap kekeringan berdasarkan persentase tanaman mati di rumah kaca. Namun klasifikasi tersebut untuk varietas IR20 berbeda dengan standardisasi yang ditetapkan oleh IRRI dalam Lubis et al. (2007) bahwa varietas IR20 merupakan varietas rentan kekeringan. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh penggunaan metode pengujian yang berbeda antara IRRI dengan yang dilakukan dalam penelitian ini. Varietas Inpago 5 berdasarkan deskripsinya tergolong sebagai varietas yang toleran kekeringan, sedangkan varietas Batutegi bereaksi moderat terhadap
23
kekeringan. Varietas Inpago 4 dan Inpago 6 masing-masing merupakan varietas yang toleran dan agak toleran terhadap cekaman abiotik keracunan Aluminium (60 ppm). Anjuran penanaman varietas Towuti berdasarkan deskripsinya hanya cocok ditanam di lahan sawah maupun lahan kering pada musim hujan (BB Padi 2010). Menurut Molphe-Balch et al. (1996), adanya perbedaan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan akibat perbedaan dalam mekanisme fisiologi, morfologi, fenologi, biokimia dan adaptasi molekuler pada varietas yang diuji. Selain itu adanya perbedaan ukuran gabah, ketebalan kulit biji dan vigor benih akan menentukan pula kemampuan benih berkecambah. Pemberian PEG 6000 bertekanan osmotik -4 bar telah mengakibatkan semua varietas mengalami penurunan daya berkecambah secara nyata terhadap perlakuan kontrol, walaupun persentase penurunannya tidak sama antar varietas. Terlihat bahwa beberapa varietas mengalami penurunan daya berkecambah hingga 90% dibandingkan dengan kontrol bahkan varietas Inpago 4 mengalami kematian total, namun pada varietas Inpago 5 hanya mengalami penurunan 50% dimana benihnya masih mampu berkecambah sebesar 41.3%. Hal ini menunjukkan bahwa benih telah mengalami cekaman yang cukup berat. Demikian pula halnya pada pemberian PEG 6000 bertekanan osmotik -6 bar yang menyebabkan hampir semua benih tidak dapat tumbuh (mati) sehingga tidak dapat dibedakan antara varietas yang toleran dan tidak toleran. Karakter fisiologi yang dapat digunakan sebagai penanda bahwa benih tersebut toleran terhadap kekeringan antara lain kemampuan benih berkecambah pada larutan yang mempunyai tekanan osmotik tinggi. Benih yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tersebut akan dapat tumbuh baik pula pada cekaman kekeringan di lapangan. Pada penelitian ini terlihat bahwa peningkatan tekanan osmotik PEG pada media mengakibatkan penurunan daya berkecambah yang kemungkinan terjadi akibat terhambatnya proses pembelahan sel dan pemanjangan sel pada metabolisme benih. Hal yang sama dinyatakan oleh Widoretno et al. (2002) bahwa penurunan daya berkecambah benih kedelai yang terjadi akibat meningkatnya tekanan osmotik PEG pada media perkecambahan, diduga terjadi akibat terhambatnya proses pembelahan sel, pemanjangan sel atau keduanya yang disebabkan oleh cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG. Proses perkecambahan sangat membutuhkan air, oleh karena itu peran air sangat penting.
24
Proses penyerapan air pada perkecambahan dibagi menjadi tiga fase yaitu imbibisi, aktivasi dan pertumbuhan. Pada fase imbibisi kandungan air benih mencapai 30%. Pada fase aktivasi tidak terjadi penambahan kandungan air. Pada fase tersebut terjadi proses yang dinamik dan merupakan proses berlangsungnya metabolisme karbohidrat. Perkecambahan benih padi akan terjadi apabila kandungan air mencapai 32.5% (Lestari & Mariska 2006). Apabila benih mengalami kekurangan air maka metabolisme yang semula aktif menjadi terhenti (Takahashi
1995).
Cekaman
kekeringan
pada
saat
benih
berkecambah
mengakibatkan metabolisme benih terganggu akibat air yang diperlukan tidak cukup, sehingga hanya benih yang toleran kekeringan saja yang mampu berkecambah. Pada penelitian ini kemampuan tersebut dimiliki oleh varietas Inpago 5 dan IR20. Pengamatan terhadap kecepatan tumbuh hingga 7 (tujuh) hari setelah perkecambahan, menunjukkan bahwa peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan penurunan kecepatan tumbuh yang berbeda-beda pada masing-masing varietas (Tabel 2). Pada tekanan osmotik -2 bar hampir semua varietas telah memberikan tanggapan yang nyata terhadap simulasi cekaman kekeringan yang diberikan dan masing-masing varietas dapat dibedakan antara yang toleran dan tidak toleran. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua varietas telah mengalami cekaman dengan pemberian tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar. Respon penurunan KCT yang berbeda antar varietas memperlihatkan adanya perbedaan toleransi terhadap cekaman yang diberikan. Varietas Batutegi dan IR20 memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpago 4 dan Inpago 6, sedangkan Inpago 5 ada diantara keduanya. Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 -4 bar telah memberikan kondisi cekaman yang berat pada masing-masing varietas. Hal ini terlihat dari penurunan kecepatan tumbuh yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol, dan pada kondisi ini telah sulit membedakan antara varietas dengan VKTkekeringan yang tinggi dan yang rendah karena semua benih telah sangat tercekam. Demikian pula yang terjadi pada tekanan osmotik -6 bar, dimana cekaman yang terjadi pada level tersebut telah mengakibatkan kematian benih.
25
Menurut Sadjad (1993), variabel kecepatan tumbuh mengindikasikan VKT karena benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapangan yang suboptimum seperti cekaman kekeringan. Semakin tinggi nilai KCT semakin tinggi pula vigor benih tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa varietas Inpago 5, IR20 dan Batutegi memiliki VKT yang tinggi. Strategi benih toleran dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan melalui mekanisme bertahan (mekanisme toleransi) terhadap kekeringan dengan potensi air jaringan yang rendah dengan osmotic adjustment yang memproduksi dan mengakumulasi asam amino bebas seperti prolin pada jaringan tanaman selama cekaman kekeringan yang bertujuan untuk mempertahankan turgornya melalui penyesuaian potensial osmotik atau dengan meningkatkan elastisitas jaringan selama kondisi kekeringan (Turner 1979). Mempertahankan turgor dengan menurunkan potensial air sangat penting untuk ekspansi sel, pertumbuhan dan proses biokimia, fisiologi dan morfologi, dimana semua proses tersebut terjadi pada saat fase imbibisi dan aktivasi metabolisme berlangsung (Jones et al. 1981). Menurut Bates et al.(1973) kandungan prolin pada tanaman meningkat secara proporsional lebih cepat dibandingkan dengan asam amino lain pada kondisi cekaman kekeringan. Hubungan antara akumulasi prolin bebas dan cekaman kekeringan ini telah banyak diteliti oleh para peneliti. Handayani (1992) melakukan penelitian pada benih jagung dan kedelai melaporkan bahwa peningkatan tekanan osmotik sampai -2.5 bar pada jagung memberikan respon akumulasi prolin bebas yang nyata antara kecambah dari lot benih bervigor tinggi dan rendah. Sari (1994) yang melakukan penelitian pada jagung varietas Arjuna juga melaporkan bahwa menurunnya tingkat vigor benih dan terjadinya kondisi cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan kandungan prolin bebas dalam kecambah. Pengaruh interaksi antara faktor varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 pada variabel indeks vigor juga dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil yang relatif sama dengan variabel KCT terjadi pada variabel indeks vigor dimana peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan penurunan indeks vigor yang berbeda-beda pada masing-masing varietas. Pemberian tekanan osmotik -2 bar menyebabkan penurunan indeks vigor secara nyata pada masing-masing varietas dan pada kondisi ini terlihat jelas
26
perbedaan vigor antar varietas. Varietas Inpago 5 dan IR20 memiliki VKTkekeringan yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dengan nilai indeks vigor masingmasing 28% dan 27.3%, sedangkan varietas Inpago 4 dan Towuti memiliki VKTkekeringan terendah dengan nilai indeks vigor 6%. Cekaman yang sangat berat akibat dari pemberian PEG 6000 bertekanan osmotik -4 bar menyebabkan hampir seluruh benih tidak mampu berkecambah dan tidak dapat dibedakan lagi tingkat toleransi masing-masing varietas. Hal serupa dialami pada tekanan osmotik -6 bar yang mengakibatkan semua benih tidak dapat berkecambah. Indeks vigor dan KCT yang tinggi menunjukkan benih berkecambah lebih cepat, sehingga digolongkan dalam vigor. Menurut Sadjad (1994), benih yang cepat tumbuh menunjukkan benih tersebut mampu mengatasi berbagai macam kondisi suboptimum. Nilai indeks vigor selalu lebih rendah dibandingkan nilai daya berkecambah tetapi lebih mendekati pertumbuhan benih di lapangan. Miguel & Filho (2002) menunjukkan bahwa pada benih jagung perhitungan pertama pada pengujian perkecambahan dapat menunjukkan performansi pertumbuhan benih di lapangan (seedling emergence). Hasil analisis statistik terhadap variabel panjang akar menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara varietas dengan tekanan osmotik yang diberikan, sehingga tidak mempengaruhi pemilihan tekanan osmotik yang ada. Masing-masing faktor memberikan pengaruh yang nyata secara tunggal. Terlihat bahwa semakin tinggi tekanan osmotik yang diberikan, semakin terhambat pertumbuhan akarnya (Tabel 3). Menurut Suardi (2002) perakaran padi berhubungan erat dengan sifat toleransi tanaman terhadap kekeringan. Mekanisme sifat perakaran dalam hubungannya dengan ketahanan terhadap kekeringan antara lain: 1) perakaran yang dalam dan padat berpengaruh terhadap penyerapan air dengan besarnya tempat penampungan air tanah, 2) besarnya daya tembus (penetrasi) akar pada lapisan tanah keras meningkatkan penyerapan air tanah dalam, dan 3) penyesuaian tegangan osmosis akar meningkatkan ketersediaan air tanah bagi tanaman dalam kondisi kekurangan air.
27
Tabel 3. Pengaruh faktor tunggal varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap panjang akar Varietas
Inpago 4 Inpago 5 Inpago 6 Batutegi Towuti IR20 Rata-rata
Tekanan osmotik PEG 6000 (bar) Rata-rata 0 -2 -4 -6 -------------------- Panjang Akar (cm) -------------------12.77 12.07 9.40 7.03 10.32 bc 13.74 12.50 11.36 10.89 12.12 a 12.73 11.40 10.75 8.30 10.80 bc 13.35 12.70 9.95 8.56 11.14 ab 12.32 10.98 9.72 6.96 10.00 c 12.67 12.44 10.94 8.80 11.21 ab 12.93 a 12.02 b 10.35 c 8.42 d
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Dubrovsky & Gomez-lomeli (2003) menyatakan bahwa salah satu strategi tanaman toleran dalam menghadapi cekaman kekeringan dimulai pada fase perkecambahan sampai pertumbuhan vegetatif dengan membentuk formasi akar yang dalam dan percabangan akar yang banyak. Kecambah yang memiliki akar yang lebih panjang akan mempunyai vigor yang lebih tinggi pada kondisi cekaman kekeringan. Fauzi (1997) menyatakan bahwa kecambah padi yang toleran kekeringan akan memiliki akar yang panjang dan memiliki berat kering akar lebih besar daripada kecambah yang tidak toleran. Pada penelitian ini, panjang akar benih antar satu varietas dengan varietas yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik. Varietas yang memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kekeringan memiliki ratarata panjang akar lebih tinggi dibandingkan varietas yang relatif tidak toleran. Rata-rata panjang akar tertinggi dimiliki oleh varietas Inpago 5 dengan nilai rata-rata panjang akar 12.12 cm, dan rata-rata panjang akar terendah dimiliki oleh varietas Towuti yaitu 10 cm. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap variabel DB, KCT, IV dan PA karena pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 yang diberikan, diperoleh hasil bahwa PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk mengidentifikasi toleransi benih padi terhadap cekaman kekeringan. Hasil yang sama dinyatakan oleh Junaidi (1998) yang melakukan penelitian mengenai indikasi ketahanan padi gogo terhadap kekeringan berdasarkan viabilitas benih pada fase kecambah, dimana dengan menggunakan PEG 6000 bertekanan osmotik -2.139 bar telah dapat mengindikasikan benih yang toleran dan yang peka. Hasil penelitian lain
28
yang dilakukan oleh Effendi et al. (2009) menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks sensitivitas cekaman kekeringan (ISK) yang dihitung berdasarkan peubah bobot kering akar kecambah diketahui bahwa perlakuan PEG 10% (setara dengan -2 bar) pada media perkecambahan merupakan kondisi cekaman kekeringan yang dapat mengelompokkan genotipe jagung toleran, medium toleran dan peka kekeringan. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil percobaan 1 dengan melihat penurunan nilai-nilai yang mengindikasikan VKTkekeringan pada semua variabel pengamatan, diperoleh pengelompokan varietas yang toleran terhadap kekeringan yaitu varietas Inpago 5, IR20 dan Batutegi, sedangkan varietas Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti tergolong dalam varietas yang tidak toleran.
Pengaruh Varietas dan Kondisi PCT (Kadar Air Benih dan Lama Penderaan) terhadap Viabilitas Rekapitulasi analisis ragam pada Tabel 4 menunjukkan bahwa interaksi dari kedua faktor yaitu varietas dan kondisi PCT berpengaruh sangat nyata terhadap semua variabel yang diamati pada penelitian ini. Hal yang sama ditunjukkan juga oleh faktor tunggal varietas dan faktor tunggal kondisi PCT. Hasil analisis ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 13 – 16. Tabel 4. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh varietas dan kondisi PCT (kadar air dan lama penderaan) terhadap variabel yang diamati
Variabel
Varietas (V)
DB (%) KCT (%/etmal) IV (%) PA (cm)
Pr > F <0.0001** <0.0001** <0.0001** <0.0001**
Kondisi PCT (Kadar air/lama penderaan) (P) Pr > F <0.0001** <0.0001** <0.0001** <0.0001**
Interaksi (V x P)
KK (%)
Pr > F <0.0001** <0.0001** <0.0001** <0.0001**
11.99 12.43 19.60 12.55
Keterangan: **)= berpengaruh sangat nyata p ≤ 0.01; *)= berpengaruh nyata p ≤ 0.05; tn= tidak nyata; DB= daya berkecambah; KCT= kecepatan tumbuh; IV= indeks vigor; PA= panjang akar
Percobaan yang dilakukan dengan metode PCT dengan kondisi kadar air benih dan kurun waktu penderaan yang berbeda memberikan respon yang beragam pada variabel yang diamati, namun secara umum dapat dikatakan bahwa semakin meningkat kadar air akan menurunkan viabilitas dan vigor benih.
29
Demikian pula halnya dengan periode penderaan yang diberikan, semakin lama akan mengakibatkan penurunan viabilitas dan vigor benih. Pada variabel daya kecambah seperti terlihat pada Tabel 5, menunjukkan pengaruh interaksi antara varietas dan kondisi PCT. Tabel 5. Pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT (kadar air benih dan lama penderaan) terhadap daya berkecambah (%) Kondisi PCT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Inpago 4
Inpago 5
Inpago 6
Batutegi
Towuti
IR20
20%/24 jam 80.0 (9.0) a-i 99.3 (9.9) a 88.0 (9.4) a-e 92.6 (9.6) abc 66.0 (8.1) c-n 96.6 (9.8) ab 20%/48 jam 77.3 (8.8) a-k 83.3 (9.1) a-f 61.3 (7.8) e-o 80.6 (9.0) a-h 53.3 (7.1) l-s 95.3 (9.7) abc 20%/72 jam 26.6 (5.2) tuv 77.3 (8.8) a-k 39.3 (6.3) p-t 27.3 (5.2) tuv 44.6 (6.6) n-t 88.0 (9.4) a-e 22%/24 jam 81.3 (9.1) a-g 95.3 (9.7) abc 87.3 (9.3) a-e 73.3 (8.6) a-l 63.3 (7.9) d-o 92.6 (9.6) abc 22%/48 jam 54.0 (7.4) i-r 92.0 (9.6) abc 41.3 (6.4) o-t 49.3 (6.9) m-s 56.0 (7.4) h-r 76.0 (8.7) a-k 22%/72 jam 6.6 (2.5) yza' 60.0 (7.6) f-p 12.0 (3.4) wxy 1.3 (1.2) a'b' 12.6 (3.5) wxy 48.6 (7.0) m-s 24%/24 jam 84.6 (9.2) a-f 93.3 (9.6) abc 76.7 (8.8) a-k 78.0 (8.9) a-j 59.3 (7.7) f-p 90.0 (9.5) a-d 24%/48 jam 53.3 (7.3) j-s 90.6 (9.5) a-d 10.0 (3.1) wxy 26.0 (5.2) tuv 34.6 (5.9) r-u 57.3 (7.5) g-q 24%/72 jam 7.3 (2.7) xyz 68.6 (8.3) b-m 0.6 (1.0) a'b' 1.3 (1.3) z-b' 7.3 (2.8) xyz 22.6 (4.4) uvw 26%/24 jam 71.3 (8.4) a-m 89.3 (9.4) a-e 62.6 (7.9) d-o 72.0 (8.5) a-m 53.3 (7.2) k-s 88.0 (9.4) a-e 26%/48 jam 36.6 (6.0) q-t 79.3 (8.9) a-j 18.0 (4.1) vwx 28.6 (5.3) tuv 33.3 (5.8) s-u 54.7 (7.4) h-r 26%/72 jam 1.3 (1.2) a'b' 0.0 (0.7) b' 0.6 (1.0) a'b' 0.0 (0.7) b' 2.0 (1.3) z-b' 2.6 (1.6) z-b' Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% angka dalam kurung merupakan hasil transformasi (x + 0.5)1/2
Kondisi PCT pada semua tingkat kadar air benih yaitu 20%, 22%, 24% dan 26% dengan lama penderaan 24 jam menunjukkan bahwa masing-masing varietas tidak mengalami penurunan viabilitas seiring dengan peningkatan kadar air. Menurut Powell & Matthews (2005), kondisi umum yang digunakan untuk PCT adalah kadar air 20%, lama penderaan 24 jam dan suhu 45oC, tergantung jenis komoditasnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dalam penelitian ini kondisi PCT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 24 jam dijadikan sebagai acuan dalam melihat penurunan nilai-nilai pada semua variabel yang diamati. Pada kondisi PCT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 24 jam terlihat bahwa hampir semua benih memiliki viabilitas yang tinggi yaitu dengan nilai daya berkecambah di atas 80%, hanya varietas Towuti yang daya berkecambahnya rendah yaitu 66%. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Towuti memiliki tingkat toleransi yang lebih rendah dibandingkan varietas lain terhadap penderaan yang
30
diberikan. Sedangkan varietas yang tergolong memiliki toleransi yang tinggi adalah varietas Inpago 5 dan IR20, dimana pada penderaan selama 24 jam dengan peningkatan kadar air hingga 26%, varietas tersebut masih memiliki daya berkecambah masing-masing 89.3% dan 88%. Namun secara umum, kondisi PCT pada semua tingkat kadar air belum dapat menurunkan daya berkecambah secara nyata untuk penderaan selama 24 jam walaupun terjadi peningkatan kadar air. Menurut Powell & Matthews (2005) dalam metode PCT sebagaimana uji vigor lainnya membutuhkan ketelitian dalam mencapai kadar air yang sama pada lot benih sebelum mengalami deteriorasi secara cepat pada suhu tinggi (45oC) di laboratorium. Laju peningkatan kelembaban pada benih berbeda antar lot. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan tingkat kerusakan pada tiap lot benih. Ketelitian dalam menetapkan kadar air sangat diperlukan, karena perbedaan 1% kadar air benih memberikan pengaruh yang nyata pada perkecambahan. Hal ini menjadi alasan mengapa penentuan kadar air awal benih juga menjadi hal yang penting pada metode PCT. Periode penderaan lebih lama yaitu 48 jam yang ditunjukkan pada kondisi PCT dengan kadar air 20% juga belum membedakan secara nyata terhadap penurunan daya berkecambah. Pada kondisi ini daya berkecambah dari seluruh varietas berkisar antara 53.3 – 95.3%, dengan nilai tertinggi dimiliki oleh varietas IR20 dan varietas Towuti memiliki nilai terendah. Sedangkan pada PCT dengan kadar air 22% dan lama penderaan 48 jam beberapa varietas antara lain Inpago 6 dan Batutegi telah mengalami penurunan viabilitas secara nyata. Demikian pula halnya pada PCT dengan kadar air 24% dan lama penderaan 48 jam, hampir keseluruhan varietas telah mengalami penurunan daya berkecambah yang nyata kecuali varietas Inpago 5 yang masih mampu berkecambah hingga 90.6%. Pada kondisi PCT dengan kadar air 26% dan lama penderaan 48 jam viabilitas semua varietas telah mengalami penurunan dengan kisaran nilai antara 18 – 79.3%. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2003) dan Alam et al. (2005), dimana pada kondisi PCT dengan penderaan selama 48 jam telah menghambat daya berkecambah benih padi dan menurunkan vigornya. Hal yang sama tentu saja ditunjukkan pada kondisi PCT dengan semua tingkat kadar air (20%, 22%, 24%, 26%) dan lama penderaan 72 jam. Semakin
31
lama penderaan yang dialami oleh benih maka akan mengakibatkan viabilitas benih menurun secara nyata bahkan pada PCT dengan kadar air 26% dan lama penderaan 72 jam telah mengakibatkan benih tidak berkecambah. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Modarresi & Van Damme (2003) yang menunjukkan bahwa penderaan benih gandum pada suhu 45oC selama 72 jam dengan kadar air 20% dan 22% telah mematikan semua benih. Pengaruh interaksi faktor varietas dan kondisi PCT terhadap variabel KCT dapat dilihat pada Tabel 6. Kecepatan tumbuh (KCT) merupakan salah satu dari tiga variabel indikator kekuatan tumbuh benih di lapangan atau vigor kekuatan tumbuh (VKT). Menurut Sadjad et al. (1999) ada tiga variabel VKT antara lain vigor spesifik, vigor kekuatan tumbuh dan keserempakan tumbuh. Tabel 6. Pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT (kadar air benih dan lama penderaan) terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) Kondisi PCT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Inpago 4
Inpago 5
Inpago 6
Batutegi
Towuti
IR20
20%/24 jam 15.4 (4.0) c-i 23.1 (4.9) a 18.7 (4.4) a-g 20.7 (4.6) a-d 13.8 (3.8) e-j 22.5 (4.8) ab 20%/48 jam 13.6 (3.8) e-j 17.5 (4.2) a-h 10.8 (3.4) i-n 17.0 (4.2) a-h 10.3 (3.2) j-p 20.6 (4.6) a-d 20%/72 jam 4.7 (2.3) qrs 13.8 (3.8) e-j 6.0 (2.6) pqr 4.6 (2.3) qrs 7.6 (2.8) m-q 17.4 (4.2) a-h 22%/24 jam 15.0 (3.9) d-i 21.7 (4.7) abc 16.8 (4.2) a-h 15.8 (4.1) b-i 13.0 (3.6) g-l 20.9 (4.6) a-d 22%/48 jam 7.8 (2.9) l-q 20.4 (4.6) a-d 8.6 (3.0) k-q 8.4 (3.0) k-q 9.7 (3.2) j-p 13.1 (3.7) f-k 22%/72 jam 1.0 (1.2) uvw 11.2 (3.4) i-n 1.7 (1.5) tuv 0.2 (0.8) vw 3.6 (2.0) rst 6.7 (2.7) n-r 24%/24 jam 15.9 (4.0) c-i 23.0 (4.9) a 13.4 (3.7) f-k 16.0 (4.0) c-i 11.9 (3.5) h-m 18.8 (4.4) a-f 24%/48 jam 8.6 (3.0) k-q 19.5 (4.5) a-e 1.5 (1.4) t-w 6.6 (2.6) o-r 6.2 (2.6) pqr 9.0 (3.0) j-p 24%/72 jam 0.8 (1.1) uvw 11.7 (3.5) h-m 0.9 (1.1) uvw 0.2 (0.8) vw 1.2 (1.3) uvw 2.6 (1.7) stu 26%/24 jam 13.6 (3.8) e-j 19.8 (4.5) a-d 10.7 (3.3) i-o 13.6 (3.8) e-j 10.9 (3.3) i-o 16.8 (4.1) a-h 26%/48 jam 2.7 (1.8) stu 15.8 (4.0) c-i 1.5 (1.4) t-w 4.6 (2.3) qrs 5.8 (2.5) pqr 8.1 (2.9) l-q 26%/72 jam 0.1 (0.8) vw 0.0 (0.8) vw 0.1 (0.8) vw 0.0 (0.8) vw 0.2 (0.8) vw 0.4 (0.9) vw Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% angka dalam kurung merupakan hasil transformasi (x + 0.5)1/2
Penurunan nilai KCT yang nyata pada seluruh varietas mulai terlihat pada PCT dengan penderaan selama 48 dan 72 jam pada semua tingkat kadar air 20%, 22%, 24% dan 26%, hanya varietas Inpago 5 yang penurunan nilai KCT-nya tidak terlalu besar kisarannya. Nilai KCT varietas lain bahkan telah mencapai angka di bawah 15 %/etmal pada perlakuan PCT dengan kadar air 22% dan lama penderaan 48 jam.
32
Seperti halnya variabel KCT, indeks vigor juga merupakan indikator vigor benih. Tabel 7 menunjukkan pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT terhadap indeks vigor. Kondisi PCT dengan lama penderaan 24 jam pada semua tingkat kadar air (20%, 22%, 24% dan 26%) menunjukkan tidak terdapat beda nyata antar perlakuan terhadap indeks vigor benih dari seluruh varietas atau dengan kata lain peningkatan kadar air pada penderaan selama 24 jam tidak menurunkan vigor benih secara nyata. Terlihat bahwa varietas Inpago 5 memiliki nilai indeks vigor tertinggi yaitu 91.3% dan nilai terendah sebesar 44.7% terjadi pada varietas Inpago 4. Tabel 7. Pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT (kadar air benih dan lama penderaan) terhadap indeks vigor (%) Kondisi PCT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Inpago 4
Inpago 5
Inpago 6
Batutegi
Towuti
IR20
20%/24 jam 44.7 (6.7) i-n 91.3 (9.6) a 72.7 (8.5) a-i 80.7 (9.0) a-d 52.0 (7.2) d-l 88.7 (9.4) 20%/48 jam 21.3 (4.6) p-w 61.3 (7.7) b-j 29.3 (5.4) l-s 57.3 (7.5) c-j 34.0 (5.5) l-r 80.0 (8.9) 20%/72 jam 7.3 (2.7) x-d' 34.7 (5.6) k-r 8.7 (3.0) v-b' 4.0 (1.9) z-e' 2.7 (1.6) a'-e' 28.0 (5.3) 22%/24 jam 45.3 (6.7) j-n 80.7 (8.9) a-e 54.7 (7.4) c-k 58.7 (7.7) b-j 44.0 (6.6) j-n 73.3 (8.6) 22%/48 jam 14.0 (3.7) s-z 77.3 (8.8) a-f 12.0 (3.5) t-z 24.0 (4.8) o-v 12.7 (3.6) t-z 31.3 (5.6) 22%/72 jam 2.7 (1.6) a'-e' 32.7 (5.1) n-u 0.7 (1.0) d'e' 0.0 (0.7) e' 0.7 (1.0) d'e' 8.0 (2.9) f-m abc j-p j-o 24%/24 jam 49.3 (7.0) 81.3 (9.0) 40.7 (6.4) 41.3 (6.5) 45.3 (6.7) i-n 60.7 (7.8) u-a' a-g b'-e' r-y 24%/48 jam 12.0 (3.4) 74.7 (8.7) 1.3 (1.3) 18.0 (4.1) 17.3 (4.1) r-y 8.7 (3.0) 24%/72 jam 0.0 (0.7) e' 21.3 (4.4) q-x 2.0 (1.3) b'-e' 0.0 (0.7) e' 1.3 (1.2) c'-e' 2.0 (1.3) h-n a-g p-w g-n 26%/24 jam 46.0 (6.8) 74.7 (8.6) 21.3 (4.6) 47.3 (6.9) 40.7 (6.2) j-q 49.3 (7.0) 26%/48 jam 6.0 (2.5) y-e' 50.7 (7.2) e-l 2.7 (1.6) a'-e' 7.3 (2.7) x-d' 10.7 (3.3) u-a' 12.0 (3.4) 26%/72 jam 0.0 (0.7) e' 0.0 (0.7) e' 0.0 (0.7) e' 0.0 (0.7) e' 0.0 (0.7) e' 0.0 (0.7) Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% angka dalam kurung merupakan hasil transformasi (x + 0.5)1/2
ab a-e m-t a-h k-r w-c' a-j v-b' b'-e' f-m u-a' e'
Nilai indeks vigor benih mengalami penurunan yang nyata mulai terjadi pada perlakuan PCT dengan penderaan 48 jam dan 72 jam pada semua tingkatan kadar air. Penurunan ini menunjukkan bahwa benih telah kehilangan vigornya bahkan sebagian besar benih mengalami kematian akibat peningkatan kadar air dan penderaan yang lebih lama yaitu pada PCT dengan lama penderaan 72 jam dan kadar air 22%, 24%, 26%. Peningkatan kadar air dan lama penderaan yang dialami oleh benih telah mengakibatkan terjadinya kemunduran. Menurut Justice & Bass (1994) salah satu
33
penyebab terjadinya kemunduran benih adalah respirasi. Respirasi meningkat sejalan dengan kenaikan kadar air benih dan peningkatan suhu. Peningkatan laju respirasi mengakibatkan proses metabolisme berlangsung cepat sehingga cadangan energi lebih cepat habis. Pada keadaan bersuhu tinggi dan kadar air benih yang tinggi, penurunan viabilitas benih terjadi lebih cepat. Penilaian vigor benih berdasarkan VPCT telah dapat membedakan tingkat vigor antar varietas yang digunakan. Hal senada juga dinyatakan oleh Wang et al. (2004) bahwa VPCT merupakan variabel yang lebih peka dalam menggambarkan potensi vigor antar lot benih pada benih rumput Siberia (Elymus sibiricus L.), sehingga dapat dikatakan bahwa VPCT memang variabel yang peka untuk menggambarkan kondisi vigor benih. Tabel 8. Pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT (kadar air benih dan lama penderaan) terhadap panjang akar (cm) Kondisi PCT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Inpago 4
Inpago 5
Inpago 6
Batutegi
Towuti
IR20
20%/24 jam 11.8 (3.5) abc 13.3 (3.7) ab 11.9 (3.5) abc 12.7 (3.6) abc 12.7 (3.6) abc 12.4 (3.6) abc 20%/48 jam 11.7 (3.5) abc 13.0 (3.6) abc 12.1 (3.5) abc 12.3 (3.6) abc 12.4 (3.6) abc 12.4 (3.6) abc 20%/72 jam 11.8 (3.5) abc 13.9 (3.8) ab 10.8 (3.4) abc 11.2 (3.4) abc 12.0 (3.5) abc 12.2 (3.6) abc 22%/24 jam 12.4 (3.6) abc 14.6 (3.9) a 12.6 (3.6) abc 13.4 (3.7) ab 12.6 (3.6) abc 13.0 (3.6) abc 22%/48 jam 11.0 (3.4) abc 10.3 (3.3) abc 11.0 (3.4) abc 12.3 (3.6) abc 12.1 (3.6) abc 11.7 (3.5) abc 22%/72 jam 9.7 (3.2) abc 9.7 (2.8) cd 10.2 (3.3) abc 8.4 (3.0) bcd 11.9 (3.6) abc 10.3 (3.3) abc 24%/24 jam 13.2 (3.7) ab 9.9 (3.2) abc 13.0 (3.6) abc 12.5 (3.6) abc 13.1 (3.6) abc 12.8 (3.6) abc 24%/48 jam 12.3 (3.6) abc 14.4 (3.9) a 10.3 (3.3) abc 12.8 (3.6) abc 12.1 (3.6) abc 11.2 (3.4) abc 24%/72 jam 9.4 (3.1) a-d 13.1 (3.6) abc 1.3 (1.2) f 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f 8.5 (3.0) bcd 26%/24 jam 11.9 (3.5) abc 12.5 (3.6) abc 11.8 (3.5) abc 12.5 (3.6) abc 12.5 (3.6) abc 11.7 (3.5) abc 26%/48 jam 10.4 (3.3) abc 12.4 (3.6) abc 11.5 (3.4) abc 11.7 (3.5) abc 12.6 (3.6) abc 11.3 (3.5) abc 26%/72 jam 4.7 (2.1) e 10.4 (3.3) abc 3.8 (1.9) e 0.0 (0.7) f 6.8 (2.4) de 4.6 (2.0) e Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% angka dalam kurung merupakan hasil transformasi (x + 0.5)1/2
Pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT terhadap panjang akar benih disajikan pada Tabel 8. Terlihat bahwa secara umum perlakuan penderaan selama 24 dan 48 jam pada semua tingkat kadar air (20%, 22%, 24% dan 26%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan akar benih dari seluruh varietas. Pertumbuhan akar mulai terhambat pada penderaan selama 72 jam pada kadar air 24% dan 26%.
34
Kemampuan daya tumbuh akar yang tinggi dari semua varietas yang digunakan pada penelitian ini diduga karena sifat genetis padi gogo yang memiliki sifat perakaran yang kuat dan panjang. Hal ini terlihat dari panjang akar seluruh varietas yang memiliki ukuran hampir sama. Penurunan vigor benih pada kondisi PCT ketika penderaan dilakukan selama 48 dan 72 jam pada semua variabel yang diamati diduga akibat dari proses metabolisme dalam benih yang sangat cepat dan terus menerus ketika berada dalam water bath yang bersuhu 45oC. Proses metabolisme yang berlangsung sangat cepat menyebabkan ketahanan benih menjadi menurun karena cadangan energi benih berangsur habis sehingga benih tidak mampu lagi berkecambah normal bahkan mengalami kematian. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap beberapa variabel yang diamati diperoleh pengelompokan varietas yang memiliki VPCT yang tinggi adalah varietas Inpago 5, IR20 dan Batutegi, sedangkan varietas Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti memiliki VPCT yang lebih rendah. Kecenderungan penurunan nilai masing-masing variabel akibat pengaruh interaksi varietas dan kondisi PCT, menjadikan 4 (empat) kondisi PCT (kadar air/lama penderaan) yaitu 20%/24 jam (PCT 1), 20%/48 jam (PCT 2), 22%/24 jam (PCT 3) dan 22%/48 jam (PCT 4) sebagai kandidat untuk diuji korelasinya dengan berbagai variabel tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar. Metode PCT dikembangkan untuk menguji vigor benih karena dapat menggambarkan proses kemunduran benih (Powell & Matthews 2005). Kemunduran benih diakui sebagai penyebab utama berkurangnya vigor benih yang diwujudkan dalam menurunnya kemampuan kinerja benih termasuk laju dan keseragaman perkecambahan, menurunnya tingkat toleransi terhadap cekaman lingkungan dan mengakibatkan pertumbuhan yang buruk (Venter 2000). Metode PCT sebagai salah satu metode uji vigor telah terbukti memiliki korelasi yang erat dengan daya tumbuh benih di lapangan terutama pada benih Brassica (ISTA 2010) dan pada beberapa jenis tanaman lain seperti lobak, kangkung, wortel, selada dan bawang (Powell & Matthews 2005).
35
Korelasi antara Berbagai Variabel Percobaan 1 pada Tekanan Osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT Hasil Percobaan 2 Korelasi menunjukkan keeratan hubungan antar variabel (Gomez & Gomez 1995). Penelitian ini menggunakan berbagai variabel pada perlakuan simulasi cekaman kekeringan dengan tekanan osmotik -2 bar yang dikorelasikan dengan viabilitas pada perlakuan PCT. Persamaan regresi, koefisien korelasi dan koefisien determinasi antara variabel pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Persamaan regresi, koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) antara variabel pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT Tek. osmotik PEG 6000 -2 bar Variabel DB KCT IV PA DB KCT IV PA
VPCT
Persamaan r R2 (%) PCT 1 (Kadar air 20%, lama penderaan 24 jam) Y = 0.6364X + 26.004 0.56* 31.5 Y = 0.1397X + 1.4601 0.55* 29.8 Y = 0.6364X – 40.996 0.58* 33.7 tn Y = 0.0409X + 8.4577 0.37 13.6 PCT 2 (Kadar air 20%, lama penderaan 48 jam) Y = 0.5059X + 43.393 0.70* 49.5 Y = 0.1021X + 5.9482 0.63* 39.5 Y = 0.3689X – 13.304 0.53* 28.1 Y = 0.0470X + 8.4803 0.67* 44.7
Keterangan: **)= sangat nyata p ≤ 0.01; *)= nyata p ≤ 0.05; tn= tidak nyata
Hasil analisis korelasi antara variabel-variabel pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT pada empat kondisi PCT (kadar air/lama penderaan) yaitu 20%/24 jam (PCT 1), 20%/48 jam (PCT 2), 22%/24 jam (PCT 3) dan 22%/48 jam (PCT 4) menunjukkan bahwa beda nyata hanya terjadi pada kondisi PCT 1 dan PCT 2, sedangkan pada kondisi PCT 3 dan PCT 4 tidak menunjukkan adanya beda nyata. Korelasi dan beda nyata antara VPCT dengan seluruh variabel tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar hanya terjadi pada PCT 2 yaitu pada kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam (Tabel 9). Korelasi antara seluruh variabel tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT pada semua kondisi PCT dapat dilihat pada Lampiran 17-20. Koefisien korelasi (r) yang tinggi menunjukkan keeratan hubungan antara variabel X dan Y. Persamaan garis regresi menyatakan hubungan antara VPCT
36
(sumbu x) dengan variabel pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar (sumbu y) yaitu DB, KCT, IV dan PA. Nilai koefisien korelasi yang tertinggi adalah 0.70, yaitu korelasi antara variabel DB pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan viabilitas PCT 2. Ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan erat antara VPCT dengan variabel DB. Hal yang sama juga terjadi antara VPCT dengan variabel KCT, IV dan PA pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan nilai koefisien korelasi yang sedikit lebih rendah masing-masing 0.63, 0.53 dan 0.67. Hubungan antara VPCT dengan variabel pada tekanan osmotik -2 bar dapat diilustrasikan dengan model regresi linier yang terdapat pada Gambar 2 – 5. Hubungan yang erat antar variabel pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT berdasarkan nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi, dapat menjadi indikasi bahwa perlakuan PCT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara dini tingkat toleransi genotipe padi gogo terhadap cekaman kekeringan setara dengan tekanan osmotik 2 bar. Hal ini dapat menjadikan metode PCT sebagai alternatif lain selain penggunaan larutan PEG dalam simulasi cekaman kekeringan pada benih, mengingat harga PEG yang relatif mahal.
DB (%) pada tek. osmotik PEG 6000 -2 bar
100 80 60
40 y = 0.5059x + 43.393 R² = 0.4946 r = 0.703265 p < 0.0001
20 0 0
20
40
60
80
100
VPCT (20%/48 jam)
Gambar 2. Hubungan antara variabel DB pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT
KCT (%/etmal) pada tek. osmotik PEG 6000 -2 bar
37
25,00 y = 0.1021x + 5.9482 R² = 0.3952 r = 0.62866 p < 0.0001
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
20
40 60 VPCT (20%/48 jam)
80
100
Gambar 3. Hubungan antara variabel KCT pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT
IV (%) pada tek. osmotik PEG 6000 -2 bar
60 50
y = 0.3689x - 13.304 R² = 0.281 r = 0.530126 p < 0.0001
40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
VPCT (20%/48 jam)
Gambar 4. Hubungan antara variabel IV pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT
38
PA (cm) pada tek. osmotik PEG 6000 -2 bar
16,00 14,00 12,00 10,00 8,00
y = 0.047x + 8.4803 R² = 0.4472 r = 0.668737 p < 0.0001
6,00 4,00 2,00 0,00 0
20
40
60
80
100
VPCT (20%/48 jam)
Gambar 5. Hubungan antara variabel PA pada tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar dengan VPCT Penentuan kondisi kadar air benih dan lama penderaan yang sesuai untuk metode PCT umumnya didasarkan pada efektivitas dan efisiensi waktu dalam pelaksanaan. Dasar lain yang digunakan untuk menentukan kondisi PCT pada penelitian adalah kecenderungan penurunan nilai-nilai yang mengindikasikan tingkat vigor benih dari berbagai variabel yang diamati. Metode PCT selama ini dikembangkan untuk menguji vigor benih sayuran yang berukuran relatif kecil seperti benih bawang (Allium ceppa) (Rodo & Filho 2003), kembang kol (Brassica oleracea L. var. botrytis) (Kikuti & Filho 2008), ketimun (Cucumis sativus L.) (Demir & Mavi 2008) dan beberapa benih sayuran lainnya. Di samping itu metode PCT juga telah berhasil digunakan untuk mengidentifikasi mutu fisiologis benih padi (Oryza sativa L.) (Ali et al. 2003). Kondisi PCT yang digunakan pada penelitian ini dapat menggambarkan potensi vigor dari keenam varietas padi gogo yang digunakan. Penurunan vigor benih terjadi seiring dengan peningkatan kadar air dan lama penderaan benih. Benih semakin kehilangan vigornya ketika benih didera pada kadar air yang semakin tinggi dan periode penderaan yang semakin lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Kruse (1999) berdasarkan analisisnya yang menyatakan bahwa perbedaan vigor antar lot benih terlihat semakin jelas dengan semakin lamanya
39
periode penderaan benih hingga mencapai rata-rata perkecambahan benih 50% berdasarkan asumsi penyebaran normal. Berdasarkan
pertimbangan
efektivitas
dan
efisiensi
waktu
serta
kecenderungan penurunan nilai-nilai yang mengindikasikan tingkat vigor benih dari berbagai variabel yang diamati, penetapan PCT dengan kadar air 20% dan lama penderaan 48 jam serta suhu 45oC merupakan kondisi yang paling tepat. Hasil yang sama diperoleh oleh Ali et al. (2003) dan Alam et al. (2005) pada penelitian yang dilakukan dimana pada kondisi PCT dengan penderaan selama 48 jam telah menghambat daya berkecambah benih padi dan menurunkan viabilitasnya walaupun dengan kadar air yang berbeda.