25
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Umum Percobaan Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan kelembaban (Zulkarnain 2009). Read (1990) menyatakan bahwa faktor suhu berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman, dan berkaitan erat dengan siklus perkembangan tanaman. Suhu penyebab terjadinya morfogenesis tidak selalu sama pada setiap spesies tanaman. Pada tanaman tomat, perlakuan suhu 19 oC pada beberapa saat dapat meningkatkan potensi regenerasinya. Sementara itu, pada eksplan tangkai bunga Brassica napus pembentukan pucuk adventif terbaik diperoleh pada suhu 24oC. Laboratorium tempat dilakukannya penelitian sangat menjaga kestabilan suhu ruang kultur supaya tetap terjaga pada kisaran 25 - 28oC (Gambar 7A). Kestabilan suhu ruang kultur tersebut dibantu dengan kondisi Air Conditioner (AC) yang tetap dihidupkan selama 24 jam. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan eksplan ialah intensitas cahaya. Intensitas cahaya selalu dijaga dengan baik agar tanaman dapat melakukan morfogenesis. Penelitian yang tidak membutuhkan cahaya seperti induksi kalus dilakukan di ruangan gelap. Laju fotosintesis pada kebanyakan tanaman yang dikulturkan secara in vitro pada umumnya relatif rendah karena kebutuhan karbohidrat sudah dipenuhi melalui suplai sukrosa dari medium. Menurut George dan Sherrington (1984), pertumbuhan jaringan tanaman secara in vitro membutuhkan cahaya untuk mendapatkan pertumbuhan dan morfogenesis yang optimal. Sebaliknya untuk inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan kalus tidak diperlukan adanya cahaya. Faktor lingkungan lain yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah kelembaban. Kelembaban relatif di dalam ruangan sekitar 70%, namun kebutuhan kelembaban di dalam wadah kultur mendekati 90%. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa embrioid Daucus carota tumbuh sangat baik pada kelembaban 80 – 90% dan akan mati apabila kelembaban di bawah 60%. Kadar kelembaban yang terlalu tinggi di dalam wadah kultur dapat
26
menyebabkan terbentuknya daun – daun pucuk yang mengalami vitrifikasi (Read 1990). Keberhasilan kultur jaringan dapat tercapai apabila media yang digunakan tidak mengalami kontaminasi. Kontaminasi berasal dari eksplan atau media yang digunakan.
Kecilnya
kontaminasi
disebabkan
oleh tersedianya
autoklaf
bertekanan tinggi, sehingga dapat menyebabkan denaturasi pada mikroba. Selain itu, ruang pembuatan media juga harus disterilkan secara periodik dengan menggunakan formalin (Gambar 7B). Faktor lain yang menyebabkan kecilnya angka kontaminasi adalah laminar air flow, karena sebelum digunakan laminar selalu disterilkan dengan sinar UV (Gambar 7C). Jenis kontaminan yang ditemukan berupa cendawan dengan hifa yang berwarna putih sedikit merah muda, cendawan berwarna kehitaman, bakteri berwarna putih susu, dan bakteri berwarna kuning susu. Jenis kontaminan tersebut dapat dikenali dari penampilan fisiknya. Dari keempat jenis kotaminan yang ditemukan, cendawan yang berwarna hitam yang paling cepat pertumbuhan dan perkembangbiakannya, dan cendawan tersebut mampu menutupi seluruh permukaan media kultur. Akibatnya eksplan tidak mampu tumbuh yang akhirnya akan mati.
A
B
C
Gambar 7. Kondisi umum laboratorium :A. Ruang kultur, B. Ruang pembuatan media, C. Laminar air flow 2. Studi Tahapan Perkembangan Inti Mikrospora Antera Jeruk Stadium perkembangan mikrospora merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan induksi kalus pada kultur antera. Stadium mikrospora yang paling responsif untuk membentuk embrio adalah stadium uninukleat akhir (Dunwell 1996). Stadium uninukleat akhir ditandai dengan posisi inti mikrospora berada di tepi karena terdesak oleh vakuola yang besar (Indrianto
27
et al. 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wahidah (2010) yang menyatakan bahwa fase uninukleat akhir mempunyai peluang yang lebih besar dalam mengiduksi terjadinya kalus pada kultur mikrospora tanaman tembakau.
Tabel 1. Persentase perkembangan inti mikrospora pada jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam pada ukuran rasio sepal dan petal yang berbeda Rasio bunga (mm) Sepal: Petal KECIL
Keprok Garut
1:2 1 : 2,5 1:3
Keprok Batu 55
Siam
Perkembangan inti mikrospora (%) Tetrad Inti Inti Tidak Tetrad satu dua terama ti
Tetr ad
Inti satu
Inti dua
Tidak terama ti
40,5 66,0 73,6
14,4 18,1 21,3
4,5 -
45,1 11,4 5,1
35,3 54,2 75,8
8,6 11,6 15,8
-
7,8 10,1 19,4
91,4 85,5 78,2
0,8 4,4 2,4
-
8,8 5,4 13,4
81,1 85,6 78,2
10,1 9,0 8,4
2,4
9,3 15,5 8,2
78,4 45,2 76,4
1,4 1,2 1,2
21,3 8,2 7,1
77,3 65,2 75,3
56,1 34,2 8,4
Inti satu
Inti dua
33,6 51,1 68,5
11,6 13,1 18,4
-
20,6 3,5 17,6
79,4 90,5 82,4
6,0 -
3,9
15,4 8,2
70,6 10,3 76,4
Tidak terama ti
54,8 35,8 13,1
SEDANG
1:4 2:5 2:6
-
-
BESAR
2:7 2:8 2:9
12,3 39,4 3,0
25,4 15,4
4,0 89,7 1,5
Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan perubahan morfologi bagian bunga melalui bertambah panjangnya ukuran sepal dan petal bunga. Secara umum hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ukuran sepal dan petal bunga terhadap fase perkembangan inti mikrospora. Bunga yang mempunyai ukuran sedang mengandung mikrospora inti satu paling banyak baik pada bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam (Tabel 1). Pada bunga jeruk keprok Garut, persentase inti satu berkisar antara 78,2 – 91,4%, bunga jeruk keprok Batu 55 mencapai 78,2 – 85,6% dan bunga jeruk Siam berkisar 79,4 – 90,5% dari total mikrospora yang diamati. Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan inti mikrospora jeruk keprok Garut, dapat diketahui bahwa bunga dengan ukuran kecil berdasarkan ukuran sepal dan petal bunga mempunyai mikrospora terbanyak berada pada fase tetrad (40,5 – 73,6)% dan tidak teramati (5,1 – 45,1) %. Inti mikrospora tidak dapat
28
diamati keberadaannya karena masih berupa mother cell kemudian kromosom mengalami kondensasi di bagian tengah sel pada tahap sel induk polen (mother cell) dan sel induk polen mengalami pembelahan meiosis membentuk tetrad (Septiani 2008). Bunga dengan ukuran sedang mempunyai mikrospora uninukleat banyak berkisar 78,2 – 91,4%. Wahidah (2010) menyatakan bahwa stadium uninukleat awal - tengah memiliki ciri-ciri mikrospora berbentuk bulat dengan vakuola yang kecil dan pada stadium uninukleat akhir kedudukan inti makin ke pinggir dan ukuran vakuola semakin besar bahkan menempati sebagian besar volume sel. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Kosmiatin et al. (2009) pada bunga jeruk keprok Garut, dimana bunga jeruk keprok dengan ukuran mahkota kuncup bunga antara 5-6 mm, memiliki persentase mikrospora dengan inti tunggal terbanyak yaitu berkisar antara 84,05 – 100%. Bunga dengan ukuran besar didominasi oleh mikrospora binukleat berkisar 45,2 – 78,4%. Stadium binukleat dicirikan dengan adanya 2 inti dalam mikrospora tersebut. Perkembangan inti mikrospora mulai dari tetrad sampai tidak teramati dapat dilihat pada Gambar 8.
A
C
B
D
Gambar 8. Perkembangan inti mikrospora jeruk keprok Batu 55: A. Mikrospora berada pada fase tetrad; B. Mikrospora dengan inti satu; C. Mikrospora inti dua; D. Tidak teramati.
29
Ukuran sepal dan petal bunga dari ketiga jenis jeruk (Keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam) mempunyai ukuran sepal dan petal bunga yang tidak begitu berbeda sehingga mempunyai perkembangan inti mikrospora yang hampir sama. Bunga dengan ukuran kecil didominasi oleh mikrospora yang berada pada fase tetrad (35,3 – 75,8)% dan mother cell (8,4 – 56,1)%, bunga ukuran sedang didominasi oleh mikrospora uninukleat (78,2 – 85,6)%, dan bunga dengan ukuran besar didominasi oleh mikrospora inti dua (65,2 – 77,3)%. Semakin panjang ukuran kuncup bunga maka stadium perkembangan mikrospora semakin dewasa. Fase perkembangan inti mikrospora pada bunga jeruk Siam dengan ukuran kecil paling banyak terdapat fase tetrad berkisar 33,6 – 68,5% dan fase yang tak teramati (mother cell) berkisar 13,1 – 54,8% dan yang paling sedikit berada pada fase uninukleat berkisar 11,6 – 18,4% dan tidak terdapat mikrospora yang berada pada fase binukleat. Bunga dengan ukuran sedang mempunyai mikrospora paling banyak berada pada fase inti satu (79,4 – 90,5)% dan bunga dengan ukuran besar mempunyai mikrospora paling banyak terdapat pada fase inti dua (10,3 -76,4)% dan tidak teramati atau sudah termasuk kategori polen yang sudah matang berkisar 1,5 – 85,7%. Bunga jeruk Pamelo mempunyai ukuran sepal dan petal yang lebih panjang dan tebal dibandingkan dengan ketiga jenis jeruk (keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam) seperti terlihat pada Gambar 9. Oleh sebab itu perbandingan ukuran sepal dan petal untuk mengelompokkan bunga besar, sedang dan kecil juga berbeda, akan tetapi persentase perkembangan inti mikrospora pada bunga yang sudah dikelompokkan hampir sama (Gambar 9).
petal petal sepal
A
sepal
B
Gambar 9. Perbandingan ukuran sepal dan petal bunga: A. Jeruk Pamelo; B. Jeruk Siam
30
Tabel 2. Persentase perkembangan inti mikrospora jeruk Pamelo pada fase tetrad, inti satu, inti dua, dan tidak teramati Rasio bumga (mm) Sepal:Petal
Tetrad
Pomelo Perkembangan inti mikrospora (%) Inti satu Inti dua
Tidak teramati
KECIL 6 : 10 6 : 11 6 : 12
79,4 87,1 82,4
15,3 12,3 13,4
5,3 0,6 4,2
-
SEDANG 6 : 14 6 : 15 6 : 17
18,6 15,8 12,6
78,2 81,2 85,4
3,2 3,0 2,0
-
BESAR 7 : 19 7 : 20 7 : 21
-
24,4 13,6
64,4 24,4 61,2
1,2 75,6 25,2
Berdasarkan pengamatan inti mikrospora pada tanaman jeruk pamelo (Tabel 2), bunga yang dikelompokkan menjadi bunga kecil berdasarkan ukuran sepal dan petal didominasi oleh mikrospora yang berada pada fase tetrad berkisar (79,4 – 87,1)%, dan bunga dengan ukuran sedang didominasi mikrospora inti satu berkisar (78,2 – 85,4)% serta bunga dengan ukuran bunga besar didominasi oleh mikrospora inti dua (24,4 – 64,4)% dan tidak dapat diamati (1,2 – 75,6)%. Pada bunga ukuran kecil dan bunga ukuran sedang tidak terdapat mikrospora yang tidak dapat diamati posisi intinya, sedangkan pada bunga ukuran besar banyak inti mikrospora yang tidak dapat diamati keberadaannya. Keberadaan inti mikrospora tidak diamati karena terdapat banyak vakuola didalam mikrospora. Sangwan dan Norreel (1996) menyatakan pada stadium binukleat akhir (inti dua) sudah dimulai peristiwa amilogenesis. Setelah terjadi akumulasi amilum biasanya mikrospora sudah tidak responsip lagi untuk diinduksi menjadi embrio. Tingginya persentase mikrospora inti satu (uninukleat) pada bunga ukuran sedang dengan perbandingan ukuran sepal : petal (6:14 - 6:17) menjadikan bunga dengan ukuran sedang yang akan dijadikan eksplan untuk induksi kalus pada jeruk Pamelo.
31
3. Studi Lama Praperlakuan Penyimpanan Antera Terhadap Kemampuan Induksi Kalus pada Jeruk Keprok Garut Persentase keberhasilan induksi kalus haploid dari antera selain dipengaruhi oleh fase perkembangan inti mikrospora, juga dipengaruhi oleh praperlakuan terhadap antera sebelum kultur antera. Secara normal, mikrospora akan berkembang menjadi alat reproduksi jantan pada tumbuhan. Praperlakuan suhu dingin akan menghentikan proses tersebut sehingga mikrospora akan berkembang menjadi embrio atau kalus. Untuk menginduksi terbentuknya kalus haploid atau embrio yang berasal dari mikrospora jeruk keprok Garut, kuncup bunga diberikan praperlakuan suhu dingin (10oC) selama 1, 3, 5, dan 7 hari dan ditanam pada media MT dengan penambahan 10 mg/l pikloram dan 500 mg/l ekstrak malt. Kuncup bunga diberi perlakuan lama penyimpanan pada suhu dingin dengan tujuan untuk mendapatkan lama praperlakuan terbaik dilihat dari respon antera yang membengkak dan mengkalus. Tabel 3. Pengaruh praperlakuan lama penyimpanan pada suhu dingin (10oC) pada antera jeruk keprok Garut terhadap kemampuan induksi kalus Umur Kultur (MST)
Lama Praperlakuan (hari)
Respon Antera membengkak ∑
berkalus
%
%
2 1 3 5 7
2,2b 3,8b 7,2a 3,0b
(22,0) (36,0) (72,0) (26,0)
(0,0) (0,0) (0,0) (0,0)
1 3 5 7
2,2b 3,8b 7,2a 3,0b
(22,0) (36,0) (72,0) (30,0)
(0,0) (0,0) (0,0) (0,0)
1 3 5 7
2,6b 4,0b 8,0a 3,4b
(26,0) (40,0) (80,0) (34,0)
(0,0) (0,0) (2,0) (0,0)
4
6
8 1 2,6b (28,0) (0,0) 3 4,0b (40,0) (0,0) 5 8,0a (84,0) (2,0) 7 3,4b (36,0) (0,0) Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamat menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. Media= Murashige and Tucker (MT) + 10mg/l Pic + 500mg/l ekstrak malt, (1), (3), (5), dan (7) hari
32
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3, diketahui bahwa antera jeruk keprok Garut yang diberi praperlakuan suhu dingin (10 oC) selama 5 hari memberikan respon yang paling baik dilihat dari respon antera yang membengkak dan yang mengkalus. Secara umum respon diawali dengan pembengkakan kemudian diikuti dengan pembentukan kalus (Gambar 10). Praperlakuan dingin (10oC) memberikan pengaruh terhadap peubah antera yang membengkak. Hasil tertinggi pada peubah antera membengkak diperoleh pada praperlakuan 5 hari pada semua umur kultur. Antera membengkak karena terjadi pembelahan sel - sel pada mikrospora yang terdapat di dalam antera, kemudian sel sel mikrospora tersebut akan berkembang menjadi kalus. Kalus yang berada didalam antera akan memaksa dinding antera untuk pecah. Persentase terbentuknya kalus tertinggi (2%) terjadi pada praperlakuan dingin selama lima hari pada umur 6 minggu setelah tanam.
A
B
Gambar 10. Respon antera Keprok Garut: A. Membengkak, B. Mengkalus Praperlakuan penyimpanan suhu dingin (10oC) selama 5 hari pada antera jeruk keprok Garut merupakan praperlakuan terbaik karena mampu membentuk kalus sebesar 2% pada umur 6 minggu setelah tanam, sedangkan praperlakuan penyimpanan 1, 3, dan 7 hari tidak terdapat antera yang mampu terbentuk menjadi kalus. Setelah 8 minggu antera cenderung menjadi coklat dan tidak mengalami perkembangan bahkan sebagian besar antera menjadi mati. Penelitian yang dilakukan oleh Savaskan et al. (1999) pada tanaman Hordeum vulgare L. menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara antera yang diberi praperlakuan dingin selama 21 hari dengan antera yang tidak diberi praperlakuan
33
dingin. Antera yang diberi praperlakuan dingin selama 21 hari mampu membentuk kalus berkisar 97,4%. Sedangkan antera yang tidak diberikan praperlakuan dingin hanya mampu membentuk kalus 40,2%. Perlakuan cekaman suhu dingin (4-9oC) pada mikrospora tanaman kedelai varietas Wilis juga dilakukan oleh Budiana (2010) dengan memperoleh hasil bahwa mikrospora yang diberi perlakuan suhu dingin (4-9oC) selama satu minggu menunjukkan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan pemberian cekaman suhu ruangan (25-28oC) dan pemberian suhu panas (30 – 33oC). Rendahnya persentase terbentuknya kalus pada jeruk keprok Garut kemungkinan disebabkan lamanya waktu simpan (7 hari) dalam lemari pendingin sehingga menyebabkan kondisi bunga menjadi rusak (coklat), dan karena komposisi media yang kurang tepat untuk menginduksi kalus jeruk keprok Garut. Pemberian pikloram yang berlebihan pada media dapat menyebabkan kerusakan sistem pertumbuhan jaringan karena pikloram merupakan herbisida yang bersifat toksik (Karjadi & Buchory 2007). Marlina (2009) menyatakan Pemberian B pikloram 2 mg/l mampu menginduksi kalus dengan struktur remah pada eksplan umbi. 4. Induksi Kalus pada Antera Keprok Batu 55, Jeruk Siam dan Jeruk Pamelo 4.1 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Keprok Batu 55 Antera jeruk keprok Batu 55 yang telah diberi praperlakuan suhu dingin (10oC) selama lima hari dikulturkan pada media padat, media cair, dan media padat + cair dengan komposisi media MT + 3 mg/l BAP + 500 mg/l ekstrak malt memberikan respon yang berbeda - beda untuk setiap perlakuan. Zat pengatur tumbuh ditambahkan untuk mendapatkan respon yang diinginkan berkaitan dengan interaksi zat pengatur tumbuh yang digunakan dengan zat-zat endogen yang terdapat dalam jaringan tumbuhan (Novak et al. 1986). Antera yang dikulturkan pada media padat menunjukkan respon yang paling baik dilihat dari respon antera yang membengkak dan mengkalus (Tabel 4).
34
Tabel 4. Pengaruh jenis media terhadap respon antera jeruk Keprok Batu 55 Umur kultur (MST)
Jenis media membengkak ∑ %
Respon Antera berkalus %
2 Padat Padat + Cair Cair
5,1a 5,2a 3,9b
(68,75) (50,89) (38,39)
9,9 3,4 2,7
Padat Padat + Cair Cair
5,9a 5,3b 5,1b
(79,46) (57,14) (52,67)
13,8 4,5 3,6
Padat Padat + Cair Cair
6,2a 5,9b 4,9c
(82,14) (58,92) (60,71)
14,5 4,5 3,6
Padat Padat + Cair Cair
6,2a 5,9b 4,9b
(82,14) (58,92) (60,71)
14,5 4,5 3,6
4
6
8
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. Media: MT + 3 mg/l BAP + 500mg/l em.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui, media padat mampu memberikan respon berkalus yang paling baik dibanding perlakuan media dua lapis (padat+cair) dan perlakuan media cair. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase jumlah antera yang membengkak dan persentase antera yang mengkalus. Sebelum antera terinduksi menjadi kalus, maka terlebih dahulu diikuti oleh pertambahan volume sel yang dapat dilihat dari kondisi antera yang membengkak (Gambar 11). Pemberian 3 mg/l BAP pada media padat mampu menginduksi kalus sebesar 14,5% pada pengamatan 6 minggu setelah tanam, sedangkan pemberian 3mg/l BAP pada media dua lapis (padat+cair) dan media cair hanya mampu membentuk kalus 4,5% dan 3,6%. Hal tersebut kemungkinan disebabkan komposisi hara dan ZPT pada media yang terlalu banyak (terdapat pada media padat, juga media cair). Budiana (2010) menyatakan bahwa antera tanaman kedelai yang ditanam pada media padat memberikan respon yang lebih baik dibandingkan antera yang ditanam pada media sistem dua lapis. Kalus yang dihasilkan oleh media padat berwarna putih dan remah, sedangkan perlakuan media padat + cair dan perlakuan media cair cenderung
35
menghasilkan kalus berwarna coklat dan kurang memberikan respon yang baik terhadap perkembangan antera jeruk keprok Batu 55. Hal tersebut juga didukung Septiani (2008) yang menyatakan bahwa mikrospora kelapa sawit yang dikulturkan pada media dua lapis dapat berkembang melalui proses gametofitik hanya sampai pada tahap biselular, karena sel mikrospora pada tahap selanjutnya mengalami kematian.
A
B
Gambar11. Respon antera jeruk Keprok Batu 55: A. Membengkak, B. Mengkalus
4.2 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Siam Pembelahan sporofitik pada mikrospora juga dipengaruhi oleh media yang diberikan pada antera. Pembelahan sporofitik terjadi apabila sel – sel mikrospora mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif atau lebih. Pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang berbeda memberikan respon yang berbeda pada antera jeruk Siam. Antera yang dikulturkan pada media MT dengan perlakuan 3 mg/l 2,4-D memberikan respon yang paling baik untuk menginduksi terbentuknya kalus (Tabel 5).
36
Tabel 5. Pengaruh 2,4-D terhadap respon Antera Jeruk Siam Umur Kultur Media 2,4-D (mg/l) (MST)
Respon Antera membengkak Berkalus ∑ (%) (%)
2 MST 3 5 7
3,2a 1,5b 1,3b
(45,7) (14,3) ( 9,5)
0 0 0
3 5 7
3,2a 1,5b 1,3b
(49,5) (21,9) (21,9)
1,6 0,8 0,8
3 5 7
3,2a 1,5b 1,3b
(62,8) (30,5) (25,7)
1,6 0,8 0,8
3 5 7
4,8a 2,6b 2,0b
(69,5) (35,2) (26,7)
1,6 0,8 0,8
4 MST
6 MST
8 MST
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%.. Media: MT + 2,4-D + 500 mg/l em
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 5, terlihat bahwa konsentrasi media 2,4-D memberikan pengaruh terhadap peubah antera membengkak. Hasil tertinggi pada semua umur kultur pada peubah antera membengkak dihasilkan oleh media 3 mg/l 2,4-D. Setelah antera membengkak, kemudian dinding antera pecah dan kalus akan berproliferasi (Gambar 12). Respon antera jeruk Siam sudah terlihat pada minggu ke-2 setelah tanam, hal tersebut ditandai dengan terdapatnya antera yang membengkak berkisar 45,7% pada media 3 mg/l 2,4-D, akan tetapi kalus mulai terbentuk setelah empat minggu setelah tanam. Persentase kalus tertinggi berada pada media pemberian 3 mg/l 2,4-D dengan persentase kalus sebesar 1,6% sedangkan pemberian 2,4-D sebanyak 5 mg/l dan 7 mg/l hanya mampu menginduksi kalus sebesar 0,8%. Perlakuan 2,4-D sebanyak 3 mg/l memperlihatkan respon antera yang paling baik kemungkinan konsentrasi 2,4-D sebanyak 3 mg/l merupakan konsentrasi paling tepat untuk menginduksi kalus jeruk Siam, sedangkan pemberian 2,4-D pada konsentrasi 5 mg/l dan 7 mg/l kurang efektif untuk menginduksi kalus Siam.
37
Percobaan induksi kalus pada antera jeruk Siam dengan menggunakan zat pengatur tumbuh 2,4-D memperlihatkan respon yang lebih lambat dibanding dengan antera jeruk Keprok Batu 55. Pada antera jeruk Siam kalus terbentuk mulai minggu ke empat setelah tanam berkisar 1,6% pada media 3 mg/l 2,4-D, sedangkan pada antera jeruk Keprok Batu 55 kalus sudah terbentuk pada minggu kedua setelah tanam berkisar 9,9% dengan formulasi media MT + 3mg/l BAP + 500 mg/l ekstrak malt (padat).
A
B
Gambar 12. Respon antera jeruk Siam: A. Membengkak, B. Mengkalus 4.3 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Pamelo Antera jeruk Pamelo mempunyai ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan ukuran antera jeruk keprok Batu 55 dan jeruk Siam. Antera jeruk Pamelo yang telah diberikan zat pengatur tumbuh berupa kombinasi BAP dan NAA akan memberikan respon yang berbeda dengan antera jeruk keprok Batu 55 dan jeruk Siam yang telah diberikan BAP dan 2.4-D. Benzyl Adenine (BA) merupakan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin yang sudah banyak digunakan dalam kultur jaringan. Mariska et al. (1987) menyatakan BAP merupakan zat pengatur tumbuh sintetik yang mempunyai daya rangsang yang lebih lama dan tidak mudah dirombak oleh sistem enzim dalam tanaman.
38
Tabel 6. Induksi Kalus pada Antera Jeruk Pamelo Umur Kultur (MST)
Media 3mg/l BAP dan NAA (mg/l)
Respon Antera membengkak berkalus ∑ (%) (%)
2 MST 1 2 3
1.7 1,3 1,5
(30,6) (17,3) (21,3)
0 0 0
1 2 3
2,4a 1,4b 1,7b
(44,0) (26,7) (32,0)
0 0 0
1 2 3
3,0a 1,7b 1,6b
(53,3) (34,7) (32,0)
0 0 0
1 2 3
3,4a 2,2b 2,1b
(58,7) (42,7) (40,0)
2,6 0 0
4 MST
6 MST
8 MST
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. MST: Minggu Setelah Tanam
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 6) terlihat bahwa pemberian kombinasi 3 mg/l BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh pada peubah respon antera membengkak pada pengamatan minggu ke 2 setelah tanam. Pengaruh baru terlihat pada pengamatan 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Tingginya respon antera yang membengkak pada penambahan 1 mg/l NAA disebabkan karena pemberian 1mg/l NAA dan 3 mg/l BAP merupakan kombinasi zat pengatur tumbuh yang diinginkan oleh antera jeruk pamelo dalam perkembangannya. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya respon antera jeruk Pamelo yang membengkak sebanyak 57,7%, kemudian antera berkembang menjadi kalus 2,6% (Gambar 13). Berbeda dengan perlakuan kombinasi 3 mg/l BAP dengan (2 dan 3) mg/l NAA yang dianggap bukan merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diinginkan oleh antera pamelo dalam perkembangannya. Asam naftalena asetat (NAA) merupakan senyawa dari golongan auksin yang mampu menginduksi terjadinya pembengkakan sel dan elongasi pada jaringan. Kalus mulai terbentuk pada minggu ke 8 pada media kombinasi 3 mg/l BAP dengan 1 mg/l NAA. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk kalus diduga karena jeruk pamelo mempunyai dinding antera yang lebih tebal
39
mengakibatkan susahnya mikrospora untuk menyebabkan pecahnya dinding antera. Penambahan BAP dan NAA secara kombinasi pada dasarnya telah berhasil dilakukan terhadap induksi kalus pada beberapa spesies tanaman. Wulandari et al. (2004) menyatakan bahwa kombinasi 10 mg/l NAA dan 10 mg/l BAP mampu menginduksi kalus dengan bobot basah tertinggi 0,25 gram pada tanaman jeruk manis sedangkan perlakuan kontrol tidak mampu menginduksi kalus. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian pada antera jeruk Pamelo. Antera jeruk Pamelo yang telah diberikan kombinasi 3 mg/l BAP dan 1 mg/l NAA memberikan respon paling baik dilihat dari jumlah antera yang membengkak dan mengkalus. Namun kombinasi media tersebut tidak mampu menginduksi terbentuknya embrio secara langsung pada antera jeruk Pamelo. Savaskan (1999) mengatakan bahwa media terbaik untuk menginduksi terbentuknya embrio tanaman Barley pada kultur antera terdiri dari kombinasi 2 mg/l NAA dan 1 mg/l BAP. Pemberian 1 mg/l NAA merupakan media terbaik untuk menginduksi kalus embriogeni pada kultur antera jeruk Trovita (Hidaka 1984).
A Gambar 13. Respon antera pamelo: A. Mengkalus, B. Perbesaran dengan mikroskop
B
40
5. Analisis kromosom Tingkat ploidi kalus jeruk keprok Batu 55 diketahui melalui analisis kromosom.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
kromosom
menurut
metode
praperlakuan lengkap (Sastrosumarjo 2006), diketahui bahwa kalus yang dihasilkan merupakan kalus haploid yang berasal dari mikrospora jeruk keprok Batu 55. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kromosom kalus yang dihasilkan adalah sebanyak 9. Jumlah kromosom tersebut merupakan setengah dari jumlah kromosom tanaman normal pada jeruk Keprok Batu 55 (2n=2x=18). Jumlah kromosom kalus yang berasal dari jeruk Keprok Batu 55 dapat diamati dengan jelas, sedangkan jumlah kromosom kalus jeruk keprok Garut, jeruk Siam dan Pamelo tidak dapat diamati. Jumlah kromosom tidak dapat diamati kemungkinan karena sampel yang digunakan (kalus dan antera membengkak) sudah tidak bersifat meristem, ditandai dengan warna kalus dan antera yang berwarna kecoklatan. Hal tersebut sesuai dengan analisis kromosom dengan menggunakan akar. Akar yang digunakan untuk analisis kromosom adalah akar yang bersifat meristem atau akar yang masih aktif melakukan pembelahan mitosis, letaknya berada pada ujung akar. Apabila sampel yang digunakan berasal dari jaringan yang sudah tua, maka kromosom sudah tidak dapat diamati. Perbedaan jumlah kromosom pada tanaman jeruk diploid dengan jumlah kromosom jeruk haploid dapat dilihat pada Gambar 3.
A
B
Gambar 3. Perbandingan kromosom jeruk diploid dan haploid (A. Kromosom diploid, B. Kromosom haploid).