GEREJA KRISTEN JAWI WETAN PEPANTHAN KAMPAK, TRENGGALEK TAHUN 1957-1975 Sekar Sih Revashanti1) 2) Purnawan Basundoro Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang GKJW Pepanthan Kampak tahun 1957-1975. GKJW Pepanthan Kampak merupakan sebuah gereja kecil yang terletak di Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Diprakarsai oleh dua orang beda profesi, Sumiyon berprofesi sebagai mantri kesehatan dan Mardiyan bekerja sebagai guru. Walaupun berdiri dan tumbuh tanpa sentuhan dari seorang Teolog, tetapi gereja dapat terus berkembang, ditengah dinamika ekonomi, politik dan sosial masyarakat. GKJW Pepanthan Kampak berdiri bukan atas misi pengabaran Injil dari Majelis Agung GKJW, tetapi merupakan keinginan pribadi dari pendiri. Dikarenakan baik pendiri maupun jemaat merupakan orang Jawa asli, maka tahun 1960 persekutuan ini berafiliasi kepada GKJW. Kata Kunci: GKJW, Pepanthan, Kampak, Pengabaran Injil Abstract This research assesed about GKJW Pepanthan Kampak in 1957-1975. GKJW Pepanthan Kampak is a small chruch which located in Kampak, sub district in Trenggalek regency, East Java. Pioneered by two men who has two different job. Sumiyon as an orderly and Mardiyan as a teacher. Eventhough GKJW Pepanthan Kampak has built and grow without any touch from a theologian, but this church keep developed among the dinamycs of economic, political and publice social. GKJW Pepanthan Kampak has built not because of mission to preach the gospel from Congregation of GKJW, but it appeared from the founder and chruch it self are indigenous javanesse. So, in 1960, this small church affiliated to GKJW. Keywords: GKJW, Pepanthan, Kampak, The Pearch of Gospel Pendahuluan Di lingkungan GKJW terdapat berbagai gereja yang walaupun bergabung dalam satu wadah organisasi namun memiliki sejarahnya masing-masing. Salah satu faktor yang menyebabkan sejarah gereja berbeda-beda salah satunya adalah panggilan yang menjadi awal mula penyebab munculnya gereja tersebut dan begitu pula dengan faktor-faktor intern yang menentukan karakteristik gereja. Gereja adalah lembaga yang terbentuk dalam rentang waktu tertentu, melalui perjuangan tokoh-tokohnya. Orang sering
kali mengabaikan sesuatu yang terjadi dalam suatu komunitas kecil dan bersifat lokal, padahal dari sana dapat diperoleh nilai sejarah yang tidak kalah heroiknya, yang mampu memperkokoh jati diri sebagai lembaga yang berkepribadian. Mengungkap yang tersembunyi dari yang terabaikan, mencari nilai dari yang terlupakan, dan mengupas sisi-sisi dari yang tidak teruraikan maka jurnal ini menulis tentang berdiri dan berkembangnya GKJW Pepanthan Kampak tahun 1957-1975.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, email
[email protected]
Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
150
VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan, Vol. 4, No.2, Juni 2014
Trenggalek Tahun 1950an-1975. Tr e n g g a l e k r e s m i m e n j a d i kabupaten pada tahun 1950. Kabupaten Trenggalek terdiri dari kawedanankawedanan; Trenggalek, Kampak, Karangan, dan Panggul. Partai yang berkuasa di Trenggalek pada periode tahun 1957 adalah PNI, PKI, NU, Masyumi dan Parkindo (Tim Sejarah Kabupaten Trenggalek dengan Tim Konsultan IKIP Malang, 1974; 90).
Dalam periode 1957-1975 Trenggalek mangalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Bupati Soetran, terdapat kemajuan di berbagai bidang seperti kesehatan, infrastruktur dan pertanian. Dikarenakan fasilitas kesehatan yang memadai maka angka kematian dapat ditekan dan pertumbuhan jumlah penduduk yang sebelumnya lambat menjadi naik. Pendapatan daerah yang diperoleh Kabupaten Trenggalek semakin berkembang dengan lajunya perkembangan perkebunan dan hasil perhutani serta pajak pendapatan dari pasar dan industri. Industri-industri tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja (Tim Sejarah Kabupaten Trenggalek dengan Tim Konsultan IKIP Malang, 1974; 95).
Kecamatan Kampak terletak di sebelah selatan Kabupaten Trenggalek. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Gandusari di sebelah utara, Kecamatan Watulimo di sebelah barat dan selatan, serta Kecamatan Dongko dan Kecamatan Munjungan di sebelah timur. Terdiri dari 7 desa yaitu Sugihan, Bendoagung, Timahan, Senden, Bogoran, Ngadimulyo dan Karangrejo. Secara geografis wilayah Kecamatan Kampak sebagian besar terdiri dari persawahan, pemukiman dan ladang. Penduduk dari Kecamatan Kampak terdiri dari orang-orang desa yang masih sangat tradisional dalam segala bidang. Pada tahun 1957 sebagai besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan peladang tradisional yang hanya mengandalkan musim dan
belum mengenal inovasi-inovasi di bidang pertanian. Pada tahun 1959 mata pencaharian penduduk mulai beragam, pada tahun ini mulai banyak masyarakat yang berprofesi sebagai guru, kurang lebih sebanyak 25 orang yang berpendidikan Sekolah Guru Bantu (SGB). Pendidikan di Kampak baru berkembang sejak tahun 1962, setelah itu berturut-turut dibangun gedung sekolah permanen di setiap desa. Semenjak kebijakan Repelita dijalankan oleh pemerintah pusat, keadaan ekonomi dan sosial masyarakat Kampak pun menjadi lebih berkembang daripada sebelumnya. Selama periode tahun 19711975 sudah terdapat banyak sekolah permanen dan orang-orang yang terpelajar, bahkan telah ada yang menempuh pendidikan perguruan tinggi di kota Malang. Dari segi pemerintahan telah berdiri beberapa instansi pemerintah diantaranya jawatan penerangan, pertanian, dan sosial. Hal ini berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat terkhusus untuk para petani, pada periode tahun ini petani-petani Kecamatan Kampak telah lebih modern daripada tahun-tahun sebelumnya, petani telah dapat menanam holtikultura (Sunarmi, 2013). Pada tahun 1957 kepercayaan penduduk Kampak didominasi oleh 2 kepercayaan yaitu Islam dan aliran-aliran Kejawen. salah satu aliran Kejawen yang terkenal pada waktu itu adalah aliran Perjalanan dan Guru Sejati. Pendalaman agama Islam baru kentara setelah tahun 1965 berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI dan peraturan pemerintah pada tahun 1966 yang mengharuskan setiap warga Indonesia untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Jumlah santri meningkat, dan sejak tahun 1970an mulai dibangun langgar-langgar dan masjid-masjid di pemukimanpemukiman penduduk. Sedangkan Kristen mulai terlihat pada tahun 1975 karena keadaan yang stabil, sehingga telah jelas siapa saja pemeluk agama Kristen di
151
Gereja Kristen Jawi Wetan Pepanthan Kampak, Trenggalek Tahun 1957-1975
Kampak (Sukono, 2013). Awal Munculnya Persekutuan Kristen Jawa Di Kampak Kemunculan Persekutuan Jawa dimulai ketika Sumiyon pindah tugas dari Madura ke Kampak pada tahun 1957. Keberadaan gereja yang jauh (di pusat kota Trenggalek, ±26km) sangat memberatkan bagi Sumiyon dan keluarga jika ingin beribadah minggu. Hal ini yang melatar belakangi Sumiyon untuk membangun sebuah persekutuan. Penginjilan dilakukan oleh Sumiyon dan Mardiyan dengan metode yang sederhana menggunakan keahlian mereka masingmasing. Keberadaan Sumiyon sebagai satu-satunya tenaga kesehatan profesional di Kecamatan Kampak memudahkan proses pengabaran Injil. Sembari mengobati pasien di pelosok-pelosok desa, Sumiyon ditemani oleh Mardiyan mengabarkan ajaran kekristenan. Usaha mereka baru membuahkan hasil pada tahun 1959 dengan memiliki tujuh pengikut. Sehingga mulai tahun 1959 ibadah minggu mulai diadakan di rumah warga muslim yang terletak di Desa Karangrejo yaitu di kediaman Solomo. Pada tahun 1960, Sumiyon mengajukan permohonan kepada Pasamuwan Tulungagung (induk Pepanthan Kampak) agar persekutuan Kristen Jawa ini dijadikan pepanthan, permohonan tersebut disetujui sehingga sejak tahun 1960 persekutuan ini resmi menajdi bagian dari GKJW (Sumiyon, 1990; 4). Salah satu dari murid Sumiyon yaitu Selo Yohanan juga berperan penting dalam penyebaran agama Kristen di Kampak, ia mengajak saudara-saudaranya masuk Kristen serta mengabarkan Injil sampai ke Kecamatan Munjungan. Tetapi, kemudian Selo mengundurkan diri dari persekutuan, sehingga PI di Munjungan dilanjutkan oleh Mardiyan, setelah tahun 1972 digantikan oleh Suparno (Guru Injil). PI di Munjungan sangat membuahkan hasil, persekutuan Kristen
152
tersebut kemudian berdiri menjadi gereja, tetapi penggembalaannya diambil alih oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) (Suparno, 2012). Selain upaya pengabaran Injil yang dilakukan oleh pihak gereja, perkembangan jumlah jemaat juga dipengaruhi oleh faktor ekstern. Pertama, bencana kelaparan yang melanda kecamatan dan nasional, menyebabkan masyarakat kekurangan makanan. Sedangkan gereja mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat berupa gandum 2 ton. Setiap anggota gereja mendapatkan bagian yang cukup banyak, bagi warga non Kristen yang mampu, akan membeli gandum tersebut (Sumiyon, 1990: 4). Tetapi, gereja akan memberikan secara cuma-cuma kepada warga non Kristen yang tidak mampu. Karena, bersimpati dengan pelayanan gereja, maka sekitar 15 KK menyatakan diri ingin bergabung dengan persekutuan. Tetapi setelah keadaam ekonomi membaik mereka undur dari gereja, dikarenakan kurangnya pembinaan dan motivasi yang salah (Suparno, 2012). Peristiwa G30S/PKI mempengaruhi perkembangan gereja. Gereja menjadi korban politik ketika ancaman-ancaman terhadap jemaat terjadi, hal ini menimbulkan ketakutan yang mendalam di hati jemaat, maka demi keselamatan diri dan keluarganya, lebih dari seperempat jemaat gereja lepas dari gereja. Di saat gereja-gereja lain mendapatkan ledakan jemaat dikarenakan peristiwa G30S/PKI tetapi GKJW Pepanthan Kampak harus kehilangan sebagian jemaatnya (Suparno, 2012). Tetapi peristiwa ini terbayarkan ketika tahun 1966, seiring dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan setiap warga negara Indonesia mememeluk agama yang diakui oleh pemerintah. Sekitar 25 jiwa masuk menjadi anggota gereja (Data Jemaat GKJW Pepanthan Kampak, 1957-sekarang).
VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan, Vol. 4, No.2, Juni 2014
Aktivitas Peribadahan GKJW Pepanthan Kampak. Semenjak mulai diadakannya persekutuan yaitu pada tahun 1959, praktis kepengurusan persekutuan Kristen Jawa hanya dipegang oleh Sumiyon dan Mardiyan, tidak ada pembagian khusus antar keduanya, karena belum menjadi sebuah institusi gereja yang resmi. Ketika tahun 1960 Pepanthan baru yang masih bertumbuh itu menjadi kelembagaan dengan tiga orang pengurus yaitu Sumiyon, Mardiyan, dan Sukirman, secara institusional dipimpin oleh Pendeta Sudarman yang berdomisili di Tulungagung, tetapi hanya sesekali melayani di Kampak (Sumiyon, 1990; 3). Tahun 1962 Djumakir pernah menjadi anggota majelis gereja tetapi tidak bertahan lama (Mardiyan, 2012). Ta h u n 1 9 6 8 P e p a n t h a n Trenggalek resmi menjadi pasamuwan, dan melepaskan diri dari Pasamuwan Tu l u n g a g u n g . B e r h u b u n g s e c a r a geografis Kampak merupakan bagian dari Kabupaten Trenggalek maka secara otomatis Kampak menjadi pepanthan dari Pasamuwan Tulungagung. Pendeta pertama yang melayani di Trenggalek adalah R. Koentadi, sedangkan majelis Pepanthan Kampak dipercayakan kepada Sumiyon sebagai ketua majelis, Mardiyan, Kirman, Siri dan Saini sebagai penatua dan diaken. Namun, karena satu pendeta harus membina tiga gereja maka pendeta tidak bisa turun langsung dalam hal pembinaan jemaat, sehingga yang memegang peran utama dalam organisasi gereja tetaplah majelis pepanthan (Suparno, 2012). Tahun 1969 gereja memberikan beasiswa kepada Marlan, Mukani, dan Suparno untuk menempuh pendidikan guru agama (PGA) di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Balewiyata, Malang, tetapi hanya Suparno yang melayani di gereja. Setelah selesai menempuh pendidikan, pada tahun 1972 Suparno diangkat menjadi Guru Injil oleh Pendeta
Immanuel Harso Moeljadi (pengganti pendeta R. Koentadi yang telah menyelesaikan masa pelayanannya di GKJW Pasamuwan Trenggalek pada tahun 1972). Bertepatan dengan diangkatnya Suparno sebagai Guru Injil, bertambah juga anggota majelis gereja yaitu Slamet Andreas. Sehingga, mulai tahun 1972 majelis dari GKJW Pepanthan Kampak adalah Sumiyon, Mardiyan, Kirman, Siri, Saini, Slamet Andreas dan Guru Injil Suparno (Suparno, 2012). Dalam bidang pengetahuan teologia, gereja mengalami perkembangan dikarenakan jumlah majelis yang mencukupi, selain itu majelis sering mengikuti penataran yang dilaksanakan di Tulungagung, sehingga sesekali pendalaman Alkitab dikemas dalam bentuk kotbah minggu. Formasi majelis ini kembali berubah pada tahun 1975, ketika ditiadakannya jabatan Guru Injil dan Suparno menjadi anggota majelis (Suparno, 2012). Tahun 1959 Mardiyan, Sumiyon dan murid-muridnya memiliki gagasan untuk mengadakan kebaktian minggu, di rumah seorang muslim yang bernama Solomo (tempat kost Mardiyan) di Dusun Kedungwatu, Karangrejo. Pemilihan tempat di Karangrejo dengan pertimbangan karena Karangrejo memiliki jumlah jemaat terbanyak dan berada di dekat warga Kristen dari desa lainnya tinggal. Sehingga memudahkan bagi jemaat dari Bogoran untuk beribadah. Jalannya ibadah minggu bisa diterima pemilik rumah maupun masyarakat sekitar bahkan mengundang rasa ingin tahu yang besar. Perbedaan cara ibadah menjadi tontonan dan banyak pemuda yang bergabung hanya karena ingin mendengar lagu-lagu pujian. Terdapat sekitar 25 orang pemuda yang mengikuti peribadahan, selain mendengarkan langsung lagu-lagu pujian, mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang kekristenan dari Mardiyan. Agar keberadaan tempat
153
Gereja Kristen Jawi Wetan Pepanthan Kampak, Trenggalek Tahun 1957-1975
persekutuan Kristen Jawa di Kampak mudah diakses oleh jemaat yang telah tersebar di beberapa desa, maka kegiatan gerejawi dipindahkan ke Bendoagung, tepatnya di rumah mbok Sama Adi, tempat kost Sumiyon dan sekaligus balai kesehatan (Sumiyon, 1990; 2). Jalannya peribadahan menggunakan bahasa Jawa mulai dari kotbah, Alkitab berbahasa Jawa, dan Kidung Pasamuwan Kristen. Tahun 1962 tidak hanya dilakukan ibadah minggu, tetapi juga mulai diadakan ibadah patuwen brayat yang dilaksanakan dari rumah warga ke warga secara bergilir dan berbeda. Sebagai tunas-tunas baru mereka sangat antusias melakukan ibadah patuwen brayat meskipun harus berjalan kaki pada malam hari, dengan obor minyak mereka harus melewati jalan berlumpur, apabila waktu hujan. Sebagai ungkapan rasa syukur, tuan rumah memberikan suguhan mulai dari polo kependem (ubi-ubian) sampai trowol, punten, dan lain-lain (makanan ringan). Pelayan firman pun secara tetap dilayani oleh Sukirman. Kebaktian ini dilaksanakan setiap malam Jumat (Suparno, 2012). Setelah selama enam tahun belum memiliki gedung gereja permanen, maka majelis memiliki keinginan untuk membangun gedung gereja. Pembangunan gedung gereja permanen yang telah diwacanakan sejak tahun 1965 harus tertunda dikarenakan gejolak politik yang terjadi. Wacana ini diwujudkan pada tahun 1966. Mengingat keterbatasan dana yang dimiliki oleh gereja, maka pihak gereja mengajak jemaat untuk membangun gedung dengan kerja bakti, dimulai dengan mencari batu kali sebagai bahan pondasi, dari hasil kerja bakti tersebut berhasil terkumpul batu kali sebanyak 40m³ (Sumiyon, 1990; 3). Tahun 1967 Sumiyon meminta bantuan kepada muspika Kampak yang dijabat oleh: Saluwi (pembantu Bupati), Damun Sulasna (Camat Kampak), dan
154
Yodi Prawiradiarja (Kapolsek Kampak). Proses ini berjalan dengan baik karena Sumiyon merupakan pejabat daerah. Muspika Kecamatan Kampak menyambut baik permohonan tersebut, dan mulailah diadakan usaha untuk mendapatkan lahan yang direncanakan sebagai tempat berdirinya gereja. Demi mendapatkan lahan yang diinginkan maka pihak gereja diharuskan meminta izin langsung kepada Bupati Sutran. Gereja mengajukan permohonan untuk dapat memakai sebidang tanah di timur Pasar Kampak, tetapi permohonan tersebut tidak disetujui oleh otoritas setempat dikarenakan tanah itu akan digunakan oleh pemerintah, sehingga gereja diberikan pilihan lain (Sumiyon, 1990; 2). Pihak pemerintah kabupaten mengembalikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada pihak kecamatan. Setelah melalui perundingan dengan kepala Desa Bendoagung (Suranadi), pemerintah desa bersedia menjual tanah desa yang terletak di seberang lapangan Kecamatan Kampak. Tanah seluas 30 ru tersebut berharga Rp. 7.500,00. Modal untuk mendirikan gereja didapatkan dari penjualan gandum senilai Rp. 27.500,00 serta usaha menjual pathok tanah atau sawah yang perbiji dijual sebesar Rp 75,00. Penjualan pathok ini mengalami kendala dikarenakan pergolakan politik yang menyebabkan perekonomian menjadi lesu (Sumiyon, 1990; 5). Kerja bakti dilanjutkan dengan pembuatan batu bata. Tetapi kerja bakti ini tidak berjalan secara teratur dikarenakan kondisi fisik jemaat yang melemah. Keadaan ini diperburuk dengan bencana banjir, karena tempat pembuatan batu bata di rumah mbok Sama Adi yang terletak di dekat sungai dan daerah rawan banjir, maka 5000 batu bata mentah terendam dan hanya menyisakan 3000 biji batu bata. Hal ini membuat kerja bakti terhenti sementara. Sumiyon mengupayakan
VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan, Vol. 4, No.2, Juni 2014
berbagai cara agar pendirian gedung gereja tetap berlanjut, termasuk dengan menggunakan dana pribadi, akhirnya batu bata bisa diupayakan sebanyak 35.000 biji dengan harga Rp. 250-300/1000 biji. Setelah material yang dibutuhkan tercukupi, maka jemaat kembali bergotong royong membuat pondasi gereja dibantu oleh tenaga tukang yang diupah Rp 50,00/hari ((Sumiyon, 1990; 3). Besoknya, tanggal 29 Desember 1967 diadakan peletakan batu pertama oleh pendeta Sudarman dan dihadiri oleh Muspika setempat. Setelah peletakan batu pertama dilanjutkan dengan pembangunan tahap selanjutnya yang dikerjakan oleh jemaat sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka yang ahli batu dan kayu adalah: Gimun, Untung, Mujiman, Sarno, Siri, Muyaji, dan lain-lain. Kayu tulangan, kusen, pintu, dan jendela diusahakan Sumiyon melalui R. Sutjipto mantri KRPH (Kepala Resort Polisi Hutan) Kecamatan Kampak (Sumiyon, 1990; 7). Tahun 1968 bangunan gedung gereja mulai dibangun, pembangunan tersebut selesai pada tahun 1969 tetapi belum diwelur (pada tahun inilah gedung digunakan untuk peribadahan), tahun 1971 baru dilakukan penyempurnaan terutama diwelur, dan baru pada tahun 1972 gedung gereja telah selesai sempurna. Pembangunan gereja berjalan secara tersendat-sendat dikarenakan minimnya dana yang dimiliki (Suparno, 2012). Dalam peribadahan gereja, kita mengenal tentang sakramen perjamuan kudus (Bujono Suci) yang merupakan satu bagian yang diajarkan dalam doktrin gereja. Ketika masih bergabung dengan Pasamuwan Tulungagung, Bujono Suci jemaat Kampak dilaksanakan bergabung dengan Pepanthan Trenggalek, setiap setahun sekali, dilayani oleh pendeta Soedarman. Transportasi yang digunakan jemaat dengan menyewa satu truk milik Cipto Santoso yang dikendarai oleh Warino dan menggunakan uang kas
gereja. Perjamuan kudus hanya boleh diikuti oleh mereka yang telah mengakui iman secara dewasa, sedangkan bagi anakanak tidak diperbolehkan. Sehingga anakanak yang ikut orang tuanya ke Trenggalek dipisahkan dan mengikuti ibadah komisi BKA (Badan Kebaktian Anak). Setelah menjadi pepanthan dari Pasamuwan Trenggalek, Bujono Suci tidak lagi bergabung di gereja Trenggalek. Tetapi, dilayani langsung oleh pendeta di pepanthan masing-masing. Walaupun begitu, perjamuan kudus tetap berlangsung satu tahun sekali (Suparno, 2012). Ciri khas yang dimiliki GKJW sebagai gereja yang berbasis budaya Jawa adalah perayaan undhuh-undhuh. Tetapi, jemaat Kampak tidak terlalu konsisten dengan perayaan undhuh-undhuh yang telah menjadi ciri khas GKJW, karena berada di tengah-tengah komunitas masyarakat yang plural. Perayaan undhuh-undhuh pertama dilaksanakan pada tahun 1970 dan hanya dilakukan jika hasil panen berlebih, prosesi undhuhundhuh dilakukan dengan mempersembahkan 10% dari hasil panen, tidak hanya Padi tetapi juga Singkong dan Palawija kepada gereja yang kemudian akan dilelang, dan uang hasil lelang tersebut diserahkan kepada gereja untuk biaya operasional. Kedua dilaksanakan pada tahun 1971, dengan lebih sederhana yaitu menyerahkan persembahan berupa uang kepada gereja. Hal ini terjadi karena kurangnya minat jemaat terhadap perayaan undhuh-undhuh. Faktor yang menyebabkan undhuh-undhuh tidak berjalan lancar lebih kepada alasan ekonomi. Karena, sebagian besar jemaat adalah petani tradisional, satu-satunya sumber penghasilan mereka hanya dari sawah atau ladang yang dikelolanya. Sedangkan, Kampak sendiri bukan daerah yang subur dan pegunungan, lahan pertanianpun kurang dari 20%, sehingga jarang sekali terjadi surplus hasil pertanian. Maka, undhuh-undhuh dinilai
155
Gereja Kristen Jawi Wetan Pepanthan Kampak, Trenggalek Tahun 1957-1975
sangat memberatkan warga, bahkan pernah ada warga yang tidak mau ke gereja karena tidak ada yang bisa dipersembahkan untuk undhuh-undhuh. Selain itu adalah, keberadaan warga Kristen yang merupakan minoritas di Kecamatan Kampak membuat undhuhundhuh tidak bisa dilaksanakan semarak (diarak keliling desa) seperti yang dilakukan oleh GKJW Mojowarno dan GKJW besar lainnya. Kesimpulan Jemaat Pepanthan Kampak merupakan gejala keagamaan yang unik, sebab jemaat ini muncul bukan dari misi Pekabaran Injil Majelis Agung GKJW, melainkan merupakan hasil karya pekabar Injil awam yang dipelopori oleh seorang mantri kesehatan yang kemudian bekerjasama dengan seorang guru SD. Mereka mengabarkan Injil di tengah masyarakat yang telah memiliki latar belakang agama Islam dan kepercayaan Kejawen. Dimulai pada 1957, Sumiyon dan Mardiyan mengabarkan Injil kepada orang-orang yang sangat asing dengan Kekristenan. Walaupun tumbuh seakan tanpa pemimpin rohani yang mumpuni, dan majelis gereja tidak ada yang memiliki latar pendidikan Teologi. Namun, pembinaan warga tetap berjalan dengan baik, setidaknya gereja ini tetap berdiri. Wujud pembinaan dari majelis juga sederhana. Dimulai dengan hal yang paling umum yaitu Ibadah Minggu, ibadah Patuwen Brayat dan Sekolah Minggu. Walaupun dibina dengan sederhana tetapi setiap tahun jemaat selalu bertambah walaupun tidak signifikan. GKJW Pepanthan Kampak berdiri serta tumbuh dengan kesederhanaan dan serba keterbatasan. Tetapi, walaupun terjadi peristiwa politik maupun ekonomi, gereja ini dapat terus ada. Memiliki jemaat dari suku Jawa dan dibina oleh gereja yang berlatar belakangkan budaya Jawa membuat keberadaan gereja diterima baik oleh masyarakat luas.
156
DAFTAR PUSTAKA Data jemaat tahun 1957-sekarang. Surat wasiat Sumiyon untuk jemaat GKJW Pepanthan Kampak, Pasamuwan Trenggalek Tim Sejarah Kabupaten Trenggalek dengan Tim Konsultan IKIP Malang. 1974. Sejarah Kabupaten Trenggalek. Nara Sumber: 1. Nama
: Suparno (64) Alamat : RT 06/02 Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek. Pekerjaan : Guru Injil Tanggal wawancara : 18 Maret 2012 dan 23April 2012 2. Nama
: Sunarmi (72) Alamat : RT 05/02 Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek. Pekerjaan :Anggota PNI Tanggal wawancara : 22 April 2012 3. Nama
: Sukono (70) Alamat : RT 02/02 Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek. Pekerjaan : Pegawai Negeri Tanggal wawancara : 2 1 September 2013