Fleksibilitas Negosiasi dan Pembagian Peran Antara Suami Istri pada Keluarga Stay-at-Home Dad (SAHD)

Fleksibilitas Negosiasi dan Pembagian Peran Antara Suami Istri pada Keluarga Stay-at-Home Dad (SAHD) Oleh Hania Alifa Adzhani Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected]

Abstrak Memasuki era industri modern, perempuan mulai memiliki kesempatan untuk masuk dunia kerja. Hal tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi keluarga, dimana keluarga akan berubah sejalan dengan perubahan di lingkungan sekitarnya. Saat ini keluarga modern memiliki bentuk yang bervariasi, salah satu contohnya adalah keluarga stay-at-home dad (SAHD) atau dapat pula kita sebut dengan keluarga bapak rumah tangga. Dalam keluarga SAHD, suami dan istri akan mengalami perubahan peran. Suami dapat bertanggungjawab atas tugas domestik serta pengasuhan anak dan istri dapat berperan sebagai pencari nafkah. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, skripsi ini memberikan gambaran tentang fleksibilitas dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran antara suami istri pada keluarga SAHD. Ditemukan bahwa di Indonesia, suami yang menjadi SAHD disebabkan karena tersisih dalam pasar kerja. Sehingga belum dapat dikatakan sebagai SAHD yang penuh waktu seperti di negara barat, belum ada komitmen untuk sepenuhnya menjadi SAHD.

Flexibility in Negotiating and Division of Roles Between Husband and Wife in Stay-AtHome Dad (SAHD) Family Abstract Entered the modern industrial era, women have the opportunity to enter the world of work. This has affected family condition in which the family will adapt with the environment changes arround them. Today, there are various types of modern family, one of those is the stay-at-home dad (SAHD), or in other word is a family where the father is the family household. In SAHD family, husband and wife will have to change their roles. Husband is responsible for domestic tasks while wife’s responsibility is to earn fo their family living. By using a qualitative approach, this thesis provides an overview of flexibility in negotiating and division of roles between husband and wife in SAHD family. It found that in Indonesia, a husband who becomes SAHD due eliminated in the labor market. So it can’t be said as a fully SAHD as in the western countries, there’s no commitment to fully become a SAHD. Keywords: Stay-at-home dad, flexibility, negotiation, role

Pendahuluan Memasuki era industri modern, perempuan mulai memiliki hak untuk masuk pasar tenaga kerja, memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan dan promosi tanpa bantuan laki-laki. Seiring berjalannya waktu, perempuan dapat lebih bebas masuk maupun keluar pasar tenaga kerja dan lebih diterima sebagai pekerja. Meskipun tak terlalu banyak, perempuan juga memiliki kesempatan untuk menempati jabatan yang tinggi (Goode, 1991:153). Sejarah masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja diawali dengan dibutuhkannya pekerja dengan upah murah

Fleksibilitas negosiasi dan..., Hania Alifa Adzhani, FISIP UI, 2014

untuk bekerja di industri senjata saat Perang Dunia II di Amerika Serikat. Perlahan, pasca Perang Dunia II fenomena ini menjalar ke banyak negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia (Meinarno, 2010:11). Data Sakernas menunjukkan peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan dalam pasar tenaga kerja tahun 2006-2008. Secara berturut-turut dari 48,3 persen di tahun 2006 menjadi 49,52 persen di tahun 2007, hingga 51,25 persen di tahun 2008. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki terus mengalami penurunan, yaitu dari 84,74 persen di tahun 2006 menjadi 83,68 persen di tahun 2007, hingga 83,54 persen di tahun 2008. Data ini menunjukkan bahwa kesempatan perempuan untuk berkontribusi dalam dunia kerja semakin terbuka lebar. Masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja sedikit banyak telah mempengaruhi kondisi keluarga, yaitu perubahan-perubahan peran dalam keluarga yang relatif cepat. Masyarakat menganggap laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, namun sekarang tidak lagi. Perempuan juga mampu mencari nafkah, bahkan memiliki penghasilan yang lebih besar dari suaminya (Meinarno, 2010:10). Hal tersebut mengawali kemunculan stay-at-home-dad (SAHD) di Indonesia, para laki-laki yang sulit bersaing dalam pasar kerja bisa mengisi peran perempuan dalam keluarga. SAHD berperan sebagai ayah sekaligus ibu di dalam rumah, mereka harus bisa mengurus anak sambil membereskan pekerjaan domestik rumah tangga yang biasanya dikerjakan oleh perempuan atau seorang istri. Selama suami tinggal di rumah, istri mengerjakan peran suami bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meski demikian, ada pula SAHD yang tidak sepenuhnya melakukan pekerjaan domestik rumah tangga dan mengurus anak. Diantara mereka ada yang menjaga anak sambil berbisnis di rumah, artinya mereka masih turut memenuhi sumberdaya ekonomi keluarga. Fenomena SAHD dewasa ini kian mengalami peningkatan jumlah. Hampir 30% laki-laki di Jerman mengambil cuti ketika menjadi ayah baru dan saat ini semakin banyak ayah yang memilih untuk terus menjadi SAHD. Tahun 2007 di Prenzlauer Berg telah didirikan Väterzentrum (Pusat Ayah) untuk memfasilitasi SAHD (www.dw.de). Sedangkan di Amerika Serikat, keberadaan SAHD mulai merebak luas di akhir abad ke-20 (www.femina.co.id). Data Biro Sensus AS 2010 menunjukkan 32% ayah mengurus anak setidaknya satu hari dalam seminggu. Survei tersebut dilakukan pada pasangan suami istri yang memiliki anak di bawah 15 tahun. Mereka yang memiliki anak di bawah 5 tahun, 20% ayah menjadi pengasuh utama (www.shnews.co). Keluarga-keluarga di Indonesia semakin terbuka terhadap perubahan, sehingga beberapa diantaranya tidak masalah dengan tukar peran antara suami dan istri. Peran sebagai SAHD ini memang lebih banyak dilakukan oleh keluarga-keluarga kelas menengah, tetapi tidak


menutup kemungkinan bahwa pertukaran peran ini juga dapat ditemukan pada keluarga kelas bawah. Seperti dilansir dalam Femina Online, Psikolog Ratih Ibrahim melihat bahwa kesadaran laki-laki untuk lebih banyak mengambil alih fungsi pengasuhan dan urusan rumah tangga di Indonesia dominan pada kelas menengah. Hal tersebut disebabkan oleh latar pendidikan yang membuat laki-laki kelas menengah memiliki pola pikir berbeda sehingga bisa memposisikan diri sebagai SAHD tanpa terbebani secara mental. Meski begitu, beberapa lainnya ada juga yang masih mengalami kesulitan dalam mengakui statusnya sebagai SAHD (www.femina.co.id).

Permasalahan Pola keluarga di Indonesia secara umum masih berbentuk tradisional dengan pembagian peran yang kaku, Goode (1991:141-143) menyebutkan bahwa suami sebagai seorang pemimpin keluarga bertugas menjadi pencari nafkah utama, sedangkan istri sebagai seorang ibu memiliki tanggung jawab atas pengasuhan anak. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa keluarga modern yang terbuka pada perkembangan zaman mulai dapat menerima perubahan. Menurut Goode (1991) perubahan teknologi dan industri adalah faktor utama perubahan dalam keluarga yang menyebabkan masuknya perempuan dalam pasar kerja, hingga terjadi pergeseran peran suami dan istri dalam rumah tangga yang nantinya akan melahirkan bentuk keluarga baru. Meski belum begitu populer, beberapa suami di Indonesia mulai melakukan peran yang identik dengan peran istri, sedangkan para istri akan bekerja mencari nafkah. Kondisi tersebut berdampak pada bergesernya peran tradisional suami dan istri, pembagian peran menjadi lebih lentur dan tidak lagi kaku seperti yang terjadi pada keluarga tradisional. Suami dapat mengerjakan pekerjaan istri di rumah, dan istri dapat membantu perekonomian keluarga. Penelitian Fischer dan Anderson (2012), disebutkan bahwa suami yang tidak bekerja akan mengambil alih peran istri di rumah, terutama dalam hal pengasuhan anak saat istri sedang bekerja. Di sisi lain suami yang bekerja juga sesekali memiliki peran dalam pengasuhan anak, namun hanya pada saat mereka berada di luar jam kerja. Pada keluarga SAHD, istri yang bekerja tetap mengambil peran dalam pegasuhan anak saat Ia kembali ke rumah. Penelitian ini menunjukkan bahwa peran domestik perempuan tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Artinya meskipun peran pengasuhan anak telah diambil alih oleh suami saat istri sedang bekerja, ketika kembali ke rumah istri tetap harus mengurus anak.


Studi-studi terdahulu mengenai SAHD banyak membahas dari sisi psikologis yang memfokuskan studi pada faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi SAHD, gaya pengasuhan ayah, reaksi emosional SAHD dan reaksi dari lingkungan sekitar. Maka topik SAHD ini menarik untuk dicaritahu lebih mendalam untuk mengisi kekosongan studi yang belum banyak dibahas melalui pandangan sosiologi keluarga, khususnya di Indonesia. Lebih rinci lagi, belum ditemukan studi SAHD yang dibahas dengan melihat fleksibilitas suami istri dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran. Perubahan peran yang dialami oleh suami istri pada keluarga SAHD mendorong keingintahuan peneliti untuk mencari tahu kelenturan bernegosiasi dan kelenturan berbagi peran dalam keluarga tersebut. Lalu muncul pertanyaan, “Bagaimana fleksibilitas dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran antara suami istri pada keluarga SAHD?“. Maka penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran fleksibilitas dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran antara suami istri dimana suami sebagai SAHD.

Tinjauan Teoretis Stay-at-home-dad (SAHD) adalah seorang ayah yang masih berstatus menikah dan memiliki anak berusia di bawah 15 tahun dan sudah tidak bekerja lebih dari satu tahun, sehingga Ia bisa memberikan perhatian secara penuh untuk keluarganya selama sang istri bekerja di luar rumah (U.S. Census Bureau Current Population Survey Report, 2008). Selain itu, SAHD juga diartikan sebagai seorang laki-laki yang menjadi pengasuh utama bagi anak-anaknya. Pengasuh utama anak-anak merujuk pada dengan siapa anak-anak paling banyak menghabiskan waktunya. Hal tersebut bisa termasuk ayah yang kerja penuh waktu, paruh waktu, maupun wiraswasta (U.S. Census Bureau, 2004; dalam Scott 2011). Psikolog Anna Surti Ariani (2014) menyebutkan bahwa bapak rumah tangga/SAHD adalah bapak yang entah bekerja di rumah atau memang Ia tidak bekerja, sehingga Ia lebih banyak berada di rumah. Beberapa pekerjaan seperti menjadi seniman, wirausaha dan penulis membuat seorang laki-laki tidak harus pergi keluar rumah untuk mencari nafkah. Profesiprofesi tersebut menuntut seorang laki-laki untuk lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan menjadi seorang bapak rumah tangga. Selain itu, laki-laki menjadi bapak rumah tangga dapat disebabkan faktor lainnya seperti tidak memiliki atau belum memiliki pekerjaan (wolipop.detik.com). Dalam Latshaw (2011) juga disebutkan bahwa SAHD kebanyakan tidak yakin akan profesi yang sedang dijalaninya. Mereka memiliki pekerjaan yang tidak tetap, seperti web


designer, konsultan, kontraktor, penulis dan editor untuk blog, penulis novel atau buku anakanak, sebagai pelatih, komentator olahraga, pengasuh hewan peliharaan, fotografer, mengajar di universitas swasta, aktor, asisten penelitian, pekerja pada proyek-proyek non profit, dan usaha jasa makanan. Tidak semua SAHD yakin bahwa menjadi pengasuh utama adalah pekerjaan utamanya saat itu, di antara mereka akan menjawab pekerjaan-pekerjaan yang tidak pasti itu sebagai pekerjaan utamanya. Padahal sebagian besar waktu mereka digunakan untuk mengasuh anak. Penelitian ini akan mengacu pada definisi-definisi SAHD tersebut. SAHD adalah seorang ayah yang masih menikah dan memiliki anak berusia di bawah 15 tahun, Ia bertanggung jawab atas tugas domestik rumah tangga dan atau pengasuhan anak selama istri bekerja di luar rumah. Mereka dapat seseorang yang tidak memiliki pekerjaan, bekerja paruh waktu, bekerja dengan waktu tidak menentu, ataupun yang memiliki bisnis yang dapat dikerjakan dari rumah. Perlu ditekankan bahwa SAHD bertanggung jawab atas tugas domestik rumah tangga dan atau pengasuhan anak, artinya SAHD tidak harus melakukan tugas domestik dan mengurus anak dengan tangannya sendiri. Ia dapat menggunakan tenaga pembantu atau tetap melimpahkan tugas domestik pada istri, namun selama istri bekerja kontrol terhadap kebersihan rumah dan pengawasan anak berada di tangan SAHD. Sebelumnya telah disebutkan bahwa SAHD tak selalu seorang suami yang tidak bekerja, beberapa lainnya memiliki pekerjaan yang tidak mengharuskannya keluar rumah. Mengenai identitas pekejaan ini, Latshaw (2011) menemukan bahwa tidak semua SAHD secara terbuka mengatakan tentang statusnya sebagai seorang bapak rumah tangga. Beberapa diantara mereka memang dengan mudah mengatakan dirinya adalah SAHD, namun beberapa lainnya melakukan pembelaan dengan berbagai alasan. Memang tidak mudah mengatakannya selama masyarakat masih memandang status SAHD sebelah mata, mereka melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa dirinya cukup kompeten untuk masuk dalam dunia kerja dan akan mendapatkan pekerjaan bagus nantinya. Latshaw juga menemukan bahwa terdapat SAHD yang akan menerangkan tentang profesinya tergantung pada lawan bicaranya. Dalam kesehariannya Ia memang seorang SAHD, namun Ia melihat sisi ekonomis dan akan mengatakan dirinya adalah seorang fotografer pada seseorang yang membutuhkan fotografer. Sebagian besar SAHD merupakan SAHD jangka pendek yang masih memiliki harapan untuk memiliki pekerjaan di masa mendatang. Mereka berencana akan kembali ke dunia kerja apabila kondisi telah memungkinkan, namun sedikit dari mereka yang berencana akan sekolah lagi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Selain itu, ada pula SAHD penuh


waktu yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan hanya fokus pada anak-anaknya (Latshaw, 2011). Rochlen, Suizzo, McKelley & Scaringi (2008) mengeksplorasi kehidupan SAHD dimulai dari proses pengambilan keputusan untuk menjadi SAHD, tanggapan-tanggapan yang muncul dari orang lain, mengenai peran gender dan maskulinitas, serta cara mereka mengasuh anakanaknya. Seorang ayah yang menjadi SAHD, biasanya dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk mengasuh anak dengan tangannya sendiri, merasa lebih baik dari istri dalam mengasuh anak, istri yang bekerja, dan kehilangan pekerjaan. Rochlen, Suizzo, McKelley & Scaringi (2008) menemukan adanya respon dari lingkungan sekitar terhadap SAHD, ada yang berkomentar buruk dan ada pula yang mendukung, biasanya dari pihak keluarga. SAHD mengalami sebuah tantangan berkaitan dengan peran gender yang tak mudah dipahami oleh orang lain, sehingga mereka cenderung menginginkan anak-anak terlibat dalam sosialisasi gender yang tidak kaku. SAHD yang mengasuh anak cenderung membiarkan anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan anak, mereka ingin mendorong perkembangan anak dan membiarkan anak mengikuti keinginan tanpa rasa takut. Sebagai tambahan tinjauan teoretis berkaitan dengan konsep yang digunakan, penelitian ini mengadaptasi konsep fleksibilitas dari penelitian Fitri (2012). Fitri (2012) fokus pada fleksibilitas relasi suami istri setelah mengalami perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga. Perubahan teknologi menjadi fokus dalam peneitian, bagaimana fleksibilitas relasi suami istri setelah hadir facebook dalam keluarga (antara suami dengan istri). Dalam menganalisa temuan, peneliti menggunakan tiga unsur fleksibilitas yakni kepemimpinan; negosiasi; dan peran yang dikembangkan oleh Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008). Ditemukan bahwa perubahan/fleksibilitas pada unsur kepemimpinan tertinggi terdapat pada pasangan yang saling berteman, diikuti oleh kelompok istri saja yang menggunakan facebook dan tidak saling berteman. Pasangan yang saling beteman di facebook mengalami perubahan dalam kepemimpinan di keluarga. Sedangkan pada pasangan yang tidak saling berteman tidak mengalami perubahan sama sekali. Berbeda dengan pasangan yang istri saja sebagai pengguna facebook, sebagian dari informan mengalami perubahan dalam kepemimpinan di keluarga dan sebagian lagi tidak mengalami perubahan. Penelitian Fitri (2012) ini menjadi inspirasi bagi peneliti untuk meneliti keluarga SAHD dengan menggunakan pemikiran Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008) tentang fleksibilitas suami istri sebagai alat untuk menganalisis. Meskipun menggunakan pemikiran yang sama, penelitian peneliti akan jauh berbeda dengan penelitian Fitri (2012), karena peneliti akan


memfokuskan pada keluarga SAHD yang mengalami perubahan setelah terjadi pertukaran peran. Fleksibilitas dalam pasangan dan keluarga menurut Olson (2003) merujuk pada perubahan yang terjadi pada kepemimpinan, hubungan peran, dan aturan dalam berhubungan. Fleksibilitas memiliki empat level mulai dari rendah hingga tinggi, level tersebut diantaranya adalah rigid, structured, flexible, dan chaotic. Tipe keluarga yang ekstrim berada pada level rigid dan chaotic, dimana pada level rigid keluarga terlalu stabil dan sangat kurang mengalami perubahan. Sedangkan pada level chaotic, keluarga terlalu banyak mengalami perubahan dan sangat jarang dalam keadaan stabil. Tidak ada keseimbangan dalam tipe keluarga yang ekstrim, mereka dapat berjalan baik-baik saja dalam waktu yang singkat, namun sulit untuk beradaptasi untuk waktu yang panjang. Sebaliknya, tipe keluarga yang seimbang berada pada level structured dan flexible, dimana pada level structured keluarga memiliki stabilitas dan mengalami perubahan yang cukup seimbang. Stabilitas agak sedikit lebih banyak terjadi dibanding perubahan. Sedangkan pada level flexible, juga memiliki keseimbangan dalam hal stabilitas dan perubahan, namun perubahan agak sedikit lebih banyak terjadi. Dalam relasi yang fleksibel ini, perubahan dapat terjadi pada hubungan antara pasangan dan hubungan dengan anggota keluarga lainnya yang biasanya berubah menjadi lebih demokratis. Tipe keluarga yang seimbang ini lebih dapat beradaptasi dengan perubahan selama siklus hidup keluarga (Olson, DeFrain, dan Skogrand, 2008:87). Olson, Defrain, dan Skogrand (2008:88) menuliskan enam karakteristik dalam melihat fleksibilitas. Enam karakteristik tersebut diantaranya adalah kepemimpinan, kedisiplinan, negosiasi, peran, aturan, dan perubahan. Secara singkat digambarkan bahwa keluarga yang memiliki relasi fleksibel akan lebih sering berbagi kepemimpinan, artinya tidak selalu dipegang oleh satu pihak saja. Berkaitan dengan kepemimpinan, kedisiplinan pada keluarga yang fleksibel relatif demokratis. Negosiasi yang terjadi lebih sering berdiskusi secara terbuka, saling mengungkapkan keinginan dan dibicarakan. Sama halnya dengan kepemimpinan, peran yang ada dalam keluarga ini cenderung berbagi peran. Artinya, peran tidak ditetapkan secara kaku. Keluarga yang memiliki relasi fleksibel cenderung mengalami perubahan, begitu pula dengan aturan yang terdapat di dalamnya. Dari keenam karakteristik fleksibilitas yang dikemukakan oleh Olson, Defrain, dan Skogrand, peneliti akan menggunakan dua unsur yang cocok digunakan untuk penelitian ini. Dua unsur tersebut diantaranya adalah negosiasi dan peran. Dua unsur ini dianggap cocok karena dalam membahas relasi suami istri biasanya berkaitan dengan kedua hal tersebut. Nantinya akan dilihat bagaimana negosiasi dan peran yang ada dalam keluarga SAHD,


apakah banyak mengalami perubahan atau tidak. Kepemimpinan, kedisiplinan, aturan, dan perubahan tidak diambil karena beberapa alasan. Pertama, kepemimpinan, kedisiplinan dan aturan saling berkaitan dimana akan muncul pada pembahasan negosiasi. Akan terlihat siapa yang lebih banyak mengalah dan siapa yang lebih banyak mengambil keputusan. Kedua, aturan juga berkaitan dengan peran dimana akan terlihat aturan-aturan tidak tertulis dalam keluarga saat pembahsan tentang peran. Ketiga, perubahan akan berkaitan dengan peran mengingat keluarga SAHD adalah keluarga yang mengalami perubahan peran. Olson, Defrain, dan Skogrand hanya menggambarkan bahwa keluarga yang memiliki relasi fleksibel cenderung mengalami perubahan, sehingga karakteristik perubahan dianggap tidak perlu dibahas secara tersendiri karena ia akan menyangkut dengan peran. Fleksibilitas dalam melakukan negosiasi berlangsung dengan mengemukakan pendapat dan berdiskusi secara terbuka. Terbuka dalam menyatakan pendapat berarti mengatakan apa yang sebenarnya diinginkan tanpa menutup-nutupi. Pasangan yang bernegosiasi harus tetap fokus pada masalah agar dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Masalah akan lebih sulit terselesaikan apabila pasangan saling memberi argumentasi yang tidak fokus pada masalah yang sedang terjadi dan mengungkit masa lalu. Keluarga yang melakukan negosiasi secara terbuka akan cenderung dalam keadaaan seimbang, merujuk pada level fleksibilitas, keluarga ini akan berada pada level structured atau flexible. Mengacu pada pandangan Parsons mengenai peran tradisional dan peran kontemporer suami dan istri, penelitian ini akan fokus pada keluarga yang telah mengalami perubahan peran antara suami dengan istri, bagaimana fleksibilitas peran diantara keduanya. Fleksibilitas peran terjadi antara suami dan istri apabila tidak ada pembagian peran yang kaku, keduanya dapat bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi, hal ini serupa dengan peran kontemporer. Merujuk pada level fleksibilitas, keluarga SAHD yang dapat bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi akan berada pada level structured atau flexible. Peneliti ingin melihat apakah peran suami istri benar-benar mengalami pertukaran atau istri tetap menjalankan peran domestiknya meskipun Ia bekerja dan suami tetap memenuhi peran dasarnya sebagai pencari nafkah meskipun Ia bertanggung jawab pada ranah domestik.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang melihat fenomena sosial secara holistik. Penelitian kualitatif merupakan suatu proses untuk memahami masalah sosial dengan berpedoman pada paradigma interpretif yang mengadopsi pandangan konstruktivis dalam


melihat realitas sosial. Peneliti membuat interpretasi terhadap data dengan mengembangkan deskripsi dan analisis data untuk membuat kesimpulan terhadap makna data tersebut secara personal dan teoretis (Wolcott, 1994 dalam Creswell, 2003). Proses penelitian berlangsung dalam beberapa tahap dari bulan Agustus 2013-Mei 2014. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara mendalam pada informan yang sesuai dengan kriteria terkait topik penelitian dan observasi lapangan. Unit analisis penelitian ini adalah pasangan suami istri dengan subjek penelitian suami dan istri. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive, dimana peneliti menentukan informan yang cocok dengan topik penelitian untuk mendapatkan pemahaman secara menyeluruh tentang masalah dalam penelitian ini. Menurut Alston dan Bowles (1998:92) peneliti dapat memilih subjek yang dianggap sebagai contoh yang mewakili masalah yang akan diteliti. Teknik purposive ini ditujukan pada informan utama peneliti, yaitu pasangan suami istri. Informan suami adalah mereka yang berperan sebagai SAHD dan informan istri diutamakan istri yang bekerja. Adapun kriteria SAHD yang peneliti butuhkan adalah seorang ayah yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk bertanggung jawab pada tugas domestik rumah tangga dan atau mengurus anak-anaknya. Termasuk ayah yang hanya melakukan tugas domestik saja, namun tidak mengurus anak dan ayah yang mengurus anak saja, namun tidak melakukan pekerjaan domestik atau bisa juga ayah yang secara langsung mengurus keduanya. Mengacu pada Biro Sensus Amerika pada Laporan Survei Populasi di tahun 2008, SAHD minimal berpengalaman selama satu tahun berada di rumah. Selama minimal satu tahun SAHD dianggap telah beradaptasi dan berproses untuk menerima perannya. Mengacu pada penelitian Latshaw (2011) dan Psikolog Anna Surti Ariani (2014), SAHD bisa saja seorang ayah yang tidak bekerja sama sekali, memiliki pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan yang tidak menentu, akan tetapi peneliti tidak mencari ayah yang tidak bekerja karena memang harus pensiun. Peneliti mencari ayah yang dengan sukarela mau mengurus pekerjaan domestik dan atau mengurus anak-anak, bukan yang terpaksa karena keadaan telah pensiun. Sedangkan informan istri yang peneliti cari diutamakan ibu yang bekerja, namun dapat pula yang memiliki pengalaman kerja dalam waktu yang lama meskipun saat ini Ia sudah tidak lagi bekerja. Dalam penelitian ini peneliti memilih tiga pasangan suami istri dari keluarga SAHD. Peneliti membuat sebutan khusus untuk informan untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan ini. Sebutan khusus yang peneliti buat adalah ‘H’ untuk husband dan ‘W’ untuk wife, sedangkan angka-angka yang terdapat setelah huruf ‘H’ maupun ‘W’ mewakili


nomor pasangan. Misalnya untuk pasangan 1, sebutan bagi informan suami adalah H1 dan untuk istri adalah W1. Begitu seterusnya untuk pasangan 2 dan pasangan 3. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dengan mewawancarai tiga orang informan SAHD beserta istrinya, berikut karkteristik informan yang peneliti olah dalam sebuah tabel dari data temuan lapangan. Tabel 1. Karakteristik Informan Keterangan Cara mendapatkan informan

Tugas domestik

Pengasuhan anak

Status pekerjaan

Penyebab menjadi SAHD

Lamanya menjadi SAHD Latar belakang pendidikan Status pekerjaan

H1 Info mengenai informan diperoleh dari saudara peneliti, Ia merupakan bawahan sauudara peneliti Informan bertanggung jawab pada tugas domestik baik saat istri masih bekrja maupun setelah istri di PHK dan secara langsung banyak melakukannya Informan bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan secara langsung banyak melakukannya Pekerjaan tidak menentu sebagai tenaga bantu pada rumah tangga dan dekorator acara pernikahan Keputusan menjadi SAHD dilakukan saat istri masih bekerja, ingin turut serta mengurus anak. Merasa lebih baik dalam mengurus anak

H2 Info mengenai informan diperoleh dari teman ibu peneliti, Ia merupakan adik ipar dari teman ibu peneliti Informan bertanggung jawab pada tugas domestik saat istri bekerja dan secara langsung banyak melakukannya

H3 Info mengenai informan diperoleh dari saudara peneliti, Ia merupakan kerabat dari saudara peneliti

Informan bertanggung jawab atas pengasuhan anak saat istri bekerja dan secara langsung banyak melakukannya Tidak memiliki pekerjaan

Informan bertanggung jawab atas pengasuhan anak saat istri bekerja dan secara langsung turut melakukannya Wiraswasta sebagai pedagang toko pakaian di sebuah pasar

Sebab istri bekerja, kondisi anak yang sakit-sakitan karena diurus orang lain, karir istri yang lebih baik

Informan bertanggung jawab pada tugas domestik saat istri bekerja, namun tidak melakukannya

24 tahun

6 tahun

Sebab istri bekerja, informan memiliki waktu kerja yang longgar, sulit mendapat pembantu penuh waktu yang dapat dipercaya untuk menjaga anak 2 tahun

Tidak tamat SD

SMP

S1

W1 W2 Tidak bekerja (namun Bekerja sebagai guru memiliki pengalaman selama 11 tahun bekerja selama 17 tahun) Sumber: Olahan Peneliti

W3 Bekerja sebagai karyawan swasta selama 20 tahun


Kini keluarga kontemporer lebih bervariasi, ada keluarga tiri, keluarga dengan orangtua sama jenis, pasangan sesama jenis, pasangan tanpa anak, kakek-nenek yang mengasuh cucu, orangtua pengganti, keluarga asuh atau keluarga angkat, keluarga dengan orangtua dan anak yang difabel dan berbagai bentuk keluarga lainnya (Halpern, 2005; dalam Olson, DeFrain dan Skogrand, 2008:10). Penelitian ini menggambarkan karakteristik SAHD dengan mengadaptasi aspek-aspek karakteristik dari penelitian Rochlen, Suizzo, McKelley dan Scaringi (2008), yaitu aspek alasan informan menjadi SAHD, aspek proses pengambilan keputusan untuk menjadi SAHD, aspek reaksi emosional yang dialami SAHD, aspek komentar orang lain tentang status SAHD, dan aspek gaya pengasuhan informan serta harapan terhadap anak. Ketiga informan memiliki alasan yang hampir sama, diantaranya karena istri bekerja, karir istri lebih baik, ingin anak diurus oleh orang tuanya sendiri, dan ingin turut serta mengurus anak. Akan tetapi ada beberapa alasan yang tidak sama antar informan, salah satunya ada yang beralasan merasa lebih baik dalam mengurus anak dibanding istri, kondisi anak yang sakit-sakitan karena diurus oleh orang lain, dan sulit mendapatkan pembantu yang dapat dipercaya. Keputusan untuk menjadi SAHD tentu diambil setelah mengalami proses, dua dari tiga informan mengambil keputusan ini setelah membicarakannya terlebih dahulul dengan istri. Mendapati anak yang tidak nyaman bila diasuh oleh pembantu akhirnya membuat informan inisiatif untuk mengalah meninggalkan pekerjaan demi mengasuh anak. Keputusan untuk meninggalkan pekerjaan dan menjadi SAHD diambil sebab karir istri yang lebih baik. Informan yang lain menyebutkan bahwa keputusan untuk menjadi SAHD berkembang secara bertahap setelah mengalami mengasuh anak hingga Ia merasa lebih baik dalam mengurus anak dibanding istri. Secara emosional, dua dari tiga informan merasa senang dan dapat menikmati perannya sebagai SAHD. Ia dapat menjadi lebih dekat dengan anak dan memiliki banyak waktu untuk bersama anak. Satu informan lainnya terkadang merasa kerepotan dalam mengasuh anak, namun dapat mengatasinya sendiri tanpa mengganggu istri di kantor. Para informan juga tidak peduli dengan komentar negatif yang timbul dari orang-orang di sekitar mereka. Kemudian, dilihat gaya pengasuhannya, para SAHD ini cenderung mengutamakan keinginan anak dan membebaskan anak untuk memilih apa yang mereka sukai. Salah satu dari tiga informan juga melakukan pembatasan dengan tidak selalu menuruti keinginan anak, seperti tidak menuruti keinginan anak untuk membeli mainan yang sudah dimiliki sebelumnya. Lalu terkait negosiasi, berikut temuan data peneliti sajikan dalam sebuah matriks. Temuan tentang negosiasi ini akan berkaitan dengan hal-hal yang dimusyawarahkan,


keinginan-keinginan yang dimiliki suami istri, cara mengatasi perbedaan pendapat dan siapa yang melakukan pengambilan keputusan setelah berdiskusi. Kategori hal yang dinegosiasikan ditentukan berdasarkan data temuan lapangan, yakni pada aspek pengasuhan anak dan aspek ekonomi. Tabel 2. Temuan Data Terkait Negosiasi Keterangan Hal yang dinegosiasikan

Mengutarakan keinginan

Cara menghadapi perbedaan pendapat

Pendapat yang lebih sering didengar Yang banyak mengambil keputusan

Pasangan 1 H1 & W1 Pengasuhan anak: - Negosiasi siapa yang akan mengasuh anak terakhir mereka - Negosiasi pendidikan anak - Negosiasi perilaku anak dan masalah yang dihadapi anak Masalah ekonomi - Negosiasi istri ingin bekerja - Negosiasi penjualan tanah yang dimiliki - Negosiasi pinjammeminjam uang saat mereka menghadapi masalah keuangan

Pasangan 2 H2 & W2 Pengasuhan anak - Negosiasi pendidikan anak

Pasangan 3 H3 & W3 Pengasuhan anak - Negosiasi pendidikan anak - Negosiasi kesehatan anak

Masalah ekonomi - Negosiasi melepas pekerjaan saat dihadapkan pada masalah anak - Selebihnya negosiasi penggunaan uang kurang terlihat karena istri satusatunya pencari nafkah dan istri mengelola uangnya sendiri Keduanya jarang Keduanya saling mengutarakan mengutarakan keinginan dengan keinginan terkait spontan keluarga dan mendiskusikannya W1 berusaha Salah satu harus menguatkan pendapat mengalah, H2 yang dengan memberi lebih sering mengalah penjelasan hingga H1 mengerti dan menerima Istri Istri

Masalah ekonomi - Negosiasi membeli mobil - Selebihnya kurang terlihat negosiasi dalam membeli barang-barang kecil/kebutuhan pribadi/kebutuhan rumah karena mereka berdua memiliki mengelola uang masing-masing. Keduanya saling mengutarakan keinginan terkait keluarga dan mendiskusikannya

Bersama

Istri

Istri

Salah satu harus mengalah dengan cara membiarkan

Istri

Sumber: Olahan Peneliti

Terkait dengan konsep peran yang peneliti gunakan, peneliti juga menyajikan sebuah tabel yang berisi kegiatan-kegiatan suami istri di dalam rumah tangga. Kegiatan-kegiatan


tersebut ditentukan berdasarkan pengamatan apa-apa saja yang berkaitan dengan tugas domestik dan apa-apa saja yang berkaitan dengan tugas pencari nafkah atau tugas publik. Kegiatan domestik berkenaan dengan kebersihan rumah, pengaturan menu makan, dan pengasuhan anak. Sedangkan yang kegiatan publik yang berkenaan dengan hal ekonomi, siapa yang harus mengeluarkan uang atau membiayai sesuatu. Tabel 3. Pembagian Tugas Suami Istri Kegiatan yang dilakukan Kegiatan domestik sehari-hari Menyapu lantai Mengepel lantai Berbelanja untuk memasak Memasak Mencuci piring Mencuci pakaian Menjemur pakaian Menyetrika pakaian Pengasuhan anak Menjemput dan mengantar anak sekolah Memandikan anak Membuatkan susu anak Membantu anak belajar Rekreasi Yang bertanggung jawab dengan masalah yang dihadapi anak Yang paling dekat dengan anak Pengaturan Keuangan Belanja untuk makan seharihari Belanja keperluan rumah Membayar listrik Membayar telepon Membayar air Membayar tv kabel Pendidikan anak Membeli mainan anak Biaya kesehatan Keperluan rekreasi Cicilan mobil

Pasangan 1 (H1 & W1)

Pihak yang Berperan Pasangan 2 (H2 & W2)

Pasangan 3 (H3 & W3)

Suami Suami Suami Suami Suami Suami Suami Suami

Suami Suami Suami Suami Bersama Suami Suami Bersama

Istri Istri Istri Istri Istri Istri Istri Pembantu

Suami

Suami

Suami

Suami Suami Istri Suami

Suami Suami Istri Bersama -

Istri Istri Istri Bersama Bersama

Bersama

Suami

Bersama

Suami

Istri

Suami

Istri Istri Istri Istri Istri Istri -

Suami Suami Suami Suami Istri Bersama Istri Bersama Bersama

Suami Suami Suami Bersama Suami Istri Sumber: Olahan Peneliti

Pembahasan Pembahasan mengenai fleksibilitas dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran yang dialami tiga pasangan suami istri dapat dilihat dengan level fleksibilitas yang dikemukakan oleh Olson, DeFrain, Skogrand (2008). Dalam melakukan negosiasi, pasangan 1 lebih flexible


dan cenderung structured pada pembagian peran. Kebalikan dari pasangan 1, dalam melakukan negosiasi pasangan 2 cenderung structured dan lebih flexible saat pembagian peran. Sedangkan pasangan 3 berada pada level flexible baik saat melakukan negosiasi maupun pembagian peran. Secara ringkas kesimpulan dari pembahasan ini disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4. Fleksibilitas Negosiasi dan Peran Antara Suami Istri Unsur Fleksibilitas Negosiasi Peran

Pasangan 1 Pasangan 2 (H1 & W1) (H2 & W2) Structured Structured Structured Flexible Sumber: Olahan Peneliti

Pasangan 3 (H3 & W3) Flexible Flexible

Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua mengenai level fleksibilitas. Pada bagian ini disimpulkan bahwa ketiga pasangan berada pada level structured dan flexible. Pada level structured keluarga memiliki stabilitas dan mengalami perubahan yang cukup seimbang. Stabilitas agak sedikit lebih banyak terjadi dibanding perubahan. Sedangkan pada level flexible, juga memiliki keseimbangan dalam hal stabilitas dan perubahan, namun perubahan agak sedikit lebih banyak terjadi. Keluarga yang berada pada kedua level ini cenderung berada pada kondisi seimbang. Jika dikaitkan dengan negosiasi dan pembagian peran, keluarga yang melakukan negosiasi secara terbuka akan cenderung dalam keadaaan seimbang. Sedangkan keluarga yang melakukan pembagian peran secara cair seperti pandangan kontemporer tentang peran juga cenderung dalam keadaan seimbang. Merujuk pada level fleksibilitas, keluarga ini akan berada pada level structured atau flexible. Negosiasi pada pasangan 1 dan 2 dapat dikatakan berada pada level structured. Pasangan 1 jarang mengungkapkan keinginan secara terbuka, sehingga hal ini menunjukkan bahwa negosiasi diantara pasangan 1 cenderung lebih banyak stabil dibanding perubahannya. Pasangan 1 tetap berada pada level yang seimbang, sebab meskipun jarang mengungkapkan keinginan secara spontan, keduanya masih melakukan negosiasi pada beberapa aspek seperti pengasuhan anak dan hal ekonomi. Lalu pada pasangan 2, keduanya memang saling mengutarakan keinginan masingmasing, namun diskusi justru jarang terjadi. Setelah mengutarakan keinginan masing-masing, H2 justru lebih sering mengatakan ‘terserah’ pada W2. Bahkan, pada masalah ekonomi kurang terlihat adanya negosiasi, sebab W2 sebagai pencari nafkah dominan dalam mengatur keluar masuknya uang. H2 yang hanya seorang bapak rumah tangga tidak berpenghasilan,


lebih sering hanya menerima keputusan W2. Contohnya untuk pembayaran tagihan listrik, W2 melakukannya sendiri tanpa bernegosiasi. W2 juga yang mengatur pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, H2 hanya bertugas belanja ke warung dan memasak. Hal ini yang kemudian membuat peneliti mengidentifikasi proses negosiasi pasangan 2 berada pada level structured, dimana stabilitas diantara keduanya lebih sering dibanding perubahan. Pasangan 2 tetap berada pada kondisi seimbang, sebab keduanya masih mengutarakan keinginan masingmasing. Sedangkan pasangan 3 dapat dikatakan berada pada level flexible, sebab keduanya cukup sering melakukan negosiasi atau mendiskusikan suatu masalah yang sedang dihadapi untuk menemukan solusi. Hal-hal yang biasa dinegosiasikan oleh pasangan 3 ini berkaitan dengan masalah seputar anak dan seputar masalah ekonomi, terlebih mereka juga berdiskusi saat akan membeli barang mewah. Contohnya saat mereka ingin membeli mobil, hal ini berkaitan dengan negosiasi pada aspek ekonomi. Kemudian kurang terlihat adanya negosiasi dalam hal pekerjaan domestik pada tiga pasangan tersebut. Pasangan H1 dan W1 secara otomatis bergantian saling mengisi peran dalm tugas domestik sesuai dengan situasi dan kondisi tanpa membicarakannya terlebih dahulu. Juga pada pasangan H2 dan W2, dengan mengambil keputusan untuk berhenti berdagang secara otomatis tanggung jawab tugas domestik ada pada H2. Sedikit berbeda pada pasangan H3 dan W3, H3 menganggap bahwa pekerjaan domestik adalah tugas istri, sehingga W3 yang melakukan pekerjaan domestik tanpa ada negosiasi. Secara keseluruhan, fleksibilitas suami istri dalam negosiasi pada ketiga pasangan tersebut mencerminkan bahwa mereka memiliki keluarga dengan tipe seimbang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008) bahwa fleksibilitas pada level structured dan flexible akan mampu beradaptasi pada perubahan-perubahan dan relasi dalam keluarga akan seimbang. Fleksibilitas pembagian peran suami istri pada pasangan 1 cenderung structured. Pada level ini stabilitas dan perubahan peran sama-sama terjadi, namun stabilitasnya lebih banyak terjadi dibandingkan perubahan-perubahan (Olson, DeFrain, dan Skogrand, 2008). Peranperan H1 dalam rumah tangga lebih sering tetap, maksudnya tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi sesekali saat W1 menganggur selama satu tahun dan saat H1 kelelahan atau sedang ada pekerjaan dekorasi pernikahan. Menurut H1, W1 sangat jarang membantunya melakukan pekerjaan domestik maupun mengurus anak-anak. Hal ini dibenarkan oleh W1, Ia mengaku bahwa dirinya jarang membantu H1. Meskipun banyak


kondisi yang sebenarnya dapat mendorong W1 untuk mengerjakan pekerjaan domestik, W1 tetap tidak melakukannya jika tidak dalam kondisi yang benar-benar mendesak. Contohnya seperti saat ini, Ia sudah tidak lagi bekerja di pabrik, namun H1 tetap lebih dominan dalam melakukan pekerjaan domestik. Sehingga dapat dilihat bahwa perubahan peran lebih sedikit terjadi dibanding kestabilan peran yang dilakukan H1 dan W1, dengan demikian level fleksibilitas pasangan 1 termasuk pada level structured. Sedangkan pasangan

2 dan pasangan 3 peran yang dilakukan suami dan istri

cenderung flexible. Menurut Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008), pada level flexible perubahan peran lebih banyak dialami daripada kestabilan peran. Dua pasangan ini memiliki peran yang cukup stabil namun berubah-ubah secara intens. Pada pasangan 2, peran yang seringkali berubah adalah peran tugas domestik dan pengasuhan anak. Informan W2 menyatakan bahwa perihal membereskan rumah akan dilakukan oleh siapapun yang sempat melakukannya baik suami maupun istri, namun tetap lebih banyak dilakukan informan H2. Peran pengasuhan anak sering berganti-ganti, saat siang hari anak-anak akan dirawat oleh H2 dan malam hari anak-anak akan menghabiskan waktu bersama W2, biasanya belajar dan bersendagurau. Lalu pada pasangan 3, peran yang kerap kali berubah-ubah adalah peran pengasuhan anak. Mirip dengan pasangan 2, saat W3 bekerja di siang hari anak-anak berada dalam tanggung jawab H3. Kemudian saat pagi dan malam hari, saat W3 belum berangkat ke kantor, Ia akan mengambil peran pengasuhan anak. Juga terjadi di akhir pekan, W3 yang akan menjemput anak ke dua dari Bimba. Saling melengkapi, siapa yang memiliki waktu akan mengambil peran pengasuhan tersebut. Oleh karena itu, peran-peran dalam pasangan 1 dan pasangan 2 sangat flexible. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga keluarga SAHD cukup flexible dalam hal pembagian peran domestik maupun peran pengasuhan anak. Ketiga pasangan termasuk dalam tipe keluarga seimbang yang menurut Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008) keluarga ini mudah untuk beradaptasi dengan perubahan selama siklus hidup keluarga.

Kesimpulan Berdasarkan deskripsi dan gambaran hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pasangan suami istri dalam keluarga SAHD cenderung fleksibel dalam melakukan negosiasi dan pembagian peran. Sangat berbeda dengan keluarga tradisional yang cenderung kaku. Hasil temuan menunjukkan ke tiga pasangan berada pada level structured dan flexible, dimana kedua level tersebut mengindikasikan keluarga berada pada kondisi seimbang.


Pasangan 1 dan pasangan 2 cenderung structured dibanding dengan pasangan 3 yang lebih flexible dalam melakukan negosiasi. Sedangkan pada hal pembagian peran, pasangan 2 dan pasangan 3 lebih flexible daripada pasangan 1, sebab istri dari pasangan 1 kurang dapat berganti peran sesuai dengan kondisi. Contohnya saat ini W1 tidak bekerja lagi, namun tugas domestik serta pengasuhan anak tetap banyak dilakukan oleh suaminya. Akan tetapi perubahan tetap ada, seperti saat H1 sedang ada pekerjaan di luar rumah maka W1 turut membersihkan rumah. Berbeda dengan SAHD di negara barat yang umumnya merupakan fully SAHD, SAHD di Indonesia merupakan partly SAHD, dimana para SAHD tidak sepenuhnya berada di rumah. Diantara mereka ada yang memiliki pekerjaan paruh waktu ataupun pekerjaan yang tidak menentu. Pada konteks Indonesia, belum ada komitmen dari SAHD untuk bertanggung jawab secara menyeluruh pada tugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Para istri dari keluarga SAHD, tetap turut serta dalam pengasuhan anak di rumah saat mereka kembali dari kantor. Artinya, peran tradisional diantara suami dan istri belum sepenuhnya berubah. Suami SAHDpun masih ingin bekerja di waktu mendatang jika kondisi telah memungkinkan. SAHD merupakan bentuk keluarga baru yang modern, hal tersebut ditandai oleh adanya perubahan-perubahan dalam keluarga. Didukung oleh pernyataan Zinn dan Eitzen (1990:44) bahwa perubahan dalam anggota rumah tangga merupakan tanda bagi keluarga modern. Menurut Frank (dalam Tucker, 2005) bentuk keluarga seperti ini turut berkontribusi dalam merubah pola dalam masyarakat dengan peran tradisional. Struktur keluarga baru muncul, dimana ayah yang berada di rumah memberi pengaruh kuat namun tetap perhatian dan seorang ibu yang terus melakukan peran pentingnya dalam perkembangan anak. Ibu yang terus menunjukkan kemampuan dalam pengasuhan anak dan memiliki pengalaman baru terkait dengan bekerja di luar rumah.

Saran Penelitian selanjutnya dapat mengkaji bentuk keluarga SAHD lebih dalam lagi dengan berbagai konsep dan teori sosiologi yang belum digunakan, sehingga dapat lebih mengetahui tentang relasi suami istri pada keluarga SAHD dalam sudut pandang yang berbeda. Topik ini mungkin menarik dibahas dengan fokus pada hubungan orangtua anak untuk melihat pola asuh ayah atau dapat pula dibandingkan dengan pola asuh ibu. Penelitian selanjutnya sebaiknya memasukkan konteks waktu dan aspek status sosial ekonomi untuk memperkaya


temuan. Peneliti juga menuliskan beberapa saran untuk pasangan suami istri dengan suami sebagai SAHD. Untuk suami dan istri 1. Bagi pasangan yang belum menikah hendaknya membuat perjanjian pranikah terkait dengan tugas mencari nafkah, tugas domestik dan pengasuhan anak. 2. Bagi pasangan dengan SAHD, sebaiknya membuat pembagian tugas yang adil antara suami dan istri untuk menghindari perselihan yang berkepanjangan dan untuk menghindari perceraian. 3. Menyeimbangkan pola asuh anak agar anak dapat dekat dengan kedua orangtuanya. Untuk istri 1. Sebaiknya melihat suami SAHD sebagai partner, bukan sebagai beban. Dengan ini maka akan terasa bahwa antara suami dan istri saling mengisi kekurangan masing-masing. 2. Lihat dari sudut pandang yang positif bahwa suami adalah orang yang paling baik untuk mengurus anak dibanding pembantu atau orang lain. 3. Lebih menerima peran suami dan menghargai suami dengan cara mendukung perannya saat ini. Untuk suami 1. Bergaul dengan sesama SAHD untuk mendapat dukungan, berbagi pengalaman dan meminta pendapat. 2. Lebih percaya diri, tunjukkan pada masyarakat bahwa SAHD adalah peran yang membanggakan. Hal ini juga bertujuan untuk menimbulkan rasa nyaman. 3. Lebih terbuka pada orang lain, misalnya dengan bercerita keseharian bersama anak. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan pikiran dan komentar negatif dari masyarakat.


Daftar Referensi Buku: Alston, Margareth dan Wendy Bowles. (1998). Research for Social Workers: an Itntroduction to Methods. Sydney: Allen & Unwin Ltd. Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 2nd ed. Thousand Oaks, California: Sage Publications. Goode, William J. (1991). The Family. (Terj. Lailahanoum Hasyim). Jakarta: PT.Bina Aksara. Olson, David H., John DeFrain, dan Linda Skogrand. (2008). Marriage and Families Intimacy, Diversity, and Strengths, 6th ed. New York: McGraw-Hill Book Company. Silalahi, Karlinawati, dan Eko Meinarno. (peny.). (2010). Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Zinn, Maxine Baca, dan D. Stanley Eitzen. (1990). Diversity in Families, 2nd ed. New York: Harper Collins Publishers, Inc. Jurnal: Fischer, Jessica dan Veanne N. Anderson. (2012). Gender Role Attitudes and Characteristics of Stay at Home and Employed Fathers. Psychology of Men & Masculinity Vol. 13, No. 1, 16-31. Latsaw, Beth A. (2011). Is Fatherhood a Full-Time Job? Mixed Methods Insights into Measuring Stay at Home Dadhood. Fathering, Vol. 9, No. 2, 125-149. Rochlen, Aaron B., dkk. (2008). I’m Just Providing for My Family: A Qualitative Study of Stay-at-Home Fathers. Psychology of Men & Masculinity Vol. 9, No. 4, 193-206. Tucker, Patrick. (2005). Stay-at-Home Dads: at-Home Dads Can Benefit Children and Mothers. The Futurist; 39, 5; ProQuest, 12-13. Skripsi, Tesis, dan Disertasi: Fitri, Atiyah. (2012). Fleksibilitas Relasi Suami Istri: Studi Pada Suami Istri Penggunan Facebook. Tesis Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP UI. Scott, Joy M. (2011). Stay at Home Dads: Symptom of Recession or Sustainable Trend?. Doctor of Philosophy Washington State University.


Internet: Damayanti, Dina (Mei, 2012). “Jumlah Ayah Rumah Tangga Makin Banyak”. Diakses dari http://www.shnews.co/detile-1235-jumlah-ayah-rumah-tangga-makin-banyak.html pada 20 Agustus 2013 pukul 14.30 WIB. Majalah Femina (Mar, 2013). “Kehidupan Ayah Rumah Tangga: Penuh Dinamika”. Diakses dari http://www.femina.co.id/isu.wanita/topik.hangat/kehidupan.ayah.rumah.tangga.penuh .dinamika/005/007/243 pada 20 Agustus 2013 pukul 11.20 WIB. Tompkin, Julian (Jul, 2013). “Tren Bapak Rumah Tangga di Berlin”. Diakses dari http://www.dw.de/tren-bapak-rumah-tangga-di-berlin/a-16759574 pada 20 Agustus 2013 pukul 19.50 WIB. Yulistara, Arina (Apr, 2014). “Ini Pendapat Pria Soal ‘Profesi’ Bapak Rumah Tangga”. Diakses dari http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/104103/2565332/857/1/inipendapat-pria-soal-profesi-bapak-rumah-tangga pada 7 Mei 2014 pukul 16.25 WIB.


Fleksibilitas Negosiasi dan Pembagian Peran Antara Suami Istri pada Keluarga Stay-at-Home Dad (SAHD)

Recommend Documents