ESTIMASI MANFAAT PENGURANGAN EMISI CO2 PADA RESTORASI RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DENGAN CANAL BLOCKING (STUDI KASUS : RESTORASI RAWA GAMBUT SEI AHAS KALTENG) Estimating The Benefit of CO2 Emissions Reduction in Restoration of Degraded Peat Swamp With Canal Blocking (Case Study Peat Swamp in Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung1 Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl.Patimura No.20 Gedung Heritage lt.3 Jakarta Selatan E-mail:
[email protected]
1
Tanggal diterima: 31 Juli 2015 , Tanggal disetujui: 28 Oktober 2015
ABSTRACT Indonesia memiliki luas lahan gambut tropika terbesar di dunia (21 juta ha). 1,95 juta ha lahan gambut ini sudah terdegradasi yang menyumbangkan lebih dari 50% emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sebagian besar penyebab degradasi lahan gambut ini adalah drainase berlebihan untuk pengusahaan lahan pertanian. Rawa gambut terdegradasi dirubah menjadi sumber emisi karbon dari penyimpan karbon. Untuk mengurangi emisi karbon ini digunakan teknologi canal blocking. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan manfaat pengurangan emisi karbon, besarnya manfaat dan margin keuntungan jika dibandingkan dengan skema REDD dan dari harga acuan pasar karbon dunia. Penelitian ini berlokasi pada Sei Ahas Provinsi Kalimantan Tengah. Data dikumpulkan melalui survey, wawancara dan studi literatur. Analisis manfaat pengurangan emisi menggunakan metode stock difference yang dikombinasikan dengan metode Net Present Value. Hasil analisis menunjukkan manfaat karbon sebesar 693,85 tCO2-e/ha atau 1.178,2 US $/ha, dan manfaat non karbon 5.893,57 US $/ha/tahun. Tidaka ada margin keuntungan pengurangan emisi menggunakan canal blocking jika dibandingkan dengan skema pengurangan emisi REDD menggunakan tanaman Acacia crassicarpa maupun tanaman karet (Hevea brasilliensis), tetapi mengacu pada harga karbon dunia, margin keuntungan cukup berarti yaitu 2,70 US $/ tCO2-e (61,36%). Keywords: manfaat, pengurangan emisi karbon, restorasi, rawa gambut terdegradasi, canal blocking
ABSTRAK Indonesia has the largest tropical peatland in the world (21 million hectares). 1.95 million hectares of peatland has been degraded and contributes to more than 50% of carbon emissions in Indonesia. Most of degraded peatlands caused by excessive drainage is for cultivation of agricultural. Degraded peat land changed into the source of carbon emissions from carbon pool. To reduce the carbon emissions is used the canal blocking technology. The purpose of this study was to prove the of carbon reduction emissions, the ammount of the benefits and profit margin when compared to the REDD scheme and from the global carbon market prices. This research is located in Sei Ahas in Central Kalimantan Province. Data were collected through surveys, interviews and literature riviews. Emissions reduction benefit analyzed with using stock difference method combined with Net Present Value method. The analysis showed the carbon benefit was 693,85 tCO2-e / ha or 1.178, 2 US $/ha and non-carbon benefit 5.893,57 US $/ha/year. There is no margin gain if reduction emission with canal blocking compared to REDD scheme using Hevea brasiliensis and Acacia Crassicarpa plantatio, but refering to standar global carbon prices, the margin gain is significant enough with 2.70 US $/tCO2-e (61,36%). Kata kunci : benefit, emission carbon reduction, restoration, degraded peat swamp, canal blocking
193
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
PENDAHULUAN Degradasi Rawa Gambut di Indonesia Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri tanpa bantuan dari luar, dan 41% jika mendapat bantuan luar pada tahun 2030 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Untuk mencapai tujuan ini, berbagai skenario pengurangan emisi karbon dilakukan. Salah satu dari skenario ini adalah melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) termasuk hutan rawa gambut. Skenario REDD di Indonesia dikembangkan untuk pembangunan ekonomi berwawasan ekonomi hijau. Hutan rawa gambut adalah hutan terbesar penyumbangkan emisi karbon. Indonesia adalah suatu negara yang memiliki luas lahan gambut tropika terbesar di dunia, yaitu 21 juta ha (34%) dari luas lahan gambut dunia. Lahan gambut ini menyebar di Pulau Sumatera (7,2 juta ha), Kalimantan (5,8 juta ha), dan Papua (8,0 juta ha) (Bappenas 2009). Lebih dari 55 % luas lahan gambut ini masih tertutup hutan, tetapi luas tutupan ini berkurang dengan cepat antara 12% sampai 15% tahun 2000-2006 (Bappenas 2009). Penyebab utama pengurangan hutan rawa gambut ini adalah pembukaan hutan dan drainase untuk pengusahaan lahan pertanian.
Menurut Bappenas (2009) ada seperempat bagian lahan gambut yang ada di Indonesia dilindungi dan dikonservasi. Sekitar 3,3 juta ha tetap terjaga hutannya, namun 1,95 juta ha lagi sudah mengalami degradasi. Hutan gambut yang terdegradasi ini menyumbangkan lebih dari 50% emisi gas rumah kaca di Indonesia. Khususnya degradasi rawa gambut di Pulau Kalimantan, disebabkan pembukaan rawa gambut 1 juta ha untuk memenuhi kebutuhan pangan yang dilakukan dengan cara membuat kanal-kanal drainase sepanjang 4500 km dengan lebar 30 m sehingga terjadi over drainase. Over drainase ini berdampak pada kerusakan rawa gambut (Jaenicke et. al 2010). Menurut Clement et al. (2015), hampir seluruh rawa gambut yang dikonversi dan dieksploitasi dimulai dari drainase yang berlebihan sehingga mempengaruhi fungsi hidrologis rawa gambut yang pada gilirannya akan mengeringkan rawa gambut. Rawa gambut yang terdegradasi ini praktis tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat dan bahkan menjadi sumber bencana kebakaran. Kalaupun dapat diusahakan akan beresiko tinggi dan tidak mendapat keuntungan. Menurut Agus et.al (2009), rawa gambut tetap dapat diusahakan untuk lahan pertanian walaupun
194
secara terbatas. Pengusahaan lahan pertanian ini terutama dimaksudkan untuk komoditas pertanian yang mempunyai toleransi tinggi terhadap muka air gambut seperti hevea brasiliensis (Hevea braziliensis), padi sawah dan sagu. Wibowo (2009) menyebutkan tanah gambut tergolong tanah marginal dan rentan terhadap gangguan. Usaha peningkatan produktivitas lahan harus diikuti dengan usaha mencegah kerusakan ekosistem rawa gambut. Rawa gambut , secara ekonomi, merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian penduduk. Disamping itu, rawa gambut juga mempunyai berbagai fungsi lainnya seperti : pengatur tata air, tempat hidup keanekaragaman hayati, tempat rekreasi dan sebagai tempat penyimpan karbon terbesar.
Rawa gambut yang terdegradasi ini jika tidak segera direstorasi, akan sangat merugikan baik dari dampak terhadap lingkungan terutama emisi karbon, dari kehilangan kesempatan pengusahaan lahan pertanian secara terbatas oleh penduduk, seperti tanaman Hevea braziliensis, dan dari kayu hasil hutan. Salah satu cara untuk memfungsikan kembali rawa gambut yang terdegradasi ini adalah dengan melakukan upaya restorasi. Upaya yang banyak dilakukan di Indonesia adalah dengan membangun konstruksi - konstruksi bangunan canal blocking. Canal blocking ini berfungsi untuk menaikkan muka air sehingga kondisi hidrologi gambut berubah menjadi seperti semula yang menyebabkan terjadinya revegetasi hutan, maupun pengusahaan lahan secara terbatas. Manfaat Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi
Rawa gambut merupakan suatu sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi. Salah satu fungsi penting rawa gambut ini adalah sebagai tempat penyimpanan stock karbon terbesar (Parry, 2014; Page et. al 2011; Ritzema et. al 2014; Worrall et. al 2010 ; Jainicke et al 2010 ; Bullock et al 2012). Fungsi lainnya adalah sebagai penyedia layanan ekosistem yaitu tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati; mengatur tata air; tempat pemandangan ; rekreasi; sebagai sumber mata pencaharian penduduk; dan sebagai tempat penghasil kayu (Parry et al. 2014). Rawa gambut yang terdegradasi adalah rawa gambut yang telah mengalami kerusakan atau kehancuran ekosistemnya sehingga tidak lagi dapat menjalankan sebagian atau seluruh fungsi-fungsinya. Rawa gambut memiliki sumber daya alam dan lingkungan yang mempunyai berbagai manfaat. Nilai manfaat ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu nilai manfaat langsung maupun nilai
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung
manfaat tidak langsung (Wijaya dan Wiryawan, 2013). Nilai manfaat langsung yaitu, yang terkait dengan komoditas pertanian seperti : karet (Hevea braziliensis), kayu, rotan, padi, buah-buahan maupun ikan. Manfaat tidak langsung sebagai pengatur tata air, penyimpanan karbon dan sebagai sumber keanekaragaman hayati. Moxey at al. (2014) membagi manfaat rawa gambut menjadi dua yaitu: manfaat karbon dan non karbon.
memberikan manfaat bagi Indonesia sebagai negara yang telah melaksanakan pengurangan emisi.
Penelitian ini berfokus pada manfaat yang cukup signifikan bagi Indonesia yaitu manfaat karbon yaitu pengurangan emisi dan manfaat non karbon yaitu bagi keberlanjutan pengusahan pertanian seperti hevea brasiliensis masyarakat.
Telah banyak penelitian dilakukan untuk mengukur pengurangan emisi karbon dengan skema REDD. Rahmat (2010) menemukan biaya pengurangan emisi melalui revegetasi rawa gambut terdegradasi dengan tanaman Acacia Crassicarpa adalah 1,61US $ /tCO2-e. Studi pengurangan emisi karbon lainnya pada rawa gambut dengan tanaman karet (Hevea Brasiliensis) oleh Herman et al. (2009), menemukan besarnya emisi CO2-e adalah 64 tCO2-e/ ha/tahun, dengan harga karbon ekivalen CO2-e berkisar antara 1,26 US $/tCO2-e sampai 4,05 US $/ tCO2-e. Selanjutnya, Sofiyuddin (2012) menemukan pendapatan bersih sekarang untuk tanaman karet pada lahan gambut di Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi adalah adalah 1.747 US $/ha dengan emisi CO2-e 1562,3 tCO2-e/ha/tahun. Berdasarkan data ini besarnya biaya pengurangan emisi 1,1 US $/ tCO2-e.
Manfaat karbon dari rawa gambut adalah sebagai tempat penyimpanan karbon dan menangkap karbon, sedangkan manfaat non karbon di ukur melalui pendekatan non-market. Rawa gambut yang terdegradasi akan kehilangan berbagai manfaat ini. Namun untuk rawa gambut yang dapat diusahakan secara terbatas manfaat non karbon dapat diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dan kayu.
Jika ditinjau dari sifat gambut, karbon yang tersimpan dalam rawa gambut mempunyai sensitivitas tinggi terhadap perubahan atau penurunan muka air gambut Bonn et al. (2014). Penurunan muka air gambut akan meninggikan zona aerobick dekomposisi, yang secara cepat mengubah lahan gambut sebagai tempat penyimpanan atau penangkap CO2 menjadi sumber pengemisi dari gas rumah kaca (Evans et al. 2014). Pada kondisi ini manfaat rawa gambut sebagai tempat penyimpanan karbon akan hilang dan sebaliknya akan menjadi sumber pengemisi. Hasil studi yang dilakukan oleh Hooijer et al. (2010) pada rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan menjelaskan bahwa : karbon dioksida CO2 yang teremisi akibat kerusakan gambut berkisar antara 355 Mt/tahun sampai 855 Mt/tahun (82%). Jika harga karbon global sekitar US $10/tCO2, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.911 juta US $/tahun sampai 7.011 juta US $/tahun. Kerugian ini belum dihitung dari hilangnya manfaat dari hasil pertanian masyarakat dan lainnya. Mengingat besarnya kehilangan manfaat ini, salah satu upaya yang dilakukan mengembalikan fungsi dan manfaat rawa gambut terdegradasi ini adalah melalui restorasi. Restorasi rawa gambut adalah suatu proses untuk membantu recovery fungsi dan manfaat rawa gambut terdegradasi atau rusak ke posisi semula. Restorasi rawa gambut terdegradasi adalah upaya pengurangan emisi karbon melalui pencegahan deforestasi) dan degradasi hutan(REDD). Upaya REDD ini harus
REDD berfungsi sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang telah terverifikasi atau upaya peningkatan stock karbon (Sabarudi & Muttaqien, 2014). Manfaat REDD ini perlu dirasakan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan juga sampai pada masyarakat. Transfer fiskal untuk distribusi manfaat REDD haruslah dapat menggantikan seluruh biaya-biaya yang muncul dalam implementasi REDD tersebut. Studi Cacho et. al (2014 ), di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau harga kredit karbon dari implementasi kebijakan REDD harus lebih tinggi dari biaya total yang muncul dalam implementasi REDD, sehingga keuntungan bersih (net margin) dapat diperoleh.
Skema pengurangan emisi karbon dengan cara lain adalah dengan pembangunan kontruksi canal blocking yang dapat menaikkan tinggi muka air. Penelitian ini menunjukkan adanya pengurangan emisi CO2-e rata-rata dihitung dari besarnya tinggi muka air adalah 45 tC/ha/tahun atau 168,2 tCO2-e/ ha/tahun. Jaenicke et al. (2010) menemukan besarnya CO2-e yang direduksi dengan adanya konstruksi canal blocking berkisar antara 1.4-1.6 MtCO2-e per tahun.
Penelitian diatas menunjukkan besarnya emisi karbon pada lahan terdegradasi dengan harga CO2-e diperoleh dari pengurangan emisi melalui Skema REDD, maupun dengan cara membangun canal blocking. Penelitian ini hanya berkisar penentuan harga karbon saja belum menyentuh pengusahaan lahan perkebunan penduduk seperti hevea brasiliensis penduduk (Hevea brasiliensis) yang mendukung restorasi rawa dan revegetasi sebagai
195
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
dampak positif dari restorasi gambut terdegradasi dengan teknologi canal blocking.
Restorasi rawa gambut berkelanjutan beorientasi pada restorasi melalui pemulihan muka air tanah dengan membangun konstruksi canal blocking sampai rawa gambut yang direstorasi dapat diusahakan secara terbatas oleh masyarakat setempat, dan sebagian rawa direvegetasi untuk kesejahteraan masyarakat sekitar dan untuk pengurangan emisi karbon sesuai dengan tujuan REDD di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengisi kekosongan diatas.
Usaha mencegah kerusakan gambut agar lahan gambut dapat ditingkatkan produktivitasnya memerlukan biaya yang besar (Wibowo 2009). Restorasi lahan gambut dapat dipandang sebagai suatu investasi dengan biaya untuk memperoleh manfaat. Salah satu upaya untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi ini adalah dengan membangun konstruksi canal blocking. Restorasi rawa gambut menyediakan suatu peluang investasi melalui pengembangan pasar karbon (Bonn et al. 2014). Selanjutnya Worrall et al. (2010) menyebutkan pengelolaan lahan gambut berpeluang untuk memperbaiki tempat penyimpanan karbon melalui revegetasi dari lahan gambut yang terdegradasi. Restorasi rawa gambut memulihkan rawa gambut dari pengemisi karbon menjadi penyimpan karbon sehingga bermanfaat bagi pengurangan emisi karbon (Peacock et al. 2013 ; Quin et al. 2014). Restorasi rawa gambut juga mendapat keuntungan untuk menggantikan keuntungan tanaman yang berdampak pada biaya kesempatan yang hilang tinggi (Glenk K. et al 2014). Restorasi rawa gambut
jika dipandang dari sisi manfaat ekonomi adalah suatu investasi yang membutuhkan biaya-biaya yang harus dibandingkan dengan beberapa nilai manfaat. Menurut Moxey et al. (2014), manfaat dalam restorasi rawa gambut terdiri dari manfaat karbon dan manfaat non karbon, sedangkan biaya terdiri dari capital costs dan ongoing costs.
Restorasi rawa gambut terdegradasi dengan canal blocking dan pengusahaan lahan pertanian secara terbatas serta revegetasi ini mempunyai manfaat pengurangan emisi karbon dan non karbon. Restorasi rawa gambut ini adalah restorasi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Masalahnya adalah belum terbukti manfaatnya pengurangan emisi , manfaat apa saja yang diperoleh, dan manfaat jika dibandingkan dengan skenario pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dengan penanaman tumbuhan acasia crassicarpa, dan tanaman karet Hevea brasilliensis serta manfaat dari harga acuan pasar karbon dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan manfaat pengurangan emisi, besar manfaat yang diperoleh, serta margin keuntungan jika dibandingkan dengan skenario pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dan dari harga acuan pasar karbon dunia. METODE PENELITIAN
Lokasi kegiatan penelitian ini terletak pada Desa Sei. Ahas , Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Luas rawa gambut ini adalah 133,46 ha. Jumlah petani yang menjadi responden adalah 33 kepala keluarga (KK). Gambar 1. berikut adalah lokasi studi.
AL
US CA BLO
Gambar 1. Peta lokasi studi
Sumber : Puslitbang Sumber Daya Air, 2012
196
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung
Lokasi 1 terletak pada jenis gambut hemik (setengah matang) dan gambut fibrik (mentah) yang dicirikan banyak endapan kayu dan tanaman yang masih dalam dekomposisi dalam air. Rata-rata ketebalan tanah gambut 3 m. lebar aliran sungai adalah 4 m dan muka air berada pada kedalaman (60-75)cm. Lokasi Konstruksi canal blocking 2 ini terletak disebelah utara lokasi konstruksi canal blocking 1. Disisi kiri canal blocking 2 ini terdapat tanah gambut dengan ketebalan 1 m, sedangkan pada sisi kanan tidak terdapat tanah gambut. Lebar aliran sungai 6-7 m, dan kedalam air pada saat musim kemarau 50 cm. Lokasi konstruksi canal blocking 3 (tiga) adalah paling utara dengan lebar saluran anatra 15 – 20 m. Pada lokasi ini tanah berupa tanah lempung dan tanah gambut saprik (matang). Pengumpulan Data
Data primer terkait dengan sosial ekonomi petani diperoleh dari survei dan wawancara dengan petani. Data primer rencana dan biaya pembangunan canal blocking diperoleh dari pejabat BBWS Kalimantan II dan Balai Rawa.
Data sekunder dikumpulkan dari studi-studi terdahulu terkait dengan pengurangan emisi karbon di rawa gambut pada skema REDD. Data diambil secara purposif dengan kriteria : rawa gambut terdegadasi dan direstorasi dengan konstruksi canal blocking. Kriteria berikutnya adalah rawa gambut dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas untuk pengusahaan lahan pertanian dan sebagian lagi tidak diusahakan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan Nopember 2013. Metode Analisis
Besarnya perubahan cadangan karbon apabila terjadi restorasi lahan gambut dapat dihitung dengan dua cara yaitu dengan pendekatan metode gain-loss dan metode stock-difference. Pada tulisan ini digunakan metode stock difference. Metode ini dipilih berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan datanya. Metode stock difference adalah suatu alternatif perhitungan perubahan cadangan karbon dengan mengukur besarnya cadangan karbon di suatu pool pada saat yang berbeda dan ratarata laju kehilangan dan penambahan karbon ditentukan dengan membagi dengan interval waktu pengukuran.
Besarnya karbon yang tersimpan dalam suatu pool sistem dapat dihitung dengan metode stock difference berikut :
∆C
C t 2 − C t1 (t 2 − t1 ) ................(1)
∆C = perubahan stock karbon dalam suatu poll per tahun (tC/tahun)
Ct1 = S tock karbon pada suatu pool pada waktu t1 (tC) Ct1 = S tock karbon pada suatu pool pada waktu t2 (tC)
Simpanan karbon dihitung dengan menentukan volume gambut terlebih dahulu. Volume ini dihitung dengan menggunakan perangkat lunak QGIS melalui peta elevasi dari LIDAR. Besarnya gambut teroksidasi adalah 0,8 dari volume gambut. Berat kering gambut adalah hasil kali bulk density dengan valume gambut. Stock karbon adalah 0,5 dari berat kering karbon (Puslitbang SDA 2012). Stock karbon teroksidasi ini adalah karbon yang berada diatas muka air rata-rata pada musim hujan dan musim kemarau. Stock karbon akan habis seluruhnya selama periode penurunan gambut.
Periode penurunan gambut diukur menggunakan subsidence poles dengan pengamatan 1 bulan pada musim kemarau dan 2 atau 3 bulan pada musim hujan. Pengukuran muka air tanah dilakukan dengan alat dipwells. Selanjutnya dari data yang ada kemudian dianalisis dengan rumus hubungan antara laju penurunan dengan tinggi muka air tanah berikut (Puslitbang SDA 2012) : Subsidence rate (cm/tahun)=0,41+6,04.WD... (2)
WD = tinggi muka air (meter)
Dengan diketahui tinggi gambut diatas muka air maka, waktu penurunan yaitu waktu yang diperlukan sampai stock karbon habis. Dengan asumsi apabila restorasi dilakukan maka tinggi muka air akan kembali pada posisi alaminya, maka berdasarkan hal ini dapat diketahui waktu penurunan gambut. Waktu penurunan ini adalah waktu yang diperlukan gambut diatas muka air untuk teroksidasi semuanya. Dengan demikian dapat ditentukan stock karbon yang tinggal pada setiap waktu melalui simulasi ini.
Emisi flux CH4 tidak termasuk dalam perhitungan ini karena tidak dominan dibandingkan dengan flux CO2 rawa gambut di Kalimantan (Jauhiainen & Silvennoine, 2012). Karbon (C) adalah satuan biomasa, jika di ubah menjadi karbon dioksida ekivalen (CO2-e) akan dikalikan dengan 44/12=3,67. Manfaat karbon pengurangan emisi adalah hasil kali
197
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
antara CO2-e (ΔC) saving dikalikan dengan harga satuan karbon dalam perdagangan dunia yaitu mengacu pada Verifed Carbon System (VCS) yaitu 4,4 US $/tCO2-e dan harga karbon acuan Word Carbon Price sebesar 10 US $/tCO2-e(Busch et al. 2012).
Selain manfaat karbon, manfaat non karbon mencakup nilai manfaat dari pengusahan lahan pertanian oleh masyarakat seperti Hevea brasiliensis, padi sawah dan jenis produksi pertanian lainnya. Manfaat ini dihitung dengan rumus berikut. t n
NPV ∑ t 0
Bt − Ct (1 i ) t .......(3)
Besarnya harga karbon untuk pengurangan emisi dihitung dengan rumus berikut
CP
NPVt1 CO2−e ( saving ) .......(4)
Dimana : NPV = Net Present Value dari Konstruksi CP = Harga Karbon CO2-e (saving) = Besarnya CO2-e netto
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Sosial Ekonomi Responden Data berikut adalah data hasil survei pada responden petani yang lahan pertaniannya berada disekitar pembangunan canal blocking. Tabel 1 berikut adalah : data jenis dan luas kepemilikan lahan petani. Berikut adalah tabel jenis dan luas kepemilikan lahan gambut.
Dimana : Bt = Manfaat pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t n = umur hidup suatu siklus tanaman i = Discount Rate
Tabel 1. Jenis dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
LUAS LUAS LUAS LAHAN TANAMAN TANAMAN PEMILIK LAHAN YANG KARET PADI/SAWAH DIMILIKI (Ha) (Ha) (ha) Mariaci Tili Dodi Atuk Sopel Nia Imah Aluh Nila Ogah Desi Siah Bermo Lomi Noryadi Simpel Bambang Riadi Samuji Atak Marli Los Suhandi Tarji Turung Tuni Karno Wardi Bambang Rafi Sanie Tatak Manda Sarita Isap TOTAL
6,00 0,88 3,00 0,75 2,10 1,50 4,00 3,00 3,00 1,50 4,50 1,50 10,00 4,50 4,00 2,00 1,60 18,79 1,60 2,00 2,17 2,00 24,00 4,34 2,89 2,54 4,00 2,00 2,80 2,00 2,50 4,00 2,00 133,46
1,50 0,05 0,50 0,65 0,95 0,90 1,00 3,00 3,00 1,00 3,00 0,00 1,00 0,00 2,00 0,00 0,50 18,79 0,50 0,88 1,50 0,00 19,00 2,89 0,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,50 0,50 1,80 0,00 69,41
0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00 0,90 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 0,29 0,00 0,50 0,35 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00 1,00 0,50 0,00 0,00 5,54
Sumber : Hasil survei Balai Rawa Puslitbang Sumber Daya Air 2012
198
LUAS TANAMAN LAINNYA (ha) 0,50 0,00 0,00 0,10 0,10 0,10 0,10 0,00 0,00 0,50 1,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,15 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 1,00 0,00 0,00 0,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,20 0,00 5,03
LAHAN YANG BELUM DIGARAP (ha) 4,00 0,82 2,00 0,00 1,05 0,50 2,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,50 8,00 4,50 2,00 1,00 1,50 0,00 1,00 1,12 0,67 2,00 4,00 1,45 1,45 1,68 3,00 1,00 1,80 0,50 1,50 2,00 2,00 54,04
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung
Dari tabel 1 diketahui jumlah petani yang disurvei ada 33 Kepala Keluarga (KK). Luas total lahan yang dimiliki adalah 133,4 ha. Rata-rata petani memiliki luas lahan 4,46 ha. Dari gambar 2. dapat diketahui bahwa tanaman yang paling banyak diusahakan petani Sei Ahas adalah tanaman Hevea Braziliensis dengan luas 69,41 ha (51,8%). Luas lahan untuk tanaman padi sawah 5,5 ha (4,1%), dan luas tanaman lainnya (buah-buahan) adalah 5,03 ha (3,8%). Luas lahan tanaman untuk padi dan tanaman lainnya adalah kecil < 5% dari luas seluruhnya. Selain luas tanaman Hevea Braziliensis, ternyata luas lahan yang belum diusahakan oleh petani cukup besar yaitu 54,04 ha (40,3 %). Lahan yang tidak digarap ini dapat ditanami kembali (revegetasi) untuk menangkap CO2-e, sehingga menambah manfaat karbon. Untuk lahan yang sudah digarap merupakan lahan yang produktif untuk menghasilkan komoditas pertanian seperti Hevea Braziliensis, padi dan hasil buah-buahan. Tanaman produktif yang bersumber dari biomasa tanaman maupun manfaat non karbon dari hasil komoditas. Grafik 2. P ersentase Pengusahaan Lahan Masyarakat Desa Sei Ahas Kalteng Persentase Pengusahaan Lahan Masyarakat Desa Sei Ahas Kalteng
40,3%
51,8%
Karet Padi/Sawah Lainnya Belum Digarap
3,8% 4,1% Sumber : Hasil survey (2015)
Tanaman karet, padi/gabah dan tanaman buahbuahan memerlukan biaya produksi selama umur satu siklus hidup tanaman. Biaya produksi tanaman tersebut mencakup biaya tenaga, biaya bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan. Tabel 2. adalah biaya produksi tanaman per hektar oleh masyarakat petani Sei Ahas Kalimantan Tengah.
Dari hasil wawancara dengan penduduk setempat, umumnya lahan diolah sendiri oleh rumah tangga pemilik lahan dan hasilnya diambil sendiri tanpa menggunakan jasa tenaga kerja di luar rumah tangga. Walaupun dikerjakan sendiri, perhitungan nilai manfaat tetap memasukkan biaya tenaga petani yang mengerjakan lahan tersebut. Menurut hasil wawancara dengan petani, upah
tenaga kerja berkisar antara Rp 50.000-, sampai Rp 70.000-, per hari. Tabel 2. Biaya produksi masing-masing komoditas
Jenis Tanaman Karet (<1 tahun) Karet (2-10 tahun) >10 tahun Padi/sawah Tanaman Lainnya
Tenaga (OH) 51,74
Biaya (Rp) 3.104.400
Peralatan (Rp) 1.024.452
99,4 63,4 0
5.964.000 3.804.000 0
536.760 380.400 0
25,8
1.548.000
92.880
Sumber : Diolah dari Working Paper “Analysis of Local Livehoods From Past to Present in the Central Kalimantan Ex-Mega Rice Project 2009
Tabel 3. Berikut adalah harga komoditas karet Hevea brasiliensis, gabah dan tanaman lainnya yang selalu bervariasi setiap tahun di Desa Sei Ahas. Berikut ini adalah data hasil survei komoditas tanaman harga komoditas karet, dan gabah kering dari tahun 2005 sampai 2013 di desa Sei Ahas. Table 3. Harga komoditas karet dan gabah di Kalimantan Tengah
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga karet (Rp/kg) 1940 2570 3200 3820 4450 5070 5700 6300 6950
Harga gabah kering (Rp/kg) 2200 2500 2800 2700 3400 3800 4100 4200 4200
Sumber : Hasil survei Puslitbang sosekling
Dari hasil wawancara dengan petani desa Sei Ahas, rata-rata produksi padi adalah 1800 kg/ tahun/ha. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi tanaman karet, setelah berumur lebih dari 5 tahun adalah 8,0 t/tahun/ha. Dengan menggunanakan data tabel 2 dan 3 diatas, diketahui nilai manfaat bersih sekarang (NPV) menggunakan rumus (2) untuk tanaman Hevea Brasiliensis adalah Rp 54.195.530/ha. Hasil ini menunjukkan tanaman karet, adalah tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya.
Stock Karbon dalam Biomasa Tanaman dan Emisi CO2 Stock karbon diatas gambut adalah biomasa tegakan pohon yang didapat dari hasil penelitian
199
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
sebelumnya pada jenis tanaman yang sama. Stock karbon diatas gambut ini adalah biomasa yang tumbuh setelah terjadi restorasi. Untuk tanaman Hevea Braziliensis dan hutan gambut diasumsikan memerlukan waktu 25 tahun. Stock karbon pada gambut adalah stock karbon diatas rata-rata muka air tanah pada musim hujan dan musim kemarau. Stock karbon diatas muka air tanah ini adalah stock karbon yang akan habis semua menjadi emisi karbon karena teroksidasi. Tabel 4. berikut adalah data stock karbon diatas gambut dan pada gambut. Table 4 . Stock Karbon dan Emisi Karbon
Sumber
Rawa Gambut Dangkal Hutan Rawa Gambut Tanaman Karet Tanaman Padi/Sawa Tanaman lainnya Rumput (alang-alang) Kondisi terdegradasi Terbangunnya 3 canal blocking &revegetasi
Stock Karbon (tC/ha)
Emisi karbon tC/ha)
539,8 179,7 41,0 1,0 10,0 3,0
0,095 x 106 0,040 x 106
Sumber : Diolah dari Suyanto et al (2009), Mudiyarso et al (2010), dan Puslitbang SDA (2012)
Stock karbon pada gambut saat t1=0 tahun adalah stock karbon pada awal sebelum dilakukan restorasi. Pada tahap ini diasumsikan belum ada tanaman diatas gambut dan dalam kondisi gambut terdegradasi. Besarnya stock karbon diatas gambut pada biomasa tanaman adalah 0 (nol) yaitu ; pada saat hutan rawa gambut dibersihkan (land clearing) untuk ditanami tanaman Hevea Braziliensis, setelah drainase lahan gambut dilakukan. Dari data Puslitbang SDA, besarnya volume gambut berdasarkan rata-rata tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau adalah 27,16 x 106 m3. Volume gambut yang teroksidasi = 0,8 x 27,16 x 106 m3 = 21,73 x 106 m3 . Berat kering gambut adalah 0,096 gr/cm3 x 21,73 x 106 m3 = 2,09 Mton. Volume karbon = 0,5 x 2,09 Mton = 1,05 Mton. Besarnya stok karbon per hektar = 1,05 Mton/1905,8 ha = 550,95 tC/ha. Hutan rawa gambut sudah terdegradasi sejak dibukanya lahan PLG tahun 1995-1999. Artinya rawa gambut sudah terdegradasi 17 tahun sejak tahun 1995 sampai tahun 2012. Waktu penurunan rata-rata rawa gambut terdegradasi dalam kedaan terdrainase, tanpa canal blocking dan terjadi kebakaran gambut adalah 23,75 tahun (Puslitbang SDA 2012). Sementara degradasi sudah berlangsung 17 tahun, ini berarti stock karbon gambut menjadi 6,75/23,75 x 550,95 tC/ha = 156,59 tC/ha. Restorasi
200
dengan canal blocking dan revegetasi diasumsikan dilakukan pada tahun 2012, yaitu tahun awal restorasi t1=0 tahun.
Stock karbon pada waktu t2 = 25 tahun adalah stock karbon dari dimulainya restorasi rawa gambut atau mulai dibangunnya 3 (tiga) buah canal blocking sampai tercapainya satu siklus hidup tanaman Hevea brasiliensis dan revegetasi hutan gambut. Pada saat ini stock karbon hutan rawa gambut dan tanaman Hevea Brasiliensis sudah mencapai 179, 7tC/ha dan Hevea Braziliensis 41,0 tC/ha. Setelah 25 tahun yaitu pada satu siklus hidup tanaman Hevea Braziliensis dan umur rencana canal blocking , stock karbon tersisa tidak ada atau 0 (nol) tC/ha, sebab untuk teroksidasi rawa gambut hanya memerlukan waktu 23,5 tahun. Untuk rawa gambut dengan skenario restorasi menggunakan 3 canal blocking, tanpa kebakaran gambut, dan revegetasi, waktu penurunan gambut rata-rata adalah 87 tahun. Pada saat dimulainya restorasi stock karbon pada saat t1=0 tahun adalah 156,85 tC/ha. Setelah 25 tahun stock karbon gambut menjadi 45/87x 156,59 tC/ha = 81,12 tC/ha. Berdasarkan data ini maka stock karbon yang tinggal setelah 25 tahun masing-masing adalah 0 tC/ha untuk rawa gambut yang terdegradasi dan 191,47 tC/ha untuk rawa gambut yang sudah direstorasi. Restorasi rawa gambut dengan canal blocking ini menambahan stock karbon sebesar 191,47 tC/ha. Biaya Rata-Rata Investasi Canal Blocking dan Biaya Manajemen serta Monitoring
Konstruksi Canal blocking di Kalimantan umumnya konstruksi yang terbuat dari kayu galam yang ditancapkan kedalam tanah dasar kemudian pada ruang antara barisan kayu diisi dan dipadatkan dengan tanah gambut. Hasil Wawancara dengan BWS Kalimantan II diketahui biaya konstruksi total untuk pembangunan satu canal blocking 2,7 M. Pekerjaan pembangunan canal blocking meliputi pekerjaan pendahuluan, pekerjaan tanah, pemancangan tiang, dan pekerjaan geotextile. Area rencana pembangunan canal blocking ini terletak di 3 (tiga) titik dengan luas efektif 1905,8 ha. Data pemeliharaan canal blocking tidak diketahui dan diasumsikan 5% pertahun. Berdasarkan data ini maka biaya konstruksi canal blocking per ha lahan gambut yang restorasi adalah Rp 8.617.021/ha. Biaya ini ditambah dengan biaya perawatan sebesar 5% pertahun sebesar Rp 430.851/ha/tahun. Berdasarkan wawancara dengan Balai Rawa, kanal terbuat dari beton dengan pondasi kayu galam yang terbenam pada lahan gambut. Umur pondasi kayu galam dalam keadaan terbenam lebih tinggi dari dibandingkan dengan yang tidak tenggelam. Umur rencana konstruksi canal blocking adalah 25 tahun.
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung
Biaya manajemen dan monitoring yaitu berkisar antara 5% sampai 20 % dari biaya konstruksi total canal blocking. Pada pada tulisan ini diasumsikan 10%, maka biaya manajemen dan monitoring pengurangan emisi CO2-e adalah Rp 861.702/ha
Manfaat Pengurangan Emisi Karbon setelah Konstruksi Canal Blocking Manfaat Karbon Besarnya karbon netto yang dapat disimpan pada pool lahan gambut dihitung dengan metode
Stock-Difference. Hasil perhitungan ini dapat mengestimasi nilai manfaat karbon sebelum dan sesudah dibangunnya konstruksi canal blocking. Tabel.5 berikut menjelaskan besar karbon yang dapat di di simpan dan yang diemisikan setelah 25 tahun.
Asumsi yang digunakan adalah sebelum canal blocking dibangun pengusahaan lahan pertanian tidak efektif karena tidak ada pengaturan tinggi muka air sesuai dengan kebutuhan tanaman dan bahaya kebakaran gambut.
Table 5 . Perhitungan Manfaat Karbon dengan Metode Stock-Difference sampai 25 tahun Terdegradasi selama 25 tahun
Penggunaan Tanah
Lahan diatas gambut belum diusahakan (tumbuh alang-alang dan semak belukar) Gambut Total net Stock Carbon
Luas Rawa Gambut
(ha)(%) 133,46 (100%)
1905,8 (100%)
Setelah Restorasi dengan Canal Blocking Selama 25 tahun ΔC1x% Jenis Luas Rawa ΔC2 x % Penggunaan Gambut Luas Gambut Rawa Luas Gambut (tC/ha) (ha) (%) (tC/ha) Biomasa 0 69,41 21,32 tanaman (52,0%) Hevea Braziliensis 64,05 86,62 Biomasa (48,0%) tanaman hutan rawa gambut 0 Gambut 1905,8 81,12 (100%) 0
Total (tCO2e/ha)
ΔC= (ΔC2 ΔC1)x% Luas Rawa Gambut
(tC/ha) 21,32
86,62
81,12 189,06
693,85
Sumber : Diolah dari hasil penelitian Puslitbang Sumber Daya Air (2012, Suyanto et al (2014) dan Mudiyarso et al. (2010)
Pada saat konstruksi canal blocking belum dibangun, dimana rawa gambut sudah terdegradasi, pengusahaan rawa gambut untuk produksi Hevea Braziliensis, tidak berhasil dengan baik. Sebagian besar rawa gambut terdegradasi ini dibiarkan menjadi lahan kosong (40,3%). Drainase yang berlebihan menyebabkan lahan gambut menjadi kering sehingga meningkatkan resiko kebakaran lahan gambut yang akan menghanguskan tanaman. Rawa gambut yang terdegradasi ini muka airnya turun, mengakibatkan kerugian karbon akibat betambahnya emisi dari turunnya muka air tanah dan dari kebakaran gambut, sedangkan non karbon adalah kegagalan panen. Kegagalan ini dialami pada proyek pengembangan rawagambut sejuta hektar di Kalimanan Tengah. Rawa gambut seperti ini
tidak produktif dan cenderung dibiarkan sehingga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Besarnya stock karbon diatas lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak belukar ini diasumsikan 0 (nol) tC/ha. Stock karbon dibawah tumbuhan alang-alang dan semak belukar ini adalah stock karbon gambut yang berada diatas muka air rata-rata pada musim hujan dan musim kemarau. Besarnya stock karbon rawa gambut setelah 25 tahun mengalami degradasi. Pada kondisi terdegradasi, emisi karbon setelah selama 25 tahun berasal dari sumber rawa gambut yang terdrainase. Dalam hal ini stock karbon tanaman yang tumbuh diatas gambut yang tidak diusahakan. Pada kondisi ini stock karbon tanaman
201
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
tC/ha. Saving karbon ini akan mengurangi emisi sebesar 693,85 tCO2e/ha. Hal ini menunjukkan adanya saving karbon sebesar 100 %.
alang-alang kecil dan dalam hal ini dianggap 0 (nol). Pada kondisi ini tidak ada penambahan stock karbon oleh tumbuhan diatas gambut. Sebaliknya, pada gambut terjadi emisi karbon dari gambut yang terdrainase disebabkan turunnya muka air rawa yang berakibat pengurangan stock karbon sebesar 156, 59 tC/ha sehingga stock karbon yang tersisa menjadi 0 (nol) tC/ha. Besar total stock karbon setelah 25 tahun terdegradasi adalah jumlah stock karbon diatas gambut ditambah dengan stock karbon pada gambut menjadi 189,06 tC/ha.
Manfaat Non Karbon
Disamping manfaat karbon, restorasi rawa gambut terdegradasi dapat mempertahankan muka air tanah sesuai dengan kebutuhan dan jenis tanaman. Pengaturan muka air rawa gambut ini diperlukan agar tanaman dapat tumbuh untuk menghasilkan komuditas yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat dan juga untuk mencegah terjadinya kebakaran rawa gambut. Keadaan seperti ini memungkinkan pengusahaan lahan pertanian penduduk dapat berlanjut. Manfaat non karbon ini meliputi hasil tanaman Hevea Braziliensis yang diusahakan oleh masyarakat setempat. Disamping itu dengan adanya revegetasi atau penanaman hutan gambut kembali akan menambah pendapatan masyarakat dari hasil hutan seperti kayu dan pengurangan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mencegah kebakaran rawa gambut.Besarnya Nilai manfaat bersih sekarang untuk tanaman Hevea Braziliensis dengan discount rate 12%/tahun dan umur tanaman Hevea Braziliensis adalah 25 tahun dimana, tanaman Hevea Braziliensis mulai berproduksi setelah umur 5 tahun adalah seperti
Setelah restorasi rawa gambut dengan canal blocking selama 25 tahun terlihat adanya penambahan stock karbon oleh biomasa yang tumbuh yaitu tanaman Hevea Braziliensis dan revegetasi hutan rawa gambut. Pada kondisi ini terjadi penambahan stock karbon dari tanaman sebesar 107,94 tC/ha. Rawa gambut yang telah direstorasi, menaikkan muka air tanah, sehingga menurunkan emisi yang pada akhirnya akan menurunkan emisi karbon. Besarnya stock karbon setelah emisi ini menjadi 81,12 tC/ha. Jumlah total stock karbon setelah restorasi menjadi 693,85 tC/ ha.
Pada kondisi ini karbon yang dapat disimpan (saving) setelah restorasi dengan canal bloking adalah 189,06 tC/ha – 0 tC/ha menjadi 693,8189,06
Tabel 6 . Manfaat Bersih Non Karbon Sebelum dan Sesudah Konstruksi Canal Blocking dibangun
Sebelum Konstruksi Canal Blocking Dibangun Sumber Manfaat & Biaya
Luas
Manfaat
Biaya
(ha)
(Rp/ha)
(Rp x1000/ha)
Lahan diatas 133,46 gambut belum diusahakan
0
0
Kebakaran Rawa Jumlah
0
133,4
-264
Sesudah Konstruksi Canal Blocking Dibangun
NPV1
Sumber Manfat dan (Rp x 1000 Biaya /ha) 0
-264
Luas (ha)
Tanaman 69,41 Hevea Braziliensis Hasil Hutan 64,05 Kayu Kebakaran 133,4 Rawa
Manfaat
Manfaat
Biaya
NPV2
∆NPV=(NPV1NPV2) (Rp x1000 (Rp x1000/ ha) (Rpx1000/h (Rpx1000/ha) /ha) a) 68.606
14.411
54.195
54.195
12.913
1.364
11.549
11.549
0
0
0
0
65.744
66.008
-264
Sumber : Diolah dari laporan Suyanto et al. (2009) dan hasil survei Puslitbang Sosekling (2012)
tercantum dalam tabel 6 berikut.
Tabel. 6 menjelaskan bahwa manfaat bersih non karbon untuk tanaman sebelum dibangunnya konstruksi canal blocking tidak ada. Asumsi ini didasarkan bahwa rawa gambut terdegradasi akan mudah terbakar yang mengakibatkan tanaman tidak akan efektif menghasilkan produk. Disamping itu tidak ada kontrol muka air rawa gambut untuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
202
Manfaat bagi masyarakat menjadi tidak ada bahkan sebaliknya, masyarakat akan membayar biaya penanggulangan kebakaran gambut sebesar Rp 264.000/ha/tahun. Setelah konstruksi canal blocking dibangun, manfaat netto sekarang yang didapat masyarakat menjadi Rp 66.008.000/ha/ tahun Manfaat netto terbesar diperoleh masyarakat adalah dari produksi tanaman Hevea Brasilliensis sebesar Rp 54.195.531/ha/tahun (82,1%). Dari
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung Tabel 7 . Biaya Kontruksi Canal Blocking komoditas kayu hutan Rp 11.549.000/ha/tahun (17,5%). Hasil ini menunjukkan tanaman Hevea Sumber Biaya Biaya Terdiskon Braziliensis lebih menguntungkan masyarakat untuk (Rp/ha) diusahakan dibandingkan dengan mengambil kayu Konsruksi Canal 8.617.021,0 -, hasil hutan. Manfaat lainnya adalah masyarakat Blocking tidak mengeluarkan biaya lagi untuk mencegah Pemeliharaan 3.379.224,0 -, kebakaran gambut. Manajemen dan 1.199.624,0 -, Monev Biaya dan Manfaat Pengurangan Emisi Karbon Total Biaya 13.195.869,0 -, Dari hasil wawancara dengan BWS Kalimantan Sumber : Hasil Analisis (2105) II dan Balai Rawa Puslitbang SDA, diketahui, manfaat pengurangan emisi didapat harga karbon biaya pembangunan total sebuah kontruksi canal sebesar Rp 13.195.869/ha : 693,85 CO2-e/ha = Rp blocking mencapai 2,7 M. Konstruksi canal blocking 19.018,33/tCO2-e . Harga karbon ini jika dikonversi direncanakan dibangun padai 3 (tiga) titik dengan ke nilai dollar US dengan nilai kurs tukar dollar (1$ luas lahan yang direstorasi mencapai 1905,8 ha. USD ) sama dengan Rp.11.200 (pada tahun 2012), Umur rencana kontruksi canal blocking adalah maka didapat harga karbon pada pengurangan 25 tahun. Tipe konstruksi canal blocking yang emisi karbon ini adalah 1,70 US $ /tCO2-e. dibangun terbuat dari beton, sedangkan pondasi Sedangkan manfaat karbon adalah 1.178, 2 U$/ terbuat dari cerucuk galam. Biaya pembangunan ha. Harga karbon 1,70 US $ /tCO2-e. Ini jauh lebih dan pemeliharaan konstruksi canal blocking adalah kecil dibandingkan dengan harga yang ditawarkan biaya yang secara keselurahan dikorbankan untuk oleh perdagangan karbon dunia yaitu 4,4 $/tCO2-e mendapatkan manfaat. Biaya ini adalah biaya (Verified carbon Standard (VCS) (Busch et al. 2012). investasi untuk konstruksi canal blocking dan Gambar 2. berikut ini menjelaskan harga karbon pemeliharaannya. Dengan diskon rate 12 % dan pada skenario manfaat pengurangan emisi dengan umur rencana canal blocking25 tahun maka hasil konstruksi canal blocking dibandingkan dengan perhitungan biaya pembangunan canal blocking manfaat pengurangan emsisi menggunakan skema adalah seperti tercantum dalam tabel 7. REDD dengan tanaman Acacia crassicarpa dan tanaman karet skala kecil yang diusahakan oleh Dengan membagikan biaya terdiskon dengan penduduk atau masyarakat setempat. .
Harga Karbon(US (US$ / tCO2-e) Harga Karbon $/tCO2-e)
Harga Karbon pada ScenarioPengurangan PenguranganEmisi EmisiKarbon Karbon Harga Karbon pada Scenario
5
4,40
4,5 4 3,5 3 2,5 1,7
2
1,61
1,5
1,10
1 0,5 0
Restorasi Restorasi dengan Canal Blocking dengan Canal
Tanaman Acasia Tanaman Acacia crassicarpa crassicarpa
Blocking
Tanaman Tanaman Karet (Hevea Karet (Hevea brasilliensis) brasilliensis)
VCS VCS (World) (World)
Grafik 3. Harga Karbon pada Skenario Pengurangan Emisi
Sumber : hasil analis (2015)
Dari grafik 3 diatas, pengurangan emisi karbon melalui pembagunan konstruksi canal blocking ini cukup menarik karena menawarkan margin keuntungan sebesar 2,70 US $/tCO2-e jika mengacu pada harga karbon oleh VCS, atau 61,36%
Hasil penelitian sebelumnya terkait dengan pengurangan emisi karbon pada skenario REDD menunjukkan bahwa harga karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga karbon melalui mekanisme pengurangan emisi karbon melalui
203
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 193 - 205
restorasi rawa gambut konstruksi canal blocking.
terdegradasi
dengan
Hasil Penelitian Sofiyuddin et al. (2012) pada lahan pertanian tanaman karet, di rawa gambut yang dikonversi ke tanaman perkebunan karet 1,1 US $ /tCO2-e. Harga ini lebih rendah 0,6 US $ /tCO2-e (35,29%) jika dibandingkan dengan harga karbon dari restorasi rawa gambut terdegradasi dengan konstruksi canal blocking. Hal ini menunjukkan manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut terdegradasi dengan menggunakan canal blocking tidak mempunyai margin keuntungan jika dibandingkan dengan manfaat pengurangan emisi menggunakan tanaman karet (Hevea brasilliensis). menbesarnya margin keuntungan adalah 0,95 US $/tCO2-e (35,85 %). Skema REDD lainnya, Rahmat (2010) melakukan penanaman kembali rawa gambut terdegradasi dengan tanaman Acacia crassicarpa menemukan harga karbon sebesar 1,61 US $/tCO2-e. Skenario pengurangan emisi karbon ini tidak jauh berbeda 0,09 US $/tCO2-e (5,29%). Hal ini menunjukkan manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut terdegradasi dengan menggunakan canal blocking tidak mempunyai margin keuntungan jika dibandingkan dengan manfaat pengurangan emisi menggunakan tanaman dengan tanaman Acacia crassicarpa Walaupun demikian manfaat pengurangan emisi, dari segi manfaat non karbo adalah keberlanjutan usaha perkebunan karet masyarakat sekitar canal blocking dan penambahan pendapatan dari hasil kayu dengan adanya revetasi. Jika dijumlahkan manfaat non karbon Rp 66.008.000/ha/tahun. Dengan diketahuinya manfaat pengurangan emisi karbon melalui restorasi rawa gambut ini maka, dapat diperkirakan persentase pengurangan emisi dari sektor restorasi rawa gambut terhadap target capaian pengurangan emisi tahun tahun 2030 sebesar 29%. KESIMPULAN
Restorasi rawa gambut terdegradasi dengan konstruksi canal blocking dengan pengusahaan tanaman karet, secara terbatas dan revegetasi terbukti membawa manfaat karbon dan non karbon. Manfaat karbon adalah dapat mengurangi emisi karbon sebesar 693,85 tCO2-e/ha, atau 1.178, 2 U$/ha dan manfaat non karbon pengusahaan lahan pertanian secara berkelanjutan dan dalam bentuk uang adalah sebesar Rp. 66.008.000-,/ ha/tahun atau 5.893,57$/ha/tahun . Tidak ada margin keuntungan yang diperoleh dari manfaat pengurangan emisi menggunakan canal blocking jika dibandingkan dengan pengurangan emisi
204
dengan menggunakan skema REDD baik dengan tanaman Acacia crassicarpa maupun menggunakan tanaman karet, tetapi margin keuntungan restorasi rawa gambut dengan canal blocking ini lebih cukup berarti jika dibandingkan dengan harga karbon di pasaran perdagangan karbon dunia adalah 2.70 US $/tCO2-e (61,36%) UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih pada Bapak Prof. Pamekas dan Ibu Eriza dan mitra bestari yang telah memberikan masukan yang berharga. Demikian juga kami ucapkan terimakasih pada Balai Rawa Puslitbang Sumber Daya Balai Rawa, dan BBWS Wilayah II Kalimantan atas bantuannya menyediakan data untuk tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA
Agus F. 2013. Konservasi dan Karbon untuk MitiGasi Perubahan Iklim Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian. Pengembangan Pertanian. 6 (1) : 23-33 Agus F et al. 2009. Carbon Dioxide Emission in Land Use Transitions to Plantation, Jurnal Litbang Pertanian (4)119-126 Bappenas. 2009. Reducing Carbon Emission from Indonesian’s Peatland, Interm Report of A Multi-Diciplinary Study. National Development Planing Agency, Indonesia. Bonn A. et al. 2014. Investing in nature : Developing Ecosystem Service Markets for Peatland Restoration. Journal Ecosystem Services : 5465 Bullock, H.C. et. al. 2012. Peatland, Their Economic value and Priorities for Their Future Management – The Example of Ireland, Land Use Policy 29 (4) : 921 - 928 Busch J, et al. 2012. Structuring Economic Incentives to Reduce Emissions From Deforestation within Indonesia, Proceedings of the National Academy of Science 109 :1062-1067. Cacho, J.O. 2014. Benefits and Cost of Deforestation by Smallholdes : Implication for Forest Conservation and Climate Policy, Ecological Economics (107) : 321-332 Clement, E.G., 2015. New Approach to Restoration of Shallow Marginal Peatlands, Journal of Environmental Management, (30) : 1-14 Evans, C.D., et al. 2014, Relationship between Anthropogenic Pressure and Ecosytem Functions in UK Blanket Bog : Lingking Process Understanding to Ecosystem Service Valuation. Ecosystem Service Journal (9) : 5-19. Glenk, K., et al. 2014. A framework for Valuing Spatially Targeted Peatland Restoration, Ecosystem Service Journal (9) : 20-33
Estimasi Manfaat Pengurangan Emisi CO2 pada Restorasi Rawa Gambut Terdegradasi Dengan Canal Blocking (Studi Kasus : Restorasi Rawa Gambut Sei Ahas Kalteng) Ridwan Marpaung
Hooijer, A., et al. 2010. Current and Future CO 2 Emission from Drained Peatlands in Indonesia, Biogeosciences, (7) : 1505 -1514. Jauhiainen, J. dan Silvennoinen H. 2012. Diffusion GHG fluxes at Tropical Peatland Drainage Canal Water Surface, Suo 63 (3-4) : 93-95 Jaenicke, J., et al. 2010. Planning Hydrologycal Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emission, Mitig Adapt Strateg Glob Change (15) : 223-229 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015. Intended Nationally Determined Contribution, Republik Indonesia, Indonesia. Moxey A., dan Moran D. 2014. UK Peatland Resoration : Some Arithmetic. Sience of The Total Environment (484) : 114-120. Murdiyarso, D., et al. 2010. Oppotunities For Reducing Greenhouse Gas Emissions in Tropical Peatlands, Journal PNAS, 107 (46) : 19655-19660 Subarudi dan Muttaqien, Z.H. 2014. Peningkatan Tata Kelola, Kebijakan dan Pengaturan Kelembagaan REDD, Kementerian Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor Page, S.E., et al. 2011. Global and regionalImportance of Tropical Peatlands Carbon Pool, Global Change Bipol., (17): 798-818. Parry, L.E, et al. 2014. Restoration of Blanket Peatlands. J. Environ. Manag. (133) : 193-205. Peacock, M., et al. 2013. Natural Vegetation of Bog Pools After Peatland Restoration Involving Dicth Blocking- The Influence of Pools Depth and Implication of Carbon Cycling. Ecol. Eng (57) : 297-301. Puslitbang Sosekling, 2013. Laporan Ahir Pengembangan Potensi Rawa Berbasis Daya Dukung Masyarakat danLingkungan, Jakarta Puslitbang Sumber Daya Air, 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah Rawa, Bandung Quin, T., et al. 2014. Restoration of Upland Heath from Agrominoid-to a Calluna VulgarisDominated Community Provides A Carbon Benefit. Agri. Ecosyst. Environ. (185) :133143. Rahmat, M., 2010. Evaluasi Manfaat dan Biaya Pengurangan Emisi Sera Penyerapan Karbon Pada Lahan Gambut di HTI PT. SBA WI. Jurnal Bumi Lestari 10 (2) : 275-284 Ritzema H., et.al. 2014. Canal Blocking Strategies for Hidrological Restoration of Degraded Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. Catena(114) : 11-20 Sofiyuddin, M. et al. 2012, Assessment of Profitability of Land Use Systems in Tanjung Jabung Barat
District, Jambi Province, Indonesia, Open Journal of Forestry 2 (4) : 252-256 Suyanto et al., 2014. Opportunity Costs of Emission Caused by Land-Use Changes. Journal of Forestry 4 (1) : 85-90 Suyanto et al., 2009. Analysist of Local livelihood from Past to Present in Central Kalimantan ExMega Ricde Project Area. Word Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia Wijaya E., dan Wiryawan A.B., 2013. Hambatan Kesiapan Masyarakat Desa Sei Ahas dalam Pembangunan Canal Blocking pada Rawa Gambut, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 5 (3): 141-152 Wibowo, A.,2009. Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global, Jurnal Tekno Hutan Tanaman, 2(1) : 19-28 Worrall F. et al. 2010. Assesing the Probablity of Carbon and Greenhouse Gas Benefit from the Management of peat Soil.Science of the Total Environment. (408) :2657-2666
205
206