Edisi Mei-Juni 2013
Daftar Isi 2.
EDITORIAL Prihal Pekerja Seks
SURAT PEMBACA 3.
Perempuan itu Perlu Dibela
LAPORAN UTAMA 4.
Perempuan di Ambang Batas
11. Rehabilitasi Sosial Perempuan yang Menjadi Komodifikasi Seksual
18. Pekerja Seksual juga Seorang Ibu
KATA MEREKA 21. Pro Kontra atas Keberadaan Perempuan Pekerja Seksual
OPINI 26. Berhenti Berdebat atas Dasar Kemanusiaan
WAWANCARA 29. Sarmi: Bekerja di Jalur Keterpaksaan
RESENSI 32. Pedofilia di Bali, Dewa Penyelamat atau Pencelaka?
CATATAN SASTRA
35. Sastra Pasca Orde Baru dan Gagasan Rekonsiliasi
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penanggung Jawab: Eko Riyadi, S.H. MH, Pemimpin Redaksi: M. Syafi’e Editor: Arini Robby Izzati Reporter: Intan Pratiwi, M. Fuad Hasan, Kamil Alfi Arifin, La Arpani. Kontributor: Guntur Narwaya, Fairy Cahya Abdulghani Layout: Adin
pledoi 25 07 2013
Alamat Redaksi/ Tata Usaha Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No 517 A, Banguntapan, Bantul Yogyakarta 55198 Tlp. 0274-452032, Fax 0274-452158 www.pusham-uii.ac.id email:
[email protected]
Editorial
Prihal Pekerja Seks Oleh : Arini Robby Izzati Apa yang terbesit di pikiran anda semua ketika mendengar kata perempuan pekerja seks? Pasti beragam pendapat bermunculan, bahkan yang liar sekalipun. Dapat dipastikan, saat mendengar kalimat tersebut bayangan seseorang akan tergiring pada sosok-sosok perempuan pemuas nafsu laki-laki, perempuan penjajah kenikmatan, atau perempuan-perempuan asusila. Namun tidak sepenuhnya benar adanya. Dalam Pledoi edisi kali ini, kami berusaha untuk menyajikan beberapa narasi lain terkait dengan perempuan pekerja seks untuk melihat persoalan yang dihadapi mereka lebih jauh. Profesi yang dijalani perempuan pekerja seks tidak pernah sepi dari masalah. Selama ini posisi mereka selalu saja dianggap sebagai warga negara kelas dua karena profesi yang digelutinya. Sikap negara yang tidak pernah tuntas dalam merespon masalah prostitsui meninggalkan setumpuk persoalan yang sangat bersinggungan dengan kemanusiaan seseorang. Hal ini tidak mengada-ada, karena ketika sikap negara tak kunjung tegas, maka berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan tak pernah usai merundung perempuan-perempuan pekerja seks. Justru kesan “malu-malu” yang ditunjukan oleh negara, tidak mengakui tapi secara sembunyi-sembunyi menikmati keberadaan mereka. Temuan bahwa adanya oknum aparat negara yang meminta sejumlah uang untuk mengamankan titik prostitusi merupakan pengejawantahan sikap negara yang mendua. Perempuan pekerja seks masih saja dipandang sebagai penyandang masalah sosial, misal saja hanya melibatkan mereka pada skema-skema pengentasan dan intervensi dalam skema penaggulangan HIV dan AIDS. Lebih parahnya lagi program pengentasan kali ini direduksi menjadi program-program pemberian bantuan. Apakah kemudian hal tersebut akan efektif dan menyentuh akar persoalan yang saling jalin menjalin dengan masalah kemiskinan, pendidikan, dan trafficking. Namun anggapan bahwa perempuan pekerja seks ialah orang-orang yang asusila, tidak dapat diatur, tidak berdaya, dan acuh pun dipatahkan dengan mulai munculnya kesadaran berorganisasi dari komunitas mereka. Kesadaran berorganisasi perempuan pekerja seks merupakan gugatan terhadap negara ataupun stigmatisasi negatif masyarakat atas pekerjaan yang mereka lakukan, gugatan untuk diperlakukan sama sebagai warga negara.
2
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Surat Pembaca
Perempuan Itu Perlu Dibela Assalamualaikum, wr. wb Terimakasih untuk pledoi yang hadir ditengahtengah krisis pemerintahan seperti sekarang ini. Bacaan yang sangat bermanfaat untuk saya, juga kawan-kawan di komunitas saya. Pledoi hadir dengan sajian yang berbeda melihat sebuah fenomena kebobrokan apparatus Negara. Kita butuh media yang seperti ini, media yang mampu mengkritisi apparatus Negara baik dari dalam maupun dari luar institusi. Tujuannya memang hanya satu. Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang lebih baik lagi kedepan. Posisi perempuan di Indonesia memang penuh dengan dilematis. Satu sisi kita butuh kesetaraan, wajib diperjuangkan. Tapi terkadang, masyarakat memandang bahwa kesetaraan ini menyamaratakan hak dan kewajiban yang harus di pikul para perempuan. Hal ini menjadi miris. Karena, bagaimanapun perempuan mempunyai beban ganda yang harus dilaluinya. Keadilan kemudian juga harus melihat bagaimana perempuan itu dalam lingkungan social, pekerjaan, juga dalam keluarga. Lalu, bagaimana keadilan itu mampu menyamakan posisi perempuan dalam segala hal.
Masih banyak kekerasaan yang harus dialami oleh perempuan. Masih banyak pula keadaan perempuan yang masih jauh dibawah kelayakan untuk hidup. Akses pendidikan yang kurang, pelayanan dan jaminan kesehatan yang masih jauh dari harapan, juga posisi perempuan di mata hokum. Keadaan ini kemudian harus menjadi perhatian penuh bagi para apparatus Negara dan juga masyarakat pada umumnya. Agar dapat mencapai kemashlahatan bersama. Sedikit saran untuk pledoi, Agar distribusinya bisa lebih menyeluruh ke pelosok. Atau bisa juga disajikan dalam bentuk PDF, agar bisa lebih akses. Bisa dinikmati oleh siapa saja, lebih mudah apabila kita bisa mengunduhnya di website. Maju terus untuk Pledoi, semoga tetap kritis dan terus bergerak untuk perubahan. Bogor, 27 Juni 2013 Gayatri Husni. Aktivis Forum Perempuan Untuk Kesetaraan.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
3
Liputan Utama
PEREMPUAN DI AMBANG BATAS Dunia pelacuran adalah cermin abadi penindasan. Posisinya yang kompleks membuat para perempuan pekerja seks hidup di ujung jurang penindasan
Oleh : Intan Pratiwi
G
ang itu bernama Sosrowijayan Kulon, tepatnya di jantung kota Yogyakarta. Sebelah barat Malioboro, pusat kota inilah nafas dari Yogyakarta. Degub irama dangdut sahut-menyahut dari satu losmen ke losmen lain. Kerlip lampu neon, serta gelak tawa pecah di gang ini. Sosrowijayan Kulon atau yang lebih akrab disebut Pasar Kembang adalah wilayah yang menawarkan suguhan pemuas biarahi. Pasar Kembang tempat para perempuan ini mengadu nasib di keranjang peraduan. Pasar Kembang sisi pahit kehidupan. Senja baru saja berakhir, malam mulai larut. Dentum irama dangdut makin menggema, Tentunya semua perempuan disIni harus sudah selesai bersolek. Sudah banyak pria yang menyusuri lorong Sosrowijayan Kulon. Tak kalah dengan yang muda. Yang termakan usia pun masih banyak yang berdatangan ke Sosrowijayan. Mba-mba pekerja seks (PS) sudah bejajar di depan losmen. Sedikit kerlingan mata, dan rayuan manja menjadi senjata setiap malam. “Malam mas, sini aja mas.. dijamin bikin puas” rayu salah seorang mba PS kepada salah satu pelanggan. Perempuan pekerja seks (PPS) hadir dengan berbagai latar belakang sosial yang berbeda. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi perempuan di Sarkem ini memutuskan untuk menjadi perempuan pekerja seks. Luka lama, pengkhianatan, keterbatasan pendidikan, ditipu, hingga keputus asaan menjadi paksaan. Mereka bukan tidak mempunyai pilihan, namun, pilihan pilihan lain kemudian menjadi rumit, kondisi sosial sudah terlanjur membunuh diri mereka, membunuh harga diri. Menjadi seorang pekerja seks bukan lah persoalan yang mudah. Hidup ditengah cibiran dan stigma masyarakat. Posisi PPS menjadi sangat terdesak. Tak se-
4
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
potret
p
uan pe
Edisi Mei-Juni 2013
k
eks ja s er
em p er
PLEDOI
5
dok. tribunnews.com
lesai dengan cibiran saja, kehidupan malam yang keras memaksa PPS seringkali harus bertaruh nyawa. Di awal tahun 2013, seorang PPS sebut saja Melati. Ia harus menerima tusukan di bagian punggungnya oleh salah satu pelanggan. Perkaranya dipicu oleh pria yang bertransaksi dengan melati enggan membayar. Setelah terjadi percecokan, pria tersebut malah menusuk melati dengan pecahan botol. Luka nya menembus sampai bagian liver melati. Sayangnya, pria tersebut sampai detik ini tak ditemukan jejaknya. Sarmi, selaku ketua paguyuban Bunga Seroja Sosrowijayan Kulon mengatakan, bahwa melati yang didampingi dirinya sudah mencoba melapor polsek setempat. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut dari pihak aparat kepolisian. “Kita udah lapor, tapi belum ada tindak lanjut dari pihak kepolisan bagaimana perkembangannya” papar Sarmi. Kerentanan yang menimpa PPS bukan hanya didapat dari para pelanggan yang tak bertanggung jawab. Aparat pemerintah yang notabenya bertanggung jawab atas perlindungan warga, juga turut menjadi agen yang berprilaku tidak adil terhadap para PPS ini. Setiap bulannya PPS yang ada di Sosrowijayan Kulon harus bergiliran menjadi peserta sidang di pengadilan negeri kota Yogyakarta. Hal ini sebagai bentuk bahwa pihak aparat sudah merazia daerah tersebut. Sebut saja Bunga, ia mengatakan bahwa dalam satu bulan biasanya dua sampai tiga PPS harus menyetorkan diri ke pengadilan negeri untuk di sidang. “Sidang ini sebagai bentuk bahwa sudah ada razia dari pihak aparat. Ritual “setor muka” itu udah biasa dilakukan mba, sebulan sekali itu, dua sampai tiga mba PS di sini giliran sidang. Perkepalanya nanti dikenai denda tipiring 300 ribu” ujar bunga. Kekerasan aktor keamanan negara tidak
bisa dibenarkan untuk dilakukan kepada seseorang yang menekuni sesuatu yang illegal: tugas aktor keamanan negara adalah untuk mencegah kejahatan dan melindungi warga / penduduk, bukan untuk menghakimi atau memberi hukuman. Kekerasan aktor negara juga membuka peluang besar bagi aktor non negara untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih kejam. Permasalahanya kemudian adalah, biaya yang harus dikeluarkan oleh PPS ini tidak sedikit. 300 ribu termasuk angka yang besar bagi para PPS ini apabila dihitung dengan pendapatan mereka setiap malamnya. Belum lagi, tentang persoalan pungutan-pungutan yang harus dibayarkan oleh para PPS ini. Dalam wilayah Sosrowijayan ini, ada yang namanya sistem keamanan. Sistem keamanan ini dikelola oleh “tim keamanan” yang ada di Sosrowijayan Kulon. Tim keamanan ini semestinya bertugas untuk mengamankan dan menjaga para pekerja seks di lokasi tersebut. Namun pada kenyataanya, sistem yang dibuat oleh “tim keamanan” ini malah membelenggu para PPS. Belum lagi, soal sistem keamanan yang banyak dikeluhkan oleh PPS. “Bayaran untuk keamanan ini rutin, enggak pernah putus. Tapi, mba-mba PS disini enggak merasa aman. Buktinya sampai ada yang kena tusuk. Belum lagi, kalau ternyata pelanggan kasar, dan enggak mau bayar” tambah Bunga. Biaya keamanan yang di harus dikeluarkan per kepala PPS disini menembus harga 3.000 per malam, belum lagi dikenakan biaya perbulan sebesar 150.000 per kepala. Belum lagi, kalau ada biaya hari libur, 17 Agustus, juga kalau mau hari raya besar. Harga ini, apabila dikalikan dengan jumlah seluruh PPS di Sosrowijayan Kulon menembus anggak puluhan juta perbulannya. Namun, sayangnya keamanan juga belum bisa terjamin. Pengeluaran yang harus di keluarkan oleh PPS kemudian tidak sebanding dengan pendapatannya. Maka, himpitan ekonomi merupakan masalah krusial yang harus dilalui oleh perempuan pekerja seks. Tarif yang dipasang rata-rata per transaksi Rp 50.000,- s.d Rp 75.000,-. Namun, biaya ini belum di potong harga sewa kamar Rp 10.000 per transaksi. Selain itu, uang keamanan yang harus dikeluarkan setiap malam. Padahal, jumlah pendapat tersebut pun tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap harinya. Harga sewa kamar perbulan Rp 350.000,- s.d Rp 400.000,-. Belum lagi, kalau PPS mendapat giliran “setor muka” ke pihak pengadilan. Berangkat dari kondisi sosial yang berbeda-beda. PPS ini hadir dengan berbagai latar belakang. Ada beberapa PPS yang datang
6
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
mpuan pek re
er ja seks
potret pe
Liputan Utama
dok. notdishanotdio.blogspot.com
ke Yogyakarta memang karena ingin menjual dirinya, mirisnya, PPS ini datang dengan membawa keluarganya. Suami yang seharusnya menjadi orang yang paling depan menjaga dan memperjuangkan istrinya malah menjadi salah satu agen yang melegalkan perempuan (istrinya) untuk menjadi perempuan pekerja seks. Dengan membawa suami serta dalam dunia pelacuran ternyata tidak menjamin keamanan perempuan pekerja seks. Sarmi, ketua Bunga Seroja pun menceritakan bahwa, suami malah sering berprilaku kasar terhadap istrinya. “yang namanya suami itu pasti memperjuangkan istrinya. Namanya saja sudah istri. Dalam falsafah jawa, Sigare Nyowo. Tapi, ini beda mba. Suaminya malah cuma ongkang-ongkang kaki, menunggu uang dari si Istri. Apabila, malam itu istri tidak mendapatkan pelanggan. Suami malah mukulin istrinya. Dulu, kasus ini pernah saya minta bantuan sampai LBH.” cerita Sarmi. Kekerasan yang menimpa para pekerja seks ini bukan tanpa alasan, kehidupan malam yang keras seringkali membelenggu perempuan pekerja seks. Sehingga, tanpa daya mereka hanya bisa menerima kekerasan. Baik yang dilakukan oleh pelanggan, maupun orang terdekatnya. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaanpenderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Hasil riset yang dilakukan oleh PKBI DIY di daerah Sosrowijayan Kulon sebanyak 61,3% PPS pernah mendapatkan kekerasan. Baik fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa memukul, menjambak, menampar, menendang, pemaksaan/kekerasan yang dilakukan saat melakukan hubungan seksual. Sedangkan kekerasan non fisik dilakukan dengan penghinaan, kata-kata kasar, tidak di bayar, juga persoalan paksaan dan ancaman. Persoalan kemudian, dunia pelacuran ini acapkali di lihat miring oleh banyak masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyak nya kasus penganiayaan yang menimpa para perempuan pekerja seks yang enggan dilaporkan ke aparat penegak hukum, untuk meminta keadilan. Bentuk ketidakadilan ini adalah salah satu sikap pemerintah yang lemah dalam perlindungan kepada warganya. Wilayah lokalisasi sendiri merupakan masalah tersendiri bagi para PPS ini. Karena, notabene pemerintah Yogyakarta memang tidak menyediakan secara resmi izin lokalisasi. Tak seperti di Surabaya yang terdapat tempat lokalisasi, dimana lokalisasi itu mendapatkan izin resmi dari pemerintah. Di Yogyakarta, ada 5 wilayah tempat biasanya para perempuan pekerja seks bekerja. Sarkem atau Sosrowijayan Kulon, Bong Suwong (sebelah barat Stasiun Tugu), Prambanan (letaknya di terminal Prambanan), Terminal Giwangan, Terminal Jombor. NGEBONG (Bong Suwong) Deru kereta silih berganti, bersautan dengan irama music dangdut. Di sudut kota, setiap malam deru itu terus mengalun. Melambangkan kesakitan disimpul senyum. Bong Suwong, nama daerah yang tak asing di Yogyakarta. Apalagi bagi mereka penikmat jajanan nafsu. Disudut barat Yogakarta, di belakang stasiun tugu. Puluhan perempuan pekerja seks bertaruh nasib di bilik-bilik ini.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
7
Tiba-tiba pintu kamar E di dobrak oleh segerombolan aparat. E mengaku, ada yang memakai seragam polisi, ada yang tidak memakai seragam. Saat E keluar kamar, segerombolan lain sudah memenuhi ruang tamu kontrakan dimana E tinggal. “aparat polisi ada yang pake seragam polisi ada yang pake baju preman. Mereka tiba-tiba sudah menyergap kamar saya. Beberapa orang masuk ke kamar saya, dan meminta dengan paksa tanda pengenal saya (KTP)” kenang E. Hingga kini, E pun tidak bias mendapatkan KTP nya kembali. Ia sempat menanyakan kepada petugas kenapa KTP nya harus di tahan. E menuturkan, bahwa petugas tidak memberikan penjelasan apapun. Petugas hanya mengancam, bahwa apabila E tidak menyerahkan KTP nya, maka E akan dibawa ke kepolisian.
ja seks
E, adalah salah satu PPS yang mempunyai pengalaman buruk dari aparat Negara. Tahun 2012 silam, suasana Bong Suwong tak seperti biasanya. Malam itu, kabar razia atau biasa di sebut garukan sudah beredar. Banyak PPS mengamankan diri, dan kembali ke tempat kos mereka. Sejam kemudian, aparat polisi datang menyerbu kontrakan yang ditinggali oleh E. Padahal, posisinya pada saat itu, E sedang tidak bekerja. Pada saat di razia, posisi E didalam kamar seorang diri.
mpuan pek re
er
Sebut saja E, usianya memang tak lagi muda, tapi ia adalah salah satu primadona di Bong Suwong. Tubuhnya tergolong sintal ditengah umurnya yang memasuki setengah abad. Pembawaanya pun ramah, salah satu rekannya disudut warung menyeru “kae mba E akeh pelanggane, wonge ramah, servise mantab!” gelak tawa menghambar, E hanya menjawabnya dengan senyum hangat. E dikenal sebagai perempuan pekerja seks yang ramah dan sabar dalam menghadapi pelanggan. Banyak pelanggan yang khusus datang ke daerah Ngebong hanya untuk mencari E.
potret pe
Liputan Utama
Bong Suwong, Foto dok. sorotjogja.com
T, teman sejawat E pun mengakui bahwa proses razia yang dilakukan oleh aparat pemerintah kerapkali terjadi. Dan adegan kejar-kejaran antara petugas dengan PPS pun berlangsung. T, mengaku razia banyak dilakukan setiap sebulan sekali. Harinya pun tak pasti. Hingga, para pekerja seks di daerah Ngebong ini pun harus siap siaga. Tidak hanya kasus razia yang kerapkali terjadi dan mengancam keberlangsungan perempuan pekerja seks di Bong Suwong ini. Belum lama ini, sempat menjadi perdebatan antara pihak PJKA dengan penghuni Bong Suwong. PJKA melayangkan surat peringatan kepada pemilik warung di bantaran barat stasiun tugu, Warung, serta PPS tidak boleh mendirikan bangunan ataupun melakukan transaksi di daerah ini. Tak ada kejelasan pasti dari pihak PJKA terkait dengan maksud dari penggusuran ini. Para PPS dan peguyuban pedagang asongan Bong Suwong kemudian mengadakan audiensi ke DPRD Yogyakarta. Namun, belum ada solusi riil yang ditawarkan oleh pihak pemerintah terkait rencana penggusuran ini. “Surat nya udah lama itu datang, warga disini sempat bingung. Tempat ini adalah satu satunya lahan mata pencariahan. Kalau ini digusur kita enggak tau mau tetek (mangkal-red) dimana lagi?” keluh T. Perkumpulan PPS di ngebong ini pun tak tinggal diam, mereka berusaha untuk dapat mengakses dan mempertahankan tanah bantaran rel ini yang sudah lebih dari 16 tahun menjadi lahan menyambung hidup mereka. ***
8
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Liputan Utama
Wajah pelacuran di Indonesia adalah cerminan dari korban kondisi sosial negara. Himpitan ekonomi dan keterbatasan pengetahuan menjadi landasan pelacuran hidup makmur di Indonesia. Kemasan pelacuran ini pun juga tak tunggal. Dalam istilah pekerjaan seks komerisal ini terbagi atas dua kelas. Kelas bawah, yang biasa disebut plat kuning. Dalam hal ini mencakup para PPS yang bertempat di daerah Sarkem, Bong Suwung, Terminal Jombor, Terminal Giwangan, juga di Terminal Prambanan. Sedangkan, untuk kelas atas atau biasa disebut plat merah adalah fenomena lain dari wajah pelacuran di Indonesia. PPS kelas atas atau biasa disebut dengan PPS plat merah adalah sekumpulan PPS yang mempunyai standart lebih tinggi dari PPS kelas bawah. Standart ini di patok dengan berbagai instrument pendukung. Mulai dari tarif, tempat “mangkal”, pelanggan, hingga profesi dari PPS tersebut. PPS plat merah ini juga memiliki metode transaksi yang berbeda. Sebut saja namanya R, seorang gadis belia. Umurnya masih 22 tahun. R adalah salah satu mahasiswi universitas swasta terkenal di Yogyakarta. Perempuan berdarah jawa tulen ini sudah 4 tahun berprofesi menjadi perempuan pekerja seks. R menuturkan, bahwa mulanya ia adalah gadis rantau yang berniat untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta. Berasal dari keluarga yang sederhana, menuntut R harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semasa ia di Yogyakarta. Kiriman dari orang tuanya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga biaya kuliah yang tergolong mahal. R tak pernah mengaku kepada orang tuanya tentang pekerjaanya sebagai PPS. Ia mengaku kepada orang tuanya bahwa ia bekerja sambilan sebagai SPG part time.
kerja yang “invisible” (tidak terlihat-red) menjadikan PPS kelas atas ini akan berpeluang mendapatkan penindasan. “Kalau ketemu sama pelanggan yang masokis, harus terima deh di gebukin, atau di jambak jambak. Kadang, juga ada kok pelanggan yang minta ramai-ramai pas make saya” tutur R. Selain kekerasan yang dilakukan oleh klien, R menuturkan bahwa rekannya sesame PPS ada yang terjun ke dunia pelacuran ini karena di paksa oleh dosen. Paksaanya berupa tawaran untuk bisa lulus salah satu matakuliah yang diampu oleh dosennya. Namun, tim redaksi belum berhasil bertemu dengan rekan R tersebut. Tak sampai disitu, para pekerja seks kelas atas ini pun menjadi salah satu tujuan aliran dana korupsi bagi sebagian pejabat pemerintahan yang menjadi pelanggan. “Fenomena ini benar adanya, bukan hanya cerita di infotainment saja. Seringkali, para pejabat Negara “jajan” via online atau tuker tukeran pin BB para PPS geng sosialita ini. Kalau udah gitu, kadang dia ngasih lebih dari harga biasanya. Barang-barang mewah, tapi setelah itu wajib melayani selama beberapa minggu bahkan tahunan. Semacam kawin kontrak, tetapi perjanjiannya hanya secara lisan saja.” Papar R.
Mulanya, ia terjun dalam dunia PPS ini juga dimulai dari keikutsertaanya menjadi SPG part time disalah satu merek rokok terkenal. Ia ditempatkan di salah satu club terkenal di Yogyakarta, disanalah iming-iming uang dan kemapanan ia temukan. Ditengah himpitan ekonomi dan kebutuhan biaya perkuliahan membuatnya memutuskan untuk menerima tawaran dari klien. Sejak saat itu, ia biasa mempunyai pelanggan para pejabat negara, juga para mahasiswa yang berkantong tebal dan terbiasa dengan lingkungan have fun sex.
Pelacur kelas atas ini system kerjanya mandiri, tidak di kordinir dan bertransaksi lewat kenalan atau relasi antar PPS. Tempat “mangkal” nya pun beragam. Ada di cafeteria hotel bintang lima, club-club malam, hingga pesanan via online. Tarif untuk menyewa PPS kelas atas ini pun mencapai angka Rp 200.00,- s.d Rp 4.000.000,- tergantung kondisi para PPS.
“Awalnya juga enggak kepikiran buat jadi pelacur... Tapi pergaulan di kampus, sama uang kebutuhan tuh nguras duit banget... Awalnya, ada rasa bersalah sih... tapi mau gimana lagi, udah terlanjur...” papar R kepada tim Pledoi.
“Klien kadang nyari PPS kaya kita gini enggak cuma pingin tubuhnya, tapi juga yg bias diajak diskusi soal kerjaan atau soal negara. Kalau udah kaya gini, biasanya harga juga beda. Untuk yang perawan apalagi, pe-
Kelas atas ini bukan berarti membebaskan perempuan pekerja seks ini dari penindasan dan ancaman. Pada sebuah kasus, PPS kelas atas ini malah lebih rentan. Disamping tidak adanya faktor keamanan yang menjamin, minimnya pengawasan, dan metode
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
9
Liputan Utama mula hitungannya jauh lebih mahal daripada yang sudah punya jam terbang” imbuh R. Namun, R pun mengakui, bahwa pekerjaan ini juga bukan perkara mudah. Ia harus mempertaruhkan harga diri, keamanan diri, serta yang paling urgent adalah menjaga diri agar tidak terjangkit virus HIV AIDS. R mengakui, bahwa tak sepenuhnya para pelacur mempunyai niatan untuk terus berada di jalur ini. Ia pun mengatakan, bahwa dirinya pun kelak ingin menjadi perempuan normal seperti perempuan lain. R menuturkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan menjadi factor utama seorang perempuan memilih jalan ini. “Saya yakin, siapapun yang memutuskan untuk terjun di dunia pelacuran semata-mata karena himpitan siuasi dan keadaan yang sedari awal sudah tidak adil bagi perempuan. Misalkan saja, korban perkosaan, korban cerai, korban penganiyayaan dalam keluarga, himpitan ekonomi. Pelacur boleh saja distigma jelek. Tapi fenomena ini bukan sematamata aib buruk yang semua orang ingin cuci tangan. Ini masalah social, yang menyangkut banyak aspek dan kondisi.” Papar R. R mengatakan, persoalan pelacuran bukan hanya menjadi tanggung jawab sebagian pihak, melainkan tangggung jawab Negara untuk memperbaiki sistem pemerintah yang sudah banyak menindas warganya. “Jangankan ngomongin pemerintah memperbaiki sistem, orang pemerintah nya aja juga pada ketagihan ngeliat cewe ngangkang” tukas R. .
10
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
REHABILITASI SOSIAL Perempuan yang Menjadi Komodifikasi Seksual
Oleh : Moh. Fuad Hasan
D
i sudut-sudut kota, lampu remang-remang, serta alunan musik dangdut. Suasana ramai pengunjung berdatangan, semakin malam semakin ramai pengunjung. “Memang dari luar tidak terlihat ramai, namun keramaian pengunjung bisa di lihat dari motor yang berparkir, begitulah untuk melihat tingkat keramaian pengunjung” ungkap Tarjo seorang tukang parkir di seputaran stasiun Tugu. Penulis agak kebingungan untuk menuliskan berita ini dalam istilah pelacuran, samapai laporan ini di tulis istilah tentang pelacuran belum mendapat satu pemahaman. Hingga sekarang masih menjadi perbincangan banyak orang tentang pelacuran, pekerja seks komersial, wanita tuna susila, wanita penjaja seks, namun dalam tulisan Koencoro dan Sugihastuti (1995) di jelaskan bahwa pelacur adalah kata yang paling pas dibalik kata-kata yang lain. Berbeda dengan pendapat. Menurut Encyclopaedia Britannica, pelacuran didefinisikan sebagai ‘praktek hubungan seksual sesaat yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian pelacuran dikarakteristikan oleh tiga
potret
em p er
uan pe
k
eks ja s er
p
Liputan Utama
dok. kapanlagi.com
unsur utama: pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional’ (red.Thanh-Dam Truong, 1992 : 15).
mang tidak menimbulkan bias, “perempuan yang menjadi komodifikasi seksual”. Jelas ibu setengah baya yang pada saat itu di temui di perpus kota jogja.
Slamet Kepala Panti Sosial Karya Wanita yang disingkat dengan PSKW agak sedikit kurang setuju dengan sebutan pelacuran. Karena secara tidak langsung mainset dalam benak orang melihat istilah pelacur itu adalah prilaku buruk yang dilakukan oleh seorang perempuan. Namun begitu dia “belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menggantikan kata pelacur” pungkas Selamet.
Supartini menambahkan, “perbincangan istilah pelacuran masih ramai diperdebatkan, selama ini kata pelacuran dalam pandangan masyarakat umum menganggap itu sebagai perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh seorang perempuan”.
Ketidaksepakatan itu juga terlontar dari Dra Supartini Msi., salah seorang staf Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial. Kata pelacur kurang tepat, masih sarat nuansa yang mendiskreditkan perempuan, dengan begitu dia menawarkan sebuah istilah yang me-
Dia punya cukup banyak pengalaman tentang persoalan perempuan. Selain itu dia juga memang pernah melakukan penelitian dan terjun langsung ke lokasi lokalisasi, dia melihatnya dari perspektif perempuan. Kebanyakan yang terdesak untuk melacur adalah karena faktor himpitan ekonomi, desakan hutang, korban cerai atau ditinggal suami, kekerasan dalam rumah tangga atau tidak adanya pilihan pekerjaan yang lebih baik yang bisa diakses perempuan. Panti sosial karya wanita sangat membantu untuk meminimalisir, selain itu juga dibentuknya divisi ini mengupayakan pelacur untuk sadar diri dengan perbuatan yang dilakukannya, membangun motivasi pelacur di “hari tua”. Karena tidak mungkin bisa melacur selamanya, adanya “seleksi alam” dan itu terjadi disaat usia lanjut.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
11
Liputan Utama
Ada juga pelacur yang memang diantar suaminya untuk melacur. Karena memang desakan ekonomi, dan kebutuhan dapur yang semakin meningkat. Disini bisa di lihat tingkat kesakralan hubungan suami istri bukan serta merta untuk pemuas seks, namun sebagai keharmonisan dalam rumah tangga yang sudah tidak ada jalan lain selain itu. Kalau ditarik lebih jauh lagi ini bagian dari dampak kapitalisme yang susah dikendalikan. *** Di tempat yang dianggap lokalisasi bentuknya berfariasi, ada yang model perkampungan atau komplek dalam perkampungan, ada yang modelnya losmen, bahkan di pinggir jalan. Bentuk transaksi juga beragam, ada yang langsung menyambangi tamu atau sebaliknya, dan ada juga yang melalui pihak ketiga penyedia layanan esek-esek. Terjadinya tawar-menawar, seperti halnya penjual dan pembli saat membeli barang. Seks seolah menjadi barang dagangan. Sewaktu-waktu bisa dibeli, begitupun sebaliknya. Tidak ada nilai kemanusiaannya. Seks dinilai seperti halnya barang, dengan seenaknya dibeli. Yang lebih terheran lagi kalau tawar-menawar, layaknya barang yang dengan mudah di tawarkan,“tawar-menawar sudah menjadi hal biasa, pas nawarnya lagi beruntung dapat harga murah” ujar Jiteng panggilan samaran dari orang yang jajan di lokalisasi seputaran Jogja. “Biasanya kalau sudah hampir pagi tidak terlalu mahal, karena sudah sepi pengunjung” imbuhnya sambil menaruh tawa kecil. “Tidak semuanya yang beli melakukan hubungan seks, terkadang hanya sekedar menemani ngobrol atau minta pijat biasa”. Orang yang terjerumus pelacuran kebanyakan karena desakan ekonomi. “Bisanya kerja beginian mas, tidak ada yang lain” ujar seorang perempuan yang tidak mau di sebut namanya. Adanya seleksi alam yang membuat pelacur untuk berhenti atau tobat. Karena semakin tua minat para tamu mulai berkurang. Para tamu mestinya mempunyai pilihan. Ada juga yang tidak berhenti, biasanya bekerja sebagai tukang kerokan dan memijat para tamu. Jogja yang paling dikenal dan banyak di kunjungi adalah Sarkem, Bongsuwung dan Giwangan. Hampir setiap kota ada tempat yang dianggap “hitam”, “bukan berarti di kota lain tidak ada, tentu saja ada” jelas Supartini. Kegiatan ini ibarat gunung es, tidak tampak namun namun menggunung keras tinggi. *** Sangat komplek sekali ketika membicarakan pelacur, karena banyak sekali persoalan-persoalan yang menjadikan orang mela-
12
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
cur. Faktor ekonomi, yang paling dikeluhkan. Prostitusi memang pekerjaan yang basah, bagi para pencari keuntungan, prostitusi bisa menjamin keuntungan besar. Jika, lokalisasi tidak menjanjikan keuntungan yang besar, lokalisasi tidak mungkin bisa menyebar ke seluruh kota di Indonesia dari mulai kota besar sampai kota kecil di tingkat kabupaten. Pasar yang siap menerima hasil kegiatan prostitusi menyebar di sebagian besar daerah Indonesia. Oleh karena itu, jangan heran jika di kota kamu tinggal terdapat tempat prostitusi. Semua itu karena daerah siap menjadi pasar sesuatu yang akan menghasilkan keuntungan. Keuntungan lokalisasi bukan hanya dinikmati oleh para germo, tetapi dinikmati pula oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang seolah “melegalkan” tempat lokalisasi mendapatkan pemasukan daerah dari pajak. Pemasukan yang mereka dapat terutama lokalisasi yang besar, biasanya mendapatkan dana yang besar pula. Alasan utama para perempuan untuk memilih jalan sebagai pekerja seks berdasarkan penelitiian Endang R. Sedyaningsih pada tahun 1999 di Jakarta adalah semata alasan ekonomi. Jadi sangat jelas bahwa lokalisasi dan prostitusi menjanjikan laba yang menggiurkan banyak orang. Prostitusi bisa jadi membesar karena faktor “reproduksi”, karena besar kemungkinan pengaruh lingkungan dan keluarga menjadi pendorong untuk menggeluti dunia prostitusi. Karenanya upaya-upaya pengentasan harus dilakukan secara menyeluruh. Nampaknya tidak ada lagi yang namanya kebutuhan dasar manusia dan ranah privasi. Semuanya kabur ketika dibenturkan dengan yang namanya kapitalisme. Seks yang seharusnya menjadi ranah privat manusia dan kebutuhan biologis, menjadi sebuah barang hasil produksi yang menjanjikan keuntun-
mpuan pek re
er ja seks
gan. “Tidak mungkin tempat prostitusi dihabiskan, yang ada meminimalisir” pungkas Bayu Laksmono kepala staf penertiban WTS pol PP.
potret pe
Liputan Utama
*** Pembinaan wanita tuna sosial (WTS) yang dilakukan oleh dinas sosial adalah upaya meminimalisir WTS. Pembinaan ini guna untuk melakukan rehabilitasi sosial, “pembinaan di dukung oleh minat WTS sendiri, untuk berhenti melacur” ungkap mantan staf rehabilitasi sosial. Setelah dilakukan pelatihan dikembalikan ke desa masing-masing dengan diberi biaya pembinaan. Ir��������������������������������� . Baried Wibawa mengutarakan bahwasanya Dinas Sosial melakukan pelatihan selama satu bulan, sebelum melakukan pelatihan dilakukan motifasi seleksi, dimana motifasi seleksi dilakukan dengan bimbingan sosial yang menyentuh ke hati. Yang menjadi sasaran peserta training adalah daerah yang menjadi tempat-tempat lokalisasi, seperti Giwangan biasa di sebut sanggrahan (SG), Jombor, bong suwung dan tempat-tempat lain yang disinyalir berpotensi tumbuh menjadi lokalisasi. Motifasi-motifasi ini biasanya dengan pandangan hidup dihari tua. Materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan selama sebulan meliputi, materi mental sosial, ekonomi, AMT, kedisiplinan, bimbingan fungsi sosial dan kewirausahaan. Pelatihan ini juga tidak jauh dari ketrampilan dengan bekerja sama denga lembaga pekerja ketrampilan (LPK). Pencapaian dalam pelatihan ini sudah mencapai kisaran 70-80% tingkat keberhasilannya. Dulu pernah ada peserta pelatihan yang memang masih “melayani pelanggan” setelah selesai melayani dia kembali lagi ke forum pelatihan, kenang Baried sambil senyum. Namun sekarang saat forum pelatihan
dok. rimanews.com
sudah tidak seperti yang dulu, sekarang di bikin beda, tempat pelatihannya pun jauh dari tempat lokalisasi. Selanjutnya dalam lingkup penertiban kota Satpol PP yang lebih banyak berperan. Ada beberapa wilayah yang menjadi operasi dan di duga sebagai tempat lokalisasi, bong suwung, terminal Giwangan dulunya yang disebut dengan Sanggrahan yang di singkat “SG”, terakhir Pasar Kembang yang biasa disingkat dengan sebutan Sarkem, “yang terakhir lokasi ini susah untuk melakukan operasi, karena perlu melakukan investigasi, dan gang-gang yang di mungkinkan untuk lari dari kejaran Pol PP” Imbuh Bayu Laksono. Yang menjadi pegangan Pol PP untuk melakukan operasi adalah Perda DIY no. 18 tahun 1954, pasal 3 yang berisi tentang, “barang siapa yang ada di tempat umum dilarang membujuk orang lain baik dengan berkata-kata perbuatan istirahat, maupun dengan cara-cara lain yang bermaksud melakukan perbuatan mesum”. Yang menjadikan landasan satpol PP melakukan operasi di tempattempat yang biasa di jadikan pelacuran. Mesum disini diartikan sebagi pelacuran. Para pengguna “tamu” tidak termasuk “karena tidak menawarkan diri” kilahnya. Namun pria yang menawarkan diri di anggap sebagai pelacur, atau dengan sebutan lain adalah “gigolo”. Berbagai macam strategi untuk melakukan operasi razia salah satunya dengan penyamaran. Di saat melakukan penyamaran dengan menggunakan pakaian biasa dan mobil biasa, biasa disebut dengan mobil plat hitam yang berisi dengan personil yang berbaju lengkap ”kalau tidak pake baju lengkap, tidak bisa nangkap”
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
13
ja seks
potret pe
er
mpuan pek re
Razia PPS oleh Satpol PP, foto dok. merdeka.com
ujar Bayu, upaya ini agar tidak mudah dikenali oleh sasaran, biasanya aksi ini dilakukan kerjasama dengan warga sekitar, karena untuk menghindari keributan yang tidak diinginkan. “Biasanya saat di tangkap, berusaha untuk lari dan teriak-teriak,” untuk itu warga sudah kami beritahu lebih dulu. Jelas Bayu Laksono, kepala seksi operasional dinas ketertiban Pol PP. Kurang lebih saat melakukan operasi 30an personel, di bantu dengan polisi sekitar 15-20an personel. Mengingat satpol PP tidak dipersenjatai, maka dari itu meminta bantuan oleh kepolisian. Hasil temuan yang telah di tangkap para pelacur kebanyakan adalah bukan dari penduduk asli, meski ada beberapa yang penduduk asli. Selain itu juga biasanya tidak membawa KTP, kemungkinan untuk menutupi identitas dirinya. *** “Perkembangan lokalisasi tak lepas dari perkembangan kota itu sendiri” ungkap Partini. Ibu Supartini ini pekerja sosial yang bekerja di kementerian sosial bagian pendidikan dan pelatihan. Meski sudah sibuk sebagai pekerja sosial, beliau menyempatkan diri untuk ngajar di pasca sarjana UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Di situlah keseharian dia di sibukan dengan kegiatan sosial dan akademik. Memang yang digeluti adalah persoalan sosial, ibu setengah baya ini menggeluti psikologi perempuan, jadi tidak heran kalau lebih tahu banyak persoalan perempuan. Lebih spesifiknya dalam tema kali ini adalah perempuan yang di “pelacuran”. Pandangan dia tentang pelacuran lebih kepada kesetaraan gender, meski dalam
14
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
bahasa pelacuran kurang begitu sepakat namun inilah bahasa hukum yang dipakai saat hakim membacakan tuntutan dalam persidangan. Menurut Partini ada sebutan lain selain pelacur “Perempuan yang menjadi korban komodifikasi seksual”. Sebutan ini tidak menimbulkan bias gender Dalam sejarahnya, Yogyakarta meskipun bukan kota metropolis ternyata juga menghadapi persoalan yang terkait dengan aktivitas prostitusi. Setidaknya terdapat dua lokasi yang popular di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu kawasan Pasar Kembang dan Sanggrahan (SG). Sanggrahan dulunya dapat dikatakan sebagai lokalisasi resmi, meskipun secara formal pemerintah kota menyebutnya sebagai Resosialisasi (Resos). Pendirian Resos Mrican Sanggrahan Giwangan Umbulharjo tersebut secara resmi tertuang dalam Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta Nomor 166/ KD/1974 tentang Penunjukkan Tempat Untuk Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Kotamadya Yogyakarta. Setelah beroperasi selama kurang lebih 23 tahun, pada akhir tahun 1997 resosialisasi tersebut dinyatakan ditutup melalui Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta Nomor 408/KD/Tahun 1997. Pada saat akan ditutup resosialisasi tersebut tercatat dihuni oleh 87 orang WTS. Pertimbangan utama yang dijadikan argumentasi untuk menutup Resos adalah karena di lingkungan sekitar kompleks tersebut telah berkembang menjadi tempat hunian penduduk, sehingga tidak mungkin lagi digunakan sebagai lokasi untuk pembinaan WTS. Beberapa tahun kemudian lokasi tersebut dibangun Terminal Bis Giwangan. Meskipun bukan lokalisasi resmi, Pasar Kembang sudah sangat dikenal luas dan ramai dikunjungi orang, khususnya pada malam hari. Pasar Kembang sebenarnya merupakan kawasan hunian biasa, yang ditempati oleh penduduk warga kota Yogyakarta,
Liputan Utama namun di dalam wilayah tersebut terdapat penginapan, rumah kost yang dapat disewa oleh perempuan-perempuan dan dapat digunakan untuk menerima tamu dan menawarkan jasa pelayanan seksual. Menurut tokoh masyarakat setempat, Pasar Kembang sebagai tempat praktek pelacuran telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Karena letaknya yang strategis di sebelah selatan stasiun Tugu Yogyakarta dan berdekatan dengan pusat Kota Yogyakarta, maka lokasi ini semakin ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Semula para perempuan penghibur berada di jalan Pasar Kembang ketika mencari tamu, namun semakin lama dan semakin banyak populasinya maka kemudian masuk ke Kampung Sosrowijayan Kulon (Supartini, Studi Evaluasi Terhadap Program Pemberdayaan Pekerja Seks di Sosrowijayan Kulon Yogyakarta, 1999). Oleh karena bukan merupakan lokalisasi resmi, maka di Pasar Kembang tidak dikenal germo atau mucikari. Yang ada hanyalah pemilik kost atau penginapan. Namun bukan berarti pula tidak ada pengorganisasian atas beroperasinya kompleks. Di wilayah tersebut terdapat koordinator atau penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap keamanan para penghuninya. Penanggung jawab harus menjamin keamanan kompleks tetap terjaga, tidak ada keributan, tindak ckkriminal dan kejahatan lainnya seperti peredaran minuman keras dan narkotika. Selain itu juga menertibkan para ‘penghuni’ supaya tidak melakukan aksi secara mencolok di jalanan. Penghuni juga dilarang menerima tamu anak-anak atau remaja usia sekolah. Setiap anak kost (sebutan untuk WTS) harus menanda tangani peraturan tata tertib kampung dan harus tunduk pada peraturan tersebut, dan jika melanggar maka akan dikeluarkan dari kompleks. Penghuni (WTS) Pasar Kembang jumlahnya ratusan, dan menurut sumber dari
sebuah lembaga yang mendampingi perempuan pekerja seks di Pasar Kembang saat ini diperkirakan ada sekitar 348 orang WTS. Ada perbedaan populasi antara siang dan malam hari. Penghuni pada malam hari jumlahnya lebih banyak dari pada siang hari. Hal ini disebabkan karena pada malam hari banyak WTS yang datang untuk mencari dan melayani tamu. Mereka sebagian tinggal di rumah kost-kostan sekitar wilayah Pasar Kembang karena tarifnya lebih murah. Sebagian lainnya berangkat dari rumahnya, baik yang masih di dalam kota maupun dari luar kota, misalnya Magelang, Solo dan wilayah sekitar Yogyakarta. Selain Pasar Kembang, di sudut-sudut lain Kota Yogyakarta juga terdapat sejumlah wilayah yang menjadi tempat praktek pelacuran. Di kampung Badran dan Jlagran Kecamatan Jetis terdapat sedikitnya 110 orang, di Jalan Magelang, Purawisata dan alun-alun Utara juga terdapat sedikitnya 50 orang. Di bekas Resosialisasi Giwangan juga masih beroperasi sedikitnya 50 orang Wanita Tuna Susila terang Supartini (Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, Dinas Sosial Pemerintah Daerah DIY, 2012). Selain Kota Yogyakarta, kawasan pantai selatan Kabupaten Bantul juga menjadi wilayah yang dijadikan tempat praktek prostitusi. Pada tahun 1970-an wilayah Pantai Samas di Kecamatan Sanden menjadi lokasi yang popular sebagai lokasi wisata seksual. Setelah Pantai Parangtritis dan Parangkusumo di Kecamatan Kretek berkembang lebih pesat, maka kawasan tersebut juga mulai dihuni oleh para perempuan yang menawarkan jasa seksual. Namun setelah pemerintah Kabupaten Bantul menetapkan Perda yang melarang praktek pelacuran, maka di kedua lokasi tersebut mulai sering diadakan operasi razia sehingga banyak penghuni yang sudah pergi, meskipun masih ada beberapa yang bertahan mencari celah selagi tidak ada razia meskipun dengan resiko tinggi terjaring razia. Sebagian yang lainnya lagi menyingkir ke wilayah-wilayah yang dinilai lebih aman. Namun di Pantai Samas sekarang juga masih sering digunakan sebagai tempat praktek transaksi seksual meskipun secara sembunyi-sembunyi. Menurut warga masyarakat setempat masih ada sekitar 30 orang WTS yang datang dan pergi ke lokasi tersebut. Sedangkan di Pantai Parangtritis, Depok dan Parangkusumo juga masih digunakan sebagai tempat untuk mencari tamu, meskipun tempat pelayanan tamu bisa dilakukan di wilayah lain yang dinilai lebih aman dari operasi razia. “Di wilayah tersebut sedikitnya masih terdapat 100 orang WTS, meskipun tidak tinggal atau menghuni di tempat-tempat penginapan tersebut” terang Supartini. ***
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
15
Liputan Utama
Dokumen resmi Pemerintah Propinsi Yogyakarta pada tahun 1954 telah memuat peraturan mengenai Penutupan Rumah-Rumah Pelacuran, melalui Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 1954. Peraturan Daerah tersebut mencabut Rijksblad Kasultanan Tahun 1924 Nomor 19 dan Rijksblad Paku-Alaman Tahun 1924 No. 9 tentang Rumah-Rumah Pelacuran. Dari dokumen tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran praktek pelacuran di Yogyakarta sudah sangat tua, dan berkembang seiring dengan pertumbuhan kota. Di dalam pasal 2 Peraturan Daerah Tahun 1954 dinyatakan bahwa Pemerintah memutuskan menutup selama tiga bulan rumah-rumah yang nyata-nyata dipergunakan sebagai rumah pelacuran dan siapapun dilarang mendatangi rumah atau pekarangan, kecuali orang-orang yang memang tinggal di rumah tersebut, atau saudara-saudaranya sampai derajat kedua dan orang-orang yang karena jabatannya/kedudukannya dan karena keadaan memaksa diperlukan ada di tempat itu. Penutupan itu bisa diperpanjang jika setelah 3 bulan masih juga digunakan sebagai tempat pelacuran. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda setinggi-tingginya seratus rupiah. Di dalam penjelasan Peraturan tersebut diuraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan rumah-rumah yang ditutup adalah rumah untuk tempat tinggal, rumah-rumah makan dan rumahrumah penginapan. Dari penjelasan ini juga menunjukkan bahwa pada saat itu memang belum ada yang disebut sebagai lokalisasi. Praktek pelacuran tersebar di berbagai lokasi, dari rumah makan, penginapan atau rumah tinggal yang disewakan. Inilah peraturan daerah pertama yang dtetapkan pemerintah propinsi dalam rangka penanggulangan masalah pelacuran. Jadi yang terkena pasal pelanggaran adalah pihak-pihak yang mendatangi rumah tersebut, dan ini bisa diinterpretasikan sebagai tamu atau pengguna maupun pelacur sendiri yang berada di tempat tersebut. Satu lagi yang juga bisa dikenai pasal pelanggaran adalah pihak-pihak yang memberi ijin kepada orang lain untuk mendatangi tempat tersebut. Selanjutnya, masih di tahun 1954 Pemerintah Daerah juga menetapkan Peraturan Daerah Nomor 18 tentang larangan Pelacuran di tempat-tempat Umum. Di dalam peraturan ini yang dimaksud tempat umum adalah di jalan-jalan, di tanah lapang, ruanganruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah dilihat dan didatangi. Obyek hukum yang dikenai peraturan daerah ini adalah siapa saja yang di tempat umum membujuk orang lain baik dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, isyarat-isyarat maupun dengan cara lain yang bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum. Selanjutnya dalam pasal 4 peraturan tersebut berbunyi ;
16
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
“barang siapa yang karena tingkah lakunya bagi penjabat-penjabat polisi menimbulkan dugaan bahwa mereka itu tergolong orang yang akan melakukan perbuatan mesum, sesudah mendapat peringatan untuk pergi maka mereka dilarang berada di tempat umum itu”. Peraturan Dearah ini bisa menjerat tidak hanya orang-orang yang melakukan praktek pelacuran (pelacur dan tamunya) namun juga pasangan-pasangan lain yang kebetulan sedang berduaan dan berpacaran di tempat umum. Padahal Peraturan Daerah tersebut mendefinisikan pelacuran sebagai tindakan orang-orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapat upah. Jadi menurut definisi ini pihak pelacur menjadi obyek hukum yang dikenai sangsi karena pelacur dalam hal ini dalam posisi sebagai pihak yang mempertukarkan tubuh dengan upah. Pelanggaran terhadap peraturan daerah ini dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya 1 bulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah. Sejak dikeluarkannya peraturan Daerah pada tahun 1954 tersebut, pemerintah propinsi belum lagi mengeluarkan kebijakan hukum yang terkait dengan penanggulangan masalah pelacuran. Namun, Pemerintah Kotamadya Yogyakarta pada Tahun 1993 menetapkan Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor: 1040/ KD/1993 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis serta Pola Penanggulangan Tuna Susila di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta. Di dalam Kebijakan ini, penanggulangan masalah tuna susila tidak hanya dengan pelarangan melalui Peraturan Daerah, tetapi juga ada kebijakan yang bersifat rehabilitatif. Ada tiga jenis penanggulangan yang ditentukan dalam Kebijakan Walikota tersebut yaitu (Red.) : Pertama, Penanggulangan Preventif. Tindakan preventif dilakukan melalui penyuluhan sosial, bimbingan sosial dan latihan ke-
Ketiga, Penanggulangan Kuratif. Tindakan kuratif dilaksanakan melalui program rehabilitasi, resosialisasi dan pembinaan lanjut. Sasaran dari tindakan ini adalah tuna susila terutama wanita tuna susila hasil razia. Di dalam program ini wanita tuna susila mendapat bimbingan fisik dan mental keagamaan, bimbingan sosial, bimbingan ketrampilan kerja, latihan manajemen usaha, bimbingan sosial hidup bermasyarakat, bantuan untuk usaha produktif yang diikuti bimbingan usaha produktif. Introduksi program rehabilitasi sosial menjadi pendekatan baru, melengkapi model penanganan sebelumnya yang lebih mengedepankan tindakan represif melalui operasi penjaringan dan hukuman. Pengenalan program ini dilakukan setelah Departemen Sosial yang pada waktu itu memulai penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan
ja seks
Kedua, Penanggulangan Represif. Upaya represif dilaksanakan melalui kegiatan razia, penampungan sementara dan pelimpahan. Razia diarahkan kepada tuna susila yang selanjutnya akan dikumpulkan di tempat penampungan sementara untuk menetapkan kualifikasi sebagai dasar untuk menentukan tindakan selanjutnya. Bagi tuna susila yang bersedia mengikuti rehabilitasi sosial maka mereka akan masuk dalam program rehabilitasi, sedangkan bagi yang menolak dan sudah sering terjaring razia maka akan dilimpahkan kepada Pengadilan melalui Kepolisian.
mpuan pek re
er
trampilan. Penyuluhan sosial ditujukan bagi tuna susila yang mangkal di tempat-tempat umum serta warga masyarakat yang berada di daerah rawan sosial. Bimbingan sosial diarahkan kepada masyarakat yang telah mengikuti penyuluhan sosial agar mereka dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindak tuna susila. Latihan Ketrampilan juga ditujukan kepada masyarakat rawan sosial untuk memberikan lapangan pekerjaan.
potret pe
Liputan Utama
PPS yang terjaring, foto dok. fajar.co.id
sosial berbasis panti sosial. Pada tahun 1989 Menteri Sosial menetapkan Keputusan Nomor 6/HUK/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti di Lingkungan Departemen Sosial. Di dalam Keputusan tersebut salah satu Panti Sosial yang diberi mandat menyelenggarakan program pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila (Panti Karya Wanita). Tugas Panti Karya Wanita dalam melakukan rehabilitasi adalah dengan memberikan pembinaan kepribadian dan penyembuhan sosial, merubah sikap dan tingkah laku, pemulihan harga diri serta pengembangan bakat dan ketrampilan sosial bagi bekas wanita tuna susila. Solusi jalan tengah untuk menghadapi hal semacam itu adalah peran agama dan negara, karena agama untuk mengembalikan manusia sebagaimana manusia di ciptakan di dunia, manusia-manusia yang merdeka. Selain itu juga dalam bersosial dia sebagai makhluk sosial yang mampu hidup secara wajar dan tidak bertentangan dengan budaya lokal dan norma agama. Agar tidak ada penguatan dan justifikasi terhadap prostitusi, aparat pemerintah dari tingkatan apapun dan juga masyarakat harus bisa menolak pemberian dalam bentuk apapun yang sekiranya berasal dari dunia prostitusi. Di saat yang sama, pemerintah juga harus merangkul mereka, memberdayakan mereka, memberi pelatihan-pelatihan yang memungkinkan mereka mendapatkan uang yang sama banyaknya dengan saat menjadi pekerja seks. Keberhasilan itu akan menjadi model yang baik, yang akan mendorong prostitute lainnya untuk mentas dari wilayah tersebut.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
17
Liputan Utama
Pekerja Seks juga Seorang Ibu Umurnya sudah tidak lagi muda. Pada tahun ini genap 44 tahun. Hampir separuh usia hidupnya, dilewatinya di tempat remangremang dengan menjadi pekerja seks. Ia mengaku hidupnya memang penuh liku. Tapi di sudut lain hidupnya yang kelabu itu, ia tetap seorang ibu yang berusaha menjadi yang terbaik dalam membesarkan dan mendidik kedua anaknya. Oleh : Kamil Alfi Arifin
S
ebut saja namanya Rosa. Ia salah seorang pekerja seks (PS) di Pasar Kembang Yogyakarta yang bersedia diwawancarai oleh Pledoi. Siang itu, gang Sosrowijayan Kulon di daerah Pasar Kembang Yogyakarta—kompleks rumah koskosan Rosa tinggal—tampak sedikit lengang, bila dibanding dengan aktivitas di malam harinya. Hanya tampak beberapa perempuan berkaos terbuka dan bercelana pendek duduk santai merokok di teras-teras rumah. Sama seperti Rosa, yang siang itu juga berpakaian yang serupa. Tak mudah untuk mewawancarai Rosa. Ia merasa trauma dengan wartawan media cetak yang dulu juga pernah mewawancarainya. Sebabnya, identitas Rosa dibuka ke publik oleh wartawan tersebut. Tapi setelah Pledoi meyakinkan untuk merahasiakan identitasnya, Rosa pun bersedia bercerita, mengapungkan ingatan masa silamnya yang jauh dan masa kekiniannya di Pasar Kembang menjadi penjaja.
18
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Keterhimpitan Ekonomi Di sekitar tahun 1996-an, Rosa masih tinggal di Semarang bersama suami dan kedua anaknya. Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara suaminya, hanya menjadi kernet supir Angkot. Tapi setelah Rosa mendapat uang dari arisan, Rosa mengaku, menyuruh suaminya untuk membuat surat izin mengemudi mobil. Sehingga suaminya pun berhenti ngernet dan menjadi sopir di angkutan yang sama. “Nyupir sendiri,” kata Rosa. Penghasilan nyupir sendiri dirasa lebih besar dibanding menjadi kernet. Tapi tak lama, suaminya kemudian sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya cukup serius yaitu ginjal. Setiap minggu suaminya diwajibkan cuci darah oleh dokter. Setiap kali cuci durah menghabiskan uang sekitar Rp 400 ribu. Jumlah nominal yang besar bila dibanding dengan pendapatannya yang tak seberapa pada waktu itu. “Kalau sekarang kecil ya, waktu itu besar, apalagi aku tidak bekerja,” ujar Rosa. Karena pendapatan keluarga Rosa yang “besar pasak dari pada tiang”, pernah kata Rosa, suaminya tidak melakukan cuci darah di jadwal rutin. Sehingga merasa sakit di seluruh tubuhnya. Hal itu berbeda, dengan setelah cuci darah, suaminya selalu merasa tubuhnya ringan. Tak tega membiarkan suaminya tidak cuci darah dan untuk
Liputan Utama dahal, kata Rosa, dirinya sering dikejar-kejar rentenir. “Utang buanyaak banget,” rintih Rosa. Menurut Rosa, jumlah utangnya sebesar Rp 5 juta, lain bunga di setiap pinjaman satu jutanya, pertahun mencapai Rp 200 ribu. Karena keterhimpitan ekonomi itulah, yang kemudian menghantarkan Rosa bekerja sebagai pekerja seks di Pasar Kembang Yogyakarta selama 16 tahun lamanya. Sejak tahun 1997 hingga sekarang.
potret
em p er
uan pe
k
eks ja s er
p
Tak Kepikiran Kerja Sebagai PS
dok. rivercommunitychurch.org
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Rosa pun terpaksa banyak mengutang. Tapi takdir berkata lain, sekalipun Rosa banyak mengutang untuk keperluan biaya pengobatan suaminya, suaminya tetap tidak tertolong. Suaminya meninggal dunia. Meninggalkan Rosa yang terbelit hutang, dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Berhadapan dengan kenyataan itu, Rosa shock, bingung dan nyaris putus asa setelah kepergian suaminya. Bagaimana membesarkan kedua anaknya seorang diri, padahal dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa? Begitulah yang menjadi pertanyaan Rosa. Sempat juga Rosa ingin menggugat nasib hidupnya sendiri. “Tapi aku mau menggugat siapa? Masak mau menggugat gusti Allah, kan tidak mungkin. Mungkin ini sudah jalannya,” kenang Rosa mencoba ikhlas. Rosa mencoba tegar dan mulai menjalani hidup kembali seperti semula, menghadapi kenyataan meski pahit dengan menjadi pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan kedua anaknya. Tapi Rosa bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak lama, hanya sekitar 7 sampai 8 bulanan. Rosa kemudian memilih berhenti, sebab gajinya terlalu kecil. Hanya Rp 15 ribu perminggu. Tentu uang itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan kedua anak-anaknya. “Duh, gimana kalau anakku minta jajan,” serunya.
Rosa mengaku tidak pernah kepikiran akan bekerja sebagai pekerja seks. Ceritanya, waktu itu Rosa bersilaturahmi ke tetangganya yang (kebetulan bekerja di Yogyakarta) sedang belibur pulang ke Semarang. Karena susah mencari pekerjaan, ditambah pusing memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup kedua anaknya dan untuk menutupi hutanghutangnya, pertemuan dengan tetangganya yang bekerja di Yogyakarta itu disempatkan Rosa untuk bertanya tentang peluang pekerjaan. “Kamu kerja dimana? Mbok aku melu,” cerita Rosa. Temannya itu hanya bertanya balik kepada Rosa mengenai izin boleh tidaknya dari suaminya. Rosa kemudian memberitahukan kalau suaminya sudah meninggal. Seolah-olah gayung bersambut, Rosa pun berangkat ke Yogyakarta. Tapi Rosa mengaku tidak kepikiran kerja sebagai pekerja seks. “Waktu itu setauku, enggak kayak tempat beginian. Setauku di panti pijat,” tukasnya. Setelah sampai pertama kali di Pasar Kembang, Rosa belum curiga, karena di Pasar Kembang tempatnya tidak seperti lokalisasi pelacuran. Hanya seperti rumah kontrakan biasa. Tapi tak lama, akhirnya Rosa pun menjadi tahu. Tempat ini adalah tempat remangremang. Tempat biasa laki-laki hidung belang melabuhkan hasrat birahinya. Meski setelah tahu pun, Rosa tak bisa menolak dan menghindari pekerjaan yang
Selain itu, pekerjaan dengan penghasilan kecil seperti itu juga tidak mampu menutupi hutang-hutangnya yang menumpuk. Pa-
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
19
Liputan Utama sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya. Kondisi dan keterhimpitan ekonomi yang kemudian lagi-lagi memaksa Rosa mau tidak mau melakoni apa yang sudah ada di depan matanya.
nansial darinya. “Celana dan pulsa masih minta,” cerita Rosa.
“Masak aku pulang dengan tangan kosong. Ya sudah aku jalani,” pungkas Rosa. Sejak itulah, permulaan Rosa bekerja sebagai pekerja seks dan menemani tidur para tamu di Pasar Kembang di mulai. “Awalnya malu dan risih, mas. Karena belum pernah melakukan dengan orang lain,” akunya.
Sejak kedua anaknya tinggal bersamanya di Yogyakarta, Rosa mengaku memang merahasiakan pekerjaannya kepada kedua anaknya. Selama bertahun-tahun, Rosa merahasiakan hal itu. Yang mereka tahu, kata Rosa, dirinya bekerja di lesehan Malioboro, karena kerjanya memang malam. Sama seperti jam kerja sebagai pekerja seks, jam 7 malam Rosa berangkat, jam 12 harus pulang ke rumah agar kedua anaknya tidak terlalu curiga.
***
Rosa memang pandai-pandai menyembunyikan pekerjaannya kepada kedua anaknya. Rosa tidak ingin kedua anaknya kecewa, apalagi ikut-ikutan terpengaruh dengan kebiasaan dirinya sebagai pekerja seks. Oleh karena itu, jika di rumah, kata Rosa, dirinya tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kerap dilakukan di Pasar Kembang, seperti merokok, mabuk dan berbaju ketat. Rossa juga mengaku harus mengganti baju saat pulang bekerja.
Pada waktu pertama kali Rosa berangkat ke Yogyakarta, ia belum membawa kedua anaknya. Keduanya dititipkan dan tinggal bersama neneknya di kampung. Kedua anaknya di bawa ke Yogyakarta dan tinggal bersamanya setelah beberapa waktu kemudian. Setelah Rosa memboyong anak-anaknya ke Yogyakarta, Rosa pun sempat ngekos di luar kompleks Pasar Kembang. Rosa seolaholah menjalani dua karakter dan dua dunia yang berbeda. Bolak-balik di antara keduanya: karakter seorang ibu dan seorang perempuan pekerja seks; dunia rumah (dalam pengertiannya rumah tangga sebagai single parent) dan lokalisasi tempat dirinya menjamu lak-laki. Hal ini dilakukan oleh Rosa hanya semata-mata untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya.
Tak Rela Kedua Anakku Seperti Aku
Sampai hari ini, kedua anaknya belum tahu tentang pekerjaan Rosa yang sebenarnya. Memang kedua anaknya sekarang sudah tidak lagi tinggal di Yogyakarta, setelah masing-masing keduanya lulus sekolah di Yogyakarta. Yang pertama, sudah menikah dan bekerja di Demak. Sedang yang kedua, tinggal dan bekerja kecil-kecilan di Semarang. Tapi kata Rosa, anaknya yang kedua masih belum sepenuhnya lepas ketergantungan fi-
20
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Rosa benar-benar menjalani dua karakter dan dua dunia yang berbeda, untuk kepentingan membesarkan dan mendidik anakanaknya. Rosa tidak hanya menyekolahkan anaknya di sekolah umum saja. Pada sore harinya, Rosa mengaku juga menyekolahkan anaknya ke sekolah TPA. Rosa juga kerap meminta dengan caracara yang baik dan halus kedua anaknya untuk sholat berjemaah di mesjid jika sempat. Rosa memang memiliki keinginan kuat untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya. “Anakku jangan bodoh seperti aku. Aku kepengen anakku, setidaknya sekolah sampai SMA-lah. Biar nyari pekerjaan tidak susah,” pungkas Rosa. Sekarang, setelah anak-anaknya tumbuh dewasa, Rosa merasa cukup berhasil mendidik kedua anaknya tersebut. Kedua anaknya tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas di lingkungan kota dan kebiasaan dirinya. “Yang paling besar aja enggak merokok, mabuk-mabukan. Aku berterima kasih, aku yang kayak gini, tapi anakku enggak salah pergaulan,” ujarnya. Aapapun pekerjaan Rosa, ia tetap seorang ibu yang dipandu rasa kasih yang kuat untuk melihat anak-anaknya hidup tumbuh sebagai manusia yang membanggakan dirinya, masyarakatnya dan bangsanya. Rosa mengaku, jika anaknya yang kedua nanti sudah menikah dan tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada dirinya, ia akan keluar dari dunia remang-remang dan kembali ke Semarang tinggal bersama keluarga besarnya.
Kata Mereka
PRO KONTRA ATAS KEBERADAAN PEREMPUAN PEKERJA SEKS Oleh : La Arpani
D
i beberapa sudut jalan tampak poster-poster yang terpampang dengan model dan pesan yang beragam, poster atau Baliho itu menambah indah dan semaraknya sepanjang jalan Giwangan. Jalan poros yang menghubungkan Jawa Tengah dengan Jawa Timur ini, sepanjang penglihatan mata melihat, disana tampak pula abang becak dan tukang ojek yang siap menanti penumpang. Para abang becak dan tukang ojek ini, memarkir motornya berjejeran mengikuti panjangnya jalan Giwangan. Tak ketingalan, para pedagang Asongan, PKL, mobil-mobil pengangkut sayur-sayuran, para supir yang terus-terusan berteriak memangil para penumpang yang hilir mudik disekitar terminal Giwangan. Itu lah ke khasan dari Daerah Terminal Giwangan Yogyakarta, yang menjadi kebangaan masyarakat Kota Yogyakarta. Tempat yang menjadi sentral pertemuan warga ini tidak saja potensial untuk penggerak ekonomi, melainkan juga sebagai tempat berkembangnya warung remang-remang yang selama ini menjadi lahan aktivitas prostitusi. Daerah terminal Giwangan yang multi fungsi ini, agaknya menjadi tercemari tatkala disana berkembang prostitusi. Keberadaan mereka disana, menjadi daya tarik tersendiri bagi tingginya pengunjung di sekitar daerah terminal giwangan, siapa lagi kalau bukan si hidung belang yang mencari pelepas kepuasan nafsu belaka. Sekilas disana terjadi arus simbiosis mutualisma antara satu dengan yang lain. Tina (34) tahun, begitu ia disapa, mengaku bahwa ia bisa bertahan hidup bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya lantaran membuka kios di pingir jalan Giwangan. Sosok yang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang asongan ini setiap saat menghabiskan waktunya dipingir jalan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Aktivitasnya terasa ganjil lantaran ia sibuk hanya seorang diri ditemani Didi (7) tahun sang anak. Ibu dari satu anak ini, telah ditingal suaminya. Perpisahan mereka lantaran kesalah pahaman alias kecemburuan yang berbuntut pada perceraian. Dibalik kesederhanaanya, perempuan berperawakan tinggi gemuk ini memelihara si-
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
21
Kata Mereka
kap terpuji, dimana sikap toleran menjadi prinsip dalam hidupnya. Sebagai perempuan Tina mempunyai kepekaan terhadap kondisi perempuan lain yang ada di sekitarnya. Sosok tegas ini mengaku pernah adu mulut dengan seorang laki-laki yang dinilainya mempermainkan perempuan. “waktu itu tengah malam saya sedang tidur di kios ini bersama anak saya. Lah saya dengar ada yang ribut sekitar kios saya, karena waktu itu saya juga ingin pipis, maka saya langsung bergegas di toilet dibelakang kios ini. Setelah pipis, saya nengok ternyata disana ada perempuan yang ngejar laki-laki sambil teriak, saya langsung ikuti perempuan itu dan setelah itu saya tanya kenapa kamu teriak-teriak. Perempuan tersebut menceritakan bahwa cowok ini kurang ajar, masa habis main dia tidak mbayar enak ja dia”. Tutur Tina menirukan perkataan perempuan yang ditolong malam itu. Tina pun kemudian menghampiri laki-laki di kejar perempuan yang ditolong malam itu sembari mengatakan “mas jangan begitu ini teman saya”. Desak Tina kepada laki-laki yang berniat kabur tersebut. Saat mendesak laki-laki itu Tina tetap menjaga sikapnya dengan baik di mana dia juga tidak menggunakan kata-kata kotor meskipun laki-laki itu pantas mendapatkannya, namun Tina tetap mengedepankan prinsip-prinsip manusiawi. Hal ini juga terlihat dari pandanganya ketika di konfirmasi perihal keberadaan para perempuan pekerja seks (PPS) yang ada di sekitar terminal Giwangan yang menyatakan: “kita tidak bisa menjelekkan atau memojokkan mereka sebelum mengetahui seluk beluk mereka. Di antara mereka ada yang melakukan hal seperti itu karena kondisi, mereka itu kan ada dari kecil sudah ditinggal orang tuanya dan mereka juga hidup di lingkungan yang keras. Sehingga situasi itu membawa mereka seperti sekarang. Namun ada juga yang melakukan hal yang sama karena ditipu, mereka di iming-imingin kerja ternyata menjadi istri simpanan orang. Kan mas masing-masing orang itu punya ekspresi yang berbeda-beda dalam merespon setiap masalah yang menimpa dirinya. Ada orang ketika mendapat masalah pelarianya ke Allah dan ada juga orang ketika mendapatkan masalah langsung frustrasi, lalu pelarianya terjun ke dunia prostitusi. Ya tapi bagaimana pun kita tetap memandang mereka sebagai bagian dari kita, ya karena kondisi tadi”. Kata Tina, menjelaskan keberadaan para perempuan pekerja seks (PPS). Bagaimana pun “noraknya” posisi PPS di lingkungan masyarakat, tetapi tidak lantas kemudian membuat orang muak apalagi sampai berujung pada pelarangan dan pemberhentian aktifitas mereka. Hal ini nampak dari pendapat Tina di atas, namun penjelasan tersebut
22
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
agaknya kontras dengan pendapat warga yang lain. Paiman misalnya, dia menanggapi keberadaan prostitusi tidak seterbuka Tina. Anak pertama dari tiga bersaudara ini sedikit tidak setuju dengan aktifitas para PPS, menurutnya reaksi mereka ini sudah membawa citra buruk atas keberadaan Giwangan yang selama ini di kenal banyak orang sebagai tempat lalu lintas masyarakat yang nyaman. Dalam pandangan Paiman keberadaan mereka kerapkali menjadi munculnya keributan dan membuka ruang bagi munculnya fitnah. Hal ini agak realistis, sebab pandangan umum masyarakat tidak ada yang bisa menerima pilihan-pilihan untuk menjadi PPS. Ketika ada seseorang yang memutuskan untuk menjadi PPS maka penilaian masyarakat hampir semuanya seragam; pekerjaan hina dan perenpuan-perenpuan asusila. “saya itu mas, mbo bagaimana pun posisi perempuan di dunia prostitusi ya tetap itu hina. Mau itu karena keterpaksaan atau sebab-sebab lain, saya tetap mengatakan bahwa itu profesi buruk. Sebab perempuanperempuan yang ada di sekitar Giwangan ini sudah ada sejak aku masih remaja dulu dan sampai hari ini mereka masih ada. Meskipun di antara mereka ada yang sudah tua, namun masih tetap aktif walaupun dengan peran yang berbeda dari sebelumnya. Jadi ada juga semacam proses regenerasi dan bagian ini menjadi pekerjaan mereka yang sudah tua, ya mereka kebagian masalah rekruitmen”. tutur Paiman mencoba menanggapi halikhwal prostitusi. Itulah kesimpulan masyarakat dalam melihat prostitusi, dan keragaman asumsi tidak bisa dihukum dengan kebencian terhadap PPS. Situasi ini terjadi tidak secara tunggal melainkan terdapat beberapa faktor pendorong, diantaranya keterdesakan ekonomi, kemiskinan, pendidikan yang rendah, ataupun lingkugan sosial yang mendukung. Apabila ditelisik lebih jauh, fenomena prostitusi
Kata Mereka
pun merepresentasikan kepentingan banyak pihak, sehingga aktifitas mereka pun menjadi mulus, terlepas kecaman dari banyak pihak terus mengalir. Hal itu tergambar dengan jelas dari pernyataan diatas. Jadi ada semacam situsi di mana terjadi proses simbiosis mutualisme yang berlangsung secara masif, tapi juga memiliki efek domino yang mempengaruhi piskologis masyarakat terutama yang berada di sekitar daerah pasar Giwangan. Yang berkepentingan dalam hal ini jelas di situ ada pengusaha kemudian juga ada pihak-pihak yang berwajib alias oknum polisi. Dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah para konsumen atau si hidung belang. Interaksi antara mereka inilah yang membuat prostitusi itu bisa berlangsung. Selain itu karena adanya situasi yang saling menguntungkan maka masyrakat menjadi terpecah juga dalam melihat fenomena prostitusi.
“kami itu hampir setiap saat hawatir lo mas, itu lantaran aktifitas wanita malam itu. Pernah ada di antara perempuan malam itu mendatangi salah satu laki-laki disini (warga) dan marahmarah lantaran dia (PPS) merasa di tipu dengan laki-laki tersebut. Kejadian itu membuat kita semua menjadi tidak tenang juga. Seakan-akan setiap suami kita keluar itu sudah tidak kemanamana lagi seakan-akan sudah di sana, padahal belum tentu juga suamisuami kami itu kesana”. Pungkas Ainun
“jadi kita juga agak sulit untuk meniadakan mereka dari lingkungan ini, karena kehadiran mereka mengutungkan pihak-pihak lain yang selama ini membangun interaksi bersama mereka. Hampir semua penjual yang ada di sini terutama penjual makanan itu sangat setuju dengan keberadaan mereka. Karena boleh jadi PPS itulah yang menjadi konsumen tetap mereka, maka kadang kita malas melihat situasi itu. Bahkan mereka yang menjual itu sebelumnya juga berpropesi seperti itu, sehingga mereka akan selalu melindungi hal-hal kaya gitu, wong dulu mereka di situ” kata Paiman, menjelaskan perihal kedongkolannya terhadap aksi para perempuan malam di sekitar terminal Giwangan. Keberadaan mereka ini tidak saja mengganggu pemandangan tetapi juga meresahkan ketenangan para ibu yang ada di lingkungan pasar Giwangan. Agaknya para ibu ini selalu khawatir ketika suami-suami mereka keluar rumah. Ini terjadi lantaran mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa betapa keberanian perempuan malam itu sudah terlampau kebablasan. Bahkan kadang mereka menyaksikan transaksi gelap itu. Kadang-kadang perempuan malam itu harus datang di rumah laki-laki yang pernah menidurinya ketika tidak memberikan haknya. Ketika ini terjadi, pertengkaran pun akan sulit dihindari. Di sinilah kehawatiran para ibu mencapai puncaknya. Padahal belum tentu juga semua laki-laki yang ada di sekitar sana keluar rumah untuk “jajan” di titik prostitusi sekitar Giwangan. Namun karena kejadian tersebut pernah terjadi, maka wajar apabila para ibu ini menjadi trauma. Berikut pernyataan Ainun; “kami itu hampir setiap saat khawatir lo mas, itu lantaran aktifitas wanita malam itu. Pernah ada di antara perempuan malam itu mendatangi salah satu laki-laki disini (warga) dan marah-marah lantaran dia (PPS) merasa di tipu dengan laki-laki tersebut. Kejadian itu membuat kita semua menjadi tidak tenang juga. Seakan-akan setiap suami kita keluar itu sudah tidak kemana-mana lagi seakan-akan sudah di sana, padahal belum tentu juga suami-suami kami itu kesana”. Pungkas Ainun saat di konfirmasi soal keberadaan prostitusi di sekitar terminal Giwangan. Jadi betapa masyarakat sudah terlampau resah dengan keberadaan aktivitas prostitusi di Giwangan, sehingga harmonisasi dalam masyarakat bahkan dalam lingkup keluarga sekalipun juga menjadi taruhan. Dalam artian, sudah banyak warga yang mengeluhkan situasi tersebut sebagai mana yang di bahasakan di atas. Dan Ainun juga melihat, bahwa terdapat problem besar di mana keberadaan prostitusi itu akan membawa kondisi buruk bagi kesehatan laki-laki, hal ini lanjut Ainun: karena PPS rentan dengan penyakit seperti AIDS dan sejenisnya. Dan bukan saja kaum laki-laki yang menjadi kehawatiran, namun
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
23
Kata Mereka para remaja yang masih dalam usia sekolah pun turut harus diwaspadai. Ini bukan persoalan mudah sebab mereka juga mempunya jaringan yang oreantasinya memang fokus membidik kaum remaja. Apa lagi perempuan disana masih terbilang belia, karenanya kemungkinan besar akan menggiurkan bagi remaja disini. Misi mereka selama ini kan bagaimana mempertahankan pelanggan, karena itu mereka akan dengan serius menggarap pelanggan yang mereka sudah anggap fanatik dengan mereka. Dan mustahil mereka akan membedakan pelanggan berdasarkan latar belakang apalagi usia. Dalam artian, mereka akan dengan gigih memelihara dan menutupi segala sesuatu yang berpotensi untuk katakan lah merugikan mereka. “sekarang ini kita tidak lagi hanya prihatin sama suami, melainkan sama anak-anak kita sekalipun juga turut kita khawatirkan. Karena kita kan tidak tau ni seperti apa situasi anak-anak kita ketika meninggalkan rumah. Ya kalau misalkan mereka keluar itu hanya untuk main atau belajar dengan teman itu mungkin tidak masalah. Tapi jangan sampai mereka keluar justru ketempat-tempat itu, wallahu a’lam kita tidak tau, maka untuk meminimalisir itu semua kita membuat semacam antisipasi jangan sampai mereka itu kos rumah di sekitar sini, sebab itu akan bahaya dengan kondisi anak-anak kami. Sejauh ini mereka hanya bisa menggunakan lapak-lapak (warung-warung/kios-kios kecil) sekali gus menjadi tempat tinggal mereka. Ya di situlah aktivitas mereka berlangsung”. Pungkas Ainun menambahkan penjelasanya. Komentar di atas berbeda dengan Juminten di mana dia lebih melihat fenomena ini sebagai pembelajaran penting. Menurut dia bagaimana pun seorang manusia harus mampu menenpatkan posisi manusia lain sebagai bagian dari dirinya, sehingga kita kemudian tidak selalu melihat orang dengan prasangka-parasangka yang buruk. Kemudian fenomena itu juga menjadi momentum pembelajaran bagi masyarakat khususnya kaum ibu. Sebab menurut Tina peranan kaum ibu sangat sentral dalam menata perkembangan kepribadian anak. Jadi menurut Tina, fenomena prostitusi itu akibat dari praktek salah urus lingkungan keluarga sehingga berdampak pada bermunculannya PPS. Berikut pernyataan Tina; “seburuk-buruknya aktifitas mereka ini kita tidak bisa selamanya menyalahkan atau bahkan kita tidak menggauli mereka. Karena apa pun menurut saya mereka ini latar belakang keluarganya serba ruwet. Sehingga kita harus pahami itu, tidak bisa dong kita langsung mengucilkan mereka. Bukan kah akan lebih bagus mereka itu kita perlakukan sebagai saudara kita sendiri, siapa tau saja dengan cara itu mereka bisa terketuk pintu hatinya untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka”. Tutur Tina dalam wawancara seputar prostitusi. Itu lah pro kontra di tingkat masyarakat dalam melihat atau menanggapi prostitusi, ada yang masih punya naluri untuk mendekati dengan harapan agar bisa merubah atau menyadarkan. Ada juga yang menanggapi hal itu dengan nada sinis, dan situasi tersebut sangat wajar. Bagi yang menanggapinya secara positif tak lain karena mereka melihat banyak pembelajaran dibaliknya, sebagaimana yang diungkapkan Tina diatas. Dan bagi mereka yang menanggapinya dengan negatif, itu juga punya rasionalitas yang logis dengan pertimbangan keberadaan prostitusi di wailayah Giwangan cukup beresiko bagi warga disekitarnya, baik dari aspek sosial ataupun aspek kesehatannya. Keragaman
24
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
“seburuk-buruknya aktifitas mereka ini kita tidak bisa selamanya menyalahkan atau bahkan kita tidak menggauli mereka. Karena apa pun menurut saya mereka ini latar belakang keluarganya serba ruwet. Sehingga kita harus pahami itu, tidak bisa dong kita langsung mengucilkan mereka. Bukan kah akan lebih bagus mereka itu kita perlakukan sebagai saudara kita sendiri, siapa tau saja dengan cara itu mereka bisa terketuk pintu hatinya untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka”. Tutur Tina
Kata Mereka
pandangan masyarakat ini menjadi momentum berarti perihal penanganan PPS yang tepat dan tentunya komperhensif. Bahkan ada yang melihat PPS ini sebagai sumber pemasukan Daerah dan akan menguntungkan masyarakat luas, dan komentar warga seperti ini tidak bisa disalahkan karena toh pengalaman juga menunjukan hal yang demikian. Sejauh ini keberadaan mereka pun tidak gratis, ada semacam uang setoran tiap malam yang dipungut oleh oknum aparatus negara. Bahkan tanpa malu-malu mereka melakukannya dengan pakaian dinas dan mengendarai mobil dinas, lalu kemana larinya uang-uang tersebut? apakah tindakan mereka telah sejalan dengan aturan dan prosedur yang ada? Kejelasan sikap negara memang sedang di uji, dan tidak sebatas itu, yang terpenting ialah bijaksana dalam menyikapi fenomena prostitusi. Begitu kompleksnya latar belakang munculnya prostitusi, kalau perlakuan kita kepada mereka tidak mempunyai aspek atau nilai mendidik, maka itu sama saja menambah beban mereka dan itu sama dengan kita mendorong mereka untuk kukuh dengan pendirian mereka yang nota bene menurut kita buruk. Berikut komentar Pujono, salah seorang pedagang asongan di sekitar pasar Giwangan : “ya kita harus bijak juga menanggapi masalah perempuan malam ini. Kalau saya mas, menyalahkan mereka sepenuhnya itu kesan kita tidak punya perasaan, bayangin mas, mereka hidupnya sudah malang, lalu mereka juga harus bayar setoran. Ya karena ada yang berpakaian dinas resmi mas, yang setiap malam memungut setoran dan saya tidak bisa menyebutkan mereka itu siapa. Cukup sebagai bahan pertimbangan bahwa yang sesuguhnya memang kaya gitu. Jadi jangan dipikir mereka itu selamanya senang, bagi saya beban yang mereka pikul itu berat mas. Mereka harus bayar sewa lapak, terus
setoran tadi, sementara pelanggan mereka juga tidak menentu maka kalau selama ini kita menganggap mereka senang dan punya untung berat dengan aktivitasnya itu juga tidak benar. Tutur Pujono menanggapi keberadaan PPS disekitar pasar Giwangan. Pria yang berkumis tebal ini mengaku pernah melakukan pendekatan intens dengan perempuan-perempuan malam ini, dan hal tersebut didasari semata niatannya untuk melindungi mereka. Meskipun dia juga mengakui bahwa tidak semua para perempuan malam bisa dia dekati, karena menurut Pujono, di antara mereka ada titipan dari pihak yang berpakaian resmi tadi. Pujono lebih memilih mendekati mereka-mereka yang sudah agak tua yang kemungkinan bisa di ajak untuk meninggalkan pekerjaan sebelumnya. Bahkan Pujono harus rela memutar otak untuk mendapatkan dana dimana dari dana tersebut dia bisa secara bertahap mengajak mereka untuk beralih status. Dari sekian orang yang dia bantu ada yang kemudian memilih untuk beralih profesi dan mulai menata kembali hidupnya dengan mencari kembali keluarganya. Berikut penuturan Pujono; “saya dari beberapa bulan yang lalu sampai dengan detik ini masih terus melakukan pendekatan dengan mereka. Saya sedih kalau sampai mereka itu di akhir hidupnya mereka masih tetap dengan propesinya itu, sehingga kita sebagai manusia juga punya tanggung jawab moril untuk memebebaskan mereka dari dunia hitam itu. Alhamdulillah mas, 10 orang sudah berhasil saya ajak mereka untuk berdagang meskipun juga masih dalam tahap pedagang asongan dan rencana saya ini tidak akan berhenti sampai di sini tapi nantinya kita akan buat semacam paguyuban asongan agar mereka ini bisa diberdayakan” kata Pujono menambahkan penjelasanya. Itulah yang selalu diupayakan oleh Pujono untuk bisa mengeluarkan mereka dari kondisi seperti sekarang. Apa pun rela dia lakukan dengan harapan bisa membebaskan para PPS dari belenggu prostitusi. Sebuah tekad yang luar biasa selama ini ia lakukan mesikipun dia juga secara ekonomi terbilang juga pas-pasan. Namun keberanianya untuk mengorganisir para PPS patut di acungi jempol. “ya mas ini karena niat saya sejak dulu. Apa ya, aku itu kayak nggak tega aja melihat mereka kaya gitu. Apa lagi saya juga tidak punya saudara perempuan, maka kalau saya melihat mereka di perlakukan seperti itu saya tidak sampai hati. Karena itu saya harus selalu bersama-sama dengan mereka”. Ungkap Pujono sembari mengakhiri pembicaraan.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
25
Opini
Berhenti Berdebat atas Dasar Kemanusiaan dok.rentonsroom.co.uk
Oleh : Arini Robbi Izzati
A
pa iya prostitusi merupakan bisnis tertua di muka bumi ini dan tak akan pernah lekang oleh zaman??? Jangan terburu-buru untuk meyakininya. Hadirnya prostitusi sepertinya suatu keniscayaan sejarah, mulai dari yang mengendap-endap tersembunyi hingga yang terang-terangan. Ia mampu beringsut dan menggurita menjadi industry seks yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk konsumen yang haus akan pemenuhan nafsu sahwat nya. Namun jangan lupa nasib perempuan-perempuan pekerja seks yang ada didalamnya, yang lekat dengan sistem kuasa dan rentan akan kekerasan dan diskriminasi. Apa sebenarnya prostitusi, sampai sejauh ini belum ada satu definis tunggal yang menjawabnya. Mayoritas memahami prostitusi sebagai aktivitas seksual dengan skema-skema bayaran, promiskuitas, perselingkuhan, dan ketidak acuhan emosional. Bayaran atas pelayanan seks masih saja menjadi elemen paling mendasar dalam mendefinisikan prostitusi. Namun sayangnya faktorfaktor jaring trafficking, preman yang melakukan pemaksaan, penganiayaan, keterpaksaan selalu luput dari perhatian. Cobalah sekali-kali kita berfikir kritis dengan mereduksi masalah prostitusi pada persoalan gender dan ketidakadilan, maka ada beberapa hal yang menjadi jelas.
26
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Opini Sukses industry seks tidak dapat dipisahkan dari persepsi laki-laki bahwa perempuan merupakan objek semata, yang diinginkan dan dicampakkan apabila objek tersebut tidak diinginkan lagi. Dalam bisnis prostitusi, perempuan pekerja seks berada pada posisi terendah, dimana peran mereka lebih ditentukan oleh laki-laki (pelanggan) dengan kata lain dalam prostitusi yang terjadi ialah dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi laki-laki ini mengakibatkan keinginan untuk mengontrol seksualitas dan institusi sosial. Kontrol tersebut mereka lakukan misalnya dalam keluarga, hubungan heteroseksual dan prostitusi. Dalam prostitusi kegairahan seksualitas perempuan diinginkan tetapi dianggap menyimpang. Dikotomi ini membagi perempuan dan menjadikannya semata-mata objek untuk kepentingan laki-laki sehingga memperkuat dominasi laki-laki. Kontrol atas seksualitas perempuan merupakan karakteristik kuat suatu kelompok gender laki-laki yang mengagung-agungkan kelaki-lakiannya. Dalam sistem masyarakat yang demikian prostitusi “dimaklumi” karena merupakan ungkapan dari agresivitas kelaki-lakian itu. Dalam hal ini prostitusi dapat diterima karena dianggap merupakan hak laki-laki, walaupun dengan cara pembelian seks, perampokan seks lewat perkosaan atau pelecehan. Barangkali ada baiknya kita meresapi pemaknaan prostitusi sebagai bentuk penindasan terlama di muka bumi ini. Ialah Victor Maralek yang telah berhasil mengangkat masalah trafficking perempuan Eropa Timur dan dari negara-negara bekas Uni Soviet untuk bisnis layanan seks. Dari sekian lama pengalamannya, Malarek berkesimpulan bahwa: “Prostitution is the world’s oldest oppression. No group in society is so victimed, so brutally terrorized and abused, as the women and children who are trapped in the vicious cycle of prostitution. And what is so baffling is this exploitation continues to be one of the most overlooked human rights abuses on the planet today”. (Prostitusi adalah bentuk penindasan yang tertua di dunia. Tidak ada kelompok masyarakat yang begitu dikorbankan, terteror, dan tertindas, seperti halnya kaum perempuan dan anak yang terperangkap dalam lingkaran setan prostitusi. Dan yang lebih mencengangkan adalah eksploitasi ini terus menjadi pelanggaran hak asasi manusia yang paling diabaikan di muka bumi ini). (Nori Andriyani, 2010:46) Maralek yang melakukan penelitian sejak tahun 20022009 tentang perempuan korban trafficking untuk bisnis
seks dan para lelaki pembeli layanan seks perempuan berkesimpulan bahwa: Prostitusi bukanlah sebuah pilihan. Untuk hampir mayoritas perempuan yang terperangkap dalam perdagangan (seks, prostitusi) adalah tindakan yang sangat terpaksa, prostitusi adalah seks untuk bertahan. Pandangan Malarek ini berbeda jauh bagi kelompok yang mendukung pandangan kerja seks sebagai pekerjaan, dengan dalih karena dalam prostitusi memenuhi prasyarat kerja. Mulai dari profesionalitas, skill, disiplin, dan pengalaman. Selain itu terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan. Berbagai unsur kerja yang terdapat dalam jasa tubuh juga menyangkut dengan kepuasan pelayanan, penjualan, pengabaian perasaan emosional, dan hubungan transaktif dimana ada komoditas dan ada satuan harga yang telah disepakati. Layaknya orientasi kerja, maka hasil dari uang yang didapat menjadi bagian untuk memenuhi kebutuhan individu si pekerja seks dan pemenuhan kebutuhan orang-orang terdekat secara emosional seperti keluarga di daerah asal mereka. Bahkan Lembaga Perburuhan Internasional ILO (International Labour Organization) cenderung menggunakan makna pekerja seks, yang menyatakan bahwa prostitusi merupakan entitas yang unsur-unsur di dalamnya telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai pekerjaan. Namun hal ini perlu dikritisi, apa iya itu pekerjaan? mana ada pekerjaan yang begitu menindas dan sangat merendahkan martabat perempuan, apakah tubuh hanya sekedar raga? Perdebatan mengenai prostitusi sudah berjalan cukup lama, dari kalangan feminis pun suaranya terpecah dalam menyoal pelacuran. Setidaknya terdapat empat paradigma yang berbeda dalam kaitannya dengan pelacuran. Pertama, prohibisonist yang berpendapat bahwa prostitusi
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
27
Opini ialah kejahatan dan harus dihukum baik penyedia, pembeli seks dan pekerja seks. Kedua, abolisionist yang menyatakan bahwa prostitusi adalah bentuk dari trafficking dan eksploitasi, dan segala bentuk industry seks harus dilarang. Dalam hal ini pekerja seks ialah dipandang sebagai korban, dan hal ini yang mendasari pandangan perempuan yang dilacurkan. Ketiga, regulasionist dengan pendapat bahwa prostitusi sebagai suatu kejahatan tidak dapat dielakan dari masyarakat, oleh karenanya dalam kondisi tertentu harus diatur. Pengaturan dalam hal ini ditujukan untuk menjaga ketertiban umum dan kesehatan umum. Keempat, decriminalization, yakni kerja seksual ialah pekerjaan oleh karenanya segala aturan tentang larangan pelacuran harus dihapuskan. Pandangan ini berfokus pada penghapusan pemaksaan dan kekerasan, serta pemenuhan hak-hak pekerja seks. Keempat paradigma tersebut memang berangkat dari perspektif yang berbeda dalam melihat akar persoalan. Dan pastinya memiliki pendekatan yang berbeda pula dalam mengatasi masalah pelacuran. Namun keempat pandangan tersebut memiliki landasan yang sama, yakni penghormatan terhadap hak asasi manusia. Maka berlama-lama memperdebatkannya pun tidak akan menyelesaikan persoalan. Yang terpenting ialah mensinergikan beberapa paradigma tersebut kedalam hak asasi manusia. Artinya, berangkat dari paradigma mana pun, upaya menjamin pemenuhan hak asasi manusia bagi pekerja seks ialah muaranya, dan tentu saja melalui pendekatan-pendekatan yang humanis. Pengabaian hak asasi manusai pekerja seks menjadi kekhawatiran terbesar saat ini ketika pemerintah belum juga mengambil sikap tegas dalam mengatasi persoalan prostitusi. Sikap mendua justru ditunjukan manakala prostitusi dianggap mengganggu ketertiban umum, tapi satu sisi mereka juga dilindungi secara sembunyi-sembunyi. Departemen Tenaga Kerja di Indonesia enggan mengakui prostitusi sebagai jensi pekerjaan sehingga mengecualikan mereka dari peraturan perlindungan tenaga kerja. Bahkan Departemen Tenaga Kerja menghindari penggunaan istilah pekerja seks karena dianggap mengisyaratkan pengakuan atas pekerjaan tersebut. Departemen Kesehatan mengakui keberadaan prostitusi sebagai salah satu kelompok sasaran yang dijadikan target untuk mensukseskan program pencegahan penyakit menular seksual. Departemen Sosial menerima legalitas prostitusi setengah-setengah, dan adanya lokalisasi prostitusi digunakan untuk memuluskan
28
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
program rehabilitasi sosial. Kini persoalan bertambah rumit ketika kebijakan tingkat daerah tentang larangan pelacuran menggiring pekerja seks sebagai pelaku-pelaku criminal dan diburu layaknya penjahat. Sangat gamblang bahwa pemerintah sama sekali tidak tegas. Saat ini pun trend yang menguat terkait dengan masalah prostitusi ialah penutupan tempat-tempat lokalisasi. Padahal suplai pekerja seks atau praktik prostitusi mustahil berhenti jika hanya dibendung di hilir dengan merazia para perempuan pekerja seks dan menutup lokalisasipelacuran tanpa digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan maupun pedesaan yang menjadi pemasok perempuan-perempuan pekerja seks. Selama kemiskinan struktural masih melilit sebagian besar warga masyarakat kita, maka jangan harap suplai perempuan pekerja seks akan berkurang. Maka keajegan sikap pemerintah dalam merespon masalah prostitsu yang cenderung diam sudah semestinya diakhiri, kian larut negara dalam “diamnya” maka makin tak jelas pula nasib perempuanperempuan pekerja seks. Negara dituntut untuk hadir di antara mereka, walaupun dalam kerumitan perdebatan terkait prostitusi. Sikap tegas yang ditunjukan negara semata-mata dalam batas penghormatan dan pemenuhan HAM tanpa melihat kelompok apapun juga, bahkan bagi pekerja seks.
Wawancara
Bekerja di Jalur Keterpaksaan
Foto: Syafi’e/ PUSHAM
Oleh : M. Syafi’ie Pekerja seks itulah panggilannya. Sebutan itu memang tidak mengenakkan, apalagi ditambah dengan akhiran ‘komersial’. Seks akhirnya adalah pekerjaan dagang dan jual beli. Di tengah sebutan dan cibiran yang massif itu, tidak banyak orang yang mengerti bagaimana sesungguhnya kondisi mereka, bagaimana mereka bertahan, dan apa yang menjebakkan mereka pada dunia kelam itu. Berikut adalah wawancara Pledoi dengan bu Sarmi, Ketua Bunga Seroja dan Ketua Perhimpunan Para Pekerja Seks Yogyakarta (P3SY), dua lembaga yang selama ini menjadi tempat mengorganisasi, berkumpul dan mengadvokasi para pekerja seks yang ada di daerah Yogyakarta
Bisa Anda ceritakan persoalan apa saja yang selama ini menimpa terhadap para pekerja seks? Anggota kami biasanya bermasalah dengan pelanggan. Kemarin, salah satu anggota Bunga Seroja di daerah Gedong Tengen mendapatkan penusukan dengan pisau, dan sampai dilarikan ke rumah sakit. Anggota kami itu tiga hari di ICU dan selama sepuluh hari di rawat di RS PKU Muhammadiyah. Masalahnya sampai sekarang pelakunya belum tertangkap, padahal BAP-nya sudah ada di Polsek Gedong Tengen.
Kenapa belum ditangkap pelakunya? Setelah kejadian penusukan itu, kami langsung melapor ke kepolisian. Sejauh ini kami belum mendapatkan informasi apa-apa terkait perkembangan kasusnya, apakah masih dalam tahap pengejaran, pencarian bukti-bukti, atau apalagi saya tidak tahu. Tapi sejauh ini belum ada penangkapan dan di proses di peradilan.
Kenapa terjadi tindak kriminal itu? Soalnya lokasi pekerja seks belum begitu aman. Pendataan orang masuk dan keluar belum ada. Orang sangat bebas untuk keluar masuk disini. Misal, disini belum ada penggeledahan : apakah pelanggan itu bawa senjata atau tidak? Kami tidak tahu. Dampaknya kita tidak bisa
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
29
Wawancara mendeteksi terhadap orang-orang yang ada : ciri-cirinya, wajahnya, namanya, dan lain-lain. Padahal itu sangat penting bagi rasa aman kami. Di kepolisian, kami juga tidak cukup memberikan banyak bukti dalam kasus penusukan itu terkait dengan ciri-ciri pelaku.
Apakah kasus penusukan itu sering terjadi? Tidak sebegitu banyak, tapi banyak cara-cara kekerasan lain yang sering ditujukan kepada kami, seperti penamparan, penjambakan, dan kekerasan fisik lainnya. Alasan mereka bertindak seperti itu rata-rata karena tidak mau membayar sehingga terjadilah cek-cok. Alasan penusukan kemarin itu juga sama sebenarnya, tapi pelakunya kok tega, sudah tidak membayar dan malah menusuk pekerja seks.
Apa usulan Anda untuk membenahi situasi itu? Kita butuh sistem keamanan. Saya sudah mendiskusikannya dengan petugas RT/RW dan aparat polisi setempat, bahwa kita perlu memperbaiki sistem. Misal, kita tidak buka full 24 jam, tetapi dibatasi pada jam-jam tertentu. Saat ini tidak terkontrol. Dan, tindakan kriminal itu kerap terjadi pada jam-jam pagi, dimana penjaga keamanan setempat sudah tidak lagi berjaga. Saya sudah sampaikan bahwa kita butuh pembenahan sistem keamanan dan jam kerja bagi pekerja seks di lokasi perlu diatur sehingga tidak liar.
Lalu, bagaimana perlakuan dari aparat negara terhadap pekerja seks? Kalau dari aparat kita tidak ada yang diperlakukan dengan kekerasan. Soalnya, di Sosrowijayan Kulon kita telah bekerja dengan mereka. Disini ada kesepakatan lokal yang harus dipatuhi. Kesepakatan tersebut melibatkan aparat dari kelurahan, kecamatan, kepolisian, TNI, dan para pengelola hot spot di lokasi. Mereka sudah pada tahu terhadap persoalan yang kami hadapi. Kalau ada pelatihan tentang HIV, kelurahan dan pemangku kepentingan itu juga terlibat, kalau ada pelatihan dari Dinsos Provinsi, kelurahan juga akan mengusahakan kartu tanda penduduk sementara (kipem), kalau ada pekerja seks yang mau beralih profesi, kelurahan juga membantu jalan keluarnya, dan seterusnya.
Artinya, ada dukungan dari pemerintah daerah dan aparat kepolisian terkait keberadaan pekerja seks ya? Ya ada. Memang beginilah kondisinya, kita pasti ada. Didukung ataukah tidak, pekerja seks itu selalu ada. Kalau pun ada yang tidak mau mengakui, misal Camat untuk Sosrowijayan, toh kita ini tetap ada. Kita ini nyata. Dari dulu sejak nenek moyang sampai sekarang yang namanya Sosrowijayan Kulon itu adalah kampung prostitusi. Artinya, pemerintah tidak boleh menafikan keberadaan kami. Bayangkan, di Sosrowijayan ini saja, jumlah anak-anak (red. PPS) itu mencapai 300 orang. Itu mau di apakan dan dikemanakan nasibnya?
Kok bisa sebanyak itu? Dulu daerah Sosrowijayan Kulon pernah ditutup, dan lokasinya dipindah ke Sanggrahan, atau kalau sekarang dikenal lokasi terminal Giwangan. Harapan dari pemindahan itu biar Sosrowijayan bersih dari prostitusi. Masalahnya, di Giwangan
30
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Wawancara akhirnya juga meledak jumlah pekerja seks. Akhirnya disana ditutup dan tidak ada solusi yang benar. Pekerja seks waktu itu akhirnya berhamburan dimana-mana, dan lambat laun kembali lagi ke Sosrowijayan Kulon. Lalu, tahun bertambah tahun, banyak lokasi pekerja seks itu ditutup, mulai Semarang, Jawa Timur dan lainnya, dan itu juga tanpa solusi pastinya. Dampaknya, pekerja seks dari berbagai wilayah itu datang ke Sosrowijayan Kulon. Akhirnya, tempat ini tumplek-blek pekerja seks semua. Dari pendataan dinilai bahwa mobilisasi pekerja seks disini sangat tinggi. Persoalannya, disini izin peruntukannya hanya semata losmen, bukan lokalisasi. Karena hanya izin losmen akhirnya sulit diorganisasi dan diatur keberadaannya. Itu berbeda dengan izin lokalisasi, yang sangat mudah dikoordinasi, karena tempatnya khusus dan tertentu. Di Sosrowijayan Kulon pekerja seksnya banyak, tapi mereka rata-rata tidak tinggal di lokasi, sehingga sulit pengaturannya.
Berarti tidak ada penyelesaian yang serius dari pemerintah? Tidak ada. Semuanya tidak tuntas. Yang pasti saat ini kami ada, dan jumlahnya tidak sedikit. Walau seperti ini, kami adalah manusia, dimana keberadaan kami, disenangi ataukah tidak, kami adalah warga negara yang juga punya hak. Kami berhak untuk mendapat perlindungan, berhak atas kesehatan dan berhak aman dari segala ancaman kekerasan. Selama ini kami tidak jelas posisinya. Misal, kami selalu menjadi target razia aparat, tapi pada sisi yang lain kami diminta data untuk perlindungan kami. Situasi itu serba sulit, sebab ketika berkumpul kita dirazia, padahal itu untuk pendataan. Akibatnya, ketika pendataan banyak pekerja seks yang tidak datang, padahal itu penting terkait kondisi kesehatan mereka yang rentan akan penyakit HIV/AIDS. Penyakit itu juga berkait dengan orang lain, jika tidak intensif didata, penyebaran penyakit itu akan tidak terkontrol dan akan begitu banyak korban. Jadi, mestinya ketika pendataan pemerintah harus menjamin tidak ada razia disitu.
Dari pekerja seks sendiri, apakah ada kesadaran tentang bahaya, dampak negatif, dan memilih pekerjaan yang benar dan layak, pendapat Anda? Bagi saya pribadi sebagai seorang perempuan, awalnya bekerja sebagai pekerja seks itu karena keterpaksaan. Saya bertarung dengan perasaan bahwa itu bertentangan dengan moralitas, dicaci masyarakat umum, negatif dan lain sebagainya. Sebagai seorang perempuan kami harus bertarung dengan perasaan dan mengorbankan mentalitas. Bayangkan, ketika kami mestinya hanya berhubungan dengan seorang suami, tiba-tiba kami harus berhubungan dengan puluhan bahkan ratusan laki-laki yang tidak jelas. Lalu, bagaimana nasib suami kami, anak-anak kami, dan keluarga kami akibat perilaku kami ini? Perasaan kami begitu tercabik-cabik. Tapi banyak hal negatif berawal dari kekecewaan. Saya pribadi terjun ke dunia ini menangis tiada henti. Tapi akhirnya saya lakukan karena saya terdesak. Saya diselingkuhi dengan perempuan lain, dan anak-anak tidak ada yang menafkahi. Hati saya sangat sakit waktu itu. Saya telah melewatinya. Saat ini anak-anak saya sudah besar, dan saya sudah insyaf. Saya memilih untuk berjuala makanan saat ini. Memang tidak semua kasus sama seperti saya, banyak sekali motifnya. Dan itu butuh tanggungjawab pemerintah dengan cara penyelesaian yang tidak tunggal.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
31
Resensi
Paedofilia di Bali, Dewa Penolong atau Pencelaka?
Oleh : Fairy Cahya Abdulghani
T
DATA BUKU Judul buku Penulis Penerbit Tebal
: Paedofilia di Bali, Dewa Penolong atau Pencelaka? : Rohma, Adria Rosy Starinne : PSKK UGM : 220 halaman
idak banyak yang mengetahui, Indonesia memiliki sejarah kelam terkait perdagangan anak. Sesuai dengan laporan yang dibuat oleh Kementerian luar negeri Amerika Serikat (12 Juni 2001) tentang trafficking in Person, Indonesia terbukti memiliki peran yang cukup besar dalam perdagangan anak baik di dalam maupun luar negeri. Tujuan dari perdagangan anak sendiri beragam diantaranya sebagai buruh pabrik, pekerja rumah tangga, pekerja di jermal, pengecer narkoba, pengemis, pekerja paksa, kawin kontrak, hingga pekerja seks untuk para pedofilia. Pedofilia adalah orang- orang yang memiliki fokus fantasi dan objek sexual pada anak- anak. Para Pedofilia ini memperoleh kepuasan seksual tidak hanya dengan melakukan pemaksaan hubungan sexual dengan anak, namun juga dengan melakukan pemotretan pada anak-anak baik dalam keadaan telanjang maupun setengah telanjang, dan atau mengkoleksi barang-barang yang berhubungan dengan pornografi seperti; celana dalam bekas anak-anak, dan atau barang lain yang memuaskan fantasi sexual mereka tentang anak- anak. Fenomena Pedofilia sendiri memang sangat dekat dengan pemerkosaan, namun sebenarnya pedofilia tidak selalu bisa disamakan dengan pemerkosaan. Buku ini mencoba memeberikan penjelasan mengenai fenomena Pedofilia, perbedaannya dengan pemerkosaan, serta hal-hal yang terkait dengan Pedofilia, seperti bagaimana para pelaku pedofilia melakukan pendekatan terhadap para calon korban mereka, bagaimana mereka beralibi dan membangun kepercayaan pada masyarakat sekitar dalam hal ini adalah masyarakat di sekitar Bali. Buku ini bercerita mengenai profil para pelaku Pedofil di Bali yang hadir dalam beragam wajah yang nampak sangat baik dan tidak membahayakan bagi anak- anak yang belum mengetahui peta resiko yang mereka hadapi. Diantara mereka hadir sebagai seorang Dokter, pekerja sosial yang memiliki sebuah lembaga yang consern pada kesejahteraan anak, atau hadir sebagai seorang penderma yang membagi-bagikan uangnya pada anak- anak yang bekerja sebagai penjual souvenir di Bali (biasanyanya anak-anak
32
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Resensi penjual gelang), dan yang paling populer adalah hadir di tengah masyarakat sebagai seorang “bapak Angkat” atau “orang tua Asuh”. Hampir semua pelaku Pedofilia yang berhasil diwawancari dalam penulisan buku ini adalah laki-laki, baik dengan orientasi sexual heterosexual maupun homosexual. Semua pelaku adalah warga negara asing yang memilih untuk bermukim di Bali, dengan range usia 35 tahun – 63 tahun. Buku ini tidak hanya mencoba memberikan gambaran tentang profil para pelaku Pedofilia saja, buku ini juga berhasil menggambarkan kondisi para korban Pedofilia dan menggambarkan suasana batin mereka. Anak-anak korban Perdagangan Pedofilia dalam buku ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hampir semua dari korban Pedofilia ini pernah mengalami aborsi yang dipaksakan oleh pelaku Pedofilia, mengalami paksaan untuk menjadi pekerja sex anak, menderita stress hingga depresi dan trauma yang berkepanjangan, serta memiliki keinginan untuk bunuh diri yang konstan, dalam buku ini diceritakan satu orang anak melakukan bunuh diri karena mengalami depressi berat, sudah ada tanda-tanda yang diberikan, namun tidak banyak yang mampu memahami hal tersebut tersirat dari korban, sehingga upaya menyelamatkan korban sudah sangat terlambat. Pedofilia dan pelacuran anak menjadi menjadi sebuah fakta kelam bagi perlindungan anak di Indonesia. Anakanak ini ( korban di Bali) bukan saja mengalami masalahmasalah traumatik yang berkenaan dengan dirinya dan pelacuran yang terselubung, namun mereka juga mengalami masalah dengan diperjual belikan atau dialih tangankan dari satu orang pedofilia ke pedofilia lainnya, baik di dalam daerah Bali sendiri hingga melewati batas wilayah negara lainnya, seperti Malaysia, Singapora dan juga Eropa. Jaringan pedofilia banyak tersebar di Eropa, namun akhir-akhir ini merambah pula ke daerah Asia Tenggara termasuk di dalamnnya Indonesia ( Sumatra, Bali dan Jawa, hingga Papua). Indonesia sudah sewajarnya lebih berhati- hati mengingat magnet- magnet perdagangan anak yang dijadikan korban dalam praktek pedofilia seperti di India, Philipina dan Thailand telah memiliki seperangkat peraturan yang mampu menjerat para pelaku Pedofilia. Indonesia, dipetakan sebagai sebuah negara di kawasan Asia tenggara dengan peraturan yang lebih longgar, dengan memanfaatkan keluwesan dan keramah tamahan sikap penduduknya yang sudah menjadi brand image sejak bertahun- tahun lamanya. Indonesia juga terkenal cukup terbuka dan hangat dengan
kehadiran orang- orang asing/baru sehingga memudahkan kamuflase dan alibi-alibi bagi para pedofilia ini untuk melakukan pendekatan kepada orang tua-orang tua untuk mempercayakan anak-anak mereka untuk diasuh atau sekedar dititipkan kepada para pedofilia. Dalam buku ini diceritakan, para pedofilia merambah ke desa- desa di Bali, bukan saja beroprasi di tempattempat padat wisata seperti di Denpasar. Kemiskinan penduduk di pedesaan menjadi sebuah entry point yang sering dimanfaatkan oleh mereka, perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat di Bali tidak selalu diikuti dengan pemerataan diseluruh wilayah Bali. Kurangnya pemerataan ini mengakibatkan terdapatnya daerah-daerah di Bali yang masih dalam kondisi sangat minim. Dengan kondisi seperti ini banyak Pedofilia yang memanfaatkan keadaan untuk merekruit anak-anak di pedesaan. Anak-anak ini bisa mereka manfaatkan untuk memuaskan fantasi seksual mereka sendiri terhadap anak-anak, namun pada kesempatan yang berbeda anakanak ini bisa saja hanya direcruit untuk diberikan kepada pelaku Pedofilia lainya. Tentu saja dengan adanya pertukaran uang yang diantara para Pedofil. Para pedofilia ini beberapa memutuskan untuk tinggal di beberapa desa terpencil tersebut. Lanngkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan terhadap penduduk sekitar, termasuk didalamnya melakukan pendekatan atau membangun komunikasi yang baik dengan perangkat desa. Pada umumnya, para pedofilia ini akan menampakkan diri sebagai seorang individu yang sangat penyayang terhadap anak-anak dan bersikap sangat Royal. Penduduk Bali di pedesaan, pada umumnya memiliki anak yang banyak. Banyak pula dari anak-anak tersebut yang putus sekolah karena masalah biaya sekolah yang tidak mencukupi. Kemudian para Pedofilia ini akan mendekatinya dan menawarkan beasiswa dan atau bersedia pula untuk mengajari mereka dalam beberapa mata pelajaran. Mereka diminta untuk belajar dan bermain- main di rumah yang mereka ( para pedofilia) tempati di kampungkampung tersebut. Mereka akan diberikan hadiah- hadiah yang akan membuat anak-anak tersebut merasa sedang dibanjiri kasih sayang yang selama ini mereka tidak peroleh dengan cukup dari orang tua mereka. Tidak saja pada anak-anak menjadi korban mereka, biasanya juga membanjiri orang tua dari anak-anak ini dengan barang-barang yang membuat mereka senang. Pada saat-saat tertentu, misalnya saja pada akhir minggu di setiap bulannya, mereka akan mengajak anak-anak asuh
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
33
Resensi mereka beri uang ini bukan orang baru, beberapa dari mereka adalah anak yang dulunya adalah korban mereka. Setelah beranjak dewasa maka anak ini dianggap tidak lagi menarik dan mampu memberikan kepuasan seksual kepada mereka, maka mereka dibebaskan. Akan tetapi anak yang telah beranjak dewasa ini dimintanya untuk mengenalkan para pedofil pada anak-anak baru dengan usia kira-kira dibawah delapan belas tahun. Untuk setiap anak baru yang mereka kenalkan pada pelaku pedofilia, mereka mendapatkan imbalan uang. Kisaran usia dibawah delapan belas tahun ini menjadi semacam sebuah trend diperkumpulan-perkumpulan prdofil. Mereka Diceritakan, bahwa pada dasarnya perangkat desa yang berkumpul dalam sebuah perkumpulan pedofil ini dari salah satu wilayah yang menjadi objek persebaran pedofilia ini, mengetahui mengenai praktek-praktek pedo- memiliki semboyan diantaranya “ sex sebelum 8 tahun setelah itu sudah terlambat”. Organisasi – organisasi filia oleh tamu-tamu asing yang memutuskan untuk bermukim di wilayahnya selama kurun waktu tertentu terse- yang beranggotakan para pedofil diantaranya adalah; but membahayakan keberadaan anak-anak di wilayahnya. RGS ( Rene Guyon society) yang berangotakan 500 orang, NAMBLA (The North American Man/Boy Lovers), The HudNamun demikian perangkat desa tersebut tidak bisa ding di selatan Stockholm, and Sekte VI Free ( We Free) berbuat banyak mengingat akan banyak penduduk yang di Swedia yang beranggotakan 80 orang Pedofil. Dalam keberatan apabila perangkat desa tersebut memutuskan melakukan operasinya mereka sangat rapi dan terencana, untuk melakukan pengusiran atau apapun. Hal tersebut disebabkan karena penduduk diwilayahnya merasa diun- bahkan sering kali mereka menggunakan media LSM / NGO untuk menarik objeknya tungkan secara ekonomi dengan kehadiran tamu- tamu Beberapa daerah yang menjadi daerah operasi para asing yang tidak lain adalah para pelaku pedofilia. pelaku Pedofilia di Bali adalah kabupaten Karangasem, Sementara itu, di tempat-tempat yang menjadi objek Kuta, Singaraja, Ubud, dan Denpasar. Secara geografis, wisata di Bali seperti Kuta juga tidak luput dari para tempattempat tersebut menunjukkan bahwa hampedofilia. Salah seorang korban Pedofilia mengaku bahwa pir separoh dari wilayah Bali telah dijadikan wilayah diajak oleh salah seorang dari temannya (orang dewasa) operasi para Pelaku Pedofiliia. Meskipun kondisinya yang biasanya korban temui di jalan selama korban cukup mengkhawatirkan dan korban Pedofilia mengalami berjualan gelang ke sebuah tempat seperti penginapan. masalah yang sangat serius, namun buku ini memaparkan Di tempat tersebut korban dikenalkan pada seorang lakibahwa belum banyak kepedulian dan perhatian terkait laki asing yang sudah cukup berumur. Kemudian korban permasalahan pedofilia yang terjadi di Bali. Kurangnya ditinggalkan sendiri oleh temannya tersebut, korban pengetahuan dan pemahaman terhadap pedofilia dan hanya berdua dengan tamu yang dikenalkan tersebut. perlindungan anak menjadikan masyarakat dan juga Sebelum pergi teman korban ini diberi uang oleh tamu aparat memiliki perhatian yang sangat kurang. Sebagian yang ditemuinya. Menurut penuturan korban, temannya besar hanya menganggapnya sebagai sebuah kegilaan diberi uang tidak lebih dari Rp 20.000,00 (dua puluh yang tak mereka pedulikan. ribu rupiah). Selanjutnya, korban diajak untuk makan dan mereka ini untuk berjalan-jalan ke kota dan membeli barang-barang yang mereka inginkan. Dalam keseharian mereka, ketika anak-anak ini mengunjungi rumah mereka (pelaku pedofilia) untuk belajar atau sekedar bermain, mereka akan menjalankan praktik-praktik pedofilia mereka: seperti meraba-raba tubuh, memotret anak dalam keadaan telanjang atau setengah telanjang, hingga mengajak berhubungan seksual. Desa-desa ini dengan kondisi kesejahteraan yang rendah, menjadi sangat rawan menjadi sending area (daerah pengirim) anak-anak korban Pedofilia.
minum-minuman yang enak, yang sulit dibayangkannya sebelumnya. Korban diminta untuk memijat, dan bergantian dipijat lalu korban diraba-raba dan diminta untuk melakukan hubungan seksual. Dari cerita korban di atas menunjukkan bahwa sebenarnya, mereka tidak sendiri. Terdapat pula beberapa orang yang mereka perdayai dengan uang untuk menghadirkan korban-korban baru dalam memuaskan fantasi seksual mereka terhadap anak- anak. Para perantara yang
34
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Buku ini ditutup dengan sebuah tawaran penyelesaian dan penanganan permasalahan Pedofilia di Bali, yaitu dengan menarik permasalahan ini menjadi sebuah isu kebijakan. Tarikan Isu kebijakan dalam yang ditawarkan dalam buku ini, tidak hanya sesuatu yang diproduksi oleh administrator atau eksekutif tapi juga individu dan keluarga.
Catatan Pinggir
SASTRA PASCA ORDE BARU DAN GAGASAN REKONSILIASI “Penderitaan orang lain dapat membuat aku merasa bersalah kalau aku menutup mata terhadapnya” (Emmanuel Levinas) Sejarah 1965 merupakan salah satu catatan amat besar dan krusial bagi proses perubahan politik di Indonesia. Banyak makna yang hingga hari ini begitu dalam dirasakan dalam ingatan masyarakat Indonesia. Peristiwa tersebut masih tetap menghadirkan polemik. Sejarah 1965 dan sesudahnya juga menghamparkan banyak kisah silang semrawut tentang posisi kebenaran sejarah. Sebagian besar mainstream politik dominan meyakini bahwa persitiwa itu sebagai bagian alamiah dari kontradiksi yang berkecamuk pada era peralihan politik. Namun tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai bagian dari upaya politis terencana dari desain besar penguasaan pilitik dari sebuah bangsa atas bangsa lain.1 Korban yang ditimbulkannya tak hanya bersifat fisik tetapi trauma ingatan kolektif yang tertanam sangat dalam hingga hari ini. Bagi rezim yang berkuasa, peristiwa itu tentu saja dimaknai sebagai keberhasilan epos sejarah kepahlawanan. Ada kisah penyelamatan atas upaya jahat kudeta oleh mereka yang ingin merubah ideologi negara. Namun bagi perspektif korban, terutama mereka dan keluarga dari sekian ribu orang yang terbunuh, terpenjara dan tertuduh menjadi ‘orang-orang yang bersalah’ karena terlibat secara langsung atau tidak langsung pada organisasi PKI (Partai Komunis Indonesia), peristiwa itu bagian dari sikap peminggiran dan kesewenangan atas sebagian masyarakat Indonesia yang terstigma dan dituduh secara tidak adil. Dua posisi pandangan ini yang membelah ‘oposisi biner’ yang bertahan sangat lama dan hingga hari ini masih bertahan. Masing-masing mempunyai pendasaran argumentasi atas interpretasi sejarahnya sendiri. Yang pasti, tragedi besar itu telah membangun represi atas ‘ingatan sosial’ dan ‘memori kolektif’2 yang cukup mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi kepentingan kekuasaan, penting untuk meyakini bahwa pilihan kebijakan yang diambil atas peristiwa itu telah sah dan benar. Dalam praktiknya, banyak rupa kebijakan yang dimunculkan sebagai upaya untuk membatasi dan menyingkirkan setiap paham berbeda yang dianggap akan membahayakan keselamatan negara. Kebijakan politik itu merentang pada wajah yang represif sampai pada yang diskursif hegemonik. Kebijakan pemenjaraan, pelarangan, pembatasan, dan sikap politik diskriminatif
Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si
1. Beberapa buku sejarah resmi seperti ‘Buku Putih’ tentang Tragedi 1965 jelas meletakkan analsisnya pada satu-satunya kesalahan PKI beserta seluruh ormas-ormasnya. Pada buku-buku yang lain beragam melihatnya lebih jauh dari itu sebagai bagian dari politik besar ketegangan ideologi antara blok barat dan blok timur. Artinya sejak rezim Orde Baru tumbang, buku-buku sejarah dan narasi tentang Tragedi 1965 yang melihat dari perspektif lain, yang sebelumnya tidak boleh beredar, makin banyak bermunculan. 2. Menurut Roth and Salas, konsep istilah ‘ingatan sosial’ atau ‘memori kolektif’ dengan jelas telah men jadi pusat untuk memahami bagaimana kelompok memelihara ingatan masa lalu dan bagaimana ingatan masa lalu dapat memberikan informasi suatu kehidupan sosial, seni, agama, politik suatu kelompok secara umum. Lihat, Mary S, Zurbuchen (ed), Beginning to Remember, Singapore University Press in Association with University of Washington Press, Seattle, 2005, hal 6 - 7.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
35
Catatan Sastra
dilakukan untuk menghambat agar ideologi Komunisme tidak tumbuh dan berkembang kembali. Dalam politik diskursif, kekuasaan melakukan berbagai kampanye, indoktrinasi, penyebaran gagasan dan juga pembanguan media-media diskursif uantuk meletakkan kebenaran sejarah dalam bingkai kepentingannya Banyak karya buku dari ‘Buku Putih’ tentang peristiwa 1965 hingga berbagai buku pelajaran sejarah dan karya-karya media yang lain seperti yang hadir pada karya-karya sastra pasca Orde Baru juga melakukan pengkisahan ini.3 Tidak berkehendak untuk menyeragamkan, dalam dimensi kepentingan dan tujuan yang berbeda, ‘karya sastra Pasca Orde Baru’ juga hadir bervariasi untuk mengangkat bagaimana sejarah 1965 dan sesudahnya harus direfleksikan dan dibaca kembali. Bagaimana karya-karya sastra itu berbicara tentu menjadi kajian yang amat menarik.
Tragedi 1965 dan Politik Diskursif
3. Sejak tumbangnya Orde Baru, telah terjadi iklim kebebasan yang relative terbuka terhadap ruang untuk penulisan karya-karya Sastra yang barang tentu sejak Orde Baru berkuasa tidak mendapat tempat karena adanya politik pelarangan. Lihat beberapa nama penulis muda dengan karyanya yang juga meramaikan jagad karya sastra yang berkisah tentang situasi pemaknaan Tragedi 1965. Lihat, GM. Sudarta, Bunga Tabur Terakhir (kumpulan cerpen), Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2011; Lihat, Ayu Utami, Enrico, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Laksmi Pamuntjak, Amba, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012; Lihat, Leila S. Chudori, Pulang, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012. Jauh sebelumnya telah ada juga pengarang seperti Ahmad Thohari yang juga menulis kisah Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan ulang dengan plot dan kisah tutur yang berkisah tentang kondisi tragedi 1965. 4. Mengenai bagaimana dan apa yang dimengerti sebagai politik ingatan dalam konteks tragedi 1965 bisa dilihat dalam beberapa karya seperti : Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Penerbit Elsam Jakarta, 2004 atau juga lihat St. Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010.
36
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Tentu saja berbagai kemunculan isi tulisan, isi pemberitaan atau isi karya-karya sastra itu dalam konteks yang lebih luas, mempunyai titik tekan dan proses yang beragam walau dalam muatan pesannya, mempunyai kecenderungan yang sama. Kita akan bisa temukan berbagai karya sastra seperti novel, puisi, prosa maupun karya-karya non tulisan seperti lukisan, foto, diorama hingga monumen-monumen penting lainnya yang mengkisahkan tentang kesalahan dan narasi bahaya ideologi Komunisme. Melalui berbagai konten isi media sastra tersebut, tak hanya sebagai medium berkisah dan bertutur atas kronologis sejarah, melainkan juga upaya diskursif untuk membangun ‘politik ingatan’4 bagi sebuah sejarah dalam bingkai kepentingan kekuasaan yang dominan. Yang juga tak kalah penting adalah proses politik diskursif itu menjadi sarana dalam membingkai, mendefinisikan dan merepresentasikan subjek manusia Indonesia. Kepentingan politik pengetahuan dan diskursif tersebut bisa membentuk identitas subjek manusia Indonesia. Mana yang bisa dikatakan manusia Indonesia yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang pantas hidup dan mana yang tidak pantas hidup bisa terbahasakan dalam politik representasi tersebut. Sejak masa Orde Baru berkuasa, berbagai diskursif itu terus dipropagandakan, disosialisasikan dan dinternalisasikan dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Salah satu dimensi yang paling kentara bisa dirasakan adalah adanya ‘stigmatisasi’ yang terus berlanjut haingga generasi saat ini. Praktik stigmatisasi ini menjadi bagian manifestasi diskursus yang amat efektif untuk menjadi modal dari politik pendisiplinan atas subjek masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan dinamika sosial politik yang lebih terbuka di Indonesia, banyak karya sastra yang hadir dan bermunculan telah mengambil pesan yang berbeda. Keberanian menghadirkan perspektif yang berbeda tentu saja menjadi ruang lain membangun representasi subjek yang berbeda sehingga tidak lagi berjalan tunggal. Beragam tafsir tentang bagaimana subjek harus difahami dan diletakkan dalam konteks keindonesiaan, menjadi alternatif cara baca yang berbeda tentang apa yang dimengerti dalam tragedi 1965 dan kisah-kisah sesudahnya. Jika wujud rekonsiliasi awal bisa difahami sebagai cara membuka dialog di antara pihak yang bertikai dan berbeda, maka hadirnya karya sastra tersebut merupakan wujud dari fundamental re-
Catatan Sastra
konsiliasi itu sendiri. Kekuatan ‘Sastra’ bisa memasuki beberapa celah yang tidak bisa dimasuki oleh perbincangan politik. Kekuatan sastra akan lebih bisa masuk secara lebih dalam dalam ranah perbincangan rekonsiliasi secara tidak langsung. Ketika politik kemudian tersumbat karena berbagai proses ketegangan pembicaraan kadang lebih sangat pragmatis dan dangkal, maka ruang kelemahan itu bisa disi oleh bahasa sastra.5 Ada unsur imajinasi dan pembahasaan yang lebih dalam jika memakai pendekatan sastra ketimbang bahasa-bahasa politik yang seringkali telah banyak terdistorsi oleh rujukan-rujukan bahasa yang kaku dengan katagori-katagori yang kering. Bahasa dan narasi sastra misal dalam kisah tuturan novel, kadang lebih tersamar dan tidak secara langsung membahas mengenai tujuan politik tertentu. Hingga pera pembaca yang menafsirkan tidak langsung menjaga jarak atau menghindar jika saja sudut pandang yang disampaikan novel tersebut berbeda. Berkait soal bagaimana ‘diskursif wacana/bahasa pada karya-karya sastra pasca Orde Baru’ bisa mampu membangun definisi dan representasi subjek’6 adalah salah satu medan kajian yang menarik. Keyakinan pertanyaan ini sekaligus akan membawa pada prinsip keyakinan yang dibawa oleh perspekti kajian wacana kritis yang melihat bahwa bahasa, wacana ataupun narasi-narasi kisah sejarah yang ada tidaklah bisa berdiri netral.7 Praktik wacana selalu bermuatan kepentingan nilai yang ingin dibawa. Salah satu yang menjadi dimensi penting yang dipikirkan dalam analsisis wacana kritis adalah dimensi kekuasaan. Salah satu dalam konteks diskursif tentang tragedi 1965 yang sangat penting adalah relasi ‘diskursif 1965 yang dibawa karya sastra dalam kaitannya dengan representasi subjek’. Dalam pandangan Michel Foucault, ‘apa yang dimaknai sebagai subjek dan subjektifitas bukanlah sebuah esensi dan substansi yang begitu saja hadir’. Identitas subjek, rumusan subjek atau representasi apa yang dimaknai dengan ‘subjek’ adalah produk dari diskursif. Proyek diskursif ini kemudian tidak lagi hanya akan membentuk representasi diri subjek tetapi lebih jauh akan membentuk ‘pendisiplinan tubuh subjek’.8 Sebuah representasi subjek tak bisa lepas dengan bagaimana dinamika bahasa dihadirkan. Saat diskursif dimaknai hidup dalam proses dan konteks yang selalu berkembang, maka ‘definisi subjek’ sejatinya juga sangat bersifat historis. Apa yang difahami sebagai apa ‘subjek manusia Indonesia’9 juga tidak berdiri dalam ruang yang vakum. Ia hidup dalam praksis yang nyata dan bertumbuh dalam berbagai proses dialektika ketegangan yang muncul dalam merumuskan subjek. Subjek dalam dimensi representasi bahasa tidak bisa berdiri kokoh dan tetap. Tarik menarik dimensi-dimensi yang lain juga menyumbang bagaimana ‘subjek’ terdefinisikan.
Manusia Indonesia dalam Sejarah dan Stigmatisasi Subjek Tragedi 1965 dan sesudahnya merupakan setting waktu yang cukup jelas memperlihatkan bagaimana sebuah proyek pendisiplinan atas identitas subjek manusia Indonesia dipraktikan dengan mekanisme yang ketat. Imbas pertarungan politik ideologi tentu saja telah menyeret sebuah pertarungan bagaimana subjek manusia Indonesia dibayangkan. Masing-masing ideologi tentu saja mempunyai pandangan sendiri tentang apa yang disebut sebagai subjek manusia Indonesia. Apa yang ingin diatur dan diimajinasikan dalam rumusan-rumusan ideologi tersebut tentu saja akan
5. Ada karakteristik dari bahasabahasa sastra yang memungkinkan beberapa pembahasaan menjadi bisa lebih tertangkap ketimbang dalam pembahasaan-pembahasaan yang laainnya. Lihat, Ignas Kleiden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004. 6. Perkembangan pengetahuan dan pemikiran manusia melahirkan beberapa pemahaman dasar tentang ‘subjek’. Yang dimengerti dalam pemahaman subjek ini tentu masing-masing perpektif pemikiran akan beragam. Namun harus diakui perjalanan sejarah pemikiran menemukan ‘subjek’ ini sudah begitu berlangsung lama. Sejak filsafat Yunani Kuno sampai Abad kontemporer hari ini, posisi dan makna subjek selalu masih dipersoalkan. Secara etimologis ‘subjek’ berarti ‘melempar ke bawah’, yakni bahwa pengertiannya menunjuk pada sesuatu yang ada di bawah yang lain. Lihat, Victoria Neufeldt & David B, Guralnik (ed.), Webster’s New World Dictionary, Cleveland : Prentice Halol, 1991. 7. Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 11. 8. Lihat, Hubert L Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault, Beyond Strukcturalism and Hemeneutics, Berkeley, University of California Press, 1983. 9. Secara praktis kita akan selalui menemukan dalam berbagai wacana apa yang dimaknai sebagai manusia Indoensia. Meskipun seifatnya abstrak dan sering kali beubah-ubah namun merujuk pada usaha untuk mendefinisikan siapa yang disebut sebagai ‘manusia indonesia yang benar dan baik’. Konstruksinya merujuk pada penataan dan pendisplinan atas representasi subjek yang ingin dibentuk. Memang tidak bisa dipungkiri bias kekuasaan negara lebih dominan dalam pendefinisian ini. Salah satu contoh yang sangat jelas adalah usaha kekuasaan negara untuk membentuk politik identitas ini dengan apa yang dinamakan ‘penataran P4’ bagi para siswa dan mahasiswa. Korelasinya tentu pada pembentukan nilai-nilai Pancasila sebagai karakteristik dari manusia Indonesia.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
37
Catatan Sastra
menyeret sebuah mekanisme praktis tertentu bagaimana ia diwujudkan. Salah satu mekanisme itu adalah dengan pengembangan politik wacana. Puncak kemenangan Orde Baru pada transisi politik 1965, kita mengenal sebuah konsepsi manusia Indonesia yang didekatkan dengan konsepsi nilai dasar bangsa yakni konsepsi ‘Manusia Pancasialis’. Tentu saja konsep wacana ini untuk memberi ketegasan pembedaan dengan ideologi musuh negara yakni ‘komunisme’, ‘sparatisme’ atau ‘terorisme’. Narasi-narasi tentang bagaimana meletakaan pembedaan antara ‘manusia-manusia yang benar’ yang dalam koridor kepentingan kekuasaan negara diakui dengan mereka yang tidak diakui, dikerjakan dengan berbagai cara melalui wujud berbagai media yang ada. Konstruksi dan politik wacana itu menjadi bagian penting dari politik pendisiplinan diri yang dilakukan Orde Baru. Apa yang dikemudian dimaknai sebagai yang sah dan baik oleh negara dan apa yang menjadi musuh negara direproduksi terus menerus melalui politik wacana. Apa ayng dahulu dimengerti sebagai partai politik biasa seperti PKI kemudian digeser menjadi sebuah konstruksi untuk menyebutkan bagi mereka yang tidak baik dan membahayakan negara. Mesin-mesin propaganda negara melalui berbagai media yang ada menjadi mesin yang sangat efektif untuk membangun politik ‘komunis phobia’. Mekanisme politik wacana ini sangat massif membangun cara nalar untuk menciptakan legitimasi keabsahan kekuasaan politik. Terbukti, hingga saat ini ‘trauma kolektif’ selalu dibangunkan. Masyarakat kemudian terdiam dan takut untuk melakukan pembacaan sejarah yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh versi resmi negara. Bagi apa yang berbeda serta merta dianggap sebagai bagian mereka yang menjadi musuh negara. Segala tindakan yang berbeda kemudian dianggap subversif dan menganggu tatatan sistem yang ada. Seiring proses yang berjalan, telah terjadi apa yang disebut sebagai politik stigmatisasi terhadap orang-orang yang dianggap menjadi bagian dari politik ideologi ini. Politik ingatan ini terus menerus diulang-dalam berbagai dikursus, narasi dan teks-teks media resmi negara. Berbagai media yang dianggap tidak sejalan dengan norma yang dibangun oleh kekuasaan kemudian ditutup dan dibreidel. Politik wacana ini melahirkan narasi tunggal yang tidak lagi bisa diutak-atik. Ia tidak hanya terjadi pada narasi-narasi di media massa, politik perbukuan, ataupun wacana-wacana resmi negara, tetapi juga berlaku pada wajah sastra di Indonesia. Dunia dan media sastra dianggap juga strategis untuk bisa menjadi sarana pembangunan kesadaran masyarakat Indonesia. Apalagi sejarah membuktikan bahwa pada setiap bangunan kepentingan politik Ideologi juga akan berimbas pada bangunan sastra yang dibentuk. Nyaris setelah tragedi 1965, semua karya sastra yang dianggap berhaluan Komunis dan atau kemudian dilarang dan dibreidel dan bahkan setiap mereka yang terlibat dalam karyakarya itu kemudian ditangkap, dipenjarakan dan tidak sedikit yang kemudian dibunuh.
Media Kebudayaan dan Gagasan Rekonsiliasi Memang dalam praktiknya media sastra tak akan bisa netral dan sangat tergantung dari dimensi yang melingkupinya baik aspek ekonomi politik (kepemilikan), konteks setting sosial historis dan budaya yang ada, konten pemberitaan maupun dimensi interpretasi subjek yang juga menjadi unsur penting dari penegasan ketidaknetralan media. Berkait dengan gagasan ‘rekonsiliasi sejarah’, media bisa sangat tidak berdiri
38
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Catatan Sastra
netral. Bukti memang sudah menunjukan banyak bahwa media bisa justru menghadirkan konflik, mempertajam konflik atau mempertahankan konflik tersebut hadir, namun media sejatinya juga menjadi sangat potensial untuk menjadi ruang yang bisa digunakan untuk membangun proses rekonsiliasi sejarah. Media sastra bisa bukan hanya menjadi penengah tetapi memang sarana yang sangat penting untuk membangun proses perumusan dan pemaknaan bagaimana rekonsiliasi sejarah harus dilakukan. Saat karya-karya sastra memang dibuat untuk melanggengkan proses representasi subjek yang tidak adil dan asimetris, maka satra justru telah menjadi bagian dari aparatus negara status quo dalam menjalankan politik yang tidak adil. Sastra menjadi sarana dari reproduksi gagasan-gagasan kekuasaan. Namun jika media sastra mampu memberikan nilai yang positif atas sebuah langkah rekonsliasi sejarah, maka media sastra telah berhasil menjadi karya dari upaya pembebasan relasi kekuasaan yang asimetris. Pada dimensi yang lebih dalam, poin ini ingin mengatakan bahwa politik diksursif ini akan menentukan pertama tentu pada ‘representasi subjek’ yang lebih terbuka, egaliter dan tidak asimetris dan sekaligus gagasan-gagasan rekonsiliasi yang lebih baik. Dalam perjalanan gagasan rekonsiliasi tentang tragedi 1965 yang pernah dimunculkan dan akan dilakukan, telah mengalamai titik hambatan yang amat keras yakni pada respon sikap politik yang masih belum toleran terhadap gagasan rekonsiliasi. Bisa dikatakan rekonsliasi dalam pendekatan politik selalu mengalami kegagalan. Negara dan sebagian pandangan mainstream belum bisa menerima atas gagasan rekonsiliasi dengan berbagai alasan pertimbangan. Kerasnya penolakan dari negara dan masyarakat ini menyebabkan gagasan maju tentang rekonsiliasi akhirnya tertunda. Rekonsiliasi secara politik selalu mengalami kebuntuan. Atas dasar pertimbangan itu, dibutuhkan ruang dan media yang lain yang bisa memberikan angin segar bagi gagasan rekonsiliasi, salah satunya tentu media kebudayaan seperti gagasan-gagasan yang tertulis dalam berbagai karya sastra baik novel, cerpen, sajak, puisi dll. Apa yang ditulis dalam karya-karya budaya penulisan pasca Orde Baru tentu tidak lepas dari konteks sosial politik yang melingkupinya. Setting sosial historis akan memberi ruang pengaruh bagaimana kemudian karya-karya sastra bersuara. Jikapun pengaruh ini tidak secara langsung, bisa dirasakan, namun ia akan memberi warna bagaimana sebuah karya akan tergambar. Gagasan dari desertasi ini tidak lagi berbicara bagaimana sejarah itu dituturkan. Gagasan dari tulisan ini berangkat dari bagaimana sejarah itu dilihat, dimaknai dan direpresentasikan bagi para pembaca. Tentu batasan ini akan terlalu luas. Penulis ingin melihat dan menggali pada aspek, bagaimana kemudian naras-narasi karya sastra itu telah mempu merepresentasikan tentang gagasan subjek manusia Indonesia. Bagaimana gagasan subjek manusia Indonesia ini direpresentasikan tentu akan sangat berpengaruh tentang bagaimana gagasan rekonsiliasi akan disuarakan. Banyak para penulis karya sastra pasca Orde Baru meletakkan cukilan dan bahkan gagasan rekonsiliasi secara penuh dengan meletakkan pada alur dan kisah yang mereka ciptakan, entah melalui setting waktu yang dihadirkan atau pergulatan tokoh yang ditampilkan. Narasi-narasi kisah peristiwa dan penokohan itu sejatinya bisa jadi adalah imajinasi gagasan bagaimana sebuah karya sartra merepresentasikan tentang apa dan bagaimana gagasan sejarah terutama kisah cita-cita rekonsiliasi dituturkan.
Edisi Mei-Juni 2013
PLEDOI
39
Catatan Sastra Rekonsiliasi tentu bukan sesuatu kisah yang abstrak. Rekonsiliasi tentu bicara pada gagasan manusia kongkrit. Cita-cita rekonsiliasi secara mendasar tentu banyak akan berbicara pada bagaimana seharusnya relasi manusia dihadirkan dengan lebih baik. Tentu tidak bisa dibayangkan sebuah rekonsiliasi akan hadir dengan baik saat masing-masing manusia di dalamnya saling meniadakan. Rekonsiliasi juga mustahil akan hadir saat manusia yang satu berdiri merasa lebih dengan manusia yang lain.10 Gagasan rekonsiliasi akan menukik pada kisah bagaiamana manusia memandang dan melihat manusia yang lain. Rekonsiliasi adalah sebuah perjumpaan yang equal dan setara antara manusia satu dengan manusia yang lain. Rekonsiliasi tentu mensyaratkan terbebasnya manusia atas sekat primodial, kelas, kedudukan, kekuasaan dan setiap dimensi manusia yang akan melahirkan relasi antar manusia yang asimetris. Setidaknya rekonsilasi adalah upaya kongkrit bagaimana manusia lain direpresentasikan. Keberhasilan dan kegagalan akan gagasan rekonsiliasi tidak jauh dari dimensi representasi ini.
10. Prinsip pandangan ini secara menarik dikembangkan oleh pemikir Pasca-Strukturalis seperti Emmanuel Levinas. Kehadiran orang lain sebagai aspek konstitutif diri telah menarik aspek tanggungjawab terhadap ‘kehadiran yang lain’. Proses tasnggungjawab ini tergambar dari sikap membuka diri atas kehadiran ‘Yang lain’. Inilah salah prinsip mendasar dari sebuah gagasan untuk rekonsiliasi dengan ‘Yang Lain’. Lihat, Felix Baghi, Alteritas : Pengakuan, Hospitalitas, Persabatan (Etika Politik dan Postmodernisme), Penerbit Ledalero, Nusa Tenggara Timur, 2012, hal. 69.
40
PLEDOI
Edisi Mei-Juni 2013
Kegelisahan yang hidup dalam gagasan tulisan ini merujuk pada wajah sastra Pasca Orde Baru. Tentu wajah sastra ini mewakili dari sebuah era di mana situasi politik kemudian berbeda dengan sebelumnya. Demokratisasi dan sistem keterbukaan yang sebelumnya tersumbat, sejak reformasi 1998 mulai berkembang dengan sangat pesat. Banyak narasi-narasi tentang tragedi 1965 baik yang berupa tutur kesaksian korban, biografi maupun karya-karya sastra yang lain bermunculan. Setidaknya dibanding sebelum reformasi berjalan, akhirnya banyak ruang yang lebih longgar untuk menciptakan berbagai karya sastra yang mengangkat isu dan setting pada catatan sejarah 1965. Tidak ketinggalan juga para penulis muda yang kemudian ikut serta menorehkan karya-karya dengan setting yang tidak jauh dengan persoalan catatan sejarah 1965. Secara garis besar, tidak ada lagi wujud pelarangan yang secara arogan melarang dan membatasi ekspresi dari karya-karya tersebut. Tentu ruang kebudayaan harus kita hargai bisa menjadi salah satu cara untuk membuka dan menyalakan lampu harapan itu.