Edisi 12 Desember 2007 Kebaktian Malam Indonesia 20 Oktober 2007
REIN
DAFTAR ISI
REIN diterbitkan oleh Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. REIN diterbitkan dua kali setahun. Penasihat: Ev. Steve Hendra Redaksi (urutan nama berdasarkan abjad): Christian Adi Hartono Erna Chandrawati Fenny Puspitasari Herawaty Shaniyl Jayakodiy Sonja Mondong Stephen Tahary William Aries Tandarto Pembimbing/Pengawas: Departemen Pembinaan MRII Berlin e.V. Penanggung Jawab: Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. c/o Cahyadi Braunschweigerstr. 75 12055 Berlin
Pesan Redaksi
_____________________________________________________ Pernikahan dalam Kekristenan
2
oleh Pdt. Dr. Stephen Tong (ringkasan oleh Christian Adi Hartono)
_____________________________________________________ Pernikahan
17
oleh Pdt. Billy Kristanto (ringkasan oleh William Aries Tandarto)
_____________________________________________________ Tips singkat untuk menafsirkan Alkitab 2
25
oleh Ev. Steve Hendra
_____________________________________________________ Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
35
oleh Ev. Yadi S. Lima
_____________________________________________________ Resensi Buku - The Five Love Languages
Semua artikel di dalam Buletin REIN hanya boleh diperbanyak dan dikutip di dalam bentuk artikel yang utuh, tanpa mengurangi ataupun menambahkan isi dari artikel tersebut.
1
44
resensi buku oleh Erna Chandrawati
_____________________________________________________ Kesaksian
45
oleh Stephen Tahary Cover: Pompeo Girolamo Batoni, 1760 „Die heilige Familie” National Gallery, London
_____________________________________________________ SEPUTAR MRII BERLIN oleh Herawaty
47
1
Pernikahan dalam Kekristenan
Pesan Redaksi Salam kepada para pembaca setia REIN, Di dalam hidup sering kita mendengar kata kasih. Apa sih kasih yang sejati itu? REIN edisi kali ini bertemakan kasih yang mengarah ke Eros dan Agape. Di dalam edisi ini di bagian doktrinal diisi dengan artikel khotbah dari Pdt. Stephen Tong mengenai kasih, yang mengatakan bahwa orang kristen adalah orang yang beriman, berpengharapan sekaligus adalah orang yang mempunyai kasih. Melalui iman, kita mengalahkan dunia ini. Melalui pengharapan kita menantikan dunia yang akan datang, tetapi melalui kasih kita kembali ke dunia ini untuk menolong orang lain. Tanpa kasih tidak ada pengaruh dari diri kita kepada orang yang belum beriman. Tanpa kasih tidak ada orang lain mendapatkan faedah apapun daripada iman dan pengharapan yang kita miliki. Tanpa kasih kita tidak pernah mungkin melaksanakan perintah Tuhan. Iman mengalahkan dunia, pengharapan menanti dunia baru dan kasih merubah dunia yang telah rusak dan tercemar ini. REIN kali ini diterbitkan pada masa Natal, di mana Natal bukanlah sekedar hari libur, tapi merupakan hari di mana Yesus Kristus lahir dipalungan dan rela turun dari surga, dilahirkan menjadi manusia di kandang domba yang hina demi kasihNya yang begitu besar kepada kita manusia yang seharusnya tidak layak mendapatkan kasihNya yang begitu besar itu. Selain doktrinal, REIN juga berisi akan affection yang diisi oleh Ev. Yadi yang bertemakan cinta, gairah, dunia dan Allah Tritunggal, selain itu juga ada worldview yang diisi oleh ringkasan seminar yang dibawakan oleh Pdt. Billy Kristanto mengenai 7 perkataan salib Tuhan Yesus. Selain itu juga ada lanjutan artikel dari Ev. Steve bagaimana kita bisa menafsirkan alkitab dengan baik dan benar REIN juga menyajikan sekilas tentang aktivitas/peristiwa yang terjadi di MRII Berlin selama setahun ini, dan juga ada resensi buku tentang the languages of love dan kesaksian dari salah satu saudara yang ada di MRII Berlin . Tak lupa juga team REIN mengucapkan selamat natal 2007 dan tahun baru 2008, biarlah di dalam natal dan tahun baru ini, kita bisa memberikan kilas balik, apakah kita sudah melakukan semua komitmenkomitmen kita dan janji kita kepada Tuhan Yesus yang pernah berderet di dalam daftar komitment kita atau itu semua hanyalah sekedar komitment belaka yang hanya menghiasi buku kita. Redaksi REIN Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
2
Pernikahan dalam Kekristenan Pdt. Dr. Stephen Tong
(Berdasarkan khotbah oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di Gereja Reformed Injili Indonesia Jakarta. Ringkasan ini belum dikoreksi oleh Pengkhotbah) Ringkasan oleh Christian Adi Hartono Orang Kristen adalah orang yang beriman. Orang Kristen adalah orang yang berpengharapan. Orang Kristen adalah orang yang mempunyai kasih. Melalui iman, kita mengalahkan dunia ini. Melalui pengharapan kita menantikan dunia yang akan datang. Tetapi melalui kasih kita kembali ke dunia ini untuk menolong orang lain. Tanpa kasih tidak ada pengaruh dari diri kita kepada orang yang belum beriman. Tanpa kasih tidak ada orang lain yang akan mendapatkan faedah apapun dari iman dan pengharapan yang kita miliki. Tanpa kasih kita tidak pernah mungkin melaksanakan perintah Tuhan.Yesus Kristus yang berkata, „Orang yang mengasihi Aku, yaitu mereka yang menjalankan perintahKu.“ Dalam iman dan pengharapan kita melihat, mengerti, mendapatkan dan mengharapkan apa yang diperintahkan dan dijanjikan Tuhan. Tetapi hanya melalui kasih baru kita melaksanakan, menghayati, apa yang kita terima di dalam iman dan pengharapan. Iman mengalahkan dunia. Pengharapan menanti dunia baru. Kasih mengubah dunia yang rusak. Melalui cinta kasih maka kita belajar bagaimana hidup seperti Kristus. Yesus tidak berkata, „Sebagaimana engkau mencintai Aku, cintailah sesama.“ Tetapi sebaliknya berkata, „Sebagaimana Aku mencintai kamu, cintailah satu dengan yang lain.“ Mencintai tidaklah mudah. Karena bagi manusia selalu mudah untuk melihat kelemahan orang-orang di sekitarnya. Tetapi tidak mudah untuk melihat keindahan dan kelebihan. Kapankah kita dapat melihat kelebihan orang-orang di sekitar kita? Ketika dia mati. Waktu seseorang hidup kita mencari-cari kesalahannya. Kita menemukan cacat celanya. Kita hanya tahu sesuatu dari dia yang mengganggu kita. Sampai ketika dia mati kita tahu, bagaimana dia menolong kita, bagaimana dia menjadi berkat bagi kita. Tetapi waktu sudah lewat. Mari kita benar-benar mengindahkan kesempatan-kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita, karena Tuhan tidak melahirkan kita pada hari kemarin. Tuhan tidak melahirkan kita pada esok hari. Tuhan melahirkan kita pada zaman sekarang supaya yang kita kasihi bukanlah orang yang sudah mati. Yang kita kasihi bukanlah orang Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
3
Pernikahan dalam Kekristenan
yang belum datang. Yang kita kasihi adalah orang yang di sekitar kita, di sekeliling kita, sebelah kita, tetangga kita, yang banyak memiliki kelemahan yang kita ketahui. Justru itu yang kita perlu kasihi. „Peliharalah kasih persaudaraan!“ Ayat pertama dari Ibrani pasal 13 jelas sekali. Dan jangan lupa memberikan tumpangan kepada orang-orang yang bertamu, menerima orang lain, menerima karakter, kekurangan, fakta daripada oknum di luar dirimu. Menerima mereka sebagaimana kau mengetahui dirimu yang memiliki kelemahan. Semakin kita menerima orang lain, semakin mudah bagi kita untuk memberikan tumpangan. Memberikan tumpangan hanya merupakan sesuatu tindak lanjut dari suatu mental yang menerima. Coacceptance. Menerima satu dengan yang lain. Kalau orang berbeda pendapat, biarkanlah karena dia orang lain. Saya mau, orang-orang di dalam majelis maupun di dalam gereja memiliki pendapat yang berbeda. Karena dengan demikian kita melihat dari sudut-sudut pandang yang lain untuk keseluruhan perkara, bukan hanya dari sudut pandang saya sendiri saja. Dengan demikian kita lebih objektif, seimbang dan menyeluruh. Supaya ada pengertian yang komprehensif - dari segala sudut. Sehingga kita tidak merusak persekutuan, komunitas dan hubungan relevansi antara pribadi dengan pribadi. Co-acceptance penting sekali. Jangan hanya mengasihi mereka yang lucu, elok, baik, yang bisa kau peralat. Itu bukan kasih melainkan egoisme. Karena yang engkau pakai, peralat, dan gunakan, hanyalah suatu perkakas di dalam tanganmu. Manusia bukan perkakas, manusia itu oknum. Manusia bukan alat melainkan tujuan. Never treat people as means, treat people as your golds. Manusia lain adalah objek kasih, bukan alat untuk dipermainkan. Dengan konsep demikian, mari kita belajar seumur hidup untuk tidak merugikan, menghina, memperalat, menginjak-injak hak orang lain. Supaya kita memiliki kasih yang murni untuk menjalin hubungan antara pribadi kita dengan pribadi orang lain di dalam kesejatian dan kejujuran. Itulah tandanya persekutuan Kristiani.
Pernikahan dalam Kekristenan
4
Fitnahan dari orang-orang Yahudi mengakibatkan tidak adanya toleransi bagi orang yang menyebut Yesus itu Tuhan. Karena di dalam kerajaan Romawi, kaisar adalah tuhan. Siapa yang berani menyebut seseorang yang lain Tuhan, akan dipenggal. Di dalam agama Yahudi, Yehovah itu Allah. Yesus bukanlah Allah. Barang siapa yang percaya kepada Yehovah, masih percaya Yesus Kristus, dia pengkhianat. Dia harus dikeluarkan dari sinagoge dan dari agama Yahudi. Maka orang Kristen pasti tidak memiliki tempat maupun kebebasan untuk melindungi diri, melindungi agama dan iman sendiri. Itulah sebabnya dianjurkan supaya engkau saling mengasihi. Kasihilah mereka yang terbelenggu, yang tidak memiliki kebebasan sebagaimana engkau mengingat dirimu ketika terbelenggu. Ketika engkau melihat orang dianiaya seperti dirimu ketika berada di dalam penganiayaan, dan teringat bahwa engkau adalah manusia yang hidup di dalam dunia ini. Kita mempunyai simpatos, semacam pengertian bersama, yaitu saya compassio dengan engkau. Aku mempunyai passio - perasaan yang sama. Seperasaan, sepengertian, sebeban. Indah sekali. Pada waktu kita bersedih, orang yang paling dekat tidak mengerti kesedihan kita, sebaliknya malahan menghina. Kita pasti lebih sedih. Siapakah yang dapat mengerti orang yang ada di sebelahnya? Yang paling dekat dengan dia, dengan perasaan yang sama, itulah namanya kasih. Kita ingin dikasihi. Kita menuntut orang lain mengasihi kita. Tetapi kita tidak ingin mengerti perasaan orang lain yang kita kasihi. Hanya menuntut, menuntut, tetapi kita tidak mau mengerti orang lain. Itulah yang menjadikan hubungan kita renggang, menjadikan kasih kita luntur, menjadikan hubungan kita tidak baik. Setelah 3 ayat mengenai kasih ini, tiba-tiba penulis Ibrani berbicara tentang satu hal yang seolah-olah sama sekali tidak ada sangkut pautnya. „Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.“ Mengapa mendadak muncul ayat ke 4? Mengapa tiba-tiba berbicara tentang pernikahan? Apakah hubungannya dengan ayat-ayat di atas atau di bawah? Terkadang kita sulit mengerti struktur penulisan Alkitab. Atau kenapa muncul ayat-ayat yang sulit dimengerti relasinya. Tetapi justru di sini penulis Ibrani berkata, wujud kasih yang paling erat, mendalam, bertanggung jawab, dan bertahan lama adalah pernikahan.
Orang Kristen dengan orang Kristen boleh berbeda pendapat, memiliki tugas yang berbeda, tetapi saling mendoakan, mendukung satu dengan yang lain, tanpa motivasi yang lain. Dan jangan lupa bahwa ada orang-orang yang terbelenggu, teraniaya, lebih menderita dari engkau. Pada waktu surat Ibrani ditulis, orang Kristen sedang mengalami penganiayaan besar-besaran di dalam kerajaan Romawi. Karena agama Kristen merupakan agama yang baru, hanyalah minoritas, kalangan bawah yang salah dimengerti oleh orang-orang Romawi.
Bukannya tidak ada relasi, melainkan relasinya begitu tepat dan erat adanya. Pernikahan tidak boleh dihina seorangpun. Setiap orang harus menghargai
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
5
Pernikahan dalam Kekristenan
pernikahan. Di dalam pengertian ayat ke 4 ini, kita harus mengetahui kalimat ini sebagai suatu perintah. Ini poin pertama. Ayat ke 4 diawali dengan suatu perintah, „Semua orang harus menghormati perkawinan!“ Ini adalah perintah. A commandment from God Himself. Bukan dari manusia, melainkan dari Tuhan sendiri. Berarti Tuhan sangat mengindahkan, mementingkan, menegaskan signifikansi dari sistem pernikahan. Mengapakah Allah yang tidak perlu menikah, tidak memiliki pernikahan, pencipta seks, supra seks, harus mengatakan bahwa ini penting sekali? Karena Dia adalah sumber kasih yang memimpin manusia untuk hidup di dalam kasih. Kasih itu, yang bertanggung jawab secara serius untuk paling sedikit lebih dari separuh hidup manusia, diperhatikan oleh Tuhan Allah. Tuhanlah yang menciptakan manusia dengan jumlah sebagian pria sebagian wanita, dengan tujuan adanya persetubuhan, persatuan, untuk melestarikan umat manusia di dalam sejarah. Jadi yang membuat fungsi seks dan yang menciptakan kita untuk hidup di dalam sistem pernikahan, itu Tuhan Allah sendiri. Maka Tuhan Allah sendiri memberikan perintah, „Perkawinan harus dihormati oleh siapapun!“ Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan. Dia adalah sumber kasih yang menegakkan sistem hubungan pria wanita di dalam hubungan seks untuk melestarikan umat manusia di dalam sejarah. Dia membuat suatu institusi, yaitu institusi perkawinan. Bukan gabungan dari sexual relationship, hubungan seks seperti binatang yang setiap hari boleh berganti pasangan. Tetapi ini adalah sistem perkawinan, sistem pernikahan yang diperintahkan oleh Tuhan untuk dihormati. „Hormatilah pernikahan itu!“ Ini perintah dari Tuhan. Apakah kasih dan perintah tidak menjadi kontradiksi? Kasih dan perintah, bukankah kedua hal ini sangat berlawanan satu dengan yang lain? Karena kasih perlu unsur kerelaan, sedangkan perintah mengandung unsur paksaan. Kalau saya diperintah, bukan karena saya ingin, melainkan karena Engkau yang memberi perintah. Perintah itu pasti mengandung suatu tugas yang harus dikerjakan. Maka perintah mengandung paksaan. Unsur paksaan berlawanan dengan rela. Rela bergabung dengan cinta kasih. Kasih berlawanan dengan ketidakrelaan. Rela berlawanan dengan perintah.
Pernikahan dalam Kekristenan
6
terima. Karena ini tidak logis. Alkitab tidak perlu logis sesuai dengan apa yang manusia tetapkan sesudah kejatuhan manusia dalam dosa. Alkitab akan memimpin segala logikamu kembali kepada apa yang engkau hilangkan, ketika tidak menjalankan dan tidak mengerti kehendak Tuhan Allah. Firman Tuhan bersifat supra logika, supra rational. Firman Tuhan melampaui, membimbing dan membawa kembali rasio kepada kebenaran. Itulah Firman. Perintah dan kasih dipersatukan di dalam Alkitab. Maka, „Hei Israel, dengarlah olehmu, Allahmu adalah Allah yang Maha Esa.“ Elo Heinu. Di situ bukan bentuk singular, bukan dual, tapi plural. Hei Israel, dengarlah olehmu, Allahmu adalah Allah yang maha Esa. Dari istilah syema, dengarlah ayat emas di seluruh Perjanjian Lama (PL), yaitu Ulangan 6:4. „Kasihilah Allahmu dengan segenap hatimu, dengan sebulat pikiranmu,sekuat tenagamu, seluruh sifatmu.“ Di sini kita melihat seluruh pribadi, seluruh kemampuan manusia, yang harus mencintai Allah 100%. Dan yang kedua, sama dengan itu, cintailah orang-orang lain seperti dirimu sendiri. Di sini kita melihat perintah yang paling besar, justru perintah mengenai kasih. Kasih dan perintah digabungkan dari PL. Bagaimana dengan Perjanjian Baru (PB)? Paulus berkata, di belakang seluruh perintah itu hanya ada satu kesimpulan, satu kata, yaitu kasih. Jadi di dalam PL dan PB kasih dan perintah itu satu. Dan perintah itu mengikat bukan? Tidak boleh ini, tidak boleh ini, dan tidak boleh ini. Berbeda dengan Alkitab, psikologi modern tidak suka dengan istilah ‚tidak boleh‘. Tetapi Alkitab mengatakan ‚tidak boleh‘. 10 hukum penuh dengan ‚Jangan, jangan, dan jangan‘. Seolaholah Sigmund Freud dan semua psikolog modern sudah lebih pintar dari Tuhan Allah. Di bagian dunia yang psikologinya semakin maju, masyarakatnya tidak menjadi lebih baik dari mereka yang tidak mengerti psikologi. Tetapi di mana manusia menjalankan perintah Alkitab, menaati Taurat, di situlah masyarakat lebih baik daripada mereka yang mengerti psikologi modern tetapi tidak takut kepada Tuhan.
Tetapi Firman Tuhan di dalam Alkitab tak akan pernah memberikan celah kepada kita untuk mengharmoniskan dengan pikiran manusia yang sudah jatuh di dalam dosa. Perintah dan kasih, selalu berjejer, selalu diharmoniskan oleh Alkitab. Apa yang engkau katakan, sulit untuk saya
Di sini kita melihat bahwa Yakobus adalah orang yang jenius luar biasa. Karena Yakobus mengatakan, „Taurat yang membebaskan.“ Taurat yang mengikat, itu biasanya ditafsirkan ‘Jangan, jangan, jangan‘. Ini pagar, suatu perintah yang membatasi. Di mana ada Taurat, di situ ada pagar. Di mana ada perintah, di situ terbatas. Di manakah kebebasan? Saya tidak boleh ini itu. Karena perintah ‘tidak boleh‘ saya kehilangan kebebasan. Tetapi Yakobus justru mengatakan, „Taurat yang memberi kebebasan“. Itu pengertian yang luar biasa.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
7
Pernikahan dalam Kekristenan
Kita tidak senang dengan adanya lampu merah, apalagi orang yang suka cepat-cepat seperti saya. Terkadang harus menunggu sampai 2 menit. Bertemu lampu merah lagi, berhenti lagi. Ada lampu merah yang membatasi, menghambat kita. Tetapi saya percaya bahwa di kota sebesar Jakarta keberadaan lampu merah pasti membuat jumlah orang yang mati lebih sedikit. Dengan adanya lampu merah, lebih banyak orang yang tidak mati karena kecelakaan. Pasti mengurangi kematian. Karena apa? Membebaskan. Jadi Taurat membebaskan. Ini pertama-tama dimengerti justru oleh Yakobus. Seorang rasul yang akhirnya menemukan, Taurat bukanlah mematikan tetapi membebaskan. Taurat menghidupkan. Mengapa Tuhan memberikan Taurat? Mengapa Tuhan mengatakan „Jangan, dan jangan“? Karena Tuhan mengasihi. Di mana ada cinta kasih, di situ ada kekuatiran untuk yang dikasihi. Apalagi jika yang dikasihi mempunyai kelemahan-kelemahan, keterbatasan-keterbatasan. Ibu selalu berkata „Jangan“. Pasti motivasinya cinta. Demikian pula Tuhan yang adalah kasih, Dia juga memberikan perintah. Kasih memberikan perintah. Perintah mengandung kasih. Kesimpulan semua Taurat adalah kasih. Motivasi untuk membatasi berdasarkan kasih. Dan Tuhan lain dengan ibu kita di dunia, yang batasannya sangat tidak masuk akal. Tuhan memberikan batasan yang sama sekali masuk akal. Dan akal itu melampaui akal manusia. Dia mengatakan „Jangan“. Itu adalah Taurat yang membebaskan. Taurat ini adalah Taurat yang bersifat kerajaan, anggun luar biasa. Karena berasal dari Tuhan Allah. Di dalam Taurat terkandung 3 sifat yang direfleksikan dari Tuhan, yaitu suci, keadilan, dan kebajikan. The goodness, the holiness, and the righteousness. Ketiga sifat ilahi inilah yang tercermin di dalam Taurat. Sehingga ketika orang menjalankan Taurat, dia mulai melibatkan diri untuk mengerti bahwa Allah itu suci, adil dan baik adanya. Taurat tidak melanggar kebaikan, tidak mengajak ketidaksucian, dan tidak melanggar keadilan. Karena ketiga sifat ilahi itu tersimpan di dalamnya. Allah yang memberikan perintah, sekarang memberikan perintah berdasarkan kasih, kepada orang yang melaksanakan kasih di dalam pernikahan. Yang melaksanakan kasih di dalam keakraban dua pribadi sampai berani berjanji seumur hidup setia satu dengan lain, tidak lagi berganti pasangan, itu namanya pernikahan. Di dalam persatuan melalui pernikahan ini, Tuhan memberikan perintah. Perintah dan kasih. Kasih dan perintah. Perintah untuk kasih. Kasih yang paling akrab sekarang harus melaksanakan perintah dan prinsip yang diberikan oleh Tuhan. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan dalam Kekristenan
8
Semua orang harus menghargai perkawinan. Tuhan yang mengatakan. Kenapa Tuhan yang berkata? Karena Tuhanlah sumber kasih. Tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas untuk dapat mengasihi. Orang yang tidak bisa mengasihi sangat menakutkan. Orang yang tidak perlu dikasihi lebih menakutkan. Orang itu disebut orang, karena dia adalah satu makhluk, yang bisa dikasihi dan mengasihi. Kalau hanya bisa mengasihi, tetapi tidak pernah dikasihi, kita tidak akan pernah merasa hidup kita puas. Kalau kita terus dikasihi, dan tidak ada objek untuk dikasihi, kita juga tidak akan pernah merasa puas. Hidup hanya bisa menjadi sempurna kalau hidup itu membagi-bagi diri. Hidup hanya bisa menjadi sempurna kalau hidup itu menerima isi-isi dari hidup yang lain. Kita perlu diisi, kita perlu membagi. Waktu kita masih kecil, kita menerima cinta dari orang tua. Waktu dewasa, kita menjadi orang tua yang membagi kasih kepada yang lain. Di antara menerima dan memberi, ada perubahan berkat. Lebih berbahagia orang yang memberi daripada orang yang menerima. Waktu kita dewasa kita berbahagia karena kita memberi. Waktu kecil kita berbahagia karena kita menerima. Tetapi lebih berbahagia orang yang memberi dari orang yang menerima. Maka janganlah terus menjadi anak-anak yang hanya menerima dan menerima. Jadilah dewasa yang bisa memberi. Jadilah orang Kristen yang memberi lebih daripada menerima. Jadilah majelis yang memberi lebih daripada menerima. Jadilah pendeta yang memberi lebih dari menerima. Jadilah gereja yang memberi lebih daripada hanya menerima. Saya berkata kepada pendeta-pendeta: „Ada 3 macam pelayan.“ Pertama, saya bekerja dan engkau mengirim uang. Itu adalah pelayanan anak-anak. Kedua, saya bekerja, saya mencukupi pelayanan saya. Itu mulai dewasa. Ketiga, saya bekerja, saya membantu orang lain dengan kelebihan. Itu orang yang matang di dalam pelayanan. Gereja ini dari hari pertama tidak pernah meminta kepada Amerika atau dukungan dari luar negeri, dan mengumpulkan sebagian persembahan untuk orang lain. Karena saya mengerti dari titik permulaan. Mudah kan? Tulis surat, nanti dari Belanda dikirim setengah juta dollar. Tulis surat, dari Amerika. Lalu kita bisa berdikari karena didukung oleh orang lain. Tidak. Orang yang menikah harus memulai dari tahap pertama menuju tahap kedua. Tahap pertama, anak-anak menerima uang dari orang tua. Tahap kedua, saya sekarang berani hidup sendiri, menikah, mencukupi istri, dan kita akan mencukupi keluarga, jikalau Tuhan mengaruniakan anak. Di sini satu tahap yang baru. Melalui kasih dan kasih melalui menjalankan perintah, di dalam perintah bersiap untuk bertanggung jawab. Ini semua dikaitkan Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
9
Pernikahan dalam Kekristenan
menjadi satu. Ini satu hal yang besar sekali. Ini suatu hal mengenai bagaimana mengubah hidup menjadi hidup yang berdikari. Di dalam pernikahan engkau menyatakan kepada semua orang, „Saya sekarang berani menjadi manusia yang sudah matang.“ Tuhan berkata, „Hormatilah pernikahan!“ Yang memberikan perintah ini adalah Tuhan, yang Dirinya adalah kasih. Dan kasih akan dibagikan kepada manusia yang harus menjalankan pelaksanaan perintah kasih itu. Mari kita mengerti sebagai orang Kristen. Apakah perbedaan pernikahan orang Kristen dan pernikahan orang yang bukan Kristen? Pernikahan orang Kristen mengalami suatu hidup untuk melaksanakan kasih, yang Tuhan sendiri adalah esensinya. Orang Kristen hidup di dalam pernikahan, bersama-sama di dalam kasih, di mana kasih itu adalah esensi, ada substansinya yaitu Tuhan Allah itu sendiri. Ini adalah perbedaan Kristen dan yang bukan Kristen. Karena hanya di dalam agama Kristen ada istilah ‚God is love'. Di dalam semua agama, paling banyak dikatakan, Allah penuh dengan kasih. Allah mengasihi, penuh rahmat. Tetapi tidak ada kalimat bahwa Allah itu kasih adanya. Istilah ‚God is love‘ will never be found in any bible of any religion, except Christian. Allah itu kasih adanya. Tak mungkin engkau menemukan istilah ini di dalam kitab suci dari agama lain maupun dari ajaran dari agama lain. Seorang Islam menulis surat kepada saya, „Jangan lupa, di dalam Al-quran juga ada arti seperti ini.“ Lalu saya bertanya, „Apa itu?“ Tuhan itu rahimnia. Rahmania. Rahimnia, rahmania, itu bahasa Arab. Dia penuh dengan mercy, penuh dengan kasih pengertian, penuh dengan rahmat, penuh dengan kasih. Betul! Tapi bukan Allah itu kasih adanya.‘God is love‘ can only be found in the Christian Bible. Jikalau kau tidak sadar kenapa menjadi orang Kristen, atau beriman Kristen dan tidak sadar keunikan iman Kristen, engkau akan berkompromi dengan agama apapun. Jikalau engkau reformed, dan tidak tahu apa keunikan reformed, engkau hanya mengira reformed hanya salah satu diantara banyak gereja. God is love. Jadi orang Kristen menangkap cinta kasih di dalam pernikahan dengan pengertian ini substansi Allah. Sehingga pada waktu Allah mengatakan „Hormat di dalam pernikahan“, juga dimengerti bahwa Dia adalah kasih itu sendiri. Dan dengan kasih yang memberikan perintah Dia adalah kasih yang memelihara kita. Kita harus selalu ingat bagaimana hidup di dalam Allah. Alkitab berkata orang yang hidup di dalam kasih, dia hidup di dalam Allah. Orang yang tidak hidup di dalam kasih, tidak hidup di dalam Allah. Dan kita harus mengerti bahwa Allah itu kasih adanya. Dan kita diberikan hidup dari Tuhan Allah sendiri. Berlainan dengan ketika menerima hidup yang Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan dalam Kekristenan
10
diciptakan oleh Allah. Waktu kita belum diselamatkan kita menerima hidup yang diciptakan oleh Allah. Waktu sudah diselamatkan kita menerima hidup kekal yang langsung dari Allah. Di situ kita harus belajar bagaimana mengerti dan selalu menghayati dan bersatu di dalam substansi kasih itu. Karena hidup di dalam substansi kasih itu, kita hidup di dalam Allah itu sendiri. Mengasihi Allah sama dengan mengasihi kasih, karena Allah itu kasih itu sendiri. Tetapi mengasihi kasih harus diterapkan dengan pengertian kasih macam apa, substansi apa. Karena di dalam Alkitab dipakai istilah yang berbeda-beda untuk mengklasifikasikan kasih yang berbeda-beda jenisnya. Kasih sesungguhnya adalah kasih agape. Kasih ilahi adalah kasih agape. Allah itu kasih adanya. Berbeda dengan kasih-kasih yang macam-macam di bawah tingkatan itu. Maka kalau kita berada di dalam hidup kasih ilahi, yaitu kasih yang tidak egois, yang menyangkal diri, mengorbankan diri, mengingat bagaimana menggenapi yang lain, tidak berubah, tidak luntur, bertahan kekal, murni, dan berkaitan dengan segala sifat ilahi yang lain. Itu adalah kasih substansi Allah yang berbeda dengan kasih yang lain. Di dalam dunia ini banyak orang kelihatan penuh dengan kasih, tapi kalau dianalisa, di dalam kasih ada unsur egois yang lebih besar dari unsur pemberiannya. Karena dia menyatakan kasih dengan tujuan-tujuan yang terselubung, yang tidak kita ketahui. Tetapi di dalam cahaya Firman Tuhan, Tuhan akan menyatakan kasih yang murni berbeda dengan yang tidak murni. Saling mengasihi lalu membentuk satu pernikahan, satu keluarga. Itu kasih yang bersubstansi, di mana diingat bahwa ini adalah substansi ilahi, di situ penghormatan pernikahan baru terjadi dengan sungguh-sungguh. Jikalau engkau terdorong alasan „malu karena sudah umur 30 belum nikah“. Jadi „ah nikah ah“. Itu menikah tidak berdasarkan kasih, melainkan berdasarkan malu - supaya tidak diketawain orang lain. Atau berdasarkan saya memiliki kebutuhan seks yang harus disalurkan. Kalau demikian, maka keluarga itu akan menuju kepada bom yang akan meledak pada hari depan. Karena engkau tidak menikah berdasarkan kasih yang sungguh-sungguh. Kenapa menikah? Karena kalau tidak menikah, tidak ada suami yang akan memelihara, saya akan bekerja setengah mati. Jadi ada perempuan yang berpikir setelah menikah seumur hidup enak-enak. Begitu menikah, ada jaminan. Kalau demikian, menikah karena apa, engkau belum pernah mengerti. Mari kita mengerti bahwa pernikahan itu karena kita menerapkan substansi ilahi di dalam hidup kita, sehingga kita akhirnya berada di dalam hidup yang ada kasih Tuhan. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
11
Pernikahan dalam Kekristenan
Kedua, pernikahan orang Kristen berbeda dengan pernikahan agama yang lain. Pernikahan orang Kristen berbeda dengan orang yang tidak beragama. Apa sebabnya? Karena Allah bukan saja substansi kasih, Allah satu-satunya sumber kasih. Waktu kita mengatakan kasih orang Kristen berbeda dengan kasih orang bukan Kristen, karena substansi kasih itu Allah sendiri. Itu yang tidak pernah dimengerti oleh orang di luar Kekristenan. Kedua kita melihat bahwa kasih itu hanya satu sumber. Sumber kasih yang satu-satunya adalah Tuhan Allah. Sedangkan di dunia mereka tidak pernah mengerti itu. Sehingga orang yang tidak mematuhkan diri di dalam wahyu Allah, mereka tidak melihat bahwa Allah itu satu-satunya sumber kasih. Sehingga ketika orang-orang sekuler menikah, mereka menganggap diri sebagai sumber kasih. Karena aku mencintaimu, aku memilihmu, aku mengambil keputusan menikah denganmu. Berarti sumber kasih kepadamu, adalah aku. Aku menjadi sumber untuk mengasihimu. Karena melihat ada kecocokan, maka engkau memilih saya. Engkau mengasihi saya, mau menikah dengan saya, maka engkaulah sumber kedua dari kasih. Di sini bedanya. Kalau bagi orang Kristen sumber kasih itu hanya satu. Bagi orang bukan Kristen sumber kasih itu dua. Saudara harus melihat betapa fatalnya akibat perbedaan ini. Kalau saya adalah sumber kasih untukmu dan kamu juga adalah sumber kasih untukku. Maka saya hanyalah seorang pribadi yang berkondisi tiga. Pertama, jatuh di dalam dosa. Kedua, tidak lepas dari pengaruh seluruh lingkungan dan kebudayaan. Ketiga, ada kecacatan dalam subjektivitas saya. Saya tidak lebih dari hanya sekedar keturunan Adam yang sudah cemar dan berdosa. Polluted descendants of the fallen Adam. Kedua, saya mau tidak mau dipengaruhi oleh masyarakat, khususnya konsep keluarga dari papa dan mama. Bagaimana hidup ibumu? Engkau secara tidak sadar hidup dipengaruhi untuk tujuan hidup seperti itu. Sehingga waktu menikah engkau melihat, „Kok lain?“ Kenapa suami saya tanggapannya begini? Karena keluarganya lain. Di situ engkau keluar dari ikatan tradisi yang salah. Atau yang sangat terbatas. Sehingga di dalam pernikahan jikalau mau saling belajar, banyak kelebihan yang tidak ada pada keluarga sepihak. Lalu dapat mengoreksi kekurangan dari keluarga sepihak, mengharmoniskan kedua keluarga yang latar belakangnya berbeda itu. Setiap orang dipengaruhi oleh negara, sejarah, adat, lingkungan, dan konsep masa di dalam, yaitu pengaruh daripada semangat zaman itu. Anak SMU Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan dalam Kekristenan
12
sekarang lulusnya dengan menyontek. Lalu ketika masuk sekolah teologi kita masih susah membenarkan mereka dari kebiasaan menyontek. Karena sekarang begitu banyak sekolah yang brengsek. Banyak sekolah yang menerima uang lalu meluluskan mereka yang tidak bisa lulus. Sehingga standar itu tidak bisa dipercaya dari rapor atau ijazah. Lalu mereka masuk sekolah teologi, dan kita mesti mendidik lagi satu persatu karakter mereka. Kalau begini lebih baik kita saring habis-habisan, hanya menerima mereka yang sudah disiapkan Tuhan, yang karakternya beres, untuk dilatih teologinya. Bukan mulai lagi mendidik anak liar di dalam sekolah teologi sampai mereka „mungkin“ bisa jadi hamba Tuhan. Waktu menikah, engkau menikah dengan beli lotre. Tahu tidak? Waktu menikah engkau melihat ganteng sih ganteng, tetapi di belakang gantengnya itu apa? Tidak tahu kan? Cantik sih cantik. Tubuhnya mempesona, tapi belakang itu jiwanya apa engkau tidak tahu kan? Maka sumber kasih kalau ada dua, terpengaruh oleh: Pertama yaitu pengaruh kejatuhan Adam. Kedua pengaruh lingkungan yang berdosa. Ketiga pengaruh subjektivitas yang sangat lemah, yang hanya melihat dari satu sudut pandang. Ada orang yang hanya melihat muka. Ada yang hanya melihat tubuh, bagian luarnya atau yang hanya melihat uang. Ada orang yang hanya melihat fungsi sex, bisa puas atau tidak. Dengan cara demikiankah engkau menikah? Itu pasti berakibat fatal bagimu. Jika dengan cara seperti ini engkau mendirikan keluarga, engkau sedang menuju kapada kebahayaan yang besar sekali. Firman Tuhan : „Semua orang harus menghormati pernikahan.“ Perintah dari Tuhan. Allah substansi kasih. Kedua, Allah sumber kasih. Maka sebagai orang Kristen, di dalam pernikahan kita mengerti poin yang kedua ini. God is the only source of love. Maka Allah sebagai sumber kasih satu-satunya yang memberikan kasih yang dibagikan kepada sang pria. Dan memberikan kasih yang sumbernya sama, separuhnya kepada sang wanita. Sehingga pada waktu 2 orang ini bertemu, kasih yang satu sumber itu sekarang bersatu. Itu perbedaannya. Ini poin yang tidak ada di buku apapun. Ini poin yang harus kita kenal yaitu pengertian akan perkawinan yang berbeda dengan semua yang bukan anak Allah. Aku mencintaimu karena kamu cantik. Muda, cantik, dan mempesona. Tetapi engkau mencintai saya karena saya kaya, sehat, ganteng atau saya mempunyai uang banyak diantara masyarakat. Kesuksesan saya menjadi daya tarik. Cintamu ada syarat dan alasan. Cintaku juga. Bagaimana syarat dan alasan itu bisa diuji selama 10 tahun? Setelah 10 tahun kecantikanmu hilang. Bagaimana dengan cintaku? Setelah 10 tahun uang saya juga sudah Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
13
Pernikahan dalam Kekristenan
tidak ada. Saya bangkrut, Bagaimana dengan cintamu? Bahaya bukan? Cinta kalau tidak berasal dari satu sumber tidak mungkin mempertahankan keharmonisan. Cinta dari dua pihak yang mempunyai subjektivitas sendiri. Itu akan berubah karena saya dan engkau adalah orang di dalam proses. Saat ini RRC berkembang luar biasa. Sampai pada SARS baru jera sedikit. Sebelum itu sombong, arogannya luar biasa. Dan di Beijing banyak orang memiliki jabatan tinggi sekali. Dahulu dikatakan komunis membuat pemerataan, ternyata tidak. Setelah 4 Juni 1989, 7 hari kemudian diumumkan oleh CNN, 400 kompeni paling kaya di luar negeri, dimiliki oleh orang Tionghoa. Kebanyakan dimiliki oleh anak-anak pembesar politik yang paling kaya. Bukan komunisme lagi. Kapitalisme konsentrasi. Kapitalisme secara monopoli oleh partai komunis. Mereka lebih kaya dari siapapun. Supir-supir di Beijing mengatakan bahwa dahulu zaman Mao Ze Dong sama-sama miskin, tidak usah iri-iri. Katanya komunisme melayani rakyat, padahal yang paling kaya semua sudah direbut oleh mereka. Mereka iri, benci sekali dengan pimpinan-pimpinan yang mulutnya ‚komunis‘, hatinya kapitalis. Keadaan RRC sekarang membuktikan satu hal, Adam Smith dari Skotlandia lebih pintar sedikit dari orang Jerman berdarah Yahudi, Karl Marx. Diakui bukan oleh orang kapitalisme melainkan orang komunis secara tidak langsung. Mengakui di dalam subconscious. Pernyataan saya ini membuat mereka marah luar biasa. Tetapi jika dahulu yang dipasang itu adalah kepala kambing, yang dijual daging anjing. Sekarang terbalik. Yang ditaruh di atas kepala anjing yang dijual kepala kambing. Namanya komunisme praktisnya kapitalisme. Korupsi terbesar tidak mungkin terjadi di negara-negara yang dipengaruhi kekristenan. Korupsi terbesar diadakan dan berjalan di bawah agama-agama non Kristen dan tempat-tempat yang melawan agama Kristen. Korupsikorupsi yang paling besar bukan di negara Kristen, melainkan di negara bukan Kristen. Korupsi yang paling besar di dalam negara-negara agama yang lain dan di dalam yang tidak beragama. Ini semua membuktikan ketika meninggalkan Tuhan Allah, meninggalkan kitab suci, kerusakan terjadi. Itu terjadi di Amerika. Itu negara yang banyak Kristennya. Ini terjadi pada orang-orang yang menghina kekristenan. Orang-orang yang bernama Kristen ikut gereja, tetapi hatinya menyeleweng jauh. Saya tidak mau gereja ini penuh dengan orang yang kelihatannya nama Kristen, begitu baik, tapi hatinya jauh dari prinsip-prinsip Alkitab. Karena itu pada waktu pernikahan terjadi, mari kita mengikuti prinsip Alkitab.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan dalam Kekristenan
14
Kota-kota di RRC itu sudah begitu maju. Ada syair yang mengatakan, „Kalau tidak sampai di Beijing, tidak tahu kalau jabatanmu itu terlalu kecil.“ Waktu engkau berada di kampung merasa dirimu besar. Sesampai di Beijing, baru mengetahui jabatanmu terlalu kecil. „Kalau tidak sampai ke Shanghai, tidak tahu kantongmu kempes. Kalau tidak sampai di Guangzhou, tidak tahu makanan kotamu jelek, tidak enak. Kalau belum sampai di Chongqing, belum sadar engkau menikah terlalu cepat.“ Kenapa? Sesampai di sana engkau akan tahu, bahwa perempuan itu memiliki proporsi kaki yang cantik luar biasa. Setiap orang berjalan seperti model. Istrimu? Waktu menikah, engkau merasa itulah malaikat. Bagaimana dengan 10 tahun kemudian? Begitu saja. Ternyata tidak bagus. Yang lebih cantik banyak sekali. Kalau engkau berpikir begini, engkau tidak mungkin menghormati pernikahan. Sebab itu kalau sumbernya satu, itu lain. Sumbernya dua itu bahaya. Kalau engkau menikah dengan seseorang yang menerima cinta kasih dari sumber yang sama Tuhan Allah, lalu cinta itu yang diberikan kepada dua pihak, lalu engkau mengikat janji di hadapan Tuhan, dengan meminta pemeliharaan dari Tuhan, setiap ada kesulitan kembali berlutut. „Tuhan, biarlah cinta yang Engkau berikan kepadaku yang juga Kau berikan kepada dia, klop lagi. Kalau kau ingin melihat perempuan yang lebih cantik lagi, tidak apa-apa, Tuhan kasih, yaitu anak perempuanmu, tidak usah orang lain. Ketika engkau tidak lagi puas dengan istrimu, engkau melihat dia tidak bagus, jangan lupa dia melihat kau juga „encek-encek“, sudah tidak bagus lagi. Kalau kau terus menuntut istrimu mesti terus cantik, engkau harus mengetahui tidak ada tubuh yang kekal. Hanya ada jiwa yang kekal. Lalu puaskanlah dengan melihat anakmu, melihat cucumu. Itu kompensasinya. Lalu bagaimana dengan orang yang sudah tua, istri, atau suami yang sudah tua? Ingat! Kita mempunyai sumber kasih yang sama. Sumber kasih yang satu-satunya itu Allah. Dia kekal. Dia tidak berubah. Kasih yang diberikan kepada dia dan saya, klop lagi. Tidak berubah. Itulah bedanya pernikahan Kristen dengan pernikahan yang bukan Kristen. Paulus menulis kepada orang-orang di Tesalonika bahwa kehendak Allah adalah bahwa kita semua menjadi suci. Dan menjauhkan diri dari perzinahan. Kehendak Allah yaitu kesucian ini berarti satu global universal, prinsip dan ini tidak bisa ditawar. Kita dipanggil supaya menjadi suci. Kita dipanggil untuk menjadi bagian dari kesucian. Kita dipanggil untuk mengikuti teladan Tuhan.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
15
Pernikahan dalam Kekristenan
Suci tidak berarti tidak mengenal seks, juga tidak berarti tidak perlu seks. Suci tidak berarti tidak boleh ada hubungan seks. Justru seks itu indah, penting, sangat anggun, dan harus dihormati. Karena seks itu diberikan oleh Tuhan Allah. Bagaimanakah hubungan seks yang suci, yang sesuai kehendak Allah? Itu yang dibahas! Jadi semua orang harus suci dan inilah kehendak Allah. Dan menghindarkan diri, menjauhkan diri dari perbuatan perzinahan berarti orang yang menikah harus suci, menjalankan kehendak Allah melalui hidup pernikahan. Orang yang tidak menikah juga harus suci. Orang yang tidak menikah harus suci berarti tanpa pernikahan mereka harus tetap menjaga kesucian. Di sini tidak dibicarakan kalau ada fungsi seks tidak suci dan kalau tidak ada fungsi seks suci. Tidak! Itu bukan ajaran Alkitab. Fungsi seks merupakan satu fungsi yang Tuhan ciptakan di dalam tubuh kita yang kita tidak boleh disangkal keberadaannya. Tetapi penyelewengan fungsi seks itu yang melanggar kesucian Allah. Itu yang membuat kita najis di dalam noda ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Jadi, orang yang menikah jangan menganggap diri najis. Ada satu cerita menceritakan seorang biqiu, tahu? Biksu kecil yang dari masa kecilnya dikurung di dalam satu monastry Buddha, satu kuil seperti Shaolin begitu. Tidak pernah kemana-mana sedari kecil, tidak pernah melihat perempuan. Pada waktu pemuda itu berumur 15-16 tahun, biksu yang tua berkata, „Saya bawa engkau turun dari gunung untuk melihat-lihat kota. Ini pertama kalinya anak muda itu pergi keluar. Waktu keluar, mereka berjalan turun dari gunung. Biksu yang tua di depan, yang muda di belakang mengikuti. Lalu melihat-lihat dan bertanya, Ini apa..ini apa? Ini rumah..ini atap. Lain dengan kuil. Ini toko, menara, sepeda, rikshaw, kereta sapi. Semua dia tanyakan. Lalu datanglah seorang gadis yang sangat cantik sekali. Dia tidak pernah melihat gadis, maka bertanyalah dia, „Ini apa?“ Biksu tua berpikir, „Celaka, kalau biksu muda melihat yang seperti ini. Tidak boleh diberitahu.“ Jawabnya, „Ini harimau yang tidak ada gigi.“ Supaya biksu muda itu tidak tertarik. Dia mau menjadi biqiu, tidak boleh menikah kan? Biksu muda menjawab, „Iya iya..“ Lalu dia melanjutkan. Ini apa... Ini adalah tempat perdagangan, bank. Sesudah memutari kota, malam hari mereka pulang. Sesampai di gunung, duduk, dan makan, bertanyalah biksu tua apa yang sudah anak muda itu pelajari. Biksu muda menjawab. Lalu bertanya lagi biksu tua, „Diantara semua yang engkau lihat sepanjang hari mengikuti saya, apa yang paling engkau sukai?“ Biksu muda itu dengan malu-malu menjawab, „Yang yang paling saya sukai adalah macan yang tidak ada giginya.“
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan dalam Kekristenan
16
Fungsi seks itu diciptakan oleh Tuhan. Jangan ditekan. Anak muda ada fungsi seks itu lumrah. Orang bertanya, „Saya sudah umur 25, suka pikirpikir perempuan, suka lihat perempuan yang cantik itu salah tidak? Tidak salah! Itu ciptaan Tuhan. Dengan cara beginilah engkau tertarik akhirnya engkau bisa mempunyai keluarga, melahirkan anak, melestarikan umat manusia. Tetapi apa yang salah? Penyelewengan, keluar dari jalur dan tidak lagi setia dan kasih yang tidak bertanggung jawab itu salah. Jikalau orang tidak menikah merasa dirinya lebih suci dari yang menikah itu salah. Jikalau orang mengatakan dirinya sudah menikah, najis, berdosa karena ada seks itu adalah satu inferioritas yang tidak perlu di dalam hal ini. Kita melihat Yesus Kristus menjadi contoh yang terbaik Yesus hidup di dalam dunia sebagai manusia yang utuh. Yesus tubuhnya berfungsi seks tidak? Berfungsi seks! Yesus adalah seorang manusia yang utuh. Apakah Yesus karena cacat tubuh maka tidak menikah? Atau karena Ia adalah seorang yang tidak bisa bayar uang kepada mertua sehingga tidak bisa dapat jodoh? Atau Yesus karena sakit-sakit orang tidak mau pilih Dia? Kenapa Yesus tidak mau? Kalau Dia mengatakan kalimat: Demi Injil ada orang mengebiri diri. Dia adalah anak Allah ke dunia ini untuk tujuan menyelamatkan. Tidak ada tujuan lain. Dia mau mengutamakan kehendak Tuhan yang dijalankan jadi Dia tidak melaksanakan. Dia tidak menggunakan hak dan Dia tidak menikah. Kalau demikian Yesus suci karena tidak menikah? Yesus suci bukan karena dia tidak menikah. Yesus suci karena Dia adalah anak Allah, Sang kudus dan hidup kudus. Kalau dengan demikian Ia menghina orang yang menikah? Justru tidak, Dia sendiri tidak menikah tetapi Dia sendiri memberkati orang yang menikah. Dalam suatu pernikahan Dia melakukan mukjizat pertama kali diantara 35 kali mukjizat yang Dia lakukan di dalam dunia. Dia menghormati pernikahan. Mari kita belajar dari Tuhan kita. Kalau kita harus masuk kedalam hidup berkeluarga, hidup menikah, maka kita dengan perasaan penuh tanggung jawab menghormati pernikahan, menjadi suami, menjadi istri. Kalau kita tidak mempunyai kesempatan menikah, atau kita sengaja tidak mau menikah demi melaksanakan tujuan hidup yang lebih tinggi dari Tuhan Allah, jangan lupa! Kita tidak berhak arogan menganggap diri suci dan yang menikah tidak suci, karena Tuhan sudah menjadi contoh bagi kita semua.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
17
Pernikahan
Pernikahan – Relasi dengan 7 Perkataan Salib Pdt. Billy Kristanto
(Berdasarkan seminar oleh Pdt. Billy Kristanto pada tanggal 14.07.2007. Ringkasan seminar ini belum dikoreksi oleh Pdt. Billy Kristanto) Ringkasan oleh William Aries Tandarto Firman Tuhan: LUKAS; MARKUS; JOHANES (7 perkataan salib berbicara tentang kasih) Firman Tuhan bisa dikaitkan dengan semua aspek termasuk keluarga. Ada greja yang 1 tahun penuh temanya hanya tentang keluarga. Jadi tema tahunannya keluarga tapi pengertian seperti itu agak sempit, karena Firman Tuhan bisa diaplikasikan / dikaitkan dengan semua aspek kehidupan kita. Termasuk 7 perkataan salib bisa dikaitkan ke keluarga dan lebih luas. Urutan 1: Lukas 23:34; Yesus berkata: „Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.“ Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya. Kalimat tersebut bisa muncul di injil yang lainnya, namun kalimat di satu injil tersebut mengandung suatu perspektif yang lain dari pada injil yang lainnya, tekanannya 1. Ya bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu yang mereka perbuat. Pengampunan kaitannya dengan kasih. Dalam kehidupan keluarga maknannya juga kasih. Apa kaitannya antara Forgiveness dengan kasih? Dalam 1 Kor 13:4-5 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. 13:5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Menyimpan kesalahan orang lain adalah dendam, dendam berarti ada keinginan utk membalas krn sakit hati, tapi ada satu tingkat yang mendingan atau lebih tinggi tapi tidak ingin membalas yakni dislike/ „trauma“, itu passif
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan
18
Trauma / hubngan saya dengan orang itu sudah retak dan tidak bisa keluar dari menyimpan kesalahan orang lain dan tidak bisa punya hubungan sebaik dulu lagi. Liebe dalam arti kekristenan secara sempurna bisa diartikan waktu ada kekuatan / kemampuan untuk mengampuni, jika belum sampai ke sana maka kedalaman dari kasih belum teruji. Dalam natur manusia yang lemah / berdosa cenderung cinta kasih kita bercampur dgn self-interest, degan demikian belum terlalu teruji. Jikalau kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kita dalam keadaan terluka, meskipun begitu tetap mengasihi dia jadinya tidak ada unsur self-interest dalam hal ini. Pengampunan merupakan konfirmasi terakhir dari kasih. Waktu Allah menunjukkan cinta kasihnya melalui yesus kristus di atas kayu salib maka ada pengampunan dosa, bukannya pemberesan dosa tetapi berita pengampunan. Di dalam prinsip ini kalau kita kaitkan di dalam dunia / kehidupan pernikahan/ keluarga yaitu itu adalah „school of forgiveness“ di dalam pernikahan. Pernikahan berarti satu unit terkecil belajar mengasihi di dalam konteks ini, yakni dalam konteks pengampunan, bukannya saya tertarik akan seseorang karena dia pintar / cantik / jalannya menarik. Kasih yang menuju ke atas semacam itu sebenarnya tidak terlalu lasting. Celebrating marriage never last, karena tindakan kasihnya bukannya ke bawah melainkan ke atas. Kasih dalam konteks kristen selalu berhubungan dengan forgiveness. Saya membiarkan diri saya rentan untuk dilukai, yang berarti saya membuka diri saya untuk boleh dilukai, bukan berarti saya sengaja membiarkan diri saya dilukai tapi di dalam saya berelasi dengan orang lain maka saya membuka diri saya untuk orang lain boleh melukai saya, karena mereka juga tidak sempurna demikian juga dengan saya sendiri juga suka melukai orang lain. Di dalam hubungan semacam itu baru mungkin kita bisa berbicara mengenai kasih kristen kristiani. Kenapa ada banyak orang tidak mau terlalu dekat dengan orang lain? Karena takut terluka kalau ngomong terlalu dalam maka ada resiko dapat terluka lebih besar. Intinya kalau kita berada dalam Beziehung yang tidak oberflächlich berarti kita membiarkan diri kita rentan untuk dapat terluka. Belakangan ini di dalam teologi kontemporer, orang banyak memikirkan tentang Verwundbarkeits Gottes / Vulnerable / Vulnerability yang berarti rapuh / fragile. Waktu Tuhan menjadikan manusia berarti Tuhan menjadikan dirinya Vulnerable. Dalam konsep grika mereka mengerti bahwa Allah itu adalah Allah yang impassionate, karena dia sempurna dalam esensinya. Impassionate maksudnya adalah bahwa Allah itu statis, jadi jikalau orang maki-maki dia tidak apa-apa. Namun gambaran Allah yang dibicarakan di Alkitab tidak seperti itu. Allah yang statis seperti yang diajarkan oleh aristoteles dan sebagainya bukanlah gambaran Alkitab, yang digambarkan Alkitab adalah Roh kudus memberitakan bahwa dia bisa berduka. Waktu Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
19
Pernikahan
Pernikahan
20
kita tidak taat Roh kudus berduka, itu berarti vulnerable. Menurut Ancient greek vulnerable berarti tidaklah powerful and yet God is powerful maka God is impassionate, itu adalah cara pikir ancient greeek karena dia berpikir bahwa dia adalah powerful God, jadinya dia tidak boleh vulnerable, jika dia passionate maka dia vulnerable, jika dia Vulnerable maka dia bukan Allah, maka Tuhan itu menurut mereka harus impassionate jadi kalau passionate maka berarti dia vulnerable dan vulnerable adalah tidak powerful. Tapi Alkitab mengatakan God is powerful tapi powerful itu bukan sama seperti yang dimaksudkan orang yunani kuno, karena yang dimaksudkan oleh Alkitab adalah the power to love, ini yang tidak dimengerti oleh dunia karena bagi mereka Power adalah kekuatan untuk kuasa / kehendaknya pasti terjadi, tetapi di dalam Alkitab justru Tuhan menunjukkan kuasanya yang terbesar di dalam kelemahannya di atas kayu salib. Di dalam kelemahan menyatakan kekuasaan Allah. Saya mau mengutip karya Henry Nouwen, seorang katolik, yang dipakai Tuhan luar biasa. Dia mengajar di Harvard university dan dia ada pergumulan untuk menangani anak-anak cacat, oleh karena itu dia meninggalkan karirnya yang promising itu untuk menggarap anak-anak cacat / cacat mental. Tuhan justru memakai dia dengan luar biasa bukan karena dia mengajar di harvard university tetapi karena dia melayani anak-anak cacat dan menulis buku-buku spiritualitas, yang menjadi best seller dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di seluruh dunia. Seorang yang mengambil ikrar selibat, akan tetapi mengalami pergumulan dengan homosex. Seorang yang benar-benar transparan dan dia benar-benar mengalami kelemahan itu. Untuk itu dia bergumul dan menang. Dia tahu dia ada kelemahan itu dan dia bergumul bukannya merasionalisasi diri / mengexcuse diri, tidak!! dia bergumul untuk kelemahannya dan dia tahu dia harus keluar dari situ. Tuhan memakai orang seperti itu untuk menyatakan bahwa hidup, disatu sisi transparan artinya dia tampil sebagai orang yang punya kelemahan bukan sebagai the great professor di harvard university, tapi orang yang punya kelemahan seperti itu and yet dia adalah orang yang bergumul dan Tuhan mengampuni dia dan Tuhan memakai dia. Satu kalimat yang saya suka kutip dari dia, dan dia bilang „Liebe ist verletzbar”, maksudnya kasih itu bersedia untuk dilukai. Jikalau kita tidak bersedia untuk dilukai, maka kita tidak bisa ngomong itu kasih karena kasih itu belum teruji sebenarnya. Yesus berbicara mengenai vergebung bukannya entschuldigung tapi vergebung, dan yang menarik adalah ampunilah mereka karena mereka tidak tau apa yang mereka perbuat. Saya percaya konsep ini bisa dikaitkan dengan 1 kor 13:7 yang dapat dikaitkan dengan „ampunilah mereka karena mereka tidak tau apa yang mereka perbuat” adalah kalimat: kasih itu menutupi segala sesuatu. Covering itu bagian daripada kasih dan covering itu berarti seolah-olah
tidak tahu, tetapi bukannya tidak tahu, sebenarnya apakah Yesus tahu bahwa sebenernya mereka melakukan dosa? Dia bukan hanya tahu tapi juga tahu degan persis bahwa orang-orang itu ingin / berusaha membunuh dia di dalam kebencian, di dalam satu nafsu yang berdosa untuk melawan dia sebagai anak Allah, Yesus tahu tetapi Dia tidak membicarakan itu dihadapan Bapa. Kasih itu covering, covering kesalahan orang lain. Jika kita mengasihi seseorang kita tidak terlalu suka membicarakan kekurangan / kelemahannya. Jika kita bertumbuh dalam kedewasaaan berarti kita suka membicarakan kelemahan dan kekurangan kita dari pada membicarakan kelemahan dan kekurangan orang lain, karena kasih itu menutupi segala sesuatu, „mereka tidak tahu apa yang mreka perbuat”. Salah satu penilaian atau ukuran yang kita bisa ujikan kepada diri kita sendiri, apakah kita lebih mirip seperti adam dan hawa, waktu mereka jatuh ke dalam dosa, yang saling menyalahkan atau kita lebih mirip yesus? Yesus sendiri tidak bersalah malahan dia mengampuni orang-orang yang bersalah seperti saudara dan saya seperti orang-orang di bawah yang menyalibkan dia sementara adam bukannya tidak saja covering tapi menelanjangi kesalahan sesamanya, adam membongkar kesalahan hawa, hawa membongkar kesalahan ular dan ular memang tidak terlalu salah karena ular memang setan. Tapi intinya bukan di sini bahwa intinya adam tidak introspeksi diri. Instead of melakukan pengujian terhadap diri sendiri dia memaksa orang lain untuk introspeksi. Kamu yang mesti introspeksi diri kamu, bukan saya, jadi dia melempar interospeksi kepada orang lain sedang dia sendiri tidak menguji diri nah ini suatu model tidak menunjukkan kedewasaan. Di dalam pernikahan juga bisa terjadi model semacam ini. Waktu kita berada dalam kesulitan, kegagalan, konflik, jika kita lebih suka model yang begini, itu menandakan bahwa kita tidak dewasa semestinya. Yang dewasa adalah seperti Yesus, yang menutupi kesalahan orang lain. Tetapi hal itu sulit diterapkan karena kedagingan dan natur kita yang lemah, kita lebih suka point out kesalahan terutama kesalahan orang lain dan kita mengatakan atau mendasarkan semuanya itu atas nama gerechtigkeit. Kita membicarakan gerechtigeit untuk orang lain, jika orang bersalah mereka mesti dihukum dan ditelanjangi kesalahannya, akan tetapi jika Gerechtigkeit untuk saya adalah vergebung der Sunde. Orang seperti ini seperti ini masih kekanak-kanakan. Tidak interospeksi tapi menerapkan gerechtigkeit kepada orang lain. Jika dibalik secara gerechtigkeit kita tidak masuk hitungan karena kita ini orang berdosa dan sadar akan posisi kita yang sangat lemah. Yesus di atas kayu salib sebenarnya sudah menerima Gerechtigkeit dari Allah yang murka. Dia minum cawan Gerechtigkeit itu lalu dia melihat orang lain dengan kaca mata Vergebung der Sünde. Jika kita mau bertumbuh ya kita semestinya harus bertumbuh ke arah sini meskipun kita tidak sempurna, maksudnya di
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
21
Pernikahan
dalam kedewasaan seperti yang diajarkan di dalam Firman Tuhan. Dan itu pasti menyakitkan. Yesus sendiri tidak hanya merasa sakit malahan dia mati. Sebenarnya posisi Dia tidak serendah itu namun dibuat seolah-olah seperti orang kena kutuk, dibikin rendah sekali. Sebenarnya Dia tidak salah tapi karena dia mau menanggung itu dari kaca mata Gerechtigkeit maka dia seperti orang yang terkena kutuk di atas kayu salib. Mereka merasa mereka yang benar dan Yesus layak disalib. Ini merupakan hal yang terkutuk bagi Dia karena Dia harus mati. Padahal dalam kenyataan Yesus kristus yang menanggung kesalahan yang lain. Dia mengcover kesalahan orang lain, tapi yang dilihat orang adalah memang dia yang salah dan saya ini yang bener. Pembentukan/ pertumbuhan seperti ini sama sekali tidak menyenangkan, karena kita ditaruh di bawah dan tidak salah dibilang salah lalu yang salah dibilang benar. Kita dapat tergoda atas nama Gerechtigkeit karena kita ingin mengklarifikasi hal itu atas nama Gerechtigkeit. Tapi jika kita mau bertumbuh di dalam aspek ini, justru tidak perlu klarifikasi. To certain extent Yesus bukan mengklarifikasi di atas kayu salib, dia tidak bikin klarifikasi karna dia tahu bahwa dia not called for that. Klarifikasi datang dari Allah bapa disorga yang mengetahui segala sesuatu. Di dalam kehidupan kita yang lemah, jikalau kita belajar bertumbuh ke arah yang seperti ini baru bisa menjadi pemimpin yang baik.
Pernikahan
22
Ini merupakan janji terhadap orang yang gagal itu. Jikalau saudara membaca buku dari Pdt. Stephen Tong, dia mengatakan iman dari penjahat yang diselamatkan itu, melampaui iman Petrus, Paulus, Yohanes bahkan melampaui banyak iman rasul-rasul yang lain, mengapa? karena selama Yesus berada di dunia, Ia selalu mengajarkan tentang kerajaan Allah, tetapi rasul-rasul itu tidak mengerti bahkan setelah Yesus mati dan bangkit mengajarkan kerajaan Allah mereka tetap tidak mengerti. Sampai pada waktu Dia mau naik ke surga, ada yang masih bertanya, maukah engkau membangkitkan kerajaan israel pada waktu ini? mereka tetap tidak mengerti mengenai itu, tapi penjahat ini pada waktu keadaan yesus disalib, Dia mengatakan: „jika engkau datang kembali sebagai raja ingatlah aku“. Penjahat ini langsung melihat yesus ini raja pada waktu yesus sedang disalib, iman penjahat ini melampaui rasul-rasul yang lain dan banyak orang yang seringkali mendapat pengajaran yesus. Oleh karena itu kita jangan cepat sombong jikalau kita sudah mengerti / belajar teologi reformed. Ada orang
belajar teologi reformed selama 8 tahun tetapi 1 poin pun dia belum mengerti secara tuntas, lalu ada orang yang tidak belajar teologi reformed tetapi bisa menarik lebih banyak hal dalam 3 menit, dibanding yang sudah mendengar selama 8 tahun. Jadi tidak ada jaminan seperti itu. Iman daripada penjahat ini mengalami pembalikkan, justru waktu dia berada disalib disisi bersama yesus. Ayat alkitab mencatat di dalam bagian injil yang lain, dinyatakan bahwa kedua penjahat itu tadinya mengolok-olok Yesus tetapi di dalam injil yang lain dicatat bahwa yang mengolok itu hanya satu saja, sebenarnya yang mana yang benar? Sebenarnya ada 2 perspektiv yang berbeda. Sebelumnya keduanya mengolok-olok Yesus, tetapi yang satu sadar dan bertanya-tanya ,mengapa dia masih bisa tetap tenang bahkan memohon Bapa untuk mengampuni mereka. dan dari sana imannya mulai berubah. Jadi iman dari penjahat ini benar-benar berubah waktu dia disalib. Kita tidak bisa menafsir bahwa penjahat ini sudah mendengar kotbah Tuhan yesus dibukit, lalu apa yang dia sudah tuai dari dulu maka sekarang dia bertobat, tidak begitu! Dia benar-benar mengalami pertobatan waktu dia berada di atas bukit golgota itu. Dalam waktu yang sangat singkat orang bisa belajar sebanyak itu, sedangkan murid-murid-Nya belajar bertahuntahun tetapi tidak banyak yang ditangkap mesti diulang-ulang secara terus menerus. Yang seharusnya mengagumkan kita bukannya iman dari penjahat ini tapi kesaksian yesus kristus yang sempurna yang bisa menimbulkan iman sebesar ini. Apa yang terjadi di atas kayu salib yaitu seseorang yang menderita sengsara di dalam keadaan yang sangat menderita tetapi dia tidak berhenti mengalirkan kasih, itu merupakan keaggungan dari Yesus kristus yang juga seharusnya menjadi bagian di dalam kehidupan kita. Kita mengasihi orang lain justru disaat kita menderita, kekurangan, terluka, kesepian, tersendiri, itu merupakan kesaksian dari Yesus Kristus. Penderitaan itu membuka keadaan diri kita apa adanya. Jika kita belum menderita biasanya aslinya kita belum terlalu kelihatan. Kita sendiri pun belum terlalu mengenal diri kita sampai kita masuk di dalam suatu keadaan penderitaan. Saat penderitaan datang, hal itu sering kali menyatakan keadaan manusia apa adanya, jadi waktu mengalami penderitaan kita ngomong kasar, memang itu menandakan bahwa kita sebenarnya orang kasar juga. Maka waktu Tuhan membentuk kita dia tidak hanya ingin bagian luar saja tapi bagian core yang paling dalam, dan utk masuk ke bagian yang paling dalam itu perlu penderitaan supaya yang luar itu biar terbongkar dan pecah. Dan membentuk kita dari dalam, maka kekristenan tidak mungkin tanpa penderitaan. Kasih juga tidak mungkin tanpa pengampunan, apa maksudnya? Bahwa kita mengampuni orang meskipun kita terluka, itu namanya kasih di dalam penderitaan. Yesus justru menunjukkan kasihnya di dalam penderitaan, mau diuji sampai yang paling dalam tetap adalah orang
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Urutan 2: Kalimat yang ke 2 dari lukas 23:43; Kata Yesus kepadanya: „Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.“
23
Pernikahan
yang penuh dengan cinta kasih. Dia tidak menjadi kasar sewaktu dia berada di atas kayu salib tidak begitu. Jika kita mau terapkan ini di dalam satu kehidupan keluarga atau mungkin lebih luas secara general maka kita belajar untuk mengasihi di saat kita berada di dalam kekurangan. Kekurangan bisa bermacam2 misal: uang, emosi, waktu, tenaga dan banyak hal. Nah jika kita diuji disaat kekurangan seperti ini dan tetap bisa mengasihi, maka kita lulus. Tapi jikalau kita dalam kekurangan kemudian kita bilang,oh tunggu dulu saya sedang boke uang, emosi, waktu dsb., pokoknya saya lagi bangkrut, nanti jika saya sudah sedikit stabil baru saya belajar untuk mengasihi, saya akan jadi berkat lagi tapi sementara ini tidak bisa saya lagi dalam kekurangan. Orang yang disaat kekurangan tidak bisa mengasihi maka di dalam kelebihan pasti dia juga akan lupa. Tidak ada hubungannya dengan apa yang ada pada kita itu semua berhubungan dengan hati di dalam. Sama halnya dengan emosi jika kita berada di dalam keadaan emosi terluka dan tidak bisa mengampuni/mengasihi orang lain maka waktu lagi senang semua orang kamu senyumin itu bukan kasih, Jika kita gagal mengasihi orang disaat kekurangan maka waktu kelebihan kita memberi orang patut dipertanyakan apa yang kita lakukan apakah kasih sebetulnya. Dialkitab ada dicatat seorang janda yang memberi di dalam kekurangan. Disitu yesus ingin memberikan suatu konfirmasi bahwa memberi itu hendaknya seperti itu, karena dia memberi dalam kekurangan. Itu merupakan standar yang wajar dalam memberi dan sama halnya di dalam penderitaan pun dia mengasihi. Di atas kayu salib yesus menjadi teladan yang sempurna dia tetap mengasihi. Jika kita baca di dalam biografi orang2 yang dipakai Tuhan secara luar biasa mereka pasti mengalami pembentukan ini jika tidak dia tidak mgkn punya hati yang luas, dia belum bisa mengasihi orang di dalam suffering/ terluka, gimana dia bisa menjadi berkat untuk banyak orang ? Tidak bisa. Untuk menjadi berkat bagi banyak orang perlu hati yang luas, untuk hati yang luas perlu pembentukan hati yang luas dan pembentukan itu adalah, gmana kita bisa tetap mengasihi orang disaat kekurangan, itu baru orang yang punya hati luas. Tidak ada hati luas tidak mungkin dipake Tuhan untuk jadi berkat besar, tidak ada jalan lompat untuk itu. Urutan 3 Yoh 19:26; Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: „Ibu, inilah, anakmu!“ 19:27; Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: „Inilah ibumu!“ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. Perkataan yesus kepada yohannes dan ibunya, ibu inilah anakmu, ke yohanes, inilah ibumu. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Pernikahan
24
Kita melihat prinsip yang sama di ayat yang ketiga, bahwa di dalam penderitaanya yesus masih memiliki tempat untuk memikirkan orang lain, dalam hal ini kesulitannya. Ini benar-benar merupakan suatu sikap hati yang sangat luas. Di dalam penderitaan kita, tidak hanya terdapat bester hidenya kita tapi juga cenderung jadi selbstmitleid / selfcentered yakni berpusat ke diri sendiri. Kita ingin keluar dari persolan kita dan mencari solusi tetapi secara tidak sadar, hidup kita selalu berpusat kepada diri kita sendiri. Nah untuk merubuhkan suatu kehidupan yang self centered ini. Tuhan seringkali mendatangkan penderitaan dan Tuhan tetap ingin kita belajar memikirkan orang lain meskipun kita dalam penderitaan. Disitu kita bebas dari selfcentered bahkan sewaktu diri kita terganggu / menderita pun tetap masih memiliki kekuatan untuk memikirkan orang lain. Yesus memikirkan yohanes dan terutama ibunya. Ia mempercayakan ibunya kepada yohanes. Urutan 4: Markus 15:34, Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: „Eloi, Eloi, lama sabakhtani?“, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Ini tidak bisa dimengerti seolah-olah ada keterpecahan/ keterkoyakan di dalam diri Allah. Jika kita mau membicarakan mengenai „Verwundbarkeitsgottes“ ya diayat ini. Allah seolah-olah terpecah, bagaimana kita memikirkan hal ini, bagaimana mungkin Allah bisa terpecah? Allah kan merupakan suatu kesempurnaan / trinitas, Allah bapa, anak, roh kudus. Allah dalam tiga pribadi di dalam suatu kesatuan, keesaan yang sempurna maka kita katakan „ Dreieinigkeit“. Tetapi dalam peristiwa salib kita menyaksikan „Allah yang terkoyak“, bagaimana kita bisa memikirkan tentang ini? Di sini kita tidak bisa memberikan suatu jawaban teologis yang memuaskan. Bahkan Luther dalam kesaksiannya tidak dapat memberikan komentar untuk hal ini, tetapi di sini kita bisa memberikan suatu prinsip sederhana yakni substitusi bahwa Allah meninggalkan Yesus, Yesus ditinggalkan supaya dia boleh menjumpai saudara dan saya / kita. Dari sisi Yesus, Yesus mendamaikan Allah dengan manusia berdosa dengan menjadikan dirinya sendiri tersingkirkan ke belakang. Prinsip substitusi / istilah tumbal dalam bahasa Indonesia atau korban. Dia menjadi korban untuk mendamaikan Allah dengan manusia. Prinsip yang sebenarnya sederhana, jika kita ingin menjadi berkat bagi orang lain misalnya, membuat orang lain bersuka cita maka kita sendiri harus berkorban untuknya.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
25
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2 Ev. Steve Hendra
„Jika manusia melihat fungsi hermeneutika sebagai perantara di dalam kehampaan manusia dan sejarah diantara roh dan roh, ...” Hans-Georg Gadamer Gesammelte Werke 8: Ästhetik und Poetik I Pada edisi yang lalu, kita telah belajar tentang apakah penafsiran itu, dan juga untuk mengenali masalah-masalah yang timbul ketika kita menafsirkan Alkitab. Saya berharap melalui edisi yang lalu, kita telah belajar untuk mengawasi apa yang kita lakukan ketika kita menafsirkan Alkitab, dan menyadari kesalahan-kesalahan apa saja yang kita lakukan. Pada Edisi kali ini, saya akan membicarakan tentang alat-alat dan metode yang dapat kita gunakan untuk menafsirkan Alkitab secara sederhana. Alat-alat yang dapat kita gunakan Alat-alat untuk menafsirkan Alkitab ini akan saya bedakan menjadi alat-alat primer dan alat-alat yang bersifat sekunder. Yang pertama mutlak harus ada dan harus digunakan, sedangkan yang kedua tidak mutlak harus digunakan. Alat yang bersifat primer di sini adalah Alkitab (jika tidak memungkinkan untuk membaca dari bahasa aslinya, sebaiknya menggunakan terjemahan yang baik). Alkitab ini mutlak harus dibaca, karena yang harus kita lakukan adalah menafsir Alkitab. Seringkali yang terjadi adalah, orang lebih tertarik untuk membaca Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Tafsiran, dll. dan membuat renungan dari sana, sedangkan untuk membaca Alkitabnya sendiri tidak sempat. Ini adalah kesalahan besar. Karena anda tidak sedang diminta untuk menafsirkan buku-buku tadi. Di sini Anda harus menafsirkan Alkitab! Alat yang bersifat sekunder di sini adalah semua buku pendukung selain Alkitab, misalnya Ensiklopedia, Kamus Alkitab, Tafsiran, buku-buku pengantar ke kitab-kitab tertentu, dll. Alat-alat ini akan menolong saudara untuk menafsir lebih baik tetapi bukan yang seharusnya ditafsir dan Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
26
diberitakan. Alat-alat yang bersifat sekunder ini dibaca, setelah saudara membaca dan mengerti teks Alkitabnya. Langkah-langkah yang harus dikerjakan 1. Baca dan Pahami teks Alkitabnya. Karena yang kita tafsir adalah Alkitab, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca Alkitabnya baik-baik. 1.1. Tentukan bagian mana yang harus ditafsir. Dan bagian tersebut harus saudara baca beberapa kali, sampai saudara benar-benar mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan di sana. (Jika mungkin buat suatu ringkasan singkat tentangnya) Contoh A: Kita akan menafsir Lukas. 15:11-32. Apa yang diceritakan di sana? Pada contoh ini kita mendapatkan suatu cerita dari Tuhan Yesus tentang seorang ayah yang mempunyai 2 anak. Dikisahkan di sana bahwa anak yang bungsu meminta kepada ayahnya separuh dari harta ayahnya, yang menjadi bagian warisannya nanti (ketika ayahnya meninggal). Kemudian dia memboroskan harta itu dengan hidup berfoya-foya. Ketika kelaparan datang dan dia menjadi melarat, maka dia bekerja kepada seseorang majikan untuk menjaga babi-babinya. Karena kelaparan dan tidak ada makanan, maka dia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang dimakan babi tersebut, tetapi tidak ada orang yang memberikan kepadanya. Kemudian dia teringat akan tempat ayahnya. Dia menyadari bahwa keadaannya lebih buruk dari orang-orang upahan bapanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dia memikirkan harus mengatakan apa kepada bapanya. Dia sadar bahwa dia tidak pantas diterima sebagai anak bapanya. Jika bapanya mau menerima dia menjadi salah seorang upahannya, dia sudah sangat bersyukur. Tetapi ketika dia pulang dan bertemu dengan bapanya, apa yang terjadi sangat tidak disangka-sangkanya. Bapanya berlari-lari menyongsong dia , menerima dia sebagai anaknya kembali, dan mengadakan suatu pesta yang meriah. Bagi bapanya anaknya yang bungsu tersebut adalah anak yang hilang tetapi ditemukan, yang mati, tapi hidup kembali. Ketika seisi rumah itu bersukaria, si anak sulung yang pulang dari ladang menjadi heran. Dia bertanya kepada salah seorang hambanya. Ketika dia mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, dia menjadi marah dan protes kepada bapanya. Dia mengatakan tentang kesetiaannya kepada bapanya, dan „ketidakadilan“ bapanya. Ketidakadilan ini dituduhkan karena bapanya mengadakan pesta untuk adiknya yang kembali. Kata bapanya kepada si sulung, bukankah Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
27
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
segala kepunyaanku (termasuk adikmu) adalah milikmu juga? (bukankah sepatutnya kita bersyukur karena kembalinya adikmu?) Contoh B: Kita akan menafsir Mazmur. 1. Apa yang diceritakan di sana? Mazmur ini membandingkan tentang dua kelompok orang, yaitu orang yang benar dan orang yang fasik. Orang yang benar tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, tidak berdiri di jalan orang berdosa, tidak duduk di antara pencemooh, kesukaannya adalah taurat Tuhan dan senantiasa merenungkannya. Kehidupannya digambarkan seperti pohon yang hidup di tepi aliran air dan berbuah. Dan apa yang dilakukannya berhasil. Sebaliknya orang fasik seperti sekam yang ditiup angin. Dia tidak akan tahan dalam penghakiman, seperti orang berdosa dalam perkumpulan orang benar. Sebagai penutup dikatakan, bahwa Tuhan mengenal jalan orang benar dan jalan orang fasik menuju kebinasaan. 1.2. Identifikasi genrenya dan perhatikan keunikan dari genre tersebut. Sehingga saudara tahu harus melakukan apa terhadap teks tersebut. Sebagai contoh, jika saudara membaca puisi, jelas saudara tidak mungkin membacanya sebagai prosa. Jika saudara membaca suatu cerita, tidak mungkin saudara membacanya sebagai risalah ilmiah. Contoh A: (Lukas 15:11-32) Contoh A (Lukas 15: 11-32) adalah prosa dan menyampaikan suatu cerita. Cerita itu berperan sebagai perumpamaan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Sebagai suatu perumpamaan maka biasanya dia menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan tersebut bersifat tertentu, sama seperti ketika kita memberikan ilustrasi. Ilustrasi tersebut jelas sedang menyampaikan suatu maksud tertentu. Maka apa yang harus kita cari di sini adalah apa yang dimaksud oleh Tuhan Yesus dengan perumpamaan tersebut. Contoh B: (Mazmur 1) Contoh B (Mazmur 1) adalah puisi. Maka untuk memahami puisi kita harus memperlakukannya sebagai puisi. 1.3. Cara memahami Teks menurut genrenya Pada langkah ini kita mencoba untuk menafsirkan teks menurut genrenya. Karena kita mempunyai 2 contoh, baik prosa dengan perumpamaan, maupun puisi, kita akan menganalisanya satu persatu.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
28
1.3.A. Untuk kasus Prosa: Bayangkan bahwa saudara sedang membaca suatu tulisan, misalnya Roman. Jika kita membaca dari tengah-tengah suatu novel yang baru, maka kita akan mendapatkan kesulitan untuk mengerti tentang apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh roman tersebut. Jika kita ingin mengetahui ceritanya, maka kita perlu mengerti alur cerita dari kisah tersebut. Untuk kita bisa mengerti alur ceritanya, maka kita perlu membaca bagian sebelum dan sesudahnya. Ini yang disebut sebagai konteknya. 1.3.A.1. Konteks Untuk saudara dapat memahami suatu teks prosa saudara perlu untuk membaca dan menganalisa Konteksnya. Contoh A (Lukas 15:11-32). Kita coba membaca beberapa perikop sebelum dan sesudahnya. Kepada siapa Tuhan Yesus menyampaikan pengajarannya ini? Dan dalam rangka apa Tuhan Yesus menyampaikannya. Dalam pasal 15 awal, kita ternyata mendapati bahwa Tuhan Yesus menyampaikan perumpamaan ini kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, bahkan dalam rangka apa Tuhan Yesus mengatakannya telah diberikan di sana. Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: „ Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.“ Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: (Lukas 15:1-3). Setelah itu, Tuhan Yesus mengatakan 3 perumpamaan, yaitu: Perumpamaan tentang domba yang hilang, Perumpamaan tentang dirham yang hilang, dan Perumpamaan tentang anak yang hilang (yang sedang kita analisa). 1.3.A.2. Alur cerita dan penekanan Hal kedua yang perlu kita analisa, adalah kaitan alur dari kisah tersebut terhadap konteksnya. Perhatikan ketiga perumpamaan tadi. I Perumpamaan tentang domba yang hilang Seorang yang punya 100 ekor domba, hilang satu, dia cari. Waktu domba itu ditemukan, dia bersukacita dengan sahabat-sahabatnya. Perumpamaan ini ditutup dnegan perkataan „Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.“ (ay. 7)
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
29
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
II Perumpamaan tentang dirham yang hilang Seorang perempuan yang punya 10 dirham, hilang satu, dia cari. Waktu dirham itu ditemukan dia bersukacita dengan sahabat-sahabat dan tetanggatetangganya. Perumpamaan ini ditutup dengan perkataan „Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.“ (ay. 10) III Perumpamaan tentang anak yang hilang Seorang Bapa punya cuma 2 anak, hilang satu, tetapi tidak mencarinya. (syukur kalau pulang, kalau tidak ya sudah, mungkin, walaupun Bapa tersebut menantinya.) Ketika anak itu pulang, Bapa ini bersukacita, tetapi si sulung tidak, bahkan marah. Bisakah saudara melihat adanya suatu alur tertentu dan penekanan di sini? Kesimpulan: Perumpamaan tentang anak yang hilang tidak bercerita tentang kasih Tuhan yang mencari orang berdosa, melainkan ditujukan untuk menyindir orang Farisi dan Ahli Taurat. Jika memang bagian ini ditujukan untuk berbicara tentang kasih Tuhan, saya rasa 2 perumpamaan sebelumnya lebih tepat. Pada perumpaman pertama satu dari 100 domba hilang, dan orang itu mencarinya, pada perumpamaan kedua satu dari 10 dirham hilang, dan perempuan itu mencarinya, dengankan dalam perumpamaan yang ketiga seorang ayah hanya mempunyai dua anak, ketika hilang satu, dia tidak mencarinya. Jelas perumpamaan ini tidak ditujukan untuk mengajarkan tentang kasih Allah yang mencari orang yang berdosa. Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menyindir orang Farisi dan ahli Taurat (yang digambarkan sebagai si Sulung) yang tidak suka ketika ada orang berdosa yang bertobat dan datang kepada Tuhan (Lukas 15:1-2). Bahkan dalam perumpamaan pertama sudah disinggung bahwa Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
30
1.3.B.1. Paralelisme. Mengapa kita perlu mempelajari tentang paralelisme? Melalui mempelajari paralelisme ini, kita bisa tahu nuansa dan penekanan makna yang ada dalam teks puisi tersebut. Ini merupakan kunci untuk memahami puisi. Seringkali orang berpikir bahwa puisi adalah suatu tulisan ynag bebas untuk ditafsir dan mudah untuk dicocokkan dengan pengalaman pribadi. Padahal puisi mempunyai suatu jaringan makna yang lebih ketat daripada prosa. Hal ini dikarenakan jaringan aturan genrenya. Sebenarnya ada sangat banyak paralelisme dalam puisi Ibrani, namun di sini kita akan mempelajari 4 yang paling sering dijumpai. 1. Sinonimus Paralelisme Contoh: Mazmur 3:2 Ya Tuhan, betapa banyaknya lawanku A B orang bangkit melawan aku banyak A' B' Kita bisa melihat adanya pengulangan dari ide yang sama di sini. Perhatikan A dan A', B dan B'! Fungsi dari paralelisme yang demikian adalah untuk memberikan penekanan makna, tentang banyaknya orang yang melawan si Pemazmur. Pada contoh ini sebenarnya pemazmur ingin menunjukkan bahwa keadaannya benar-benar genting, karena dia memiliki banyak sekali musuh (bahkan musuh itu bangkit dari keluarganya sendiri). (karena itu dia berseru kepada Tuhan.) 2. Antitetik Paralelisme Contoh: Mazmur 10:16 TUHAN adalah Raja A Bangsa-bangsa A'
untuk seterusnya dan selama-lamanya. B lenyap dari tanah-Nya B'
1.3.B. Untuk kasus Puisi: Membaca suatu puisi tidak sama dengan membaca suatu prosa, karena adanya keunikan dalam aturan genrenya. Ketika kita mencoba memahami suatu prosa, kita akan mendapatkan maknanya, karena kita menafsir berdasarkan konteksnya. Ketika kita mencoba untuk menafsirkan Puisi, kita harus mempelajari beberapa aturan yang berlaku dalamnya, misalnya: rhima, bait, dll. Dalam memahami puisi Ibrani, yang paling perlu dilakukan adalah mempelajari tentang Paralelisme dan Perumpamaan.
Kita melihat adanya ide yang dipertentangan di sini, yaitu TUHAN adalah Raja (A) dan Bangsa-bangsa (A') dan untuk seterusnya dan selama-lamanya (B) dan lenyap (B'). Fungsi dari paralelisme ini adalah untuk memberikan penekanan makna melalui komparasi (perbandingan) dari 2 hal yang memang mutlak bertolak belakang. Dalam hal ini kekekalan Tuhan demikian ditekankan dengan dibandingkan dengan banyak bangsa yang
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
31
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
menjadi lenyap. (penekanan lebih lanjut bahkan diberikan dalam kata dari tanah-Nya, bukan dari tanah mereka, bahkan bangsa-bangsa yang bisa memiliki tanah dan menaklukan banyak tanah pun, tidak dapat memiliki tanah tersebut sebagai pusaka mereka. karena adanya mereka akan segera lenyap. TUHAN yang kekallah yang Empu (Raja) nya tanah.) 3. Sintetik Paralelisme Contoh: Mazmur 1:1 yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, Berbahagialah orang, A B1 yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, B2 dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. B3 Dalam paralelisme ini kita mendapati adanya ide yang dikembangkan atau diperluas di sini. Perhatikan! Orang yang berbahagia (A) adalah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik (B1), kemudian dikembangkan dengan yang tidak berdiri di jalan orang berdosa (B2), dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh (B3). Melalui paralelisme ini, pemazmur ingin memperluas atau mengembangkan ide mengenai orang yang berbahagia adalah orang yang benar, yaitu dengan 3 ciri-ciri tadi (dan sebenarnya dalam ayat ke 2 ditambahkan dengan 2 ciri-ciri positif lagi, yaitu kesukaannya adalah Taurat Tuhan, dan merenungkannya siang dan malam.) 4. Chiastik Paralelisme Contoh: Yesaya 55:8 Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, A B bukanlah jalan-Ku, demikianlah Firman Tuhan dan jalanmu B' A' Bagian kitab Yesaya ini juga berbentuk puisi dan mempunyai struktur Kiastik. Perhatikan antara A dan A' dan B dan B' membentuk huruf X (Chi – bahasa Yunani, dari sini nama Chiastik). Struktur demikian mempunyai inti pada B dan B' sebagai pusatnya. Dan A dan A' (rancangan dan jalan Tuhan) harus dimengerti menurut B dan B' (bukan rancangan dan bukan jalan manusia). Melalui Kiastik paralelisme ini nuansa penolakan akan jalan dan rancangan manusia ditekankan sebagai yang primer dan bukan cuma menyatakan bahwa jalan dan rancangan manusia berbeda dengan jalan dan rancangan Tuhan. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
32
1.3.B.2. Perumpamaan Hal lain yang kita perlu perhatikan di sini adalah berkenaan dengan perumpamaan-perumpamaan yang digunakan dalam Puisi Ibrani. Perhatikan dalam Mazmur yang sedang kita gali, kita mendapati ada beberapa perumpamaan atau simile di sana. Orang benar disamakan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air. Saudara dapat bayangkan bagaimana kehidupan dari pohon tersebut, bukan? Pohon itu akan menghasilkan buahnya pada musim (waktu)nya dan daunnya tidak layu dan akan senantiasa hijau. Sebaliknya, seorang fasik itu disamakan dengan sekam yang ditiup angin. Dapatkah saudara membayangkannya? Sekam yang ditiup angin akan cepat membuat pandangan kacau, lingkungan kotor, dan akhirnya dengan cepat berlalu. Mungkin dia bisa menarik perhatian sekejab, tetapi setelah itu akan segera hilang. Analisa Mazmur 1:1-6 Mazmur 1:1-2 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, A B1 yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, B2 dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, B3 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, C1 dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam C2 Sebagaimana telah dianalisa di atas, Ayat 1 (B1, B2, B3) dan ayat 2 (C1, C2) ini menggunakan sintetik paralelisme. Namun ayat 1 dan 2 dikombinasikan dengan antitetik paralelisme (perhatikan perubahan nada dari negatif ke positif antara B dan C). Pemazmur mengatakan bahwa orang (benar) yang berbahagia, yaitu orang yang mempunyai gaya hidup sedemikian, yaitu tidak hidup dengan mengikuti nasihat orang fasik, tidak ada di jalan orang berdosa dan tidak berkumpul bersama-sama dengan pencemooh yang sedang mencemooh. Sebaliknya yang dia lakukan adalah mencintai dan merenungkan Taurat Tuhan.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
33
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
Mazmur 1:3 seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, Ia A B1 yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya B2 B3 apa saja yang diperbuatnya berhasil C Pada ayat yang ke 3 ini terdapat sintetik paralelisme lagi. di mana orang seperti dalam ayat 1 dan 2 tadi disamakan dengan pohon yang ditanam di tepi aliran air (B1). Kehidupan pohon itu terjamin, dia akan berbuah pada waktunya (B2) dan daunnya tidak akan layu (B3). Penggunaan kata musim di sini menunjukkan bahwa akan ada waktunya nanti, - jika tidak sekarang, apa yang dilakukan seorang yang benar akan berbuah. Ayat ini dipertegas dengan kata penutup apa yang diperbuatnya berhasil (C). Mazmur 1:4-5 Bukan demikian dengan orang fasik: mereka A seperti sekam yang ditiupkan angin, B1 sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, C1 begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar. C2
Tips Singkat untuk Menafsirkan Alkitab 2
34
Ayat terakhir dari Mazmur ini membentuk suatu kesimpulan dengan antitesis Paralelisme, yang mengkontraskan antara jalan orang benar (B1), sebagai jalan yang dikenal Tuhan (A1), dengan jalan orang fasik (B2), sebagai jalan yang menuju kebinasaan (A2). Kesimpulan: Melalui perbandingan ini Pemazmur secara tidak langsung menganjurkan pembacanya untuk memilih jalan orang benar sebagai jalan hidupnya dengan memaparkan bahwa hanya ada 2 kemungkinan jalan, yakni sebagai orang benar atau orang fasik, dan masing-masing jalan ada konsekuensi bagi yang mengikutinya. Tulisan saya ini sementara berakhir di sini. Pada edisi selanjutnya saya akan melanjutkan dengan menganalisa budaya dan latar belakang. Saya berharap tulisan kecil ini dapat menambahkan kecintaan saudara untuk bergumul dengan Firman Tuhan. SOLI DEO GLORIA.
Ayat 4 dan 5 membentuk suatu sintetik paralelisme yang menyamakan orang fasik dengan sekam yang ditiup angin, sangat sementara. Pengembangan ide dilanjutkan dengan penjelasan yang menggunakan sinonimus paralelisme (C1 dan C2). Penjelasan ini menunjukkan bahwa orang fasik tidak akan bertahan di depan penghakiman, atau seperti orang berdosa yang ada ditengah-tengah orang benar. Dia akan merasa sangat tidak nyaman seolah-olah dosa, kefasikan, dan kepalsuannya ditelanjangi. Mazmur 1:6 sebab TUHAN mengenal A1 tetapi jalan orang fasik B2
jalan orang benar, B1 menuju kebinasaan. A2
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
The Good News is that the pardon for your sins has already been given. But you need to accept it by faith.
„having forgiven you all trespasses; Blotting out the handwriting of ordinances that was against us, which was contrary to us, and took it out of the way, nailing it to his cross;” - Colossians 2: 13 & 14 -
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
35
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal Ev. Yadi S. Lima
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.“ (Yoh 13:34-35) „Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” (1 Yoh 4:7-8) „Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Korintus 13:13) Selain Kehidupan itu sendiri, Cinta mungkin adalah subyek yang paling relevan dalam hidup manusia. Hampir tidak ada aspek dalam hidup kita yang terlepas dari Cinta. Tuhan memakai Cinta untuk mendorong ayahbunda bekerjasama menjadi penyebab keberadaan badani kita. Cinta kepada keindahan, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendorong seorang seniman, saintis, dan insinyur bergiat walau dibayar tak seberapa. Cinta kepada seorang Helen dan kehormatan Bangsa mengirim seribu kapal Yunani menyerbu Troy. Kobaran Cinta Tuhan mengirim para Martir menyeberangi jurang kematian dengan gagah berani. Dan di kota-kota kita, Cinta kepada uang memecut barisan manusia tanpa jiwa menyeberangi Kala tanpa canda, membusukkan hati dengan bengis, mengkorosi hari-hari dengan kuatir, mengorbankan Takjub detik ini demi Guna Jangka Panjang, demi Masa Depan Pasti yang tak pernah ada. Cinta dapat membawa manusia ke dalam kebahagiaan dan juga nestapa tiada tara. Tulisan ini akan mengajak kita sedikit merenungi misteri Cinta, terutama di dalam jalur pemikiran Rasul Yohanes, Augustine, dan Blaise Pascal. Pertanyaan-pertanyaan terpenting seputar Cinta mungkin adalah: Apakah Cinta itu? Bagaimanakah kita seharusnya mencintai? Cinta macam apakah yang akan membawa kebahagiaan? Dapatkah kita menuruti Perintah Pertama Kristus („Cintai Tuhanmu di atas apapun!”) sekaligus Perintah Kedua („Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”)?
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
36
St.Augustine percaya bahwa setiap orang pasti memiliki Cinta. Hanya saja sebagian orang menaruh Cinta yang salah pada hal-hal yang salah, sehingga hidup menjadi sengsara. Kita ini ditarik oleh cinta kita untuk bersatu dengan obyek cinta itu. Masalahnya, pada cinta yang salah obyek itu tak mampu memuaskan hasrat kita yang tak terbatas ini. Hanya ada satu Obyek Cinta yang mampu memuaskan hasrat hati kita ini. Obyek itu adalah Sang Sempurna, Sang Tak-Terbatas, Sang Cinta itu sendiri. Allah Tritunggal. Thou hast created us for Thyself, and our heart is not quiet until it rests in Thee. (st. Augustine) Mengapa hanya Allah Tritunggal yang dapat memuaskan hasrat Cinta kita? Pertama, karena hasrat hati manusia tak mengenal batas. Satu keinginan tercapai, seribu hasrat yang lebih tinggi muncul. Siapakah yang dapat memuaskan hasrat manusia? Kalaupun seluruh alam semesta ini dapat diberikan menjadi milik seorang manusia, tetap saja hatinya tak akan puas. Karena hati kita memang diciptakan untuk bersatu dengan Tuhan yang nothing greater, nothing better itu. Kedua, karena hanya Allah Tritunggal, Sang Cinta itu sendiri yang mumpuni menjadi kekasih jiwa kita. Cinta adalah tarikan hasrat antara dua pihak. Augustine memakai gambaran air dan minyak. Ketika kita menempatkan air dan minyak dalam satu wadah maka si air terdorong ke bawah, sedangkan si minyak tertarik ke atas. Dalam konteks inilah ia mengatakan kalimatnya yang tersohor, „Pondus meum, amor Meus” – my love is my weight. Sulit menerjemahkan ungkapan latin ini ke dalam bahasa kita. Tapi yang pasti istilah ‘weight’ bukan mengacu kepada ‘bobot’ tetapi lebih mengarah kepada ‘arah gaya tarik/gravitasi’. Ketika kita mencintai dunia, kita tertarik untuk memiliki dunia dan berangan-angan kita akan tidak menginginkan apa-apa lagi setelah memiliki seisi dunia. Ketika kita mencintai Allah kita tertarik kepada Allah dan tahu bahwa kita tak akan menginginkan apa-apa lagi setelah kita bersatu dengan Allah. Memiliki Allah dan dimiliki Allah. „The LORD is my Sheperd, I shall not want” kata Daud. Tarikan cinta ini menimbulkan sejuta problema jika sasaran cinta kita salah. Kita risau karena sebelum bersatu dengan yang kita cintai ada resiko penolakan atau kegagalan memperolehnya. Ketika kita bersatu dengan yang kita cintai kita risau akan resiko kehilangan: iPod terbaru bisa terjatuh atau dirampok, pacar bisa diambil orang lain atau mati, uang tabungan kita bisa menguap di bursa saham atau merosot nilainya akibat inflasi. Dengan begini kita membutuhkan sasaran cinta yang Tak Terbatas, Sempurna, Baik, Tidak Berubah dan Mencintai kita terlebih dahulu. Hanya ada Satu yang seperti ini. Allah Tritunggal yang Tak Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
37
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
Membutuhkan kita itu. Allah yang adalah Kasih itu sendiri. Di luar itu tidak ada yang dapat sungguh-sungguh memuaskan hati manusia. Seluruh isi dunia1 ini pun tidak dapat memuaskan hasratnya. „Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. (Pengkhotbah 5:10) Tragisnya, yang menjauhkan bahagia dari kehidupan orang macam begini adalah dirinya sendiri. Ia mengunci sendiri pintu hatinya dari kepuasan. Kita harus mematri peringatan keras Paulus di bursa-bursa saham, bank, mall, dan kuil-kuil Mammon modern lainnya. Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apaapa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. (1 Timotius 6:6-10) Dalam Pensees, Blaise Pascal menggambarkan hati manusia sebagai ruang vakum2 yang menghisap segala sesuatu untuk memenuhi hasratnya, tetapi celaka! Ruang vakum itu hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan. Maka tak peduli apapun yang dimasukkan manusia ke dalam kehidupannya untuk menumpasnya, hasrat hati ini tak kunjung padam, malahan pengejaran halhal itu membawa kepada kehancuran. Tak berhingga dikurangi angka berapapun adalah tetap tak berhingga.3
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
38
Sampai di sini kita menyadari bahwa hanya Allah Tritunggal yang dapat memenuhi hasrat hati kita, tetapi muncul pertanyaan yang logis, „Jika kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati kita, bagaimanakah masih ada tempat bagi kasih kepada sesama dan benda-benda lain di alam semesta?” Kita harus dapat memecahkan dilema ini karena Perintah Kedua mengenai kasih juga diperintahkan oleh Kristus. Perintah ini ditegaskan oleh Yohanes, jika kita tidak melakukan kedua Perintah Agung itu, sesungguhnya kita tak pernah melakukan satupun juga daripadanya. 3 „Jikalau seorang berkata: „Aku mengasihi Allah,“ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1 Yohanes 4:20) Kerumitan dilema ini makin pelik kalau kita menimbang besarnya tuntutan cinta kepada Tuhan (Perintah Pertama) yang diserukan Yesus, „Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Lukas 14:26) Beberapa jalan keluar diajukan untuk memecahkan dilema ini. Pertama, gantilah istilah ‘membenci’ dengan ‘mengasihi secara kurang.’ Dengan
„But what does all this restlessness and helplessness indicate, except that man was once in true happiness which has now left him? So he vainly searches, but finds nothing to help him, other than to see an infinite abyss that can only be filled by One who is Infinite and Immutable. In other words, it can only be filled by God himself. For God alone is man’s true good, and since man has rejected him it is strange that nothing has been found in all creation to take his place. The stars, the sky, the world, the elements, plants, cabbages, leeks, animals, insects, calves, serpents, fever, disease, war famine, vice, adultery, incest. Since he lost his true good, man is capable of seeing it in any object, even to his own destruction, although it is so different from what God ordained for him.” Blaise Pascal’s Pensees in The Mind on Fire: An Anthology of the Writings of Blaise Pascal (Portland: Multnomah, 1989) p. 109
Menarik juga untuk memikirkan aspek filsafat di balik operasi matematika sederhana ini. Pertama, tak berhingga (infinity) jelas bukanlah termasuk kategori bilangan. Kedua, kita bisa bertanya, „Apakah tak berhingga itu?” Apakah ‘Tak Berhingga” itu terletak di dalam alam semesta ini, ataukah di luarnya? Apakah Semesta memiliki ‘luar’? Ini jelas berhubungan dengan pertanyaan apakah Semesta ini sudah meliputi ‘Segala-Yang-Ada’? Atau dengan kata lain, „Adakah sesuatu yang melampaui semesta ini?” „Apakah semesta ini ‘open-system’ ataukah ‘closed-system’? Kalau kita memakai model Semesta-Yang-Sedang-Mengembang seperti diusulkan Hubble, maka kita harus mengasumsikan Semesta yang Terbatas-TapiTerbuka (pembahasan yang mengaitkan model semesta dengan konsekuensi teologissosiologis yang menarik dibahas oleh Wolfgang Achtner, dkk dalam Dimensions of Time (GR: Eerdmans, 2002) terjemahan dari Dimensionen der Zeit (Darmstadt: Wissenschaftiche Buchgesellschaft, 1998). Ketiga, jika tak-berhingga itu ada di luar semesta (asumsi: karena semesta ini terbatas, mustahil ada yang tak berhingga di dalamnya) bagaimana mungkin konsep ‘tak-berhingga’ itu bisa mampir dalam pikiran kita? Problem klasik! St. Anselmus memakainya untuk ‘membuktikan’ keberadaan Tuhan. Alkitab mencatat mengenai ‘kekekalan yang ditanamkan Tuhan dalam hati manusia’ (Pengkhotbah 3:11). Agustinus menyebut hati manusia sebagai tempat pertemuan dengan Tuhan yang Tak Terbatas dan Sempurna. Dooyeweerd menggambarkan inter-relasi antara Tuhan-Waktu-Hati Manusia seperti ini, „God’s law is refracted by cosmic time into the rich diversity of cosmic law spheres. But love finds its religious root-unity in the central love-commandment that is directed to our heart.” (Dooyeweerd's Introduction The Idea of a Christian Philosophy: Essays in Honour of D. H. Th. Vollenhoven, Toronto: Wedge, 1973, p. 9; also NC I, 11; II, 552). Dari website Dr. J. Glenn Friesen.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Saya memakai istilah ‘seisi dunia’ atau ‘seluruh dunia’ untuk menunjuk kepada ‘segala sesuatu yang ada dalam lingkup ciptaan’
1
2
3
39
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
demikian Yesus tidak sedang berkontradiksi dengan Yohanes. Yesus tetap menuntut kita untuk mengasihi sesama, tetapi dengan intensitas atau prioritas yang kurang dari cinta kita kepada Tuhan. Kala cinta harus memilih, mencintai Tuhan tapi mengecewakan sesama atau mengecewakan Tuhan tapi menyenangkan sesama, maka kita harus memilih mencintai Tuhan dengan segala konsekuensi. Dilema ini dipecahkan dengan jalan kuantisasi. Masalahnya, Yohanes memerintahkan kita untuk melakukan kedua Perintah itu di segala waktu. Kedua, kita dapat lari dari kewajiban menjawab secara rasional dengan berlindung di balik kata-kata sakti yang serbaguna berikut ini: PARADOX. Dua bagian alkitab tersebut tidak kontradiksi, tapi bersifat paradox. Ini misteri, tak terjelaskan secara akali. Terima dengan iman (dengan kata lain: saya tak wajib menjawab). Beres masalah. Beres? Tidak! Karena tetap saja kita menghadapi dilema kasih ini dalam tataran hidup sehari-hari. Secara retorika beres. Dengan menjawab ‘paradox’ gengsi kita terselamatkan (karena yang salah adalah si kafir Aristotle dan hukum nonkontradiksinya). Tetapi jawaban ini tidak meniadakan masalah sesungguhnya. Augustine menyadari kerumitan masalah ini dan memecahkan dilema ini pada akarnya. Ia tidak bertanya, „Bagaimana aku harus membagi besar porsi cinta yang harus kuberikan pada Tuhan dan sesama?” (jalan kuantisasi). Tetapi, ia bertanya, „Jenis cinta yang bagaimana harus kuberikan pada Tuhan dan sesama.” Pemecahan Augustinus adalah dengan mengenali perbedaan kualitatif antara cinta Tuhan dengan cinta pada sesama. Hati kita yang hanya satu ini hanya boleh diberikan seutuhnya pada Tuhan saja. Tuhan harus menjadi satu-satunya kecintaan kita. „Jawab Yesus kepadanya: „Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Matius 22:37) Tapi…bagaimana dengan Perintah Kedua? Di sinilah kita harus baik-baik memperhatikan bagaimana Yesus menempatkan Perintah Kedua itu dalam hubungannya dengan Perintah Pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Matius 22:39) Yesus memandang Perintah Kedua sebagai δε ομοια αυτη (sama) dengan Perintah Pertama. Berarti problemnya bukan mengharmoniskan kedua Perintah ini, tetapi pada pemilihan framework yang sesuai. Augustinus memakai framework yang mirip dengan semiotika dalam buku On Christian Doctrine. Sewaktu menjelaskan prinsip-prinsip menafsirkan Alkitab (teks!), Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
40
Augustine menunjukkan hubungan antara Tuhan sebagai signified (yang bersifat end-in-Itself) dengan benda-benda ciptaan – termasuk manusia – sebagai signifier/signs (yang tentu bukan end-in-Itself karena hanya merupakan penunjuk pada rujukan yang merupakan end-in-Itself yaitu Sang Tritunggal). Singkatnya, manusia berada untuk menunjuk kepada Tuhan. Maka tempat bagi cinta pada manusia adalah dalam rangka mencintai Tuhan. Seperti kata Yohanes, kita tak mungkin mencintai Tuhan tanpa mencintai manusia. Hanya saja kita harus membedakan jenis cinta diantara kedua obyek cinta ini. Tuhan dicintai sebagai ‘alasan akhir’ sedangkan manusia dicintai sebagai ‘penunjuk kepada Tuhan’. Kita tak pernah dapat mengasihi manusia dalam dirinya sendiri (secara an sich/per se) karena natur manusia memang bukan end-in-itself. Augustine menyebut cinta-dalam-rangka ini sebagai uti (memakai), dan cinta pada Tuhan yang pada-diri-Nya-sendiri ini sebagai frui (menikmati). Jangan salah sangka, Augustine tidak sedang memberi keleluasaan pada kita untuk memperalat manusia. Hanya Tuhan yang boleh ‘memakai’ manusia. Kita ‘memakai’ (uti) manusia hanya dalam rangka mencintai Tuhan saja. Ini kewajiban semua orang – seisi dunia. Jadi bukan hanya orang lain yang kita ‘peralat’ untuk Tuhan, tetapi juga diri sendiri. Bukan hanya memakai diri sendiri sebagai ‘alat Tuhan’ menjadi berkat bagi orang lain, tetapi juga dengan rendah hati terbuka pada pekerjaan Tuhan yang memelihara, menebus, dan menyucikan kita melalui orang lain sebagai alat Tuhan bagi diri kita. Di dalam semuanya itu kita menikmati Diri Tuhan sendiri melalui alat-alat anugerah (media gratiae) Tuhan yakni segenap ciptaan dan Firman. Tuhan adalah sumber kenikmatan cinta satu-satunya bagi kita. Hal ini disadari juga oleh Bernard de Clairvaux pada level ketiga (dan keempat) cintanya. Kita harus bertumbuh dari mencintai Tuhan karena Ia baik pada kita kepada mencintai Tuhan karena Dia adalah Diri Kebaikan itu sendiri. Tak ada yang dapat dan boleh dinikmati seperti cara kita menikmati Diri Tuhan begini. Karena tak ada yang pantas dan tak ada yang berkapasitas begini selain Tuhan. Nothing greater, nothing better. Tragedi hidup manusia adalah kita dirancang untuk hanya bisa puas dengan Tuhan, dan Tuhan rindu untuk memuaskan hasrat hati kita itu dengan keberadaanNya yang Baik dan Sempurna, tetapi kita memilih untuk menolak Dia dan mencari pemenuhan kepuasan dari lingkup ciptaan yang sebenarnya bukan ditujukan untuk memuaskan hati kita, tetapi untuk dipakai (uti) memancarkan kemuliaan Tuhan. Dalam proses uti segenap alam unilah kita menikmati (frui) Sang Pencipta, seperti dinyatakan Westminster Shorter Catechism Q/A #1: „What is the chief end of man?” – „To glorify God and enjoy Him forever.”
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
41
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
Kalau sudah begini tentu jelas bagaimana kita melakukan dua Perintah Cinta ini. Kita dapat melakukan keduanya secara maksimal (hal ini tak terjelaskan oleh Solusi melalui Kuantisasi Cinta). Perintah ini ternyata juga tidak melanggar Hukum Logika Non-Kontradiksi Aristotles (kita belum perlu bersembunyi di balik logika Paradox dari Timur yang sarat misteri dan ambiguitas). Terakhir, apakah ini berarti cinta kita kepada sesama menjadi kekurangan gairah? Sebatas cinta Platonik? Apakah keunikan pada tataran hidup seharihari jika kita memakai framework frui/uti ini dalam menghidupi cinta? Augustine memang sering dituduh telah merampas gairah dan kenikmatan dari hidup orang Kristen. Tak ada tempat bagi kitab Kidung Agung selain ditafsirkan secara alegoris sebagai kisah cinta Kristus dan Gereja. Tak ada tempat bagi anjuran Pengkhotbah, „Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenangsenang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah.” (Pengkhotbah 2:24) tanpa membacanya sebagai sindiran bagi orang-orang di luar Allah (yang mana berlawanan dengan perkataan, „Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah”). Benarkah demikian? Benarkah Augustine sedang mengajarkan Neoplatonisme yang menista tubuh dan segala bentuk kenikmatannya? Perlu kita ingat bahwa Augustine tidak mengajarkan penghindaran dari segala bentuk kenikmatan tubuh dan pengalaman di dalam tubuh yang lain. Ia bukan seorang penganut Gnostisisme yang menista tubuh dan alam materi ciptaan Bapa kita ini. Kata kuncinya bukan ‘menahan diri’ tetapi ‘memakai secara tepat’.
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
42
jelas mengajarkan bahwa dunia material itu diciptakan Tuhan untuk kita hidupi sepenuh-penuhnya („Persembahkan tubuhmu ...” kata Paulus, dia tidak mengatakan persembahkan „rohmu”, atau „hatimu”, atau „jiwamu” – Roma 12:1). Bukan ‘penghindaran dari dunia’ tetapi ‘menghindari memakai dunia untuk tujuan yang salah’ adalah kunci pemahamannya di sini. Tuhan tidak menciptakan dunia ini sebagai double decker rohani-materi. Hanya ada domain material dengan segala kelimpahan rohaniah di dalam domain itu sendiri. Kita tidak dapat merambah pada domain non-semesta. Waktu kita mengatakan ‘dunia ini bukanlah rumahku’ kita harus memastikan bahwa yang kita maksud dengan ‘dunia’ bukanlah ‘domain ciptaan Tuhan’ ini, tetapi satu set sistem yang dibangun manusia berdosa untuk melawan Tuhan. Pengertian ‘dunia’ macam inilah juga yang dimaksudkan Yohanes sewaktu ia mengatakan: „Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:15-17)
Banyak orang yang ‘lari dari dunia’ untuk menghindari ‘pencobaan’. Tetapi bagi Augustine hal ini hanyalah usaha pengecut untuk menghindari kesulitan saja. Yang diinginkan Tuhan adalah moderasi – bukan penghindaran total. Kalau kita mengerti untuk apa dari semula Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan, kita akan mengerti apa dan bagaimana harus hidup dalam semesta yang diciptakan Tuhan ini. Jika kita menghindari hidup dalam semesta material ini (demi menikmati kemurnian hidup ‘rohaniah’) maka kita sedang melecehkan tindakan penciptaan semesta material itu sendiri. Kita sedang melecehkan keputusan Tuhan yang dia buat sebelum dunia jatuh dalam dosa. Tetapi jika Alkitab dengan
Istilah ‘dunia’ di sini bukan mengacu kepada ‘serat kertas dan kayu’, ‘batu, semen, dan kemampuan rasional untuk merancang-bangun bangunan’ dan ‘matematika probabilitas dan kemampuan analisa yang memungkinkan manusia menyusun disiplin ilmu psikologi konsumen’ yang menjadi ‘bahan baku mentah’ bagi terbentuknya sebuah Pusat Perjudian atau Bursa Saham dan Sistem Keuangan-Pasar Kapitalistik misalnya, tetapi mengacu kepada ‘kejahatan yang terkandung di dalam sistem yang dibangun itu sendiri’. Dunia kita ini dibangun dengan menggunakan ‘bahan baku’ planet ini dengan segala sumber daya alam serta segenap potensi manusia. Keduanya berasal dari Tuhan dan keberadaannya terus-menerus ditopang oleh providensia-Nya. Tetapi kita membangun ‘dunia’ kita yang penuh kejahatan dan penindasan dari bahan baku milik Tuhan tersebut. Jadi jangan salah mengira, Augustinus tidak mendorong kita untuk lari dari dunia ciptaan Tuhan ini (‘bahan bakunya’) tetapi mendorong kita untuk tidak mencari kepuasan dari dunia berdosa (‘produk jadinya’) yang memang kita rancang untuk menjauhkan kita dari Tuhan. Jadi panggilan kita bukanlah mendirikan ‘Kerajaan Rohaniah’ di awan-awan, atau menunggu ‘dijemput ke dalam Kerajaan Langit’ tersebut – tetapi untuk kembali kepada rencana semula Tuhan sewaktu menciptakan keberadaan material ini dari ketiadaan yaitu untuk memakainya sebagai display kemuliaan-Nya. Ini berarti kita tidak
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
To many, total abstinence is easier than perfect moderation. (st. Augustine)
43
Cinta, Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal
dipanggil untuk lari dari dunia (‘bahan baku’) tetapi untuk merubuhkan dunia (‘produk manusia berdosa’) yang dibangun untuk melawan Allah. „Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.” (2 Korintus 10:5) Dengan kata lain, meminjam istilah John Fiske, kita tidak terpanggil untuk melakukan inkorporasi dunia (yaitu larut dalam cara dan sistem dunia), tetapi kita harus memperjuangkan ekskorporasi, yaitu: „The process by which the sub-ordinate make their own culture out of the resources and commodities provided by the dominant system.”4 Tentu saja ini adalah sudut pandang ‘dari bawah’ dan ‘sejak kini’. Sebagai orang berdosa yang tercemplung dalam dunia yang sudah jatuh (sejak lahir sudah dalam tahap fall) tentu kita seolah ‘berhutang’ jasa dan barang kepada sistem dunia berdosa ini. Roti yang kita makan, HP yang kita pakai, bahkan komputer yang saya pakai mengetik ini bisa begitu canggih dan murah mungkin karena adanya sistem produksi-konsumsi-finansial yang sangat menindas bagi golongan lemah. Dengan kata lain saya turut berdosa melalui segala fasilitas canggih modern yang di baliknya ada air mata kaum proletar dan pengorbanan jiwa-jiwa kelas menengah yang dilanda bosan dan pemerosotan derajat menjadi ‘manusia satu dimensi’ akibat kapitalisasikonsumerisme.5 Tetapi kita harus ingat bahwa sebenarnya Tuhanlah yang menjadi provider kita, bukan pinjaman modal dari bank, arus kapital dari Dow Jones dan Hang Seng, hiburan pemberi nafas hidup dari Hollywood, dan mainan terbaru dari Silicon Valley. Kita semua berhutang kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta memberikan kecerdasan kepada umat manusia, karena itulah kita harus ‘menjarah balik’ harta-harta Mesir ini untuk dipakai kembali bagi kemuliaan Tuhan! Ini adalah panggilan untuk membangun kultur/sistem hidup/sitz im leben yang memang dimaksudkan sejak semula ketika Tuhan menciptakan semesta. Saat itu terjadi, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah di tengah kita. „Gloria Dei homo vivens, vivere est cognoscere Deum!”(„The glory of God is in the life of man, lived in acknowledgement of God”) – st. Irenaeus 4
Kevin Vanhoozer, Everyday Theology (GR: Eerdmans, 2006)
5 Herbert Marcuse, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964) juga Adelbert Snijders, OFM Cap, Antropologi Filsafat Manusia: Paradox dan Seruan (Yogya: Kanisius, 2004)
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
The Five Love Languages
44
Resensi Buku The Five Love Languages Erna Chandrawati
Sumber:http: http://www.fivelovelanguages.com/ ISBN: 1-881273-15-6 Pengarang: Gary Chapman Apa yang terjadi setelah pernikahan terkadang sudah tidak mengejutkan lagi, banyak orang malas menikah karena takut akan adanya pertentanganpertentangan yang muncul di dalam pernikahan yang pada akhirnya menyebabkan perceraian. Tidak jarang kita mendengar seseorang menikah lebih dari satu kali, karena merasa tidak cocok dengan pasangannya dan berusaha mencari yang lain yang lebih pas, yang toh akhirnya bernasib sama. Buku ini menceritakan rahasia pernikahan yang bahagia, yang disimpulkan dalam „lima bahasa cinta” oleh Dr. Gary Chapman, seorang konselor Kristen yang telah bekerja lebih dari 30 tahun di dalam menkonseling pernikahan. „Lima bahasa cinta”, yaitu: -. Words of Affirmation (Perkataan yang menguatkan) -. Quality Time (Kualitas waktu) -. Receiving Gifts (Menerima hadiah) -. Acts of Service (Sikap pelayanan) -. Physical Touch (Belaian kasih) Setiap orang mempunyai bahasa cintanya masing-masing. Ada yang merasa baru dicintai jikalau ia mendapat perkataan yang menguatkan dari pasangannya dan yang lain merasa dicintai jika pasangannya menyediakan waktu inklusiv untuknya dalam melakukan aktivitas tertentu. Banyak orang yang mencintai pasangannya, tapi tidak mengerti tentang bahasa cintanya, yang menyebabkan terjadinya kekosongan atau kekeringan dalam pernikahan. Di sini Dr. Gary Chapman memaparkan contoh-contoh realita yang sering dialami di dalam suatu pernikahan dan bagaimana bahasa cinta dapat menghilangkan kekosongan dan kekeringan di dalamnya. Beliau juga memberikan tips-tips bagaimana kita dapat mengenal bahasa cinta pasangan kita dan bagaimana kita aktiv mencintai pasangan kita dengan menggunakan bahasa cintanya. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
45
Kesaksian
Kesaksian
46
yaitu ke jerman dan supaya mengenal Engkau lebih dekat lagi. Saya melihatnya sebagai kasih dari Engkau. Itu sangat memberi saya kekuatan. Pada suatu hari Engkau mengijinkan suatu kejadian terjadi di dalam hidup saya, di mana sejak dulu saya sangat takut kalau itu terjadi pada saya.
Kesaksian
Stephen Tahary Bapa, ketika saya masih SMA di indonesia, saya menjalani hidup saya ini dengan begitu banyak harapan, keberanian yang besar, pikiran yang positif dan mempunyai hidup yang berprinsip, seperti layaknya seorang remaja Kristen. Ada juga sifat saya yang jelek seperti cuek, keras kepala, nekat, dll. Hobi saya salah satunya adalah ngebut-ngebutan. Tidak pikir panjang lagi kalau sudah di atas motor. :) Dulu saya sempat berpikir „ Hallo, saya adalah seorang Kristen. Saya tidak pernah melakukan dosa-dosa yang bisa membuat orang jadi kecanduan untuk melakukannya lagi, seperti merokok, obat-obatan dll. Saya hanya jatuh ke dalam „dosa-dosa kecil” dan saya tidak mempunyai perasaan yang bersalah untuk itu. Bahkan saya masih bangga kalau saya tidak jatuh ke dalam dosa-dosa besar, dan hanya jatuh ke dalam dosa-dosa kecil.” Ja, begitulah kehidupan saya. Semuanya saya jalankan dengan kekuatan sendiri. Tanpa sadar bahwa di balik semuanya itu ada tangan Engkau yang sedang menopang. Di dalam perjalanan hidup saya banyak hal yang terjadi dan mengubah saya. Engkau membawa saya ke Jerman. Di sini saya lebih banyak lagi mempunyai kesempatan untuk belajar Firman-Mu. Iman saya pun bertumbuh dengan baik. Banyak hal yang Engkau koreksi. Saya baru di sadarkan kalau kehidupan saya dulu itu sangat berbahaya yaitu pada saat saya ngebut-ngebutan. Saya pikir cuma merokok, obat-obatan saja yang bisa membahayakan jiwa saya. Ternyata ngebut-ngebutan bisa membahayakan jiwa saya. Saya baru sadar bahwa saya dulu melakukan kesalahan-kesalahan teknik mengendarai yang pasti mengakibatkan nyawa bisa melayang. Contohnya: pernah sekali saya ngebut di lokasi puncak dengan kecepatan lebih dari 140 kmh dan mencoba dengan kecepatan yang tinggi juga utk menikung. Kecepatannya yang tinggi itu membuat saya keluar dari jalur yang seharusnya. Dan kalau pada waktu itu ada mobil yang datang berlawanan arah, nyawa saya pasti akan melayang. Meskipun kalau mobilnya melaju dengan tidak kencang, pasti akan terjadi tabrakan dan saya akan jatuh dan terseret sampai masuk jurang.
Dan pada waktu itu, sepertinya setiap detak jantungku seperti suara detik pada detik jam dinding. Sepertinya saya tidak mendengar suara keramaian di tengah-tengah dunia yang ramai ini. Yang terdengar di kuping saya hanya seperti suara detik jam dinding yang suaranya sama kerasnya dengan detak jantung saya. Serasa dunia ini menjadi bisu. Dan saya hanya bisa berkata: „Terjadi juga hal ini di dalam hidup saya, Bapa. Kenapa ini mesti terjadi? Apa yang mau Engkau sampaikan kepada saya melalui kejadian ini? Dan kenapa mesti lewat kejadian ini?“ Tetapi di dalam momen itu saya melalui kekuatan dari Roh Kudus bisa mengatakan „Ja, saya bisa mengerti kenapa ini mesti terjadi.“ Dan pada saat kalimat itu keluar dari mulut saya, damai sejahteraMu langsung megisi hati saya. Begitu damai hati saya. Saya melihatnya itu sebagai suatu ujian dari Engkau ya, Bapa. Itu berarti bahwa Engkau sangat mengasihi saya. Engkau mau supaya saya bisa melewati hal ini. Engkau mau supaya saya bisa melewati ujian yang paling besar buat saya. Bapa, kasih-Mu begitu besar. Engkau menguji saya pada waktu iman saya sudah bertumbuh dengan baik. Andaikan Engkau menguji saya dulu waktu di indonesia, saya pasti tidak akan bisa melewati hal itu. Terima kasih, Bapa. Engkau mengenal saya. Engkau mengenal segala kekhawatiran saya. Engkau mau kalau saya tidak mempunyai kekhawatiran lagi dan bersandar pada Engkau saja. Kasih-Mu yang inilah membuat saya menyerahkan seluruh hidup saya kepada Engkau.
Kalau di pikir-pikir dulu saya menjalani hidup saya dengan seenak jidat. Tidak tahunya bahwa Engkau selalu di sisi saya. Engkau menjaga saya supaya saya bisa masuk ke dalam kehidupan yang engkau telah persiapkan,
Bapa, banyak hal yang Engkau telah lakukan. Engkau mengasihi saya. Engkau memelihara saya. Tetapi masih juga sering saya mendukakan Engkau dan melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hatiMu. Tetapi Engkau telah memilih saya untuk diselamatkan sebelum dunia ini dijadikan, meskipun Engkau tahu bahwa saya akan mendukakan Engkau. Saya tidak mengerti kenapa Engkau begitu mengasihi saya. Saya tidak mengerti mengapa Engkau begitu mengasihi manusia. Kasih-Mu itu sempurna, tanpa cacat. Kasih-Mu itu memberi saya kekuatan, menghibur saya, dan menarik saya kembali kepada Engkau di kala saya jauh dari Engkau. Terima kasih Bapa. Terima kasih kalau saya boleh menikmati kasih-Mu.
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
47
Seputar MRII-Berlin
SEPUTAR MRII-BERLIN Herawaty
Di Jerman pun kita bisa melantunkan puji-pujian dengan iringan angklung, alat musik tradisional Indonesia. Pada malam tanggal 20 Oktober 2007 MRII Berlin mengadakan kebaktian malam Indonesia guna menjalankan mandat budaya dan penginjilan. Berbagai acara dipersiapkan untuk menyampaikan pesan injil kepada jemaat yang hadir. Khotbah dibawakan oleh Pdt. Billy Kristanto, paduan suara MRII Berlin menyanyikan lagu rohani Indonesia serta rohani tradisional Indonesia, dan juga video / film singkat yang diedit oleh Bravo dengan pemeran utama Yenni, Fungki, Erna dan Stephen ini sangat membawa berkat bagi banyak penontonnya. „Di dalam perbedaan, kita tetap satu di dalam Tuhan Yesus. Pergunakanlah waktu kita sebaik mungkin untuk mengambil keputusan mengikut Yesus.” Kita juga bersyukur untuk kesempatan menjalankan kebaktian bersama Gereja Martin Luther di hari reformasi pada tanggal 04 November 2007. „Ein feste Burg ist unser Gott” sebuah pujian yang ditulis oleh Martin Luther di tahun 1529 dinyanyikan oleh paduan suara MRII Berlin di kesempatan hari reformasi itu. Setelah kunjungan sebelumnya pada tanggal 17 Mai 2005, Pdt. Stephen Tong menyempatkan diri untuk mengunjungi jemaat di Jerman kembali. Dari Amsterdam beliau memimpin KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di MRII Hamburg pada malam tanggal 03 November 2007. Paduan suara dari MRII Berlin mempersembahkan satu pujian yang diiringi oleh Pdt. Billy Kristanto pada saat itu. Di hari selanjutnya beliau memimpin dua KKR yakni di PRII Munich pada siang hari dan di MRII Berlin pada malam harinya. KKR ini bukan hanya dihadiri oleh jemaat lokal, tapi juga dari kota-kota lain seperti Hannover, Soest, Kiel, Grobenzell, Darmstadt, Karlsruhe, Ulm, Deggendorf, dsb. Beliau juga memberikan kesempatan tanya jawab dengan jemaat di ketiga tempat ini setelah khotbah selesai. Setelah kunjungan pada bulan Juli yang lalu, akhirnya MRII Berlin juga bisa kembali bernyanyi di Panti Jompo Elisabeth di Bürgerpark Pankow pada Advent pertama, dilanjutkan pada Advent yang kedua di Köpenick. Puji syukur bagi Tuhan atas keberadaan MRII Berlin, dan kiranya Tuhan masi mau memakai MRII Berlin bagi kemuliaan namaNya. Soli Deo Gloria. Buletin REIN Edisi 12 - Desember 2007
Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V.
Gereja Reformed Injili Indonesia
Persekutuan Doa Penginjilan Kebaktian Umum Kebaktian Anak-anak
: Minggu, 15:15 : Minggu, 16:00 : Minggu, 16:00
Penelaahan Alkitab
: Sabtu, 16:00
Bertempat di : Ev.Kirchengemeinde Martin-Luther Fuldastr. 50-51 U7, U-Bhf. Rathaus Neukölln 12045 Berlin
Persekutuan Wilayah : setiap Jumat ke-2 dan ke-4, 19:30 Untuk keterangan tempat lebih lanjut harap menghubungi Sekretariat.
Sekretariat MRII-Berlin : Braunschweigerstr. 75 c/o Cahyadi 12055 Berlin Tel. (+49)30-68081042 / (+49)1791458691 http://www.grii.de/berlin email:
[email protected]
Nomor Rekening: MRII Berlin e.V. Kto.Nr. 0257576 BLZ. 100 700 24 Bankinst. Deutsche Bank