Didukung: IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
DARI REDAKSI Riset dan Peran Strategis Pertumbuhan Ekonomi Setidaknya ada 701 hasil penelitian (riest), dengan total anggaran 1,8 triliun rupiah, yang mangkrak di sejumlah perpustakaan dan menjadi “barang mati”. Fakta tersebut dinyatakan oleh Muhammad Nasir, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) ketika menghadiri peluncuran Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Semarang pada akhir Mei lalu. Guru Besar Universitas Diponegoro itu pun mengatakan bahwa akibat belum direalisasikannya hasil penelitian tersebut, masyarakat tidak bisa menikmati manfaatnya. Ia berharap hasil riset dapat dipromosikan hingga masyarakat paham riset apa saja yang telah dilakukan serta dihilirisasi menjadi sebuah produk inovasi. “Mulai Juni ini, beberapa riset inovasi akan diproduksi. Enzim untuk penyamakkan kulit dan juga garam farmasi, yang selama ini diimpor akan diproduksi,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa banyak hasil penelitian yang dilakukan sebenarnya bisa diaplikasikan, seperti penelitian pangan dan pertanian, kesehatan, transportasi, teknologi informasi, nano teknologi, teknologi pertahanan, serta energi. Penelitian atau riset adalah salah satu instrumen penting untuk menciptakan inovasi dan mengembangkan teknologi. Dengan kemampuan dan kemandirian teknologi, Indonesia akan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap teknologi asing, sekaligus akan terhindar dari middle income trap dan melesat menjadi negara maju. Artinya riset berperan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
idealnya anggaran penelitian itu sebesar 1 persen dari PDB. Sedangkan UNESCO merekomendasikan angka 2 persen. Selain itu, hasil penelitian yang belum sesuai dengan kebutuhan industri dan belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat juga masih menjadi tantangan yang besar bagi para peneliti dan lembaga penelitian. Hasil penelitian yang mangkrak tersebut bisa jadi karena, sebagian, tidak bisa digunakan oleh kalangan industri dan masyarakat. Berbagai upaya sedang dan akan segera dilakukan. Agar hasil penelitian dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat, pemerintah pusat menggandeng pemerintah daerah untuk “membumikan” hasilhasil penelitian melalui berbagai inovasi dan pengembangan teknologinya. Di lain pihak, pemerintah juga akan menggandeng kalangan industri agar penelitian yang dilakukan dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri atau dunia usaha, serta mendorong pihak swasta untuk melakukan penelitian mandiri. Jika semua sinergi ini berhasil dilakukan dengan baik, niscaya Indonesia akan melesat menjadi salah satu negara maju seperti yang dicita-citakan.*** Aries R. Prima Pemimpin Redaksi
Tidak bisa dimungkiri bahwa kegiatan riset di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Seperti bantuan dana riset yang tidak mencukupi, iklim akademik yang masih kurang mendukung, hasil riset yang tidak “membumi”, serta hasil penelitian belum menjadi sistem pembelajaran. Hingga saat ini anggaran riset Indonesia kurang dari 0,1 persen PDB (produk domestik bruto), masih tertinggal jauh dari beberaa negara ASEAN lain, seperti Thailand (0,25 persen), Malaysia (1 persen), dan Singapura (2,6 persen). Menurut M. Nasir,
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
2
Tantangan Aplikasi Penelitian Sumber Energi Terbarukan Biogas Arini Wresta Puslit Telimek LIPI Teknologi biogas adalah teknologi yang proven. Pemanfaatan teknologi biogas di Indonesia banyak dilakukan di peternakan-peternakan sapi skala kecil untuk mengubah kotoran sapi menjadi biogas, dimana biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak maupun untuk pembangkit listrik. Teknologi ini dikenal dengan teknologi yang mudah karena hanya dengan meletakkan kotoran sapi dalam suatu wadah tertutup biogas akan terbentuk dalam beberapa hari, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Meskipun teknologi biogas merupakan teknologi sederhana yang proven, banyak tantangan yang dihadapai dalam aplikasi teknologi ini di lapangan. Terdapat kendala teknis dan operasional karena dalam aplikasinya biasanya melibatkan peternak sapi untuk melakukan pengumpanan kotoran sapi ke dalam digester dan perawatan sistem. Pada kenyataannya aplikasi teknologi ini ternyata tidak mudah. Desain peralatan sangat menentukan keberhasilan operasional di lapangan, seperti mesin pengaduk yang harus dipastikan berjalan dengan baik sehingga tidak terjadi penggumpalan campuran kotoran sapi dan air yang dapat menghambat aliran bahan menuju dan keluar dari digester, yang akhirnya menyebabkan kegagalan proses. Penggumpalan campuran bahan di dalam digester juga dapat disebabkan karena pengaturan waktu tinggal yang tidak tepat sehingga tidak semua kotoran sapi terolah menjadi biogas.
anaerobik sangat diperlukan. Pengumpanan bahan baku juga harus dilakukan secara kontinyu agar mikroba-mikroba anaerobik di dalam digester terus mendapatkan makanan dan mengubahnya menjadi biogas. Dan semua operasional-operasional itu memerlukan bantuan operator yang biasanya adalah peternak sapi atau petani. Tanpa pemberian pemahaman yang baik, operasional sistem biogas sering kali mengalami kegagalan seperti digester mampet, produksi biogas terhenti, dan peralatan yang sudah dipasang menjadi mangkrak. Komunikasi dengan peternak harus selalu dijaga untuk memastikan operasional dan perawatan sistem dilakukan dengan baik. Disinilah diperlukan kecerdasan peneliti dalam melakukan tugas manajerial dengan masyarakat peternak, dalam hal ini, peneliti dituntut untuk tidak hanya sekadar memahami ilmu tentang teknologi biogas itu sendiri, tetapi juga memiliki ilmu manajemen yang baik, memimpin masyarakat dalam pengoperasian sistem untuk menjamin keberhasilan aplikasi teknologi biogas di masyarakat.
Perbandingan air dan kotoran sapi yang tidak tepat juga dapat menyebabkan penggumpalan di dalam digester, yaitu ketika campuran tersebut terlalu pekat sehingga kembali terjadi sebagian kotoran sapi yang tidak terolah menjadi biogas. Pada penggunaan bahan baku lain selain kotoran sapi, seperti sampah buah, sampah rumah tangga, dan rumput laut, dimana kondisi bahan baku masih berupa bahan-bahan kasar dengan hampir tidak ada kandungan bakteri-bakteri anaerobik, proses pretreatment dan penambahan bibit-bibit bakteri
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
3
Meningkatkan Produktivitas Hutan Hujan Tropis Menggunakan Sistem TPTII Dr. Wahyudi Department Forestry, Universitas Palangka Raya Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasilia dan Zaire. Namun deforestasi dan degradasi hutan berjalan sangat cepat dengan kisaran 1,8 sampai 2,84 juta ha/th. Permasalahan penting lainnya adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu hanya antara 0,25 sampai 1,4 m3/ha/th. Tahun 80-an sampai tengah tahun 90-an, produksi kayu bulat Indonesia berkisar 20 juta sampai 26 juta m3/tahun, namun sejak tahun 2000-an, di bawah 6 juta m3/tahun. Banyak sistem silvikultur diterapkan untuk mengelola hutan alam produksi, seperti Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Jalur Tanam Indonesia sampai pada Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), namun hasilnya belum memuaskan. Belum ada sistem yang mencapai satu siklus tebangnya namun telah diganti dengan sistem lainnya. Harapan besar bertumpu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang baru diterapkan bertahap sejak tahun 2005. Sistem ini memadukan teknik penanaman pengayaan pada sistem TPTI dan teknik penanaman dalam jalur pada sistem TPTJ, sehingga regenerasi hutan dapat dimuliakan, dirawat dan diawasi secara intensif. Apakah sistem ini mampu menjawab tantangan kelestarian hutan dan peningkatan produktifitas? Untuk menjawab tantangan ini kita tidak boleh menunggu satu siklus tebang (selama 30 tahun), sebab dikhawatirkan akan terjadi kerusakan hutan puluhan tahun tanpa kita ketahui. Diperlukan penelitian dan pemodelan dinamika tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada akhir daur. Penelitian bertujuan mengevaluasi pertumbuhan dan hasil tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam dan tegakan tinggal pada jalur antara sistem TPTII serta memprediksi produktivitas dan daurnya melalui mekanisme pemodelan dinamika tegakan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dilakukan pengukuran terhadap struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara. Penelitian ini mengevaluasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTIIPenelitian dan dilakukan pada plot penelitian sistem TPTII di areal kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah. Plot penelitian sistem TPTII terdiri dari sub plot penelitian tanaman pada jalur tanam dan sub plot penelitian tegakan
tinggal pada jalur antara. Sub plot penelitian tanaman Shorea leprosula terdiri dari tiga jalur tanam masingmasing lebar 3 m dan panjang 1.000 m dengan jarak tanam dalam jalur sepanjang 2,5 m, sedangkan sub plot penelitian tegakan tinggal terdiri dari dua jalur antara masing-masing mempunyai lebar 17 m dan panjang 1.000 m. Pengambilan data primer dilakukan tahun 2007 sampai 2010. Data penunjang pemodelan diambil dari plot penelitian tanaman Shorea leprosula yang telah berumur 11 dan 16 tahun, sedangkan data penunjang validasi model dinamika tegakan tinggal diambil dari hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan selama 7 tahun (1998 s/d 2005). Data penunjang dan asumsi yang digunakan dalam pemodelan menggunakan data hasil penelitian di areal kerja PT Gunung Meranti serta data sekunder dari hasil penelitian di areal kerja IUPHHK-HA yang telah menerapkan sistem TPTII sejak awal, seperti PT Sari Bumi Kusuma, PT Sarpatim, dan lain-lain. Hasil penelitian tanaman pada jalur tanam menunjukkan bahwa riap diameter tahunan rata-rata (MAI) tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing-masing sebesar 1,07 cm/th; 1,06 cm/th; 1,22 cm/th dan 1,31 cm/th. Melalui pemodelan menggunakan persamaan polinomial diketahui bahwa tanaman telah mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun (R2 > 95%) dengan potensi sebesar 136,72 m3/ha yang terdiri dari 125,14 m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada daur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTII (limit diameter 40 cm ke atas) sebesar 22, 41 m3/ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha, sehingga hasil tanaman pada jalur tanam sistem TPTII mampu meningkatkan produktivitas hutan sebesar 458,41%.
Kayu bulat jenis meranti merah, dari hutan hujan tropis di Kalimantan Tengah
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
4
Bandara Internasional di Malang, Perlu Kah? L. Tri Wijaya, ST., MT., IPP Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang segera memiliki bandara bertaraf internasional yang berlokasi di lahan TNI Angkatan Laut di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Rencana pembangunan bandara di wilayah Malang, tepatnya di Kecamatan Bantur tersebut sudah mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pendanaan pembangunan bandara tersebut sepenuhnya dianggarkan pemerintah pusat (APBN). Jika kita melihat dari kacamata bisnis, prospek adanya bandara internasional di Malang itu sangat bagus dan cocok. Sebab, bandara yang sudah ada di Malang saat ini, yakni Bandara Abdulrachman Saleh, sudah kurang layak. Pesawat belum berani mendarat pada malam hari dan sering berubahnya kondisi cuaca dan jarak pandang secara tidak terduga. Menurut rencana, pada tahun 2019 bandara tersebut sudah bisa beroperasi melayani penerbangan komersial. Pemprov Jatim pun ikut serta mengusulkan dan mendukung wilayah Purboyo, di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, sebagai lokasi untuk bandara baru bertaraf internasional. Purboyo dipilih karena kawasan yang berada di wilayah Malang bagian selatan tersebut cukup strategis. Selain dekat dengan Puslatpur Marinir TNI AL, jika terwujud, Bandara Purboyo dapat melayani penumpang domestik yang berasal dari 11 daerah yang ada di selatan dan sekitarnya, yakni Malang Raya, Blitar, Tulungagung, Kediri, Trenggalek, Pasuruan, hingga wilayah Lumajang. Dari informasi yang beredar di media, usulan tersebut disampaikan Gubernur Soekarwo kepada Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Beliau mengatakan: "Alhamdulillah, Pak Menhub setuju dengan usulan tersebut, apalagi, saat ini pemerintah juga sedang menyelesaikan pembangunan jalan lintas selatan (JLS) yang menghubungkan wilayah selatan Jatim, mulai Pacitan hingga Banyuwangi. Jadi pas sudah." Perlu kita ketahui bersama bahwa banyaknya bandara internasional akan berdampak pada meningkatnya arus penerbangan langsung dari dan ke luar negeri. Penerbangan langsung ke kota-kota di Indonesia hampir dapat dipastikan dari Singapura, Kuala Lumpur, dan Johor, serta penerbangan lintas batas
seperti Pontianak-Kuching, Pekanbaru-Melaka, Medan-Penang, dan sebagainya. Dengan adanya penerbangan langsung tersebut, tidak diperlukan lagi perjalanan dari dan ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta. Dengan kata lain, pada masa mendatang, kemungkinan besar Kuala Lumpur dan Singapura lah yang akan menjadi pintu gerbang ke wilayah Republik Indonesia melalui transportasi udara, mengingat jaringan hub and spoke transportasi udara di kawasan ASEAN saat ini sudah dipegang oleh Bandara KLIA, Kuala Lumpur dan Bandara Udara Changi, Singapura. Adanya aliansi antarperusahaan penerbangan, misalnya Star Alliance antara Singapore Airlines, North West, Qantas, British Air, dan sebagainya, juga akan menambah load factor pada rute dari Singapura ke kota-kota di Indonesia. Dalam penerbangan regional antarbenua dengan pesawat besar, penumpang bisa berhenti di Singapura dan melanjutkan penerbangan ke kota-kota di Indonesia. Jika penumpang dari luar negeri (Eropa, Amerika, dan sebagainya) akan ke Indonesia, penumpang tersebut bisa ke Kuala Lumpur atau Singapura baru melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Bagaimanakah dengan Bandara Internasioal Purboyo serta bandara internasional lainnya di wilayah Jawa Timur? Ada fenomena yang menarik. Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Adi Sumarmo Solo, Bandara Ahmad Yani Semarang, ketiganya adalah bandar udara internasional dengan beda jarak kurang dari 100 mil. Ketiga bandar udara tersebut diterbangi dari dan ke Singapura. Itu sama saja menempatkan Singapura sebagai pintu gerbang Indonesia, dan tidak ada efisiensi dalam perencanaan antara moda darat dan udara. Masingmasing kota memiliki hubungan internasional sendiri sehingga akan mengakibatkan berkurangnya semangat negara kesatuan. Alangkah baiknya jika di antara tiga kota yang berdekatan tersebut, cukup satu saja bandara internasionalnya, sementara dua bandara lainnya dihubungkan dengan jalan KA atau jalan tol. Misalnya bandara di Jogja saja yang sudah dilengkapi stasiun KA. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah Jawa Timur.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
5
Bandara Internasional di Malang, Perlu Kah? (lanjutan)
Di Jawa Timur sudah ada Bandara Internasional Juanda, mengapa tidak dibangun saja moda transportasi terintegrasi, layaknya MRT di Singapura, yang menghubungkan ke daerah sekitar terutama Malang. Bandara Purboyo mungkin akan lebih efisien jika diprioritaskan untuk penerbangan domestik, mendukung penerbangan domestik di Bandara Internasional Juanda yang katanya hampir overload. Apabila nantinya bandar udara dikelola oleh beberapa pihak pun akan terjadi persaingan, serta bisa dipastikan akan terjadi kompetisi antarbandar udara. Ini adalah suatu hal yang baru. Maskapai penerbangan memang memerlukan bandar udara, tetapi bandar udara yang mana? Ilustrasinya seperti ini. Pihak A membangun dan mengelola bandar udara di dekat Surabaya, yang kemudian berkompetisi dengan Bandara Juanda. Dampak positif dari kompetisi ini: pertama, peningkatan pelayanan; kedua peningkatan kapasitas; ketiga, kedua bandar udara tersebut dapat saling menggantikan jika ada kegagalan operasi pada satu bandar udara; keempat, kompetisi akan menurunkan tarif pelayanan bandar udara. Namun demikian, terdapat pula dampak negatif dari kompetisi tersebut. Pertama, kelebihan kapasitas jika bandara tersebut dibangun dengan kapasitas besar; kedua, dua bandara tersebut tidak hanya bersaing, tetapi dua-duanya akan menjadi spoke dan Bandar Udara Changi sebagai hubnya; Ketiga, akan sulit untuk menyusun sistem jaringan antarmoda darat dan udara. Pelaksanaan otonomi daerah yang disertai euforia pemerintah daerah karena memiliki kewenangan lebih, pada dasarnya telah memengaruhi rasa kesatuan wilayah. Hal itu terlihat dalam sistem transportasi udara termasuk, bandar udara. Keinginan pemerintah daerah untuk menjadikan bandar udara di wilayahnya sebagai bandar udara internasional pada hakikatnya telah mengurangi rute udara domestik. Pengurangan hubungan domestik tentu akan mengurangi kesatuan wilayah. Jika
Indonesia tidak segera menetapkan dan membangun infrastruktur yang besar dan modern untuk pelabuhan laut dan bandara di Indonesia, maka port di negara tetangga akan menjadi hub dan bahkan pintu gerbang bagi Indonesia. Dalam bidang transportasi, daerah akan lebih tergantung kepada Singapura daripada kepada Jakarta. Globalisasi memang akan mengaburkan batas-batas suatu negara. Globalisasi menekan kebijaksanaan suatu negara yang menutup diri terhadap perdagangan antarnegara. Liberalisasi, kompetisi bebas akan terus mendesak sehingga dapat mengakses seluruh wilayah Indonesia demi kepentingan usaha. Deregulasi akan memaksa adanya kompetisi bebas antar maskapai penerbangan, tidak hanya domestik juga internasional. Hal-hal demikian tentu akan meningkatkan arus angkutan udara, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pelayanan. Namun, di sisi lain akan mengurangi peran pemerintah pusat dan rasa kesatuan negara. Untuk menjaga kesatuan wilayah negara, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membangun infrastruktur pelabuhan laut dan udara besar di beberapa kota Indonesia. Pertanyaan klasiknya adalah mana yang lebih dahulu disiapkan, pembangunan infrastruktur agar diikuti pertumbuhan perdagangan, atau peningkatan perdagangan agar diikuti pertumbuhan infrastruktur (trade follow the ships or ships follow the trade), Dalam kondisi Indonesia saat ini, menurut saya, sebaiknya infrastruktur didahulukan. Perlu dıbangun pelabuhan laut (seaport) dan pelabuhan udara (aırport) yang besar, modern, dan lengkap, yang tidak hanya economically viable tapi juga financially feasible, sebagai gateway dan hub Indonesia. Dengan demikian, jaringan transportasi udara di dalam wilayah Indonesia tetap dilakukan di bandar udara Indonesia, dan dengan sendirinya menggunakan pesawat berbendera Indonesia.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
6
MEA: Insinyur Indonesia vs Insinyur Asing dalam Pembangunan Infrastruktur Indonesia L. Tri Wijaya, ST., MT., IPP. Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah berjalan sejak akhir 2015, dimana ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang sangat potensial di kawasan ASEAN maupun dunia. Barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu kecenderungan dan keharusan di era global saat ini. Hal ini menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Skema AEC 2015 tentang ketenagakerjaan, misalnya, memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional, seperti dokter, insinyur, akuntan dan sebagainya. Celakanya Human Development Index (HDI) Indonesia masih tergolong rendah. Di antara 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Bahkan di Asia Tenggara, Indonesia masih berada di urutan keenam dari 10 negara. Kita masih berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Dalam pembangunan infrastruktur, kebutuhan tenaga kerja insinyur yang merupakan salah satu “kekuatan” Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga baik dari segi jumlah/rasio serta sertifikasi keahlian. Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo beberapa hari lalu: "Ini yang kita khawatirkan, kita akan menggarap infrastruktur, baik jalan tol, kereta api, dermaga, kemudian investor sudah masuk, ketakutan dan kekhawatiran kita kekurangan SDM di bidang teknik, ini yang agak sedikit kita khawatirkan." Presiden Ir. Joko Widodo khawatir pembangunan infrastruktur besar-besaran yang akan mulai dibangun 2015 dan lima tahun mendatang terkendala. Sebab, Indonesia saat ini mengalami kekurangan insinyur. Dalam lain kesempatan, Menko Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan bahwa saat ini sebagian insinyur yang ada, bekerja di luar bidangnya. "Kita kekurangan insinyur untuk pembangunan infrastruktur kita. Ini sedang kita hitung, dan kita khawatir hal ini," jelasnya. Harus diakui tenaga kerja insinyur sangat dibutuhkan dalam menggerakkan industri EPC (Engineering Procurement, and Construction) nasional. Masalahnya, saat ini, 70% proyek besar di Indonesia dikuasai industri EPC asing seperti pembangkit listrik, pengeboran migas laut dalam, dan lainnya. Kemudian EPC nasional masih dianggap kurang mampu dalam
pekerjaan yang menuntut kompleksitas tinggi. Dengan melihat permasalahan dan peluang yang ada, maka perlunya penerbitan kebijakan yang mensyaratkan keterlibatan pelaku industri EPC nasional dalam setiap pelaksanaan proyek infrastruktur. Dimana target yang diharapkan yaitu pelaku industri EPC Indonesia memiliki daya saing untuk mengerjakan proyek infrastruktur nasional, bahkan regional maupun internasional. Tentunya dengan kualifikasi dan kompetensi tingkat dunia. Disamping itu perlunya peningkatan jumlah perusahaan swasta yang mendukung industri EPC tersebut, dalam hal ini yaitu industri pemasok kontraktor seperti baja, semen, heavy equipment, dan lainnya. Maka disinilah pentingnya memersiapkan generasi insinyur “technopreneur”, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan tersebut, bukan hanya pencari pekerjaan dengan gaji tinggi yang selama ini didominasi perusahaan asing. Untuk dapat menjadi prioritas dalam pembangunan infrastruktur tersebut, tentunya perlu dipersiapkan pula pendidikan Insinyur yang tidak hanya menghasilkan tenaga pelaksana lapangan pembangunan infrastruktur saja, namun mampu menggerakkan proses bisnis pembangunan infrastruktur tersebut. Beberapa solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan peran insinyur Indonesia dalam pembangunan infrastruktur menghadapi AEC 2015 di antaranya adalah mengubah „mindset‟ dari pencari kerja menjadi pencipta kerja produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita. Diversifikasi dan peningkatan nilai tambah bahan (added value) peran insinyur dalam pembangunan infrastruktur agar tidak hanya mendahulukan EPC asing, namun melibatkan EPC nasional yang berdaya saing internasional. Meningkatkan `competitiveness' sumberdaya manusia khususnya insinyur karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya. Memersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan membangkitkan semangat tinggi seluruh tenaga profesional.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT, WIJAYA KARYA, JASA MARGA dan CIREBON ELECTRIC POWER
7
Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail:
[email protected] Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.