1 1
KOMPARASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DAN HUTAN KEMASYARAKATAN DALAM PERSPEKTIF TEORI HAK KEPEMILIKAN Tuti Herawati Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam-Badan Litbang Kehutanan Jalan Gunung Batu No.5 Bogor telp. (0251) 8633234 fax (0251)8638111 email :
[email protected] Abstrak
Makalah ini ditujukan untuk mengurai perbandingan antara dua kebijakan Kementerian Kehutanan, yaitu kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Kedua kebijakan tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dalam hal pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan untuk mengelola kawasan hutan negara. Dalam pelaksanaannya kedua kebijakan ini memiliki banyak perbedaan. Makalah ini fokus pada perbandingan kedua kebijakan tersebut dari perspektif hak akses. Bahan analisis yang digunakan adalah peraturan perundangan yang mengatur HTR dan HKM, khususnya yang terkait dengan regime hak kepemilikan. Analisis perbandingan menggunakan landasan teori hak kepemilikan dan kumpulan hak (bundle of rights). Hasil analisis menunjukkan bahwa hak masyarakat terhadap sumberdaya hutan negara yang dikelola dalam kegiatan HKM dan HTR terdiri atas dua kelompok yaitu hak atas lahan dan hak atas tegakan. Terdapat persamaan hak kepemilikan dari petani terhadap lahan hutan, yaitu sebagai pengelola dengan sekumpulan hak berupa hak akses, hak memanen, hak mengelola dan hak membatasi atau mengeluarkan pihak lain yang tidak berkepentingan. Baik pemegang ijin HKM maupun HTR tidak memiliki hak untuk memperjual belikan lahan hutan yang dikelola. Sementara itu, perbedaan mendasar antara kebijakan HKM dan HTR terletak pada hak kepemilikan atas tegakan. Petani HTR merupakan pemilik atas tegakan hutan, sehingga mereka dapat menjadikan tegakan sebagai aset yang dapat diagunkan untuk mendapatkan kredit modal. Sementara itu, petani HKM tidak menjadi pemilik penuh atas tegakan hutan. Tegakan yang tumbuh di lahan HKM merupakan hak bersama antara petani dan pemerintah, sehingga harus ada mekanisme bagi hasil ketika tegakan telah siap dipanen. Kata kunci : analisis perbandingan, kebijakan, HTR, HKM, hak kepemilikan Pendahuluan Paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah lama bergulir dalam kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia. Pengelolaan hutan oleh masyarakat secara terus menerus diupayakan implementasinya oleh Kementerian Kehutanan. Program-program pembangunan kehutanan dengan melibatkan masyarakat bahkan telah dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan, baik berupa tumpangsari hingga PHBM yang dilakukan oleh Perum Perhutani sejak sebelum tahun 80an (Sarjono, 2006) hingga program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Tanaman Rakyat oleh Kementerian Kehutanan. Hutan tanaman rakyat (HTR) yang mulai digulirkan tahun 2007 merupakan sebuah produk kebijakan untuk memberikan hak akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan negara, khusus di kawasan hutan produksi. Sedangkan kebijakan HKM (Hutan Kemasyarakatan) merupakan program pengelolaan hutan negara oleh masyarakat yang dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dan atau kawasan hutan lindung, sebagaimana diatur dalam Permenhut No 37/2007. 1
Prosiding Seminar Nasional MAPEKI (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) XIII, 10 – 11 Nopember 2010
2
Program HKM merupakan kebijakan Kehutanan yang pertama kali digulirkan secara formal dalam mengatur pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan dengan landasan hukum berupa Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/1996. Selanjutnya program HKM mengalami dinamika peraturan perundangan dengan diperbaharuinya aturan pelaksanaan melalui penerbitan Kepmenhutbun No 677/1998, Kepmenhutbun No.865/1999, dan diperbaharui kembali dengan Kepmenhut No.31 tahun 2001, hingga diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No.37/2007. Sedangkan Program Hutan Tanaman Rakyat yang mulai dilaksankan tahun 2007 berlandaskan pada produk hukum perundangan berupa Permenhut P.23/2007 yang diperbaharui dengan Permenhut P.5/2008 tentang Tata Cara Permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat pada Hutan Produksi dan aturan pendukung lainnya. Terdapat perbedaan yang jelas antara kebijakan HTR dengan HKM, selain dari areal kerja yang berbeda. Program HTR ditujukan untuk meningkatkan produktifitas kawasan hutan produksi yang telah terdegradasi dengan membangun hutan tanaman oleh masyarakat sebagai pemegang ijin. Sementara HKM merupakan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dalam bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan berupa pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu (Kepmenhut No.31/2001). Pelaku kebijakan masyarakat sekitar hutan sebagai sasaran langsung dari program, maupun pemangku kepentingan lain baik di tingkat pusat maupun daerah, seringkali tidak dapat memahami perbedaan dari kedua kebijakan tersebut. Terlebih bagi masyarakat di sekitar hutan, keterlibatan mereka dalam program-program pemerintah seringkali tanpa didasari pengetahuan dan infomasi yang memadai tentang prinsip-prinsip program yang akan diikuti. Oleh karena itu tidak jarang terjadi kerancuan persepsi terhadap program. Apalagi antara kebijakan HTR dan HKM kesamaan prinsip berupa pemberian hak akses masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara. Karena itu, tulisan ini ditujukan untuk mengurai perbedaan dari kedua kebijakan dimaksud. Analisis perbandingan dilakukan dari sisi mekanisme aturan pelaksanaan program melalui perbandingan peraturan pelaksanaan kebijakan HKM dan HTR serta perbandingan dari perspektif hak kepemilikan. Analisis dari perspektif ini akan memberikan penjelasan yang mendasar, sehingga terlihat perbedan yang jelas antara program HTR dan HKM.
Bahan dan Metoda Bahan yang digunakan sebagai sumber data adalah peraturan perundangan tentang HTR dan HKM. Terdapat 4 produk perundangan yang menjadi sumber data utama, yaitu PP 6/2007 yang menjadi landasan hukum utama untuk kedua program tersebut. Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang HTR dan HKM. Daftar peraturan perundangan yang menjadi sumber data tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Daftar peraturan perundangan HTR dan HKM No Peraturan Tanggal Tentang 1. 2.. 3. 4.
Peraturan Pemerintah No.6/2007 Permenhut P.23/Menhut-II/ 2007 Permenhut P.5/MenhutII/2008 Permenhut No. P 37/Menhut-II/2007
8 Januari 2007 25 Juni 2007 4 Maret 2008 7 September 2007
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Tata cara Permohonan IUPHHK-HTR Pada HTR dalam Hutan Tanaman Perubahan Atas Permenhut P23/Menhut-II/2007 Hutan Kemasyarakatan
3 Analisa data dilakukan dengan teknik analisis isi (content analysis) terhadap peraturan perundangan yang mengatur kebijakan HTR dan HKM. Metode analisis isi pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih (Budd, 1967:2 dalam Bungin Burhan, 2003 ) Dalam analisis isi dikenal dua jenis analisis, yaitu analisis isi kuantitatif dan analisis isi kualitatif. Analisis isi kuantitatif bersifat frekuentif dan dipahami dalam deskripsi dan interpretasi daripada relasi (Nugroho, 2008). Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi kualitatif, dan bukan analisis isi kuantitatif. Analisis isi sebagai sebuah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak, dilakukan terhadap peraturan perundangan bidang HTR dan HKM. Kerangka analisis yang digunakan untuk membanding kedua peraturan adalah teori hak kepemilikan. Hasil analisis disajikan secara naratif deskriptif. Hasil dan Pembahasan Konsep Hak Kepemilikan Konsep property atau kepemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang diefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Seseorang yang hidup terisolasi di suatu wilayah tidak akan berkepentingan dengan masalah hak kepemilikan. Akan tetapi ketika kita hidup bersama dalam sebuah komunitas masyarakat, maka diperlukan adanya aturan menyangkut hak milik, baik milik pribadi maupun hak milik bersama, beserta penegakkan aturannya (Ostrom, 2000) Konsep kepemilikan mengatur hubungan diantara masyarakat dalam sebuah sistem sosial dan ekonomil. Memiliki hak atas suatu barang atau jasa mencerminkan adanya hubungan penguasaan dan pembatasan-pembatasan. Oleh karenanya, North (1990) mendefinisikan sistem hak kepemilikan sebagai bagian dari institusi sosial; berupa norma dan aturan-aturan yang membangun interaksi dalam masyarakat. Kepemilikan merupakan hubungan individu dengan individu lain terhadap sesuatu, dan menjadi instrument dalam mengendalikan hubungan dan mengatur siapa memperoleh apa melalui penggunaan yang disepakati bersama (Kartodihardjo, 1998). Perubahan sistem kepemilikan dapat merubah kinerja ekonomi dan perubahan sistem ekonomi dapat merubah pola kepemilikan sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Kawasan hutan di Indonesia yang meliputi hampir 120 juta ha merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hak negara dan berada dibawah kontrol serta pengelolaan negara. Pemberian hak akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan negara merupakan salah satu bentuk perubahan sistem kepemilikan atas dasar pengaturan administrasi pemerintah. Hutan sebagai sumberdaya alam milik bersama (Common Pool Resources) dinyatakan oleh Ostrom (2000) sebagai barang publik yang sulit untuk dilakukan pembatasan atas hak pemanfaatannya. Karena semua barang publik milik bersama memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) menuntut biaya yang tinggi jika ingin membatasi individu dari penggunaannya dan (2) keuntungan yang dirasakan oleh salah satu pengguna barang/jasa akan mengurangi ketersediaan bagi pihak lain (Ostrom and Ostrom, 1997; E. Ostrom, Gaardner, and Walker, 1994) Sumberdaya alam milik bersama bersama biasanya dimililiki oleh pemerintah nasional, pemerintah lokal, kelompok masyarakat, maupun individu secara private, atau dapat digunakan secara bersama oleh siapapun yang dapat memanfaatkannya karena digolongkan sebagai open acces resources (sumberdaya alam yang terbuka hak aksesnya) (Ostrom, 2000) Seringkali pada obyek yang sama, misalnya lahan, terdapat berbagai hak yang melekat dan hakhak ini dapat saja dimiliki idak hanya oleh satu orang atau kelompok. Inilah yang kemudian menyebabkan mengapa konsep hak kepemilikan seringkali dijelaskan dengan prinsip “bundle of right”. Schlager dan Ostrom (1996) mengidentifikasi 5 jenis hak yang paling relevan dengan pemanfaatan
4 CPR, yaitu access, withdrawal, management exclusion, and alienation. Masing-masing hak tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. hak akses (right of access) ; adalah hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, dan menikmati barang jasa yang terdapat didalmnya b. hak pemanfaatan (rights of withdrawal) : adalah hak untuk mengambil suatu unit hasil alam seperti memanen buah, menebang pohon, memancing ikan. c. hak pengelolaan (rights of management) : adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil produksi d. hak pembatasan (rights of exclusion) : adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses ini dari seseorang kepada orang lainnya (atau lembaga/kelompok lain) e. hak pelepasan (rights of alienation) : adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau keduaduanya Selanjutnya Ostrom dan Schlager (1996) dan Ostrom (2000) membedakan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh lima kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak kepemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, yaitu pemilik, pengelola, penyewa, pengguna, dan pengunjung, seperti disajikan dalam tabel 2 Tabel 2. Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan Strata hak Pemilik Pengelola Penyewa Acces X Memasuki Withdrawal X Memanfaatkan Management X Menentukan pengelolaan Exclusion X Menentukan keikutsertaan Mengeluarkan pihak lain Alienation X Memperjual belikan Sumber : Ostrom dan Schlager (1992; 1996)
Pengguna
Pengunjung X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Definisi dari masing-masing strata hak adalah sebagai berikut : Pengunjung : Pihak yang memiliki hak memasuki suatu wilayah tertentu secara legal dengan pembelian hak akses berupa biaya masuk melalui pembelian tiket, untuk dapat memiliki hak mengunjungi dan menikmati sumberdaya alam, tetapi tidak memiliki hak untuk memungut atau memanen unit sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut. Pengguna : Pihak-pihak yang memiliki dua jenis hak yaitu hak untuk memasuki dan memanen. Penyewa : Pihak yang memiliki hak operasional untuk memasuki, memanen, dan mengelola sumberdaya alam termasuk hak kolektif bersama untuk melakukan management terhadap sumberdaya alam yang dikuasai. Pengelola : Memiliki hak yang sama dengan penyewa dengan tambahan hak untuk menentukan siapa yang memiliki akses dan siapa yang tidak memiliki akses untuk pemanfaatan Pemilik : Memiliki hak untuk memperjualbelikan sumberdaya yang dikuasainya.
5 Komparasi Peraturan Pelaksanaan Kebijakan HTR dan HKM Landasan hukum untuk kebijakan HTR dan HKM adalah Peraturan Pemerintah No.6/2006 jo No.3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaaan Hutan. Kebijakan HTR mengacu pada Pada pasal 40 ayat (7) dinyatakan bahwa pemaanfatan hutan pada hutan produksi diselenggarakan melalui pemberian izin antara lain berupa Izin Usaha Pemanfaatan asil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTR). Sementara itu, kebijakan Hutan Kemasyarakatan mengacu pada ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal 95 ayat (2), Pasal 96 ayat (8), dan Pasal 98 ayat (3). Selanjutnya berdasarkan pada PP tersebut, disusun Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman yang diperbaharui dengan Permenhut P.5/2008. Prinsip-prinsip dasar dan pelaksanaan kegiatan dasar Hutan Kemasyarakatan diatur lebih lanjut dalam Permenhut P.37/2007. Dari aturan perundangan yang mengatur kedua kegiatan tersebut, diperoleh hasil analisis perbandingan sebagaimana disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Perbandingan aturan pelaksanaan kebijakan HTR dan HKM Aspek HTR HKM Kegiatan utama
Usaha/bisnis hutan tanaman oleh Pemberdayaan masyarakat (Permenhut P.23/2007) P.37/2007)
Masyarakat
(Permenhut
Organisasi pelaksana di tingkat pusat
Dirjen Bina Produksi Kehutanan Direktorat Hutan Tanaman
Bentuk Izin
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu pada HTR pada Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM) Tanaman (IUPHHK-HTR) IUPHHK-HKM hanya dilakukan di Hutan Produksi untuk pemanfaatan hasil kayu hasil kegiatan penanaman
Bentuk kegiatan
Penyiapan lahan, Pembibitan, Pemanfaatan hutan berupa : Penanaman, Pemeliharaan, - pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa Pemanenan, dan Pemasaran hasil lingkungan dan pemungutan hasil hutan hutan kayu bukan kayu (di hutan lindung - pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan HHBK, pemunutan hasil hutan kayu dan pemungutan HHBK (di hutan produksi)
Lokasi
Hutan produksi tidak produktif
Aset tanaman
Tanaman yang dihasilkan dari Tegakan yang tumbuh di lahan HKM tidak IUPHHK pada HTR merupakan merupakan milik penuh petani. Ketika asset pemegang izin dan dapat panen harus ada mekanisme bagi hasil dijadikan agunan antara petani dan pemerintah
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial
Hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional, Hutan lindung, dan atau Hutan produksi
6 Jangka ijin
waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai satu kali selama 35 tahun hasil evaluasi setiap 5 tahun
Kewenangan Pemberian ijin
IUPHHK HTR diterbitkan oleh IUPHKM diterbitkan oleh : Gubernur jika Bupati/Walikota atas nama Menteri areal berada di lintas Kabupaten Kehutanan ditembuskan kepada Menteri dan kepala KPH, dan oleh Bupati/Walikota jika areal berada dalam satu wilayah kabupaten/kota ditembuskan kepada Menteri, Gubernur dan kepala KPH IUPHHK-HKM dikeluarkan oleh Menteri
Subjek Pemegang Izin
Perorangan/kelompok koperasi
Kelompok koperasi
masyarakat
dalam
bentuk
Hak Pemegang Setiap pemegang IUPH berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari Izin hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperoleh Pemegang IUPHHK HTR berhak mendapat pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan oleh bupati atau pejabat yang ditunjuk
Fasilitasi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar serta pembinaan dan pengendalian
Kewajiban pemegang Hak
Menyusun Rencana Kerja Meyusun Rencana Kerja dan kegiatan Membayar Iuran IUPHHK HTR dan administratif lain PSDH Membayar Provisi sumberdaya hutan (Sumber : analisis data primer) Dari analisis perbandingan perbandingan kebijakan HKM dan HTR dapat dilihat adanya beberapa perbedaan prinsip diantara keduanya, yaitu : 1. Prinsip kegiatan HTR adalah bisnis usaha hutan tanaman oleh masyarakat sekitar hutan. Kegiatan HTR dilaksanakan melalui pemberian IUPHHK-HTR (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – HTR) dengan sasaran lokasi di hutan produksi. 2. Prinsip dari kegiatan HKm adalah pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui melalui pemberian IUPHKM (Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan) yang dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung. Pada kegiatan HKM yang dilakukan di hutan produksi dapat diterbitkan IUPHHK-HKM (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Kemasyarakatan. Ijin ini setara dengan IUPHHKHTR karena memiliki kesamaan bentuk kegiatan berupa penanaman hutan di kawasan hutan produksi. Akan tetapi perbedaan yang cukup significant dalam dilihat dari mekanisme pengaturan kedua ijin tersebut. IUPHHK-HTR diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Sedangkan IUPHHK-HKM diterbitkan oleh Menteri Kehutanan, dan dapat diberikan kepada pemohon adalah telah lebih dulu memegang ijin IUPHKM selama 5 tahun atau lebih. Mekanisme penerbitan ijin tersebut berdampak pada pencapaian hasil kegiatan di lapangan. Berdasarakan data dari Direktorat Jenderal RLPS diketahui bahwa penerbitan IUPHKM telah diberikan kepada 57 kelompok masyarakat. Sementara itu IUPHHK-HKM hingga saat ini belum ada satupun yang diterbitkan. Padahal ijin tersebut sangat diperukan oleh masyarakat peserta HKM agar dapat memanen hasil hutan kayu hasil penanaman sejak mulai dirintisnya kegiatan HKM di awal tahun 90an. Permasalahan ini telah muncul di beberapa daerah diantaranya lokasi HKM di NTB dan NTT (Ditjen RLPS, tanpa tahun)
7
Komparasi Hak masyarakat dalam Kebijakan HTR dan HKM Permasalahan hak atas tegakan hasil hutan pada lahan HKM dapat dianalisis secara jernih, jika menggunakan teori hak kepemilikan (Ostrom&Schlanger, 1992, 1996) (Tabel 1). Pada kebijakan HKM maupun HTR, status pemegang ijin usaha dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan status terhadap lahan hutan dan status terhadap tegakan yang tumbuh di atasnya. Status pemegang ijin usaha baik IUPHHK HTR maupun IUPHKM terhadap lahan hutan adalah sebagai pengelola. Berdasarkan teori hak kepemilikan maka pemegang ijin memiliki 4 jenis hak, yaitu hak untuk mengakses, mengelola, menentukan keikutsertaan atau membatasi pihak lain dalam menikmati keuntungan dari sumberdaya yang dikelolanya. Pemegang ijin tidak memiliki hak untuk menjualbelikan haknya kepada pihak lain. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam peraturan perundangan yang mengatur kebijakan HTR bahwa hak yang diberikan kepada pemegang ijin tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan, dan diwariskan (pasal 15 Permenhut P.23/2007). Peraturan bidang HKM mengatur bahwa IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan (pasal 13 Permenhut P.37/2007), hal ini berarti bahwa ijin usaha pemanfaatan hutan dengan kegiatan HKM tidak berarti memberikan kawasan hutan yang dikelola sebagai hak milik petani. Perbedaan mendasar antara kebijakan HTR dn HKM terlihat pada status pemegang ijin terhadap tegakan hutan. Pemegang IUPHHK HTR ditetapkan sebagai pemilik (owner) atas tegakan hutan yang tumbuh di lahan yang dikelolanya. Sedangkan pemegang IUPHKM merupakan pengelola sehingga tidak memiliki hak penuh untuk memperjualbelikan tegakan yang tumbuh di lahan hutan yang dikelolanya. Hal ini berbeda dengan status pemilik (owner) yang melekat pada pemegang ijin HTR, mereka memiliki hak untuk memperjualbelikan hasil hutan kayu yang dipanennya. Perbedaan status antara pemegang ijin HTR dan HKM disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Analisis status pemegang ijin HTR dan HKM berdasarkan teori hak kepemilikan Kebijakan Status pemegang ijin Status pemegang ijin terhadap Lahan terhadap Tegakan Hutan Tanaman Rakyat
Pengelola
Pemilik
Hutan Kemasyarakatan
Pengelola
Pengelola
Sumber : analisis data primer Perbedaan status pemegang ijin atas tegakan dapat difahami dengan meninjau sejarah peaksanaan kegiatan HKM. Pada awal kegiatan HKM yang dirintis sejak tahun 80-an (Lindayati, 2002), kegiatan penanaman ditujukan untuk merehabiitasi lahan-lahan yang telah kritis. Kegiatan ini menggunakan berbagai sumber anggaran diantaranya bantuan luar negeri (OECF) dan anggaran pemerintah (APBN) (Ditjen RLPS, tanpa tahun). Oleh karenanya tegakan yang tumbuh di atas lahan HKM tidak dapat dianggap sebagai hak milik petani sepenuhnya. Hal ini berbeda dengan tegakan yang tumbuh pada areal HTR. Petani HTR membangun tegakan dengan modal sendiri dan dapat dianggap sebagai aset petani. Oleh karenanya tegakan HTR dapat diagunkan sebagai jaminan kredit. Implikasi dari kebijakan ini adalah penyediaan kredit modal penanaman HTR yang disalurkan melalui lembaga bentukan baru di Kementerian Kehutanan yaitu Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Penanaman Hutan.
8 Kesimpulan 1. Prinsip kegiatan HTR adalah bisnis usaha hutan tanaman oleh masyarakat sekitar hutan. Kegiatan HTR dilaksanakan melalui pemberian IUPHHK-HTR (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – HTR) dengan sasaran lokasi di hutan produksi. 2. Prinsip dari kegiatan HKm adalah pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui melalui pemberian IUPHKM (Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan) yang dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung. 3. Berdasarkan teori hak kepemilikan, maka status pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu Hutan Tanaman Rakyat adalah sebagai pengelola terhadap lahan, dan sebagai pemilik terhadap tegakan. Oleh karenanya pemegang ijin HTR memiliki wewenang penuh untuk menjualbelikan kayu hasil panennya dan tegakan merupakan aset petani yang dapat dijadikan agunan dalam rangka mendapatkan kredit modal. 4. Status pemegang ijin HKM adalah sebagai pengelola baik atas lahan hutan maupun atas tegakan yang tumbuh di atasnya. Sebagai pengelola, pemegang IUPHKM tidak dapat menjual hasil panen tegakan sebagaimana pemilik penuh. Melainkan harus ada mekanisme bagi hasil antara pemegang ijin dengan pemerintah. Hal ini dapat difahami karena kegiatan penanaman tegakan di lahan HKM bersumber dari anggaran belanja pemerintah. Daftar Pustaka Bungin, Burhan. 2003. Analisis data penelitian kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta [Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial]. Tanpa tahun. Hutan Kemasyarakatan. Booklet HKm. Ditjen RLPS- Departemen Kehutanan. Jakarta. Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penetaan Institusi. Desertasi program pasca Sarjana Insitut Pertanian Bogor. Lindayati, R. 2002. Ideas and Institutions in Social Forestry Policy dalam Which Way Forward? People. Forest, and Policymaking in Indonesia. Colfer and Ida Ayu edt. Centre for International Forestry Research. Bogor. Nugroho, R. 2008. Public Policy: Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakam, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan. Elex Media Komputindo. Jakarta North. D.C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Noorwidjk, Meine, et.al. 2007 Is Hutan Tanaman Rakyat a New Paradigm in Community Based Tree Planting in Indonesia. ICRAF Working Paper Number 45. ICRAF-Bogor. Ostrom, Vincent and Ostrom, Elinor. 1977. A Theory for Institutional Analysis of Common Pool Problems, in Hardin, Garrett and Baden, John (eds), Managing the Commons, San Francisco, W.H. Freeman, 157-172. Ostrom, E. and E.Schlager. 1996. The Formation of Property Rights. In Hanna, S et.al. edt. Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. Island Press. Washingon D.C. California. pp 127-156. Ostrom, Elinor, Gardner, Roy and Walker, James M. (1994), Rules, Games, and Common-Pool Resources, Ann Arbor, MI, University of Michigan Press. Ostom. 2000. Private and Common Property Right. Workhshop in Political Theory and Policy analysis, and Centre for the Study of Institutions, Population, and Environmental Change, Indiana University. Schlager, E. and E.Ostrom. 1992. Property-right Regimes and Natural Resources: a Conceptual analysis. Land Economics 68 (3) (Aug.): 249-262