uri kitab, kenapa ia tidak sekalian mencuri pedangnya adik Hiong ? Kenapa kitab melulu yang dibawa pergi? Laginya tentang kitab ini, orang mengetahuinya hampir tak ada. Menurut aku, inilah bukan pencurian secara kebetulan saja. Orang juga mesti lihai ilmu ringan tubuhnya, kalau tidak, tidak nanti dia lolos dari pandangan mata kita, apa pula adik Hiong, tak mungkin dia kena dikelabui. Setelah memiliki Hian-bun siang Thian Khie-kang, mata dan telinganya adik Hiong luar biasa jeli dan tajam. Maka si pencuri mestinya bertubuh sangat ringan dan lincah ! Siapa pandai lari diatas rumput dan baru dia dapat memasuki gubuk kita. Sebab ini, aku tak dapat mencurigai orang dalam.” Berbicaranya si nona beralasan. In Gwa Sian yang cerdik turut mempercayainya. Hanya It Hiong yang mengerutkan sepasang alisnya. “Kakak” tanyanya, “kau pandai menerka, di dalam hal ini, bagaimanakah pandanganmu ?” Habis bersamadhi paling belakang, It Hiong mendapat kenyataan Kiauw In cerdas luar biasa, si nona cerdik, bernyali besar, hatinya mantap. Di dalam hal itu, ia dan Giok Peng harus mengaku kalah. Kiauw In bisa melihat bingungnya tunangan itu. Ia berkasihan tetapi ia dapat berlaku sabar. Untuk menghibur, ia berkata : “Kitab pedang suhu itu istimewa, sulit buat dimengerti, taruh kata orang dapat dibawanya kabur, didalam waktu beberapa bulan saja, tak nanti orang dapat memahaminya. Sekarang ini baiklah kita jangan bingun, kita harus berlaku sabar. Perlahan-lahan saja kita mencarinya…” Ia pula jawaban tak langsung bagi In Gwa Sian, maka si pengemis tua lantas mana menghela nafas, ia tak bertanya terus. Hanya didalam hati ia merasa sangat tidak puas. Bukankah ia seorang ternama dan sangat disegani ? Selama beberapa puluh tahun belum pernah ia menemui lawan setimpal, baru sesudahnya bertanding dengan Thian Cie Lojin dari luar, pikirannya berubah sedikit tak lagi ia berkepala besar seperti tadi-tadinya. Sedangkan paling belakang pertempurannya dengan Hang Sam Kiam Kek membuatnya mesti berpikir panjang-panjang. Sekaranglah ia insyaf, kepandaian silat tak ada batas habisnya, batas kesempurnaannya. Entah masih ada siapa lagi orang lihai yang ia belum tahu. Tek Cio SIngjin sendiri membuatnya kagum bukan main. Selagi berpikir itu lantas ia ingat akan halnya wantu ia mengantarkan Hing ke Kiu Hoa San supaya anak itu diterima sebagai murid oleh Tek Cio, disaat itu si imam telah memberikan ia nasehat untuk ia mengundurkan diri guna hidup tenang dan damai. Hanya ketika itu nasihatnya si imam diberikan secara samar-samar. Mengandal kepandaiannya yang lihai dan menuruti tabiatnya yang jujur tetapi keras mengingat kepada tugasnya sebagai manusia yang harus menolong sesama manusia mulanya, In Gwa Sian tidak memperdulikan nasehat Tek Cio itu, tetapi sekarang terutama disebabkan hasil pertempurannya dengan It Yap, ia mulai insyaf. Berbarengan ia juga mau percaya mungkinlah Thaykek Liang Gia Sam
Cay Kiam telah diciptakan Tek Cio guna mengamankan dunia persilatan guna membasmi atau menundukkan kawanan bajingan dari luar lautan itu. Maka itu, bagaimana pentingnya kitab silat itu dan bagaimana celakanya apabila kitab tak dapat dicari dirampas kembali…. Hanya itu, sia-sia belaka mereka berpikir, kitab telah lenyap, bahkan pencurinya masih belum ketahui siapa adanya… Jago tua itu duduk bersila sambil memejamkan matanya. Ia berdiam saja. Giok Peng berdua It Hiong duduk berhadapan, tampang mereka berduka, pikiran mereka kacau. Kiauw In juga bingun walaupun diluarnya ia tampak tenang, inilah karena ia mencoba menguasai diri. Ia memikir bagaimana ia harus bertindak. Maka itu, sunyilah kamar. In Gwa Sian yang paling dahulu membuka matanya dan berjingkrak bangun sudah lewat sekian lama. “Kau benar anak In !” kata dia nyaring. “Memang kehilangan kitab ini tak dapat diumumkan, sebaliknya kita harus mencarinya secara diam-diam. Siauw Lim Sie mempunyai aturan keras. Tetapi muridnya sangat banyak, siapa tahu kalau diantaranya ada salah satu yang buruk !” Berkata begitu, jago tua ini bertindak keluar, jalannya perlahan. It Hiong bangkit, terus ia menyusul ayah angkat itu, waktu ia sampai di pintu, sang ayah sudah menghilang, tak ada bayangannya lagi. Rupanya sekeluar dari ambang pintu, dia lantas menggunakan ilmu ringan tubuhnya. Kiauw In berpaling kepada si anak muda, ia tersenyum. Katanya perlahan : “Kitab sudah lenyap, percuma kita bingung tidak karuan. Sekarang mari kita melegakan hati supaya kita dapat tidur. Besok baru kita berunding pula. Dengan tubuh dan pikiran segar, mungkin kita dapat memikir sesuatu…” Berkata begitu nona itu menarik tangan Giok Peng buat diajak ke kamar mereka. It Hiong menengadah ke langit, ia menghela nafas. Tak dapat ia berkata apa-apa. Toh ia menyesal dan mendongkol sangat. Maka ia mengangkat kepalanya mengawasi langit. Otaknya bekerja kera. Saking masgul, ia menghela nafas. Ketika itu wajahnya muram dan suram. Di dalam hati ia kata : “Berbulan begitu kita disimpan Kiauw In, kitab itu selamat tak kurang suatu apa tetapi ditanganku belum satu malam, sudah hilang lenyap dicuri orang !” Sekembalinya ke kamar mereka, Kiau In menutup pintu. Ia rupanya sudah memikir tetap sebab lantas ia mengeluarkan sapu tangan putih yang ia dapat pungut itu sembari mengibarkan itu di mukanya Giok Peng, ia tanya sambil tertawa : “Adik Peng, adakah sapu tangan ini kepunyaanmu?”
Giok Peng mengawasi sapu tangan itu. Dengan lantas ia mengenalinya. Ia mengulur tangannya guna menyambutinya. Ia tertawa dan kata, “Terima kasih kakak ! Aku gila sekali, entah dimana aku hilangnya !” Kiauw In menyerahkan saputangan itu tetapi ia menghela nafas. “Coba pikir dengan sabar adik, kapankah kiranya lenyapnya saputanganmu ini ?” kata ia, sabar. “Di dalam satu atau dua hari ini kau pernah memakainya tidak ?” Ditanya begitu, hati Nona Pek tercekat. Maka ia lantas meneliti saputangan itu. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sehelai saputangan yang serupa, yang ia awasi juga. Berbareng dengan itu, otaknya bekerja. “Kakak, dimanakah kau dapatkan ini ?” kemudian ia tanya, agaknya ia heran. “Aku tidak ingat dimana pernah aku taruh atau membuatnya lenyap. Mungkinkah saputanganku ini ada sangkut pautnya dengan hilangnya kitab silat pedang itu ?” Sebagai seorang yang cerdas, Nona Pek sudah lantas dapat menerka. Memang lenyapnya saputangan itu gelap baginya dan heran juga ia Kiauw In dapat menemukannya. Kiauw In dapat bergurau. Ia tertawa. “Buat sekarang ini, sukar untuk memastikannya.” sahutnya. “Hanya tempat dimana saputangan ini diketemukan olehku sungguh mengherankan hingga itu dapat menimbulkan kecurigaan. Adik, cobalah kau pikir secara seksama, mungkin dari saputangan ini kau dapat menerka-nerka.” Lantas Nona Cio memberitahukan dimana ia menemuinya saputangan itu. Giok Peng memikir lama juga, akhirnya ia menggeleng kepala. “Sungguh tak aku ingat dimana dan kapan lenyapnya saputanganku ini.” katanya. “Ada kemungkinan jatuhnya waktu kita pindah, yaitu dihalaman luar kuil.” Paras Kiauw In berubah, agaknya ia kaget. “Kalau benar saputangan ini jatuhnya di halaman luar kuil,” kata ia, “maka si pencuri kitab pedang tanpa disangsikan pula mesti salah seorang pendeta disini ! Kalau dugaan ini benar, tak sulit buat mencari pencuri itu ! Cukup asal kita minta Paman In menyampaikannya kepada Pek Cut Siansu untuk mohon Siansu memeriksa para kacungnya. Maka yang penting sekarang ialah kepastian pikiranmu apa benar-benar saputanganmu ini jatuh di halaman luar kuil.” Giok Peng berpikir pula. Keras ia menguras otaknya. Tibatiba alisnya bangun berdiri dan parasnya pun menjadi merah. “Apakah bukannya dia ?” dia berseru bertanya, giginya dirapatkan keras satu dengan lainnya,
suaranya sengit sekali. Kiauw In sebaliknya. Dia tenang-tenang saja. Bahkan ia dapat bersenyum. “Kau maksudkan Gak Hong Kun, bukankah ?” tanyanya sabar. Giok Peng heran hingga ia melengak. “Kakak, kakak…” katanya, “Kakak, cara bagaimana kau dapat menerka bahwa aku maksudkan Gak Hong Kun?” “Tak sulit menerkanya, adik,” sahut nona yang ditanya. “Begitu aku menemukan saputangan ini lantas aku menduga dia. Itulah sebab saputangan ini tersulamkan tanda atau lambang semasa kau gemar merantau. Siapa tak mengenalmu, tidak nanti ia menyimpan saputangan ini. Atau sedikitnya orang yang telah melihat dan mengetahui tentang dirimu. Bukankah Hong Kun sangat tergila-gila padamu dan nampaknya dia tidak mau melepaskan kau ? Maka juga mestinya dialah yang menyimpan saputangan ini, sampai dia membuatnya hilang…” Nona Cio menghela nafas, hingga katakatanya itu jadi terputus tetapi setelah itu ia meneruskan : “Hong Kun menyebalkan tetapi cintanya terhadapmu tebal sekali, orang yang cintanya demikian keras pantas juga dihargai….” “Hmm !” Giok Peng memperdengarkan hinaannya. “Kakak, manusia tak dapat dilihat dari macamnya saja ! Hong Kun mirip seoarang sopan santun tetapi hatinya ngurak dan buruk ! Ketika itu hari dia memancing aku ke lembah di belakang gunung mulanya dia bersikap sabar dan hormat, selewatnya itu dia perlihatkan kebiadabannya! Dia berani mencoba memeluk aku ! Rupanya disaat itulah dia telah sambar saputangan ini. Selagi aku mendongkol dan gusar, wajarlah kalau aku tidak perhatikan tangan jahatnya itu !” Kiauw In tertawa pula. “Tetapi bagus ia mencurinya !” katanya. “Kalau dia tidak mencuri sapu tangan ini, mana dapat dia meninggalkannya ? Pastilah kita tak dapat menerka dia….” Giok Peng mengangguk. “Dalam hal ini, kakak kau benar juga.” bilangnya. “Lagipula lain orang tentu tak mempunyai keberanian dan kepandaian untuk menyatroni gubuk kita ini sampai kita tidak mengetahuinya…” Nona Pek berdiam sejenak, otaknya bekerja. “Hanya sulitnya…” tambahnya kemudian, “kemana kita harus cari dia ? Dia tidak punya rumah tangga
dan rumahnya ialah empat penjuru lantas…” Kiauw In tidak tertawa lagi, sekarang ia bicara secara sungguh-sungguh. “Ya, memang sulit juga, “katanya. “Selain dari itu, kitapun belum memperoleh kepastian bahwa dialah si pencuri. Aku pikir dugaan kita ini jangan dahulu diberitahukan kepada Paman In dan adik Hiong. Paman In beradat keras, bisa-bisa dia langsung pergi ke Hong San mencari It Yap Tojin bangsa keras kepala, kalau ia menyangkal, dia bisa bentrok pula dengan paman. Itulah berbahaya buat paman atau sedikitnya keduanya bisa celaka bersama. Adik Hiong menang ilmu silatnya, latihan tenaga dalamnya masih kurang, ia sukar dipastikan tentang kalah menangnya. Disebelah itu kita pula bakal menghadapi pertempuran mati hidup dengan pihakpihak jago luar lautan, kita jadi harus mengumpulkan tenaga. Maka itu saat ini bukan saat yang tepat untuk kita melakukan pertempuran mati-matian. Masih ada satu hal lain. Diumpamakan benar Gak Hong Kun yang mencuri kitab belum pasti dia berani pulang ke gunungnya, malah mungkin sekali dia pergi menyembunyikan diri disebuah bukit atau lembah atau hutan guna dia hidup menyendiri untuk mempelajari isinya kitab. Maka itu adik, buat sementara sukarlah kita mencari kitab itu…” Giok Peng berduka sekali, hingga sepasang alisnya rapat satu dengan lain, paras mukanya kucal dan muram. “Hanya kakak,” katanya kemudian perlahan, “mustahil kita lantas tak berdaya mencari kitab itu…” Kiauw In juga menghela nafas. “Sabar adik,” dia membujuk dang menghiburi. “It Yap bangsa dingin dan angkuh, inilah tentu dikenal baik oleh Hong Kun, maka itu aku lebih percaya lagi yang Hong Kun tak akan pulang ke gunungnya. Asal kitab tidak terjatuh ketangannya imam itu, kita jangan berkuatir terlalu, kita jangan bingung. Aku percaya dengan kepandaiannya itu, tak nanti Hong Kun dapat pecahkan artinya setiap jurus dari kitab itu, apapula dalam waktu yang pendek. Maka itu adik, bersabarlah. Kita toh tidak dapat mencari kitab dengan menjelajah seluruh negara ?” “Habis bagaimana ?” Giok Peng masih mengotot. “Apakah kita mesti duduk bertopang dagu sampai nanti orang datang sendiri menggantinya ?” “Benar adik. Biarlah dia nanti terjeblos di dalam jebakan atau dia nanti membukakan palang sendiri ! Kalau kita pergi mencari dia, itulah sulit. Hanya, buat menanti sampai dia suka menghantarkan sendiri, kita harus mengandalkan kau, adik…” Giok Peng heran hingga ia melengak. “Apa ?” tegaskannya ia. “Daya apakah aku punya ?” Atau mendadak ia melengak pula. Tibatiba ia ingat sesuatu. Lantas ia menambahkan : “Gak Hong Kun sangat licin, aku kuatir dia tak akan makan umpan pancing…”
“Kita harus mengatur daya supaya dia tidak curiga apaapa” kaa Nona Cio, yang mengasah otaknya. “Dalam hal ini, kitapun terpaksa harus mendustai adik Hiong, agar ia tidak tahu apa-apa, hingga kalau perlu ia bagaikan mendusta diluar tahunya !” Giok Peng mengawasi tajam. “Daya apakah itu, kakak ?” Kiauw In membalas menatap. “Aku memikir untuk memakai kau sebagai umpan, adik” katanya kemudian, “supaya Hong Kun menaruh kepercayaan besar dan suka datang padamu. Hanya saja daya apa itu, aku harus memikirkannya dahulu. Biar bagaimana, asal kau suka berkorban sedikit, adik. Kau harus insyaf, inilah demi kitabnya guru kita, jadi tak apa asal kau dapat bersabar dan menahan malu…” Nona Pek tertawa hambar. “Jangan kuatir, kakak !” jawabnya tegas. “Untuk mendapatkan pulang kitab itu aku bersedia melompat ke dalam api berkobar-kobar sekali !” Kiauw In tersenyum. “Aku cuma memikir” katanya. “Tak akan aku membuat kau menderita. Atau kalau kau pun menderita juga, itulah cuma untuk batas waktu yang pendek. Kitab lenyap ditangannya adik Hiong, apabila kemudian ini diketahui bahwa kau menderita untuk mendapatkan pulang kitab itu, mungkin dia akan merasa kasihan terhadapmu dan cintanya main mendalam.” Giok Peng merasai mukanya panas. Pasti mukanya itu merah sekali. Tapi ia lantas berkata, “Demiku, adik Hiong telah menderita banyak, sedangkan kau kakak, kau memerlukan aku sebagai adik kandungmu sendiri. Dilain pihak, budinya guru kita besar bagaikan bukit. Maka itu jangan kata baru menderita sedikit, biarpun tubuh ragaku hancur lebur, aku rela. Aku bersedia berkorban jiwa ! Nah kakak, apakah dayamu itu ? Kau bilanglah ! Kau perintahlah aku !” Nona Cio menghela nafas perlahan, itulah pertanda bahwa hatinya dirasakan berat. “Ah, inilah cuma sebab aku membesarkan nyaliku” katanya. “Karenanya aku memberanikan diri membuat kau menjadi umpan pancing. Ini pula disebabkan aku ingat harga besar dari kitab pedang itu. Bukankah itu karya guru kita yang membuatnya dengan susah payah ? Bukankah juga kitab itu bakal mengenai nasibnya kaum rimba persilatan seumumnya ? Gak Hong Kun cerdas dan cerdik, kalau dia menyekap diri dalam gunung atau lembah sunyi, paling
lambat sepuluh tahun pasti dia dapat pahamkan ilmu pedang itu. Syukur kalau dia berbalik menjadi berbaik hati, jika sebaliknya celakalah semua orang jujur sebab sekalipun adik Hiong sudah pandai Hian boa sin Thian Khie-kang belum tentu dia dapat mengalahkan Hong Kun. Kalau adik Hiong tidak sanggup, siapa lagi yang dapat menggantikannya ?” “Hong Kun menjemukan, tetapi aku lihat dia masih mengenal perikemanusiaan” kata Giok Peng masgul. “Memang dia sangat membenci aku dan adik Hiong, tetapi untuk dia menjadi demikian jahat hingga dia mencelakai kaum rimba persilatan seumumnya, mungkin tak nanti…” Kiauw In tersenyum. “Gak Hong Kun itu” katanya, “jika tidak ada anggapannya bahwa adik Hiong merampas kekasihnya hingga ia menjadi sangat sakit hatinya, ada kemungkinan besar menjadi seorang gagah yang berhati mulia. Dia berbakat baik dan cerdas, gurunya pun lihai, mudah buatnya meningkat naik. Sayang dia tidak cukup kuat hati buat menekan sakit hatinya itu. Ya soalnya itu memang soal sulit dan kerenanya hatinya keras, diapun sulit buat dikasih mengerti. Kita telah menjadi kakak beradik. Aku pikir tidaklah halangannya apabila kita berbicara secara terus terang. Sejak aku masih kecil sekali, rumah tanggaku sudah mengalami bencana hebat. Ibuku menutup mata siang-siang dan ayahku berasa ia gunanya kurang. Sudah pergii mengucilkan diri. Syukur bagiku, aku dikasihhani guru kita setelah sudi menerima padaku menumpang padanya. Pay In Nia tinggi dan kecil, sangat jarang orang mendakinya. Di sana aku hidup menyendiri, dalam kesunyian dan ketenangan. Tempat itu cocok bagiku. Aku memang gemar ketentraman. Karena keadaanku itu, aku telah bercitacita mencari tempat mencil dan sunyi, guna membangun sebuah gubuk di sana guna hidup menyendiri melewati tanggal, hari, bulan dan tahun. Aku merasa hidup secara demikian akan menyenangi hatiku. Siapa tahu aku justru telah bertemu dengan adik Hiong ! Adalah itu jodoh atau hutang lama yang harus dilunasi ? Selekasnya aku melihat ia, aku jatuh Cinta padanya, demikian juga dia terhadapku. Dengan demikian maka dia telah merusak atau menggagalkan citacitaku itu. Sekalipun didalam mimpi aku senantiasa ingat padanya. Demikianlah sampai terjadi itu pertempuran dahsyat di Lek Tiok Po. Coba tidak ada paman In yang membantu dia, mungkin tubuhku sudah lama terkubur didalam tanah. Dia pula yang membuatku membabat angan-anganku buat menjadi seorang suci, hingga sekarang aku hidup terombangambing di dalam dunia yang ramai dan penuh bahaya ini, guna membantu dia dari kekacauan besar, buat melindungi dan memajukan dunia rimba persilatan yang sejati. Demikian hatiku yang tadinya tawar sekarang menjadi bergelora….” Giok Peng menghela nafas berduka mendengar kakak itu membuka rahasia hatinya. “Dasar kakak berbakat, cerdas dan cerdik” ia memuji. “Bukan seperti aku yang hatinya gelap. Aku lain daripada kau kakak. Setelah itu hari aku melihat adik Hiong, lantas aku menjadi bagaikan orang edan, aku selalu membayanginya, seperti malam itu aku duel dia sampai dikuil tua, sampai aku tertikam pada lenganku. Terang adik Hiong tidak menyinta aku, aku sendiri yang terus tak dapat melupakan padanya. Maka tibalah saatnya yang Teng Hiang si budak licin menggunakan akalnya membuat adik Hiong
lupa dengan kesadarannya hingga malam itu terjadilah peristiwa yang sangat menyesalkan di loteng Ciat Yan Lauw. Malam itu kakak, sebenarnya aku sendiri sadar sesadarnya, tetapi entah kenapa aku tidak dapat menolak keinginannya selagi dia tak sadar diri itu….” Giok Peng berhenti bicara dengan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ingat peristiwa itu, ia malu sendirinya. Ia menyesal. Itulah peristiwa yang membuatnya melahirkan Hauw yan, anaknya yang manis itu. Kiauw In tertawa. Nona ini tak lagi merasa jengah. “Kita bukan manusia luar biasa, tetapi kita toh tidak tolol” katanya. “Apa yang kita alami itu rupanya ialah yang dinamakan takdir. Bicara tentang kita, kita pun harus bicara perihal Gak Hong Kun. Aku seperti merasai bagaimana dia menyesal, penasaran dan berduka….” “Demikian adalah hal, kakak. Cuma apa aku bisa bilang ? Telah aku serahkan diriku pada adik Hiong, bahkan sekarang aku telah mempunyai anak. Tak dapatkah Hong Kun menyadari kedudukanku ? Kenapakah dia seperti juga belum mau melepaskan diriku ?” “Bicara dari hal kepantasan memang Hong Kun tak dapat menganggu pula kau, adik. Hanya kita harus bicara dari lain sudut. Hong Kun bukan seorang manusia biasa, maka itu pasti tabiatnya juga luar biasa. Dia cerdas dan gagah, adatnya tinggi, tak heran kalau dia selalu mau menang sendiri, selayaknya itu kalau dia tak sudi mengalah terhadap siapa juga. Orang semacam dia asal dia menghendaki sesuatu tak mudah dia mundur sendirinya. Benarnya sebelum hilang nyawa belum dia mau berhenti. Hong Kun tahu kau telah mempunyai anak, dia toh tak meau melupaimu. Inilah soal yang sulit. Maka bicara tentang dia, ada dua kemungkinannya, sudut baik dan sudut buruk. Sudut baiknya itulah cintanya terhadapmu cinta suci dan kekal abadi, tak dapat dia melupaimu. Asal dia melihat kau, cintanya muncul. Sudut buruknya ialah dia sangat membenci adik Hiong dan karenanya berniat menuntut balas, guna memuasi sakit hatinya itu. Buat apa baru dia puas kalau kau dan adik Hiong sudah pecah belah atau bercelaka. Dalam hal ini dia harus dibuat takut sebab pasti dia dapat melakukan segala apa asal maksudnya dapat tercapai. Karena dia cerdik dia dapat memikir segala apa, sekalipun akal yang paling buruk. Dia dapat menjadi pendekar, dia juga dapat menjadi cabang atas jahat. Karena dia manusia luar biasa, dia harus dipandang tidak seperti manusia biasa. Maka itu sekarang bagi kita pertama-tama kita harus dapat menjaga diri baik-baik dan kedua supaya secepat mungkin kita bisa mendapati kembali kita ilmu pedang kita itu !” Giok Peng berpikir keras, memikirkan katakata sang kakak. Kiauw In bicara dari hal yang benar yang beralasan kuat. Agaknya Nona Cio mengenal baik sifatnya Hong Kun. Maka hal itu tidak dapat diabaikan.
“Kakak benar.” katanya kemudian, mengangguk. “Benarlah, biar bagaimana kitab itu harus dicari dan didapat pulang. Bagaimana pikiran kakak ? Apakah kakak telah dapat memikirkan sesuatu ? Coba tolong beritahu aku….” “Aku telah memikirkan sesuatu hanya rasanya itu masih kurang sempurna. Masih ada bagiannya yang harus teliti. Jadi tak dapat aku pastikan pikiran itu dapat dilaksanakan atau tidak. Kau setuju memberikan aku waktu satu hari lagi, bukan ?” “Tentu kakak !” sahut Giok Peng tertawa, walaupun tawanya hambar. Ia tidak menanya menanyakan lebih jauh. Inilah karena ia telah kenal tabiatnya kakak itu. Dengan satu kibasan tangan Kiauw In memadamkan penerangan didalam kamarnya itu, maka juga habis itu keduanya terus naik keatas pembaringan buat merebahkan diri. Sebelum pulas, masingmasing mereka itu berpikir sendirisendiri. Kiauw In memikirkan bagaimana harus mengatur keruwetan diantara Giok Peng dan It Hiong, serta bagaimana caranya buat membikin Hong Kun mendengarnya dan nanti suka datang memakan pancing. Dan Giok Peng memikirkan apa tipunya Kiauw In itu yang mau membuatnya menjadi sebagai umpan agar Hong Kun datang membantu, serta bagaimana andiakata tipu itu, tipu belaka hasil menjadi kebenaran atau kenyataan ? Dan ia sendiri, bagaimana nanti jadinya ? Apakah kelak dikemudian hari tak nanti orang Sungai Telaga menertawakannya ? Jilid 3 Hebat bekerjanya pikiran kedua nona itu, sampai fajar tiba tak ada diantaranya yang dapat memejamkan mata dan tidur pulas. Adalah Houw Yan yang tidur nyenyak telah membuka matanya. Kapan ia mengawasi ibunya, ia tersenyum. Ialah bocah yang belum tahu apa-apa… Kiauw In yang lebih dahulu lompat turun dari pembaringan, ia bertindak menghampiri Giok Peng hingga bisa melihat Nona Pek sedang rebah mendelong saja. Lantas ia tertawa perlahan. Segera ia mendekati telinga orang untuk berkata perlahan juga “Sang surya sudah naik tinggi !” “Oh !” seru Giok Peng perlahan, terkejut lantas ia turun dari pembaringannya. Ia masih pepat pikirannya tetapi bisa ia tersenyum. Lekas-lekas ia menyisir rambutnya dan mencuci muka, untuk terus pergi ke dapur. Kiauw In mengempa Hauw Yan, sembari tertawa ia kata pada ibu si anak : “Aku duga tadi malam dia pun sukar tidur nyenyak, maka itu naik kau lekas, panggil dia masuk untuk sarapan pagi !” Giok Peng tersenyum, dengan sabar dia bertindak ke kamarnya It Hiong.
Pagi itu indah. sisa embun bergemerlapan diantara sinar matahari. Sang angin bersiur membawakan harumnya bunga, buah dan rumput. Gubuk pun sangat tenang dan damai. Selekasnya Giok Peng melihat pintu kamarnya It Hiong, ia terperanjat. Kedua daun pintu terbuka separoh, maka dia mengernyitkan kedua belah alisnya yang lentik dan berkata didalam hati : “Ah, dia lalai sekali. Kenapa dia tidur tanpa mengunci pintu ? ” Ia berjalan terus, ia berpikir pula :“Kalau toh dia sudah bangun, seharusnya dia menengok kakak In, aku dan Houw Yan….” Dilain saat, si nona sudah berada di dalam kamar. Kali ini ia terperanjat saking heran bercampur kaget. Ia melihat pembaringan kosong, tetapi pembaringan itu rapi. Sisa api sudah padam. Ketika ia berpaling ke dinding disitu tak tampak Kong Hong Kiam, pedang yang mengagetkan Bianglala. Tanpa terasa Nona Pek berlompatan ke pembaringan, maka disitu ia melihat sehelai kertas yang ada tulisannya yang tertindih bantal kepala. Segera ia membaca : “Kakak In dan kakak Peng yang baik ! Kitab pedang karya guru kita bukan cuma lihai tetapi juga menyangkut soal kehidupan kaum rimba persilatan seumumnya, tetapi diluar tahuku telah aku membuatnya Bielang hatiku dengan sendirinya menjadi tidak tenang. Lebih-lebih karena janji pertemuan di Tiong Gok telah mendekati, tinggal lebih kurang waktu dua bulan. Maka itu didalam waktu singkat ini, hendak aku berbuat semampuku mencari dan mendapatkannya pulang. Aku hendak mencarinya walaupun aku tahu harapannya sangat tipis. Hatiku lega sesudah aku berdaya semampuku. Lain tahun pada tanggal lima belas bulan pertama pasti aku akan berada di Tiong Gok. Kakak berdua, seharusnya aku menemui kalian guna memberitahukan maksud hatiku ini tetapi karena aku kuatir kalian mencegah terpaksa aku ambil ini jalan, pergi tanpa pamitan lagi.” “It Hiong” Masih sekian lama Giok Peng berdiri menjublak mengawasi suratnya si adik Hiong itu, selekasnya dia sadar, dia lari kepada Kiauw In. Nona Cio heran melihat orang datang sambil berlarilari dan mukanya pucat. Ia melompat bangun. “Bukankah adik Hiong sudah pergi ?” tanyanya. Itulah terkaannya yang paling dahulu. Giok Peng mengangguk. “Benar,” sahutnya sambil ia mengangsurkan suratnya It Hiong. “Inilah suratnya, silahkan kakak baca !” Kiauw In menyambuti surat itu dan membacanya dengan cepat. “Dia tak dapat melenyapkan sifat kekanak-kanakannya,” kata Nona Cio kemudian. “Dia toh tak punya endusan sama sekali ! Habis, kemana dia mau pergi mencari ?” “Bagaimana sekarang ?” tanya Giok Peng, pikiran kacau disebabkan kekuatirannya bagi It Hiong.
“Perlu atau tidak kita memberitahukan Paman In ? Kita dapat minta paman memohonkan bantuannya kedua Siauw Lim Sie supaya kedua itu mengirimkan murid-muridnya mencari keperbagai penjuru….” Kiauw In menggelengkan kepala. Ia menghela napas. “Adik Hiong pergi sejak tadi malam, dia tentu telah melalui perjalanan seratus lie atau lebih” katanya. “Jangan kata kita dapat menyusulnya, taruh kata dia tersusul belum tentu dia mau diajak pulang. Kecuali kalau paman In sendiri menyandaknya….” Giok Peng berdiam matanya menatap sang kakak, siapa sebaliknya memandang ke arahnya hingga mereka saling mengawasi. “Habis apakah kita membiarkan saja dia pergi ?” kemudian Nona Pek bertanya berduka tetap tak tenang. Kiauw In tertawa walaupun nadanya berduka. “Apakah dayanya untuk tak membiarkannya pergi ?” ia balik bertanya. “Hanya dengan kepergiannya, bukan saja ia sulit baginya untuk mendapatkan pulang kitab itu, ia juga merusak rencana yang hendak kita atur. Tidak ada jalan lain daripada kita bersabar menanti sampai lain tahun, sampai pertempuran di gunung Tiong Gak itu….” Giok Peng berdiam. Ia menyambuti pulang suratnya It Hiong. Kemudian ia mengempo anaknya untuk terus duduk menghadapi Kiauw In. Di depannya sudah sedia satu meja barang santapan guna santapan pagi, tetapi tidak ada satu diantaranya yang tertelan mengisi perutnya. Cuma It Hiong yang mereka pikirkan dan kuatirkan. Sang waktu berjalan cepat, sang tengah hari tiba dengan segera. Ketika itu Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian kembali ke rumah gubuk. Kedua nona telah mengambil keputusan tidak berani mereka menyembunyikan kepergiannya It Hiong itu. Maka mereka lantas memberitahukannya. Si pengemis menepuk meja. “Anak itu sangat sembrono !” katanya keras. “Nanti aku pergi susul dia !” “Adik Hiong telah pergi sejak tadi malam, paman.” Kiauw In mengasi tahu. “Mana dapat paman menyusulnya ? Lagipula paman tidak tahu akan tujuannya.” In Gwa Sian diam untuk berpikir. “Benar juga.” katanya kemudian. “Aku si pengemis tua hendak membantui Pek Cut Siansu menyambut para undangan. Walaupun waktu yang ditetapkan ialah tanggal limabelas bulan pertama, ada kemungkinan dalam beberapa hari ini akan sudah datang sejumlah tamutamu, ialah mereka yang
formasi tempatnya paling dekat dengan Siauw Lim Sie. Mereka itu rata-rata kawan atau sahabatnya Pek Cat tetapi diantaranya pasti juga ada sahabat-sahabat kekalku sedangkan mereka semua pada mempunyai adat atau tabiat atau kebiasaan yang luar biasa, yang angkuh dan dingin hingga sulitlah untuk menyambut dan melayaninya jika terjadi salah bicara sedikit saja, bisa-bisa mereka nanti angkat kaki pula. Karenanya, tak dapat aku pergi dari sini.” Dia jagi tua ini menghela napas. Ia mendongkol berbareng berduka. Hanya sejenak ia menambahkan : “Beberapa orang sahabatku itu adalah orangorang yang sudah sekian lama mencuci tangan yang telah mengundurkan diri, hingga ada kemungkinan orang -orang muda sekarang ini cuma beberapa orang saja yang kenal atau ketahui asal usul mereka itu. Sejak malam itu aku menempur Toian Cie Loid si kepala bajingan itu, aku memperoleh kenyataan bahwa segerombolan setan cilik itu sesungguhnya tak dapat dipandang ringan. Demikianlah, tak dapat tidak, perlu aku mengundang kawankawanku itu !” “Siapakah para tetua itu, paman ?” Kiauw In tanya. “Entah pernah anakda mendengeranya dari guruku atau tidak…” Ditanya begitu, In Gwa Sian tertawa terbahak-bahak. Dia girang sekali. “Orangorang undanganku itu sangat jarang bergaulan dengan gurumu si hidung kerbau itu !” sahutnya gembira. Tak pernah dia lupa menyebut nyalu : “sihidung kerbau.” Kalau lain oarng menyebutnya itulah ejekan untuk kaum imam (tosu atau Tojin), tetapi buat ia, itulah caranya bergurau. Dia sendirisendiri selalu menyebut dirinya si pengemis tua, atau si bangkotan pemabukan. “Karena itu tidaklah heran jika dia belum pernah atau tak pernah di depanmu. Dimata gurumu itu, sahabatsahabatku terhitung sebagai orangorang malang ditengah, jahat bukan, lurus bukan, sebab mereka tak suak memikir mendalam siapa salah siapa benar, mereka mudah bergirang, tapi juga gampang marah. Setahuku selama hidup mereka belum pernah mereka itu melakukan kejahatan besar, ada juga sebagai macam kejahatan atau kekejian kecil. Kalau gurumu si hidung kerbau malu bergaul dengan mereka maka mereka itupun belum tentu sudi menaruh mata kepada gurumu yang layaknya kaya dewa alim ! Ringkasnya mereka keuda pihak mirip api dengan air yang saling tak sudi memberi ampun….” “Paman” berkata si nona Cio, “ingin keponakanmu berbesar hati menambah sedikit dari pandangan paman, ialah mengenai guruku. Memang diluarnya guruku tampak pendiam dan alim bagaikan dewa serta berwibawa juga, tetapi sebenarnya guruku sangat luwes dan pemarah !….” In Gwa Sian menggelengkan kepala dan tertawa. “Tok Cio si hidung kerbau itu” katanya, “walaupun ia pandai ilmu silat luar biasa tetapi yang membuat orang menghormatinya adalah sifatnya yang putih bersih, yang tak tamak akan nama besar dan kedudukan. Harus diakui, siapa yang lihai ilmu silatnya dan merasa dirinya dapat menjagoi kalangan rimba persilatan, kebanyakan mereka itu memandang ringan pada nama besar dan kedudukan tinggi, sebaliknya, hati mereka tawar. Dilain pihak lagi, ada orang yanglihai semacam itu tetapi tokh tak dapat mengalahi niatnya tetap berada diatas lain orang. Demikian dengan aku si pengemis tua, kalau bukannya aku mendengar kabar halnya Pek Cio Siangjin di Kiu Hoa san
memiliki ilmu pedang yang luar biasa istimewa, tidak nanti aku mendatangi Pay In Nia untuk menantangnya bertanding…” Pengemis itu berhenti sejenak, untuk menarik napas perlahan-lahan melegakan dadanya “Di masa itu aku si pengemis tua, aku istimewa sekali” ia melanjuti. “Bicara sebenar, aku sangat tidak puas yang gurumu disohorkan sebagai orang gagah luar biasa yang nomor satu dalam dunia rimba persilatan maka itu aku telah menempur dia sampai tiga hari dan tiga malam, diantara kita tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, sampai akhirnya gurumu menunda gerakan pedang dan menganjurkan aku untuk menghentikan pertarungan itu. Kemudian barulah aku pikirkan tentang pertandingan itu, lantas aku insyaf bahwa setelah bertanding selama seratus jurus aku telah kalah didalam satu jurus diantaranya. Ketika itu setahuku, ilmu Hianbun Sian Thian Khje kang dari gurumu itu belum sempurna, begitupun belum sempurna ilmu pedangnya Patkwa Kiu bun Kiam dan ilmu ringan tubuh lompat tinggi Te In Ciong, loncatan Tangga Mega, tiga puluh tahun telah berlalu siapa tahu selain semua ilmunya itu sekarang diapun menciptakan ketiga ilmu pedangnya yang digabung menjadi satu itu yaitu Thaykeka Liang Gie Kiam, sedangkan aku, sebaliknya, aku bagaikan si nakan panah yang telah diluncurkan…” Kiau In berkuatir. Ia melihat diwaktu berkata terakhir itu wajahnya si pengemis guram sekali, suata tanda bahwa dia insyaf dan menyesal. Maka ia lekas-lekas berkata : “Paman, kaum rimba persilatan menyebut paman sebagai Pat Pie Sin Kit, bukankah julukan itu besar dan harum tak kalah daripada namanya guruku ?” In Gwa Sian tertawa hambar. “Aku si pengemis tua, telah tua kau…” katanya masgul. Mendadak dia berbangkit bangun terus bertindak keluar dengan perlahan. Kiauw In dan Giok Peng melengak. Belum pernah dia melihat jago tua itu demikian berduka dan kelakuannya demikian aneh. Maka mereka menerka bahwa perubahan itu pastilah disebabkan selama tahun-tahun yang belakangan ini hidupnya si pengemis aneh terlalu sunyi…. Kiauw In masih mau omong lebih banyak pula tetapi karena sang paman guru sudah pergi keluar, terpaksa ia mesti menunda, walaupun demikian, ia toh lantas berjalan mengikutinya. Giok Peng dengan mengempo Kauw Yan mengintil di belakang si kakak In. Kedua nona itu berjalan tanpa suara, mereka mengikuti paman itu sampai diluar gubuk sejauh seratus tombak lebih, sampai disitu baru mereka berhenti. In Gwa Sian berjalan terus dengan tak pernah ia menoleh walaupun hanya satu kali. Nampaknya seperti ia tidak tahu yang kedua keponakan murid itu telah mengantar keluar. Terus Kiauw In dan Giok Peng mengawasi kepergian sang paman yang berjalan terus dan baru menghilang disuatu pengkolan gunung…
Tibatiba Nona Pek merasakan sesuatu, yang menggugah hatinya, maka tanpa merasa airmata itu berjatuhan ke muka anaknya… Kiauw In mendapatkan serupa duka itu, matanya lantas menjadi merah dan mengembangkan air, hanya dia memilih dapat meneguhkan hatinya mencegah airmata itu mengucur keluar… Lantas juga kedua nona itu berdiri diam saja, yang satu menepis air matanya, yang lain mencoba menguasai hati, buat melegakan diri. Giok Peng terasadar paling dahulu karena tiba-tiba saja Hauw Yan memanggil : “Mama ! Mama !” Maka insaflan ia atas keadaan mereka. Dari itu, lekas-lekas ia menarik tangannya Kiauw In. “Kakak, mari kita pulang !” ia mengajak . “Ah.. !” Nona Cio mengeluh. “Sejak aku kenal paman In, belum pernah aku melihat ia seduka barusan…” Lalu tanpa mengatakan sesuatu lagi, ia memutar tubuh untuk pulang ke gubuk mereka. Giok Peng yang tadinya menarik tangan orang, berjalan mengikuti di belakangnya. Cepat lewatnya sang waktu. Sepuluh hari berlalu seperti tanpa terasa. Selama itu In Gwa Sian belum pernah kembali. Maka itu, untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, sambil merawat Hauw Yan, kedua nona rajin berlatih guna menyempurnakan ilmu pedangnya itu. Ilmu pedang itu perlu dengan latik tak putusputusnya untuk menjadi sempurna betul-betul. Sementara itu In Gwa Sian sebenarnya sedang repot luar biasa hingga ia umpama kata tak dapat memecah dirinya. Namanya Pek Cut Siansu dari Siauw Lim Sie sangat kesohor, nama diapun tak kalah pamornya. Sekarang mereka berdua membuat undangan umum. Undangan mereka itu membuat mereka yang diundang menjadi memperoleh kehormatan besar, hingga siapa yang menerima itu hatinya menjadi girang. Benar seperti diduga si pengemis sahabat-sahabat yang tempat kediamannya paling dekat dengan Siauw Lim Sie telah datang siang-siang. Diantaranya haruslah disebut seorang Sungan Telaga Kang Ouw yang dianggap luar biasa, yang tinggal menyendiri bagaikan bersembunyi disuatu tempat yang bernama Kim Kok Wan, taman lembah emas, di wilayah kota Lok yong. Ia telah membuat seluruh rumah besar (cung ie) yang pintunya senatiasa tertutup karena ia menampik datanya tamutamu, bahkan kunjungan orang rimba persilatan, Bu Lim ia tolak juga. Karena itu lama kelamaan, jadi jarang orang menjenguknya, hingga akhirnya ia dilupakan kaun Kang Ouw dan Bu Lim. Jago itu she Ngai bernama Eng Eng. Di masanya dia malang melintang, namanya sangat tersohor. Orang segani dia kerena dua rupa kepadiaannya, yaitu ilmu ringan tubuh berlompat tinggi dan jauh, Kang Kang Tae Ciong Sat dan senjata rahasianya yang dijulukinya Teratai Thio lian cie, yang berjumlah seratus delapan biji. Pada empat puluh tahun yang lalu, pernah dengan seorang diri dia menempur lima ketua Kam Im dari Siauw Lim Sie, sebab ialah ia telah mencuri kitab silat tangan
kosong dan ilmu pedang Siauw Lim Sie yang disimpan didalam Coang Kok Kok, lauwiang tempat menyimpan kitab. Ia pun telah bertempur dengan Pek Cut Siansu sendiri selama tiga ratus jurus tanpa ada yang kalah atau menang. Ketika itu Pek Cut belum diangkat menjadi ketua Siauw Lim Sie dan dia mempunyai seorang paman seperguruan yang terlebih tua. Kapan paman itu melihat dia tidak bisa merobohkan musuh, si paman turun tangan sendiri. Dialah Ceng In Taysu, pendeta satu-satunya yang kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada Pek Cut. Sedangkan gurunya Pek Cut sendiri ialah Go In Taysu. Tatkala itu usianya Ceng In sudah seratus tahun lebih, selama hidupnya jarang dia tinggal menetap di Siauw Lim Sie. Dia lebih gemar merantau. Selama tiga sampai lima tahun, tak pernah ia pulang ke kuilnya. Hanya disaat Pek Cut bertempur dengan Eng Eng kebetulan dia baru pulang. Menyaksikan Pek Cut keteter, dia menyuruh si keponakan murid mundur, untuk dia yang menggantikan melayaninya. Sebenarnya selama tigaratus tahun, Ceng In adalah jago Siauw Lim Sie satu-satunya. Go In sendiri masih kalah dengannya. Hanya tabiatnya saja yang aneh, tak betah dia tinggal didalam kuil. Benarlah, setelah dia maju belum tigapuluh jurus, Eng Eng sudah kena ditotok hingga tak berdaya. Pek Cut menyayangi Ngai Eng Eng, ia memintakan keampunan, maka Eng Eng dibiarkan pergi setelah dia diberi nasihat. Tapi Eng Eng ingat budi, disaat Peng Cut mengantarkannya turun gunung, dikaki puncak Siauw li Hiong, mereka berdua mengikat janji persahabatan. Sejak itu belum pernah mereka bertemu pula, sampai selewatnya tiga tahu Pek Cut diangkat menjadi hongthio atau ciang bunjin, ketua Siauw Lim Sie, baru Eng Eng datang untuk memberi selamat. Kedua sahabat bertemu dengan sangat gembira. Inilah pertemuan sesudah belasan tahun mereka terpisah. Malam itu, mereka berdua bicara asyik sekali. Eng Eng berkatai hatinya, ia sudah bosan dengan dunia Kang Ouw dan ingin hidup menyendiri di Kim Kok Wan, maka lain waktu ia minta Pek Cut suka berkunjung ke rumahnya itu. Katakatanya telah dibuktikan. Demikia ia mencuci tangan dan membangun rumahnya di Kim Kok Wan tiu. Bahkan ia sampai menampik kunjungannya sahabat atau orang Bu Lim lainnya. Pek Cut menyetujui dan meuji keputusan sahabat itu mengundurkan diri, sebab memang benar dunia Kang Ouw sangat berbahaya. Cuma satu malam sahabat itu beromong-onong, selanjutnya mereka berpisah pula. Selanjutnya, selama Eng Eng tinggal di Kim Kok Wan, hubungan kedua sahabat bagaikan terputus. Tapi disini itu Pek Cut merasa aneh, ia seperti mencurigai Eng Eng. Ia mendapat perasaan sahabatnya itu menyimpan sesuatu rahasia entah apa. Apakah perlunya rumah atau halaman demikian besar di Kim Kok Wan itu ? Hanya itu pernah Pek Cut memikir menanyakan keterangannya si sahabat tetapi selalu ia gagal saja, ia ragu-ragu mulainya sukar dibuka. Dan Eng Eng selama dia tidak ditanya dia pura-pura tidak tahu apa-apa. Mulanya masih kedua sahabat suka berkunjung dengan lain, tahun lewat tahun saling berkunjung itu berkurang bahkan selama dua atau tiga tahun tak pernah sekali jua.
Hingga mereka seperti sudah saling melupakannya. Tapi sekarang setelah Siauw Lim pay menghadapi ancaman pertempuran mati hidupnya ini tiba-tiba Pek Cut ingat sahabatnya lama itu dan segera mengirimkannya surat undangan. Terpisahnya kota Lok yang dengan Tiong Gak cuma kira ratus lie, buat orang yang mengerti silat hal itu tidak dapat menjadi alangan suatu apa orang dapat pergi pagi dan pulang sore. Pek Cut mengirim utusan murid Siauw Lim Sie yang terpilih maka suratnya tiba dalam satu hari. Semenjak dilepasnya surat-surat undangan Siauw Lim Sie menjadi repot membuat persiapan menyambut kawan dan juga lawan, kamar-kamar disediakna penjagaan diseluruh halaman kuil diperketat. Tak ada jalan yang tak dijaga. Sementara itu marilah kita melihat dahulu kepada In Gwa Siang sejak dia meninggalkan Kiauw In dan Giok Peng berdua. Jago tua ini merasa hatinya sangat tidak tenang. Sudah hilang kitab ilmu pedang walaupun itu bukan kitab karyanya sendiri telah pergi pula anak angkatnya tanpa pamitan lagi. Terutama ia berduka sekali. Seharusnya ia menuju ke barat, buat kembali ke Siauw Lim Sie, lantaran pikirannya kusut itu ia terasasar. Sesudah jalan kira tujuh lie baru ia ketahui bahwa ia kesasar. Tentu sekali ia harus memutar tubuh buat kembali. Tetapi itu waktu di depan ia, ia melihat dua pasang sepatu mana berserakan diatas rumput. Segera timbul perasaannya ingin tahu, maka dengan satu kali lompat sampailah ia pada ke empat buah sepatu itu. Kali ini dia bukan lagi heran, hanya heran bercampur kaget. Diantara rumput itu tampak rebah dua tubuh pendeta yang jelas nyata dari jubahnya warna abu-abu dan disisi kedua mayat itu menggeletak masingmasing singathung, yaitu tongkat panjang dan kay To golok mereka itu. Tetapi yang paling hebat ialah kedua pendeta itu hilang kepalanya masingmasing sebatas leher ! Tak usah disangsikan lagi bahwa kedua mayat itu ialah dua orang pendeta yang ditugaskan menjaga jalan dan sebuah jalan cagak. Sebagai seorang jago, apapula jago tua In Gwa Siang cuma kaget sebentar. Lantas dia sadar dan dapat menerka artinya penemuan mayat-mayat itu,. ialah kedua pendeta itu roboh sebagai korban-korbannya tangan-tangan jahatt. Tepatnya musuh ! Segera Pat Pie Sin Kit menghampiri mayat-mayat itu, guna meneliti terlebih jauh. Melihat dari darah yang tidak mengucur banyak, tahulah dia bahwa kedua pendeta itu mulanya kena tertotok jalan darahnya, lalu sedang mereka tak sadar, leher mereka ditebas kutung-kutung. Dalam penasaran, ia meraba dada orang. Maka ia menemui masih ada denyutan jantung orang. Maka itulah bukti bahwa orang baru saja dibunuh ! Melihat formasinya tongkat dan golok, In Gwa Sian pun mendapat kesan kedua senjata sengaja diletakkan disisi mereka itu. Maka itu lantas otaknya bekerja : “Dia atau mereka itu, pasti bukan sembarang orang. Tak mudah merobohkan dua orang hingga orang tak berdaya dan mayatnya dipindahkan ke tempat yang bala dengan rumput tebal dan tinggi itu dan sepatu mereka bagaikan dipertontonkan ! Kenapa kepala orang pun dikutungkan dan dibawa pergi ? Untuk apakah ? Bukankah
itu bukti bahwa musuh berada atau bersembunyi disekitar sini guna melakukan pembunuhan gelap terhadap para pendeta ? Atau mungkin kalau yang jatuh bukan cuma kedua pendeta yang malang nasibnya ini… “ Tengah pendeta ini berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek rumput di belakangnya, belum lagi ia menoleh atau melirik, kupingnya lantas mendengar ini suara yang rada parau : “Saudara, bukankah saudara ialah Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian yang namanya tersohor dalam dunia Sungai Telaga ?” Cepat bagaikan kilat, In Gwa Sian memutar tubuhnya. Ia sudah lantas bersiap sedia. “Tidak salah !” sahutnya cepat. “Ya, inilah si pengemis tua ! Dan kau, tuan yang terhormat, siapakah kau ?” Di depan pengemis ini, cuma sejarak bebeapa kaki, tampak seseorang tua yang kumis janggutnya telah putih semua bagaikan perak, tubuhnya jangkung kurus, karenanya jubahnya panjang juga, sedangkan wajahnya menunjuki dia berwibawa. Yang aneh ialah ditangan kirinya dia itu tertenteng dua kepala orang yang terikat menjadi satu dengan rotan dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang terbuat dari perunggu. Walaupun demikian dengan muka berseri-seri dia lantas menjawab pertanyaan orang. “Aku yang rendah ialah Ngay Eng Eng dan aku datang ke Tiong Gak ini karena aku menerima undangannya pendeta Pek Cut serta kau kakak In !” Tingkatnya In Gwa Sian tingkat tinggi, jarang orang Bu Lim rimba persilatan yang memanggilnya saudara, kakak atau adik, maka itu, mendengar orang she Ngay ini memanggil ia kakak, ia merasa tidak senang. Walaupun demikian ia tidak mau menunjuk rasa tak puasnya itu. Orang toh berkatai ia bahwa orang datang karena menerima undangannya. Tak mau ia berlaku kurang hormat. “Maaf aku kurang hormat” katanya sambil merangkap kedua tangannya. “Kakak kau membawa-bawa kepala orang, kepala siapakah itu ?” In Gwa Sian sengaja menanya meski juga ia sudah melihat tegas sekali dua kepala itu tiada rambutnya, jadi itulah kepalanya dua orang pendeta, bahkan itulah kepalanya dua orang murid Siauw Lim Sie yang tubuhnya baru ia ketemukan. Ngay Eng Eng menghela napas. “Aku menyesal yang aku datang terlambat satu tindak !” katanya sengit “karena itu kedua bapak pendeta ini telah kena orang bokong hingga mereka menerima kehilangannya secara hebat dan menyedihkan ini.” Kedua matanya In Gwa Sian mengerluarkan sinar bengis. “Dengan begitu kakak Ngay kau telah melihat sendiri si orang jahat ?” tanyanya, “entah bagaimanakah macamnya pembunuh itu ?” “Mereka terdiri dari dua orang” sahut Eng Eng. “Tubuh mereka kecil dan sangat gesit, telah aku susul ia sejauh beberapa lie, aku tidak berhasil menyandaknya. Setelah aku menyerang mereka berulangulang dengan teratai besiku, barulah mereka meninggalkan dua kepala orang ini. Bicara terus terang,
aku menyesal dengan kegagalanku ini…” In Gwa Sian heran tapi belum sempat ia menanya pula, ia melihat tibanya Liauw In Taysu bersama dua orang pendeta tingkat tinggi dari Tatmo ih. Mereka itu datang sambil berlarilari. Mulanya Liauw In melihat mayatnya kedua pendeta yang rebah tak berjiwa dan tanpa kepala, baru ia mengawasi kepala orang di tangan Ngay Eng Eng, tidak ayal lagi ia mengangkat sebelah tangannya sambil memperdengarkan pujinya. “Siacu” tanyanya kemudian kepada Eng Eng, “apakah kedua kepala orang itu kepalanya muridmurid kami ini ?” Pendeta itu sangat jarang berada didalam kuilnya karena itu ia tidak kenal Ngay Eng Eng dan tidak tahu juga persahabatannya orang she Ngay itu dengan ketuanya, karena ini, melihat orang membawabawa kepalanya dua murid Siauw Lim Sie, ada dirinya ia menjadi bercuriga. Ditanya begitu rupa, Ngay Eng Eng tertawa hambar, ia memangnya bertabiat dingin dan jumawa, pertanyaan itu yang nadanya luar biasa, membuatnya tak puas. Ia seperti dapat menerka bahwa orang mencurigainya. Tapi ia menjawab sambil tertawa hambar : “Kecuali orangorang Siauw Lim Sie di Tiong Gak sini dimana ada pendetapendeta lain ?” Mendadak pendeta itu menjadi gusar, walaupun biasanya ia sabar dan tenang. Inilah disebabkan hebatnya apa yang ia lihat kedua orang muridnya rebah terkapar tanpa kepala dan kepalanya justru terikat dan tercekal ditangan orang yang tidak kenal, sedangkan orang itu bersikap angkuh. Tanpa pikir panjang lagi ia mengangkat tongkatnya melintang dan dengan murka, “Jika demikian, maka Siculah yang menjadi pembunuhnya kedua murid kami ini.” Ngay Eng Eng menengadah langit dan tertawa lebar. Kata dia : “Membunuh orang dan berbuat jahat bukanlah urusan yang terlalu berat, tak ada perlunya kalau orang menjadi kaget dan menjadi banyak berisik karenanya !” Liauw In juga tertawa dingin. “Sicu berani membunuh orang, rupa-rupa sicu tak takut untuk mengganti jiwa ?” tanyanya pula, tetap keras. Karena habis sudah kesabarannya, ia tegas menggerakkan tongkatnya untuk menerjang. “Tahan !” berseru In Gwa Sian yang segera mencegah gerakan tangan orang. Liauw In melengak saking heran. Ia pun segera melihat pengemis itu berlompat maju, menghadang di depannya. Hanya sambil menghadang itu, In Gwa Sian terus berkata : “Aku si pengemis tua sudah lama mendengar nama besar dari kau, kakak Ngay, sayang tak dari siang-siang kita bertemu satu dengan lain, hari ini kau melihatmu, benarlah kau seorang gagah perkasa !”
Eng Eng tertawa bergelak. “Pujian, hanya pujian !” katanya. “Nama kakaklah justru yang besar dan telah menggemparkah seluruh Sungai Telaga ! Sudah lama aku mengkangeni nama kakak, beruntung sekali hari ini kita dapat bertemu muka hingga dengan demikian dapatlah aku penuhkan pun harapanku !” Ia diam sejenak terus ia menambahkan : “Didalam dunia ini tak sedikit peristiwa-peristiwa melepas budi dan penasaran dan semua ada yang terjadi karena sang kebetulan, demikian dengan taysu ini karena ia melihat aku memegangi kepala orang kontan aku dituduh sebagai pembunuhnya ! Dalamhal ini biar bagaimana aku menjelaskan rasanya sulit buat aku membersihkan diri, susah buat melenyapkan salah mengerti karenanya, karena urusan ada begini rupa, aku pikir terlebih baik bagiku untuk tidak mengadu lidah !” Habis mengucap itu jago tua itu berpaling untuk mengawasi Liauw In dan mulutnya berulang kali mengawasi dengan tawa dingin. Liauw In membanting kaki. Dialah seorang sadar, maka tiba-tiba saja dia insaf akan kekeliruannya. Maka itu lantas ia sesalkan In Gwa Sian. “Eh, pengemis bangkotan, kau jahat sekali. Hampir-hampir kau membuat kau berbuat salah terhadap seorang sahabat !” katanya sengit. Si pengemis tersenyum. “Kakak Ngay ini adalah tamu undangannya ketua Siauw Lim Sie kama.” katanya sabar. “Siapa suruh kau tidak mengenalnya ?” Liauw In menggerakkan tongkatnya dari atas ke bawah, maka pancapnya tongkatnya itu kedalam tanah hingga tanahnya muncrat, setelah mana dia merangkap tangannya memberi hormat pada Eng Eng. “Maaf, pinceng tidak mengenali kau sicu” katanya. Eng Eng segera membalas hormat, ia melihat usia si pendeta sudah lanjut, ia percaya pendeta itu jadi salah seorang tertua dari Siau Lim Sie dan kedudukannya pasti tidak rendah. “Akupun minta diberi maaf.” katanya sambil tertawa. “Lantaran malasku, sangat jarang aku berkunjung ke Siauw Lim Sie, hingga kecuali ketua Pek Cut, bapak pendeta lainnya sangat sedikit yang kukenal.” Kembali Liauw In membalas hormat dan berkata merendah, sesudah mana ia menitahkan kedua kawannya membawa pulang kedua mayat itu, supaya mereka itu segera melaporkan kepada ketuaketua mereka sekalian memohon petunjuk.
“Sekarang mari kita melihat-lihat disekitar ini. ” In Gwa Sian mengajak. Pemeriksaan itupun menjadi pemikirannya Liauw In, mka itu berdua mereka lantas pergi berputaran, tetapi karena tidak ada hasilnya terus mereka pulang ke Siauw Lim Sie. Baru sampai dipintu gerbang, mereka sudah disambut Pek Cut sendiri. Bukan main girangnya kedua belah pihak, keduanya tertawa riang. Habis saling memberi hormat, Pek Cut berkata : “Kakak Ngay sudah mengundurkan diri, seharusnya tak dapat aku mengganggumu akan tetapi urusan luar biasa penting, terpaksa aku mengirim surat juga kepadamu. Inilah sebab kawanan bajingan luar lautan lihai semuanya tak dapat mereka dihadapi oleh kaum rimbah persilatan seumumnya.” Eng Eng tertawa. “Sudah beberapa puluh tahun kita bersahabat, selama itu belum pernah kita saling minta bantuan, ” kata ia, “sekarang kau telah mengundang aku, aku sangat berterimakasih. Itulah pertanda bahwa kau masih belum melupakan sahabat lamamu. Karena itu juga begitu aku menerima suratmua, begitu aku berangkat kemari, hanya sayang aku toh terlambat satu tindak, aku tiba tanpa mampu menolong kedua muridmu itu. Karena itu, sesungguhnya aku malu sekali….” Parasnya Pek Cut berubah menjadi suaram dengan mendadak. Ia menjadi sangat berduka. “Itulah baru permulaan dari peristiwa-peristiwa hebat menyedihkan.” katanya menghela napas, “dan itu tidak sampai disini saja ! Silahkan kalian masuk kedalam, nanti kalian mendapat tahu, terutama kau, sahabatku.” Sepasang alisnya In Gwa Sian terbangun. Ia menerka pada suatu kehebatan lain. Sebenarnya ia hendak meminta keteranga, atau dapat ia mencegah membuka mulutnya. Maka dengan membungkam ia turut bertindak masuk. Pek Cut memimpin dan Ngay Eng Eng mengikuti. Ketua Siauw Lim pay mengajak kedua teman lamanya langsung ke Tatmoto. Ruang Bodhidarma, untuk memasuki sebuah kamar sisi yang terbuat dari batu merah. Itulah sebenarnya, kamar peranti berobat atau istirahatnya pendetapendeta yang terluka disebabkan kecelakaan-kecelakaan latihan. Baru mendekati tujuh atau delapan kaki dari kamar, bertiga mereka sudah mendengar rintihan tak hentinya, rintihan saling susul dari mereka yang tengah menderita. Itu pula pertanda bahwa orang yang lagi menderita itu tak sedikit jumlahnya…. Di muka pintu ada dua orang pendeta yang bertubuh tinggi dan besar yang mengawal, selekasnya mereka melihat Pek Cut, lantas mereka memberi hormat kepada ketua itu, terus lekas-lekas mereka membukakan pintu. In Gwa Sian menjadi tidak sabaran, dialah yang mendahului bertindak masuk, maka itu lantas ia melihat delapan orang yang masingmasing rebah diatas pembaringan kayu cemara, tubuh mereka itu dikeredongi selimut putih hingga tak tampak lukanya masingmasing. Pek Cut mengawasi si pengemis dan sahabatnya Eng Eng, wajahnya suaram saking berduka. “Selama beberapa ratus tahun, belum pernah Siauw Lim Sie mengalami peristiwa hebat dan
menyedihkan seperti kali ini.” kata suaranya sedih. “Sungguh tak kusangka, justru dibawah pimpinanku bisa terjadi semua ini. Itulah bukti dari pimpinanku yang tidak bijaksana karena aku tidak mempunyai kemampuan hingga aku menyebabakan para murid ini menderita. Kalau nanti aku beruntung dapat kembali dari perjalanan kesarang bajingan luar lautan itu akan aku mengundurkan diri dan mengambil keputusan guna aku mengatur maaf kepada para leluhur dan partaian….” Sementara itu In Gwa Sian heran. Ia tidak melihat tandatanda darah pada kain keredong yang berwarna putih itu. Maka ia kata didalam hati :” Rintihan mereka menyatakan tentunya mereka terluka parah habis kenpa tak ada tanda daranya barang setitik juga ?” Saking herannya, tapa merasa sebelah tangannya diulur dipakai menyingkap kain kerebong puting dari penderita yang terdekat dengannya. Begitu ia melihat sang penderita begitu In Gwa Sian sendiri melengak, matanya mendelong, mulutnya ternganga. Toh Pit Pin Sin Kit menjadi pengemis konsen dan luas pengalamannya. Pendeta yang lagi menderita itu memejamkan kedua belah matanya, mukanya telah berubah menjadi biru pucat ! Itulah yang menggetarkan hatinya si jago tua. Pek Cut menyaksikan keadaannya sahabat pengemis itu, ia menghela napas. “Tadi aku menerima laporan, ” berkata ia sabar,“katanya dua orang kami yang berjaga-jaga diarah Barat daya, di jalan genting yang penting, kedapatan roboh tak berdaya dan merintih terus terusan, kelihatannya mereka seperti terkena racun. Mulanya aku mengira mereka itu kurang berhati-hati dan telah kena terpagut binatang beracun maka kau memerintahkan pihak Tatmo Ih mengirim orangorang buat membantu mereka serta berbareng menempatkan dua orang penggantinya. Baru aku memberikan perintah itu, lantas datang lain-lain laporan yang serupa, bahwa orangorang kami roboh tak berdaya dengan tubuh bengkak dan mukanya pucat pasi kehitam-hitaman. Kami tidak tahu apa yang menyebabkan kecelakaan itu. Karena itu aku minta beberapa Tianglo dari Tiam Ih serta adik Liauw In pergi melakukan pemeriksaan guna mencari sipenyerang….” Liauw In merapatkan kedua tangannya dan berkata : “Panco sudah menerima titah itu dan telah pergi dengan mengajak dua orang murid Tatmo Ih, tatkala kami tiba ditempat jagaan sebelah selatan, kami mendapatkan bahwa dua orang kita yang bertugas di sana sudah binasa dibunuh….” Pek Cut menarik napas. “Bagaimanakah duduknya itu ?” tanya. Kemudian setelah memperoleh jawaban, ia kata pada Eng Eng, “Kakak Ngay, dapatkah kau mengira-ngira kedua orang musuh itu berasal dari mana ?” Ngay Eng Eng menggeleng kepala. “Aku tidak kenal mereka itu, ” sahutnya. “Aku cuma melihat mereka itu bertubuh kecil dan gerak geriknya sangat gesit. Muka merekapu ditutup dengan topeng. Jika aku tidak keliru menerka, mestinya mereka itu orangorang perempuan….”
“Apa ? Orang perempuan ?” tanya In Gwa Sian heran. “Ya !” Eng Eng tetapkan. “Rasanya mataku tidak keliru melihat ! Senjata mereka juga bukan senjata yang umumnya dipakai bangsa pria !” “Senjata apakah itu ?” “Yang satu membekal pedang, hanya pedang itu jauh lebih pendek daripada pedang yagn biasa, panjang kira-kira cuma dua kaki. Yang lainnya menggunakan sepasang pisau belati panjang kira-kira satu kaki. Pasti sudah mereka masuk hitungan jago silat kelas tinggi, sebab mereka gesit dan lihai dari ilmu ringan tubuhnya mahir sekali. Waktu aku memburu kepada mereka, mereka sudah berhasil membinasakan kedua orang kurbannya dan ketika aku mengejar, mereka kabur tanpa dapat dicandak, hingga aku menggunakan senjata rahasiaku, baru mereka meninggalkan dua kepala kurbannya itu.” “Mulanya dua kali aku menghajar mereka dengan pukulan Tangan Udara kosong. Aku percaya kepandaianku dalam ilmu itu sudah enam bahagian sempurna, seranganku beras diatas lima ratus kati, tetapi heran, mereka itu dapat menangkis dengan baik. Entah mereka menggunakan tipu, entah kenapa, sehabis menyambuti dua kali seranganku itu, mereka memutar tubuh dan kabur keras sekali hingga akhirnya mereka lolos….” Berkata sampai disitu, jago tua ini berhenti sebentar. Ia mengawasi bergantian kepada In Gwa Sian dan Pek Cut Siansu. Kemudian ia menghela napas, rupanya untuk melegakan hatinya yang pepat. “Aku si tua, aku sangat bersyukur sudah mengundang aku,” ia melanjuti kemudian. “Sebagaimana kalian ketahui, telah beberapa puluh tahun sejak aku mengundurkan diri. Siapa sangka kalian masih mengingatkan dan telah mengundangnya. Terang kalian sangat menghargai aku. Tapi aku menyesal sekali, dihadapanku, orang membuatku gagal mencegah kecelakaan sampai ada orangorang yang bercelaka. Itulah hal yang membuatku malu hingga tak ada tempat buat aku menaruh mukaku. Coba mereka itu berhasil membawa pergi kepalanya kedua bapak pendeta itu, pasti tak ada mukaku buat menemui kalian, tak dapat aku memasuki kuil ini. Syukurlah aku mengerti ilmu lari cepat Delapan Tindak Mengejar Tonggeret. Ilmu mana aku tidak sia-siakan selama aku hidup mengasingkan diri. Sejauh dua tiga lie, masih aku menjadi bingung sendiri. Ketika itu aku makin percaya mereka bukanlah sembarangan orang. Diakhirinya terpaksa aku serang mereka dengan biji Teratai besiku. Kalau ini aku tidak gagal seluruhnya. Mereka itu terkena teratai besi, lantas mereka melepaskan dua kepala korbannya, tetapi mereka sendiri kabur terus dan lolos…” “Saudara Ngay mengandalkan kepada pengetahuanmu yang luas, tak dapatkah menerka-nerka mereka sebenarnya dari golongan mana ?” Pek Cut tanya. Eng Eng menggelengkan kepala. “Tak dapat aku mengenali mereka sebab pertama-tama kami tidak sampai bertempur dan kedua mereka mengenakan topeng.”
Tibatiba In Gwa Sian menyela : “Saudara Ngay, melihat keterangan kau ini, mungkin mereka bukan asal Tionggoan, mestinya mereka orang luar lautan juga. Sayang aku si tua, aku datang terlambat satu tindak, jika tidak tentu aku akan mencoba membekuk satu diantaranya, guna mengorek keterangan perihal mereka !” Sampai disitu, Liauw In pun campur bicara, “Dalam pertempuran setengah bulan yang lalu” kata ia, “walaupun pihak bajingan tidak memperoleh hasil, kita juga bukannya mendapat kemenangan, karena itu, benarlah katakatanya saudara In, kita harus ketahui jelas perihal mereka itu. Setahuku, memang kita belum mendengar perihal dua oarang pembunuh itu seperti yang dilakukan saudara Ngay.” “Mereka itu lihai, merekapun belum ketahuan siapa adanya, itulah satu soal” berkata Pek Cut. “Soal lainnya ialah muridmurid kami yang terluka ini. Tubuh mereka bengkak dan muka mereka matang biru, tak tahu kami mereka terkena racun apa. Sama sekali mereka tidak terluka. Bagaimanakah kita harus menolong mereka itu ? Aku rasa ilmu pengobatan kami sulit menolongnya, jika mereka terkena senjata rahasia biasanya yang kecil dan halus seperti jarum, mesti ada tanda atau bekas-bekasnya.” In Gwa Siang dan Ngay Eng Eng menundukkan kepala, mencoba mencium-cium ke dekat tubuh para korban itu. Mereka tidak mendapat hasil apa-apa. Bau yang mereka dapati cuma bau baCin seperti biasa, baunya luka yang umum. Toh merekalah orangorang tua, orangorang Kang Ouw kawakan. Maka mereka jadi diam. Lewat sekian lama, In Gwa Sian menghela napas. “Seumur aku hidup di dalam Sungai Telaga,” kata ia, “segala macam senjata rahasia hampir aku kenal semuanya, bahkan senjata rahasia hebat dari beberapa jago, aku ketahui dengan baik sekali. Ada senjata rahasia beracun yang aku belum tahu, toh pernah aku mendengarnya.” “Menurut aku, para bapak pendeta ini pasti bukan disebabkan senjata rahasia” kata Eng Eng. “Aku percaya mereka dilukai oleh suatu pukulan tangan rahasia yang beracun. Dalam hal ilmu pukulan ini aku tahu tentang Yan Tio Siang Can serta Kim Lam It Tok. Kecuali mereka itu bertiga, aku rasa sukar mencari orang pandai semacam mereka yang ke empat.” Jago tua itu menyebut tiga orang ahli menggunakan pukulan beracun itu. Yang Tio Siang yaitu “Sepasang malaikat kejam dari Yan Tio” (Honak dan Lhoasay) dan Kim Lam It Tok yakni si “Tunggal Beracun dari Kwio ciu Selatan”. In Gwa Sian menggeleng-geleng kepala. “Kalau Yan Tio Siang Can, itulah rasanya tak mungkin” kata dia. “Denganku si pengemis tua, kami mempunyai pergaulan tawar tidak tawar, rapat tidak rapat, dan berhubung dengan kepergian kita keluar lintas ini, aku telah bersedia-sedia mengirim undangan mengharap bantuannya. Mengenai Kim Lam It Tok, aku cuma pernah dengar namanya, bahwa gerak geriknya sangat terahasia, hingga
hampir tak ada orang Kang Ouw yang ketahui tindak tanduknya. Pernah aku pergi ke Kwi ciu mencarinya tetapi aku gagal menemuinya. Aku sangsi kalau inilah hasil perbuatannya…..” Eng Eng tertawa. “Sebenarnya setiap rekan rimba persilatan mengetahui perihal Kim Lam It Tok,” kta ia, “cuma benar, melainkan beberapa orang saja yang pernah bertemu muka dengannya. Aku mempunyai peruntungan baik, pernah satu kali aku melihatnya.” In Gwa Sian menarik nafas dalam-dalam. “Kim Lam It Tok terkenal diseluruh negara, tetapi tak ada orang yang tahu she dan namanya yang benar.” katanya pula, “orang cuma mendengar gelarannya tetapi belum pernah melihat sendiri orangnya, maka itu saudara, kalau kau pernah bertemu dengannya dapatkah kau melukiskan tentang wajahnya, tubuh dan usianya ? Semoga kalau dilain ketika aku melihat dia, dapat aku mengenalinya. Hendak aku si pengemis tua berkenalan dengan dia.” Eng Eng tersenyum. “Dialah seorang biasa saja, tidak ada ciri-cirinya yang luar biasa atau berlainan dari orang kebanyakan.” sahutnya. “Tentang usianya dia seimbang dengan usiaku.” Selama dua orang itu bicara, Pek Cut dan Liauw In berdiam saja. Sebenarnya mereka kurang setuju orang bicara melulu tetapi mereka malu hati untuk melarangnya, karenanya terpaksa mereka tunduk mendengarkan dengan hati mereka risau tidak karuan. Kebetulan Pat Pie Sin Kit mendapat lihat kedua pendeta itu, tahulah ia apa sebabnya orang berdiam dengan tampang berduka itu. “Aku mendapat satu pikiran.” katanya kemudian. “Kedua muridnya Tek Cio si hidung kerbau mempunyai obat hosinouw, entah obat itu dapat dipakai menolong membasmi racun atau tidak…” Sebelum Pek Cut menjawab, Eng Eng sudah mendahuluinya. “Obat itu tersohor mujarab, boleh sekali kita mencobanya,” kata jago tua itu. “Dengan adanya obat itu, hendak aku mencoba membuat obat pemusnah racun itu.” “Jadinya kau mengerti ilmu pengobatan, saudara Ngay ?” In Gwa Sian tegaskan. Eng Eng tertawa.
“Bersama Kim Lam It Tok pernah aku tinggal buat suatu waktu” ia menjawab memberikan keteranga. “Dia baik sekali terhadapku, dia telah mewariskan caranya pembuatan beberapa obat pembasmi racun, sayang akulah yang tolol, tak dapat aku mempelajari semua. Inilah sebabnya kau tidak mengerti sebab musabab dari penderitaannya para bapak pendeta ini, hanya itu aku merasa, andiakata kita memiliki hosin ouw, mungkin pengobatannya tak seberapa sulit. Nah, silahkan saudara pergi mengambil obat itu nanti aku berdaya mencoba meringankan penderitaannya mereka ini….” In Gwa Sian mengangguk. Ia memutar tubuh buat pergi keluar, tetapi baru beberapa tindak, mendadak Eng Eng memanggilnya. “Saudara In, tunggu ! Sekarang aku tahu bagaimana harus mengobati mereka ini, tak berani aku merepotkan pula padamu !” Pat Pie Sin Kit menoleh. Ia merasa heran. Begitu cepat perubahannya si orang Ngay ini. Ia pun lantas melihat bagaimana Eng Eng sudah lantas bekerja, sedangkan Pek Cut dan Liauw In mendampinginya disisi pembaringan. Eng Eng mengenakan sarung tangan pada tangan kirinya, tangan kanannya mencekal sebuah pisau kecil yang tajam mengkilat, dengan pisau itu ia mengkurat lengan kiri seorang pendeta, membuat luka sepanjang satu dim lebih, hingga luka itu lantas mengalirkan darah yang merah kehitaman. In Gwa Sian segera datang menghampiri. “Apakah saudara sudah dapat menerka racun ini racun apa?” tanyanya. Ngay Eng Eng tersenyum. “Tadi aku lalai” sahutnya, “hampir aku terpedayakan meraka itu ! Sekarang setelah aku melihat darahnya, aku merasa pasti bahwa semua bapak pendeta ini telah keracunan. Ya semacam ular….” “Jadi benarkah mereka terpagut ular ?” In Gwa Sian menanya tegas. Eng Eng tertawa, ia mengangguk. “Jangan kata para bapak pendeta ini yang mengerti ilmu silat” katanya, “sekalipun orang biasa saja, asal dia bersenjata dia dapat membela dirinya. Apa pula mereka ini berbareng kena diracuninya. Karena ular itu ular biasa, darimana datangnya ular sedemikian banyak dan munculnya pun hampir berbareng dipelbagai tempat ? Maka itu dapat diterka bahwa musuh menggunakan racun yang mulanya mereka kumpul atau simpan dahulu didalah sebuah selubung atau pipa besi istimewa, kapan mulut selubung dibuka, lantas racun ini ditimpukan seperti orang menyerang dengan senjata rahasia. Dalam hal ini, racun itu racun dicelupkan pada jarum atau pasir, setelah jarum atau pasir beracun itu mengenakan atau menempel pada tubuh, racunnya lantas bekerja mengalir ke seluruh tubuh, meresap ke dalam darah daging hingga si korban kontan bakuh beku tubuhnya dan kulitnya lantas berubah matang biru lalu didalam waktu dua belas jam tubuhnya bengkak, racun masuk ke jantung dan putuslah jiwa orang…” In Gwa Sian heran mendengar keterangan itu. “Dengan begini saudara Ngay” katanya, “teranglah kau pandai ilmu pengobatan keracunan…” Eng Eng tertawa pula.
“Saudara In memuji padaku !” katanya. “Aku cuma belajar kulitnya saja dari Kim Lam It Tok, tak dapat aku dibilang mengerti atau pandai…” Ia terus merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah botol, ketika ia buka tutup botol itu dari situ tersiar bau sangat tak sedap yang menyerang hidung membuat orang hendah tumpah-tumpah. Menyaksikan semua itu In Gwa Sian, Pek Cut dan Liauw In pada mengerutkan kening. Eng Eng kembali tertawa. “Bicara sejujurnya saudara-saudara” kata ia, “isinya botolku ini ialah racunnya kodok siam uh. Bukannya aku jumawa, apabila dipadu dengan racun musuh, racunku ini jauh lebih beracun, hanya kalau kedua racun dicampur menjadi satu sifatnya lantas berubah menjadi lunak sedang. Demikian sekarang hendak aku memakai racun siam uh untuk membantu para bapak guru ini…” Sementara itu pendeta itu bernafas perlahan sekali bagaikan lagi menantikan tibanya sang maut… Pek CUt dan Liauw In tidak mencegah orang she Ngay itu. Mereka berdiri disisi seperti lagi menonton. Demikian pula Pat Pie Sin Kit. Eng Eng melanjuti usaha pertolongannya. Racun siam uh itu berwarna kuning, air beracun itu dituangkan sedikit keluka guratan dilengannya sipendeta pertama, lalu menyusul dengan cepat percobaan pertolongan itu kepada tujuh orang pendeta lainnya. Semua mereka inipun digores dahulu sedikit kulit lengannya, sesudah darahnya yang beracun mengalir keluar baru mereka dipakaikan obat racun itu. Diakhirnya Eng Eng memberikan Pek Cut sebotol kecil obat warna putih sembari tertawa ia kata : “Kalau sebentar satu jam kemudian mereka terasadar diri dari pingsannya, segera kasih mereka makan dua butir obat ini dengan diantar dengan air dingin. Setelah itu biarkanlah mereka beristirahat. Lewat tiga hari, dengan setiap harinya mereka makan pula dua butir, semoga mereka sudah sembuh seluruhnya. Sebaliknya apabila pertolonganku ini gagal, kedelapan bapak guru ini tak akan hidup melewati malam ini.” Pek Cut menyambuti obat sambil ia menghaturkan terima kasih, lalu menyerahkan itu lebih jauh kepada seorang muridnya yang ditugaskan menjaga dan merawati orangorang yang lagi menderita itu. Kepada si tuan penolong, ia menambahkan :“Saudara Ngay, jangan menguatirkan apaapa, jika obat ini tidak menolong mereka terserah kepada Sang Buddha, manusia mati atau hidup sudah tertakdirkan, kita manusia tak dapat memaksakan…” Eng Eng tersenyum. “Tetapi toh aku percaya bahwa pengobatanku ini tidak keiru !” katanya. “Amida Buddha !” Pek Cut memuji sambil merapatkan tangannya. “Saudara datang dari tempat yang jauh siapa sangka saudara lantas menghadapi peristiwa tak beruntung ini, maka setelah sekarang selagi pertolongan pertama ini silahkan saudara mengikutku ke dalam untuk kita berduduk beromong-omong supaya dapat aku melakukan kewajibanku sebagai tuan rumah terhadap tetamunya.”
Eng Eng mengucap terimakasih. Ia menerima baik undangan itu. Liauw In segera berjalan di depan, untuk meninggalkan ruang Tatmo Ih itu guna memimpin tamunya ke kamar ketua. Seorang sue bie kacung pendeta lantas muncul menyuguhkan air teh. Habis menghirup tehnya, In Gwa Sian yang mulai membuka suara. Kata dia : “Dilihat dari peristiwa ini, nyata sekali kawanan bajingan masih belum berlalu dari wilayah kita ini bahkan mungkin sekali, mereka segera akan mengulangi pembokongannya dengan senjata racun yang jahat itu. Karena itu, menurut pikiranku, baiklah kita lebih dahulu melakukan penggeledahan secara besar-besaran, guna membersihkan bagian dalam, lalau kita mengirim orangorang secara menyamar ke kaki gunung buat memata-matai musuh disetiap dusun atau kampung disekitar kita. Dengan begitu, mereka juga bisa sekalian menyambut datangnya tamutamu undangan kita.” Eng Eng menyetujui usul itu, yang bahkan ia puji. Pek Cut menghela napas. “Karena keadaan ialah menjadi begini rupa, baiklah, akan aku turut saran kedua saudara” katanya, berduka. Karena sebagai seorang beribadat, ia sebenarnya tak menyetujui pertempuran apa juga. Habis berbicara, mereka bersantap. Burung, udang, semuanya sayuran rasanya lezat. Sesudah itu barulah ketua Siauw Lim Sie mulai mengatur orang-orangnya. Tatmo Ih diminta memilih lima puluh orang murid pilihan, supaya mereka itu dipecah menjadi lima, setiap rombongan dikepalai oleh Liauw In bersama kelima tianglo dari Tatmo, ketua dari ruang Tohan Tong dan pengurus Chong Kong Kok. Mereka ditugaskan menggeledah seluruh wilayah Siauw Lim Sie sekalian mengatur pula pelbagai pos penjagaan, supaya setiap jalan masuk terjaga rapi. Dua puluh orang murid lainnya yang terpilih cerdik, dikirim berpencaran turun gunung guna sambil menyambut memasang mata kepada kawan dan lawan. In Gwa Sian dan Ngay Eng Eng membiarkan bantuannya, mereka akan membantu ke pelbagai arah. Untuk didalam kuil, Pek Cut yang bertanggung jawab sendiri. Dengan cara demikian, Siauw Lim Sie bagaikan salin rupa. Beberapa hari sudah lewat, tidak terjadi suatu apapun. Penyerangan gelap tak terulang pula. Eng Eng dan In Gwa Sian penasaran, sendirinya mereka menjelajah gunung, memeriksa setiap gua dan lainnya, seluas beberapa puluh lie, mereka juga tidak menemukan apa-apa. Dilain pihak, tamutamu undangan mulai tiba, mereka disambut dengan baik dan diberikan tempat serta pelayanan sempurna. Kalau tamu yang datang tamu teman lama, Pek Cut dan In Gwa Sian sendiri yang melayaninya. Begitulah Siauw Lim Sie, yang tadinya sepi menjadi ramai.
Penghuninyapun menjadi beraneka ragam disebabkan bedanya cara berdandan pelbagai tamutamu itu. Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu. Tetap tak terjadi gangguan pihak lawan. Sementara itu, delapan pendeta yang terkena racun sudah mulai sembuh seluruhnya. Pada suatu hari, Pek Cut datang ke kamarnya In Gwa Sian. Ia hendak mendamaikan cara bekerja untuk menghadapi lawan nanti. In Gwa Sian nampak repot menyambut ketua Siauw Lim Sie. Sete