BAB V KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kondisi human trafficking di Indonesia yang berkedok dengan menjadi TKI di luar negeri masih banyak terjadi, walaupun dengan lahirnya RAN-P3A tersebut serta disetujuinya RUU untuk melindungi anak-anak dari perdagangan, maka status Indonesia dalam pemberantasan perdangangan manusia meningkat dari Tier 3 menjadi Tier 2. Namun hal ini belum menuntaskan masalah human trafficking seutuhnya, karena banyak sekali korban human trafficking yang masih tersembunyi atau tidak melapor akan kasusnya. Salah satu cara untuk mengatasi kasus human trafficking yang berkedok dengan menjadikan TKI di luar negeri, pemerintah telah menetapkan UU nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI, namun isi UU tersebut masih mewarisi ketentuan-ketentuan pengerahan tenaga kerja masa Orde Baru yang sifatnya pengerahan dan penguasaan, bukan perlindungan. Untuk itulah, diperlukan implementasi ratifikasi konvensi tersebut dalam kebijakan-kebijakan yang lebih konkrit dan operasional serta menjadi panduan politik luar negeri dalam diplomasi perlindungan pekerja migran Indonesia di ranah internasional. Dalam kerangka instrumen nasional, Indonesia dalam melakukan penanggulangan perdagangan orang melalui beberapa cara, yaitu membuat Rencana Aksi Nasional penghapusan perdagangan perempuan dan anak, saat ini kebijakan tersebut digantikan dengan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 mengenai pembentukan gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana trafficking. Gugus Tugas Pusat (GTP) sebagai lembaga koordinatif yang bertugas 77
mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana trafficking ditingkat nasional. Itikad baik dari pemerintah untuk membentuk GTP dalam menanggani human trafficking ini sudah bagus, dan hampir seluruh lembaga Negara dilibatkan dalam pembentukan GTP ini. Namun yang menjadi persoalan adalah sejak dibentuknya GTP pada tahun 2008, karena GTP sifatnya masih lintas kementrian dan lembaga, sehingga implementasinya hanya dilingkup masing-masing kementrian. Dan kurang adanya sinergi yang kuat antar lembaga untuk memberantas dan menangani human trafficking ini. Hal ini disebabkan sesama anggota merasa telah melakukan tugasnya dengan baik, namun hal yang kita temui dilapangan adalah kurang tanggapnya pemerintah dalam mengatasi kasus human trafficking ini. Kasus human trafficking yang menimpa pada pekerja migran Indonesia yang masih merupakan masalah besar bagi para TKI ini memerlukan berbagai upaya penangganan trafficking dari aspek ligitasi maupun nonligitasi. Dan juga memerlukan peran aktor selain negara karena kasus human trafficking ini sangat komplek perlu keterlibatan oleh berbagai stakeholders, baik pemerintah maupun non pemerintah. Salah satu aktor non pemerintah adalah NGO‟s, NGO sebagai salah satu kekuatan sosial yang lahir di masyarakat sebagai respon terhadap persoalan dinilai mampu untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan merespon isu-isu global untuk di tangani bersama. Migrant Care adalah NGO yang mengadvokasi permasalahan pekerja migran di luar negeri salah satunya yaitu permasalahan human trafficking yang
78
menimpa pekerja migran Indonesia. Migrant Care sebagai NGO telah mematuhi humanitarian principles yang di menjadi kerangka acuan bagi aktor kemanusian, yaitu pertama prinsip humanity. Semua program Migrant Care dijalankan sesuai kode etik lembaga untuk mencegah dan mengurangi perderitaan serta penghormatan para korban. Hal ini dilakukan dengan cara pengadvokasian para korban diranah hukum untuk mendapatkan hak-hak yang sepatutnya menjadi milik korban. Dan Migrant Care juga berusaha masuk pada ranah politik dengan melaksanakan advokasi kebijakan nasional, advokasi kebijakan lokal dan advokasi publik, Hal ini diharapkan agar perlindungan dan pencegahan human trafficking dapat tertangani secara maksimal dan masayarakat luas mempunyai tanggung jawab juga untuk bersolidaritas terhadap pekerja migran. Kedua prinsip neutrality dapat dilihat dari sikap Migrant Care yang tidak berpihak dalam permusuhan yaitu antara pekerja migran dengan majikan dan pihak penyalur yaitu PJTKI dan Agency serta dengan pemerintah (BNP2TKI dan Kemenlu). Migrant Care tetap mengedepankan kepentingan korban untuk mendapatkan hak-hak yang semestinya korban peroleh. Dan prinsip yang ketiga impartiality yaitu aksi kemanusiaan yang dijalankan Migrant Care dilakukan atas dasar tidak membeda-bedakan kasus pekerja migran berdasarkan perbedaan atas dasar kebangsaan, ras, jenis kelamin, keyakinan agama, kelas atau pendapat politik. Semua kasus yang menimpa pada pekerja migran di usahakan secara maksimal untuk mendapatkan pendampingan. Dan yang terakhir prinsip independence yaitu kemandirian Migrant Care, walaupun dalam menjalankan aksi kemanusiaannya Migrant Care bekerja sama dengan pemerintah maupun NGO‟s lainnya dan lembaga donor yang lain namun otonomi Migrant Care ditegakkan,
79
Migrant Care tidak mau untuk di dekte donor dan berhati-hati dalam memilih donor, hal ini agar terhindar dari tujuan politik, ekonomi, atau lainnya. Humanitarian principles sebagai kerangka acuan aktor kemanusiaan ini sangat penting, karena implementasi dan kejiannya bisa dilihat dalam hal bagaimana hal itu melandasi aksi kemanusiaan NGO tersebut dengan memaksimalkan network dan hukum internasional maupun hukum nasional disetiap negara membela korban dalam hal ini yaitu korban human trafficking. NGO yang mengikuti kerangka humanitarian prinsiples ini akan membangun identitas dan kredibilitas di lingkungannya,baik masyarakat maupun pemerintah. NGO yang memiliki visi, misi, tujuan dan sasaran, harus menjalankan strategi untuk mencapainya. Sehingga NGO sangat membutuhkan kredibilitas dari masyarakat
nasional
maupunin
ternasional
dalam
menjalankan
aksi
kemanusiaannya. Karena NGO yang lahir tanpa konsep yang jelas, dengan ideologi yang didasari suatu kepentingan tertentu akan sulit berkembang, dan jika masanya sudah habis akan hilang dengan sendirinya. Kondisi ini sebagai suatu proses alam, di mana eksistensi suatu NGO yang tidak memiliki platform yang jelas akan tersingkir oleh anggapan miring masyarakat. NGO yang menggunakan acuan prinsip yang jelas dalam menangani korban human trafficking akan mempunyai power (kekuatan) dan kapasitas yang cukup untuk mempengaruhi kebijakan, kekuatan untuk mencari donor serta mendapatkan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Dan Hal ini lah yang terjadi pada Migrant Care, Migrant Care sebagai salah satu NGO yang bergerak di bidang kemanusian secara tidak langsung NGO tersebut bisa menjadi model atau percontohan bagi NGO‟s yang lain untuk mengikuti acuan platform yang bisa 80
diadopsi dari UNOCHA (humanity, neutrality, impartiality dan independent) dan bisa dikembangkan dengan prinsip-prinsip yang lain di luar itu juga. Adapun pola pengelolaan dan penanganan isu human trafficking di Indonesia yang dapat ditangani secara sinergi baik aktor negara maupun non negara untuk merumuskan lagi pemberantasan dan pencegahan praktek human trafficking yang berbasis pada keperluan korban. Dan NGO‟s yang bergerak dalam isu human trafficking berkolaborasi untuk menjadi agen pengawasan dan perlindungan para korban human trafficking yang berkedok penempatan TKI ini. Selain adanya peran aktor negara maupun non negara dalam penanganan kasus human trafficking ini. Di lain pihak masyarakat juga harus diberikan akses untuk membantu Pemerintah karena masyarakat memiliki peran sangat penting dalam proses perlindungan TKI dari berbagai pelanggaran hak dan modus trafficking. Sehingga masyarakat bisa mengontrol proses perekrutan agar tidak terjadi perdagangan orang (trafficking). Masyarakat juga bisa berperan mengawasi agen pengiriman tenaga kerja migran. Di sisi lain, suara masyarakat sangat dibutuhkan dalam menuntut negara untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap para TKI.
81