BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gelombang Bunyi Bunyi adalah
rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia
ketika gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya. Gelombang suara merupakan gelombang longitudinal yang terdengar sebagai bunyi bila masuk ketelinga berada pada frekuensi 2020.000 Hz atau disebut tingkat jangkauan suara yang dapat didengar. Frekuensi atau tinggi nada adalah jumlah getaran per sekon (Mangunwijaya, 1981). Bunyi juga memiliki frekuensi dan bunyi-bunyian dengan frekuensi tinggi nampaknya lebih keras dan lebih mengganggu dibandingkan dengan bunyi-bunyian yang memiliki frekuensi yang rendah dalam intensitas yang sama (Miller, 1988). Berdasarkan kebutuhan manusia, bunyi dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Bunyi yang diinginkan Bunyi ini harus terdengar sebersih mungkin dan harus dialihkan berdasarkan daya yang tepat 2. Bunyi yang mengganggu Bunyi ini disebut dengan bising yang dapat mengganggu saraf pendengaran karena tekanan bunyi yang dihasilkan tinggi Suara memancar keluar dari sumbernya sampai menemui suatu rintangan atau permukaan dalam jalannya. Setelah membentur rintangan atau permukaan, suara berlaku seperti cahaya. Energi yang datang sebagian dipantulkan, diteruskan atau diserap (Snyder dan Catanese, 1985). Banyaknya suara/bunyi yang dipantulkan, diteruskan atau diserap ditentukan oleh dua faktor, yaitu tergantung dari ukuran ruangan dan jenis serta sifat permukaan dinding/benda yang disentuh oleh gelombang bunyi tersebut (Mangunwijaya, 1981). Permukaan yang keras dan rata seperti beton, bata, batu, plester dan kaca memantulkan hampir semua energi bunyi yang jatuh padanya. Sedangkan bahan lembut, berpori, kain dan manusia, menyerap sebagian besar gelombang bunyi yang menumbuk (Doelle, 1990).
5
Masalah pantulan sangat erat dengan masalah jumlah bunyi yang tidak dipantulkan kembali, karena bunyi yang datang, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi akan diserap. Artinya semakin sedikit bunyi yang dipantulkan, semakin banyak yang masuk ke dinding dan sebaliknya. Semakin padat bangunan, semakin keras dan banyak bunyi yang dipantulkan kembali (Mangunwijaya, 1981).
2.2
Kebisingan
2.2.1 Pengertian Kebisingan Kebisingan atau polusi suara dapat didefinisikan sebagai suara atau bunyi yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia. Menurut Wilson (1989), kebisingan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu bunyi yang intensitasnya tidak diinginkan, termasuk bunyi yang merupakan hasil samping dari kegiatan lain seperti kegiatan industri dan transportasi. Bunyi yang dianggap mengganggu termasuk kegiatan bercakap-cakap dan musik yang tidak dikehendaki oleh pendengar. Menurut
Keputusan
Menteri
Negara
Lingkungan
Hidup
Kep-
48/MENLH/11/1996, yang dimaksud dengan kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Pertumbuhan transportasi darat, laut, dan udara yang cepat, kebisingan telah menjadi faktor lingkungan yang sangat penting di kota-kota, dan bukanlah sesuatu yang tidak realistik untuk meramalkan bahwa daerah pedesaan pun akan dipengaruhi oleh bising pada masa yang akan datang (Doelle, 1993).
2.2.2 Jenis Kebisingan Berdasarkan asal sumber, kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam kebisingan, yaitu (Wardhana, 1999) : 1. Kebisingan impulsif, yaitu kebisingan yang datangnya tidak secara terus menerus, akan tetapi sepotong-sepotong. Contohnya : kebisingan yang datang dari suara palu yang dipukulkan, kebisingan yang datang dari mesin pemancang tiang pancang.
6
2. Kebisingan kontinyu, yaitu kebisingan yang datang secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Contohnya : kebisingan yang datang dari suara mesin yang dijalankan (dihidupkan) 3. Kebisingan semi kontinyu (intermittent), yaitu kebisingan kontinyu yang hanya sekejap, kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Contohnya : suara mobil atau pesawat terbang yang sedang lewat.
2.2.3 Kriteria Kebisingan Persepsi manusia terhadap bunyi bervariasi, tergantung pada frekuensi dari bunyi tersebut (Wilson, 1989). Untuk menentukan tingkat kebisingan, kebisingan itu dapat diukur melalui intensitas bunyinya. Intensitas bunyi, yaitu perbandingan tegangan suara yang datang dan tegangan suara standar yang dapat didengar oleh manusia normal pada frekuensi 1000 Hz, dengan satuan decibel, disingkat dB (Wardhana, 1999). Karakteristik fisik dari kebisingan yang
menyebabkan
gangguan
harus
diperhitungkan
(Shaheen,
1992).
Karakteristik ini antara lain adalah intensitas, frekuensi, durasi, impuls, dan konsentrasi
dari
energi
bunyi
pada
frekuensi
rendah.
Gambar
2.1
menggambarkan hubungan antara gangguan dengan tingkat kebisingan untuk kendaraan bermotor dan pesawat udara.
Gambar 2.1 Perbandingan dari tingkat bising aktifitas jalan, kendaraan bermotor dan pesawat udara Sumber: Shaheen (1992)
7
2.2.4 Kebisingan Lalu Lintas Bising luar yang paling mengganggu dihasilkan oleh kendaraan, transportasi rel, transportasi air dan transportasi udara termasuk truk, bus, mobil-mobil balap, sepeda motor (Doelle, 1990). Kebisingan akibat lalu lintas adalah salah satu bunyi yang tidak dapat dihindari dari kehidupan modern dan juga salah satu bunyi yang tidak dikehendaki. Kontribusi utama kebisingan lalu lintas akibat kendaraan bermotor adalah dari buangan mesin (knalpot) dan pemasukan udara, radiasi mesin, kipas, peralatan tambahan lain dan roda (Wilson,1989). Tingkat kebisingan dipengaruhi oleh sumber bising (volume lalu lintas, kecepatan, komposisi kendaraan serta jenis aspal yang digunakan) dan media bising (udara, tanah, bangunan, tanaman serta jarak antara sumber dan penerima). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kebisingan lalu lintas, antara lain:
1.
Pengaruh Volume Lalu Lintas (Q) Volume lalu lintas (Q) terhadap kebisingan sangat berpengaruh, hal
ini bisa dipahami karena tingkat kebisingan lalu lintas merupakan harga total dari beberapa tingkat kebisingan dimana masing-masing jenis kendaraan mempunyai tingkat kebisingan yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian S. Vougias dan Tn. Natsinas mendapatkan suatu satuan yang dapat dipakai untuk memprediksi tingkat kebisingan dari masingmasing jenis kendaraan yang berbeda. Faktor beban yang dapat digunankan : 1. Faktor beban 1 untuk mobil penumpang dan taxi 2. Faktor beban 4 untuk sepeda motor 3. Faktor beban 16 untuk kendaraan berat (truk dan bus)
8
2.
Pengaruh Kecepatan Rata–Rata Kendaraan (V) Hasil penelitian menunjukan bahwa kecepatan rata-rata kendaraan
bermotor terhadap tingkat kebisingan juga dipengaruhi oleh persentase kendaraan berat yang lewat (Vogias and Natsinas, 1986). Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Korelasi antara tingkat kebisingan dengan kecepatan rata-rata dan persentase kendaraan berat. Sumber: Vogias and Natsinas (1986)
3. Pengaruh Kelandaian Memanjang Jalan Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk kelandaian memanjang yang lebih besar dari 2% akan menghasilkan koreksi terhadap tingkat kebisingan. Tabel 2.1 menunjukkan faktor koreksi dari tingkat kebisingan untuk berbagai variasi kelandaian memanjang jalan (Magrab, 1975).
Tabel 2.1 Faktor koreksi dari tingkat kebisingan dasar untuk berbagai variasi kelandaian memanjang. Kelandaian Memanjang Jalan (%) Korelasi Tingkat Kebisingan (dBA) ≤2 0 3-4 +2 5-6 +3 >7 +5 Sumber: Magrab (1975) 9
4. Pengaruh Jarak Pengamat (D) Dari hasil penelitian menunjukan bila sumber bising berupa suatu titik (point source), maka dengan adanya penggandaan jarak pengamat, nilai tingkat kebisingan akan berkurang sebesar ± 6 dB dan akan berkurang kira-kira 3 dB jika sumber bising suatu garis (line source) (Saenz and Stephens, 1986). Gambar 2.3 memperlihatkan Grafik penurunan tingkat kebisingan LN (tingkat kebisingan yang dilampaui untuk N%) yang disebabkan perubahan jarak pengamatan (D).
Gambar 2.3 Pengurangan Nilai L1, L10, L50 dan L90 sehubungan dengan perubahan jarak. Sumber: Saenz and Stephens (1986)
Jarak pengamatan ditetapkan pada daerah RUWASJA (Ruang Pengawasan Jalan). Sesuai PP 34/2006 pada penjelasannya tentang ruang jalan, lebar minimum RUWASJA untuk jalan kolektor 10 meter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Tabel 2.2
Gambar 2.4 Ruang Jalan Sesuai PP 34/2006 Sumber: Penjelasan PP 34/2006 10
Tabel 2.2
Ruang jalan dan bagian-bagiannya
Sumber: Penjelasan PP 34/2006
5. Pengaruh Jenis Permukaan Jalan Gesekan antara roda kendaraan dengan permukaan jalan yang dilalui akan menyebabkan koreksi terhadap kebisingan dari kendaraan tersebut, besarnya koreksi tergantung dari jenis permukaan jalan yang dilalui. Beberapa penelitian yang dilakukan jenis permukaan yang rata atau sangat rata akan mengurangi tingkat kebisingan sebesar 5 dB, untuk permukaan yang normal tidak terjadi koreksi tingkat kebisingan dan untuk permukaan yang tidak rata atau berlubang akan menambah tingkat kebisingan sebesar 5 dB. Tabel 2.3 menunjukan koreksi tingkat kebisingan kendaraan untuk berbagai jenis permukaan (Magrab, 1975).
Tabel 2.3 Koreksi tingkat kebisingan kendaraan untuk berbagai jenis permukaan jalan. Tipe Permukaan Koreks Keterangan Jalan i (dB) Sangat rata, jenis perkerasan aspal Rata -5 dengan lapisan pengikat Lapisan permukaan dengan aspal yang Normal agak kasar dan dengan beton 0 Jenis perkerasan dengan pengaspalan Kasar sangat kasar dan dengan beton kasar +5 Sumber: Magrab (1975) 11
6. Pengaruh Komposisi Lalu Lintas Arus lalu lintas di jalan umumnya terdiri dari berbagai tipe kendaraan antara lain: sepeda motor, mobil penumpang, taksi, mini bus, pick up, bus, truk ringan dan kendaraan berat yang mempunyai tingkat kebisingan masing-masing, sehingga kebisingan lalu lintas dipengaruhi oleh jenis kendaraan yang melintasi jalan tersebut. Tingkat kebisingan lalu lintas merupakan harga total dari tingkat kebisingan masing-masing kendaraan.
7. Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan di sekitar jalan juga dapat mempengaruhi tingkat kebisingan lalu lintas yang terjadi, seperti adanya pohon di tepi jalan. Berdasarkan penelitian didapat bahwa pepohonan dan semak-semak dapat mengurangi kebisingan yang terjadi di sekitar lingkungan tersebut sebesar 2 dB (Morlok, 1995).
2.2.5 Besaran-besaran Statistik Tingkat Kebisingan Lalu Lintas Besaran-besaran statistik tingkat kebisingan lalu lintas yang sering digunakan adalah Leq, L10, L50 dan L90. Untuk mendapatkan besaran-besaran tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Ukuran perubahan waktu pencatatan dari tingkat bunyi bobot A Sumber : Magrab (1975) 12
Berdasarkan ukuran perubahan waktu pencatatan dari tingkat bunyi bobot A seperti terlihat pada Gambar 2.5 terdapat sedikit kesamaan jarak interval dari waktu (tk), k = 1,2,......, berlaku tingkat penyesuaian bunyi
bobot A (L”k).
Tingkat bunyi bobot A dapat dibagi menjadi N tingkat, dimana L’1 adalah tingkat kebisingan maksimum dan L’j+1 = L’j + L , j = 1,2....,N, dimana L = (L’N+1L’1)/N. Besaran L’k jatuh pada interval L’j L’k < L’j+1, jumlah sampel adalah n Mj, j = 1,2.....,N, k = 1,2......, total jumlah sampel adalah M = Mj, Tabel 2.4 j 1
dapat dibuat berdasarkan interval kelas Lj, dimana Lj = (L’j + L’j+1)/2, j = 1,2......,N (Magrab, 1975 : 71 dalam Bendesa 2002).
Tabel 2.4 Distribusi kumulatif tingkat kebisingan selama waktu pengukuran Interval kelas (Lj)
Jumlah sampel pada interval Lj (Mj)
L1
M1
L2
M2
.
.
LN-1
MN-1
Pembagian waktu pengukuran pada interval Lj (Pj)
Pembagian waktu kumulatif pengukuran pada interval Lj (Pj)
P1 =
M1 M
P1 = Pj = 1
P2 =
M2 M
P2 = Pj =
.
N
j 1
N
j 2
.
PN-1 =
MN 1 M
PN-1 =
Pj =
LN
MN
N
M = Mj j 1
1 N Mj M j 2
PN =
MN M
PN =
1 M
N j N 1 N
Mj
jn 1
MN M
N
Pj = 1 j 1
Sumber: Environmental Noise Control (Magrab, 1975, dalam Bendesa 2002)
13
2.2.6 Tingkat Kebisingan Sinambung Setara (Leq) Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep48/MENLH/11/1996 yang dimaksud dengan tingkat kebisingan sinambung setara adalah nilai tingkat kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif) selama waktu tertentu yang setara dengan tingkat kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama. Ada beberapa kriteria baku tingkat kebisingan yang dapat digunakan dalam membandingkan tingkat kebisingan di suatu kawasan, salah satunya terdapat dalam buku Akustik Lingkungan (Doelle,1990) yaitu mengenai tingkat bunyi sumber-sumber bunyi tertentu diukur dengan alat pengukur tingkat kebisingan dengan jarak tertentu dari sumber bising seperti yang terdapat dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Tingkat bising rata-rata yang biasa beberapa benda diukur pada jarak tertentu dari sumber. Sumber Bising Detik arloji Halaman tenang Rumah tenang pada umumnya Jalan pemukiman yang tenang Kantor bisnis pribadi Kantor lansekap Kantor besar yang konvensional Pembicaraan normal, 3 ft (90 cm) Mobil penumpang di lalu lintas kota, 20 ft (6 m) Pabrik tenang Mobil penumpang di jalan raya, 20 ft (6 m) Pembicaraan keras, 3 ft (90 cm) Pabrik yang bising Mesin kantor, 3 ft (90 cm) Ruang teletype surat kabar Motor tempel 10-hp, 50 ft (15 m) Lalu lintas kota pada jam sibuk, 10 ft (3 m) Jet besar lepas landas, 3300 ft (1000 m) Motor sport atau truck, 30 ft (9 m) Bedil riveting, 3 ft (90 cm) Mesin potong rumput berdaya, 10 ft (3 m) Band musik rock Jet besar lepas landas, 500 ft (150 m) Sirene 50-hp, 100 ft (30 m) Rocket luar angkasa
Tingkat Bising (dBA) 20 30 42 48 50 53 60 62 70 70 76 78 80 80 80 88 90 90 94 100 105 113 115 138 175
14
Sumber: Akustik Lingkungan (Dolle, 1990) Dari Tabel 2.4 harga Leq dapat ditentukan dengan persamaan : N
Leq = 10 log
Pj x 10
( Lj / 10)
...............................................................(2.1)
j 1
Dimana : Pj = Persentase waktu Lj = Titik tengah tingkat kebisingan interval j Kriteria baku tingkat kebisingan yang lain, yang digunakan di Indonesia, yaitu:
Tabel 2.6 Kriteria Baku Tingkat Kebisingan Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996 Peruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan
Tingkat Kebisingan (dBA)
a. Peruntukan Kawasan 1. Perumahan dan Pemukiman 55 2. Perdagangan dan Jasa 70 3. Perkantoran dan Perdagangan 65 4. Ruang Terbuka Hijau 50 5. Industri 70 6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 60 7. Rekreasi 70 8. Khusus : - Bandar Udara (disesuaikan dengan ketentuan - Stasiun Kereta Api Menteri Perhubungan) - Pelabuhan Laut 70 - Cagar Budaya 60 b. Lingkungan Kegiatan 1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55 2. Sekolah atau sejenisnya 55 3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55 Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar (1996)
15
Tabel 2.7 Kriteria Baku Tingkat Kebisingan menurut Keputusan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007 Tingkat Bising (dBA) Malam Peruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan Siang (22.00 – (06.00 – 22.00) 06.00) Peruntukan Kawasan 1. Perumahan dan Pemukiman 50 40 2. Perdagangan dan Jasa 60 45 3. Perkantoran dan perdagangan 55 45 4. Ruang Terbuka Hijau 53 47 5. Industri 73 67 6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 63 57 7. Rekreasi 73 67 8. Rumah Sakit atau sejenisnya 58 52 9. Sekolah atau sejenisnya 58 52 10. Tempat ibadah atau sejenisnya 58 52 Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar (2007)
2.2.7 Tingkat Kebisingan dalam Besaran Statistik (LN) Karena tingkat kebisingan lalu lintas berubah-ubah terhadap waktu, maka perlu diketahui sifat perubahannya, misalnya kapan fluktuasinya tinggi kebisingan dalam besaran statistik (LN) pada selang yang sama dengan waktu pengukuran Leq. Tingkat kebisingan dalam besaran statistik (LN) adalah tingkat kebisingan (dalam dBA) yang dilampaui untuk N% dari lamanya waktu pengukuran. Nilai N berkisar antara 1-100, besaran yang sering digunakan adalah L10, L50, L90. Dimana: L10 adalah tingkat kebisingan yang dilampaui 10% dari kumulatif pengamatan. L50 adalah tingkat kebisingan yang dilampaui 50% dari kumulatif pengamatan. L90 adalah tingkat kebisingan yang dilampaui 90% dari kumulatif pengamatan.
16
Dari kolom ketiga Tabel 2.4 dapat digambarkan histogram distribusi Lj (Gambar 2.6a) dan dari kolom keempat Tabel 2.4 dapat dibuat gambar poligon distribusi persentase kumulatif (Gambar 2.6b).
Gambar 2.6a Histogram Distribusi Lj Sumber: Magrab (1975)
Gambar 2.6b Poligon Distribusi Persentase Kumulatif Sumber: Magrab (1975) 17
2.2.8 Sound Level Meter Sound level meter adalah alat ukur bunyi yang sering dipakai dalam pengukuran tingkat kebisingan. Ada beberapa jenis Sound Level Meter antara lain: 1. Sound Level Meter dari Bruel dan Kjaer, Copenhagen, Denmark seperti terlihat pada Gambar 2.7 berikut ini
Gambar 2.7 Berbagai tipe Sound Level Meter dari Bruel and Kjaer Sumber: Wilson (1989). 2. Sound Level Meter dari General Radio Company, West Concord, Mass, Tipe 155-C seperti terlihat pada Gambar 2.8
Gambar 2.8 Sound Level Meter dari General Radio Company Tipe 155-C Sumber: Beranek (1960)
Sound Level Meter pada Gambar 2.7 dan 2.8 terdiri dari mikrofon, penguat/amplifier, dan instrumen keluaran (output) yang mengukur tingkat tekanan bunyi efektif dalam desibel. 18
Untuk mengukur bunyi atau bising secara fisik dan juga untuk menghubungkan pengukuran dengan reaksi subyektif, Sound Level Meter menyediakan tanggapan frekuensi yang berbeda-beda dengan memasukkan jala-jala pembobot yang ditandai dengan A, B dan C seperti terlihat pada Gambar 2.9 di bawah (Doelle, 1993). Masing-masing bobot ini mempunyai kepekaan berubah terhadap frekuensi sendiri-sendiri. Bobot A dinyatakan dalam dBA, mempunyai kurva kekerasan bunyi pada tingkat tekanan bunyi rendah. Pada bobot B, untuk tingkat tekanan bunyi menengah dan bobot C, untuk tekanan bunyi tinggi.
Gambar 2.9 Respon A,B,C pada Sound Level Meter standar. Sumber : Akustik Lingkungan (Doelle, 1993)
19
2.3 Pengenalan Alat dan Perangkat Survai Alat-alat dan perangkat yang digunakan dalam survai antara lain: 1. Laptop Dahulu istilah laptop berbeda dengan notebook ditinjau dari segi ukuran, namun sekarang laptop atau notebook mengacu ke maksud yang sama, yaitu komputer yang mudah dibawa-bawa yang terintegrasi langsung dengan monitor, keyboard, mouse, processor, harrdisk, memory dengan ukuran yang kecil dan ringan.
Gambar 2.10 Notebook Sumber: www.itechnews.net (2011) 2. Kamera Video/Handycam Untuk menangkap gambar lalu lintas diperlukan kamera sebagai perekam gambar. Terdapat berbagai macam kamera video yang beredar dipasaran. masing-masing produk memiliki kelebihan dan kekurangan. Handycam merupakan salah satu alat perekam gambar yang didesain dengan bentuk yang minim namun kaya fitur atau fasilitas pendukung. Media perekam handycam sendiri ada 3 jenis antara lain; kaset tape berukuran pita 8 mm, kepingan cd dengan format DVD (MPEG layer-2) dan harddisk. Untuk mengetahui jenis yang paling sesuai untuk kegiatan survai harus dengan memperhatikan bagianbagian penting dari handycam itu sendiri.
20
Gambar 2.11 Handycam Sumber: www.itechnews.net (2012) 3.
Tiang Penyangga Kamera Video/Tripod Tripod berfungsi untuk meletakkan handycam/kamera video/cctv. Gunakan
tripod yang mencapai ketinggian diatas 1,5 meter atau lebih supaya memudahkan surveyor dalam pengaturan ketinggian kamera. Semakin tinggi kamera dari muka tanah akan menghasilkan sudut tangkapan yang lebih jauh dan lebar.
4.
Arus Listrik Listrik mutlak diperlukan untuk menjalankan survai dengan menggunakan
kamera, mengingat survai digital sebagaian besar menggunakan perangkat elektronik. Terdapat dua jenis arus listrik, antara lain:
a. Arus Searah/ Direct Current (DC) Adalah arus listrik yang setiap saat pasti mempunyai satu arah saja. Arus searah ini dapat terjadi dengan cara menghubungkan sirkuit dengan sumber tegangan searah. Misalnya generator, baterai, accu.
Gambar 2.11 Generator atau genset Sumber: http://www.listrik.jw.lt/Arus%20Listrik (2012)
21
b. Arus Bolak-balik/ Alternating Current (AC) Adalah arus listrik yang setiap saat dapat berubah terhadap fungsi sinus. Arus bolak - balik dapat terjadi dengan cara menghubungkan sirkuit dengan sumber teganan bolak - balik. Misalnya tegangan listrik dari PLN.
5.
Pelindung alat dan sambungan kabel : Untuk melindungi alat-alat survai dari gangguan cuaca buruk seperti hujan
dan debu surveyor wajib menyediakan alat-alat pelindung antara lain: a. Plastik transparan ukuran 1 kilogram : plastik transparan dapat dimanfaatkan untuk membungkus sambungan kabel. b. Tas plastik : dapat digunakan untuk membungkus kotak kabel yang berukuran besar (kabel rol, charger). c. Lakban : digunakan untuk merekatkan bungkusan kabel supaya air tidak dapat masuk ke celah-celah plastik.
6.
Alat Perlengkapan Alat perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan survai, antara lain: a. Alat tulis : untuk mencatat proses lapangan (kendala yang terjadi selama survai). b. Kamera foto digital : untuk mendokumentasikan kegiatan. c. Roll meter : untuk pengukuran titik pengamatan. d. Senter : untuk menerangi kegiatan persiapan pemasangan kabel-kabel dalam kondisi gelap. e. Jas hujan : dipakai untuk melindungi surveyor dari hujan. f. Meja kecil : untuk alas laptop. g. Tenda modifikasi: untuk meletakkan alat-alat survai. Tenda modifikasi dapat dibuat dari terpal dan jas hujan. h. Tiang yang dilengkapi bendera berwarna kontras (merah atau kuning) yang digunakan untuk patok atau batas.
22
2.5
Analisis Regresi Penelitian adalah merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam penelitian, biasanya peneliti melakukan pengukuran terhadap keberadaan suatu variabel dengan menggunakan instrumen penelitian. Setelah itu mungkin peneliti melanjutkan analisis untuk mencari hubungan satu variabel dengan variabel yang lain (Sugiono, 2005). Regresi atau korelasi adalah metode yang dipakai untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih. Kedua metode regresi maupun korelasi sama-sama dipakai untuk mengukur derajat hubungan antarvariabel yang bersifat korelasional atau bersifat keterpautan atau ketergantungan. Penggunaan regresi adalah sebagai pengukur bentuk hubungan, dan korelasi adalah sebagai pengukur keeratan hubungan antarvariabel. Kedua cara pengukur hubungan tersebut mempunyai cara perhitungan dan syarat penggunaannya masing-masing. Penjelasan mengenai perbedaan antara regresi dan korelasi dalam pemakaiannya atau penerapannya terletak pada:
2.5.1. Regresi Regresi adalah pengukur hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan dengan bentuk hubungan atau fungsi. Untuk menentukan bentuk hubungan (regresi) diperlukan pemisahan yang tegas antara variabel bebas yang sering diberi simbul X dan variabel tak bebas dengan simbul Y. Pada regresi harus ada variable yang ditentukan dan variabel yang menentukan atau dengan kata lain adanya ketergantungan variabel yang satu dengan variabel yang lainnya dan sebaliknya. Kedua variabel biasanya bersifat kausal atau mempunyai hubungan sebab akibat yaitu saling berpengaruh. Sehingga dengan demikian, regresi merupakan bentuk fungsi tertentu antara variabel tak bebas Y dengan variabel bebas X atau dapat dinyatakan bahwa regresi adalah sebagai suatu fungsi Y = f(X). Bentuk regresi tergantung pada fungsi yang menunjangnya atau tergantung ada persamaannya.
23
2.5.2. Korelasi Korelasi adalah pengukur hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan dengan derajat keeratan atau tingkat hubungan antarvariabelvariabel. Mengukur derajat hubungan dengan metode korelasi yaitu dengan koefisien korelasi r. alam hal ini, dengan tegas dinyatakan bahwa dalam analisis korelasi tidak mempersoalkan apakah variabel yang satu tergantung pada variabel yang lain atau sebaliknya. Jadi metode korelasi dapat dipakai untuk mengukur derajat hubungn antarvariabel bebas dengan variabel bebas yang lainnya atau antar dua variabel.
2.5.3 Uji keberartian koefisien regresi (bi) atau uji t Pengujian yang dilakukan dengan uji F seperti cara tersebut di atas, dapat memberikan petunjuk apakah setiap variabel X menunjukkan pengaruh atau hubungan yang nyata terhadap variabel tak bebas Y. Jika uji F atau uji ragam regresi menunjukkan bahwa Fhit > F(tabel 5%) barulah dilanjutkan dengan uji t dan sebaliknya. Modifikasi dari pengaruh variabel bebas X terhadap variabel tak bebas Y atu uji F, maka dapat dilakukan dengan uji t atau uji koefisien regresi apabila uji F signifikan. Secara umum uji t mempunyai rumus adalah:
W SW W nilai yang diuji, sehingga untuk pengujian koefisien regresi (bi), maka t-hitung W =
rumusnya menjadi: t-hitung b0 =
b0 b dan t-hitung b1 = 1 dimana Sb1 = salah baku b1 S b0 S b1
Dari persamaan [2.29] dalam menyederhakan penulisan salah baku koefisien regresi bi yang biasa ditulis dengan σBi (salah baku = standard error koefisien regresi Bi). Perhitungan nilai σBi didasarkan pada ragam galat regresi atau KT Galat Regresi. Karena besarnya nilai σ2 e (Ragam Galat Regresi) populasi tidak diketahui, maka dapat diduga dengan nilai S2 e atau KT Galat Regresi sampel yang mempunyai persamaan yaitu: [2.30]. S2e = KT Galat Regresi = JK Galat Regresi /(n-p-1)
24
Selanjutnya, dalam uji t nilai salah baku bi yang ditulis (Sbi) mempunyai persamaan seperti berikut: [2.31]. Sbi =
var bi masing-masing untuk b0 dan b1 menjadi:
Untuk pengujian b0 nilai salah baku menjadi: [2.32a]. Sb0
=
var b
=
KT Galat regresi n JK X
X 2
Untuk pengujian b1 nilai salah baku menjadi: [2.32b]. Sb1
=
var b1
KT Galat regresi = JK X Seperti dalam uji F, penulisan t-hitung dapat ditulis dengan notasi thit (artinya uji t untuk pengujian hipotesis nol atau H0: bi = 0 dan H1: minimal satu dari bi ≠ 0). Kemudian t-hitung dibandingkan dengan t tabel yang biasa ditulis dengan: thitung ≈ ttabel
(Di mana ttabel = t(α/2,n-2) dan α = taraf nyata )
Berdasarkan hasil uji t ternyata bahwa kreteria pengujian nilai t hit adalah: 1). Jika thit ≤ t(tabel 5%, db galat). Hal ini dapat dikatakan bahwa terima H0. Untuk pengujian b0 yang berarti bahwa b0 melalui titik acuan (titik 0,0) yaitu nilai Y = 0 jika X = 0. Untuk b1, jika t hit ≤ t(tabel 5%, db galat) maka garis regresi penduga Ŷ dikatakan sejajar dengan sumbu X pada nilai b0. 2). Jika thit > t(tabel 5%, db galat) Hal ini dikatakan bahwa tolak H0, yang berarti bahwa garis regresi penduga Ŷ tidak melalui titik acuan (X,Y = 0,0). Dengan kata lain, ini berarti bahwa koefisien arah b1 yang berangkutan dapat dipakai sebagai penduga dan peramalan yang dapat dipercaya. Pengujian yang dilakukan dengan cara tersebut di atas, dapat memberikan petunjuk apakah setiap variabel Xi memberikan pengaruh atau hubungan yang nyata terhadap variabel tak bebas Y. Perlu diingatkan bahwa dalam pengujian di atas (baik uji F maupun uji t), didasarkan metode kuadrat terkecil. Selanjutnya, nilai salah baku koefisien regresi Sbi yang diperoleh, selain untuk pengujian hipotesis juga dapat dipakai pada 25
perkiraan nilai interval koefisien regresi populasi βi yang sering disebut dengan perkiraan nilai populasi beta (β).
2.5.4 Uji keeratan hubungan atau uji r Pada uji-uji sebelum ini, seperti uji Ragam Regresi (uji F), uji Koefisien Regresi (uji t) berdasarkan nilai Varians Galat Regresi. Sedangkan, pada uji keeratan hubungan selain memakai Varians Galat Regresi juga memakai parameter tertentu yaitu koefisien korelasi atau sering disebut dengan keeratan hubungan dengan simbul rxy atau ryx yang sering ditulis dengan r saja. Berdasarkan hasil uji r ternyata bahwa kreteria pengujian nilai rhitung adalah: 1). Jika rhitung ≤ r(tabel
5%, db galat)
Hal ini dapat dikatakan bahwa tidak
terdapat hubungan linier atau korelasi sederhana antara variable yang satu dengan variabel yang lainnya. 2). Jika rhitung > r(tabel
5%, db galat)
Hal ini dikatakan bahwa tolak H0, yang
berarti bahwa terdapat hubungan linier atau korelasi sederhana antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. Yang lebih penting dalam pembicaraan hubungan antara koefisien korelasi r; koefisien regresi b1; atau dengan garis regresi penduga Ŷ adalah parameter r2 yang dalam persamaan regresi sering ditulis dengan R2 yang disebut dengan koefisien determinasi atau koefisien penentu atau coeficien of determination. Arti dari pada koefisien determinasi atau koefisien penentu (R2) adalah suatu nilai yang menunjukkan bahwa persentase dari variasi keragaman total Y atau variasi Y yang dapat diterangkan oleh variasi X. Atau sering diartikan bahwa koefisien determinasi R2 adalah persentase dari variabel tak bebas Y yang dipengaruhi oleh variabel bebas X. Sisanya 1 - R2 yang menunjukkan persentase dari variasi total atau variabel Y yang disebabkan oleh faktor lain diluar X atau variabel selain X.
26
2.5.5 Analisis Regresi Linier Berganda Metode analisis regresi linier berganda digunakan untuk tujuan untuk mendapatkan koefisien regresi yang menyatakan hubungan antara variabel terikat (tingkat kebisingan/L10, L50, L90,Leq) dengan variabel bebas (Kendaraan ringan, sepeda motor dan kendaraan berat) hubungan tersebut dapat ditulis debagai berikut : Y = A0 + A1.X1 + A2.X2 + A3.X3 ...............................................................(2.5) Keterangan : Y
= Tingkat kebisingan (L10, L50, L90, Leq)
A0
= Konstanta
A1, A2, A3
= Koefisien variabel bebas
X1
= Volume sepeda motor
X2
= Volume kendaraan ringan
X3
= Volume kendaraan berat
2.6
Langkah – Langkah Analisis Regresi Linier dengan Metode Enter pada Program SPSS 17.0 for Windows. Nilai ekivalensi kebisingan kendaraan dapat diketahui dengan
menggunakan analisis regresi linier pada program SPSS 17.0 for Windows. Langkah-langkah kerja dengan metode enter pada program SPSS 17.0 for Windows, sebagai berikut : a. Memasukkan data Langkah kerja :
Buka lembar kerja baru Dari menu file, pilih menu new. Lalu klik Data. SPSS siap membuat variabel baru yang diperlukan.
Menamai variabel dan properti yang diperlukan Langkah berikutnya adalah membuat nama untuk setiap variabel baru, jenis data dan sebagainya. Untuk itu klik tab sheet Variabel View yang ada di bagian kiri bawah, atau langsung tekan CTRL+T.
b. Mengisi data
27
Klik tab sheet Data View, setelah itu letakkan pointer pada baris pertama variabel yang telah dimasukkan. Kemudian isi data sesuai kasus dan simpan data. c. Pengolahan data dengan metode Enter
Buka lembar kerja baru sesuai kasus.
Dari menu utama SPSS, pilih menu Analyze, kemudian pilih sub menu Regression.
Dari serangkaian pilihan test untuk regresi, sesuai kasus pilih Linier. Klik pilihan tersebut.
Pengisian. -
Pada Dependent atau variabel tidak bebas, pilih variabel tidak bebas yang dicari. Dalam studi ini, variabel tidak bebas yang diambil adalah tingkat kebisingan kendaraan yang dalam penelitian ini adalah tingkat kebisingan kendaraan pada Ruas Jalan Prof. DR IB Mantra dengan kelandaian memanjang 2,3%.
-
Pada Independent (s) atau variabel bebas, pilih variabelvariabel bebasnya. Dalam studi ini variabel bebas yang akan dipergunakan adalah volume kendaraan sepeda motor, volume kendaraan ringan dan kendaraan berat. Untuk mengisi keterangan kasus atau Case Label pilih No. Form.
Pilih kolom Option dengan mengklik pilihan tersebut . Pengisian : -
Untuk Stepping Method Criteria, digunakan uji F yang mengambil standard angka probabilitas 5%. Oleh karena itu angka Entry 0,05 atau 5% dipilih.
-
Pilihan Include constant in equation atau menyertakan konstanta tetap dipilih.
-
Penanganan Missing Value atau data yang hilang, digunakan default dari SPSS, yaitu Exclude cases pairwise. NB : Data kasus tidak ada yang hilang Klik Continue untuk meneruskan.
28
Pilih kolom statistic. Perhatikan default yang ada di SPSS adalah Estimate dan Model Fit. Pengisian : -
Regression Coefficient atau perlakuan koefisien regresi, pilih default atau Estimate.
-
Klik pilihan Descriptives, Collinearity Diagnostics dan Model Fit.
Pilihan Residuals dikosongkan.
Pilih kolom Plots atau berhubungan dengan gambar /grafik untuk regresi. Pilih Normal Probability Plot. Klik Continue untuk meneruskan. Tekan Ok untuk mengakhiri pengisian prosdur analisis. Terlihat SPSS melakukan pekerjaan analisis dan terlihat pada output SPSS. Simpan Output.
Pada saat menentukan nilai ekivalensi kebisingan masing-masing kendaraan model yang digunakan adalah standardized coefficients dengan konstantanya nol.
2.7
Penelitian yang Telah Dilaksanakan Oleh Rai Dwipa (2009) yang berjudul “Analisis Tingkat Kebisingan Akibat
Lalu Lintas Kendaraan Bermotor (Studi Kasus di Jalan Raya Kapal, Mengwi, Badung”. memperoleh model matematis Y= 37,271 + 0,129.X1 + 0,210.X2 + 0,027.X3 dengan R² = 0,878 dan nilai ekivalensi untuk sepeda motor (SM) adalah 0.129, kendaraan ringan (KR) 0.210, dan kendaraan berat (KB) 0.027. Analisis tingkat polusi bising di Jalan Raya Kapal menunjukkan nilai 86,59 dBA, yaitu pada tingkat keras yang diakibatkan oleh lalu lintas yang ramai.
29