BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terkait Terdahulu Penelitian ini, merupakan kelanjutan dari penelitian yang telah penulis lakukan pada pendidikan strata-1 di Univeritas Sriwijaya Jurusan Teknik Sipil, yaitu berupa skripsi yang berjudul Perencanaan Pondasi Untuk Tower Listrik Tegangan Tinggi Pada Line Plaju-Mariana-Borang (Kusnadi, 1996). Pada penelitian tersebut tidak direncanakan titik-titik lokasi tower dan dimensi pondasi dihitung secara manual. Penelitian ini selain digunakan sistem pakar, juga dibuat untuk merencanakan titik-titik lokasi dalam satu line transmisi dan dimensi pondasinya. Selain penelitian tersebut, terdapat juga penelitian yang terkait dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Bagio (1996). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian Bagio ruang lingkup penelitian adalah untuk mendisain satu buah struktur rangka tower untuk komunikasi, sehingga beban yang bekerja pun berbeda, seperti pada beban vertikal tidak adanya berat kawat penghantar dan berat isolator. 2.2 Saluran Transmisi Jenis arus listrik yang dapat dibangkitkan oleh pembangkit listrik, yaitu sistem arus bolak balik AC (alternating current) dan sistem arus searah DC (direct current). Penyaluran tenaga listrik dengan sistem arus searah baru dianggap ekonomis bila panjang saluran udara lebih dari 640 km atau saluran bawah tanah lebih panjang dari 50 km (Elektro Indonesia, 2000). Komponenkomponen utama dari saluran transmisi terdiri dari : -
menara transmisi atau tiang transmisi beserta pondasinya;
-
isolator-isolator;
-
kawat penghantar (conductor);
-
kawat tanah (ground wires).
Perencanaan saluran udara tegangan tinggi terdiri dari : -
survey, pengukuran dan pemetaan rute dari saluran;.
-
pengujian tanah tempat menara-menara;
-
perencanaan dari menara;
-
penentuan dari jarak-jarak antara kawat-kawat;
-
pemilihan kawat (konduktor) yang ekonomis;
-
penentuan jumlah isolator;
-
perhitungan tegangan tarik dan andongan. Panjang saluran transmisi adalah jarak yang menghubungkan dari satu titik
ke titik lainnya atau dari pusat pembangkit sampai pada pusat beban, untuk mentransmisikan listrik. Panjang gawang (jarak antar tower) adalah jarak rencana antar satu tower dengan tower berikutnya, dengan jarak gawang dasar 265 m (SPLN,1996). Untuk menghitung jumlah tower secara ideal, artinya berupa satu garis lurus dari pusat pembangkit ke pusat beban dalam satu saluran adalah sebagai berikut : Jumlah tower =
rencana panjang saluran + 1 ............................................ (1) rencana panjang gawang
Koordinat titik yang didapat dalam koordinat cartesius, jika rencana panjang gawang di notasikan Y dan rencana panjang saluran dinotasikan L adalah (0,Y), (0,2Y), (0,3Y),..., (0,L), akan tetapi dalam aplikasi lapangannya tidak demikian, bisa saja berupa titik-titik dengan lokasi yang tidak beraturan, karena disesuaikan dengan kondisi lapangan. 2.3 Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Pembangunan pusat pembangkit dengan kapasitas produksi energi listrik yang besar : PLTA, PLTU, PLTGU, PLTG, PLTP memerlukan banyak persyaratan, terutama masalah lokasi yang tidak selalu bisa dekat dengan pusat beban seperti kota, kawasan industri dan lainnya. Akibatnya tenaga listrik tersebut harus disalurkan melalui sistem transmisi yaitu : - saluran transmisi, yaitu saluran udara, saluran kabel, saluran gas;
- gardu Induk; - saluran Distribusi. Saluran transmisi Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) adalah sarana di udara untuk menyalurkan tenaga listrik berskala besar dari pembangkit ke pusatpusat beban dengan menggunakan tegangan tinggi maupun tegangan ekstra tinggi. Macam saluran udara yang ada di sistem ketenagalistrikan PLN P3B Jawa Bali antara lain : - Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kV; - Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV; - Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV. Tenaga listrik yang disalurkan lewat sistem transmisi umumnya menggunakan kawat telanjang sehingga mengandalkan udara sebagai media isolasi antara kawat penghantar tersebut dengan benda sekelilingnya. Tower adalah konstruksi bangunan yang kokoh, berfungsi untuk menyangga/merentang kawat penghantar dengan ketinggian dan jarak yang cukup agar aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Antara tower dan kawat penghantar disekat oleh isolator. Menurut bentuk konstruksi ada beberapa jenis tower, yaitu : - lattice tower; - tabular steel pole; - concrete pole; - wooden pole. Lattice Tower merupakan jenis konstruksi SUTT yang paling banyak digunakan di jaringan PLN karena mudah dirakit terutama untuk pemasangan di daerah pegunungan dan jauh dari jalan raya. Namun demikian perlu pengawasan yang intensif karena besi-besinya rawan terhadap pencurian. Tower harus kuat terhadap beban yang bekerja padanya yaitu : - gaya berat tower dan kawat penghantar (gaya tekan); - gaya tarik akibat rentangan kawat; - gaya angin akibat terpaan angin pada kawat maupun badan tower. Menurut fungsinya, tower dibagi menjadi beberapa jenis :
- Dead end tower, yaitu tiang akhir yang berlokasi di dekat Gardu Induk, tower ini hampir sepenuhnya menanggung gaya tarik. - Section tower, yaitu tiang penyekat antara sejumlah tower penyangga dengan sejumlah tower penyangga lainnya karena alasan kemudahan saat pembangunan (penarikan kawat), umumnya mempunyai sudut belokan yang kecil. - Suspension tower, yaitu tower penyangga, tower ini hampir sepenuhnya menanggung gaya berat, umumnya tidak mempunyai sudut belokan. - Tension tower, yaitu tower penegang, tower ini menanggung gaya tarik yang lebih besar daripada gaya berat, umumnya mempunyai sudut belokan. - Transposision tower, yaitu tower tension yang digunakan sebagai tempat melakukan perubahan posisi kawat fasa guna memperbaiki impendansi transmisi. - Gantry tower, yaitu tower berbentuk portal digunakan pada persilangan antara dua saluran transmisi. Tiang ini dibangun di bawah saluran transmisi existing. - Combined tower, yaitu tower yan digunakan oleh dua buah saluran transmisi yang berbeda tegangan operasinya. Tabel 1. Tipe Tower TYPE TOWER
FUNGSI
SUDUT
Aa
Suspension
0o – 3 o
Bb
Tension/Section
3 o – 20 o
Cc
Tension
20 o - 60 o
Dd
Tension
60 o - 90 o
Ee
Tension
> 90 o
Ff
Tension
> 90 o
Gg
Transposisi
Sumber : PLN (2007) Dengan adanya banyak beban yang bekerja pada tower, maka ada dua kombinasi pembebanan yaitu, kondisi normal dan kondisi abnormal.
2.3.1
Beban Yang Bekerja Pada SUTT Kondisi Normal Kondisi normal adalah kondisi di mana tower tidak mengalami penambahan
beban yang ekstrem, dalam hal ini beban itu adalah adanya kawat yang putus. 1. Beban Vertikal a. Beban Sendiri Menara Untuk menghitung berat sendiri menara perlu diketahui panjang masingmasing batang dan berat per meter dari profil tersebut. Berat sendiri batang itu diperoleh dengan cara mengalikan panjang batang dengan berat profil, kemudian seluruh berat tersebut dijumlahkan maka akan didapatkan berat sendiri menara. b. Berat Kawat Penghantar per jarak menara : Jenis kawat penghantar yang dipakai adalah jenis kawat ACSR, dengan datadata sebagai berikut : Tabel 2. Ketentuan Kawat Penghantar dan Penangkal Petir Fungsi Kawat • Jenis • Luas Penampang • Diameter Penampang • Berat Kawat/m’
Penghantar
Penangkal Petir
(Konduktor)
(Ground Wire)
ACSR
Steel Wire
153,79 mm2
52,29 mm2
16,1 mm
9,6 mm
0,5357 kg/m’
0,444 kg/m’
1300 kg
1000 kg
6 Buah
2 buah
• Tarikan Maksimum Kawat yang diijinkan • Jumlah Kawat Yang Dipasang Sumber : Kusnadi (1996) Berat kawat penghantar per jarak menara : jarak menara x berat kawat penghantar (konduktor) ...................... (2) c. Berat kawat penangkal petir
jarak menara x berat kawat penangkal petir (ground wire) ............ (3) d. Berat isolator, alat-alat dan orang per kawat - berat isolator 100 kg; - berat orang 70 kg. 2. Beban Horizontal a. Tekanan Angin Pada Menara Untuk konstruksi rangka ruang dengan penampang melintang berbentuk persegi dengan arah angin tegak lurus pada salah satu bidang rangka, koefisien angin untuk rangka pertama dipihak angin adalah + 1,6 dan untuk rangka kedua di belakang angin adalah + 1,2 (Gambar 1).
Gambar 1. Tekanan Angin Pada Menara (Cipta Karya, 1969)
maka : Wa = 1,6 x W = 1,6W kg/m2 Wa’ = 1,2 x W = 1,2W kg/m2 W = tekanan angin kg/m2 b. Tekanan angin pada konduktor dan ground wire
jarak menara x diameter kawat penghantar (konduktor) x W ................... (4) c. Tekanan angin pada ground wire. jarak menara x diameter kawat penangkal petir x W ............................... (5) 2.3.2
Beban Yang Bekerja Pada SUTT Kondisi Abnormal Kondisi abnormal adalah tower mengalami beban ekstrem, yaitu adanya
kawat putus baik kawat penghantar ataupun kawat penangkal petir. 1. Beban Vertikal Beban yang diperhitungkan sama dengan beban normal ditambah dengan beban kondisi tidak setimbang. - berat sendiri menara; - berat kawat ACSR per jarak menara; - berat kawat penangkal petir; - berat isolator, alat-alat dan orang per kawat. 2. Beban Horizontal Beban yang diperhitungkan sama dengan beban normal ditambah adanya beban akibat kawat putus. a. Tekanan angin pada menara. b. Tekanan angin pada kawat penghantar dan kawat penangkal petir. c. Komponen horizontal akibat putusnya kawat penghantar dan kawat penangkal petir. 3. Perhitungan Beban Pada Batang Tranverse Beban-beban yang bekerja pada tranverse adalah : a. Beban Vertikal b. Beban horizontal - tekanan angin pada kawat penghantar; - akibat kawat ACSR putus; - tekanan angin pada isolator.
2.4 Daya Dukung Tanah Dasar Kekuatan daya dukung tanah dasar adalah, kekuatan tanah dasar untuk menerima beban yang bekerja diatasnya. Tanah sebagai tempat tumpuan pondasi memiliki kekuatan yang besarnya berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman lapangan, tanah dasar dapat diklasifikasikan : Tabel 3. Klasifikasi Tanah Dasar No
Klasifikasi Tanah Dasar
1
Tanah bagus
2 3 4
Tanah Baik Tanah Sedang Tanah Jelek
5
Tanah Jelek Sekali
Jenis Tanah Dasar
-
Tanah pasir berbatu Tanah pasir berkerikil Tanah pasir Tanah liat atau silt Tanah liat atau silt mengandung tanah organik - Tanah rawa/veen - Tanah lumpur
σt kg/cm2 (Kekuatan Tanah Dasar Yang DiperBolehkan) + 9 Kg/cm2 + 2,75 Kg/cm2 + 1,75 Kg/cm2 + 1,25 Kg/cm2
Sumber : Soedarsono (1985) 2.5 Tekanan Angin Untuk mengetahui besarnya tekanan angin, harus dilakukan pengukuran di lokasi, atau jika tidak dilakukan pengukuran, dapat ditentukan dengan memakai Peraturan Muatan Indonesia 1970 N.1 -18 yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Direktorat Jenderal Cipta Karya, yaitu : -
Pasal 4.1 Mengenai Penentuan Muatan Angin Muatan angin diperhitungan dengan menganggap adanya tekanan positif dan tekanan negatif (isapan), yang bekerja tegak lurus pada bidang-bidang yang ditinjau. Besarnya tekanan positif dan tekanan negatif ini dinyatakan dalam kg/m2, ditentukan dengan mengalikan tekanan tiup (velocity presssure) yang ditentukan dalam pasal 4.2, dengan koefisien-koefisien angin yang ditentukan dalam pasal 4.3, kecuali mengenai yang ditentukan dalam pasal 4.6 (khusus mengenai jembatan).
-
Pasal 4.2 Mengenai Tekanan Tiup i. Tekanan tiup harus diambil minimum 25 kg/m2, kecuali yang ditentukan dalam ayat-ayat (2), (3) dan (4). ii. Tekanan tiup di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m2, kecuali ditentukan dalam ayat-ayat (3) dan (4).
2.6 Pengertian Pondasi Pondasi bangunan biasanya dibedakan menjadi dua, tergantung dari perbandingan kedalaman pondasi dengan lebar pondasi, secara umum digunakan patokan (Gambar 2):
Gambar 2. Kedalaman dan Lebar Pondasi (Gunawan,1996) -
Jika kedalaman dasar pondasi dari muka tanah adalah kurang atau sama dengan lebar pondasi (D < B) maka disebut pondasi dangkal.
-
Jika kedalaman pondasi dari muka tanah adalah lebih dari lima kali lebar pondasi (D > 5B) maka disebut pondasi dalam. Untuk berat bangunan relatif tidak besar, maka biasanya cukup digunakan
pondasi dangkal yang disebut pondasi langsung (spread footing), yaitu dengan memperlebar bagian bawah dari kolom atau dinding bangunan., sehingga beban bangunan disebarkan (spread) menjadi desakan yang lebih kecil dari pada daya dukung tanah yang diijinkan. Kedalaman pondasi langsung makin dangkal akan semakin murah dan semakin mudah pelaksanaannya, tetapi ada beberapa faktor yan harus diperhatikan :
-
Dasar pondasi harus terletak di bawah lapisan tanah teratas (top soil) yang mengandung humus/bahan organik/sisa tumbuh-tumbuhan.
-
Kedalaman tanah urug (sanitary land fill) atau tanah lunak lain (peat, muck).
-
Kedalaman tanah yang dipengaruhi sifat retak-retak atau kembang susut.
-
Kedalaman muka air tanah.
-
Letak dan kedalaman pondasi bangunan lama yang berdekatan. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka kedalaman dasar
pondasi langsung di Indonesia biasanya diletakkan antara kedalaman 0,60 m sampai 3,00 m di bawah muka tanah (Gunawan, 1990). Pondasi langsung menurut bentuk konstruksinya biasanya dibagi menjadi empat macam : 1. Pondasi menerus (Continuous footing). 2. Pondasi telapak (Individual footing). 3. Pondasi kaki gabungan (Combined footing). 4. Pondasi plat (Mat footing/Raft footing). Pondasi yang digunakan tower SUTT adalah pondasi telapak kombinasi dengan pondasi sumuran. Untuk dapat menghitung dimensi dan pembesian pondasi tower, segala kemungkinan beban yang bekerja pada pondasi harus diperhitungkan. Beban yang bekerja pada pondasi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : -
beban sebagai akibat gaya kawat ACSR dan ground wire;
-
beban akibat ground wire putus dan satu kawat penghantar ACSR putus,;
-
beban akibat angin pada kawat;
-
beban akibat angin pada menara dan beban akibat berat sendiri menara.
2.7 Pondasi Strap Footing Pondasi Strap footing merupakan salah satu dari jenis pondasi telapak. Bentuk ini terbentuk pada dua kolom atau lebih bangunan dengan pondasi kaki tersendiri yang dihubungkan dengan balok penghubung (strap-beam), sehingga kedua pondasi bekerja bersama-sama sebagai suatu pondasi gabungan, untuk itu balok penghubung harus kuat memikul momen yang terjadi.
2.7.1 Dimensi Pondasi Footing Untuk dapat menghitung dimensi pondasi dilakukan dengan melakukan beberapa kontrol, yaitu : 1. Kontrol Terhadap Gaya Tarik Rumus : T = (Vf . Bj beton bertulang) + (Vt . Bj tanah ) > Rtarik
......................... (6)
dimana : T
= tegangan tarik yang terjadi akibat berat sendiri pondasi (kg).
Rtarik = tegangan tarik maksimum akibat beban-beban yang bekerja (kg).
Vf
= volume pondasi blok (m3).
Bj beton bertulang = 2400 kg/cm2 (yang digunakan dalam penelitian ini). Vt = volume tanah diatas pondasi (m3). Bj tanah kohesif = 2000 kg/m3 . Bj tanah non kohesif = 2300 kg/m3. 2. Kontrol Terhadap Daya Dukung Pondasi Rumus yang dipakai (Kusnadi, 1996) :
A =
Nu .............................................................. (7) qα
dimana : A = luas pembebanan efektif (cm2). Nu = beban aksial rencana pondasi. (kg). qα = daya dukung tanah yang diijinkan (kg/cm2), berdasarkan tabel berikut: Tabel 4. Kriteria qα
Jenis Tanah Pondasi Sangat Tanah Keras Pondasi Keras Kohesif Sedang Sumber : Suyono (1994)
qα Bila Ada Gempa (kg/cm2)
qα Biasa (kg/cm2)
2
3
1 0,5
1,5 0,75
Harga Rata-Rata Nilai qu N 15 – 30 2-4 8 -15 4–8
1 -2 0,5 - 1
2.7.2 Pembesian Pondasi Strap Footing
Penulangan pondasi sesuai dengan syarat-syarat Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBBI) 1971 dan perhitungan dengan cara “n” (Wang, 1993). 1. Pembesian Pelat Pondasi A =
Nu q pondasi
............................................................ (8)
dimana : A = luas telapak pondasi (cm2). Nu = beban aksial rencana pondasi. (kg). qpondasi = tegangan pada pondasi (kg/cm2). Momen yang terjadi pada pondasi : M = ½ q L2 ...........................................................(9) dimana : M = momen pada pondasi (kg.cm). qpondasi = tegangan pada pondasi (kg/cm2). L = panjang cabang penahan geser diukur dari pusat beban terpusat (cm). K=
M .......................................................... (10) b . h2
dimana : K
= perbandingan antara kekakuan cabang penahan geser dan kekakuan penampang komposit sekitar penahan geser dengan lebar (kg/cm2).
b
= lebar pondasi (cm).
h
= tebal pondasi (cm). nω = n . K ....................................................... (11) σa
dimana : n = jumlah besi. ω = koefisien tulangan tarik.
σa = tegangan tarik baja.
Luas penampang pembesian : A = nω/n . b .h ...................................................... (12) dimana : A = luas penampang besi. 2. Pembesian Kolom Dipakai pembesian minimum : F besi minimum = 1% . F beton ........................................ (13) 3. Pembesian Balok Strap
σa .......................................................... (14) n .σ b
∅=
dimana : ∅ = koefisien pada penentuan kekuatan beton.
σa = tegangan tarik baja. σb = kekuatan tekan beton. Ca =
h n.M b .σ a
............................................................ (15)
dimana : Ca = koefisien pada perhitungan penampang. 2.8 Pondasi Sumuran
Pondasi sumuran adalah sebuah poros yang diborkan kedalam tanah, kemudian diisi dengan beton. Poros tersebut dapat dilapisi (dibungkus) dengan sebuah kulit logam (metal shell) untuk menahan poros tersebut sebelum pembetonan terjadi serta dibiarkan sebagai bagian dari sumuran, atau lapisan (pembungkus) tersebut dapat ditarik kembali lambat laun sewaktu poros diisi dengan beton. Jenis pondasi sumuran berdasarkan bentuk yang dipakai pada penelitian ini adalah sumuran ujung terbuka (Open-End Caisson). Sumuran ujung terbuka
biasanya dicor ditempat dimana sumuran akan diletakkan. Mula-mula bagian yang tajam dibuat di permukaan tanah. Ketika pengerjaan tubuh beton sudah mendekati penyelesaian, penggalian di dalam sumuran dimulai. Selama pengalian, sumur mulai terbenam. Kemudian ketika bagian atas dari tubuh sumuran terbenam dan mendekti dasar pondasi, unit sumuran yang lain mulai disambungkan. Kemudian penggalian di dalam sumuran dan penambahan tubuh sumuran diulangi, sampai sumuran berpijak pada kedalaman yang direncanakan. Akhirnya, lantai beton dasar dikerjakan, kemudian bahan-bahan (tanah dan pasir atau air) pada kaison diisikan, lalu lantai penutup diselesaikan. 2.8.1 Dimensi Pondasi Sumuran
1. Kontrol Terhadap Daya Dukung Pondasi Menurut Meyerhof untuk sumuran dengan penampang bundar (Sarjono, 1991), digunakan rumus : Qu = 40 N . Ab + 1/5 As N................................................ (16) dimana : Qu = Nu. Sf Nu = beban vertikal yang bekerja pada pondasi Sf = faktor keamanan, diambil 2,8 1 A b = .π .D 2 4 D = diameter pondasi (m). As = π 1. L L = Panjang pondasi Hubungan antara nilai qc dan nilai N menurut Miki, seperti yang terlihat dibawah ini : qc = 3N ........................................................... (17) dimana : qc = nilai konus jenis tanah setempat (kg/cm2). N = beban vertikal yang bekerja pada pondasi (kg).
2. Kontrol Terhadap Momen Guling Berdasarkan perencanaannya sumuran yang dipakai adalah tiang pendek dengan ujung atas ditahan terhadap perputaran sudut (Gambar 3).
Gambar 3. Sumuran Ujung Atas Tertahan (Cipta Karya, 1983) Langkah pertama dalam perencanaan adalah menetapkan tegangan lateral yang diijinkan. Apabila tidak ditentukan dari hasil penyelidikan tanah, tegangan lateral yang diijinkan (R) dapat diambil dari tabel 5. Tabel 5. Tegangan Tanah Lateral Yang Diijinkan Jenis Tanah
(R) kg/cm2/m’
Kerikil bergradasi baik
6500
Lempung keras padat
6500
Pasir kasar padat
5500
Pasir kasar dan halus padat
5000
Lempung setengah keras
5000
Pasir halus padat
4000
Lanau
3500
Lempung pasiran
3500
Campuran pasir dan lanau padat
3500
Lempung Lunak
1500
Campuran pasir organik sangat lunak atau lepas dan lanau, atau lumpur Sumber : Cipta Karya (1983)
0
Bila posisi tower tidak satu garis lurus dengan posisi tower berikutnya, atau dengan kata lain membentuk sudut (θ), maka pondasi tower mengalami aksi dan reaksi yang tidak sama, maka terjadi momen puntiran tambahan akibat tegangan tarik kabel transmisi 150 kv. Panjang pondasi sumuran (L) diperlukan oleh sumuran untuk menyalurkan momen luar (Mo) dan beban horizontal (Ho) akibat beban kerja dari ujung atas sumuran ke tanah sekelilingnya tanpa dilampaui tegangan lateral yang diijinkan (R). Momen puntir yang terjadi : Mu = T . D ........................................................ (18) dimana : Mu = momen puntir (kg.m) T = tegangan tarik yang terjadi akibat berat sendiri pondasi (kg). D = diamater pondasi (m). 2.8.2 Pembesian Pondasi Sumuran
Pembesian pondasi dipakai penulangan minimum (Kusnadi, 1996) dengan rumus sebagai berikut : Bila D > 80 cm, maka : 1 A g = .π .D 2 .......................................................... (19) 4 A min =
dengan syarat : Amin
1 Ag .......................................................... (20) 2
> 0,005.Ag
Amaks > 0,060.Ag dimana : A = luas penampang besi (cm2) 2.9 Sistem Pakar (Expert System)
Sistem pakar adalah suatu program komputer yang dirancang untuk mengambil keputusan seperti keputusan yang diambil oleh seorang atau beberapa orang pakar. Menurut Feigenbaum di dalam Harmon dan King yang dikutip oleh
Marimin (2005), sistem pakar adalah perangkat lunak komputer cerdas yang menggunakan pengetahuan dan prosedur inferensi untuk memecahkan masalah yang cukup rumit atau memerlukan kemampuan seorang pakar untuk memecahkannya. Dalam penyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan (inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu. Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah tertentu. 1. Modul Penerimaan Pengetahuan (Knowledge Acquisition Mode) Sistem berada pada modul ini, pada saat ia menerima pengetahuan dari pakar. Proses mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang akan digunakan untuk pengembangan sistem, dilakukan dengan bantuan knowledge engineer. Peran knowledge engineer adalah sebagai penghubung antara suatu sistem pakar
dengan pakarnya. 2. Modul Konsultasi (Consultation Mode) Pada saat sistem berada pada posisi memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh user, sistem pakar berada dalam modul konsultasi. Pada modul ini, user berinteraksi dengan sistem dengan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh sistem. 3. Modul Penjelasan(Explanation Mode) Modul ini menjelaskan proses pengambilan keputusan oleh sistem (bagaimana suatu keputusan dapat diperoleh). 2.10 Struktur Sistem Pakar
Sistem pakar terdiri dari dua bagian utama yaitu lingkungan konsultasi dan lingkungan pengembangan, dapat dilihat pada Gambar 4. Berikut ini penjelasan sebagian komponen-komponen struktur sistem pakar pada Gambar 4. 1. Antarmuka Pemakai (User Interface). Sistem Pakar mengatur komunikasi antara pengguna dan komputer. Komunikasi ini paling baik berupa bahasa
alami, biasanya disajikan dalam bentuk tanya-jawab dan kadang ditampilkan dalam bentuk gambar/grafik. 2. Subsistem Penjelasan (Explanation Facility). Kemampuan untuk menjejak (tracing) bagaimana suatu kesimpulan dapat diambil merupakan hal yang sangat penting untuk transfer pengetahuan dan pemecahan masalah. Komponen subsistem penjelasan harus dapat menyediakannya yang secara interaktif menjawab pertanyaan pengguna. 3. Mesin Inferensi (Inference Engine), merupakan otak dari Sistem Pakar. Juga dikenal sebagai penerjemah aturan (rule interpreter). Komponen ini berupa program komputer yang menyediakan suatu metodologi untuk memikirkan (reasoning) dan memformulasi kesimpulan. Kerja mesin inferensi meliputi: 4. Papan Tulis (Blackboard/Workplace), adalah memori/lokasi untuk bekerja dan menyimpan hasil sementara, biasanya berupa sebuah basis data.
Gambar 4. Struktur Sistem Pakar (Turban ,1995)
5. Basis Pengetahuan, berisi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami, memformulasi, dan memecahkan masalah. Basis pengetahuan tersusun atas dua elemen dasar: -
Fakta, misalnya: situasi, kondisi, dan kenyataan dari permasalahan yang ada, serta teori dalam bidang itu
-
Aturan, yang mengarahkan penggunaan pengetahuan untuk memecahkan masalah yang spesifik dalam bidang yang khusus
6. Sistem Penghalusan Pengetahuan (Knowledge Refining System). Seorang pakar mempunyai sistem penghalusan pengetahuan, artinya, mereka bisa menganalisa sendiri performa mereka, belajar dari pengalaman, serta meningkatkan pengetahuannya untuk konsultasi berikutnya. Pada Sistem Pakar, swa-evaluasi ini penting sehingga dapat menganalisa alasan keberhasilan atau kegagalan pengambilan kesimpulan, serta memperbaiki basis pengetahuannya. 2.11 Representasi Pengetahuan
Representasi pengetahuan adalah suatu teknik untuk merepresentasikan basis pengetahuan yang diperoleh ke dalam suatu skema/diagram tertentu sehingga dapat diketahui relasi/keterhubungan antara suatu data dengan data yang lain. Teknik ini membantu knowledge engineer dalam memahami struktur pengetahuan yang akan dibuat sistem pakarnya. Menurut Firebaugh (1989), terdapat empat metode untuk representasikan pengetahuan, yaitu : -
Jaringan semantik (sematic network) Pengetahuan diorganisasikan dengan menggunakan jaringan yang disusun oleh dua komponen dasar, yaitu node dan arc. Node menyatakan objek, konsep, atau situasi yang ditunjukkan oleh kotak atau lingkaran, sedangkan arc menyatakan hubungan antar node yang ditunjukkan oleh tanda panah yang
menghubungkan node-node dalam jaringan. -
Frame dan script
Digunakan untuk mempresentasikan pengetahuan dalam konteks dimana urutan kejadian dan objek muncul. Sebuah frame digambarkan dengan menggunakan jaringan dari node-node dan hubungan-hubungan. Level teratas dari frame menyatakan atribut-atribut sedangkan level terendah memiliki terminal dan slot yang harus diisi oleh data. Script menyerupai frame dengan informasi tambahan tentang urutan kejadian yang diharapkan serta tujuan dan rencana dari aktor yang terlibat (Firebaugh, 1989). -
Aturan produksi Representasi rule base diimplementasikan ke bentuk clauses : 1. Question Clause
Digunakan untuk mengidentifikasi fakta yang didapat dengan cara menanyakan kepada user secara langsung tentang nilai fakta yang ada. Fakta ini merupakan fakta yang bersifat dasar. Struktur Question Clause : ASK
: “”
CHOICE : “” 2. Rule Clause
Digunakan untuk mengidentifikasikan pengetahuan berdasarkan metode yang dipilih. Clause ini digunakan untuk memulai menderivikasi fakta yang diperlukan yang secara garis besar digambarkan sebagai berikut : RULE IF AND AND ....................... THEN
2.12 Inferensi Pengetahuan
Inferensi pengetahuan merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam sistem pakar. Komponen ini berperan dalam penarikan kesimpulan untuk menyelesaikan
masalah.
dikembangkan seperti:
Beberapa
metode
inferensi
pengetahuan
telah
-
backward/forward chaining;
-
inheritance;
-
probabilistik dan bayesian;
-
logika fuzzy dan inferensi fuzzy;
-
teori dempster-shafer;
-
model logik. Dalam melakukan proses pencarian untuk menemukan goal pada ruang
permasalahan, sebuah sistem perlu menentukan strategi pencarian yang paling tepat untuk dapat menemukan goal secara eifisien. Strategi pencarian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Forward chaining (data driven), dimana pencarian dilakukan dari kondisi awal (start state), kemudian dengan menggunakan fakta-fakta yang ada dilakukan proses pencocokan (matching) dan inferensi sampai ditemukan goal state. 2.13 Model Pengembangan Sistem
Model pengembangan sistem (perangkat lunak) yang dikenal antara lain terdiri dari (Pressman, 1997) : -
Metode yang paling dikenal disebut juga sebagai System Development Life Cycle (SDLC) atau sering juga disebut sebagai Water Fall Method, terdiri dari
tahapan perencanaan sistem (rekayasa sistem), analisa kebutuhan, desain, penulisan program, pengujian dan perawatan sistem. -
Model prototipe (prototyping model), dimulai dengan pengumpulan kebutuhan dan perbaikan, desain cepat, pembentukan prototipe, evaluasi pelanggan terhadap prototipe, perbaikan prototipe dan produk akhir.
-
Rapid Application Development (RAD) model, dengan kegiatan dimulai
pemodelan bisnis, pemodelan data, pemodelan proses, pembangkitan aplikasi dan pengujian. -
Model evolusioner yang dapat berupa model inkremental atau model spiral. Model inkremental merupakan gabungan model sekuensial linier dengan prototyping (misalnya perangkat lunak pengolah kata dengan berbagai versi).
Sedangkan model spiral menekan adanya analisa resiko. Jika analisa resiko
menunjukkan ada ketidakpastian terhadap kebutuhan, maka pengembangan sistem dapat dihentikan. -
Teknik generasi ke-empat (4GT), dimulai dengan pengumpulan kebutuhan, strategi perancangan, implementasi menggunakan 4GL dan pengujian.
2.14 Model System Development Life Cycle (SDLC) Model sekuensial linier untuk software engineering, sering disebut juga System
Development Life Cycle (SDLC) atau sering juga disebut sebagai Water Fall Method (Gambar 5). Model ini mengusulkan sebuah pendekatan kepada perkembangan software yang sistematik dan sekuensial yang mulai pada tingkat dan kemajuan sistem pada seluruh analisis, desain, kode, pengujian, dan pemeliharaan. Dimodelkan setelah siklus rekayasa konvensional, model sekuensial linier melingkupi aktivitas – aktivitas sebagai berikut (Pressman, 1997) : 1. Rekayasa dan pemodelan sistem/informasi. Karena sistem merupakan bagian dari sebuah sistem yang lebih besar, kerja dimulai dengan membangun syarat dari semua elemen sistem dan mengalokasikan beberapa subset dari kebutuhan ke software tersebut. Pandangan sistem ini penting ketika software harus berhubungan dengan elemen-elemen yang lain seperti software, manusia, dan database. Rekayasa dan anasisis system menyangkut pengumpulan kebutuhan pada tingkat sistem dengan sejumlah kecil analisis serta disain tingkat puncak. Rekayasa informasi mancakup juga pengumpulan kebutuhan pada tingkat bisnis strategis dan tingkat area bisnis. 2. Analisis kebutuhan Software Proses pengumpulan kebutuhan diintensifkan dan difokuskan, khusunya pada software. Untuk memahami sifat program yang dibangun, analis harus memahami domain informasi, tingkah laku, unjuk kerja, dan interface yang diperlukan. Kebutuhan baik untuk sistem maupun software didokumentasikan dan dilihat lagi dengan pelanggan. 3. Desain Desain software sebenarnya adalah proses multi langkah yang berfokus pada empat atribut sebuah program yang berbeda; struktur data, arsitektur software, representasi interface, dan detail (algoritma) prosedural. Proses desain
menterjemahkan syarat/kebutuhan ke dalam sebuah representasi software yang dapat diperkirakan demi kualitas sebelum dimulai pemunculan kode. Sebagaimana persyaratan, desain didokumentasikan dan menjadi bagian dari konfigurasi software. 4. Generasi Kode Desain harus diterjemahkan kedalam bentuk mesin yang bias dibaca. Langkah pembuatan kode melakukan tugas ini. Jika desain dilakukan dengan cara yang lengkap, pembuatan kode dapat diselesaikan secara mekanis. 5. Pengujian Sekali program dibuat, pengujian program dimulai. Proses pengujian berfokus pada logika internal software, memastikan bahwa semua pernyataan sudah diuji, dan pada eksternal fungsional, yaitu mengarahkan pengujian untuk menemukan kesalahan – kesalahan dan memastikan bahwa input yang dibatasi akan memberikan hasil aktual yang sesuai dengan hasil yang dibutuhkan. 6. Pemeliharaan Software akan mengalami perubahan setelah disampaikan kepada pelanggan (perkecualian yang mungkin adalah software yang dilekatkan). Perubahan akan terjadi karena kesalahan – kesalahan ditentukan, karena software harus disesuaikan untuk mengakomodasi perubahan – perubahan di dalam lingkungan eksternalnya (contohnya perubahan yang dibutuhkan sebagai akibat dari perangkat peripheral atau sistem operasi yang baru), atau karena pelanggan membutuhkan perkembangan
fungsional
atau
unjuk
kerja.
Pemeliharaan
software
mengaplikasikan lagi setiap fase program sebelumnya dan tidak membuat yang baru lagi.
Gambar 5. Model Sekuensial Linier (Pressman, 1997)