BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Guyton & Hall (2007:1022) menyatakan “diabetes mellitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin”. Diabetes merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, 2002). Kadar glukosa
serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl.
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan hipoglikemia bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl (Price, 2006). Kadar glukosa darah puasa normal yaitu 80 – 90 mg/100 ml dan nilai 110 mg/100 ml dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal (Guyton,2007). Dikatakan diabetes jika kadar gula darah plasma pada waktu puasa diatas 140 mg/dl (SI : 7,8 mmol/L atau kadar glukosa darah sewaktu diatas 200 mg/dl (SI: 11,1 mmol/l) pada satu kali pemeriksaan atau lebih (Smeltzer,2002).
9
10
2.1.2 Klasifikasi a. Diabetes Melitus Tipe 1 Menurut Smeltzer Suzanne (2002), Kurang lebih 5% hingga 10% penderita mengalami diabetes tipe 1 yaitu diabetes yang tergantung insulin atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM). Guyton & Hall (2007), Pada diabetes mellitus tipe 1 ini pancreas benar-benar tidak dapat menghasilkan insulin karena rusaknya sel-sel beta yang ada dalam pancreas oleh virus atau autoimun. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pancreas pada banyak pasien diabetes tipe 1, selain itu faktor herediter juga berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan-gangguan tersebut. b. Diabetes Melitus Tipe 2 Kurang lebih 90% sampai 95% penderita mengalami diabetes tipe 2, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin atau non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin yang disebut resistensi insulin atau akibat penurunan jumlah produksi insulin (Smeltzer, 2002). c. Diabetes Melitus Gestasional Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga dan riwayat diabetes gestasional terdahulu (Price, 2006).
11
d. Diabetes Tipe Khusus Lain Diabetes tipe khusus lain adalah kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resistensi terhadap insulin. Kelainan genetic pada kerja insulin menyebabkan sindroma resistensi insulin berat, penyakit pada eksokrin pancreas menyebabkan pancreatitis kronik, penyakit endokrin seperti sindrom chusing dan akromegali (Price, 2006).
2.1.3 Etiologi Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) disebabkan oleh destruksi sel β pulau langerhans akibat proses autoimun. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pancreas pada banyak pasien diabetes tipe 1. Selain itu faktor herediter itu berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan-gangguan tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta bahkan tanpa adanya infeksi atau kelainan autoimun (Guyton, 2007). Sedangkan non insulin diabetes mellitus (NIDDM) disebabkan kegagalan relative sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative insulin. Ketidakmapuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
12
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahkan perangsang sekresi insulin lain (Mansjoer, 2001).
2.1.4 Faktor Resiko Beberapa faktor resiko yang terlihat pada diabetes tipe 1 dan tipe 2 yaitu sebagai berikut. Faktor resiko pada diabetes tipe 1 meliputi faktor genetic, penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic ke arah terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien berkulit putih dengan diabetes tipe 1 memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Resiko terjadinya diabetes tipe 1 meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA ini. Resiko tersebut meningkat sampai sepuluh hingga dua puluh kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun HLA DR4 jika dibandingkan dengan populasi umum. Faktor kedua yang merupakan faktor resiko diabetes tipe 1 yaitu faktor imunologi (autoimun), pada diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal yang antibodinya terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing. Faktor lainnya yaitu faktor lingkungan, penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta, hasil penelitian mengatakan bahwa virus atau toksin
13
dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. Interaksi antara faktor genetic, imunologi dan lingkungan dalam faktor resiko terjadi dabetes tipe 1 merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut, meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti sepenuhnya namun pernyataan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe 1 (Smeltzer, 2002). Sedangkan faktor resiko pada diabetes Tipe 2, faktor resikonya mencakup usia, obesitas dan riwayat keluarga, Kurangnya berolahraga atau beraktivitas . Pada kebanyakan kasus, onset diabetes melitus tipe 2 terjadi diatas umur 30 tahun, seringkali diantara usia 50 dan 60 tahun. Pada orang-orang yang berumur di atas 30 tahun fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi berkurang dan sensitifitas selsel jaringan menurun sehingga tidak menerima insulin. Faktor obesitas juga merupakan salah satu faktor resiko diabetes tipe 2, perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya terjadi secara bertahap yang dimulai dengan peningkatan
berat badan dan
obesitas, Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga dapat memicu munculnya Diabetes Mellitus, akan tetapi mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti. Beberapa penelitian menunjukan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati dan jaringan adiposa pada orang obes lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang kurus. Kebanyakan resistensi insulin disebabkan kelainan jaras sinyalyang menghubungkan reseptor yang beraktivitas dengan berbagai efek selular.
14
Gangguan sinyal insulin disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan hati akibat kelebihan berat badan (Guyton, 2007). Pada pasien dengan diabetes tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe 2 pada kembar monosigot hampir 100%, resiko perkembangan diabetes tipe 2 untuk saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya, penyakit diabetes melitus ini diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orangtua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1 : 1 dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Olahraga dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurun sehingga dapat mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan Diabetes Mellitus (Price, 2006).
2.1.5 Manifestasi klinis Secara umum manifestasi klinis yang terlihat pada pasien diabetes melitus dan sering dikenal sebagai trias diabetes yaitu polyuria, polydipsi dan polyphagia. Polyuria (buang air kecil berlebihan), hal ini berkaitan dengan kadar gula yang tinggi diatas 160 – 180 mg/dl maka glukosa akan sampai ke urin tetapi jika tambah tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Gula bersifat menarik air sehingga bagi penderitanya akan mengalami polyuria atau banyak kencing (Retno, 2012). Polydipsia (banyak minum), diawali dari banyaknya urin yang keluar maka tubuh mengadakan mekanisme lain untuk menyeimbangkannya yakni dengan banyak minum (Retno, 2012). Polyphagia (banyak makan), akibat insulin
15
yang bermasalah, pemasukan gula ke dalam sel-sel tubuh kurang akhirnya energy yang dibentuk pun kurang. Inilah mengapa orang merasakan kurangnya tenaga akhirnya diabetes melakukan kompensasi yakni dengan banyak makan (Retno, 2012). Diabetes tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pancreas telah dihancurkan oleh autoimun. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Akibat glukosa yang hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori, pasien juga akan mengeluh lelah dan mengantuk (Price, 2006). Selain itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan.
Ketoasidosis
diabetik
yang
diakibatkannya
akan
menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian (Smeltzer, 2002).
16
Sebaliknya pada pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun dan diagnosisnya hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium serta melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relative. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis, pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal, penderita juga resisten terhadap insulin eksogen ( Price, 2006).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Adanya kadar glukosa darah meningkat secara abnormal merupakan criteria yang melandasi penegakan diagnosis diabetes. Kadar gula darah plasma pada waktu puasa (gula darah nuchter) yang besarnya diatas 140 mg/dl (SI : 7,8 mmol/L) atau kadar glukosa darah sewaktu (gula darah random) yang diatas 200 mg/dl (SI : 11,1 mmol/l) pada satu kali pemeriksaan atau lebih merupakan kriteria diagnostik penyakit diabetes. Jika kadar gula darah puasanya normal, penegakan diagnosis harus berdasarkan tes toleransi glukosa. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitive daripada tes toleransi glukosa intravena yang hanya dilakukan dalam situasi tertentu (misalnya untuk pasien yang pernah menjalani operasi lambung) (Smeltzer, 2002).
17
Tes toleransi glukosa oral dilakukan dengan pemberian larutan karbohidrat sederhana. Pasien mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat (150 hingga 300 gram) selama tiga hari sebelum tes dilakukan. Sesudah berpuasa pada malam hari, keesokan harinya sampel darah diambil. Kemudian karbohidrat sebanyak 75 gram yang biasanya dalam bentuk minuman (seperti Glucola, minuman yang mengandung gula soda) diberikan kepada pasien. Pasien diberitahu untuk duduk diam selama tes dilaksanakan dan menghindari latihan, rokok, kopi serta makanan lain kecuali air putih. WHO merekomendasikan pengambilan sampel 2 jam sesudah konsumsi glukosa (Smeltzer, 2002). Pemeriksaan penunjang lain yaitu glukosa urin, ada tes yang sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang pada urin. Pada umumnya, jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes glukosa yang dilepaskan jumlahnya bisa sedikit atau banyak sekali,
sesuai
dengan
berat
penyakitnya
dan
asupan
karbohidratnya
(Guyton,2007).
2.1.7 Komplikasi Hayes (2001), Komplikasi DM dapat mengakibatkan kerusakan terhadap hampir setiap organ. Kontrol diabetik yang kurang mengakibatkan kerusakan organ tubuh dan control yang baik mengurangi resiko. Kerusakan SSP mungkin juga bertambah karena hipoglikemia yang sering dan mungkin menyertai usaha lebih keras pada keadaan normoglikemia.
18
Price (2006), Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vascular jangka panjang. a. Komplikasi Metabolik Akut Disebabkan oleh perubahan yang relative akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi diabetes yang paling serius yaitu: 1. Ketoasidosis Diabetik (DKA) Disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolism karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. DKA ditangani dengan perbaikan kekacauan metabolic akibat kekurangan insulin, pemulihan keseimbangan air dan elektrolit dan pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis (Smeltzer, 2002). 2. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma nonketotik (HHNK) Adalah komplikasi metabolic akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat yaitu dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotic dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit dan insulin regular.
19
Perbedaan HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Price, 2006). 3.
Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin) Terutama komplikasi terapi insulin. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan
oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan
kerusakan
otak
yang
permanen
atau
bahkan
kematian.
Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat baik oral maupun intravena (Smeltzer, 2002). b. Komplikasi Kronik Jangka Panjang 1. Mikroangiopati Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), serta otot-otot kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesilesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Manifestasi klinis penyakit vascular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes. Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina, akibantnya perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut dapat mengakibatkan kebutaan. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
20
nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Neuropati
dan
katarak
disebabkan
oleh
gangguan
jalur
poliol
(glukosa→sorbitol→fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan (Price, 2006). 2. Makroangiopati diabetik Mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vascular ini. Gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vascular, hiperlipoproteinemia, dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetic ini akan mengakibatkan penyumbatan vascular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vascular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke (Price, 2006).
2.1.8 Penatalaksanaan Price (2006:1264) menyatakan bahwa “pasien diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin dan selalu membutuhkan terapi insulin sedangkan pada pasien diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisiensi insulin relative dan dapat ditangani tanpa insulin”. Tujuan jangka pendek penatalaksaan diabetes mellitus bertujuan untuk menghilangkan keluhan / gejala diabetes mellitus. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah mencegah komplikasi (Manjoer, 2001). Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya
21
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pola aktifitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes yaitu diet (perencanaan makan), latihan fisik (olahraga), pemantauan, terapi (jika diperlukan) dan pendidikan (Smeltzer, 2002). a. Diet (Perencanaan makan) Diabetes sudah menjadi kewajiban bagi penderita untuk mengontrol setiap asupan makanan yang akan dikonsumsi. Mengontrol disini bukan melarang tetapi harus lebih cermat memilih setiap kandungan gizi yang terdapat dalam makanan agar pancreas yang mengalami gangguan tidak semakin sulit untuk menghasilkan insulin (Retno, 2012). Pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60 – 70%), protein (10 – 15%) dan lemak (20 – 25%). Jumlah kandungan kolestrol < 300 mg / hari, jumlah kandungan serat ± 25 g/hari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi, pemanis dapat digunakan secukupnya (Manjoer,2001).
b. Latihan Fisik ( Olahraga) Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini dan
22
peningkatan ambilan glukosa selama hipoglikemia.
latihan fisik dapat
menimbulkan
Penderita diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari 250
mg/dl (14 mmol/L) dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh melakukan latihan
sebelum pemeriksaan keton urin memperlihatkan hasil
negative dan kadar glukosa darah telah mendekati normal. Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan sekresi glukagon, growth hormone dan katekolamin. Peningkatan hormone ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar gula darah (Price, 2006). Menurut Retno (2012), Prinsip olahraga yang dianjurkan yaitu terus menerus, berirama, berselang, ditingkatkan secara bertahap. Berikut contoh olahraga yang bisa dilakukan selain olahraga senam pada table 2.1 Tabel 2.1 Contoh Olahraga yang Bisa Dilakukan Selain Senam Jenis olahraga
Lama latihan
Intensitas
Jalan kaki santai Berenang Bersepeda Jogging
30 menit 30 menit 30 menit 30 menit
53 m / menit 15 m / menit 266 m / menit 114 m / menit
Jumlah kalori yang dikeluarkan 56 181 113 136
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 – 4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan memulai olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi oleh ornag yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki secara cermat setelah olahraga Intensitas ringan dan sedang yaitu 60-70% MHR (Maximum Heart Rate), rumusnya adalah 220 –
23
umur (Manjoer, 2001). Salah satu hal yang dapat diterapkan dalam latihan fisik yaitu dengan melakukan senam kaki diabetik. Ada dua tindakan dalam prinsip dasar pengelolaan diabetik foot yaitu tindakan pencegahan dan tindakan rehabilitasi. Tindakan pencegahan meliputi pendidikan perawatan kaki, senam kaki diabetik dan sepetu diabetes. Sedangkan tujuan tindakan rehabilitasi adalah untuk mengembalikan fungsi ambulasi (Widianti, 2010). c. Pemantauan Smeltzer (2002), Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar gula darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Pasien harus diberitahukan agar menyimpan hasil pemeriksaan glukosa darah dalam buku catatan atau log book sehingga pasien tersebut dapat mengetahui pola kenaikan glukosa darahnya. Jadwal pemeriksaan yang ideal adalah 30 menit sebelum makan dan pada saat akan tidur malam. Bahaya potensial yang menagncam semua metode pemantauan mandiri glukosa darah terlatak pada kemungkinan bahwa pasien mencatat dan melaporkan hasil yang salah sebagai akibat dari penggunaan teknik yang salah. Beberapa sumber kekeliruan yang sering terjadi adalah aplikasi darah yang tidak benar (misalnya tetesannya terlalu sedikit), pengaturan waktu yang tidak benar, pengapusan darah yang tidak benar (misalnya mengapus terlalu kuat atau mengapus tanpa menggunakan bahan yang dianjurkan
24
untuk pengapusan), pembersihan dan pemeliraan alat pengukur yang tidak benar (misalnya membiarkan debu atau darah bertumpuk pada jendela optik). d. Terapi (Obat atau insulin) Pemberian obat dilakukan untuk mengatasi kekurangan produksi insulin serta menurunkan resistensi insulin. Untuk diabetes tipe 1 obat yang digunakan adalah insulin karena sudah jelas bahwa penderita diabetes tipe 1 ini pankreasnya tidak bisa menghasilkan insulin tetapi untuk pengobatan awal diabetes mellitus tipe 1 masih bisa diberikan obat oral tentunya dengan dosis yang tinggi. Kemudian untuk diabetes mellitus tipe 2, pertama obat yang digunakan untuk membantu produksi insulin yang kurang adalah obat yang dapat merangsang pancreas untuk meningkatkan produksi insulin. Yang kedua, obat yang digunakan untuk memperbaiki hambatan terhadap kerja insulin atau resistensi insulin (Retno, 2012). Price (2010), Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrolsecara optimal mengguakan diet dan latiahan fisik, pasien diabetes tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau langerhans yang masih berfungsi merupakan calon yang tepat menggunakan golongan obat sufonilurea. Obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Pasien diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk mensekresi insulin, pengobatan dengan sulfoniluera menjadi tidak efektif. Efek samping obat-obat ini mencakup gejala gastrointestinal, reaksi dermatologi dan hipoglikemia dapat terjadi jika diberikan dalam dosis yang berlebihan. Obatobat yang termasuk golongan sulfonylurea meliputi Asetoheksamid (Dymelor),
25
Chlorpropamid (Diabinese), Glipizid (glucotrol), Glipizid (Glucotrol XL), Glyburid (Micronase, Diabeta), Tolazamid (Tolinase), Tolbutamid (Orinase). Golongan obat yang lain yaitu biguanid, yang termasuk golongan niguanid adalah Metformin (Glucophage), yang merupakan biguanid yang disetujui pemakaiannya di A.S., menimbulkan efek antidiabetik dengan memfasilitasi kerja insulin pada tempat reseptor perifer. Oleh karena itu obat ini hanya dapat digunakan jika masih terdapat insulin. Pada diabetes tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hiperglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya (Smeltzer, 2002). e. Pendidikan atau edukasi Diabetes merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktifitas isik, stress fisik dan emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan diabetes adalah dengan membagi informasi dan keterampilan menjadi 2 tipe utama yaitu (1) keterampilan serta informasi yang bersifat dasar (basic), awal (initial), atau bertahan (survival) dan (2) pendidikan tingkat lanjut (advanced or continuing education). Keterampilan untuk bertahan hidup, informasi ini harus diajarkan kepada setiap pasien yang baru didiagnosis sebagai penderita DM tipe 1 atau 2 dan mendapat terapi insulin untuk pertama kalinya. Informasi yang bersifat dasar ini secara harafiah berarti bahwa pasien harus mengetahui bagaimana “bertahan hidup” yaitu dengan cara menghindari
26
komplikasi hipoglikemia atau hiperglikemia yang berat setelah pulang dari rumah sakit. Informasi yang diberikan mencakup definisi diabetes (dengan kadar glukosa darah yang tinggi), batas-batas kadar glukosa darah yang normal, efek terapi insulin dan latihan (penurunan kadar glukosa darah), efek makanan dan stress, yang mencakup keadaan sakit dan infeksi (peningkatan kadar glukosa darah), dasar pendekatan terapi, pemberian insulin, dasar-dasar diet (misalnya kelompok makanan dan jadwal makan), pemantauan kadar glukosa darah, keton urin, pengenalan, penanganan dan pencegahan komplikasi akut, hipoglikemia, hiperglikemia, di mana membeli dan menyimpan insulin, alat-alat untuk pemantauan kadar glukosa darah, kapan dan bagaimana cara menghubungi dokter (Smeltzer, 2002).
2.2 Konsep Senam Kaki Diabetik 2.2.1 Defenisi Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes mellitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha, dan juga mengatasi keterbatasan pergerakan sendi (Wibisono, 2009).
27
2.2.2 Tujuan Penderita diabetes melitus dianjurkan untuk melakukan senam kaki. Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah atau memperbaiki sirkulasi darah bagian kaki, memperkuat otot-otot kecil kaki, mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha, mengatasi keterbatasan gerak sendi (Widianti, 2010). Keterbatasan
jumlah
insulin
pada
penderita
diabetes
melitus
mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat hal ini menyebabkan rusaknya pembuluh darah, saraf, dan struktur internal lainnya sehingga pasokan darah ke kaki semakin terhambat, akibatnya pasien diabetes melitus akan mengalami gangguan sirkulasi darah pada kakinya. Rangsangan yang diberikan dari sesi refleksiologi yang baik akan membuat rileks dan melancarkan peredaran darah. Lancarnya peredaran darah karena dipijat, memungkinkan darah mengantar lebih banyak oksigen dan gizi ke sel - sel tubuh, sekaligus membawa lebih banyak racun untuk dikeluarkan. Pijat refleksi yang dilakukan pada telapak kaki terutama diarea organ yang bermasalah, akan memberikan rangsangan pada titik – titik saraf yang berhubungan dengan pancreas agar menjadi aktif sehingga menghasilkan insulin melalui titik-titik saraf yang berada di telapak kaki (Mangoenprasodjio & Hidayati, 2005). Medicastore (2007)
menyatakan bahwa aktivitas fisik
mempunyai
hubungan bermakna dengan gangguan ekstremitas dimana aktivitas fisik yang rendah salah satunya tidak teratur berolahraga berisiko untuk terjadinya gangguan
28
gerak. Latihan untuk menjaga mobilitas dan postur tubuh pada lansia
juga
bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan gerakan sendi di seluruh tubuh, meningkatkan kekuatan otot, menstimulasi peredaran darah, menjaga kapasitas fungsional, mencegah kontraktur dan memelihara postur tubuh yang baik. Kekuatan dan daya tahan otot akan bertambah. Hal ini disebabkan oleh bertambah besarnya serabut otot dan meningkatnya sistem penyediaan energi di
otot
(Yuwono, 2010).
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Widianti (2010 : 32), menyatakan indikasi dari senam kaki dapat diberikan kepada seluruh penderita diabetes mellitus tipe 1 maupun 2. Sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita diabetes sebagai tindakan pencegahan dini terhadap kaki diabetik. Kontraindikasinya, penderita yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dipsnea atau nyeri dada, orang depresi, khawatir atau cemas. Keadaan seperti ini perlu diperhatikan sebelum dilakukan tindakan senam kaki. Selain itu kaji keadaan umum dan keadaaan pasien apakah layak untuk dilakukan senam kaki tersebut, cek tanda- tanda vital dan status respiratori (adakah dispnea atau nyeri dada), kaji status emosi pasien (suasana hati/mood, motivasi), serta perhatikan indikasi dan kontraindikasi dalam pemberian tindakan senam kaki tersebut (Perkeni, 2002).
2.2.4 Implementasi Terlampir pada lampiran prosedur senam kaki diabetik.
29
2.2.5 Hal yang di Evaluasi Setelah Tindakan Setelah malakukan senam kaki evaluasi pasien apakah pasien dapat menyebutkan kembali pengertian senam kaki,dapat menyebutkan kembali 2 dari 4 tujuan senam kaki, dan dapat memperagakan sendiri teknik-teknik senam kaki secara mandiri(Akhtyo, 2004).
2.3 Konsep Sirkulasi Darah Pada Kaki Pasien Diabetes Melitus dan ABPI Sirkulasi darah adalah aliran darah yang dipompakan jantung ke pembuluh darah dan dialirkan oleh arteri ke seluruh organ-organ tubuh salah satunya pada organ kaki. Aliran darah yang tidak adekuat yang disebabkan oleh sumbatan pada sirkulasi arterial perifer berkontribusi menyebabkan penurunan penghantaran oksigen, antibiotic, zat nutrisi dan faktor pertumbuhan baik dalam sirkulasi makrovaskuler maupun mikrovaskuler (Maryunani, 2013). Smeltzer (2002), Ada tiga komplikasi diabetes yang turut meningkatkan terjadinya infeksi kaki. Ketiga komplikasi tersebut yaitu neuropati, neuropati sensorik menyebabkan hilangnya perasaan nyeri dan sensibilitas tekanan sedangkan neuropati otonom meningkatkan kekeringan dan pembentukan fisura pada kulit. Yang kedua penyakit vascular perifer, sirkulasi ekstremitas bawah yang buruk turut menyebabkan lamanya kesembuhan luka dan terjadinya ganggren. Komplikasi ke tiga yaitu penurunan daya imunitas, hiperglikemia akan mengganggu kemampuan leukosit khusus yang berfungsi untuk menghancurkan bakteri.
30
Widianti (2010), juga menyatakan faktor resiko terjadinya diabetic foot adalah berkurangnya sensasi, adanya riwayat ulkus, maserasi, kuku jempol kaki dengan jamur atau penebalan atau penadukan, adanya masalah biomekanik (jaringan tanduk atau kalus), fisura dan bentuk jari seperti cakar. Cedera tidak dirasakan oleh pasien yang kepekaan kakinya, jika pasien tidak mempunyai kebiasaan untuk memeriksa kakinya setiap hari, cedera atau fisura tersebut dapat berlangsung tanpa diketahui sampai terjadi infeksi yang serius. Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan atau ganggren pada tungkai biasanya merupakan tanda pertama masalah kaki yang menjadi perhatian pasien (Smeltzer, 2002). Ganggren merupakan jaringan nekrosis yang disebabkan oleh karena adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada bagian tubuh sehingga suplai darah terhenti, dapat terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang memanjang, perlukaan (digigit serangga, kecelakaan kerja atau terbakar), proses degenerative (arteriosklerosis) atau gangguan metabolic (diabetes melitus). Ganggren yang luas dapat terjadi akibat sumbatan vaskuler yang luas (Maryunani, 2013). Ankle Brachial Pressure Index (ABPI) adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Pada pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle brachial pressure index (ABPI) juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri perifer. Pengukuran ABPI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi
31
terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya iskemia (Yusuf, 2010). Pengukuran ABPI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya iskemia (Yusuf, 2010). Menurut (Carviile, 2003 dalam Maryunani 2013), nilai ABPI > 1,2 terjadi kalsifikasi pembuluh darah, 1 – 1,2 merupakan nilai ABPI normal, 0,5-0,9 terjadi claudication (gejala nyeri, kramm, rasa terbakar, berkurangnya rasa nyeri saat istirahat) dan < 0,5 terjadi iskemik. Menurut Sacks (2002), ABPI yang pada prinsipnya sama dengan tekanan darah yang merupakan hasil perkalian antara curah jantung dengan tahan perifer. Sehingga pada penderita DM yang mengalami ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, apabila tahanan darah perifer dan curah jantungnya meningkat maka akan terjadi peningkatan tekanan darah juga. ABPI dikatakan normal apabila tekanan darah kaki sebanding dengan tekanan darah brachial. ABPI normal merupakan indikator bahwa aliran darah ke perifer termasuk kaki efektif. Prosedur Pengukuran Tekanan sistolik (Vowden, 2001) : a.
Anjurkan pasien berbaring terlentang, posisi kaki sama tinggi dengan posisi jantung.
b.
Pasang manset tensimeter di lengan atas.
32
c.
Palpasi nadi radialis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan darah sistolik palpasi.
d.
Kempiskan manset, perhatikan suara pertama merupakan tekanan darah systolic brachialis.
e.
Ulangi pada lengan yang lain.
f.
Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki
g.
Palpasi nadi dorsalis pedis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan darah sistolik palpasi.
h.
Kempiskan manset, perhatikan suara pertama merupakan tekanan darah systolic ankle.
i.
Ulangi pada kaki yang lain.
j.
Pilih tekanan darah systolic brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan tekanan darah systolic ankle teritnggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri)
Rumus yang dipakai untuk mendapatkan nilai ABPI adalah sebagai berikut: Nilai ABPI = Tekanan sistolik ankle tertinggi/Tekanan sistolik brachial tertinggi
Interpretasi nilai ABPI menurut (Carviile, 2003 dalam Maryunani 2013) : > 1,2 : Kalsifikasi pembuluh darah 1 – 1,2 : Normal 0,5-0,9 : Claudication (gejala nyeri, kramm, rasa terbakar, berkurangnya rasa nyeri saat istirahat) < 0,5 : Iskemik
33
2.3
Pengaruh Senam Kaki Diabetik Terhadap Perubahan Sirkulasi Darah Ekstremitas Bawah Pasien Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun sehingga tubuh
tidak dapat memproduksi insulin atau menggunakan insulin secara efektif yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu/ random dari 200mg/dl, dan kadar gula darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dl (Smeltzer, 2002). Komplikasi kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM dibandingkan dengan non-DM. Komplikasi akibat kaki diabetik menyebabkan lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang. Lebih dari 25% penderita DM yang dirawat adalah akibat kaki diabetik. Sebagian besar amputasi pada kaki diabetik bermula dari ulkus pada kulit. Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat mengurangi kejadian tindakan amputasi (Yuwono,2010). Melihat hal tersebut maka salah satu penetalaksanaan untuk mencegah kaki diabetik yaitu dengan senam kaki diabetik. Senam kaki diabetik adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha, dan juga mengatasi keterbatasan pergerakan sendi (Wibisono, 2009).
34
Sirkulasi darah adalah aliran darah yang dipompakan jantung ke pembuluh darah dan dialirkan oleh arteri ke seluruh organ-organ tubuh salah satunya pada organ kaki. Pada pemeriksaan vaskular, menggunakan pengukuran
Ankle
Brachial Pressure Index (ABPI) adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). ABPI juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri perifer. Pengukuran ABPI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. ABPI dikatakan normal apabila tekanan darah kaki sebanding dengan tekanan darah brachial. ABPI normal merupakan indikator bahwa aliran darah ke perifer termasuk kaki efektif (Sacks, 2002). Menurut Nasution (2010) dalam penelitiannya “Pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien diabetes mellitus di RSUD Haji Adam Malik” menyimpulkan bahwa senam kaki dapat membantu memperbaiki otot-otot kecil kaki pada pasien diabetes dengan neuropati. Instrument penelitian menggunakan sphygmanometer dan stetoskop. Berdasarkan hasil analisa data diketahui bahwa ada perbedaan sirkulasi darah sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki yang menunjukkan bahwa ada perbedaan peningkatan sirkulasi darah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol”. Penelitian serupa dilakukan juga oleh Yunita, Alfiyah Ardhyah (2010), Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (DM) Di Puskesmas Mantup Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan. Hasil penelitian menunjukkan sebelum diberi perlakuan senam kaki
35
pada pasien Diabetes Melitus nilai ABPI yaitu lebih dari sebagian besar mengalami penyakit arteri ringan yaitu 18 orang (60%) dan nadi yaitu lebih dari sebagian besar mengalami bradikhardi yaitu 16 orang (53,3%) dan setelah diberikan perlakuan senam kaki mengalami peningkatan yaitu untuk nilai ABPI sebagian besar mengalami sirkulasi darah normal 15 orang (50%) dan nadi lebih dari sebagian besar mengalami nadi normal sebanyak 19 orang (63,3%). Sedangkan dari pengujian statistik diperoleh hasil ada pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien diabetes melitus dengan nilai signifikansi untuk nilai ABPI -4,958 dan nadi -4,397(p<0,000).
36