BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Tinjauan Pustaka
1.1.1. Reputasi Perusahaan dan Penilaiannya Meskipun telah banyak penelitian yang berfokus pada konsep reputasi perusahaan, tetapi sebagian besar memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai reputasi perusahaan itu sendiri (Barnett et al., 2006). Perbedaan persepsi yang menyebabkan perbedaan definisi ini pada akhirnya berujung ada perbedaan sistem penilaian reputasi perusahaan. Dari sudut pandang praktisi penilaian mengenai reputasi perusahaan dapat dilakukan dengan mengadaptasi metode yang dikembangkan oleh Majalah Fortunes dan Perusahaan Corebrand (Shamma, 2012). Di sisi lain seperti yang dilakukan oleh Fombrun (1996) dan Helm (2005) para akademisi membangun instrumen pengukurannya sendiri, hal ini dikarenakan mereka tidak yakin bahwa dengan menggunakan satu instrument pengukuran yang sama akan dapat diperoleh hasil pengukuran yang spesifik dari pengukuran persepsi keseluruhan stakeholder mengenai reputasi perusahaan (Shamma, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Rindova, Williamson, Petkova, dan Server (2005) juga menemukan bahwa terdapat dua sudut pandang berbeda dalam memandang reputasi perusahaan. Yang pertama adalah reputasi perusahaan dipandang dari sudut pandang ekonomi yang berfokus pada bagaimana cara para stakeholder mengevaluasi kinerja perusahaan. Sudut pandang kedua melihat reputasi perusahaan dari sudut pandang institusional. Sudut pandang ini 1
berfokus pada tingkat kesadaran masyarakat dan pengakuan mengenai reputasi perusahaan selama ini. Fenomena yang terjadi pada masyarakat awam pada umumnya adalah tidak ada perbedaan definisi yang mereka miliki terhadap identitas perusahaan, citra perusahaan, dan reputasi perusahaan. Reputasi perusahan merujuk kepada impresi kumulatif yang dimiliki stakeholder eksternal dan internal terhadap perusahaan (Chun, 2005), sedangkan citra perusahaan merujuk pada tingkat pemahaman yang berdasarkan hubungan antara tingkat keterlibatan individu dengan perusahaan (Sutomo, 2011). Bagaimanapun, hasil penelitian di bidang reputasi perusahaan tidak selalu didukung oleh hasil penelitian sebelumnya, hal ini dikarenakan terdapat beberapa penelitian yang menggunakan istilah reputasi dan citra perusahaan sebagai sinonim satu sama lain (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Barnett et al., (2006) membangun model yang menggambarkan rantai pembentukan reputasi perusahaan yang disertai dengan hal yang perlu ditekankan pada setiap tingkatan. Dari model tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa reputasi perusahaan merupakan penilaian yang diberikan oleh pengamat, dalam hal ini stakeholder internal dan eksternal, terhadap performa dan kondisi perusahaan. Identitas Perusahaan Pengumpulan simbol-simbol
Citra Perusahaan
Reputasi Perusahaan
Impresi terhadap perusahaan
Penilaian dari pengamat
Reputasi Capital Perusahan
Aset ekonomi
Sumber: Barnett et al., (2006)
Gambar II.1
Rantai Pembentukan Reputasi Perusahaan 2
1.1.2. Identitas Perusahaan Identitas perusahaan merujuk pada serangkaian pilihan stategi yang diambil perusahaan dan bagaimana cara perusahaan mengekspresikannya (Abratt dan Kleyn, 2012). Bromley dalam Shamma (2012) mengartikan identitas perusahaan sebagai seperangkat atribut yang dapat mengakibatkan suatu organisasi dari organisasi yang lain. Identitas perusahaan juga merujuk pada bagaimana cara perusahaan memandang dirinya sendiri secara keseluruhan (Chun, 2005). Oleh karena itu, identitas perusahaan dapat dipandang sebagai ciri khas dan penanda yang menjadi pembeda bagi suatu perusahaan dari perusahaan yang lain. Identitas perusahaan berfokus pada arti sebenarnya dari organisasi tersebut dan apa yang ingin dicapai oleh organisasi tersebut (Abratt dan Kleyn, 2012). Identitas perusahaan terdiri atas dua faktor, yang pertama adalah pilihan strategi perusahaan yang meliputi visi dan misi perusahaan, tujuan dari strategi tersebut, nilai perusahaan, serta budaya perusahaan (Davies, Chun, da Silva, dan Roper, 2004). Hubungan antara identitas dengan nilai dan budaya bersifat lebih sensitif dan refleksif, budaya perusahaan akan ikut berubah apabila identitas perusahaannya berubah (Chun, 2005). Faktor kedua adalah ekspresi perusahaan yang terdiri atas keputusan perusahaan yang berfokus pada identitas visual (nama, logo, slogan, dan warna perusahaan), brand promise, brand personality, dan komunikasi brand (Abratt dan Kleyn, 2012). Secara konsekuen, reputasi menyatukan seluruh aspek spesifik dari identitas dan memberikan dampak jangka panjang pada identitas
3
karena identitas itu sendiri dibentuk di dalam perusahaan (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). 1.1.3. Citra Perusahaan Citra perusahaan sering kali diidentikkan dengan gambaran apa yang tergambar dalam benak masyarakat terhadap suatu perusahaan. Citra perusahaan yang berkembang di tengah masyarakat tersebut diyakini sebagai pencerminan dari persepsi internal perusahaan tentang bagaimana perusahaan memandang dirinya sendiri (Chun, 2005). Pembentukan citra perusahaan dapat dilakukan melalui beberapa usaha yang dilakukan perusahaan seperti dilakukannya public relation dan kegiatan pemasaran (Barnett et al., 2006). Di sisi lain proses branding juga dapat mempengaruhi pembentukan citra perusahaan.
Secara konsekuen citra
perusahaan juga dibangun melalui identitas perusahaan dan merefleksikan kepribadian perusahaan atau cara perusahaan beroperasi melalui sudut pandang stakeholder (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Bagaimanapun, citra perusahaan dapat dibentuk tetapi tidak dapat dikontrol secara menyeluruh oleh perusahaan karena adanya beberapa faktor seperti keterlibatan media, peraturan pemerintah, dinamika industri, serta faktor eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi impresi yang dimiliki perusahaan (Chun, 2005).
4
1.1.4. Hubungan antara Reputasi Perusahaan, Identitas Perusahaan, dan Citra Perusahaan Identitas dan brand perusahaan merupakan komponen penting dalam membangun reputasi perusahaan (Abratt dan Kleyn, 2012). Di sisi lain citra perusahaan dapat dilihat melalui identitas perusahaan, reputasi perusahaan, serta tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosial maupun fisik di sekitar perusahaan (Sutomo, 2011). Hubungan inilah yang menyebabkan pentingnya untuk mendefinisikan dan menggaris bawahi perbedaan di antar ketiganya, selain itu perlu juga diperhatikan bagaimana ketiganya terhubung satu sama lain (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Dari
beberapa
uraian
sebelumnya,
hubungan
antara
reputasi
perusahaan, identitas perusahaan, dan citra perusahaan dapat digambarkan ke dalam sebuah model. Model yang digunakan diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon (2014).
Citra Perusahaan
Identitas Perusahaan
Reputasi Perusahaan
Sumber: Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon (2014)
Gambar II. 2 Hubungan antara Reputasi Perusahaan, Identitas Perusahaan dan Citra Perusahaan 5
1.1.5. Persepsi Karyawan pada Reputasi Perusahaan: Refleksi dari Identitas Perusahaan dan Citra Perusahaan Dari uraian-uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi karyawan berperan penting dalam pembentukan identitas, citra, serta reputasi perusahaan. Identitas dari suatu perusahaan juga dibentuk oleh stakeholder internal perusahaan, di mana karyawan memainkan peranan penting karena mereka merupakan kunci penentu mengenai apa yang akan perusahaan sampaikan mengenai dirinya sendiri (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Citra perusahaan yang merupakan persepsi yang dimilki oleh stakeholder eksternal, ternyata dapat dipengaruhi oleh persepsi yang mereka miliki terhadap stakeholder internal perusahaan tersebut (Chun, 2005). Karyawan sebagai salah satu komponen stakeholder internal perusahaan tentu saja sangat berpengaruh di dalamnya. Karyawan memainkan peranan yang penting karena impresi (persepsi dan kepercayaan) yang mereka miliki terhadap perusahaan akan berdampak pada pengalaman, perilaku, intuisi dan informasi yang akan mereka sampaikan kepada stakeholder lain (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Sedangkan di satu sisi reputasi perusahaan merupakan salah satu faktor penekan ketidakpastian yang dimiliki stakeholder (Rindova et al., 2005). Secara konsekuen, apabila reputasi perusahaan meliputi proses evaluasi pada identitas dan citra perusahaan, maka kedua faktor tersebut merupakan faktor penentu terbentuknya reputasi perusahaan secara keseluruhan (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). 6
1.1.6. Gaya Manajemen: Sebuah Identitas Ciri Gaya manjemen didefinisikan sebagai serangkaian perilaku dan tindakan pemimpin atau manajer yang membentuk pola yang konsisten dalam berinteraksi dengan subordinatnya, yang nantinya menjadi karakteristik dari pemimpin tersebut (Durbin, 2010: 112). Tetapi bagaimanapun, tata cara manajer dalam mengatur karyawannya bergantung kepada tindakan kepemimpinannya, serta persepsi mereka terhadap identitas dan citra perusahaan yang merefleksikan budaya perusahaan (Dutton, Dukerich,dan Harquail, 1994). Oleh karena itulah gaya manajemen juga meliputi pola dan perilaku yang menjadi dasar kegiatan manajemen perusahaan dalam rangka mempengaruhi perilaku seluruh anggota organisasi (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Dalam suatu hotel, pada umumnya tampuk manajerial tidak dipangku oleh satu orang manajer (Nebel III, Braunlich, dan Zhang, 1994). Terdapat beberapa manajer yang masing-masing membawahi suatu divisi sesuai dengan spesialisasi
kerja
masing-masing.
Rutherford
dan
O’Fallon
(2007:
70)
membentuk sebuah figur yang menggambarkan struktur organisasi perusahaan perhotelan pada umumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon (2012) terdapat empat jenis budaya perusahaan yang menyebabkan terbentuknya gaya manajemen. Keempat budaya tersebut antara lain: a. Budaya klan, pada budaya ini gaya manajemen dicirikan dengan konsensus dan partisipasi anggota perusahaan yang dipandang sangat esensial dalam membangun kerja tim yang baik. Oleh karena 7
itu komitmen yang tinggi, loyalitas, dan kepercayaan antaranggota sangat penting adanya. Budaya ini melahirkan gaya manajemen partisipatif. b. Budaya adokratik, pada budaya ini gaya manajemen dicirikan dengan sikap manajer yang selalu berani mengambil risiko, kreatif, inovatif, dan memiliki banyak interaksi dengan karyawan. Budaya ini nantinya akan membentuk gaya manajemen inovatif. c. Budaya hierarkis, pada budaya ini gaya manajemen merujuk pada keamanan
kerja,
keamanan
jabatan
kerja,
dan
penekanan
ketidakpastian dalam pekerjaan. Budaya ini diikuti dengan gaya manajemen konservatif. d. Budaya pasar, budaya ini membentuk gaya manajemen yang dicirikan dengan perilaku agresif anggota organisasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang telah dibangun secara tepat waktu. Dari budaya inilah kemudian terlahir gaya manajemen kompetitif.
1.1.7. Dimensi-Dimensi Gaya Manajemen Di dalam penelitian mengenai gaya manajemen yang berkembang di dalam suatu organisasi, identifikasi terhadap dimensi-dimensi gaya manajemen sesuai dengan substansi penelitian perlu dilakukan. Gaya manajemen sendiri memiliki fungsi yang penting dalam mengintegrasikan hubungan antar anggota organisasi serta membantu organisasi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan eksternalnya (Daft, 2007). Di dalam penelitian ini, terdapat enam dimensi gaya manajemen seperti yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan 8
oleh Martinez Leon dan Olmedo Cifuentes (2014). Dimensi-dimensi tersebut antara lain adalah: karakteristik dominan, kepemimpinan organisasional, manajemen karyawan, pengerat ikatan organisasional, penekanan strategi, dan kriteria sukses. Keenam dimensi tersebut diadaptasi dari kuesioner Organizational Cultural Assesment Instrument (OCAI), sebuah alat ukur psikometrik yang dikembangkan oleh Cameron dan Quinn (Suderman, 2012). OCAI dibangun dengan mempertimbangkan framework dalam bidang budaya organisasi, seperti cara anggota organisasi berpikir, nilai-nilai yang mereka pegang, asumsi, dan bagaimana cara anggota organisasi memproses informasi (Suderman, 2012). 1.2.
Perumusan Hipotesis Dengan berbagai pertimbangan, gaya manajemen yang dibentuk oleh
manajemen senior suatu perusahaan berperan sebagai anteseden dari persepsi karyawan pada reputasi (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Di samping itu identifikasi terhadap dimensi-dimensi gaya manajemen sesuai dengan substansi penelitian juga perlu dilakukan. Dimensi karakteristik dominan menggambarkan
karakteristik
budaya
organisasi
yang
paling
dominan
berkembang di dalam perusahaan visi, nilai, dan strategi perusahaan (Suderman, 2012). Dalam aplikasinya budaya organisasi yang dominan berperan sebagai prediktor esensial dari efektivitas perusahaan (Amis dan Slack, 2002). Budaya organisasi yang dominan bahkan dianggap sebagai konsep inti yang mempengaruhi efektivitas perusahaan secara kuat (Smith dan Shilburry, 2004). Colyer (2000) menyatakan bahwa analisis terhadap budaya organisasi merupakan langkah pertama dalam mengukur kinerja, efektivitas, dan diagnosis 9
lebih lanjut terhadap karakteristik budaya (dominan) yang berkembang. Karakteristik dominan yang berkembang dapat digunakan untuk menentukan langkah yang tepat dalam pemberdayaan nilai dan tujuan organisasional dalam rangka mengevaluasi kinerja dan standar perusahaan (Choi, Seo, Scott, dan Martin, 2010). Efektivitas kinerja dapat diikuti oleh peningkatan kompetensi intelektual, kepuasan kerja, serta peningktan kinerja karyawan (Maqsood, Bilal, Nazir, dan Baig, 2013). Peningkatan kepuasan kerja yang ada dapat memicu meningkatnya rasa keterikatan karyawan dengan perusahaan. Rasa keterikatan dan kepuasan kerja akan membuat persepsi karyawan pada perusahaan semakin baik (Chatman, Bell, dan Staw, 1986). Pada akhirnya karakteristik dominan akan menciptakan persepsi yang lebih baik bagi karyawan mengenai peran penting reputasi bagi perusahaan. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1. Karakteristik dominan berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan Konsep kepemimpinan menjadi konsep yang sangat menarik untuk diteliti bagi sebagian orang. Pencarian terhadap standard an definisi kepemimpinan yang
baik
secara
terus
menerus
akhirnya
melahirkan
berbagai
teori
kepemimpinan yang berbeda-beda (Loke, 2001). Banyak penelitian yang menemukan bahwa kepemimpinan yang efektif selalu diasosiasikan dengan tingkat kinerja etis yang lebih banyak (Kreitmer, 1995). Di samping itu, penelitian yang dilakukan Schein (1992) menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara kepemimpinan dan budaya organisasi. Hubungan tersebut tercermin dalam keterkaitan antara keduanya dalam daur hidup organisasi. Seiring berjalannya waktu budaya yang terbentuk di dalam organisasi lama kelamaan memberikan 10
pengaruh pada pemimpin, perilaku, dan gaya kepemimpinan dalam organisasi (Ogbonna dan Harris, 2000). Sepanjang proses yang dinamik tersebut kepemimpinan di dalam organisasi secara otomatis terbentuk oleh budaya organisasi, yang akhirnya melahirkan kepemimpinan organisasional (Schein, 1992). Kepemimpinan organisasional memiliki ikatan yang sangat erat dengan budaya organisasi di dalam perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Lewis (1994) menemukan bahwa budaya organisasi dapat membangun keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Ogbonna dan Haris (2000) menemukan bahwa kepemimpinan organisasional yang efektif dapat terjadi apabila pemimpin dapat memahami faktor-faktor situasional di sekitarnya, yang diikuti dengan adopsi budaya organisasi yang sesuai dengan situasi yang ada. Kepemimpinan organisasional yang baik dan efektif ternyata juga dapat meningkatkan performa organisasi (Lim,1995). Peningkatan performa pada akhirnya akan diikuti dengan peningkatan kepuasan kerja dari karyawan perusahaan (Elpers dan Westhuis, 2008). Peningkatan kepuasan kerja yang ada dapat memicu meningkatnya rasa keterikatan karyawan dengan perusahaan. Rasa keterikatan dan kepuasan kerja akan membuat persepsi karyawan pada perusahaan semakin baik (Chatman, Bell, dan Staw, 1986). Pada akhirnya kepemimpinan organisasional aka memberikan persepsi yang lebih baik bagi karyawan mengenai peran penting reputasi bagi perusahaan. Oleh karena itu, dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H2. Kepemimpinan organisasional berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan
11
Dulebohn dalam Bartram (2011) mengartikan manajemen karyawan sebagai teknik untuk mengoptimalkan kinerja angkatan kerja dalam rangka mencapai produktivitas kerja yang maksimal. Manajemen karyawan ditemukan di dalam hubungan ketenagakerjaan yang terjalin antara pihak manajemen dengan karyawan (Edwards, 1992). Hubungan ketenagakerjaan berfokus pada proses terbentuknya ikatan antara pihak manajemen dengan karyawan, hubungan mutual mandiri di antara keduanya, dan proses negosiasi yang melibatkan kedua pihak tersebut (Jermier, 1998). Apabila ditinjau dari perspektif teori manajemen kritis, hubungan ketenagakerjaan ini dipandang sebagai sebuah proses yang dilalui karyawan yang dapat meningkatkan manfaat mode produksi (Jermier, 1988). Hal ini dikarenakan terdapat akumulasi logis yang terus mendorong sumber daya (termasuk karyawan) untuk terus menginovasi proses produksi (Bartram, 2011). Hal ini muncul sebagai akibat dari kompetisi antar perusahaan dan juga kompetisi antar karyawan di dalam perusahaan (MacDuffie, 1995). Kompetisi antar karyawan di dalam perusahaan ditandai dengan ketika seorang karyawan telah berhasil mencapai tujuannya, maka karyawan yang lain akan merasa tersaingi (Somech, Desilvilya, dan Lidogoster, 2009). Hal ini akan membangun sisi kompetitif karyawan dan mengurangi ketergantungan mereka terhadap manajer yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap budaya dan reputasi perusahaan (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Hal ini akan menyebabkan karyawan memiliki fokus yang besar pada reputasinya sebagai karyawan beserta reputasi perusahaan itu sendiri. Perilaku ini disebabkan karena karyawan sadar bahwa hasil kerja yang mereka capai dapat memengaruhi posisi
12
mereka di dalam perusahaan. Oleh karena itu, dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H3. Manajemen karyawan berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan Pengerat
ikatan
organisasional
diartikan
sebagai
hubungan
ketergantungan antara organisasi dan orang-orang di dalamnya, di mana hubungan tersebut tersusun atas pemikiran dan nilai bersama, serta mempu mencakup hubungan dalam level personal maupun organisasional (Verlag, 2011). Di dalam suatu organisasi, budaya organisasi memiliki peran penting sebagai pengerat ikatan organisasi (Foss dan Ishikawa, 2007). Budaya organisasi mampu memfasilitasi knowledge sharig dan proses interaksi informal antar anggota organisasi dengan lebih baik (Osterloch, Frey, dan Frost, 2001). Pengerat ikatan organisasional dapat pula menekan ketidakpastian tindakan dalam proses interaksi internal melalui pembangunan kepercayaan dan komitmen yang dihubungkan dengan proses pembelajaran bersama dalam organisasi (Vera dan Crossan, 2007). Seiring berjalannya waktu pengerat ikatan organisasional dapat memperkuat rasa keterikatan antar anggota organisasi, yang akhirnya mampu menciptakan hubungan yang stabil dan fleksibel di dalam perusahaan (Osterloch et al., 2001). Dengan adanya pengerat ikatan organisasional karyawan akan semakin merasa bahwa mereka juga merupakan bagian penting dari perusahaan (Eisenhardt dan Martin, 2000). Eratnya ikatan di dalam perusahaan, baik itu dalam level personal maupun organisasional, berhubungan erat dengan peningkatan kinerja dan kepuasan kerja karyawan (Maqsood et al., 2013). Pada 13
akhirnya, rasa keterikatan dan kepuasan kerja akan membuat persepsi karyawan pada perusahaan semakin baik (Chatman et al., 1986). Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4. Pengerat ikatan organisasional berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan Penekanan strategi merupakan salah satu karakteristik dari budaya organisasi yang mempengaruhi terbentuknya gaya manajemen (Lund, 2003). Penekanan strategi mencerminkan fokus utama aktifitas perusahaan saat ini, dengan tujuan tercapainya efektivitas perusahaan (Cameron dan Freeman, 1991). Luthans dan Stewart (1977) menyebutkan bahwa penekanan strategi diwujudkan melalui praktik dan kebijakan manajerial, yang dikoordinasikan dengan
lingkungan
sekitar
organisasi
dalam
rangka
mencapai
tujuan
perusahaan. Kontingensi pendekatan pada strategi perusahaan telah berakar pada gaya manajemen yang berkembang dalam perusahaan (Zeithaml, Varadarajan, dan Zeithaml, 1988). Penekanan strategi bersifat fleksibel, di mana apabila terjadi perubahan pada lingkungan eksternal perusahaan atau struktur organisasi, maka manajer dapat melakukan penyesuaian (adaptasi) strategi (Olson, Slater, dan Hult, 2006). Adaptasi strategi dilakukan dengan mempertimbangkan pula karakteristik dominan dalam organisasi, perilaku stratejik, struktur organisasi, dan kinerja organisasi (Chakravarthy, 1982). Selain itu, pengadopsian perilaku yang dapat memenuhi tuntutan perubahan yang terjadi juga dapat dilakukan, dengan mempertimbangkan kepuasan kerja dalam lingkungan internal organisasi (Olson et al., 2006). Dalam hal ini karyawan sebagai penerap utama strategi sangat 14
dipertimbangkan suaranya (Vorhies dan Morgan, 2003). Perlakuan tersebut akan membuat karyawan merasa bahwa mereka memiliki andil yang cukup besar dalam keberlangsungan aktifitas perusahaan (Zeithaml, 1988). Dengan demikian akan terbentuk identifikasi yang lebih baik antara karyawan dengan perusahaan, yang memperbaiki persepsi karyawan terhadap reputasi perusahaan (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5. Penekanan strategi berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan Judgev dan Müller (2005) mendefinisikan kriteria sukses dengan tepat waktu, sesuai dengan anggaran, dan aplikatif. Namun demikian apabila hanya menggunakan indikator-indikator tersebut saja, maka implementasi tujuan yang ingin dicapai belum ikut terevaluasi (Fortune dan White, 2006). Evaluasi produktif terhadap kriteria sukses tidak boleh hanya meliputi efisiensi dan pemenuhan tujuan saja, tetapi juga harus mencakup efektivitas proses yang dilakukan, dukungan atas strategi perusahaan, serta kepentingan stakeholder (Deák, 2006). Dari perspektif psychosocial, kriteria sukses ditandai dengan kepuasan konsumen, kepuasan kinerja anggota tim, kegembiraan anggota tim, dan opini lain dari stakeholder (Pinto dan Pinto, 1991). Chan dan Chan (2004) menyebutkan bahwa kriteria sukses juga harus memperhatikan tim kerja, kinerja tim, kinerja karyawan, dan keselamatan kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam kriteria sukses keselamatan dan kesejahteraan karyawan juga ikut dipertimbangakan (Cserháti dan Szabó, 2013). Dengan demikian karyawan akan merasa lebih diperhatikan oleh perusahaan. Hal ini akan membuat karyawan 15
dapat teridentifikasi dengan lebih baik dengan perusahaan (Olmedo Cifuentes dan Martinez Leon, 2014). Dengan demikian, kriteria sukses dapat membangun persepsi pada perusahaan semakin baik. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6. Kriteria sukses berpengaruh positif pada persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan 1.3.
Kerangka Pemikiran Untuk memudahkan memahami hubungan-hubungan yang antar variabel
yang ada di dalam penelitian ini, maka peneliti menggambarkan hubunganhubungan tersebut ke dalam suatu kerangka konseptual. Karakteristik Dominan
H1(+) Kepemimpinan Organisasional
H2(+)
Manajemen Karyawan
H3(+) Persepsi Karyawan mengenai Reputasi Perusahaan
H4(+) Pengerat Ikatan Organisasional
H5(+) Penekanan Strategi
H6(+)
Kriteria Sukses
Gambar II.3
Kerangka Konseptual 16
Keterangan: Variabel Dependen
: Persepsi Karyawan terhadap Reputasi Perusahaan
Variabel Independen
: Dimensi-Dimensi Gaya Manajemen (Karakteristik Dominan, Kepemimpinan Organisasional, Manajemen Karyawan, Pengerat Ikatan Organisasional, Penekanan Strategi, dan Kriteria Sukses)
Gambar II.3 menunjukkan kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam penelitian ini. Variabel independen dalam penelitian ini adalah dimensidimensi gaya manajemen yang terdiri atas karakteristik dominan, kepemimpinan organisasional,
manajemen
karyawan,
pengerat
ikatan
organisasional,
penekanan strategi, dan kriteria sukses , sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah persepsi karyawan mengenai reputasi perusahaan.
17