BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Pembangunan Perumahan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman disebutkan pengertian dasar istilah perumahan dan pemukiman. Perumahan dimaksudkan sebagai suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perumahan dan Pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia. Dalam rangka memenuhinya, perlu diperhatikan kebijaksanaan umum pembangunan perumahan dan pemukiman, seperti masalah pertanahan, pembiayaan, kelembagaan, dan unsur-unsur pembangunan perumahan dan pemukiman lainnya. Penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan perumahan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional maupun daerah. Arah dan kebijakan pertanahan dalam menunjang perluasan pembangunan perumahan dan permukiman, termasuk pembangunan kota-kota baru, untuk menampung pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan (BPN, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan pada dasarnya berkaitan erat dengan aspek ketersediaan dan permintaan tanah, yang telah diatur dan digariskan oleh berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Dalam berbagai program pembangunan pemerintah telah menetapkan kebijakan umum pembangunan perumahan dan pemukiman yang relevan guna memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan harkat serta martabat masyarakat. Pembangunan perumahan dan pemukiman ditata dalam suatu perencanaan yang sesuai dengan kondisi tata ruang dan tata guna tanah, disertai dengan prasarana dan sarana fasilitas lingkungan yang berfungsi bagi kehidupan sosial masyarakat. SKB Tiga Menteri tahun 1992 (Hilam, 2004) menegaskan bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman diarahkan untuk mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan pemukiman dengan hunian yang berimbang, meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu, sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial. Menurut Ultermann dan Small (1993) proses perencanaan perumahan untuk tapak yang telah ditentukan merupakan suatu bagian yang fundamental dari proses perencanaan keseluruhan. Kualitas dan kelayakan dasar dari perumahan untuk tapak yang telah ditentukan haruslah timbul dari suatu ekspresi latar belakang sosial-budaya para pemakai, potensi-potensi dan batasan-batasan tapak, dan sumber-sumber bahan serta teknologis wilayah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah lokasi daerah perumahan ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, maka perlu dibuat rencana tapaknya (site planning). Rencana tapak ini penting, karena hal itu selain akan menentukan bentuk kota yang ada, dapat menciptakan kemudahan (atau kesukaran) bagi para penghuni, disamping dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di lokasi perumahan tersebut. Lingkungan-lingkungan perumahan kelompok adalah merupakan bentuk yang paling fundamental dan abadi dari pemukiman manusia. Pengadaan perumahan, baik yang dilakukan oleh sektor formal maupun informal, didasarkan atas kebutuhan rumah tiap segmen penghasilan masyarakat. Menurut Komarudin (1997), segmen perumahan dapat dibentuk berdasarkan kelompok pendapatan penduduk, lokasi, penyediaan rumah (formal dan informal). Dari unsur pembentuk segmen perumahan ini, dapat dibuat matriks, misalnya lima baris penghasilan penduduk (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi) dan empat lajur (formal pusat kota, informal pusat kota, formal pinggir kota, dan informal pinggir kota). Hilman (2004) Dari matriks ini dapat kita baca misalnya segmen rumah penghasilan rendah, sektor formal di pusat kota atau penghasilan menegah, sektor informal pinggir kota.
2.2.
Aspek Permukiman/Perumahan dalam Perkembangan Daerah Pembangunan ekonomi dan urbanisasi mempunyai hubungan sebab akibat
yang timbal balik sifatnya. Pembangunan ekonomi suatu perkotaan dapat mempercepat terjadinya proses urbanisasi dan begitu pula sebaliknya urbanisasi dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan perkembangan perekonomian. Namun hal ini menurut Richardson (Sukirno, 1996), urbanisasi dan pembangunan ekonomi merupakan dua faktor penting yang menciptakan perkembangan perkotaan pada umumnya, meskipun hal ini belum bisa menjelaskan perbedaan laju perkembangan perkotaan yang satu dengan perkotaan lainnya. Peningkatan aktivitas pembangunan ekonomi di daerah perkotaan merupakan indikator meningkatnya penanaman investasi yang akan membuka lapangan kerja, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini juga berdampak pada sektor informal dan jasa lainnya, di mana masyarakat yang tidak tertampung pada sektor formal dapat berusaha pada sektor informal yang biasanya tidak menuntut pendidikan dan ketrampilan tinggi. Umumnya masyarakat pada kelompok ini berasal dari daerah pinggiran atau pedesaan. Dengan kata lain, perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut pada gilirannya akan mendorong seseorang untuk berpindah ke perkotaan, yang akhirnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan daerah perkotaan tersebut. Menurut Todaro (2000), kecendrungan memusatnya pembangunan ekonomi di wilayah urban menunjukkan bahwa pembangunan di wilayah ini lebih pesat dibandingkan wilayah rural (pedesaan), yang berarti juga bahwa peningkatan pendapatan lebih cepat di wilayah urban dan perbedaan yang semakin besar ini akan mempercepat proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi dan konsentrasi penduduk di suatu daerah akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan struktur tata
Universitas Sumatera Utara
ruang daerah tersebut, sehingga dalam pendekatannya diperlukan suatu konsep pembangunan daerah yang mampu mengantisipasi dan menampung berbagai aktivitas masyarakatnya, termasuk pembangunan permukiman/perumahannya. Secara teori, pertumbuhan dan perkembangan daerah tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori lokasi, teori tempat pemusatan (central place) ataupun teori pertumbuhan/perkembangan perkotaan lainnya. Berkaitan dengan ini, teori lokasi yang dikemukakan oleh von Thunen (Koestoer, 1997) mengenai hubungan antara lokasi yang berbeda dan pola penggunaan tanah secara sederhana telah memberikan inspirasi kepada para ahli geografi dan ahli ekonomi untuk mempelajari organisasi permukiman beserta kaitan-kaitannya (struktur hirarkinya). Menurut Glasson (1977), secara teoritis struktur tata ruang daerah dibagi menjadi tiga unsur pokok, yaitu: 1. Kelompok lokasi industri, perdagangan, keuangan dan pelayanan lainnya, yang cenderung mengelompok menjadi system tempat sentral yang tersebar secara seragam pada hamparan daerah yang mempunyai hubungan mudah dengan pasarpasar terbesar. 2. Lokasi-lokasi yang memencar dengan spesialisasi industri seperti manufakturing, pertambangan rekreasi, yang cenderung mengelompok menjadi cluster atau aglomerasi menurut lokalisasi sumber daya fisik. 3. Pola jaringan pengangkutan, misalnya jalan raya dan kereta api, yang dapat menimbulkan pola pemukiman linear.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai unsur-unsur pokok di atas, namun belum ada satu kerangkapun yang secara memuaskan merangkum ketiga unsur tersebut. Menurut Garner (Glasson,1977), terdapat enam hal yang melandasi semua model mengenai struktur ruang daerah, yaitu: 1. Distribusi spasial dari kegiatan manusia bertumpu pada penyesuaian yang berurut dengan factor jarak, yang dapat diukur dengan menggunakan kriteria linear atau non linear. 2. Keputusan-keputusan mengenai lokasi pada umumnya diambil sedemikian rupa sehingga meminimumkan efek friksional dari jarak (the principle of least effort). 3. Semua lokasi sampai tingkat tertentu dapat dihubungi, tetapi beberapa lokasi lebih mudah dihubungi daripada lokasi lainnya. 4. Kegiatan-kegiatan manusia cenderung untuk beraglomerasi guna memanfaatkan keuntungan-keuntungan skala, yaitu keuntungan-keuntungan spesialisasi yang memungkinkan oleh konsentrasi pada lokasi bersama. 5. Organisasi dari kegiatan manusia pada hakekatnya mempunyai watak hirarki, yang timbul karena saling berhubungan antara aglomerasi dan kemudahan hubungan. 6. Jenis kegiatan manusia mempunyai watak memfokus. Pada dasarnya unsur-unsur pokok yang menyusun tata ruang suatu daerah di atas melihat nilai manfaat ekonomi suatu lokasi. Secara berurutan unsur-unsur pokok tersebut pada umumnya dapat diukur, karena keuntungan relatif dari suatu lokasi sangat dipengaruhi oleh faktor jarak dan aksesibilitas. Namun yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
permasalahannya, sangat sulit mencari untuk merangkum dari unsur-unsur tersebut berjalan bersama-sama membentuk tata ruang suatu daerah. Hal ini disebabkan adanya faktor ketidakpastian tertentu seperti tingginya biaya relokasi, perubahanperubahan periotas, keluarga, tempat kerja, suasana lingkungan dan pertimbanganpertimbangan lainnya, sehingga sulit menerapkan secara operasional konsep maksimalisasi nilai manfaat suatu lokasi. Salah satu teori yang banyak diteliti dan dikaji untuk menjelaskan perkembangan struktur tata ruang di atas adalah teori tempat pusat (central place theory) yang pertama kali diperkenalkan oleh Christaller pada tahun 1933 (dalam Glasson, 1977 dan Syihab, 1993). Teori ini juga dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan, yang menghubungkan lokasi industri dan pertumbuhan perkotaan berkaitan dengan pelayanan perkotaan. Pada prinsipnya teori tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu kota tergantung pada spesialisasinya dalam fungsi pelayanan yang dapat diberikannya, sedangkan tingkat permintaan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Artinya, bahwa pertumbuhan suatu daerah perkotaan adalah fungsi dari jumlah penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya (penyangga) dan tingkat pertumbuhannya tergantung pada laju dari peningkatan permintaan daerah belakang atas barang dan pelayanan perkotaan tersebut. Model Christaller menggambarkan bahwa kota-kota tersebar di suatu dataran (central places) yang menyajikan berbagai barang dan jasa untuk wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki, yang saling keterkaitan antar wilayah
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Untuk menjelaskan konsep ini digunakan bentuk hexagonal, di mana daerah pasar terbentuk bagi berbagai barang dan jasa yang berbeda dan hal tersebut ditentukan oleh biaya transportasi dan sistem transportasinya. Jumlah barang dan jasa yang diminta berkurang secara tata ruang dengan meningkatnya jarak di antara lokasi yang menyediakan dan membutuhkan yang diukur dalam biaya transportasi, dengan menggunakan asumsi: a.
Keseragaman fisik dan budaya dari ruang wilayah
b.
Satuan daerah yang tidak terikat
c.
Aksesibilitas yang sama ke segala arah
d.
Kelakuan perjalanan konsumen yang rasional, sehingga daerah pasar akan berbentuk lingkaran Meskipun banyak ahli yang mendukung teori Christaller ini sebagai landasan
teori yang dapat menjelaskan pembangunan wilayah/daerah karena berhubungan dengan lokasi industri dan pertumbuhan perkotaan yang berkaitan pelayanan perkotaan (urban services), namun teori ini banyak pula pihak-pihak yang mengkritiknya, terutama dari ahli ekonomi karena menurut mereka bahwa pola-pola pemukiman yang dikemukakan tidak realistik, tidak ada wilayah yang homogen, wilayah-wilayah pasaran tidak pernah ada yang berbentuk heksagonal yang disebabkan oleh kondisi geografis dan jaringan transportasi, manusia tidak selalu berbuat rasional dan sebagainya. Adanya ketidak sesuaian tersebut, menurut Nas (Daldjoeni, 1999) menyatakan bahwa perbedaan disebabkan oleh faktor-faktor sejarah, geografis, ekonomi dan politik yang ikut menentukan perkembangan daerah.
Universitas Sumatera Utara
Terlepas dari hal itu, teori tempat pusat ini dalam perencanaan daerah masih perlu dikembangkan, karena dengan menentukan fungsi-fungsi sentral dapat dijadikan titik awal dari penyusunan klasifikasi pusat-pusat perkotaan dalam pengaturan pemerintah daerah, sehingga dapat disusun perencanaan regional untuk mendorong aktivitas pembangunan secara dekonsentrasi maupun desentralisasi.
2.3.
Teori Pusat Pertumbuhan
2.3.1. Pola Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) Dalam pola kutub pertumbuhan ini daerah dianggap terdiri dari suatu kota utama (pusat pertumbuhan) dengan daerah sekitarnya (hinterlands). Kota utama, yaitu kutub pertumbuhannya, memiliki konsentrasi pemukiman dan kegiatan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, kota utama mempunyai dasar untuk tumbuh dengan dinamis atas kekuatannya sendiri dan menjadi lokasi yang paling ekonomis dan efisien untuk investasi industri, untuk memproduksi barang-barang yang dipertukarkan atau diperdagangkan ke luar daerah. Apabila suatu usaha di kutub pertumbuhan dapat berkembang dengan baik, maka akan memberikan manfaat kepada daerah sekitarnya karena mekanisme pasar telah menghubungkannya. Hal yang perlu diperhatikan dalam pola seperti ini adalah pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur) yang menunjang pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya. Artinya, hasil-hasil yang telah dicapai pada pusat/kutub pertumbuhan, maka kesempatan kerja akan dapat diciptakan dan hal itu
Universitas Sumatera Utara
akan mendorong untuk membuka peluang-peluang lainnya, selain itu juga akan menarik kelebihan tenaga kerja dari wilayah pedesaan sekitarnya. 2.3.2. Pola Integrasi Fungsional (Functional Integration) Dalam pola intergrasi fungsional, daerah dianggap sebagai suatu jaringan yang relatif teratur terdiri dari kawasan-kawasan, misalnya kawasan pertanian yang berkelompok mengelilingi desa-desa, desa-desa berkelompok mengelilingi kota-kota pemasaran, kota-kota pemasaran berkelompok mengelilingi kota-kota madya dan kota-kota madya berkelompok mengelilingi ibukota daerah. Daerah-daerah bawahan secara relatif mempunyai kekhususannya tersendiri dan efisiensi kedaerahan berarti disatu padukannya keuntungan-keuntungan absolute dan komparatif yang ada dengan suatu cara yang akan memaksimalkan kesejahteraan daerah tersebut secara keseluruhan. Pembangunan terutama didasarkan atas produksi guna pertukaran ekonomi, tetapi manfaat-manfaat pembangunan dipandang khususnya disebarkan melalui kaitan-kaitan dalam berproduksi untuk kegunaan ekonomi, yaitu produksi yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan daerah. Investasi-investasi dalam pertanian, prasarana dan usaha-usaha diperhitungkan secara hati-hati untuk disebarkan ke seluruh daerah sedemikian rupa, sehingga hal itu akan mengeksploitasi, menciptakan dan meningkatkan efisiensi kaitan antar daerah. 2.3.3. Desentralisasi Integrasi Wilayah (Desentralized Territorial Integration) Dalam pola integrasi wilayah yang terdesentralisasi, daerah dianggap terdiri dari suatu kumpulan daerah bawahan yang tidak berhubungan begitu erat satu dengan
Universitas Sumatera Utara
yang lain, masing-masing dengan struktur kependudukan yang khas. Hal yang dititik beratkan adalah bagaimana ekonomi dimanfaatkan di masing-masing daerah bawahan dan daerah itu sendiri, di mana pembangunan cenderung diukur dalam keswasembadaan yang relatif dari pada jumlah produksi perdagangan. Pertama-tama daerah tersebut dan daerah-daerah bawahannya disemangatkan dalam produksi berskala kecil untuk pemasaran setempat, yang hanya memiliki pertalian tertentu melalui hirarki kependudukan daerah dan nasional. Investasi untuk pembangunan ditentukan oleh penduduk dari kota dan desa yang ada di daerah tersebut. Perencanaan daerahnya didesentralisasikan dan masukan-masukan popular dan teknis dipadukan, bersifat menyatukan. Artinya, sasaran-sasaran daerah tercapai dengan disatukannya sasaran-sasaran daerah bawahan.
2.4.
Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah dalam Pembangunan Perumahan Sumber daya tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting, karena
ketersediaan tanah yang terbatas dan relatif tetap, namun pada sisi lain permintaan akan tanah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan aktivitas pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya, sehingga menyebabkan tanah menjadi langka dan bernilai ekonomi tinggi. Keadaan ini tidak terlepas dari kenyataannya, menurut Sandy (Raharjo,1999) menyatakan bahwa tanah muka bumi adalah tempat pelaksanaan semua kegiatan manusia sekaligus pula menjadi tempat pembatasnya, tanah tidak memberikan kemakmuran, yang dapat memberikan kemakmuran adalah sesuatu yang dibangun di atas tanah
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dengan kata lain, nilai ekonomi tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai jenis penggunaannya. Klasifikasi penggunaan tanah menurut International Geographical Union (IGU) (Silalahi,1982), antara lain adalah: 1. Perkampungan dan penggarapan lainnya, yang tidak berhubungan dengan bidang-bidang agrarian (pertanian); 2. Kebun (Horticultura), sayur-sayuran dan buah-buahan kecil; 3. Perkebunan dan tanaman besar lainnya; 4. Tanah pertanian; 5. Perumputan yang dipelihara; 6. Perumputan yang tidak dipelihara; 7. Hutan; 8. Tanah rawa dan bencah; 9. Tanah tandus. Sedangkan Barlowe (1972) mengklasifikasikan penggunaan sumber daya tanah antara lain adalah: 1. Tanah untuk pemukiman (residential lands); 2. Tanah untuk perdagangan, jasa dan industri (commercial and industrial sites); 3. Tanah untuk pertanian tanaman pangan/bercocok tanam (croplands); 4. Tanah untuk perkebunan dan pengembalaan (pasture and grazing lands); 5. Tanah untuk kehutanan (forest land); 6. Tanah untuk pertambangan (mineral lands); 7. Tanah untuk rekreasi (recreation lands); 8. Tanah cadangan untuk keperluan tertentu (sevice area); 9. Tanah tandus dan padang pasir (bareen and waste). Klasifikasi penggunaan tanah di atas pada dasarnya tidak mutlak karena dalam praktek sering terjadi penggunaan yang tumpang tindih (overlapped), seperti kelompok tanah untuk pertanian tanaman pangan, tanah untuk perkebunan dan pengembalaan dan tanah untuk kehutanan yang juga sering dikategorikan sebagai penggunaan untuk pertanian (agricultural uses) dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Konsepsi kapasitas penggunaan tanah (land use capacity) berupaya mengkaitkan antara kemampuan tanah dengan kemampuan relatif sebidang tanah untuk menghasilkan nilai lebih atau kepuasan atas biaya-biaya yang dikeluarkan di dalam penggunaan tanah tersebut. Kapasitas penggunaan tanah ini sangat dipengaruhi oleh faktor kualitas tanah dan factor aksesibilitas. Faktor kualitas meliputi kemampuan relatif sumber daya tanah untuk menghasilkan produk tertentu atau kepuasan tertentu. Sedangkan factor aksesibilitas meliputi lokasi sumber daya, posisinya terhadap pasar dan fasilitas transportasi, dalam hal ini pertimbangannya berkaitan dengan biaya, waktu dan jarak. Berdasarkan faktor-faktor di atas, pada prinsipnya sumber daya tanah mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Pada umumnya para pemilik sumber daya tersebut akan menggunakan tanahnya pada kemungkinan terbaik yang memberikan pendapatan atau kepuasan yang tertinggi. Berkaitan dengan ini, pandangan aspek ekonomi sumber daya tanah yang sering menjadi pembahasan antara lain adalah: 1. Sewa sumber daya tanah (land rent), 2. Lokasi sumber daya tanah (land location), 3. Pajak sumber daya tanah (land tax) (Syihab, 1993). Pengertian mengenai sewa tanah (land rent) muncul seiring dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu. Mereka yang tidak mempunyai tanah biasanya berusaha menguasai/memiliki tanah untuk berbagai keperluannya, yang antara lain melalui dengan membeli, menyewa atau mengkontraknya. Teori ekonomi klasik mengenai sewa tanah pertama kali diperkenalkan oleh Ricardo pada tahun 1911 yang dikenal dengan Ricardo Rent.
Universitas Sumatera Utara
Sewa tanah menurut Ricardo akan berbeda-beda atau bervariasi (gradient) yang disebabkan oleh adanya tingkat kesuburan tanah yang sangat beragam (heterogenitas tanah). Orang cenderung akan mengusahakan tanah yang subur terlebih dahulu dan setelah yang subur digunakan semuanya, maka kemudian orang mulai memanfaatkan tanah yang kurang subur dan seterusnya hingga pada tanah yang tidak subur (tanah marginal). Perbedaan antara hasil produksi tanah yang subur dengan tanah-tanah yang kurang subur tersebut adalah sewanya (rent). Hal inilah yang diterima pemilik tanah yang subur. Namun dalam teori ini faktor aksesibilitas lokasi tidak terlihat (Koestoer, 1997). Artinya, dampak biaya transportasi seiring dengan jarak lokasi terhadap sewa tersebut belum diperhitungkan. Berbeda dengan teori sewa tanah Ricardo, teori sewa tanah pertanian yang diperkenalkan oleh Von Thunen pada tahun 1826 telah mempertimbangkan faktor aksesibilitas, yaitu melihat hubungan antara lokasi yang berbeda dengan pola penggunaan tanah pertanian (perdesaan) secara sederhana (Syihab, 1993 dan Koestoer, 1997). Pada prinsipnya Von Thunen membagi penggunaan tanah ke dalam beberapa penggunaan, mulai dari daerah dekat yang subur sampai daerah di luar yang tandus. Dengan model concentric ring, lokasi tanah tanaman dengan produktivitas tertinggi akan menempati tempat yang paling dekat dengan pusat kota. Artinya, distribusi pola penggunaan tanah akan sangat dipengaruhi faktor transportasi dan biaya produksinya. Berdasarkan persebaran penggunaan tanah di atas akan tercipta tingkatantingkatan sewa lokasi (location rent) atau manfaat ekonomi (economic utility), karena
Universitas Sumatera Utara
nilai jual hasil produksi tertentu di pasar meningkat seiring dengan peningkatan biaya transportasi, sewa lokasi dan penurunan jarak. Hal ini berarti bahwa semakin ke pusat kota maka sewa tanah/lokasi semakin tinggi yang disebabkan penurunan biaya transportasi dan sebaliknya semakin jauh dari pusat kota maka sewa tanah/lokasi semakin rendah karena adanya kenaikan biaya transportasi yang harus ditanggung oleh petani. Teori ekonomi neo-klasik yang diperkenalkan Alonso pada tahun 1964 banyak diilhami ole ide-ide Von Thunen. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan model Von Thunen, yakni selain menekankan masalah daerah pedesaan, namun juga berkaitan dengan wilayah perkotaan (Koestoer, 1997). Model Alonso menekankan bahwa penggunaan tanah pertanian di pedesaan sama dengan penggunaan tanah di perkotaan. Artinya, suatu tanah mempunyai sewa tertentu jika pemakainya rela membayar sejumlah tertentu untuk suatu lokai tertentu, sehingga penggunaan tanah di perkotaan berhubungan dengan perbedaan sewa tanah yang dimililkinya. Dalam menjelaskan konsepnya, Alonso memperkenalkan kurva penawaran sewa (bid rent curve). Bid rent curve (BRC) untuk perkotaan diperkenalkan tiga jenis penggunaan tanah, yaitu (1) retailing, (2) industrial, (3) residential. BRC retailing mempunyai kurva paling curam, yang disebabkan akan kebutuhannya terhadap aksesibilitas tertinggi. BRC industrial mempunyai kurva lebih landai dibandingkan retailing, yang dikarenakan kebutuhannya terhadap aksesibilitas tidak sebesar pada retailing. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sewa tanah akan menurun dengan
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya jarak dari titik lokasi tertentu yang mempunyai aksesibilitas maksimal ke pusat kota, hal ini dikompensasikan oleh peningkatan biaya transportasi. Lokasi yang berdekatan dengan pusat kota memiliki aktivitas dengan intensitas-intensitas yang padat, dan intensitas kegiatan tersebut semakin menurun dengan semakin dekatnya lokasi tersebut terhadap pinggiran kota. Sejalan dengan konsep di atas tersebut, menurut pengamatan Alonso bahwa perumahan di kota besar cenderung disusun dalam bentuk lingkaran-lingkaran zones. Oleh karena adanya perubahan teknologi yang di bidang transportasi dan komunikasi, serta peningkatan standar hidup penduduk yang semula tinggal di dekat pusat kota yang padat dan kumuh, telah mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke luar kota (Yunus, 1999). Penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi akan memilih tempat tinggal jauh dari pusat kota dan sebaliknya yang berpendapatan lebih rendah akan mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan pusat kota. Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi penduduk yang berpendapatan tinggi mempunyai elastisitas yang lebih tinggi terhadap permintaan perumahan baru dengan luas tanah yang lebih besar dalam struktur ruang modern. Kecenderungan di atas oleh para pengusaha pengembang juga dimanfaatkan dalam mengantisipasi kebutuhan perumahan penduduk yang berpendapatan tinggi tersebut. Lokasi yang jauh dari pusat (pinggiran) perkotaan dengan harga tanah yang relatif lebih murah, sehingga memungkinkan para pengembang tersebut membeli tanah yang lebih luas. Dengan kata lain, bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, maka diharapkan akan meningkatkan pula
Universitas Sumatera Utara
permintaan terhadap perumahan masyarakat. Namun hal tersebut tentu akan semakin mendesak keberadaan tanah-tanah pertanian dan masyarakat petani yang berada di pinggiran perkotaan. Persoalan yang sangat penting dalam hal ini adalah bagaimana caranya pemerintah (Pemda) membuat suatu kebijakan yang mengatur dan mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan tanah pembangunan perumahan masyarakat tersebut seiring dengan perkembangan penduduknya, sehingga konflik yang ditimbulkan dari kebijakan pembangunan itu dapat ditekan seminimal mungkin.
2.5.
Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Pembangunan perumahan dan pemukiman adalah sebagai suatu proses
pekerjaan yang dilakukan secara sadar dalam rangka menciptakan hunian yang sehat, bersih, teratur dan nyaman. Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat berfungsi sebagai sarana produktif keluarga merupakan titik strategi dalam pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, karena dengan pemenuhan kebutuhan perumahan akan mempermudah pemenuhan kebutuhan dasar lainnya sehingga dapat mempercepat pembangunan keluarga yang pada gilirannya mempercepat pembangunan bangsa. Miraza (2005) menyatakan lingkungan fisik dan peradaban masyarakat akan berubah, mengikuti perubahan yang terjadi, dampak dari pembangunan serta pengembangan. Perumahan bukan sekedar sarana hunian belaka. Rumah memiliki hubungan erat secara struktural atas suatu kawasan tertentu. Keterikatan rumah dengan lahan
Universitas Sumatera Utara
tempat rumah tersebut didirikan menjadi sebuah kondisl yang mutlak terjadi. Rumah yang ideal adalah rumah yang memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan serta menempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana tata ruang, pemeliharaan sanitasi lingkungan dan penyediaan fasilitas umum dapat disinkronkan. Keberadaan perumahan tidak terpisah dari suatu kawasan atau wilayah. Di samping itu prasyarat perumahan harus memenuhi tuntutan kesehatan dan penataan yang baik (Sulistiyani, 2002). Keberadaan perumahan melekat pada suatu kawasan, berarti secara mutlak rumah berdiri membutuhkan lahan. Guna terpenuhi persyaratan perumahan yang memadai dan lingkungan yang baik maka sebuah rumah memerlukan lahan yang cukup. Sementara itu penyediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan semakin sempit. Khususnya di perkotaan permasalahan serupa menjadi semakin menonjol dari waktu ke waktu seiring dengan kebutuhan pertumbuhan perkotaan itu sendiri. Pertumbuhan perkotaan yang ditandai dengan bertambahnya keperluan fasilitas kota baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan keanekaragamannya juga harus ditopang dengan lahan yang cukup luas. Pada saat kedua permasalahan ini muncul, yaitu problem lahan perumahan dan lahan untuk sarana dan prasarana kota ini di permukaan secara serentak maka akan menjadi semakin kritis. Bagaimanapun kedua kebutuhan yang saling berseberangan ini memiliki modus yang sarna, dengan demikian lahan yang dibutuhkan menjadi semakin luas.
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan kota yang pesat membutuhkan lahan yang luas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pusat-pusat kegiatan kota, seperti prasarana jalan, pusat-pusat industri, mall, supermarket, jaringan transportasi, terminal, pasar, hotel, kawasan pusat pemerintahan dan masih banyak lagi. Fenomena ini semakin memperjelas apa yang disampaikan oleh Prawirosumantri dalam Sulistiyani (2002), "perumahan mempunyai hubungan dengan perkembangan kota". Sehubungan dengan teori pertumbuhan kota dan pengaruh yang ditimbulkannya dapat diwakili oleh terjadinya perubahan-perubahan morpologis yang telah melanda sudut-sudut kota, bahkan menyita hampir semua tempat strategis untuk dijadikan pusat-pusat kegiatan kota. Perubahan morpologis yang dimaksudkan adalah terjadinya pergeseran fungsi suatu lahan yang semula berupa tanah lapang, persawahan, pekarangan atau bahkan kawasan perumahan kemudian digusur dan dipergunakan untuk mendirikan gedunggedung seperti kawasan wisata, perusahaan, pusat pembelanjaan dll. "Jakarta, misalnya dalam dekade terakhir ini terpaksa harus merelakan lenyapnya sekitar 30.000 ha tanah pertanian dan perkebunannya yang sangat berbahaya, ditelan oleh pembangunan" (Siahaan, 1986). Penggusuran pemukiman penduduk bahkan sering dilakukan untuk sekedar memenuhi tuntutan pembangunan pusat-pusat kegiatan. Banyak rumah tempat tinggal berubah fungsi menjadi perkantoran dan atau pusat-pusat pembelanjaan, ruang-ruang terbuka, bahkan kawasan yang hijau terpaksa menciut lantaran didesak oleh gedunggedung komersial. Memang sulit untuk dielakkan terjadinya pembangunanpembangunan prasarana dan sarana kota untuk memenuhi kebutuhan kegiatan kota,
Universitas Sumatera Utara
meskipun di balik kepentingan pembangunan fisik kota tersebut, ada kepentingan masyarakat yang jauh lebih urgen telah dikorbankan. Resiko yang muncul akibat pembangunan fisik kota adalah anggota masyarakat kehilangan tempat tinggal, sementara ganti rugi yang diberikan baik oleh pemerintah atau pihak swasta yang berkompeten, seringkali tidak memadai untuk mendapatkan tempat tinggal yang baru. Banyak kasus yang terjadi berupa pemaksaan kepada masyarakat untuk menyerahkan tempat tinggal dan lahan satu-satunya yang dimiliki untuk dijadikan sebagai arena proyek, yang sesungguhnya belum tentu manfaatnya bagi masyarakat. Bahkan di kampung-kampung atau kawasan yang tertimpa proyek, acapkali terjadi demo menuntut ganti rugi yang memadai. Fenomena ini memperlihatkan, ada perbenturan kepentingan antara mempertahankan lahan perkampungan di tengah-tengah kota atau membiarkan pertumbuhan kota dengan sagala konsekuensinya termasuk mengorbankan lahan pemukiman penduduk untuk kepentingan pembangunan pusat-pusat kota. Sementara pembangunan fisik kota yang pesat akan memunculkan semakin menciutnya kawasan pemukiman, di samping menguatnya sektor industri, bisnis yang justeru mengakibatkan polusi dan degradasi lahan akibat pencemaran. Kondisi-kondisi tersebut bagaimanapun secara tidak langsung telah menurunkan kualitas hidup, yaitu menghilangkan satu komponen kebutuhan dasar masyarakat berupa tempat tinggal yang layak. Dengan demikian pembangunan perumahan di perkotaan terlebih lebih di kota-kota besar menjadi permasalahan yang semakin rumit dan dilematis, karena berhadapan dengan petumbuhan kota itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Kota-kota di negera sedang berkembang menghadapi problem serupa (keterbatasan lahan untuk pemukiman), bahkan permasalahannya semakin meluas dengan adanya faktor lain. Problem lainnya berupa perumahan yang tidak layak huni, lingkungan yang telah terdegradasi akibat pengolahan limbah yang kurang sempuma, munculnya rumah-rumah liar (squatter), dan kawasan kumuh yang semakin meluas. Perumahan yang tidak layak huni bermunculan di mana-mana, merupakan pemandangan yang kurang sedap, di tengah kota yang gemerlapan, sekaligus merupakan potret ketimpangan antara si miskin dan si kaya. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, pertama faktor masyarakat sendiri yang tidak mampu, karena penghasilan rendah atau marginal, sehingga tidak mampu menjangkau harga rumah layak yang semakin mahal dari waktu ke waktu. Kedua faktor keterbatasan penyediaan rumah yang layak dengan dengan harga yang murah.
2.6.
Ekonomi Masyarakat Ciri yang umum dinegara yang sedang berkembang ditandai dengan
rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, walaupun diantara negara berkembang itu ada yang mempunyai pendapatan perkapita sama dengan negara-negara maju. Masalah pokok yang dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah kemiskinan yang menimpa sebagian besar penduduknya. Usaha untuk mengatasinya adalah dengan melaksanakan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan tarap hidup masyarakat atau sebagai suatu proses yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1989). Usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita diperlukan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi hingga dapat melampaui pertumbuhan penduduk yang terjadi dalam periode yang sama. Akan tetapi pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi melahirkan masalah merawankan dalam pemerataan ekonomi dan sosial yang bermula dari penemuan Kuznets, dkk (Hasibuan, 1993). Hasil penemuan mereka, membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan pembagian pendapatan (ketimpangan relatif). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sumitro (Mahlil, 2001) bahwa terdapat kecenderungan seakan-akan pola dan sifat pertumbuhan justru menambah kepincangan pembagian pendapatan. Alasan
yang
dikemukakan:
pertama,
karena
untuk
mencapai
laju
pertumbuhan yang tinggi maka sektor modern pasti mendapat tempat karena dapat meningkatkan pertumbuhan yang cepat. Hal ini menyebabkan tidak meratanya pembagian kesempatan kerja. Kedua, mengejar pertumbuhan sama artinya mengutamakan daerah yang sebelumnya sudah maju, sehingga daerah yang sudah maju akan bertambah maju dan daerah terbelakang akan semakin tertinggal. Di dalam banyak literatur mengenai teori distribusi pendapatan dapat ditemukan beberapa pendekatan untuk pengukurannya antara lain: pertama, distribusi pendapatan fungsional atau distribusi faktor yang lazim digunakan oleh ahli ekonomi yang mencoba menerangkan pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing
Universitas Sumatera Utara
faktor. Kedua, distribusi pendapatan personal (personal income distribution) yang merupakan distribusi pendapatan perorangan yang menyangkut segi manusia sehingga perorangan atau rumah tangga dan total pendapatan yang diterima (Todaro, 1998). Pada dasarnya kedua pendekatan inilah yang digunakan untuk menganalisis dan menilai distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan fungsional yang berasal dari teori produktivitas marginal, atau yang dikenal dengan distribusi balas jasa dalam teori ekonomi mikro. Perangkat analisis dari distribusi fungsional adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan dalam fungsi produksi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori yang mendasarinya memiliki hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang dihasilkan didalam suatu proses produksi spesifik. Pendekatan yang lazim dipergunakan adalah pendekatan distribusi personal atau rumah tangga. Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan perorangan kedalam kelompok (deciles atau quintiles) yang akan menggambarkan pola pembagian pendapatan di dalam suatu kelompok masyarakat. Kemudian menetapkan proporsi yang diterimanya oleh masing-masing kelompok dari pendapatan total.
2.7.
Pengembangan Wilayah Pengembangan
dapat
diartikan
sebagai
suatu
kegiatan
menambah,
meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar
Universitas Sumatera Utara
pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Miraza (2005) di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unsur dimaksud seperti natural resources, human resources, infrastructure, technology dan culture. Siagian (1982), pengembangan wilayah adalah merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana dan dilaksanakan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa. Sandy (1992) pengembangan wilayah pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta tetap mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Hadisaroso (1993), mengemukakan pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah/kawasan dalam rangka usaha
memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup
masyarakat.
Lebih
lanjut
pengembangan wilayah menurut Soegijoko (1997) merupakan upaya pemerataan pembangunan dengan mengembangkan wilayah-wilayah tertentu melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah itu secara efektif dan efisien serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sirojuzilam (2005), pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu
dan
Universitas Sumatera Utara
mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya. Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya pengembangan wilayah dapat dikelompokkan menjadi usaha-usaha mencapai tujuan bagi kepentingan-kepentingan di dalam kerangka azas: a. Sosial Usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, dan seluruh masyarakat di dalam wilayah itu diantaranya dengan mengurangi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja serta menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang baik seperti pemukiman, papan, fasilitas transportasi, kesehatan, sanitasi, air minum dan lain-lainnya. b. Ekonomi Usaha-usaha mempetahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan
Universitas Sumatera Utara
kondisi-kondisi ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik. c. Wawasan Lingkungan Pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil lingkungan dari, atau memanfaatkan memanfaatkan potensi alam, sedikit banyak akan mempengaruhi kesetimbangannnya, yang apabila tidak diwaspadai dan dilakukan penyesuaian terhadap dampak-dampak yang terjadi akan menimbulkan kerugian bagi manusia, khususnya akibat dampak yang dapat bersifat tak terubah lagi (irreversible change). Untuk mencegah hal-hal ini maka di dalam melakukan pengembangan wilayah, program-programnya harus berwawasan lingkungan dengan tujuan: mencegah kerusakan, menjaga kesetimbangan dan mempertahankan kelestaian alam,
2.8.
Penelitian Sebelumnya Adapun penelitian yang telah dilakukan mengenai pembangunan perumahan,
pendapatan dan pengembagan wilayah sebelumnya antara lain: 1. Tarigan (2001) “Pengaruh Pembangunan Perumnas III Simalingkar terhadap Sosial Ekonomi di Daerah Sekitarnya” dengan pendekatan studi dilakukan dengan melakukan analisis desktiptif dan uji t, menyimpulkan bahwa pembangunan Perumnas III Simalingkar berpengaruh positif terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, yakni berupa peningkatan pendapatan,
Universitas Sumatera Utara
kesempatan kerja, fasilitas tempat kerja, jaminan kesehatan, fasilitas keselamatan kerja, fasilitas transportasi, fasilitas kesehatan masyarakat, fasilitas pendidikan, fasilitas
peribadatan, fasilitas
penerangan, fasilitas
air
bersih, fasilitas
telekomunikasi, fasiltas perbankan, sumber permodalan. 2. Isnawati (2006) ‘Peran Developer dalam Penyediaan Rumah Sederhana di Kota Semarang”, dengan pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, menyimpulkan bahwa dari 8 developer anggota REI Komisariat Semarang 33% developer mengembangkan perumahan sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan 67% mengembangkan perumahan sederhana untuk masyarakat yang mampu membeli rumah sederhana tersebut. Peran yang dominan dilakukan developer perumahan adalah peran sebagai penyedia. Mereka menyediakan rumah siap huni dengan keuntungan sekitar 6% dari total biaya yang dikeluarkan untuk membangun satu rumah dan ada juga yang mengembangkan perumahan dengan keuntungan lebih dari 6%. Developer memilih lokasi di daerah pinggiran kota karena harga lahan murah sehingga harga jual rumah dapat dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Peran yang sering diabaikan oleh developer adalah sebagai promotor. Peran sebagai promotor ini yaitu developer harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat sekitar mengenai tujuan dan manfaat pengembangan kawasan perumahan. Adanya sosialisasi dengan masyarakat sekitar tentang tujuan dan manfaat pengembangan kawasan perumahan tersebut diharapkan membuat interaksi masyarakat sekitar dengan penghuni perumahan dapat berjalan lebih lancar.
Universitas Sumatera Utara
2.9.
Kerangka Pemikiran Pembangunan Perumahan Silangkitang Pembangunan Perumahan (PagarSilangkitang Beringin Permai)
Ekonomi Masyarakat
Perkembangan sarana dan Infrastruktur
Pengembangan Wilayah Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian 2.10.
Hipotesis Berdasarkan permasalahan, maka rumusan hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Pembangunan Perumahan Silangkitang (Pagar Beringin Permai) Desa Pagar Batu Kecamatan Sipoholon berpengaruh meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitarnya. 2. Pembangunan Perumahan Silangkitang (Pagar Beringin Permai) Desa Pagar Batu Kecamatan Sipoholon berpengaruh meningkatkan perkembangan sarana dan infrastruktur.
Universitas Sumatera Utara