BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Perkembangan GSM (Global System for Mobile Communication) Global System for Mobile Communication (GSM) pertama kali dikenal pada tahun 1982 dan merupakan nama sebuah komite di bawah payung Conference Europeenne des Postes et Telecommunications (CEPT) yang dibentuk untuk mendefinisikan standar baru telekomunikasi mobile untuk menggantikan berbagai macam standard telekomunikasi mobile analog yang banyak digunakan di beberapa negaranegara Eropa. Standar telekomunikasi tersebut dirancang menggunakan teknologi digital yang berbeda dengan standar sebelumnya dimana teknologi analog tidak lagi dipergunakan. Jaringan GSM pertama diluncurkan pada tahun 1991 dan tidak lama setelah peluncurannya, segera saja sebagian besar negara di eropa menerapkan teknologi GSM dengan diiringi penyebaran GSM diluar negara Eropa. Oleh karena perkembangannya yang sangat pesat, istilah GSM kemudian diganti menjadi Global System for Mobile Communication dan GSM terbukti menjadi standar yang paling banyak diterapkan di atas planet ini. Pada awal mula standar GSM ditetapkan, GSM hanya beroperasi pada pita frekuensi 900-MHz, dimana sebagian besar jaringan GSM beroperasi menggunakan pita frekuensi tersebut. Penggunaan pita frekuensi lain terjadi di Inggris pada tahun 1993 yakni menggunakan pita frekuensi 1800 MHz dengan nama komersial DCS (Digital Cellular System). Sementara itu, GSM diperkenalkan di Amerika Utara dengan nama komersial PCS (Personal Communication System) yang beroperasi pada pita frekuensi 1900 MHz. [sumber: NSN tedgerancommon, 2009, p58].
6
2.2 Topologi Jaringan GSM Topologi jaringan GSM menggunakan struktur cell sebagaimana tercantum pada gambar 2.1. dan pada jaringan GSM seluler tersebut terdapat pembagian pita-pita frekuensi ke dalam bagian-bagian kecil spektrum frekuensi dan menggunakannya pada beberapa Base Transceiver Station (BTS) yang mewakili sebuah cell yang melayani Mobile Station (MS). Definisi BTS dan MS selanjutnya diterangkan pada sub bab 2.2. Pada gambar 2.1 terlihat jelas bahwa satu cell mencangkup satu daerah layanan telekomunikasi seluler. Air interface adalah antar muka antara BTS dan MS. Sementara itu, perangkat yang menangani layanan beberapa cell tersebut disebut Base Station Subsystem (BSS) yang terintegrasi dengan core network untuk menjalankan fungsi dalam layanan suara (Circuit Switched) dan layanan data (Packet Switched).
Gambar 2.1. Struktur Cell GSM [Sumber: NSN tedgerancommon, 2009, p20]
7
2.3 Komponen Jaringan GSM Pada gambar 2.2 terlihat bahwa sebuah sistem jaringan GSM terdiri dari beberapa elemen subsystem yaitu: Network Switching Subsystem (NSS), Base Station Subsystem (BSS), Network Management Subsystem (NMS). Pada sisi pelanggan terdapat Mobile Station (MS) yang merupakan jaringan yang diperlukan untuk membentuk sebuah panggilan terdiri dari NSS dan BSS. BSS berfungsi untuk mengoontrol jaringan radio (radio Network) dan NSS berfungsi untuk mengendalikan fungsi-fungsi kontrol oleh karena itu seluruh panggilan selalu melewati NSS [sumber: NSN tedgerancommon, 2009, p30-p35].
Gambar 2.2. GSM Subsystems [Sumber: NSN tedgerancommon, 2009, p21]
Subsistem Jaringan GSM dan komponennya
Mobile Station (MS) Mobile Station (MS) adalah perangkat telekomunikasi pada sisi pemakai jaringan. MS terdiri dari peralatan terminal yang disebut Mobile Equipment (ME) dan data 8
pelanggan yang disimpan dalam modul yang disebut kartu Subscriber Identity Module (SIM). SIM berlaku sebagai Database yang berisi nomor identifikasi pengguna dan daftar jaringan yang tersedia. SIM juga komponen untuk proses pemeriksaan keaslian (authentication) dan penyandian (chipering). Juga terdapat ruang memory untuk menyimpan pesan dan nomor telepon.
Base Station Subsystem (BSS) Base Station Subsystem (BSS) adalah perangkat telekomunikasi yang berfungsi untuk mengatur jaringan radio. Sebuah BSS terdiri dari BTS, TRAU dan BSC yang meliputi wilayah yang luas dan terdiri banyak sel dengan fungsi-fungsi sebagai berikut:
Base Transceiver Station (BTS) Base Transceiver Station (BTS) adalah perangkat telekomunikasi yang mengatur Air Interface dan meminimalkan gangguan transmisi karena Air Interface sangat sensitif terhadap gangguan. Untuk mengatasi masalah ini BTS memiliki 120 parameter yang mendefinisikan dengan tepat jenis suatu BTS dan bagaimana MS dapat mengetahui adanya jaringan ketika bergerak memasuki BTS area. Parameter–parameter BTS menangani hal–hal sebagai berikut: tipe dari handover (kapan dan mengapa), pengaturan paging, kendali level daya radio, dan identifiksasi BTS. Beberapa proses yang dilakukan BTS diantaranya adalah: 1.
Pensinyalan Air Interface Beberapa pensinyalan yang terkait panggilan maupun non panggilan harus dilakukan agar sistem dapat bekerja. Contohnya antara lain ketika MS dihidupkan untuk pertama kali, diperlukan pengiriman dan penerimaan banyak informasi ke BTS sebelum dapat membuat dan menerima panggilan telepon. Pensinyalan diperlukan untuk memulai sebuah panggilan. Kemudian pensinyalan diperlukan untuk melakukan handover.
2.
Penyandian (ciphering)
9
MS dan BTS harus dapat melakukan penyandian dan pembacaan sandi dari informasi untuk melindungi percakapan dan data yang terkirim lewat Air Interface. 3.
Pengolahan Sinyal Percakapan (speech processing) Pengolahan sinyal percakapan meliputi fungsi–fungsi seperti speech coding yakni digital ke analog pada arah downlink dan analog ke digital pada arah uplink, channel coding untuk perlindungan terhadap kerusakan informasi, interleaving untuk meningkatkan keamanan transmisi, dan pembentukan burst.
Transcoding Rate and Adaptation Unit (TRAU) Transcoding Rate and Adaptation Unit (TRAU) adalah perangkat telekmunikasi yang melakukan konversi antara dua format pemampatan yang dilakukan di antara BTS dan jaringan sentral. Pada Air Interface, frekuensi radio merupakan media pembawa informasi. Untuk menghasilkan sebuah transmisi informasi percakapan digital yang efektif melalui Air Interface, sinyal percakapan digital tersebut mengalami proses pemampatan (commpression). Jaringan GSM juga harus dapat berkomunikasi dengan jaringan PSTN (jaringan telepon kabel) dimana format pemampatan sinyal yang digunakan berbeda.
Base Station Controller (BSC) Base Station Controller (BSC) adalah komponen sentral dari jaringan BSS yang berfungsi untuk mengontrol jaringan radio yaitu BTS dan TRAU.
Network Switching Subsystem (NSS) NSS adalah perangkat telekomunikasi yang terdiri dari komponen jaringan Mobile services Switching Centre (MSC), Visitor Location Register (VLR), Home Location Register (HLR), Authentication Centre (AC) dan Equipment Identity Register (EIR).
10
Mobile services Switching Center (MSC) MSC bertanggung jawab atas pengendalian panggilan dalam jaringan GSM. MSC mengidentifikasi asal dan tujuan sebuah panggilan dari MS ataupun telepon kabel sekaligus tipe dari panggilan. Sebuah MSC yang berlaku sebagai jembatan antara jaringan GSM dan telepon kabel disebut Gateway MSC (GMSC). MSC bertanggung jawab atas beberapa fungsi penting sebagaimana berikut: 1.
Pengaturan panggilan MSC mengidentifikasi tipe dari panggilan, tujuan dan asal dari sebuah panggilan. Ia juga bertanggung jawab atas pembentukan, pengawasan, dan pembersihan panggilan.
2.
Pencetus dari proses paging. Paging adalah proses penentuan lokasi dari suatu MS yang tujuan panggilan.
3.
Pengumpulan data tagihan layanan.
Visitor Location Register (VLR) Visitor Location Register (VLR) adalah Database yang berisi informasi tentang pelanggan yang berada dalam suatu area layanan. Informasi itu antara lain: 1.
Nomor identifikasi dari pelanggan.
2.
Informasi keamanan untuk proses auntetikasi dari SIM dan untuk penyandian (ciphering).
3.
Layanan yang dapat digunakan pelanggan.
VLR melakukan pendaftaran (registration) lokasi dan pemutakhiran. Ketika sebuah MS memasuki suatu area layanan VLR yang baru, MS melakukan pemutakhiran lokasi. Database VLR bersifat sementara, dalam pengertian bahwa data tentang pelanggan tersimpan dalam VLR selama pelanggan tersebut berada dalam area layanan VLR tersebut. VLR juga berisi alamat dari HLR pelanggan tersebut.
Home Location Register (HLR) Home Location Register (HLR) adalah perangkat telekomunkasi untuk mengelola data tetap dari pelanggan seperti nomor identitas pelanggan. Disamping data tetap, HLR
11
juga memutakhirkan lokasi dari pelanggan setiap saat. Informasi ini digunakan MSC untuk mencari lokasi MS yang menjadi tujuan suatu panggilan.
Aunthetication Centre (AuC) Aunthetication Centre (AuC) adalah perangkat telekomunikasi yang memberikan informasi
keamanan
kepada
jaringan.
Dengan
informasi
itu
jaringan
dapat
mengecek/menguji keabsahan dari kartu SIM (proses autentifikasi antara MS dan VLR) dan menyandi infomasi yang dipancarkan lewat Air Interface (antara MS dan BTS).
Equipment Identity Register (EIR) Equipment Identity Register (EIR) adalah perangkat telekomunikasi yang juga mempunyai fungsi keamanan jaringan seperti AuC. Namun jika AuC memberikan informasi untuk mengecek kartu SIM, maka EIR berfungsi untuk mengecek International Mobile Equipment Identity (IMEI). Pada saat proses pengecekan, MS diminta untuk memberikan nomor IMEI. Nomor ini berisi kode persetujuan jenis (type approval code), kode perakitan akhir (final assembly code) dan nomor seri (serial number) dari handphone (Mobile Equipment). EIR memiliki tiga kategori dari ME: 1.
ME dalam daftar putih (white list) diijinkan beroperasi secara normal.
2.
ME dalam daftar abu-abu (grey list) dapat diawasi jika dicurigai adanya kerusakan padanya.
3.
ME dalam daftar hitam (black list) tidak diijinkan untuk beroperasi dalam jaringan.
Network Management Subsystem (NMS) Network Management Subsystem (NMS) adalah perangkat telekomunikasi yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai fungsi dan komponen dari jaringan. Workstation operator terhubung ke Database server komunikasi melalui Local Area Network (LAN). Server Database menyimpan informasi manajemen tentang jaringan. Server komunikasi bertanggung jawab atas komunikasi data antara NMS dan peralatan di dalam jaringan GSM yang dikenal dengan komponen jaringan. Komunikasi
12
ini dilakukan melalui sebuah Data Communications Network (DCN), yang terhubung ke NMS melalui sebuah router. Fungsi dari NMS dapat dibagi menjadi tiga kategori: 1.
Manajemen kegagalan (fault management). Tujuan dari fault management adalah untuk memastikan kelancaran dari operasi jaringan dan koreksi yang cepat dari berbagai permasalahan yang terdeteksi. Fault management memberitahukan kepada operator tentang status dari kejadian yang membahayakan dan mengelola sebuah Database yang berisi tanda-tanda bahaya. 2. Manajemen konfigurasi (configuration management). Tujuan dari configuration management adalah untuk mengelola informasi up-todate tentang status operasi dan konfigurasi dari komponen jaringan.
3.
Manajemen Perfomansi (perfomance management). Dalam
performance
management,
NMS
mengumpulkan
data-data
hsil
pengukuran dari masing-masing komponen jaringan dan menyimpanya di dalam sebuah Database. Berdasarkan data ini, operator jaringan dapat membandingkan performansi
yang
sebenarnya
dari
jaringan
dengan
performansi
yang
direncanakan dan mendeteksi performansi area yang baik dan tidak baik dalam jaringan.
2.4 Information Technology Infrastructure Library (ITIL) Information Technology Infrastructure Library (ITIL) adalah kumpulan best practices untuk Information Technology Service Management (ITSM). Sedangkan Information Technology Service Management (ITSM) itu sendiri merupakan panduan proses-proses tentang TI service yang ada dalam organisasi, yang membungkus seluruh tipe fungsional TI, yang sebelumnya lebih berorientasi kepada sebuah aplikasi atau infrastruktur. Pendekatan ITSM ditujukan untuk memperkecil kesenjangan bahasa antara pengelola TI dengan unit bisnis yang menggunakan layanan TI, sehingga alignment antara bisnis dan TI dapat terwujud dari sejak awal siklus hidup TI.
13
Dalam pengelolaan Jaringan Telekomunikasi seluler, PT. XYZ menggunakan ITIL sebagai teknologi manajemen jaringannya. ITIL atau Information Technology Infrastructure Library, merupakan sebuah framework yang dibuat dan dikembangkan oleh Office of Government Commerce (OGC) di Inggris. ITIL merupakan kumpulan dari best practice tata kelola layanan teknologi informasi diberbagai bidang dan industri, dari mulai manufaktur sampai finansial, industri besar dan kecil, swasta dan pemerintah, termasuk sektor telekomunikasi seluler. ITIL telah mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Gambar 2.3 menunjukkan komponen-komponen yang terdapat pada ITIL versi 3. Perubahan mendasar pada versi ini terletak dari sudut pandang pengelolaan TI, dimana pada versi 2 ITIL mengelola layanan sebagai sekumpulan proses dan fungsi sementara dalam ITIL versi 3 layanan sebagai sebuah daur hidup [sumber: ITIL Handbook, 2007, p18].
Gambar 2.3. ITIL versi 3 [Sumber: ITIL Handbook, 2007, p19]
14
Perbedaan sudut pandang antara ITIL versi 2 dan ITIL versi 3 hanya merupakan sebuah reorganisasi dan restrukturisasi alur, dimana TI dan bisnis sudah tidak lagi memiliki pandangan yang berbeda yang harus dijembatani dan diselaraskan (alignment), tetapi diharapkan TI dan bisnis sudah diarahkan untuk melihat layanan sebagai ujung dari semua proses yang ada. Oleh karena itu, daur hidur layanan dari mulai definisi strategi, desain, transisi, operasional serta perbaikan yang dilakukan terus menerus dapat dilakukan secara bersama-sama serta dari sudut pandang yang sama antara bisnis dan TI. Sehingga, secara konseptual tidak diperlukan lagi suatu usaha untuk menselaraskan antar pandangan TI dan bisnis, karena memang seharusnya sudah selaras. Untuk perusahaan yang sudah mengimplementasikan ITIL versi 2 dan berniat untuk melakukan implementasi ITIL versi 3, disarankan untuk membuat blueprint dan roadmap serta mengidentifikasi quick win dari seluruh proses dan fungsi yang terdapat dalam ITIL versi 3, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan terhadap proses-proses ITIL versi 2 yang saat ini telah terimplementasi. Sehingga proses implementasi menjadi lebih terarah dan tidak membingungkan. Dalam ITIL versi 3 lebih banyak lagi proses dan fungsi yang terlibat dan apabila tidak disusun strategi implementasi serta tujuan yang jelas dari awal dapat jadi implementasi tidak akan berhasil dilakukan. Secara garis besar ITIL versi 3 terdiri dari lima bagian dan lebih menekankan pada pengelolaan siklus hidup layanan yang disediakan oleh teknologi informasi. Kelima bagian tersebut adalah: 1.
Service Strategy
2.
Service Design
3.
Service Transition
4.
Service Operation
5.
Continual Service Improvement
2.4.1 Siklus Layanan ITIL Kelima bagian ITIL yang seperti tersebut di atas disebut juga sebagai bagian dari sebuah siklus. Dikenal pula dengan sebutan Silus Layanan ITIL. Secara singkat, masingmasing bagian dijelaskan dalam sub bab berikut ini.
15
2.4.1.1 Service Strategy Inti dari ITIL Service Lifecycle adalah Service Strategy. Service Strategy memberikan panduan kepada pengimplementasi ITSM pada bagaimana memandang konsep ITSM bukan hanya sebagai sebuah kemampuan organisasi (dalam memberikan, mengelola serta mengoperasikan layanan TI), tapi juga sebagai sebuah aset strategis perusahaan. Panduan ini disajikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar dari konsep ITSM, acuan-acuan serta proses-proses inti yang beroperasi di keseluruhan tahapan ITIL Service Lifecycle. Topik-topik yang dibahas dalam tahapan lifecycle ini mencakup pembentukan pasar untuk menjual layanan, tipe-tipe dan karakteristik penyedia layanan internal maupun eksternal, aset-aset layanan, konsep portofolio layanan serta strategi implementasi keseluruhan ITIL Service Lifecycle. Proses-proses yang dicakup dalam Service Strategy, di samping topik-topik di atas adalah: 1.
Service Portfolio Management
2.
Financial Management
3.
Demand Management Bagi organisasi TI yang baru akan mengimplementasikan ITIL, Service Strategy
digunakan sebagai panduan untuk menentukan tujuan/sasaran serta ekspektasi nilai kinerja dalam mengelola layanan TI serta untuk mengidentifikasi, memilih serta memprioritaskan berbagai rencana perbaikan operasional maupun organisasional di dalam organisasi TI. Bagi organisasi TI yang saat ini telah mengimplementasikan ITIL, Service Strategy digunakan sebagai panduan untuk melakukan review strategis bagi semua proses dan perangkat (roles, responsibilities, teknologi pendukung, dll) ITSM di organisasinya, serta untuk meningkatkan kapabilitas dari semua proses serta perangkat ITSM tersebut.
2.4.1.2 Service Design Agar layanan TI dapat memberikan manfaat kepada pihak bisnis, layanan-layanan TI tersebut harus terlebih dahulu di desain dengan acuan tujuan bisnis dari pelanggan. 16
Service Design memberikan panduan kepada organisasi TI untuk dapat secara sistematis dan best practice mendesain dan membangun layanan TI maupun implementasi ITSM itu sendiri. Service Design berisi prinsip-prinsip dan metode-metode desain untuk mengkonversi tujuan-tujuan strategis organisasi TI dan bisnis menjadi portofolio/koleksi layanan TI serta aset-aset layanan, seperti server, storage dan sebagainya. Ruang lingkup Service Design tidak melulu hanya untuk mendesain layanan TI baru, namun juga proses-proses perubahan maupun peningkatan kualitas layanan, kontinyuitas layanan maupun kinerja dari layanan. Proses-proses yang dicakup dalam Service Design yaitu: 1.
Service Catalog Management
2.
Service Level Management
3.
Supplier Management
4.
Capacity Management
5.
Availability Management
6.
IT Service Continuity Management
7.
Information Security Management
2.4.1.3 Service Transition Gambar 2.4 menunjukkan fungsi dari Configuration Management dalam Service Ttransition. Service Transition menyediakan panduan kepada organisasi TI untuk dapat mengembangkan serta kemampuan untuk mengubah hasil desain layanan TI baik yang baru maupun layanan TI yang dirubah spesifikasinya ke dalam lingkungan operasional. Tahapan lifecycle ini memberikan gambaran bagaimana sebuah kebutuhan yang didefinisikan dalam Service Strategy kemudian dibentuk dalam Service Design untuk selanjutnya secara efektif direalisasikan dalam Service Operation. Proses-proses yang dicakup dalam Service Transition yaitu: 1.
Transition Planning and Support
2.
Change Management
3.
Configuration management
4.
Release & Deployment Management
17
5.
Service Validation
6.
Evaluation
7.
Knowledge Management
Gambar 2.4. Service Transition of ITIL versi 3 [Sumber: ITIL®V3 Service Lifecycle Model, 2007]
2.3.1.4 Service Operation Service Operation merupakan tahapan lifecycle yang mencakup semua kegiatan operasional harian pengelolaan layanan-layanan TI. Di dalamnya terdapat berbagai panduan pada bagaimana mengelola layanan TI secara efisien dan efektif serta menjamin tingkat kinerja yang telah diperjanjikan dengan pelanggan sebelumnya. Panduan-panduan ini mencakup bagaiman menjaga kestabilan operasional layanan TI serta pengelolaan perubahan desain, skala, ruang lingkup serta target kinerja layanan TI. Proses-proses yang dicakup dalam Service Transition yaitu: 1.
Event Management
2.
Incident Management
18
3.
Problem Management
4.
Request Fulfillment
5.
Access Management
2.4.1.5 Continual Service Improvement Continual Service Improvement (CSI) memberikan panduan penting dalam menyusun serta memelihara kualitas layanan dari proses desain, transisi dan pengoperasiannya. CSI mengkombinasikan berbagai prinsip dan metode dari manajemen kualitas, salah satunya adalah Plan-Do-Check-Act (PDCA) atau yang dikenal sebagAi Deming Quality Cycle.
2.5 Configuration management Tesis ini fokus menganalisis tentang configuration management dalam kerangka ITIL yang digunakan oleh PT. XYZ. Configuration management Database atau lebih dikenal dengan CMDB merupakan sebuah repository dari infrastruktur atau komponen TI yang disebut dengan Configuration Item (CI) yang saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk sebuah konfigurasi infrastruktur. CMDB dalam ITIL merupakan sebuah single point of truth yang diharapkan dapat menjadi satu-satunya referensi yang valid bagi konfigurasi infrastruktur TI bagi semua pihak termasuk bagi proses-proses serta fungsi ITIL lainnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa perbedaan antara Configuration, Asset dan Inventory Management. Pada dasarnya ketiga proses ini memiliki dan mengelola data yang sama, namun ada perbedaan dari tujuan masing-masing proses tersebut. Configuration management dimaksudkan untuk mengelola data infrastruktur atau komponen TI dan relasinya dengan yang lain. Dengan demikian dalam Configuration management, Relationship atau hubungan antara satu komponen TI dengan lainnya mendapat penekanan. Sedangkan Asset Management lebih ditujukan dalam pengelolaan aspek finansial dari Asset-asset IT. Sedangkan Inventory Management adalah sebuah proses yang dimaksudkan untuk mengelola stock level dari persediaan, dalam hal ini 19
adalah barang-barang yang termasuk kedalam consumable item atau barang yang habis pakai. Perbedaan ketiga proses ini harus dapat difahami dengan jelas, terutama pada saat implementasi CMDB agar ruang lingkup implementasi tidak menjadi bias dari tujuan CMDB itu sendiri. Namun demikian, dalam prakteknya perlu juga dipertimbangkan dengan selektif requirements yang berhubungan dengan Asset dan Inventory Management sehingga CMDB dapat lebih informatif bagi pengguna CMDB itu sendiri maupun yang berkepentingan terhadap Asset dan Inventory perusahaan.
2.5.1 Membangun sebuah CMDB CMDB atau Configuration management Database merupakan sebuah repository strategis yang digunakan oleh lintas bagian didalam perusahaan. Tidak hanya TI, tetapi juga bisnis, customer dan vendor memiliki kepentingan terhadap data CMDB. Nilai strategis dari CMDB dapat diperoleh apabila sebagian atau seluruh CI dapat dipetakan kedalam sebuah CMDB yang dapat menggambarkan relasi dan hubungan antar CI. CMDB dapat membantu perusahaan dan organisasi TI dalam pengelolaan komponenkomponen infrastruktur, diantaranya melakukan assessment terhadap impact dari perubahan yang akan dilakukan (Change Request/RFC), mengetahui komponen apa yang terpengaruh oleh sebuah incident termasuk lokasi, pengguna, dan komponen lain yang dapat terkena dampak, mengetahui sebagian atau seluruh infrastruktur yang terlibat dalam layanan bisnis perusahaan, dan Pengambilan keputusan manajemen. Namun demikian, pembuatan CMDB tidaklah semudah membangun sebuah Database dan mengisi Database tersebut dengan data. Hal-hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pembuatan CMDB, terutama bagi perusahaan dan organisasi yang memiliki layanan yang banyak serta didukung oleh infrastruktur dalam jumlah besar: • Mendapatkan komitmen dan dukungan dari Manajemen, apabila memungkinkan
bukan hanya dukungan dari Manajemen TI tetapi juga dari Manajemen Bisnis • Mendapatkan komitmen dan bersama-sama dengan pemilik data, pengguna data serta
penanggungjawab data dalam menjaga validitas, akurasi serta kemutakhiran data
20
• Dilakukan dalam beberapa fase untuk mencegah pengumpulan, populasi dan
pengelolaan data yang terlalu besar dalam satu waktu • Setiap perubahan data yang terdapat dalam CMDB, harus dikelola melalui Change
Request (Request for Change – RFC). Dengan demikian setiap terjadi perubahan, seluruh bagian yang berkepentingan terhadap data mengetahui terjadinya perubahan. Oleh karena itu proses Change Management dan Configuration management harus terlebih dahulu atau bersama-sama diimplementasikan dengan pembuatan CMDB • Setelah proses implementasi, harus dibuat sebuah mekanisme Audit Internal (setiap 3
atau 6 bulan) untuk menjaga agar discrepancy data antara CMDB, RFC serta data fisik tidak terlalu besar • Memilih perangkat yang tepat dalam mengelola CMDB dan proses-proses ITSM
lainnya (Incident Management, Problem Management, Service Level Management, Change Management, Release Management, Availability Management, Capacity Management, IT Service Continuity Management, Financial Management for IT, serta Service Desk).
2.6 Key Performance Indicators (KPI) Dalam
tesis ini digunakan data Key performance indicators (KPI) untuk
menganalisis kinerja network BSS PT. XYZ. KPI merupakan serangkaian indikator yang mendefinisikan ukuran-ukuran untuk menentukan kinerja dan memberikan informasi kepada kita sejauh mana kita berhasil mencapai sasaran kinerja yang dibebankan kepada kita. KPI dapat berupa nilai numerikal dari kemampuan sumber daya yang ada. Salah satu contoh KPI pada network BSS adalah Call Setup Success Ratio (CSSR). Ada sejumlah hal yang harus dicermati manakala kita hendak menerapkan proyek telekomunikasi berbasis KPI. Idealnya, setiap perusahaan dapat menyusun semacam katalog KPI untuk tiap bidang telekomunikasi, sebagai contoh [sumber: NSN KPI, 2009, p13]: Call Centre - Waktu Tunggu - Kecepatan rata-rata dalam menjawab panggilan pelanggan
21
- Banyaknya jumlan panggilan - Banyaknya jumlah keluhan pelanggan yang diterima - Pendapatan per panggilan - Kualitas rata-rata panggilan telepon - Banyaknya panggilan yang dialihkan - Rata-rata lamanya panggilan - Kepuasan pelanggan - Banyaknya jumlah panggilan telepon pelanggan yang terjawab dalam 10 detik - Efisiensi agen. Systems and Network Performance Analysis / Capacity Planning - Ketersediaan Layanan - Tingkat Pelayanan - Umur dari perangkat - Tingkat kesalahan Bit (BER) - Kecepatan Data - Waktu Pelayanan saat jatuh - Tingkat pelayanan telepon - Biaya system pelayanan - Biaya operasional - Rata-rata panjangnya waktu pembicaraan - Tingkat kemacetan data dalam pelayanan - Panggilan telepon yang jatuh. Revenue / Financial Analysis - Rata-rata pendapatan tiap pengguna telepon (ARPU) - Jumlan ARPU pelanggan prabayar - Jumlah ARPU menurut kontrak - Pendapatan tiap menit pembicaraan - Persentase pendapatan untuk layanan diluar suara - Average revenue realization (ARR) - Jumlah waktu pemakaian pelanggan - Rata-rata pendapatan tiap pegawai (ARPE)
22
- Rata-rata pendapatan tiap pelanggan (ARPS). Sistem monitoring pencapaian KPI perlu dilakukan. Banyak perusahaan yang telah menyusun KPI dengan cukup baik namun terhenti di tengah jalan diakibatkan tidak adanya sistem pendukung dan monitoring yang baik. Sebagai contoh, perusahaan sudah memiliki KPI mengenai Score Systems and Network Performance Analysis / Capacity Planning, namun ternyata mereka tidak memiliki tools untuk mengukurnya. Atau contoh lain, bagian TI memiliki KPI mengenai rata-rata durasi perbaikan server, namun tidak memiliki tabel monitoring untuk mencatat berapa lama rata-rata proses perbaikan mereka. Contoh lainnya lagi, sebuah bagian memiliki KPI mengenai jumlah komplain pelanggan yang dapat diselesaikan dengan tuntas; namun kemudian tidak mengembangkan mekanisme untuk mengukur proses itu. Contoh diatas menunjukkan
betapa
pentingnya
sistem
monitoring
dan
pendukung
untuk
mendokumentasikan data realisasi KPI. Hanya dengan dukungan skema monitoring inilah, pencapaian KPI setiap bulan atau setiap triwulan dapat dikelola dan dikendalikan dengan optimal. Tanpa sistem monitoring yang baik, pengembangan kinerja pada akhirnya dapat berujung pada apa yang disebut sebagai “KPI Gaming” atau permainan KPI. Dan biasanya gaming ini rentan terjadi pada bagian-bagian support function atau bagian administrasi. Harus diakui dimensi KPI biasanya bermuara pada dua hal yakni : tingkat akurasi penyusunan laporan dan ketepatan waktu penyusunan laporan. Tanpa sistem monitoring yang rapi, data pencapaian KPI dapat diisi dengan tidak cermat. Alhasil, yang sering terlihat data pencapaian KPI mereka cenderung selalu “bagus” (misal tingkat akurasi selalu 100%, dan ketepatan waktu selalu dinyatakan on time; padahal kriteria ketepatan waktu sendiri mereka mungkin belum punya standarnya yang baku). Pada tesis ini digunakan salah satu pengukuran kinerja dengan menggunakan salah satu komponen KPI pada network BSS yaitu Call Setup Success Ratio (CSSR). CSSR adalah perbandingan antara panggilan yang berhasil menduduki kanal trafik (call seizure) dengan jumlah percobaan melakukan panggilan (call attempt). CSSR yang baik adalah CSSR dengan nilai yang tinggi. Pada operator GSM standar minimal CSSR yang digunakan adalah sebesar 98%. Semakin besar CSSR yang didapat dari data trafik (>
23
98%) menunjukkan semakin banyak panggilan yang berhasil menduduki kanal. Apabila CSSR < 98% maka jumlah panggilan yang tidak berhasil menduduki kanal akan semakin banyak. Data CSSR pada tesis ini diambil dari sistem Inspur, sesuai dengan waktu kejadian yang ingin diambil yakni harian, mingguan, ataupun bulanan. Dari data CSSR tersebut pada bab 4 kemudian dianalisis tentang sejauh mana pengaruh aktivitas upgrade software BR10 terhadap kinerja PT. XYZ.
2.7 Statistical Process Control (SPC) SPC dimulai 1920 oleh Steward yakni mementingkan management proses untuk menghasilkan situasi yang menguntungkan untuk bisnis dan konsumen, mempromosikan pentingnya SPC control chart. Harold, Eugene, Demings mengembangkan proses SPC. Formasi Control chart limit telah ditransformasikan dari semula original concept economic limit menjadi profitability limit, berdasarkan variasi group. Acceptance sampling, data analysis, interpretation , managing quality melengkapi kegunaan dari SPC. Problem yang timbul akibat dari modern proses adalah kompleksitas dan variable yang jumlahnya banyak, yang akan membuat teknologi berkembang lebih canggih. Oleh karena itu, model pengontrolan ke depannya harus mempertimbangkan jumlah dan korelasi hubungan antar variabel, dikarakteristikan oleh co-variance matrix, yang ditimbulkan oleh hubungan antara variable dan process [sumber: The Management and Control of Quality, 2005, p215] . False Alarm digunakan pada SPC dalam sebuah batch processes. Masalah semacam ini dapat diselesaikan dengan bantuan multi variance SPC. M-SPC mengkompres multidimensi menjadi beberapa variable yang menjelaskan keragaman dari variabel yang akan diukur, termasuk di dalamnya keterkaitan satu sama lain. Bab ini akan membahas mengenai penggunaaan SPC dan M-SPC dengan menggunakan beberapa komponen parameter. Normal distribution dalam tesis ini digunakan untuk menentukan sampel dari proses yang akan diamati dalam kondisi yang terkendali atau diluar kendali system, yakni dengan cara melakukan perhitungan sampel statistik dan mem-ploting sampel tersebut ke 24
dalam grafik normal distribusi secara teratur. Apabila pola distribusi yang dihasilkan tidak mengalami perubahan dalam kurun beberapa waktu, maka dapat dikatakan bahwa proses tersebut dalam fase yang terkendali secara statistik. Piere, Simon LaPlace mengatakan pada central limit theorm bahwa jika terdapat random sampel untuk sejumlah n observasi yang dipilih dari sebuah populasi data (probability distribution apa saja) dengan nilai rata-rata/ mean µ dan nilai standar deviasi σx-bar = σ/√n. Semakin besar ukuran dari sebuah sampel maka akan semakin baik perkiraan yang akan dihasilkan untuk sampel nilai rata-rata. Tujuannya adalah hendak mengetahui kapan saat terjadinya sebuah process yang diluar kendali (out of control) sehingga adjustment dapat dilakukan pada saat yang tepat. Seluruh proses memiliki variability, yang menyebabkan timbulnya biaya dan kondisi yang tidak diinginkan, maka dari itu, kondisi tersebut semaksimal mungkin harus ditekan. Process adjustment memerlukan biaya tambahan dikarenakan throughput yang lambat dan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Proses pengukuran juga merupakan hal yang tidak murah dikarenakan memakan waktu yang tidak pendek. Oleh karena itu, pentingnya untuk menentukan apa yang harus diukur dari suatu proses dan kapan saat yang tepat untuk melakukan perubahan terhadap proses tersebut.
2.7.1 Control charts Control chart yang terdiri dari sumbu y dan sumbu x, dashed lines yang menggambarkan standar deviasi dari proses sampel (dibawah dan diatas interval), center line yang merupakan nilai rata-rata dari distribusi sampel akan digunakan untuk memperlihatkan gambaran proses yang sedang diamati pada kurun waktu tertentu dengan beberapa aturan yang dapat digunakan yaitu: 1. Satu titik yang berada diluar daripada standar deviasi ketiga merupakan upper control limit (UCL) dan lower control limit (LCL), yaitu yang memiliki kemungkinan sebesar 100% hingga 99.7 % atau 0,003 atau 3 kemungkinan dalam setiap 1000. 2. Dua titik yang berada di antara deviasi kedua dan ketiga berada pada sisi yang sama dari pusat garis, yakni akar pangkat dua dari pengurangan 99.7% dan 95.5% dibagi dua sama dengan 0.0004.
25
3. Tujuh buah titik yang berdekatan yang seluruhnya terletak di atas atau di bawah nilai rata-rata (setiap titiknya memiliki probabilitas sebesar 50%). 4. Jika terdapat lima titik yang berurutan naik atau turun yang membentuk suatu pola, hal ini menandakan perubahan proses.
2.7.2 Atribut dan Variabel Terdapat banyak macam control chart yang digunakan, namun harus dipilih yang sesuai dengan apa yang hendak diukur dan dihitung secara statistik. Satu cara untuk menentukan chart yang sesuai adalah pertama-tama dengan menentukan metode yang akan digunakan, yaitu kualitatif atau kuantitatif, dimana kedua metode tersebut menggunakan angka-angka. Nilai-nilai numerik pada data kualitatif merupakan jumlah defect/data yang terhitung rusak atau fraction defect dalam persentase. Keduanya digunakan untuk mengukur atribut , karekteristik kualitas dari sebuah nilai discrete, sebagai contoh adalah pengukuran proses yang defect versus yang non-defect. Pada kasus ini digunakan c-chart yang didapat dari hasil kesalahan yang muncul pada sampel data atau p-chart yang didapat dari hasil persentase kesalahan dalam sampel data. Dari sampel data yang digunakan dihitung nilai rata-rata dan nilai range dengan formula berikut ini:
Kemudian nilai rata-rata dan nilai range digunakan untuk menentukan upper control limit (UCL) dan lower control limit (LCL) untuk grafik rata-rata dan range. UCL dan LCL dapat dengan mudah menggunakan formula berikut:
26
Setelah itu data kuantitatif ini yang merupakan variable data yang dihitung dan merupakan data yang berkelanjutan (continuous data) serta menggunakan nilai rasional. Nilai rasional adalah nilai yang dapat dinyatakan dalam bentuk perbandingan/rasio. (sebagai contoh, sebuah 4.4 foot board adalah 2:1 panjangnya dari 2.2 foot board. Hal yang sama dapat digunakan untuk ketebalan, panjang, berat, dan sebagainya). Ketika hendak mengontrol variable, c dan p chart harus digunakan karena diperlukan Ẋ chart untuk melihat apakah ada pergeseran pada central tendency, sedangkan R-chart memberitahukan perubahan penyebaran yang harus dilakukan dalam range standar deviasi untuk mengukur besarnya penyebaran yang merupakan perkiraan yang didapat dari hasil pengumpulan data.
2.8 Sistem Inspur dan Trouble Ticket (TT) Sistem Inspur adalah alat pengelolaan network PT. XYZ dalam Network Management Subsystem (NMS). Cara kerja sistem Inspur mengacu kepada konsep ITIL yang meliputi incident management dan configuration management. Data yang digunakan dalam tesis ini dikumpulkan dengan menggunakan sistem Inspur. Sistem Inspur ini telah digunakan oleh PT. XYZ selama tiga tahun sejak April 2008. Sistem Inspur ini sangat menunjang dalam pengoperasian NMS yang dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: 1
Manajemen kegagalan (fault management). Tujuan dari fault management adalah untuk memastikan kelancaran dari operasi jaringan dan koreksi yang cepat dari berbagai permasalahan yang terdeteksi. Fault management memberitahukan kepada operator tentang status dari kejadian yang membahayakan dan mengelola sebuah Database yang berisi tanda-tanda bahaya. Dalam sistem Inspur digunakan istilah Trouble Ticket (TT). TT adalah alat dalam sistem Inspur sebagai record untuk setiap masalah/kegagalan yang muncul dalam jaringan telekomunikasi PT. XYZ.
2
Manajemen konfigurasi (configuration management). Tujuan dari configuration management adalah untuk mengelola informasi up-todate tentang status operasi dan konfigurasi dari komponen jaringan. 27
3
Manajemen kinerja (perfomance management). Dalam
performance
management,
NMS
mengumpulkan
data-data
hsil
pengukuran dari masing-masing komponen jaringan dan menyimpanya di dalam sebuah Database. Berdasarkan data ini, operator jaringan dapat membandingkan performansi
yang
sebenarnya
dari
jaringan
dengan
performansi
yang
direncanakan dan mendeteksi performansi area yang baik dan tidak baik dalam jaringan. Data TT yang merupakan bagian dari incident management (fault management), digunakan untuk mendukung analisis dalam tesis. Sehingga salah satu tujuan tesis ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaruh upgrade software BSS terhadap kinerja PT. XYZ dapat tercapai. Selanjutnya data TT tersebut diolah dengan metode Statistical Process Control (SPC), serta dianalisis berdasarkan hasil yang diperoleh. Adapun hubungan antara ITSM dengan TT di PT. XYZ adalah bahwa ITSM yang merupakan panduan proses-proses yang ada dalam organisasi dalam hal ini PT. XYZ dengan tujuan memberikan kepuasan pelanggan dalam layanan IT/network sesuai dengan Service Level Agreement (SLA), menggunakan TT sebagai alat agar dapat memonitor secara efektif dan efisien beberapa masalah TI atau jaringan yang muncul. Sehingga pihak manajemen dapat mengikuti perkembangan proses pemecahan masalah TI atau jaringan itu dan menindaklanjutinya kepada pihak yang terkait dalam proses pemecahan masalah tersebut agar dapat memenuhi SLA yang diharapkan.
Gambar 2.5. Sistem Inspur [sumber: MS PT. XYZ, 2011] 28