BAB II KAJIAN PUSTAKA
II. 1. Paradigma Kajian Komunikasi merupakan salah satu kegiatan (aktivitas) manusia yang dilakukan oleh setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari kehidupan manusia dipengaruhi oleh komunikasi dan cara mereka berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia dapat saling berbagi rasa, pikiran, ide dan gagasan berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Pengalaman ini juga disebut sebagai sebuah materi yang dimiliki oleh komunikator untuk dibagikan kepada orang lain. Pada tahap selanjutnya pesan diterjemahkan oleh penerima berdasarkan bentuk pengalaman yang dimilikinya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan adanya perbedaan pengalaman, maka sangat dimungkinkan pula ditemukannya perbedaan makna pesan. Proses komunikasi mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu fenomena sosial. Setiap individu akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal, dan memungkinkan akan saling melengkapinya di antara individu tersebut. Kemudian sudut pandang (perspektif) akan menghasilkan suatu interpretasi terhadap suatu fenomena sosial. Dalam melakukan sebuah penelitian komunikasi, terdapat dua perspektif yang dijadikan sebagai dasar dalam memahami teori komunikasi, yaitu perspektif objektif dan perspektif interpretif (Griffin, 2012: 14). Sebuah perspektif sangat dibutuhkan dalam melakukan sebuah penelitian komunikasi, di mana perspektif tersebut diibaratkan sebagai wadah dalam menganalisis berbagai fenomena komunikasi. Sebelum melakukan penelitian komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat perspektif mana yang digunakan dalam penelitian. Kedua persepektif, yakni perspektif objektif dan interpretif memiliki peranan sangat penting. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kedua perspektif ini digunakan sebagai landasan dasar dari sebuah penelitian komunikasi. Pemahaman terhadap kedua perspektif tersebut akan mengeratkan individu terhadap realitas sosial yang ada (Griffin, 2012: 20). Pertama adalah perspektif obyektif, perspektif ini biasanya digunakan dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan paradigma post positivistik.
Universitas Sumatera Utara
Perspektif ini menekankan keobjektifan peneliti dalam melakukan penelitiannya, sehingga kebenaran bersifat tunggal dan mutlak. Dan yang kedua adalah perspektif interpretif, perspektif ini biasanya digunakan untuk melakukan penelitian kualitatif. Dengan perspektif interpretif ini, penelitian yang dilakukan tidak bersifat obyektif, melainkan subyektif. Perspektif ini menekankan keberpihakan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Kedua perspektif ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing (Griffin, 2012: 16). Menurut Griffin tidak ada salah satu perspektif yang lebih unggul, kedua-duanya mencari kebenaran dan makna dari sisi yang berbeda dari suatu fenomena sosial. Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan perspektif interpretif. Interpretif lebih memperhatikan makna, berbeda dengan objektif yang menganggap bahwa kebenaran bersifat tunggal. Interpretif memiliki asumsi bahwa kebenaran dan makna tidak memiliki batas-batas umum. Ciri-ciri perspektif interpretif yang baik adalah dapat memahami orang lain, dapat menjelaskan nilai, memiliki standar estetika, hasil kesepakatan bersama, dan dapat memberikan kontribusi lewat penelitiannya (Griffin, 2012: 31). Dalam perspektif interpretif tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak atau kesalahan tidak bersifat absolut. Semua fenomena sosial dinilai dari sudut pandang tertentu dimana ia berada dalam suatu kelompok masyarakat. Semua tergantung dari sudut pandang masing- masing individu. Penelitian ini menggunakan perspektif yang kedua, yaitu perspektif interpretif. Para ahli komunikasi yakin bahwa perspektif interpretif sangat bersifat subyektif, hasil dari penelitian ini sangat bergantung pada interpretasi peneliti (Griffin, 2012: 10). Dengan demikian penelitian tentang pemaknaan metafora “matahari” dalam film Suncatchers ini dapat dikatakan bersifat subyektif. Mungkin saja hasil interpretasi dari penelitian ini akan berbeda apabila peneliti lain yang melakukan penelitian ini karena sifat yang subyektif dari masing-masing peneliti.
II. 2. Uraian Teoritis II. 2. 1. Komunikasi Massa
Universitas Sumatera Utara
Media massa secara sederhana adalah kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communicating with media). Joseph A. Devito merumuskan defenisi komunikasi massa pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakannya. Komunikasi massa ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Hal ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton, tetapi ini berarti khalayak itu besar dan pada umumnya sukar untuk didefenisikan (Ardianto & Komala, 2004: 6) Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner. Gerbner mengatakan bahwa : ”Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Komunikasi massa merupakan produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan secara luas yang dimiliki oleh masyarakat industri) (Ardianto & Komala, 2005: 3- 4). Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa menghasilkan suatu produk yang disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap. Proses tersebut dilakukan oleh lembaga dan dengan menggunakan teknologi tertentu. Joseph. A. Devito, dalam bukunya Communicology:
An
Introduction
to
The
Study
of
Communication,
mengemukakan definisi komunikasi massa dengan lebih tegas, yaitu: Pertama, komunikasi massa merupakan komunikasi yang ditujukan bagi massa (khalayak yang tidak terhitung jumlahnya). Namun bukan berarti massa meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca ataupun menonton televisi. Pada umumnya massa memiliki pengertian yang luas dan lebih sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa merupakan komunikasi yang disalurkan lewat pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa akan lebih mudah didefinisikan berdasarkan bentuknya, seperti: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita (Effendy, 2006: 21). Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk komunikasi yang ditujukan kepada khalayak yang luas, tersebar, heterogen, dan anonim melalui
Universitas Sumatera Utara
media massa (cetak atau elektronik), sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Ardianto & Komala, 2004: 7). Dari pengertian tersebut, maka sejumlah karakteristik komunikasi massa, antara lain: a. Komunikatornya terlembagakan, di mana komunikasi massa melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. b. Pesannya bersifat umum, maksudnya: komunikasi massa bersifat terbuka yang ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu, sehingga menghasilkan pesan yang bersifat umum, berupa fakta, peristiwa atau opini. c. Komunikannya anonim dan heterogen, di mana dalam komunikasi massa komunikator tidak mengenal komunikannya (anonim).
Pesan disampaikan
melalui media massa dan tidak tatap muka. Komunikasinya bersifat heterogen, yang terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat berbeda dan dapat
dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi. d. Menimbulkan keserempakan. Dalam hal ini, komunikasi massa memiliki kelebihan dalam hal jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang relatif banyak dan tidak terbatas. Keserempakan media massa yakni keserempakan kontak antara komunikator dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh, dan penduduk tersebut berada dalam keadaan terpisah antara satu dengan yang lainnya. e. Komunikasinya mengutamakan isi dibandingkan hubungan. Pesan yang disampaikan sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan berdasarkan karakteristik media massa yang akan digunakan. f. Bersifat satu arah. Komunikasi massa dilakukan tanpa kontak langsung antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi terjadi melalui media massa, di mana komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya tidak dapat melakukan feed back dalam proses komunikasinya, sehingga dikatakan bersifat satu arah.
g. Stimulasi alat indera ’terbatas’. Penyampaian pesan dalam komunikasi massa bersifat terbatas sesuai dengan media massa yang digunakan komunikan, seperti media cetak, radio, televisi atau bahkan film yang masing-masing
Universitas Sumatera Utara
memiliki stimulasi indera manusia yang sifatnya terbatas. h. Umpan baliknya tertunda. Penyampaian pesan dalam komunikasi massa yang dilakukan melalui media massa tidak mampu menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah. Selanjutnya, para pakar mengemukakan sejumlah fungsi komunikasi massa, kendati dalam sejumlah fungsi tersebut terdapat persamaan dan perbedaan (Ardianto & Komala, 2004: 7). Dari beberapa karakteristik di atas, terlihat bahwa komunikasi massa pada dasarnya belum dapat berlangsung secara efektif. Misalnya, pada proses penyampaian pesan yang dilakukan melalui beberapa tahapan dengan kemungkinan gangguan, seperti alam atau gangguan mekanik. Selain itu, pada proses umpan balik yang kemungkinan berjalan secara lambat serta interaksi antara komunikator dan komunikan yang dibatasi. Namun di lain sisi komunikasi massa memliki keunggulan, yaitu sifatnya yang umum dan terbuka. Seluruh kalangan masyarakat dapat menerima informasi yang sama dari daerah yang berbeda sekalipun. Menurut Karlinah, dkk, fungsi komunikasi secara umum yaitu: a. Fungsi Informasi Media massa merupakan penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi disajikan bagi khalayak sesuai dengan kebutuhannya, di mana informasi tersebut mencakup segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. b. Fungsi pendidikan Media massa mampu menyajikan hal-hal yang bersifat mendidik lewat nilai norma, etika serta aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan khalayak. c. Fungsi mempengaruhi Media massa mampu mempengaruhi khalayak sesuai dengan apa yang diinginkan media. Secara implisit terdapat dalam tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya.
d. Fungsi proses pengembangan mental Media
massa
mampu
menambah
wawasan
serta
mengembangkan
intelektualitas khalayak. Berbagai pemberitaan mengenai peristiwa yang disampaikan media juga akan semakin menambah pengalaman dan
Universitas Sumatera Utara
ketergantungan khalayak dalam pengembangan mentalnya. e. Fungsi Adaptasi Lingkungan Proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan memerlukan penyesuaian agar tetap tercipta tujuan komunikasi berupa kesamaan makna diantara pelaku komunikasi. f. Fungsi Memanipulasi Lingkungan, komunikasi massa merupakan alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan (Ardianto & Komala, 2004: 19). Adapun fungsi komunikasi massa secara khusus menurut DeVito, yakni untuk meyakinkan khalayak, menganugerahkan status sehingga prestise meningkat, membius, menciptakan rasa kebersatuan, privatisasi (kecenderungan penarikan diri) serta hubungan parasosial (Ardianto & Komala, 2004: 23).
II. 2. 2. Film sebagai Komunikasi Massa II. 2. 2.1. Pengertian film Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya (Ardianto & Komala, 2004: 134). Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Pasal 1 ayat 2 tentang Definisi Film. Film merupakan karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan azas sinematografi. Film direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, atau lainnya. Film sebagai salah satu media komunikasi massa memuat potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang kemudian diproyeksikan ke atas layar (Sobur, 2003: 127). Film juga sebagai salah satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan. Unsur intrinsik dan ekstrinsik dari filmlah yang mampu menarik perhatian khalayak untuk menonton film tersebut. Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat pula terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Ardianto & Komala, 2004: 136). Berbagai fungsi termasuk fungsi edukatif dapat tercipta apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang. Berdasarkan pengertian dan fungsi dari film, maka sejumlah faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film, yaitu: a. Layar yang luas atau lebar Layar semacam ini memberikan keleluasaan bagi penonton untuk melihat adegan-adegan dalam film. Bahkan dengan kemajuan teknologi, saat ini film disajikan dalam bentuk tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata (real) dan menimbulkan kesan yang tidak berjarak. b. Pengambilan gambar Shot dalam film bioskop memungkinkan pengambilan jarak jauh atau extreme long shot dan paranomic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Sehingga terkesan artistik dalam suasana yang sesungguhnya dan menjadikan film semakin menarik. c. Konsentrasi penuh Penciptaan suasana mulai dari ditutupnya pintu-pintu hingga lampu yang dimatikan menimbulkan kesan bahwa penonton terbebas dari hiruk pikuk suara di luar (biasanya kedap suara) dan pada akhirnya penonton dapat berkonsentrasi penuh saat menonton film.
d. Identifikasi Psikologis Suasana di bioskop membuat pikiran dan perasaan khalayak larut dalam cerita yang disajikan. Dengan penghayatan yang amat mendalam, secara tidak sadar seseorang mengidentifikasikan diri sebagai salah satu pemeran dalam film tersebut (Ardianto & Komala, 2004: 136). Faktor di atas menunjukkan semakin pesatnya perkembangan teknologi
Universitas Sumatera Utara
saat ini. Dalam arti banyak kemudahan yang diberikan oleh teknologi digital saat ini, yang dapat mengembangkan pengetahuan manusia mengenai film. Namun hal tersebut kembali kepada tiap- tiap individu, penayangan film yang dibuat semenarik mungkin setidaknya dapat menambah ketertarikan juga pada penontonnya untuk dapat benar-benar menikmati film. Pada dasarnya tujuan seseorang ke bioskop bukan untuk menoton gambar, karena sebenarnya yang akan dibawa pulang adalah penggalan cerita dari film tersebut, bagus atau tidaknya serta kesinambungan dari cerita di dalamnya.
II. 2. 2. 2. Jenis- jenis Film Sebagai seorang komunikator, penting untuk mengetahui jenis-jenis film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karateristiknya (Ardianto & Komala, 2004: 136). Adapun pengelompokkan film, antara lain: a. Film Cerita, merupakan jenis film yang biasanya ditayangkan di gedunggedung bioskop lewat kemampuan akting para bintang di dalamnya guna menarik perhatian khalayak. Film ini mengandung unsur- unsur yang dapat menyentuh rasa manusia. Kisah- kisah di dalamnya dikutip melalui kitab injil, kisah sejarah, hingga kisah nyata dari kehidupan sehari-hari yang kemudian diolah menjadi sebuah film (Effendy, 2003: 212). b. Film Berita, merupakan film yang berisikan fakta, di mana peristiwa yang ada di dalamnya benar-benar terjadi (nyata). Dalam film sejenis ini terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak (Effendy, 2003: 212). c. Film Dokumenter, merupakan karya yang berisikan kehidupan nyata. Film ini biasanya dibuat tanpa adanya editan. Kalau pun ada, editan digunakan sematamata hanya untuk menjadikan tampilan gambar menjadi lebih menarik (Effendy, 2003: 215). d. Film Kartun, merupakan film animasi yang segmentasi utamanya adalah anakanak. Namun tidak sedikit kalangan yang bukan anak- anakpun menyukainya karena terdapat sisi kelucuan yang kerap hadir dalam setiap tayangannya. Film kartun merupakan film yang muncul lewat gagasan para seniman pelukis. Seiring ditemukannya sinematografi, timbul pulalah gagasan para pelukis tersebut untuk menghidupkan gambar- gambar yang mereka lukis. Lukisanlukisan hidup yang diproyeksikan ke layar tersebut menimbulkan ketertarikan
Universitas Sumatera Utara
tersendiri bagi khalayak untuk menyaksikannya (Effendy, 2003: 216) II. 2. 2. 3. Klasifikasi film Berdasarkan genre (jenis/ ragam), Film diawali dari genre drama pada abad XVIII. Klasifikasi tersebut muncul atas berbagai jenis streotip dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Seiring perkembangan zaman, genre film pun mengalami perubaha, tanpa menghilangkan keaslian dari awal pembentukannya. Pengklasifikasian tersebut, antara lain: 1. Film Drama Film drama adalah film yang sebagian besarnya bercerita mengenai kehidupan. Film ini bertujuan untuk membawa penonton pada alur ceritanya sehingga penonton mampu merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam cerita. Contoh: Hachiko 2. Film Animasi (Animation) Film animasi merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Untuk memberikan suara pada film ini menggunakan pengisi suara yang seolah- olah menjadi tokoh utama dan ikut dalam cerita. Contoh: Wall – E 3. Film horor (Horror) Film horor merupakan film yang berusaha memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri pada penontonnya. Alur cerita yang disajikan biasanya melibatkan tema – tema seperti kematian, supranatural, atau penyakit mental. Contoh: The Ring
4. Film fiksi ilmiah (Science Fiction) Film fiksi ilmiah adalah film imajinasi yang didasari oleh alasan dan penjelasan ilmiah. Jenis film ini agak sukar dipahami karena lebih banyak berisi penjelasan ilmiah. Contoh: Avatar 5. Film musikal (Musical)
Universitas Sumatera Utara
Film musikal merupakan film yang pada alur ceritanya disertai lagu maupun tarian dari tokoh – tokohnya. Musik yang ditampilkan sesuai dengan alur ceritanya. Contoh: High School Musical 6. Film petualangan (Adventure) Film petualangan merupakan film yang menyajikan pengalaman yang menegangkan di dalamnya. Jenis film ini memiliki kemiripan dengan film aksi. Berbeda dengan film aksi yang didominasi oleh unsur kekerasan, film ini lebih menampilkan petualangan melalui perjalanan maupun perjuangan. Contoh: Jurassic Park 7. Film aksi/ laga (Action) Film aksi ini bertujuan menciptakan ketegangan pada penontonnya, seperti pada jenis film petualangan. Pada dasarnya film ini lebih menekankan pada aksi kekerasan fisik, tembak menembak, maupun kejar – kejaran mobil. Terkadang jenis film ini terkait dengan unsur spionase. Contoh: Spiderman 8. Film komedi (Comedy) Film komedi ditujukan untuk menghibur penontonnya dengan aksi komedi yang mampu mengundang tawa. Film komedi banyak digemari penonton karena ceritanya yang ringan dan mudah dimengerti. Contoh: Mr Beans Holiday 9. Film fantasi (Fantasy) Film fantasi merupakan film yang umumnya menggunakan sihir dan kekuatan supranatural dalam ceritanya. Film jenis ini tidak didasari pemikiran ilmiah sehingga ceritanya murni tercipta dari imajinasi sang pembuatnya. Contoh: Harry Potter (Pratista, 2008: 1).
II. 2. 2. 4. Unsur-Unsur dalam Film Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film).
Universitas Sumatera Utara
1. Produser (Producer) Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Produser menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film (Beaver, 1994: 282). 2. Sutradara (Director) Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario ke dalam aktivitas produksi (Beaver, 1994: 112). 3. Penulis Skenario (screen writer) Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film (Karsito, 2008:67). 4. Penata Kamera (Camera operators) Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin departemen kamera (Beaver, 1994: 66).
Universitas Sumatera Utara
5. Penata Artistik (Art Director) Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tata rias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya (Beaver, 1994: 28). 6. Penata Musik Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film (Karsito, 2008: 67). 7. Editor Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar (Beaver, 1994: 132). 8. Pengisi dan Penata Suara Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata suara bertanggungjawab memimpin departemen suara (Karsito, 2008: 70). 9. Bintang Film (Pemeran) Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama) dan pemeran pembantu (figuran) (Karsito, 2008: 63). Beberapa unsur dalam film di atas menunjukkan bahwa setiap unsur (pihak) memiliki peran penting atas keberhasilan sebuah film. Antara unsur yang satu dan unsur yang lainnya memiliki keterkaitan, dalam arti dengan berkurangnya salah satu unsur tersebut, tentu akan mempengaruhi baik-buruknya kualitas pembuatan sebuah film.
II. 2. 2. 5. Struktur dalam Film Struktur dalam film terdiri atas unsur intrinsik film, dimana dalam unsur intrinsik tersebut terdapat unsur naratif dan sinematik. Sedangkan unsur ekstrinsik terdiri dari teori-teori di luar bentuk fisik film. Unsur film yang akan dibahas dalam penelitian ini berfokus pada unsur intrinsik, dimana unsur tersebut meliputi, unsur naratif dan unsur sinematik. Namun yang menjadi fokus dalam stuktur film ini adalah unsur naratif, yang meliputi: plot, tokoh, dan latar. Unsur naratif merupakan aspek penting dalam pengkajian sebuah film. Unsur naratif merupakan rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat yang terjadi dalam ruang dan waktu. Naratif muncul akibat aksi dari pelaku cerita. Segala aksi dan tindakan para pelaku akan memotivasi terjadinya peristiwa berikutnya terus menerus. 1. Plot Plot merupakan alur cerita yang mengatur bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan periwistiwa lain, dan bagaimana tokoh di gambarkan berperan dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, plot menjadi kerangka dasar yang amat penting. Plot mengatur bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Plot dapat disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Beginning (awal cerita) 2. Middle (tengah cerita)
Universitas Sumatera Utara
3. End (akhir cerita) n sebagai beerikut: Secara teoritiss, struktur pplot dapat diikemukakan Tahapaan Plot: Awaal Teengah 1. Tahap awal a ( perkeenalan)
Akhir
2. Tahap tengah t ( perrtikaian, meenampilkan pertentangaan atau konfflik) 3. Tahap akhir a atau (p peleraian: ppeleraian terrtutup dan penyelesaiann terbuka) Tahapaan plot ( tahapan rinci) 1. Tahap Expostition n: Bagian awal (pen ngenalan) dalam d sebuuah cerita, yang gan mengen nai tokoh, masalah yang membeerikan penjjelasan dann keterang dilakonni, tempat dan waktu 2. Tahap Inciting in ncident: tahhap pemuncculan konfl flik, masalaah- masalah h dan peristiw wa-peristiwaa yang mennyulut terjad dinya konflik mulai dim munculkan. 3. Tahap rising acction: tahaap peningk katan konflik, konfl flik yang telah dimuncculkan padaa tahap sebeelumnya sem makin berk kembang dan an dikemban ngkan kadar inntensitasnya. 4. Tahap Crisis: Berrkembangnyya konflik menuju klimaks. Artinnya, antar tokoh t mulai menunjukka m an aksi2nyaa terhadap persoalan yang dihadapii. 5. Tahap climax: c tahaap klimaks, konflik dan n atau perteentangan- peertentangan n yang terjadi, yang dilak kui dan atauu ditimpalk kan kepada para tokoh cerita men ncapai titik inttensitas pun ncak. 6. Tahap Resolutionss: tahap pennyelesaian, konflik yan ng telah meencapai kliimaks dorkan (Haartoko & R Rahmanto, 1985: diberi penyelesaiaan, keteganngan dikend 47).
Daari tahapan tersebut t dappat digambaarkan dengaan skema seebagai berik kut: Climax
Ressolution Riising action
Crisis Mayyor plot points
Universitas Sumatera Utara
Plot Arc (Tahapan Plot) Sumber: Kercheval, 2003: 82
Tatanan plot di atas membuat pembaca atau penonton menjadi lebih mudah untuk mengikuti jalan ceritanya. Plot dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Plot lurus/progresif. Jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis 2. Plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir (Hartoko & Rahmanto, 1985: 48).
2. Tokoh Tokoh merupakan pelaku cerita dalam fiksi. Tokoh atau karakter merupakan orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam plot. Oleh karena itu, tokoh memiliki peran yang sangat penting. Tokoh berperan mengajak penonton untuk ikut terlibat di dalam cerita, sehingga mereka dapat merasakan apa yang dirasakan atau dialami oleh karakter dalam cerita (Sumardjo, 1986: 144). Tokoh terbagi atas dua yaitu : 1. Berdasarkan segi peran Tokoh utama, merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh tersebut juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan, merupakan pemunculan tambahan dalam keseluruhan cerita dengan bagian peran yang lebih sedikit, kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Nurgiyantoro, 1995: 182). 2. Berdasarkan perwatakan. Tokoh sederhana, merupakan tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu serta satu sifat tertentu. Sifat dan tingkah laku pada tokoh sederhana bersifat datar, monoton dan stereotip (Nurgiyantoro, 1995: 183).
Universitas Sumatera Utara
Tokoh bulat, merupakan tokoh yang memiliki berbagai kemungkinan dalam sisi kehidupannya, kepribadian dan jati dirinya. Tokoh ini menampilkan watak dan tingkah laku yang berubah – ubah yang bisa saja bertentangan dan sulit diduga.
3. Latar Latar atau setting yang disebut sebagai landasan tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas (Sumardjo, 1986: 75). Latar fiksi bukan hanya menunjukkan tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, dan cara berfikir tertentu. Latar dibagi menjadi tiga macam: 1. Latar tempat, menunjukkan tempat dimana peristiwa dalam suatu cerita terjadi. 2. Latar waktu, menunjukkan pada kapan peristiwa dalam suatu cerita terjadi. 3. Latar sosial, menunjukkan pada macam masyarakat dalam cerita termasuk perilaku masyarakat seperti tradisi/ kebiasaan, kepercayaan, dan nilai moral (Nurgiyantoro, 1995: 227-234). Selain itu, terdapat pula struktur dalam pembagian waktu pengambilan gambar, yaitu: shot, scene, dan sequence. Shot, merupakan: hasil tangkapan kamera yang berlangsung sejak kamera dinyalakan (ON) hingga dimatikan (OFF). Ketika Sutradara memberi aba-aba untuk memulai adegan, biasanya dengan teriakan “kamera siap..rolling.. action!”, lalu diakhiri dengan teriakan “cut!”. Hal tersebut berarti satu shot telah dirampungkan. Scene/Sequence: Scene merupakan kumpulan dari beberapa shot, sedangkan sequence merupakan kumpulan dari beberapa scene. Keduanya memiliki pengertian yang hampir sama, yakni dibatasi oleh ruang dan waktu. Jika tempat dan waktu berubah maka berubah pulalah scene dan sequence nya.
II. 2. 3. Film sebagai Iklan
Universitas Sumatera Utara
Film merupakan media penyampai pesan dan alat komunikasi massa. Pernyataan tersebut kerap terdengar dalam kajian perfilman. Film dan media pada umumnya, dapat menjadi sebuah alat propaganda yang efektif. Dalam Perundangundangan Film Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa, “film sebagai karya seni budaya yang memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional”, dan “film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional” ( Tim FIP- UPI, 2007: 208). Di Indonesia, film sebagai alat penyampai pesan sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, film dokumenter menjadi alat penyuluhan untuk pencegahan wabah penyakit pes dan transmigrasi. Pada masa pendudukan Jepang, ia dimanfaatkan untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Jepang adalah saudara tua Asia yang akan membantu membebaskan Indonesia dari penjajahan Barat (Imanjaya, 2010: 32). Dalam dunia pemasaran atau marketing dikenal istilah yang kurang lebih sama fungsinya dengan penyebaran “propaganda”, yakni: Pemasaran Sosial (Social Marketing). Hal ini bertujuan untuk mengubah perilaku tertentu untuk kebaikan sosial. Social marketing dapat diterapkan untuk mempromosikan hal-hal kebaikan, atau mencegah hal-hal yang buruk, misalnya mengajak masyarakat tidak merokok di ruang publik, penggunakan sabuk pengaman, penggunakan helm untuk kendaraan bermotor dan masih banyak lagi (Cateora, 2007: 356 ). Tidak berbeda jauh dengan fungsi Film sebagai social marketing yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dalam mengubah prilaku tertentu, begitu pun dengan Fungsi Film sebagai media untuk beriklan yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dalam kegiatan promosi sebagai salah satu strategi yang dilakukan oleh seorang Public Relations (PRs). Peran PRs dalam menciptakan sebuah strategi iklan dalam bentuk film, tidak terlepas dari keikut sertaan sutradara tentunya. Dalam membuat sebuah iklan berbentuk film tersebut, sang sutradara harus mengemas setiap adegan didalamnya. Dengan hasil yang optimal, akan semakin banyak khalayak yang merasa tertarik. Sebuah film dapat dikatakan baik saat khalayak tidak sekedar
Universitas Sumatera Utara
tertarik untuk menonton setiap adegannya, tapi juga dapat mengerti setiap makna yang terdapat didalamnya.
II. 2. 4. Semiotika Film Oey Hong Lee menyebutkan, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19, dengan kata lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah lenyap (Sobur, 2003:126). Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena tidak mengalami unsur- unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang pada abad ke-18 dan ke-19 merintangi kemajuan surat kabar. Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik demi mencapai efek yang diharapkan (Sobur, 2003:128). Hal terpenting dalam film adalah gambar dan suara yakni kata yang diucapkan (ditambah sound effect) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang mengambarkan sesuatu. Sehingga dengan kata lain, semiotika film merupakan proses pemaknaan atas tanda-tanda yang terdapat dalam film yang akan diteliti. Adapun tanda-tanda tersebut dapat berupa tanda audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect) serta tanda visual (gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah, serta latar). Selain itu, dalam film terdapat pula tata bahasa yang lebih akrab, seperti pemotongan adegan (cut), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out). Selanjutnya ada gerakan dipercepat (spedded up), gerakan lambat (slow motion), dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut juga mencakup kode- kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dari penggambaran visual dan linguistik hingga simbol-simbol yang abstrak dan arbitrer serta metafora. Dalam studi semiotika terdapat elemen-elemen yang dapat memperkuat pemahaman dalam mengenai studi tersebut. Elemen- elemen dasar semiotika terdiri atas:
Universitas Sumatera Utara
Komponen tanda (penanda dan petanda) Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, salah satunya yaitu pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2003:32). Aksis tanda (paradigma dan sintagma) Ciri dasar lanque adalah susunannya yang bersifat linier dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dibedakan dengan tanda yang bersifat meruang. Hubungan penanda akustis ini hanya ada dalam garis waktu, karena jika unsur-unsurnya dilafalkan satu per satu hanya terbentuk satu rangkaian dan tidak ada hubungan asosiatif, serta dapat diperuntukaran secara sembarang. Hal ini disebut sebagai Sintagma. Sedangkan hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif dari tanda-tanda ini disebut sebagai paradigma. Sehingga bagi de Saussure, Sintagma merupakan susunan tanda yang bersifat linier dan terkait oleh waktu, sedangkan susunan Paradigma lebih bersifat meruang dan mempunyai hubungan asosiatif yang membentuk suatu pengertian. Sintagma merupakan pengertian yang tercipta akibat hubungan antar unsur dalam satu kalimat, sedangkan Paradigma merupakan makna yang tercipta akibat hubungan antar unsur dari suatu kategori tertentu (Kurniawan, 2001: 61). Tingkatan tanda (denotasi dan konotasi) Dalam ilmu linguistik pemahaman antara denotasi dan konotasi dibedakan pada muatan kebahasaannya. Pada konotasi, aspek ekspresi jauh lebih besar dibanding dengan muatan pengertian yang terdapat pada denotasi. Dengan demikian untuk bahasa yang bersifat keilmuan eksakta ataupun informasi, lebih tepat jika menggunakan pemahaman denotatif. Sedangkan untuk pengungkapan kebahasaan yang bersifat ekspresi, seperti novel, puisi, esai, ataupun syair, penggunaannya cenderung lebih bersifat konotatif.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula dalam bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual. Untuk gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi, cenderung digunakan tanda –tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi pemniasaan makna. Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspreksi, sperti bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek humanistis, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif. Teori Konotasi dan Denotasi dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petandayang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Kurniawan, 2001: 66). Relasi antar tanda (metafora dan metonimi) Metafora merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Pradopo, 1994:66). Gaya metafora, merupakan gaya bahasa yang melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik. Lebih lanjut, Beekman dan Callow menjelaskan bahwa metafora terdiri atas tiga bagian, yaitu: (a) topic, yaitu benda atau hal yang dibicarakan; (b) citra, yaitu bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan topik dalam rangka perbandingan; (c) titik kemiripan, yaitu bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya implisit.
Universitas Sumatera Utara
Metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung, contoh: “bunga bangsa” menyiratkan arti pahlawan. Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat perbedaan antara gaya bahasa langsung dan gaya bahasa kiasan. Perbandingan biasa atau langsung mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas kata yang sama, sedangkan perbandingan berupa gaya bahasa kiasan mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas kata yang berlainan (Keraf, 1994:136). Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Metonimia,
diturunkan
dari
kata
Yunani
meta
yang
berarti
menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonimia merupakan bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Keraf, 1992:142). Metonimia merupakan hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan. Metonimia dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan (Parera, 2004: 121).
Dalam konteks semiotika terdapat pula tipologi tanda- tanda oleh Paul Cobley & Liza Janz. Menurut mereka tanda memiliki tiga elemen, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ketiga elemen tanda memiliki ciri- ciri yang dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1 Ikon, Indeks, dan Simbol
Ditandakan oleh
Contoh
Proses
Ikon
Indeks
Simbol
Persamaan/
Hubungan sebab/
Konvensi, kata,
kemiripan
akibat
angka
Merokok/
Bendera, dan
kebakaran/ gejala
benda lainnya
tidak enak badan/
(harus dipelajari/
penyakit
ditafsirkan)
Gambar/ foto
Dapat dilihat
Dapat dikatakan/ dipikirkan
Sumber: Berger, 1991: 5 Ikon, merupakan tanda yang di cirikan oleh persamaan (resembles) dengan objek yang digambarkan. Dalam arti, ikon menunjukkan kemiripan dengan objek langsung. Contoh: foto, peta. Indeks, merupakan tanda yang memiliki hubungan kedekatan eksistensi antara tanda dan objek. Contoh: tanda penunjuk jalan dapat dikatakan sebagai indeks, sehingga kita dapat mengetahui arah, atau asap merupakan indeks dari api.
Universitas Sumatera Utara
Simbol, merupakan tanda yang cenderung bersifat abstrak. Simbol selalu berkaitan
langsung
dengan
objek
yang
disimbolkan.
Simbol
dapat
mengungkapkan sebuah realitas yang tidak dapat diungkapkan dengan katakata, karena realitas tersebut bersifat kompleks, agung, atau berkaitan dengan mistis ( Suprapto, 2009: 106).
Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise in scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Menurut Metz, mise in scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar. Dengan kata lain, mise in scene merupakan segala sesuatu yang tampil dikamera baik set, property shooting, aktor, kostum dan pencahayaan. Mise in scene terdiri atas: a. Actor’s Performance Script merupakan sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film Movement merupakan semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film. b. Sound Latar belakang suara berupa suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara disekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar. Adapun kategori suara menurut Denitto, yakni: Spoken word berupa perkataan, komentar, dialog maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi keadaan. Music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar sequence, membentuk suasana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfir, menambah kesan dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal. c. Production Design
Universitas Sumatera Utara
Setting berupa lokasi pengambilan gambar Property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksanaan produksi film. Costume berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film (Bordwell & Thompson, 1993: 45).
Ada tiga hal yang menentukan dalam penempatan kamera pada sinematografi, yakni: 1. Camera angle merupakan posisi pembingkaian gambar dalam berhubungan dengan subjek yang ditampilkan, adapun sejumlah posisi kamera, yaitu: high angle, menempatkan posisi kamera di atas atau lebih tinggi dari subjek untuk memberi kesan subjek lebih kecil, lemah dan tak berdaya. low angle, menempatkan posisi kamera di bawah subjek yang menimbulkan efek kesan subjek lebih besar dan berwibawa. eye level, menempatkan posisi kamera sejajar dengan mata subjekyang memberi kesan netral. Jika dilihat dari sudut pandang antara pelaku film dengan penontonnya camera angle dapat dibagi atas 3, yaitu: Camera angle obyektif : kamera dari sudut pandang penonton outsider, tidak dari sudut pandang pemain tertentu. camera angle obyektif tidak mewakili siapapun. Penonton tidak dilibatkan, dan pemain tidak merasa ada kamera, tidak merasa ada yang melihat. Camera angle subyektif : Kamera dari sudut pandang penonton yang dilibatkan, misalnya melihat ke penonton. Atau dari sudut pandang pemain lain (Thompson, 1998: 20). Camera angle point of view, yaitu: gabungan antara camera angle obyektif dan camera angle subyektif. camera angle diambil sedekat shot obyektif dalam sebuah shot subyektif, dan hasilnya tetap obyektif. Kamera ditempatkan pada sisi pemain subyektif, sehingga memberi kesan penonton beradu pipi dengan pemain yang di luar layar. Contoh paling jelas adalah: mengambil close up pemain yang menghadap ke pemain di luar layar dan sebelumnya didahului dengan Over Shoulder Shot, yaitu: pengambilan sebatas bahu (Thompson, 1998: 20).
Universitas Sumatera Utara
2. Jarak Kamera menentukan jauh dekatnya frame dari elemen-elemenyang ditampilkan dalam sebuah shot. Adapun jenis-jenis shoot yaitu: (Thompson, 1998: 68- 82).
Extreme Long Shoot (ELS), menempatkan kamera sangat-sangat jauh dalam membuat pembingkaian gambar, digunakan untuk mengambil komposisi gambar panorama atau pemandangan alam. Very Long Shoot (VLS), tata bahasa gambar yang panjang dengan menempatkan posisi kamera yang jauh dan luas namun lebih kecil dari ELS. Long Shoot (LS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek dari kepala hingga kaki yang mengesankan keleluasaan suasana objek. Medium Long Shoot (MLS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek yang memotong sampai lutut dengan suasana keseluruhan situasi yang masih terlihat. Medium Shoot (MS), pengambilan gambar manusia sebagai subjek hanya sebatas tangan hingga kepala agar ekspresi dan emosi subjek terlihat jelas. Medium Close Up (MCU), menempatkan shoot subjek sebatas dada hingga kepala untuk keperluan pengambilan gambar profil, bahasa tubuh dan emosi subjek yang menimbulkan hubungan kedekatan. Close Up (CU), pengambilan gambar yang memfokuskan pada kepala hingga leher untuk memperoleh efek kesan ekspresi, reaksi dan emosi subjek. Big Close Up (BCU), pengambilan gambar wajah dari dahi hingga dagu untuk mengesankan kedalaman pandangan mata, raut wajah dan emosi subjek. Extreme Close Up (ECU), pengambilan shoot yang memfokuskan untuk memperlihatkan bagian yang diperbesar atau detail (Thompson, 1998: 84). 3. Pergerakan Kamera Pergerakan kamera secara horizontal (pan) dan vertikal (tilt). Pergerakan kamera yang mendekat atau menjauhi subjek atau mengikuti subjek (dolly/track) (Thompson, 1998: 98- 104).
II. 2. 4. 1. Semiotika Christian Metz
Universitas Sumatera Utara
Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus di beri makna. Hal tersebut dikemukakan oleh para strukturalis, seperti Saussure dan Barthes (Hoed, 2008: 3).
Secara epistemologis, semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Atau dengan kata lain tanda adalah representasi objek (Endraswara, 2003:64). Secara terminologis, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari deretan objekobjek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2003: 95). Metz lahir di Beziers, Prancis bagian Selatan, pada tahun 1931 dan meninggal pada akhir tahun 1993. Metz belajar di Ecole Normale Superieure (rue d'Ulm) tempat ia meraih penghargaan dalam sastra klasik (Prancis, Yunani, dan Latin) setelah mendapatkan gelar dalam bahasa Jerman dan maitrise dalam sejarah kuno. Puncak kegiatan akademik yang diikutinya adalah gelar doctorat d'etat dalam linguistik umum dari Universitas Sorbonne. Pada tahun 1960 an Metz merintis upaya menetapkan teori tentang film sebagai suatu disiplin intelektual tersendiri Artikel-artikel yang ditulis dalam karya Metz: Essais sur la signification au cinema (1968), membuka jalan didirikannya jurusan sinematografi di Universitas Vincennes (Paris VIII) (Lechte, 2001: 130). Sejalan dengan kegiatan akademik yang diikutinya, Metz terlibat dengan kegiatan para penggemar film dan animator klub sine (cine-club). Sebagian besar pengetahuan tentang sejarah film serta film tertentu yang dijadikan contoh dalam karya teoretisnya berasal dari kegiatan ini (Metz, 1974: 10). Christian Metz merupakan tokoh di bidang Semiotic Cinema, di mana ia memunculkan beberapa bahasan mengenai pola pengambilan gambar dan makna di balik pengambilan gambar tersebut. Ia mengungkapkan bahwa cinema bukan suatu sistem bahasa, namun cinema merupakan sebuah bahasa (suatu tanda yang mendukung). Bidikan camera (cinematic) seumpama urutan kata pembentuk kalimat. Jadi apabila bidikan kamera tersebut diurutkan menjadi satu akan sama seperti kata-kata yang disusun hingga menjadi sebuah kalimat. Ia banyak menjelaskan mengenai shot, atau yang lebih di kenal di Indonesia dengan istilah
Universitas Sumatera Utara
“take gambar” untuk film. Shot bersifat tidak terbatas jumlahnya. Shot merupakan hasil karya si pembuat film. Lewat sebuah shot, dapat ditemukan banyak informasi. Shot merupakan sebuah unit yang bersifat actualised (menghasilkan sebuah makna). Pembentukan syntagma didukung oleh pemilihan film serta pengkombinasian setiap gambar maupun bunyi di dalamnya (Plantinga, 2008: 55). Jenis Pengambilan Gambar: 1.The autonomous shot (pemilahan gambar) 2.The parallel syntagm (penyejajaran sintagma) 3.The bracketing syntagm (pembatasan sintagma; pengambilan gambar secara singkat) 4.The descriptive syntagm (penggambaran sintagma; urutan keadaan) 5.The alternating syntagm (pergantian sintagma; pergantian adegan) 6.The scene (adegan yang berkelanjutan) 7.The episodic sequence (pembabakan pada setiap adegan) 8.The ordinary sequence (urutan setiap babak) II. 2. 4. 2. Ikonografi dan Ikonologi Panofsky Studi ikonografi dan ikonologi dari Panofsky, merupakan sebuah studi untuk memperoleh makna dari suatu karya seni lewat tahap-tahap deskripsi pra ikonografi, analisis ikonografi dan interpretasai ikonologi, yang ketiganya berkesinambungan. Namun yang kerap digunakan dalam sebuah penelitian adalah analisis ikonografi dan interpretasai ikonologi. Erwin Panofsky lahir di Hannover, Jerman pada 30 Maret 1892. Ia menimba ilmu di University of Berlin, Munich, pada tahun 1910. Dan pada tahun 1914 ia menerima gelar Profesor Doktor (PhD) di bidang seni dan sejarah dari universitas tersebut. Pada tahun 1939, ia mempublikasikan tulisan pertamanya yang berjudul “Studies in iconology: Humanist Themes in the Art of the Renaissance”. Buku tersebut merupakan buku pertama yang disusunnya setelah ia pindah ke Amerika. Ia melanjutkan teorinya mengenai ikonologi dan ikonografi, di mana ia menjadikan Leonardo Da Vinci sebagai sampel dari teorinya.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Pra- ikonografi, Ikonografi dan Ikonologi pra-ikonografi
Objek
ikonografi
ikonologi
makna primer/
Makna sekunder/
makna intrinsik/isi,
alami (makna
konvensional,
yang (dunia nilai
faktual dan
Interpretasi
(mengacu pada
“simbolik”)
dunia gambar-
makna ekspresional)
gambar, lambanglambang dan simbol-simbol)
keterbiasaan dengan objek dan peristiwa- persitiwa yang serupa
pengetahuan dari
intuisi sintesis
sumber-sumber
(keterbiasaan dengan
kesusastraan (melalui keterbiasaan
Sumber
dengan
Interpretasi tema-tema dan konsep-konsep yang spesifik)
tendensi esensial dari pikiran manusia,yang dikondisikan oleh faktor psikologis personal, dan “weltans-chaining” /pandangan hidup suatu bangsa)
Sumber: Panofski, 1955: 40-41
Universitas Sumatera Utara
Dari ketiga tahapan di atas, Panofsky berupaya menjelaskan mengenai kajian dalam memperhatikan konfigurasi ikon pada suatu karya untuk menangkap makna tersembunyi di dalamnya. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara berurutan serta didasari oleh latar belakang, kondisi sosial, dan aspek psikologis. Pengkajian diharapkan dapat dilakukan secara mendalam guna menghasilkan sebuah makna yang luas dalam sebuah karya.
II. 3. Model Teoritis
Universitas Sumatera Utara