BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Sinyal (Signaling Theory) Menurut Wolk et al. (2001) dalam Thiono (2006:4), teori sinyal (signaling theory)
menjelaskan
mengapa
perusahaan
mempunyai
dorongan
untuk
memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar. Perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor). Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi asimetri informasi. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar. Salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang. Teori sinyal mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan bersangkutan lebih baik daripada perusahaan lain.
14
Informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi (Jogiyanto, 2000:392). Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Pada saat informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik (good news) atau sinyal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai sinyal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham.
2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan adalah teori yang memaparkan tentang pemisahan pengendalian pada perusahaan yang berdampak pada munculnya hubungan antara agen dan prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Prinsipal merupakan pemegang saham sedangkan agen adalah manajemen yang melakukan pengelolaan perusahaan. Dalam praktiknya sering terjadi suatu konflik antara pihak manajemen dengan pemegang saham. Konflik tersebut terjadi karena manajer cenderung mengutamakan kepentingan pribadi (Rahmawati, 2012). Kepentingan pribadi manajer terlihat melalui kecenderungan manajer untuk menggunakan free cash flow untuk overinvestment dan untuk memenuhi keinginginan pribadi mereka seperti gaji yang lebih tinggi. Konflik yang terjadi mengakibatkan adannya biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pemegang saham, biaya yang harus dikeluarkan antara lain biaya keagenan berupa biaya pengawasan (monitoring cost), biaya penjaminan (bonding
15
cost) dan kerugian residual (residual loss). Biaya pengawasan adalah biaya untuk mengawasi perilaku manajer melalui pengetatan anggaran, kebijakan kompensasi, dan aturan-aturan operasi. Biaya penjaminan adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan pemegang saham untuk menjamin bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang akan merugikan pihak pemegang saham. Kerugian residual merupakan penurunan kesejahteraan pemegang saham, karena ketidakselarasan keinginan agen dan prinsipal, sehingga manajer melakukan tindakan yang menguntungkannya dan merugikan pihak pemegang saham. Konflik keagenan dapat berpengaruh pada menurunnya nilai perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Konflik keagenan dapat dikurangi melalui beberapa alternatif (Fauz dan Roshidi, 2007) di antaranya: 1) Meningkatkan pendapatan melalui utang, sehingga akan menurunkan tingkat konflik antara pemegang saham dengan manajer. 2) Penggunaan investor institusional (kepemilikan institusional) sebagai monitoring agent, yang akan mendorong meningkatnya pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
2.1.3 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan dapat didefinisikan sebagai nilai wajar perusahaan yang menggambarkan persepsi investor terhadap emiten bersangkutan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004), nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Keown et al. (2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Harga yang bersedia
16
dibayar oleh calon pembeli diartikan sebagai harga pasar atas perusahaan itu sendiri. Di bursa saham, harga pasar berarti harga yang bersedia dibayar oleh investor untuk setiap lembar saham perusahaan. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang selalu dikaitkan dengan harga saham. Nilai perusahaan merupakan gambaran dari kesejahteraan pemegang saham. Semakin tinggi nilai perusahaan maka dapat menggambarkan bahwa semakin sejahtera pula pemiliknya. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Menurut Kallapur dan Trombley (1999) nilai perusahaan merupakan variabel yang tidak dapat diobservasi, sehingga untuk mengukur nilai perusahaan diperlukan suatu proksi. Proksi nilai perusahaan ada 3 (tiga) di antaranya: 1) Proksi Berdasarkan Harga (Price Based Proxies) Proksi berbasis harga mendasarkan pada perbedaan antara aset dan nilai perusahaan sehingga proksi ini sangat tergantung pada harga saham. Proksi berbasis harga dapat berupa: (1) Tobin’s Q yang merupakan perbandingan antara nilai pasar perusahaan terhadap nilai buku total aset. (2) Price to Book Value (PBV). PBV merupakan perbandingan antara harga pasar per lembar saham terhadap nilai bukunya. (3) Return on Asset (ROA). ROA merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap total aset perusahaan.
17
(4) Return on Equity (ROE). ROE merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap total ekuitas perusahaan. 2) Proksi Berdasarkan Investasi (Investment Based Proxies) Proksi berbasis investasi menunjukkan tingkat aktivitas investasi yang tinggi secara positif berhubungan dengan kesempatan investasi perusahaan. Proksi berbasis investasi dapat berupa Return on Investment (ROI) yang merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap nilai investasi perusahaan. 3) Proksi Berdasarkan Pengukuran Varians (Variance Measurement) Proksi berbasis varians mendasarkan pada ide bahwa pilihan akan menjadi lebih bernilai sebagai variabilitas dari return dengan mendasarkan pada peningkatan aset. Proksi berbasis varians dapat berupa variance return dan beta asset. Di dalam penelitian ini nilai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q. Tobin’s Q atau yang biasa juga disebut Q ratio diperkenalkan pertama kali oleh James Tobin pada tahun 1969. Tobin adalah ekonom Amerika yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi dengan mengajukan hipotesis bahwa nilai pasar suatu perusahaan seharusnya sama dengan biaya penggantian aktiva perusahaan tersebut sehingga menciptakan keadaan ekuilibrium.
2.1.4 Investment Opportunity Set Istilah Investment Opportunity Set (IOS) dikenalkan pertama kali oleh Myers (1997). Menurut Myers (dalam Smith dan Watts, 1992), perusahaan adalah kombinasi antara nilai assets in place dengan pilihan investasi di masa yang akan
18
datang. Pada dasarnya IOS merupakan pilihan kesempatan investasi masa depan yang dapat memengaruhi pertumbuhan aset perusahaan atau proyek yang memiliki net present value positif. Menurut Gaver dan Gaver (1993), IOS merupakan kesempatan investasi yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, yang pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar. Pilihan investasi masa depan ini tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya proyekproyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi juga dengan kemampuan perusahaan dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok industrinya. Kemampuan perusahaan yang lebih tinggi ini bersifat tidak dapat diobservasi (unobservable), sehingga perlu dipilih suatu proksi yang dapat dihubungkan dengan variabel lain dalam perusahaan. Berbagai macam proksi pertumbuhan perusahaan yang dinyatakan dalam satu set kesempatan investasi telah digunakan oleh beberapa peneliti. Kallapur dan Trombley (dalam Prasetyo, 2000) menyatakan bahwa proksi-proksi Investment Opportunity Set (IOS) dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu: 1) Proksi IOS berbasis pada harga, merupakan proksi yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Proksi ini didasari pada anggapan yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi
19
secara relatif untuk aset yang dimiliki (assets in place) dibandingkan perusahaan yang tidak tumbuh. IOS yang didasari pada harga akan berbentuk suatu rasio sebagai suatu ukuran aset yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan. 2) Proksi IOS berbasis pada investasi, merupakan proksi yang percaya pada gagasan bahwa suatu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara positif dengan nilai IOS suatu perusahaan. 3) Proksi IOS berbasis pada varian (variance measurement) merupakan proksi yang mengungkapkan bahwa suatu opsi akan menjadi lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari peningkatan aset. Penelitian ini menggunakan proksi tunggal yang berbasiskan pada harga yaitu Market to Book Value of Equity (MBVE). Rasio MBVE digunakan dengan mempertimbangkan pendapat Gaver dan Gaver (1993) bahwa nilai pasar dapat mengindikasikan kesempatan perusahaan untuk bertumbuh dan melakukan kegiatan investasi sehingga perusahaan dapat memperoleh pertumbuhan ekuitas dan aset.
2.1.5 Free Cash Flow Jensen (1986) mendefinisikan free cash flow sebagai aliran kas yang merupakan sisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value positif yang didiskontokan pada tingkat biaya modal yang relevan. Menurut White et al. (2003) free cash flow merupakan aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan.
20
Ross et al. (2000) mendefinisikan free cash flow sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada aset tetap. Free cash flow dikatakan mempunyai kandungan informasi bila free cash flow memberi sinyal bagi pemegang saham. Penjelasan utama mengapa perusahaan membayar dividen adalah adanya hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) yang menjelaskan dividen sebagai sarana untuk mengurangi agency cost pada aliran kas bebas. Hipotesis free cash flow berdasarkan pada adanya argumen konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Artinya, manajer bukan bertindak untuk kepentingan terbaik pemegang saham, tetapi mengalokasikan sumber daya perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sendiri (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu, aliran kas yang tersedia dalam jumlah besar dapat menyebabkan masalah overinvestment.
2.1.6 Kebijakan Dividen Salah satu return yang akan diperoleh para pemegang saham adalah dividen. Menurut Napa (1999:151), dividen merupakan bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada para pemegang saham (pemilik modal sendiri). Menurut Sunariyah (2004:48), dividen adalah pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut atas keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dividen merupakan proporsi pembagian laba yang diperoleh perusahaan yang dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan.
21
Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan kebijakan dividen, di antaranya (Brigham dan Houston, 2001:198): 1) Irrelevance Theory Irrelevance theory dikembangkan oleh Miller dan Modigliani (1961) yang menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya modalnya. Nilai perusahaan hanya ditentukan oleh expected earnings dan risiko perusahaan, sehingga peningkatan
atau
penurunan
dividen
oleh
perusahaan
tidak
akan
memengaruhi nilai perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan dividen menjadi tidak relevan (irrelevant). 2) Bird in The Hand Theory Bird in the hand theory yang dikembangkan oleh Lintner dan Gordon (1962) menjelaskan bahwa investor menyukai dividen yang tinggi karena dividen yang diterima seperti burung di tangan yang risikonya lebih kecil atau mengurangi ketidakpastian dibandingkan dengan dividen yang tidak dibagikan. Kelompok ini berpendapat bahwa peningkatan dividen akan meningkatkan harga saham yang selanjutnya berdampak terhadap nilai perusahaan. Menurut Sunariyah (2003:118) dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dapat berupa: 1) Dividen Tunai (Cash Dividend) Dividen tunai adalah dividen yang dibayar oleh emiten kepada para pemegang saham secara tunai setiap lembarnya.
22
2) Dividen Saham (Stock Dividend) Dividen saham merupakan pembayaran dividen dalam bentuk saham, yaitu berupa pemberian tambahan saham kepada pemegang saham dalam jumlah yang sebanding dengan saham-saham yang dimiliki. Baridwan (2004:233) menyatakan dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham dapat berupa: 1) Dividen yang Berbentuk Uang Pembagian dividen yang paling sering dilakukan adalah dalam bentuk uang. Para pemegang saham akan menerima dividen sebesar tarif per lembar dikalikan jumlah lembar yang dimiliki. 2) Dividen yang Berbentuk Aset (Selain Kas dan Saham Sendiri) Dividen yang dibagikan kadang-kadang tidak berbentuk uang tunai, tetapi berupa aset seperti saham perusahaan lain atau barang-barang hasil produksi perusahaan yang membagikan dividen tersebut. Pemegang saham yang menerima dividen seperti ini mencatat dalam bukunya dengan jumlah sebesar harga pasar yang diterimanya. 3) Dividen Saham (Stock Dividend) Penerimaan dividen dalam bentuk saham dari perusahaan yang membagi saham disebut dividen saham. Saham yang diterima berbentuk saham yang sama dengan yang dimiliki atau saham jenis yang lain.
23
Menurut Warsono (2003:275), indikator untuk mengukur kebijakan dividen yang secara luas digunakan ada dua macam, yaitu: 1) Hasil Dividen (Dividend Yield) Dividend yield adalah suatu rasio yang menghubungkan dividen yang dibayar dengan harga saham biasa. Dividend yield menyediakan suatu ukuran komponen
pengembalian
total
yang
dihasilkan
dividen,
dengan
menambahkan apresiasi harga yang ada. Beberapa investor menggunakan dividend yield sebagai suatu ukuran risiko dan sebagai suatu penyaring investasi, yaitu mereka akan berusaha menginvestasikan dananya dalam saham yang menghasilkan dividend yield yang tinggi. 2) Rasio Pembayaran Dividen (Dividend Payout Ratio) Dividend Payout Ratio (DPR) merupakan rasio hasil perbandingan antara dividen dengan laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa. DPR banyak digunakan dalam penilaian sebagai cara pengestimasian dividen untuk periode yang akan datang, sedangkan kebanyakan analis mengestimasikan pertumbuhan dengan menggunakan laba ditahan lebih baik daripada dividen.
24
2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diajukan, tinjauan pustaka, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, maka dapat dinyatakan rumusan hipotesis sebagai berikut:
2.2.1 Pengaruh Investment Opportunity Set pada Kebijakan Dividen Hartono (2003:58) dalam Rizal (2009) menyatakan bahwa investment opportunity set menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2001:221), selama satu tahun mungkin perusahaan membayarkan nol dividen karena perusahaan membutuhkan uang untuk mendanai peluang investasi yang baik tetapi pada tahun berikutnya perusahaan mungkin membayarkan dividen dalam jumlah besar karena peluang investasi yang buruk dan tidak perlu menahan banyak uang. Hal ini sesuai dengan Suharli (2007) yang menyatakan bahwa apabila kondisi perusahaan saat baik maka pihak manajemen akan cenderung lebih memilih investasi baru daripada membayar dividen yang tinggi (agency theory). Dana yang seharusnya dapat dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang
saham
akan
digunakan
untuk
pembelian
investasi
yang
menguntungkan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H1: Investment opportunity set berpengaruh negatif pada kebijakan dividen.
25
2.2.2 Pengaruh Free Cash Flow pada Kebijakan Dividen Berdasarkan agency theory, perusahaan yang memiliki free cash flow tinggi akan membagikan dividen dalam jumlah yang tinggi pula. Hal ini dikarenakan adanya tekanan dari pihak pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk dividen (Mollah, 2011 dalam Puspitasari dan Darsono, 2014). Pemegang saham yakin bahwa dividen yang dibagikan akan mempunyai nilai yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah dibandingkan pendapatan modal. Dengan kata lain, investor lebih menyukai dividen karena kas di tangan lebih bernilai daripada kekayaan dalam bentuk lain. Perusahaan yang memiliki free cash flow dalam jumlah yang memadai akan lebih baik dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen untuk menghindari agency problem. Hal ini dimaksudkan agar free cash flow yang ada tidak digunakan untuk proyek-proyek yang tidak menguntungkan (wisted on unprofitable). Dengan demikian, ketersediaan dana dapat dipakai untuk kemakmuran pemegang saham (Mollah, 2011 dalam Puspitasari dan Darsono, 2014). Hasil pengujian yang dilakukan Rosdini (2009) menemukan bahwa free cash flow mempunyai pengaruh pada dividend payout ratio. Pengaruh free cash flow pada dividend payout ratio bersifat positif, artinya semakin tinggi free cash flow maka semakin tinggi dividend payout ratio atau semakin rendah free cash flow maka semakin rendah dividend payout ratio. Hal yang sama ditemukan pada penelitian Thanatawee (2011) bahwa free cash flow berpengaruh positif pada kebijakan dividen yang diukur dengan dividend payout ratio. Hasil ini sesuai
26
dengan teori yang dikemukakan oleh Smith dan Watts (1992) dalam Rosdini (2009) yang menyatakan bahwa untuk menghindari terjadinya overinvestment (free cash flow problem), manajer akan membagikan dividen dalam dalam jumlah yang tinggi. Peningkatan dividen merupakan sinyal yang positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, karena meningkatnya dividen diartikan sebagai adanya keuntungan yang akan diperoleh di masa yang akan datang. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H2: Free cash flow berpengaruh positif pada kebijakan dividen.
2.2.3 Pengaruh Investment Opportunity Set pada Nilai Perusahaan Myers (1997) dalam Hasnawati (2005) menyebutkan bahwa investment opportunity set dalam kaitannya untuk mencapai tujuan perusahaan, memberikan petunjuk yang lebih luas dimana nilai perusahaan sebagai tujuan utama tergantung pada pengeluaran perusahaan di masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan, manajer membuat keputusan investasi yang menghasilkan net present value positif (Modigliani dan Miller, 1961 dalam Brigham dan Houston, 2001). Fama (2001) dalam Delira (2007) menyatakan nilai perusahaan semata-mata ditentukan oleh keputusan investasi. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa keputusan investasi itu penting untuk mencapai nilai perusahaan yang hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Fahrizal (2013) dan Astriani (2014) menunjukkan bahwa investment opportunity set berpengaruh positif dan
27
signifikan pada nilai perusahaan. Penelitian ini mendukung signaling theory, yang menyatakan bahwa pengeluaran investasi memberikan sinyal positif mengenai pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan harga saham yang digunakan sebagai indikator nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H3: Investment opportunity set berpengaruh positif pada nilai perusahaan.
2.2.4 Pengaruh Free Cash Flow pada Nilai Perusahaan Ross et al. (2000) menyatakan bahwa free cash flow merupakan kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Semakin besar arus kas yang ada, maka semakin besar pula fleksibilitas aliran kas bebas tersebut. Kas biasanya menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Manajer lebih menginginkan dana tersebut diinvestasikan lagi pada proyekproyek yang dapat menghasilkan keuntungan karena alternatif ini akan meningkatkan insentif yang diterima. Free cash flow mencerminkan keleluasaan perusahaan dalam melakukan investasi tambahan, melunasi hutang, membeli saham treasury atau menambah likuiditas. Free cash flow yang tinggi mengindikasikan kinerja perusahaan yang tinggi, sehingga nilai perusahaan akan meningkat. Kinerja dari perusahaan yang tinggi akan meningkatkan nilai pemegang saham yang diwujudkan dalam bentuk return yang tinggi melalui dividen, harga saham, atau laba ditahan untuk diinvestasikan di masa depan.
28
Penelitian yang dilakukan oleh Andini dan Wirawati (2014) menunjukkan bahwa free cash flow berpengaruh positif dan signifikan pada nilai perusahaan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vogt dan Vu (2000). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H4: Free cash flow berpengaruh positif pada nilai perusahaan.
2.2.5 Pengaruh Kebijakan Dividen pada Nilai Perusahaan Pada dasarnya, laba bersih perusahaan dapat dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau ditahan dalam bentuk laba ditahan untuk membiayai investasi perusahaan. Kebijakan dividen menyangkut keputusan tentang penggunaan laba yang menjadi hak pemegang saham. Penelitian Wijaya dan Wibawa (2010) serta Fenandar dan Raharja (2012) dapat membuktikan bahwa kebijakan dividen memengaruhi nilai perusahaan secara positif dan mendukung bird in the hand theory. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H5: Kebijakan dividen berpengaruh positif pada nilai perusahaan.
2.2.6 Pengaruh Investment Opportunity Set pada Nilai Perusahaan Melalui Kebijakan Dividen Investment opportunity set menunjukkan luasnya kesempatan investasi yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Apabila kondisi perusahaan saat baik maka pihak manajemen akan cenderung lebih memilih investasi baru daripada membayar dividen yang tinggi. Ketika perusahaan memilih untuk mengurangi rasio pembayaran dividen, atau bahkan tidak membagikan dividen maka investor akan enggan berinvestasi pada perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat
29
menurunkan nilai perusahaan. Begitu pula sebaliknya ketika perusahaan memilih untuk membagikan dividen dalam jumlah yang tinggi dibandingkan membiayai suatu investasi baru, maka investor akan merespon positif informasi tersebut sehingga berdampak pada peningkatan nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Marpaung dan Hardianto (2009) menunjukkan bahwa investment opportunity set berpengaruh positif dan signifikan pada kebijakan dividen. Penelitian ini juga didukung oleh Putri (2012) yang mengindikasikan bahwa investasi yang dilakukan perusahaan memberikan tingkat keuntungan yang baik sehingga perusahaan dapat membagikan dividen dalam jumlah yang tinggi. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Nofrita (2013) menemukan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan bird in the hand theory yang menyatakan bahwa nilai perusahaan akan dimaksimumkan oleh rasio pembayaran dividen yang tinggi. Investor beranggapan bahwa risiko dividen tidak sebesar kenaikan biaya modal, sehingga investor lebih menyukai keuntungan dalam bentuk dividen daripada keuntungan yang diharapkan dari kenaikan nilai modal. Shintawati (2011) menyatakan bahwa rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku (MBVE) dapat mencerminkan adanya Investment Opportunity Set (IOS) bagi suatu perusahaan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa IOS yang diproksikan dengan MBVE berpengaruh signifikan pada nilai perusahaan. Semakin tinggi angka rasio MBVE semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hal ini menandakan bahwa perusahaan dengan nilai pasar yang tinggi dinilai baik oleh
30
investor melalui harga saham yang tinggi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H6: Investment opportunity set berpengaruh pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
2.2.7
Pengaruh Free Cash Flow pada Nilai Perusahaan Melalui Kebijakan Dividen
Free cash flow merupakan kelebihan kas yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Ketika free cash flow tinggi, maka perusahaan akan cenderung membagikannya ke dalam bentuk dividen. Dividen yang dibagikan oleh perusahaan akan memberikan sinyal positif bagi investor sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Apabila free cash flow perusahaan tinggi tetapi perusahaan tidak membagikan dividen, maka investor akan mempertanyakan aliran kas tersebut sehingga menimbulkan sinyal negatif bagi pasar dan berdampak pada penurunan nilai perusahaan. Embara, dkk (2012) menyatakan bahwa free cash flow berpengaruh positif signifikan pada kebijakan dividen. Hal ini membuktikan bahwa free cash flow yang tinggi akan memiliki dampak berupa peningkatan pembayaran dividen. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Rizqia, dkk (2013) menemukan bahwa kebijakan dividen berpengaruh pada nilai perusahaan. Pembagian dividen akan memberikan informasi atau isyarat mengenai kinerja finansial perusahaan di mata investor. Jika perusahaan memiliki rasio pembayaran dividen yang stabil, atau bahkan meningkat, maka akan dapat melahirkan sentimen positif pada para
31
investor, yang dapat meningkatkan nilai perusahaan (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Andini dan Wirawati (2014) menunjukkan bahwa free cash flow berpengaruh positif dan signifikan pada nilai perusahaan. Dapat diartikan bahwa semakin besar free cash flow yang terdapat dalam suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula nilai perusahaan, dan demikian juga sebaliknya. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vogt dan Vu (2000), di mana perusahaan dengan tingkat free cash flow yang paling tinggi akan memiliki return yang lebih besar daripada perusahaan dengan free cash flow yang rendah. Selain itu, free cash flow harus dibayarkan kepada pemegang saham jika perusahaan ingin memaksimalkan nilainya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H7: Free cash flow berpengaruh pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
32