BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional di segala bidang yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah, telah mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara umum antara lain dapat dilihat dari menurunnya angka kematian ibu dan bayi serta meningkatnya angka umur harapan hidup. Jumlah usia lanjut pada tahun 2000 adalah 2,28% dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan meningkat sebesar 11,34% (BPS, 1992). Dari data USA-Bureau of the Census Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan warga lansia sebesar 414% antara tahun 1990-2025 yang merupakan sebuah peningkatan tertinggi di dunia (Kinsella,1993). Usia lanjut adalah suatu tahap terakhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Kejadiannya pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun namun kemunduran fungsi pada usia lanjut dapat dihambat. Proses penuaan ( aging process ) merupakan suatu proses yang alami ditandai dengan adanya penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Proses menua akan terjadi secara terus menerus secara alami mulai dari lahir sampai menjadi tua. Proses
1
2
menua bukan suatu penyakit tetapi merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan internal dan eksternal tubuh ( Miller, 2004). Pada umumnya warga lanjut usia dapat digolongkan menjadi kondisi menua optimal ( optimal aging ) dan menua abnormal atau patologis (pathological aging). Para pakar otak ( neuroscientist ) cenderung untuk lebih memperhatikan dan mengkaji mereka yang dalam keadaan menua patologis yaitu dalam keadaan abnormal, tidak sehat, dan berpenyakit. Padahal jumlahnya hanya 6-15 persen, sisanya yang berjumlah 85-94 persen dari populasi lanjut usia yang dalam keadaan sehat tidak cocok apabila dibandingkan dengan kondisi mereka yang berkelainan, berpenyakit, dan mengalami kemunduran sumber daya otak atau brain power ( Kusumoputro, 2003 ). Pada tahun 1989, mantan Presiden Amerika Serikat George Bush mencanangkan tahun 1990-an sebagai “ Decade of the Brain “, kini setelah tahun 1990-an, penekanan dekade tersebut adalah pada proses informasi yang cepat sebagai pola hidup dan bisnis. Dalam lingkungan yang penuh data informasi ini orang membutuhkan peningkatan potensi dan sumber daya otak. Yang diperlukan adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak ( brain fitness ). Orang harus mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat, lebih tajam, lebih efisien, dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas, orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan melupakan sesuatu. Orang yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan mengalami kemunduran sumber daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih dari lingkungannya. Keadaan itu berlaku pula bagi mereka yang berusia setengah baya dan berusia lanjut
3
( Kusumoputro, 2003 ). Kini setelah Indonesia mengalami era pembangunan terutama setelah dilaksanakannya program peningkatan kegiatan dalam bidang kesehatan, keluarga berencana, kebersihan lingkungan,
olahraga dan lain-lainnya maka apa yang
menjadi harapan hidup (life expectancy) bangsa Indonesia menjadi meningkat sehingga angka kematian sebelum masa usia lanjut dapat diperkecil dan sebaliknya mereka yang telah melampaui usia di atas 60 tahun jumlahnya semakin besar. Pematangan jaringan yang biasanya dipakai sebagai indeks umur biologis. Hal ini dapat menerangkan, mengapa orang-orang berumur kronologis sama mempunyai penampilan fisik dan mental berbeda. Untuk tampak awet muda, proses biologis ini yang dicegah. Dalam Geriatri ( Ilmu Kesehatan Lanjut Usia ) yang dianggap penting adalah usia biologik seseorang bukan usia kronologiknya ( Aswin 2003 ) dimana sering kita melihat seorang muda usia yang kelihatan sudah tua dan sebaliknya orang yang usianya tua terlihat masih segar bugar jasmaninya. Pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh. Penurunan fungsi ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis. Selain itu berkurangnya aktivitas, asupan nutrisi yang kurang, polusi, serta radikal bebas sangat mempengaruhi penurunan fungsi organ-organ tubuh pada lansia. Suatu penelitian di Inggris terhadap 10.255 orang lansia di atas usia 75 tahun, menunjukkan bahwa pada lansia terdapat gangguan-gangguan fisik yaitu arthritis atau gangguan sendi (55%), keseimbangan berdiri (50%), fungsi kognitif pada susunan saraf pusat
4
(45%), penglihatan (35%), pendengaran (35%), kelainan jantung (20%), sesak napas (20%), serta gangguan miksi/ngompol (10%), dari sekian gangguan yang mungkin akan terjadi pada lansia dapat mengakibatkan terganggunya atau menurunnya kualitas hidup pada lansia sehingga usia harapan hidup (life expectancy) juga akan menurun (Sulianti, 2000). Walaupun terjadi penurunan fungsi pada lansia secara fisiologis, hal yang perlu diperhatikan kepada para lansia adalah Quality of Life (kualitas hidup). Quality of life adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan kehidupannya baik di tingkat sosial, mental dan mencapai kesejahteraan bukan hanya terhindar dari penyakit. Menurunnya fungsi kognitif, gejala ringan adalah mudah lupa dan jika parah akan menyebabkan kepikunan, sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut. Padahal, menurunnya kemampuan kognitif yang ditandai dengan banyak lupa merupakan salah satu gejala awal kepikunan. Kognitif adalah kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. Penurunan dari fungsi kognitif
biasanya berhubungan dengan
penurunan fungsi belahan kanan otak yang berlangsungnya lebih cepat daripada yang kiri. Tidak heran bila pada para lansia terjadi penurunan berupa kemunduran daya ingat visual (misalnya, mudah lupa wajah orang), sulit berkonsentrasi, cepat beralih perhatian. Juga terjadi kelambanan pada tugas motorik sederhana seperti berlari, mengetuk jari, kelambanan dalam persepsi sensoris serta dalam reaksi tugas kompleks. Sifat gangguan ini sangat individual, tidak sama tingkatnya satu
5
orang dengan orang lain. Kemunduran yang paling dominan ditemui adalah menurunnya kemampuan memori atau daya ingat ( Sulianti, 2000). Namun, kebanyakan proses lanjut usia ini masih dalam batas-batas normal berkat proses plastisitas. Proses ini adalah kemampuan sebuah struktur dan fungsi otak yang terkait untuk tetap berkembang karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak cepat mundur proses plastisitas ini harus terus dipertahankan ( Kusumoputro, 2003 ). Stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belahan kanan perlu diberikan porsi yang memadai, berupa latihan atau permainan yang prosedurnya membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tempat, waktu, dan situasi) dan memori. Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut kemampuan akan turun antara 30-50%,( Kusmana, 1992 ).Oleh karena itu, bila para usia lanjut ingin berolahraga atau meningkatkan kebugaran fisiknya harus memilih jenis kegiatan olahraga yang sesuai dengan umurnya, dan kemungkinan adanya suatu penyakit seperti aterosklerosis, arthritis dan osteoporosis dan penyakit degeneratif lainnya. Pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat kompetitif/ bertanding. Latihan olahraga bagi manula mempunyai manfaat besar karena dapat meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran dan volume pasokan darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh
6
terutama ke organ otak. Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada pria usia lanjut berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh B. M. van Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang hubungan aktifitas fisik dengan penurunan kognitif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat proses penurunan fungsi kognitif. Potensi kerja otak selain dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kebugaran fisik secara umum juga dapat dilakukan dengan pelatihan otak yang bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan otak agar kemampuannya tidak menurun dengan merangsang otak setiap harinya sehingga diharapkan dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuan fungsi kognitifnya. Penelitian selama 1 (satu) tahun tentang kaitan latihan fisik terhadap fungsi kognitif pada kelompok usia beresiko (70-89 tahun) oleh Williamson dan kawankawan (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kognitif yang berasosiasi dengan peningkatan fungsi fisik. Secara spesifik, penelitian Matthews dan kawan-kawan (2004) dengan latihan Tai Chi pada usia 68-84 tahun (mean rerata 76,6) menunjukan adanya hubungan yang positif. Sebagai salah satu profesi kesehatan, fisioterapi mempunyai peranan penting dalam penanganan peningkatan kualitas hidup pada lansia. Seperti yang dicantumkan dalam Kepmenkes No.1363/Menkes/SK/XII/2001 pasal 1 ayat 2: Bahwa Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
7
Sedangkan menurut WCPT 2007 Fisioterapi adalah: Phisical Therapy is providing services to people and populations to develop, maintain and restore maximum movement and functional ability throughout the lifespan.Physical therapy includes the provision of services in circumstances where movement and function are threatened by the prosess of ageing or that of injury or disease. Salah satu upaya untuk menghambat kemunduran kognitif akibat penuaan yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik. Seseorang bukannya tidak mau bergerak karena tua, tapi menjadi tua karena tidak mau bergerak. Latihan yang dapat meningkatkan potensi kerja otak yakni meningkatkan kebugaran fisik secara umum dalam bentuk melakukan senam otak ( Senam Vitalisasi Otak ) yaitu kegiatan yang merangsang intelektual yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerak badan ( Markam, 2006). Manfaat senam vitalisasi otak dapat meningkatkan kemampuan kewaspadaan, pemusatan perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif lansia. Efek yang lain dengan senam vitalisasi otak para peserta menyatakan bisa tidur lebih nyenyak, senam ini juga dapat menjaga pikiran tetap segar sehingga para peserta dapat mempertahankan ingatan, makanya mereka tidak pikun terlebih mereka yang setiap hari latihan, otomatis sering menghafal gerakan dan otak bekerja terus secara beraturan ( Markam, 2006). Sedangkan senam lansia, keuntungannya adalah melatih fisik, fokus utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa
bentuk
permainan-permainan
untuk
keseimbangan dan kelentukan ( Tilarso, 1988 ).
meningkatkan
koordinasi,
8
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam melalui penelitian dan dipaparkan dalam tesis dengan judul ” Senam Vitalisasi Otak Lebih Meningkatkan Fungsi Kognitif Kelompok Lansia daripada Senam Lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten ” 1.2 Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang seperti di atas, maka peneliti merumuskan masalah yang diteliti adalah : 1. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu dapat meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten ? 2. Apakah senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dapat meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten ? 3. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia daripada senam lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten ? 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Tujuan umum: Mendapatkan tipe pelatihan senam vitalisasi otak yang lebih baik dalam meningkatkan fungsi kognitif pada kelompok lansia.
9
Tujuan Khusus 1) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten. 2) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten. 3) Untuk mengetahui bahwa pelatihan senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu lebih baik daripada pelatihan senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dalam meningkatkan
fungsi
kognitif
kelompok
lansia
di
balai
perlindungan sosial propinsi Banten. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat untuk dunia pengetahuan Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi penentu kebijakan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada para lanjut usia dengan memberikan informasi dan sosialisasi senam kebugaran fisik ( senam lansia ) dan senam vitalisasi otak pada lanjut usia. Manfaat untuk kepentingan masyarakat Pelatihan ini bermanfaat bagi para lansia untuk menghambat kemunduran fungsi kognitifnya sehingga berguna bagi aktifitas hidup sehari-hari, terutama untuk kualitas kehidupan lanjut.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gerontologi Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses ketuaan dan kaitannya, berasal dari kata "Geras" dari bahasa yunani berarti umur tua dan "Logos" pelajaran atau penjelasan tentang sesuatu. Istilah gerontologi mempunyai arti luas karena menyangkut aspek-aspek psikologi, sosio ekonomi, fisiologi Khusus untuk gerontologi yang menyangkut aspek kesehatan disebut geriatrik yang mempelajari aspek-aspek medis dalam kehidupan tua. Geriatrik mendalami sebab-sebab dan upaya perbaikan dari perubahan patologi faali pada orang-orang yang berumur lanjut. Dalam Simposium Geriatri (1978) di Jakarta telah diformulasikan mengenai tujuan gerontologi/geriatri di Indonesia yaitu “Mengadakan upaya dan tindakantindakan sehingga orang-orang usia lanjut selama mungkin tetap dalam keadaan sehat, baik fisik, mental dan sosial sehingga masih berguna bagi masyarakat, setidak-tidaknya sedikit mungkin merupakan beban bagi masyarakat Indonesia “ ( Darmojo, 1979 ). Pendapat ini di tunjang oleh Takemi (1977) Healthy aging artinya menjadi tua dalam keadaan sehat yang pertama kali menyatakan” Gerontology is concend primarily with problem of healthy aging rather than the preven tion of aging” disini hanyalah mencegah agar proses menua tadi tidak disertai dengan patologik sehingga timbullah model pencapaian healthy aging
11
yang dipengaruhi oleh faktor endogen ( kearah proses menuanya organ tubuh ) dan eksogen ( gaya hidup dan lingkungan ). Secara pasti seseorang yang memasuki masa umur lanjut akan mengalami kemunduran kemampuan fisik hal ini mempengaruhi kemampuan bergaul dengan masyarakat luas dan perhatian masyarakat lingkungan dekatnyapun makin lama makin turun maka pengaruh terhadap pribadinya makin kompleks. Adapula golongan masyarakat di negara maju yang masih memperhatikan penambahan pengetahuan pada golongan orang-orang yang berumur, golongan orang-orang yang berumur masih mempunyai keinginan untuk mendalami dan mempelajari sesuatu yang sesuai dengan pengalaman waktu muda. Sehingga bermanfaat hingga timbul kegairahan mengisi sisa kehidupannya. Bagian dari gerontologi ini disebut gerontologi pendidikan (educational gerontology) dengan demikian mental dan sosial telah dipersiapkan menempuh masa pensiun. 2.2 Definisi proses penuaan Penuaan ( = menjadi tua=aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Definisi lain menyatakan bahwa penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus-menerus, dan berkesinambungan.
Selanjutnya
akan menyebabkan
perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2002).
12
2.3 Batasan Usia Lanjut
Mengenai kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara memuaskan. Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur. Batasan usia ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi, masih banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai batasan usia ini antara lain; a. WHO (1989) menetapkan batasan usia lansia adalah kelompok usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan ( middle/young elderly ) , orang dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly), umur 75-90 tahun disebut tua (old), umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old). b.
Undang-undang RI No.4 tahun 1965 menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah.
c. Menurut pasal 1 ayat 2,3,4 UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. d.
Menurut Prof Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada membagi perkembangan manusia sebagai berikut 0-1 tahun masa bayi, 1-6 tahun masa prasekolah, 6-10 tahun masa sekolah, 10-20 tahun masa pubertas, 40-65 tahun masa setengah umur/prasenium dan 65 tahun ke atas masa lanjut usia/ senium ( Bandiah S, 2009 ).
13
Dalam penelitian ini batasan usia lanjut yang dipakai sebagai subyek penelitian adalah usia 60 - 74 tahun yang disebut lansia ( ederly ) 2.4 Teori terjadinya proses penuaan Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan strktural dan fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan fisiologis sampai patologis telah dikenal tingkatan proses menua yang menggunakan istilah senescence, senility dan demensia. Senescence menandakan perubahan penuaan normal dan senility menandakan penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih tidak jelas. Senility juga dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan pada usia lanjut yang tidak mengalami demensia (Cummings, Benson, 1992). Proses untuk menjadi tua ini memang sudah dimulai sebelum suatu kelahiran terjadi, selama manusia hidup, akan terjadi suatu perubahan fungsi dan struktur sel tubuh manusia. maturitas akan terjadi pada sekitar usia 20 atau 25 tahun. pertumbuhan akan berhenti, dan proses ketuaan akan mulai nampak usia 30 tahun ( Aswin, 2003 ) Proses ketuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan. Begitu pula orang tua akan berkurang kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan fisik. Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), maka mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai kronologis usia (penuaan primer) yang dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana perubahan dimulai dari sel, jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan sekunder yang dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya/
14
gaya hidup dan lingkungan. Faktor eksogen dapat juga mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal faktor resiko. Faktor resiko
tersebut yang
menyebabkan penuaan patologis (pathological aging) (Pudjiastuti, Utomo, 2003). Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic dan exogenic factor ( Darmojo , 2009 ). Endogenic factor yang dimulai dengan cellular aging, lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Proses ini seperti jam yang terus berputar. Sedangkan Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam sebab lingkungan (environment ) dimana seseorang hidup dan faktor sosiobudaya yang paling tepat disebut gaya hidup ( life style ). Faktor exogenic aging tadi sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko.
Gambar.2.1. Model Healthy Aging dengan faktor-faktornya Sumber: Darmojo,2009
15
Menuju healthy aging ( menua sehat ) dapat dengan jalan 4P yaitu peningkatan mutu ( promotion ), pencegahan penyakt ( prevention ), pengobatan penyakit ( curative ), dan pemulihan ( rehabilitation ), sehingga keadaan patologikpun dicoba untuk disembuhkan karena proses patologik akan mempercepat jalannya jam waktu tadi, endogenic dan exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisah-pisahkan karena saling mempengaruhi dengan erat maka bila faktor-faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal. Faktor endogenic dan exogenic ini lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko, hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada para lanjut usia dapat lebih jelas dilihat pada gambar menyerupai laba-laba di bawah ini (Darmojo, 2009).
Gambar 2.2. Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada para lanjut usia Sumber: Darmojo,2009
16
Faktor resiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan sehingga memungkinkan terjadinya banyak penyakit pada satu penderita ( multi patologi ) maka faktor resiko tadi haruslah dicegah dan dikendalikan. Dalam kaitan dengan proses penuaan, beberapa teori menjelaskan tentang hal tersebut, antara lain : 2.4.1
Teori genetik Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit ( Darmojo, Martono,2000). 2.4.2
Teori mutasi somatic (error catastrophe), Teori mutasi somatik dikatakan ada faktor-faktor lingkungan yang
menyebabkan terjadinya mutasi somatic, proses menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan, setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi maupun proses translasi, kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan akan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga akan mengurangi fungsional sel, maka akan terjadi kesalahan yang makin banyak sehingga terjadilah catastrop (Suhana, 1994).
17
Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah hipotesis “Error Castastrophe”. Menurut teori tersebut menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia. Akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan (Martono, 2000 ). 2.4.3
Teori rusaknya sistem imun tubuh Teori rusaknya sistem imun tubuh dimana mutasi yang berulang atau
perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Adanya kerusakan sistem imun tubuh berbentuk sebagai proses heteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Peristiwa
inilah
yang
menjadi
dasar
terjadinya
peristiwa
autonium
(Darmojo,2000). 2.4.4. Teori metabolisme Teori metabolisme dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.
18
Pentingnya metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan pula oleh Ballin dan Allen (1989), (dikutip oleh Suhana 1994). Menurut mereka ada hubungan antara tingkat metabolism dengan panjang umur. Hewan-hewan di alam bebas dikatakan lebih panjang umurnya daripada hewan laboratorium (Suhana, 1994). Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain karena kalori yang berlebihan, kurang aktivitas dan sebagainya (Darmojo, 2000). 2.4.5
Teori radikal bebas Teori radikal bebas dikatakan radikal bebas dapat terbentuk dialam
bebas, dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan didalam rantai pernapasan mitokondria (Oen, 1993). Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel dan dengan gugus SH. Walaupun ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati (Oen, 1993).Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi Dari penyebab–penyebab terjadinya proses menua tersebut ada beberapa peluang untuk memungkinkan kita dapat mengintervensi, supaya proses menua dapat diperlambat, pertama yang paling banyak kemungkinannya ialah radikal bebas, kedua sistem imun tubuh, ketiga melalui metabolisme/ makanan dan aktifitas fisik.
19
2.5 Faktor-faktor perubahan proses menua Seperti diketahui healthy aging dipengaruhi oleh faktor endogenic dan exogenic ( Darmojo, 2009 ). yang dapat diartikan sebagai faktor internal dan faktor eksternal pada perubahan proses menua. 2.5.1 Faktor internal; Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (Darmojo, Martono, 2000). Penurunan anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan syaraf otak, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem metabolisme, sistem ekskresi dan sistem musculoskeletal serta penyakit-penyakit degeneratif, Proses menua tidak
dengan
sendirinya
menyebabkan terjadinya
menyebabkan
terjadinya
demensia.
Penuaan
perubahan anatomi dan biokimiawi disusunan saraf
pusat. Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi; a. Sistem saraf pusat ( otak ) dan saraf otak Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup, perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1, pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1 ( Tilarso,1988 ). Disamping itu meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologi yang
20
berarti. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi otak yang dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak akibat pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmitter ( Martono, 2009 ). Penurunan aliran darah pada umur 17-18 = 79,3 cc/menit/100gr jaringan otak, umur 57-99 = 47,7cc/100gr jaringan otak ( Tilarso, 1988 ). Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar, disebut sebagai sifat pelupa benigna akibat penuaan keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi. b. Sistem kardiovaskuler Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25% lebih tebal dari usia 30 tahun, cardiac output turun 40% atau kira-kira kurang dari 1% per tahun, denyut jantung maksimal pada dewasa muda = 195x/menit, pada 65 tahun= 170x/menit, tekanan darah rata-rata umur 20-24 tahun pada wanita 116/70 pria 122/76 dan pada umur 60-64 tahun wanita 142/85 dan pria 140/85 ( Tilarso, 1988 ). Walaupun tanpa adanya penyakit pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi
21
sekuncup. Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung ( Martono, 2009 ). c. Sistem pernapasan Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 2025 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya, elastisitas paru menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping itu ada penurunan gerak silia di dinding system pernapasan, penurunan reflek batuk yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut pada saluran pernapasan ( Martono, 2009 ). Menurut Tilarso ( 1988 ), volume residual akan meningkat pada decade ke 3 s/d 9, kapasitas vital turun 17-22 cc/tahun, pemakaian O2 max pada keadaan stress turun 50% pada usia 80 tahun. d. Sistem metabolisme Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa dengan kadar glukosa darah puasa yang normal, frekwensi hipertiroid tinggi pada usia lanjut ( 25% ) sekitar 75%-nya mempunyai gejala/tanda klasik sebagian lainnya disebut sebagai apathetic thyrotoxicosis, sedangkan hipotiroid merupakan penyakit yang terutama terjadi antara usia 50-70 tahun dengan gejala yang tidak mencolok sehingga sering tidak terdiagnosis ( Martono, 2009 ).
22
e. Sistem ekskresi Berat ginjal pada usia 60 tahun = 250 gr, umur 70 tahun = 230 gr, umur 80 tahun = 190 gr sedangkan jumlah glomeruli per ginjal pada kelahiran sampai 40 tahun 500.000 – 1.000.000, pada dekade 7 kurang dari 1/3-1/2 ( Tilarso, 1988 ). Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stress fisik ginjal tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal ( Martono, 2009 ). f. Sistem musculoskeletal Menurut Tilarso ( 1988 ), jumlah sel-sel lurik akan turun 50% pada usia \80 tahun, berat otot lurik pada 21 tahun = 45% dari berat badan dan pada 70 tahun = 27% dari berat badan sedangkan pada tulang kecepatan kehilangan massa tulang/decade pria 3% dan wanita 8%, rata-rata kehilangan tinggi pada umur 65-74 = 1,5 inch ( 3,7 cm ), umur 85-94 = 3 inch ( 7,5 cm ). Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya aktifitas juga akibat gangguan metabolic atau denervasi syaraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup ( olahraga atau aktifitas
23
yang terprogram ). Dengan bertambahnya usia proses perusakan dan pembentukan tulang melambat terutama pembentukkannya hal ini akibat menurunnya aktifitas tubuh juga akibat menurunnya hormone estrogen pada wanita, vitamin D dan beberapa hormone lainnya ( parahormon dan kalsitonin ) trabekula tulang menjadi lebih berongga berakibat sering mudah patah tulang akibat benturan ringan atau spontan ( Martono, 2009 ). Kondisi psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu, gangguan memori, cemas dan gangguan tidur yang dapat mempengaruhi depresi pada lansia, Depresi pada lansia merupakan interaksi faktor biologi, psikologik dan sosial, lansia mengalami kehilangan dan kerusakan banyak sel-sel saraf pada lobus frontal dan lobus temporal yang berfungsi dalam intelektual maupun zat neurotransmiter. Lansia menjadi lebih mudah tersinggung, marah atau pendiam. Gangguan memori pada depresi sangat berhubungan dengan cognitif impairment yang terjadi pada lansia. Gangguan tidur dapat terjadi sebagai sebab atau akibat pada depresi Faktor predisposisi dapat diperberat dengan perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon prilaku seseorang mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan kesehatan (Tucker et al, 2006). Penelitian menyebutkan adanya hubungan aktifitas interpersonal yang kurang dengan timbulnya stress, Mekanisme stress
24
dapat mempengaruhi proses neurodegeneratif khususnya di hipokampus dan memegang peranan penting dalam proses memori diotak. Hipokampus mengatur respon stress dan bekerja menghambat aksi stress. Kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan petugas kesehatan. Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak berkembang dan kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri ( Hurlock,1996 ). Umumnya pada lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan ( Psikologi Lansia, 2009 ). Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan (Zunzunegui et al, 2003). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia
25
lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif/mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39% (Barnes et. 2004 ) 2.5.2 Faktor eksternal; Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain gaya hidup/life style, faktor lingkungan dan pekerjaan Budaya gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih. Penelitian yang dilakukan oleh Harrington et al. (2000) menemukan bahwa ada hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif selama 4 tahun follow up, karena diketahui peningkatan prevalensi penyakit asymtomatik serebral menimbulkan gejala hipertensi dengan banyaknya infark kecil diotak seperti pencetus timbulnya dimensia. Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.
26
Pengaruh
dari
zat-zat
pengawet
makanan,
zat-zat
ini
sifatnya
beracun/karsinogenik yang dalam jangka waktu tertentu dapat memperpendek usia walaupun ada penangkalnya seperti enzim katalase, vitamin C,A,E, namun demikian radikal bebas ini tetap lolos dan sangat reaktif serta cepat bereaksi terhadap protein, DNA, dan lemak tak jenuh menyebabkan kanker , semakin usia lanjut radikal bebas semakin terbentuk yang mempercepat proses menua. Radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan diorbit luarnya, molekul ini sangat reaktif mencari pasangan elektronnya, jika terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah. dengan semakin banyaknya sel-sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut mati, adanya radikal bebas sel-sel tidak dapat regenerasi.Reaksi antara radikal bebas dan molekul itu berujung pada timbulnya suat penyakit-penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler parkinson, alzheimer dan penuaan. ( Hardiwinoto dan Setiabudi, 2005 ) Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang teru menerus melatih kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah dimensia ( Sidiarto, 1999 ).
27
2.6 Kognitif 2.6.1 Definisi kognitif Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berfikir. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi ( Ramdhani. 2008 ). 2.6.2
Fungsi kognitif pada usia lanjut Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi
perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin, 2007). Kemampuan kognitif seseorang berbeda dengan orang lain, dari hasil penelitian diketahuai bahwa kemunduran sub sistem yang membangun proses memori dan belajar mengalami tingkat kemunduran yang tidak sama. Memori merupakan proses yang rumit karena menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang (Lumbantobing, 2006). Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65-75 tahun dan lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Proses penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui penglihatan (visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian diteruskan oleh sensory register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian
28
dan minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali (Ellis, 1993). Diantara fungsi otak yang menurun secara linier ( seiring ) dengan bertambahnya usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup
yang normal (Strub,
Black,1992). Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/
Short
term memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan penambahan usia. Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-100 tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan (acquisition)
mengalami penurunan
yang sama secara
bermakna
pada
penambahan usia, tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan kemampuan ingatan tertunda (delayed recall atau forgetting) sedikit menurun
29
tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor pembelajaran awal dipertimbangkan (Petersen et al. 1992). Petersen
juga
telah
berhasil
melakukan
penelitian
longitudinal
membandingkan kemampuan kognitif pada usia lanjut normal, gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) dan demensia Alzheimer ringan, telah disimpulkan bahwa MCI merupakan keadaan transisi antara kognitif normal dan demensia (terutama Alzheimer). Latar belakang penelitian Petersen adalah bahwa subjek MCI mempunyai gangguan memori sesuai usia dan pendidikan tetapi tidak ada demensia, sehingga diagnosis MCI dibuat pada pasien dengan kriteria berikut: (a) ada keluhan memori, (b) aktifitas hidup sehari-hari normal, (c) fungsi kognisi umum normal, (d) memori abnormal untuk usia, (e) tidak ada demensia. 2.7 Gangguan Fungsi Kognitif Pengelompokkan tingkat gangguan fungsi kognitif dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Menurut Kurlowiez (1999), berdasarkan tingkat keparahan (severity), gangguan fungsi dapat dibagi 3 yaitu : a) tidak ada gangguan fungsi kognitif, b) gangguan kognitif ringan, dan c) gangguan kognitif berat. 2.8 Struktur dan Fungsi Otak Di dalam otak manusia, diperkirakan terdapat 1 trilyun sel otak. Sepersepuluh atau sebanyak 100 miliar sel otak tersebut adalah sel otak aktif sementara sisanya adalah sel pendukung. Di dalam setiap sel otak (neuron) memiliki cabang-cabang yang disebut dendrit. Setiap cabang besar dan panjang yang dinamakan akson yang berfungsi sebagai jalan keluar utama dalam menyebarkan informasi yang diterima oleh neuron. Sebenarnya, selain ditentukan
30
oleh jumlah sel otak yang dimiliki, kecerdasan seseorang juga ditentukan oleh seberapa banyak koneksi yang biasanya terjadi diantara masing-masing sel otak (neuron) kemungkinan koneksi yang dapat terjadi antara setiap sel otak mulai dari 1 hingga 20.000 koneksi inilah yang sebenarnya menentukan kecerdasan seseorang, bagaimana cara kita untuk menambah jumlah koneksi antar sel otak dengan cara menggunakan dan melatih otak sesering mungkin. Semakin sering otak digunakan dan dilatih, semakin banyak koneksi yang terjadi. Seiring dengan penambahan usia, manusia akan mengalami kemunduran intelektual secara fisiologis, kemunduran dapat berupa mudah lupa sampai pada kemunduran berupa kepikunan (demensia). Kenyataan menunjukkan bahwa otak menua mengalami kemunduran dalam kemampuan daya ingat dan kemunduran dalam fungsi belahan otak kanan yang terutama memantau kewaspadaan, konsentrasi dan perhatian. Otak manusia bukan terdiri dari gumpalan protein utuh, tetapi terdiri dari berbagai bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu, otak terdiri dari otak besar (serebrum) dengan dua belahan (hemisfer) otak kanan dan kiri yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain, batang otak (brain stem) dan otak kecil (serebelum). Otak besar diliputi pada permukaannya oleh kulit otak (kortek serebri) yang dikenal sebagai “ thinking cup “ atau “ kopiah pintar “ karena memang di tempat itulah tersimpan kemampuan intelektual manusia. Otak terbagi dalam bagian-bagian yang disebut lobus dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi pancaindra seperti pusat penglihatan terletak di
31
lobus oksipitalis (belakang otak), pusat pendengaran di lobus temporalis (pelipis otak ), pusat perabaan di lobus postsentral (atas otak), pusat penghidu di bagian lobus temporalis, pusat pergerakan berada di lobus presentral (atas otak). Pusatpusat pancaindra tersebut dinamakan pusat sensoris dan masing-masing pusat sensoris mempunyai area asosiasi untuk memahami rangsangan sensoris yang masuk. Sumber daya otak akan meningkat atau dengan kata lain kemampuan kognitif akan bertambah secara optimal apabila bagian-bagian sensoris dan area asosiasi tersebut bekerja secara integratif. Sebuah aksi (praksis) yang menggunakan
intergrasi
antara
sensori
auditoris
(pendengaran),
visual
(penglihatan), perabaan, keseimbangan dan gerak akan menghasilkan peningkatan fungsi kognitif seperti konsentrasi, percaya diri, kontrol diri, kemampuan organisasi, kemampuan belajar akademis, kemampuan berpikir secara abstrak dan memberi alasan serta penghayatan tentang kedua sisi otak dan tubuh (Ayres, 1979). Berbagai kemampuan kognitif juga berada di berbagai lobus secara khusus seperti perhatian atau konsentrasi berada di lobus frontalis (di bagian dahi) terutama bagian otak sisi kanan, pusat berbahasa di lobus frontalis dan temporalis terutama bagian otak sisi kiri, pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus parietal (di bagian atas otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di lobus temporalis (di bagian pelipis otak), untuk daya ingat visual (apa yang dilihat) di belahan otak sisi kanan.
32
Gambar 2.3 Belahan otak Sumber: Cognitif Psychology, Robert J.Sternberg, hal.64 Edisi5. 2009 Lobus yang paling besar dan paling akhir berkembang adalah lobus frontalis yang berada di daerah dahi, lobus ini merupakan pusat integrasi dari semua fungsi lobus yang ada. Bersama dengan bagian lobus yang ada di depannya, lobus prefrontal dan struktur lain mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia yaitu kemampuan memori kerja (working memory) dan kemampuan seseorang dalam pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan (executive function). Bagian-bagian otak tersebut berhubungan dengan struktur yang berada di dalam otak yang disebut system limbic dan berpengaruh terhadap kemampuan emosional. Kedua belahan otak (hemisfer kanan dan kiri) disekat oleh sebuah struktur yang disebut korpus kalosum dan komisura hipokampus yang merupakan jembatan lintas yang menghubungkan kedua belahan otak tersebut. Khususnya sel-sel otak di kulit permukaan kedua belahan otak (korteks serebri) saling dihubungkan langsung oleh serabut saraf melalui korpus kalosum ini. Struktur ini merupakan sarana untuk kerjasama kedua belah hemisfer dengan cara peralihan, pergeseran dan integrasi fungsi kedua belahan otak dan struktur ini begitu
33
pentingnya sehingga disebut sebagai “jembatan emas“(golden bridge) struktur ini mempunyai peranan yang amat penting bagi keberhasilan peningkatan sumber daya otak, fungsinya menyalurkan stimulus dari belahan otak kanan ke kiri dan sebaliknya. Sagan ( dalam Springer/Deutsch,1981 ) menyatakan: “ We might say that the human culture is the function of the corpus callosum “ (bahwa kebudayaan manusia merupakan fungsi dari korpus kalosum), hal ini dibenarkan karena korpus kalosum mengintegrasikan pola pikir analitis (belahan otak kiri) dengan pola pikir intuitif (belahan otak kanan) dan mengintegrasikan setiap struktur bagian otak sehingga mempunyai peranan dalam perilaku manusia (human behavior) dan kebudayaan manusia (human culture) yang merupakan fungsi dari perilaku manusia. Hemisfer kanan mempunyai makna sangat penting bagi manusia karena hemisfer ini merupakan pusat kecakapan hidup (life skills) yang berarti keterampilan sosial, individual, proses berpikir dan akademik disebut sebagai fluid intelligence, hemisfer ini juga berperan dalam kemampuan komunikasi pragmatik, imajinasi, sosialisasi, spiritual, kesenian dan emosi. 2.9 Perkembangan Otak Menua Pasca-60-an Pengkajian dan penelitian otak pada era pasca 1960 membuktikan hal yang lain, bahkan sebaliknya. Perkembangan otak menjadi tua terbukti dapat berlanjut terus sampai usia berapapun kalau saja otak memperoleh stimulasi yang terus menerus, baik secara fisik dan mental ( Kusumoputro, 2003 ). Hal ini disebut juga kemampuan plastisitas otak yang terjadi juga pada usia lanjut. Walaupun
34
jumlah sel-sel otak berkurang setiap hari dengan beberapa puluh ribu sehari, tetapi pengurangan ini tidak bermakna bila dibandingkan jumlah sel yang masih ada sebagai cadangan. Ditambah lagi bukti-bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pada stimulasi lingkungan yang kaya (enriched environment), jaringan antarsel dalam permukaan otak (corteks serebri) bertambah terus jumlahnya sehingga dampaknya sumber daya otak dan kemampuan kognitif usia lanjut dapat terus berkembang. Proses menua sehat (normal aging) secara fisiologi juga terjadi kemunduran beberapa aspek kognitif seperti kemunduran daya ingat (memori) terutama memori kerja (working memory) yang amat berperan dalam aktifitas hidup seharihari, hal ini menjelaskan mengapa pada sebagian lanjut usia menjadi pelupa. Selain itu fungsi belahan otak sisi kanan (right brain) sebagai pusat intelegensi dasar akan mengalami kemunduran lebih cepat daripada belahan otak sisi kiri (left brain) sebagai pusat inteligensi kristal yang memantau pengetahuan. Dampak dari kemunduran belahan otak sisi kanan pada lanjut usia antara lain adalah kemunduran fungsi kewaspadaan dan perhatian (Katzman, 1992).
35
Tabel 2.1 Kemampuan hemisfer kanan dan kiri (Burns,1985 ) Kemampuan hemisfer kanan -
Komunikasi nonverbal, pragmatik Visual, imajinatif Pengenalan wajah Konfigurasi eksternal Susunan Spasial Holistik-intuitif Paralel Difus Persamaan Tidak bergantung waktu Spasial, global Pola piker divergen
Kemampuan hemisfer kiri -
Komunikasi verbal, linguistic Simbolik, proporsional Praksis Rincian internal Proses aritmatik Logis-analitis Serial Fokus Perbedaan Bergantung waktu Segmental Pola piker konvergen
Walaupun kedua belah hemisfer berbeda fungsi, tetapi setiap individu mempunyai kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan salah satu belah hemisfer dalam menyeleseikan masalah hidup dan pekerjaan, pada perkembangan otak menjadi tua terjadi kemunduran fungsi hemisfer kanan lebih cepat daripada hemisfer kiri maka mereka akan mengalami hambatan kemampuan vital seperti tersebut di atas. 2.10 Pemeriksaan Status Mini Mental Pada Lansia Pemeriksaan status mini mental (mini mental state examination) merupakan suatu tes skreening yang valid terhadap gangguan kognitif. Tes tersebut diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak digunakan di seluruh dunia termasuk Indonesia serta telah direkomendasikan oleh kelompok studi fungsi luhur PERDOSSI perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (Dahlan, 1999).
36
Mini-Mental State Exam (MMSE) dibuat khusus untuk pemeriksaan standar status mental yang berfungsi untuk membedakan gangguan organik dan fungsional pada pasien kejiwaan. Pengalaman penggunaan uji ini telah meningkat selama beberapa tahun belakangan ini sehingga fungsi utamanya sekarang ditetapkan untuk mendeteksi dan melacak progresi gangguan kognitif yang disebabkan oleh gangguan neurodegenerative, seperti pada demensia Alzheimer. Uji MMSE meliputi pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pemecahan masalah pada beberapa bidang yaitu waktu dan tempat tes, mengulangi kata, aritmatika, penggunaan bahasa, dan kemampuan motorik dasar. Penilaian mini mental status terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon fokal meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama, mengikuti perintah. Verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan menggambar polygon berupa Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan). Skor maksimal seluruhnya adalah 30 (tiga puluh), Pemeriksaan status mini mental telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA, terdapat korelasi yang baik dengan nilai IQ pada RAIS ( TVechsler Adult Intelegence Scale) dan CT Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 82% untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 1999). Interpretasi tes adalah jika skor lebih atau sama dengan 25-30 poin berarti normal (intak), gangguan sedang (20-25 poin), gangguan berat(10-20 poin), gangguan intelektual total (0-10 poin). Poin yang sangat rendah mengindikasikan demensia, meskipun gangguan mental lainnya juga dapat menyebabkan
37
rendahnya skor MMSE terlihat pada tabel 2.2. Terdapatnya masalah fisik murni jelas
dapat
mengganggu
interpretasi,
misalnya
ketulian,
kebutaan dan
kelumpuhan, pada kondisi ini tes biasanya dikustomisasi. Nilai skor dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Berbagai faktor bias lain yang dapat mempengaruhi hasil tes adalah status pernikahan dan pekerjaan yang pernah dialaminya, sikap kooperatif dari pasien, masalah bahasa, dan operasional saat melakukan tes. Selain itu dipengaruhi pula oleh situasi tes saat diselenggarakan (Turana, 2004) . Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif
sesuai dengan
penelitian Lumbantobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda antar individu. Pengaruh pendidikan yang telah dicapai seseorang atau lansia dapat mempengaruhi secara tidak langsung terhadap fungsi kognitif seseorang, termasuk pelatihan (direct training). Berdasarkan teori reorganisasi anatomis menyatakan
bahwa
stimulus
eksternal
yang
berkesinambungan
akan
mempermudah reorganisasi internal dari otak (Sidiarto, 1999). Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak pada tes kognitifnya. Status pernikahan dapat mempengaruhi fungsi kognitif seseorang, Gelder
38
et al (2006) pada sebuah penelitiannya menemukan bahwa laki-laki usia lanjut yang mengalami kehilangan pasangan atau belum pernah menikah/hidup sendiri, dalam waktu lebih dari lima tahun akan mengalami penurunan fungsi kognitif dua kali lebih sering dibandingkan laki-laki yang telah menikah, atau hidup dengan seseorang/keluarga pada beberapa tahun. Faktor ini diduga karena dengan memiliki pasangan, seseorang akan mendapatkan dukungan dari pasangannya terutama saat mengalami tekanan emosi baik stress maupun gejala depresi yang muncul karena perubahan pola hidup dan konflik (Hurlock, 1996). Pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus menerus melatih kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah dimensia ( Sidiarto, 1999 ). Pengkajian fungsi mental kognitif merupakan hal yang menyokong dalam mengevaluasi kesehatan lanjut usia, banyak bukti menunjukkan bahwa gangguan mental kognitif seringkali tidak dikenali profesional kesehatan karena sering tidak dilakukan pengujian status mental secara rutin. Diperkirakan 30% sampai 80% lanjut usia yang mengalami demensia tidak terdiagnosis oleh dokter, melainkan teridentifikasi melalui pemeriksaan status mini mental (Turana, 2004). Menurut Dahlan (1999), interpretasi dari tes-tes dalam pemeriksaan status mental mini antara lain: a) tes orientasi (orientation) untuk menilai kesadaran dan daya ingat, b) tes registrasi (registration) untuk menilai fungsi memori, c) tes perhatian dan penghitungan (attention and calculation), d) tes mengingat kembali
39
(recall) untuk menilai memori mengingat kembali, e) tes bahasa (language) meliputi tes menyebutkan nama benda (naming) dan tes mengulangi kalimat (repetition) dan tes penilaian bahasa komprehensif dengan melakukan tiga perintah bertahap. Tes menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon, untuk menilai fungsi eksekutif. Interpretasi tes adalah; 1)skor 25-30 poin berarti normal (intak). 2)skor 20-25 poin gangguan sedang. 3) skor 10-20 gangguan berat. 4) skor 0-10 poin gangguan intelektual total. Pengukuran MMSE dapat dilakukan setiap 6 ( enam ) minggu karena adaptasi jaringan neuron saraf terjadi setelah 4-6 minggu dimana hubungan antara latihan fisik dengan fungsi kognitif terjadi melalui kontraksi otot yang akan memberikan pengaruh pada otak melalui jalur muscle spindle, adanya suatu rangsangan yang terjadi pada golgi tendon organ akan diteruskan ke central nervus system melalui jaras-jaras. Jaras-jaras ini yang menerima informasi berupa sensoris dari perifer, sistem visual, sistem vestibular, muskulo skletal, proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem saraf, menurut Suhartono, 2005 dalam waktu singkat kurang lebih 150 mikro detik akan terbentuk suatu respon yang benar dan disimpan di otak. Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam sistem sensoris integrasi di sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu corpus amigdale diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak menjadi memori yang pendek / short term memory dilakukan secara berulang-ulang sehingga akan menjadi long term memory.
40
2.11 Kebugaran fisik Pada Lansia Kebugaran fisik bagi mereka yang berusia 60 tahun adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dengan baik ( Pujiastuti, Utomo, 2003 ). Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai bagian dunia menunjukkan bahwa latihan olah raga yang teratur pada populasi usia lanjut masih memungkinkan perbaikan kapasitas aerobik, sirkulasi darah dan berbagai organorgan lain ( Williamson,1985). Hanya saja intensitas dan jenis latihan harus disesuaikan secara individual. Karena kemampuan kardiovaskuler orang tua menurun, dosis latihan untuk orang tua akan berbeda dengan dewasa muda. Beban awal diberikan lebih ringan, pemanasan (warming up) diberikan lebih lama, peningkatan pemberian beban harus lebih lambat. Anjuran latihan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing misalnya pada penderita diabetus, penyakit hipertensi, arterosklerosis dan sebagainya. Whitehead,1995 menganjurkan agar pada setiap lansia yang akan melakukan program latihan harus dilakukan evaluasi medis. 2.11.1. Tujuan program latihan untuk usia lanjut Tujuan program latihan untuk usia lanjut diantaranya: (1) Meningkatkan kemampuan dan kesanggupan untuk mengurus diri sendiri, (2) Meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan otot, (3) Meningkatkan atau mempertahankan kelenturan, koordinasi dan keseimbangan tubuh, (4) Meningkatkan kontak sosial
41
dan kegairahan hidup, (5) Meningkatkan kontrol berat badan dan makanan, (6) Meningkatkan relaksasi, (7) Meningkatkan kegairahan seksual. Beberapa pertimbangan dalam memberikan latihan untuk usia lanjut adalah menurunnya kapasitas kardiovaskuler, Menurunnya kemampuan kerja pada intensitas tinggi dan sedang, Menurunnya kemampuan adaptasi terhadap rangsangan-rangsangan luar (panas, dingin,latihan fisik ), Otot lemah dan lebih cepat lelah, tulang dan tendo degenerasi, gangguan koordinasi neuromuskuler dan keseimbangan, menurunnya penglihatan dan pandangan Karena pertimbangan-pertimbangan diatas, pemberian dosis latihan untuk orang tua harus lebih rendah. Program latihan dimulai dengan beban yang rendah (ringan) misalnya untuk usia 60 tahun, beban dapat dimulai dengan 2-3 METs (misalnya berjalan kaki 2-3 mph = 3,2- 4,8 Km/jam ) Intensitas dipertahankan lama baru ditingkatkan misalnya 50-70% VO2 max. Smith dan Giligan menetapkan 40-70% karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihanlatihan diberikan sebaiknya 3x seminggu. Macamnya latihan yang diberikan umumnya bersifat lama dan melibatkan otot besar tubuh dan latihan ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan tubuh .
42
Orang tua berlatih tidak untuk menjadi atlet yang dipentingkan adalah peningkatan/perbaikan secara faali dan psikologis. Hal ini dapat dicapai dengan latihan yang sistimatis,progresif dan mempertimbangkan faktor lain. Bagi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk mempertahankan kebugaran jasmani, memelihara serta mempertahankan kesehatan di hari tua. Untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik, harus melatih semua komponen dasar kesegaran jasmani yang terdiri atas (1) ketahanan jantung, peredaran darah dan pernapasan, (2) ketahanan otot, (3) kekuatan otot serta kelenturan tubuh. Manfaat kesegaran jasmani dapat dirasakan secara fisiologis, psikologis dan sosial. 2.11.2 Manfaat kesehatan jasmani pada lanjut usia 2.11.2.1 Manfaat fisiologi Dampak langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah, merangsang adrenalin dan noradrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular, kekuatan otot rangka dan kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta kelincahan 2.11.2.2 Manfaat psikologis Dampak langsung dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan dan kecemasan, meningkatkan perasaan senang. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan jiwa, fungsi kognitif, penampilan dan fungsi motorik.
43
2.11.2.3 Manfaat sosial Dampak langsung dapat membantu pemberdayaan lansia, peningkatan integritas sosial dan kultur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan keterpaduan dan kesetiakawanan. Dengan olah raga teratur akan berdampak positif terhadap kelancaran organ tubuh seperti jantung yang akan lancar memompa darah sehingga mampu menghasilkan oxigen yang optimal menuju otak, paru-paru terlatih untuk mengeluarkan gas sisa metabolisme tubuh. Mekanisme yang menjelaskan hubungan antara aktifitas fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur vaskularisasi ke otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi jaringan otak yang kuat, efek langsung terhadap otak yaitu memelihara sruktur saraf dan meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al, 2004 ). 2.12 Senam/ Latihan Vitalisasi Otak Untuk Lansia Definisi senam vitalisasi otak Senam vitalisasi otak adalah senam yang bertujuan utama untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan. Pada prinsipnya dasar latihan otak adalah ingin agar otak tetap bugar dan mencegah kepikunan. Salah satu cara menjaga kebugaran otak adalah dengan senam otak, salah satunya adalah latihan vitalisasi otak. Latihan vitalisasi otak yang dimaksud adalah latihan yang dikembangkan oleh Markam 2006 berdasarkan ide dari Adre Mayza, bekerjasama dengan Herry
44
Pujiastuti ahli fisioterapi yang gerakan-gerakannya didasari oleh gerakan silat dan tarian di Indonesia, senam ini disusun terutama untuk para usia lanjut, oleh karena itu gerakannya lambat disesuaikan dengan irama pernapasan sehingga tidak meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan darah, senam ini juga dapat dilakukan oleh semua orang yang lebih muda. Latihan vitalisasi otak merupakan produk latihan kebugaran fisik yang mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan kebugaran otak manusia, latihan ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat berpikir (memori, imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam latihan vitalisasi otak tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot-otot tertentu di otak dengan korpus kalosum tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak. Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam/latihan vitalisasi otak merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar bagian-bagian otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak, gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan dimana dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki fungsi otak. Latihan vitalisasi otak memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian rupa dengan memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak sehingga tampilan latihan ini memiliki beberapa prinsip;
45
1.
Lambat Gerakan dilakukan dengan perlahan-lahan, penting untuk menyelaraskan pola gerak otot, gerak pernapasan, dan metabolisme pada bagian-bagian otak yang terstimulasi, gerakan yang lambat tidak member beban berat pada jantung
2. Dari bawah ke atas Diupayakan sistematika gerak dari arah tubuh bagian bawah terus ke tubuh bagian atas dengan tujuan untuk melatih bagian otot-otot yang lebih kecil sampai otot yang lebih besar, hal ini dilakukan agar gangguan-gangguan terutama pada gerakan halus dan gerakan kasar yang sering terjadi pada orang tua dapat diatasi 3. Berulang-ulang Gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan agar stimulasi gerak dapat
terekam
dalam
otak
melalui
jaras
proprioseptif
(melatih
proprioseptif/rasa sendi) 4. Melibatkan pandangan mata Setiap gerakan yang dilakukan senantiasa melibatkan pandangan mata, hal ini dibutuhkan guna mengatasi masalah pada lanjut usia yang berhubungan dengan gangguan konsentrasi visual dan kemampuan visiospasial (mengenal ruang) 5. Gerak sendi penuh Gerakan harus dilakukan sampai batas maksimal sendi karena latihan ini juga untuk mencoba mengatasi permasalahan sendi yang dapat mengakibatkan keterbatasan gerak, yang biasa terjadi pada para lanjut usia
46
6. Melibatkan pernapasan Pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap gerakan, hal ini penting guna mencapai upaya oksigenasi yang optimal menuju otak karena permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya oksigen di otak. Kontrol pernapasan ini juga sangat berguna untuk mencapai relaksasi 7. Diresapi Peserta diharapkan untuk mencoba meresapi gerakan yang dilakukannya, hal ini berguna un tuk mencapai harmonisasi antara gerak (otot dan sendi), otak, dan emosi karena tujuan akhir dari latihan ini adalah tercapainya keseimbangan antar fungsi otak, kerja otot, dan stabilitas emosi Tujuan dari senam/latihan vitalisasi otak, adalah; 1. Upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak. 2. Melatih konsentrasi. 3. Maelatih visuo-spasial. 4. Meningkatkan keseimbangan. 5. Meningkatkan koordinasi. 6. Meningkatkan daya tahan. 7. Melatih pernapasan. 8. Mengurangi keluhan fisik sehubungan dengan kondisi degenerasi organ tubuh. 9. Kegiatan rekreatif dan menyenangkan. 10. Melakukan relaksasi dalam gerakan. 11. Merangsang cinta, kasih sayang terhadap sesama manusia. 12. Merasa bersyukur kepada Sang Pencipta Jagat Raya.
47
Gerakan-Gerakan Senam Vitalisasi Otak terdiri dari: Pemanasan : injitinjit, kepak kupu-kupu,menabur bunga,rangkaian bunga melati,rangkaian bunga nusantara Latihan inti 1 : tapak menyusur, menata jejak, langkah pasti, rengkuhan, menyentuh pelangi, kasih sayang. Latihan inti 2: kemenangan, kombinasi, ayunan, keceriaan, salam. Latihan inti 3: memandang langit,memandangmu, lentik menari, menjangkau harapan, menapak jejak, kepak pahlawan. Pendinginan: bersiul, senyuman manis, mengangkat dan menurunkan alis,membuka dan menutup mata, tatapan mata, menyentuh pelangi, kasih sayang, we love all of you Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x1 minggu, intensitas heart-rate/HR mencapai 70% x HR max ( 220-umur). Time 20-30menit ( Tilarso, 1988 ) 2.13 Latihan senam lanjut usia ( Senam lansia ) Definisi Senam Lansia Senam lansia serangkaian gerak dengan nada yang teratur dan terarah serta terencana yang diikuti oleh orang yang berusia diatas 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi keseimbangan dan kelenturan. Senam lansia terdiri dari latihan pemanasan, latihan inti dan diikuti dengan latihan pendinginan. Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x I minggu. intensitas HR mencapai 70% x HR max (220- umur). Time 20-30 ( Tilarso, 1988 )
48
Untuk latihan inti terdiri dari : Gerakan 1 Jalan ke samping bergandengan tangan, gerakan perdana ini berfungsi untuk pemanasan sambil langkahkan kaki menyilang kesamping kanan dan kiri bergantian masing-masing 4x hitungan. Gerakan 2 Langkahkan kaki maju ke depan dengan langkah menyilang, kemudian tepuk tangan di depan, lalu tarik tangan di belakang dan tepukkan tangan diatas pinggang Gerakan 3 Tumpuan tumit kaki bergantian, langkahkan kaki kanan ke depan dengan bertumpu pada tumit, angkat telapak kaki. Kaki kiri lurus ke belakang, ayun tangan ke atas seiring gerakan kaki. Lakukan bergantian untuk kaki kiri dan kanan. Gerakan 4 Kaki ke belakang diikuti gerakan tangan. Tarik kaki kanan ke belakang secara ringan. Diikuti gerakan kedua tangan ditarik ke belakang. Gerakan ini juga dapat dilakukan secara bergantian antara kaki kanan dan kiri Gerakan 5 Kaki ke depan, tangan tarik keatas. Langkahkan kaki kanan ke depan dengan ringan, kaki kiri lurus ke belakang. Tarik tangan kanan keatas dengan gerakan seperti mengambil air dimulai dari bawah, tangan kiri letakkan di belakang pinggang. Lakukan secara bergantian dengan kaki bagian kiri.
49
Gerakan 6 Melangkah pelan. Tarik kaki kiri untuk maju dengan posisi jalan pelan-pelan sambil diikuti kaki kanan. Ayunkan tangan seirama gerakan kaki yang berjalan ringan. Gerakan 7 Mundur, buka dan silang. Selanjutnya, lakukan gerakan kaki kiri mundur ke belakang, lalu buka ke samping dan silangkan. Saat kaki kiri dibuka ke samping, tarik tangan kanan ke atas dan tangan kiri ke bawah. Gerakan 8 Jalan ke samping. Langkahkan kaki menyilang ke samping badan kanan atau kiri dengan posisi kedua tangan direnggangkan ke samping badan sebagai penyeimbang. Gerakan 9 Kaki melangkah maju mundur. Kaki kanan melakukan gerakan silang ke depan, kaki kiri tarik mundur ke belakang dengan posisi agak ditekuk. Kedua tangan tarik kebawah dengan telapak menghadap dibawah. Langkahkan kaki maju mundur secara bergantian.
50
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir Disusun berkaitan dengan rumusan masalah dan kajian pustaka sebagai berikut, bahwa proses menua sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal pada lansia bersangkutan. Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (Martono, 2009). Penurunan anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan saraf otak, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem metabolisme, sistem ekskresi dan sistem musculoskeletal, sistim panca indra, serta penyakit-penyakit degeneratif. Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar, disebut sebagai sifat pelupa benigna keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi. Perlu observasi beberapa bulan untuk membedakannya dengan demensia yang sebenarnya. Bila gangguan daya ingat
51
bertambah progresif disertai gangguan intelektual yang lain maka kemungkinan besar diagnosis demensia dapat ditegakkan. Perubahan psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu, gangguan memori, cemas dan gangguan tidur yang dapat mempengaruhi proses ketuaan dengan adanya depresi pada lansia. Depresi pada lansia merupakan interaksi faktor biologi, psikologik dan sosial, lansia mengalami kehilangan dan kerusakan banyak sel-sel saraf pada lobus frontal dan lobus temporal yang berfungsi dalam intelektual maupun zat neurotransmiter. Lansia menjadi lebih mudah tersinggung, marah atau pendiam. Faktor predisposisi ini dapat diperberat dengan perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan dukungan
sosial
yang
kurang.
Faktor
sosial
meliputi
perceraian,
kematian,berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain gaya hidup/life style, faktor lingkungan .dan pekerjaan Budaya gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur, hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih.
52
Faktor lingkungan, dimana lansia menjalani kehidupannya merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses penuaan karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua. Pengaruh zat pengawet makanan, zat-zat ini sifatnya beracun/karsinogenik yang dalam jangka waktu tertentu dapat memperpendek usia, semakin usia lanjut radikal bebas semakin terbentuk yang mempercepat proses menua. Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus menerus melatih kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah dimensia ( Sidiarto, 1999 ). Karena pada proses menua tingkat kesegaran jasmani akan turun, semakin terlihat setelah usia 40 tahun, sehingga usia lanjut kemampuan akan turun 3050%, (Kusmana, 1992 ), maka untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik, lansia harus melatih semua komponen dasar kesegaran jasmani yang terdiri dari ketahanan jantung, peredaran darah, pernapasan, ketahanan dan kekuatan otot serta kelenturan tubuh dengan cara melakukan olahraga yang disesuaikan dengan kemampuan lansia tersebut, manfaat olahraga ini dapat dirasakan secara fisiologis, psikologis dan sosial. Salah satu olahraga yang dianjurkan adalah melakukan senam seperti senam vitalisasi otak dan senam lansia..
53
Senam atau latihan vitalisasi otak mempunyai perinsip dasar agar otak tetap bugar dan mencegah kepikunan serta mempunyai tujuan utama untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan. Melakukan senam vitalisasi otak diharapkan fungsi kognitif pada lansia dapat lebih baik lagi dengan meningkatnya kerja pada belahan kanan otak. Kelebihan senam ini adalah gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan diharapkan stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif ( Markam, 2006 ). Sedangkan pada senam lansia adalah latihan kebugaran jasmani bagi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi keseimbangan dan kelenturan ( Tilarso, 1988 ). Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara aktifitas fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur vaskularisasi keotak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi jaringan otak, efek langsung terhadap otak yaitu memelihara struktur saraf dan meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al, 2004 ). Seperti diketahui pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh termasuk penurunan fungsi kognitif pada susunan saraf pusat sebesar 45% ( penelitian di Inggris ), penurunan ini dapat menyebabkan perubahan atau gangguan memori.
54
Gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/Short term memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan penambahan usia. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah apakah dengan senam vitalisasi otak akan lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.
Senam Vitalisasi Otak
Faktor Internal • Fisiologis • Psikososial
Faktor Eksternal • Gaya Hidup/Life style • Faktor Lingkungan • Faktor Pekerjaan
Kemunduran Kognitif
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Hipotesis Berdasarkan pembahasan pada dasar teori, maka hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah; 1. Senam vitalisasi otak meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia 2. Senam lansia meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia 3. Senam vitalisasi otak lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia daripada senam lansia
55
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan menurut Bakta (1997), adalah randomise pre and post test group design.
O1
P
S
P1
O2
R P2
O3 Gambar 4.1. Rancangan penelitian.
Keterangan; P = Populasi S = Sampel R = Randomisasi P1 = Perlakuan dengan senam vitalisasi otak O1 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak O2 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak P2 = Perlakuan dengan senam lansia O3 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam lansia O4 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam lansia
O4
56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Penelitian dilakukan di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten 2. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret
sampai September 2010,
dengan rincian sebagai berikut: 1. Pembuatan proposal dan seminar proposal; Maret – Juni 2010 2. Pelaksanan penelitian; Juli-September 2010 3. Pemrosesan data hasil penelitian; Oktober 2010 4. Pembuatan laporan penelitian dan seminar hasil; Desember 2010 5. Ujian tesis akhir Januari 2011 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Variabilitas Populasi 4.3.1.1 Populasi target Adalah sekelompok subyek yang menjadi sasaran penelitian, yaitu semua lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. 4.3.1.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah lansia usia dari 60-74 tahun,WHO (1989)yang berada di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten. 4.3.2
Sampel Adalah jumlah subyek penelitian yang diambil dari populasi terjangkau,
disesuaikan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria eligibilitas.
57
4.3.3
Kriteria eligibilitas Kriteria eligibilitas adalah kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik
populasi terjangkau, yaitu: 4.3.3.1. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Lansia bertempat tinggal dan terdaftar di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten 2. Berusia lebih dari 60- 74 tahun 3. Laki-laki dan perempuan 4. Dapat mendengar dan melihat 5. Tidak memiliki gangguan jantung dan gangguan neurologi 6. Responden kooperatif 7. Tidak mengalami cacat fisik yang mengganggu aktifitas 8. Responden harus mengikuti program latihan secara teratur 9. Bersedia menjadi sampel dan menandatangani informed consent 4.3.3.2. Kriteria eksklusi Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi, karena sesuatu keadaan dikeluarkan dari sampel, antara lain: 1. Lansia yang memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak direkomendasikan oleh petugas balai 2. Lansia yang sedang menjalani penelitian mengalami sakit atau jatuh
58
4.3.3.3. Kriteria pengguguran Lansia yang tidak kooperatif, tidak mengikuti kegiatan secara penuh 2x berturut-turut atau lebih dari 3x total sehingga tidak dapat mencukupi frekuensi latihan selama waktu penelitian yang telah ditentukan yaitu 3x per minggu selama 12 minggu. 4.3.4 Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008) :
n
2 σ2 = ----------------- X ƒ (α,β ) (µ2 - µ1)2
Keterangan : n = Jumlah Subyek
= Simpang baku = Tingkat kesalahan I /Significance Level (ditetapkan 0,05) = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)
( , ) = 7,9 (pada tabel Pocock)
1 = rerata nilai sebelum perlakuan
2 = rerata nilai harapan setelah perlakuan
Berdasarkan penelitian Kusumoputro (2003),
pada setiap kelompok
diperoleh data pada sampel kelompok perlakuan µ1= 16,6 dan σ = 1,411 rerata kelompok perlakuan µ2= 15,4 Dengan mensubstitusikan data di atas ke persamaan ke rumus Pocock, maka didapatkan nilai 21,8 yang dibulatkan menjadi 22. Untuk mencegah
59
kekurangan sampel akibat gugur, maka sampel ditambah menjadi 27. Penelitian ini menggunakan dua kelompok maka diperlukan N = 54 responden. 4.3.5 Tehnik pengambilan sampel Sampel penetilian ini adalah para lanjut usia yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian, Yang diambil secara acak sederhana untuk mendapatkan jumlah sampel. Sampel yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok, secara acak yang masing-masing terdiri dari 27 orang. Masing-masing kelompok diberikan senam vitalisasi otak dan senam lansia sebagai kelompok perlakuan 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1
Identifikasi variabel Variabel yang akan diukur yaitu kemampuan fungsi kognitif pada lansia
setelah perlakuan. 4.4.2 Klasifikasi variabel Penelitian ini memiliki beberapa klasifikasi variabel antara lain: 4.4.2.1 Variabel bebas : adalah Senam vitalisasi otak dan Senam lansia 4.4.2.2 Variabel terikat : kemampuan kognitif 4.4.2.3 Variabel Kontrol : yaitu; umur, pendidikan, kegiatan sosial.
60
Lansia
Variabel Bebas -Senam vitalisasi otak -Senam lansia
Variabel Tergantung Kemampuan kognitif
Variabel kontrol -Umur -pendidikan -kegiatan sosial
Gambar 4.2 Skema Hubungan Variabel 4.4.3 Definisi Operasional Variabel 1. Lansia adalah golongan lanjut usia, adalah suatu tahap terakhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap individu. Kejadiannya pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang. Pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh termasuk fungsi cognitif Penurunan fungsi ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis dan juga berkurangnya aktivita fisik. namun kemunduran fungsi pada usia lanjut dapat dihambat. Menurunnya fungsi kognitif, gejala ringan adalah mudah lupa dan jika parah akan menyebabkan kepikunan, sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut(Sulianti, 2000). 2. Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal bulan kelahiran yang terdata di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten berkisar 60-74 tahun mengacu pada batasan usia lanjut menurut WHO (1989) disebut sebagai
61
lansia (ederly), Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65-75 tahun dan lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai bagian dunia menunjukkan bahwa latihan olah raga yang teratur pada populasi usia lanjut masih memungkinkan perbaikan kapasitas aerobik, sirkulasi darah dan berbagai organ-organ lain ( Williamson,1985). Hanya saja intensitas dan jenis latihan harus disesuaikan secara individual. Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif
sesuai dengan
penelitian Lumbantobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda antar individu.. 3. Pendidikan adalah tingkat pembelajaran yang dialami oleh lansia, golongan lansia yang tak pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 58%, 23% tidak tamat SD, 13,5% lulus SD, sisanya berpendidikan lebih tinggi dari SLTP, SLTA ke atas. ( BPS, 1990 ). Pengaruh pendidikan yang telah dicapai seseorang atau lansia dapat mempengaruhi secara tidak langsung terhadap fungsi kognitif seseorang, termasuk pelatihan (direct training). Berdasarkan teori reorganisasi anatomis menyatakan
bahwa
stimulus eksternal
yang
berkesinambungan akan
62
mempermudah reorganisasi internal dari otak (Sidiarto, 1999). Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak pada tes kognitifnya. 4. Kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan petugas kesehatan. Umumnya pada lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan ( Psikologi lansia,2009 ). Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan ( Zunzunegui et al, 2003 ). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif/mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39% (Barnes et al, 2004 )
63
5. Kemampuan kognitif adalah berpikir dan mengamati, yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Peningkatan fungsi kognitif pada lansi adalah meningkatnya kemampuan kognitif yang diukur melalui uji MMSE yang menghasilkan nilai ukur. Interpretasi tes adalah jika skor lebih atau sama dengan 25-30 poin berarti normal (intak), gangguan sedang (20-25 poin), gangguan berat(10-20 poin), gangguan intelektual total (0-10 poin). Poin yang sangat rendah mengindikasikan demensia, meskipun gangguan mental lainnya juga dapat menyebabkan rendahnya skor MMSE. (Folsten, 1975). MMSE adalah serangkaian uji khusus untuk pemeriksaan standar status mental yang berfungsi untuk membedakan gangguan organik dan fungsional pada pasien kejiwaan. Meliputi pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pemecahan masalah pada beberapa bidang yaitu waktu dan tempat tes, mengulangi kata, aritmatika, penggunaan bahasa, dan kemampuan motorik dasar. Tes status mini mental terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon fokal meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama, mengikuti perintah. Verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan menggambar polygon berupa Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan). Skor maksimal seluruhnya adalah 30 (tiga puluh), Pemeriksaan status mini mental telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA, terdapat korelasi yang baik dengan nilai IQ pada RAIS ( TVechsler Adult Intelegence Scale) dan CT
64
Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitasnya 82% untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 1999). 6. Senam vitalisasi otak
merupakan produk latihan kebugaran fisik yang
mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan kebugaran otak manusia, latihan
ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat
berpikir (memori, imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam latihan vitalisasi otak tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot-otot tertentu di otak dengan korpus kalosum tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak yang bertujuan untuk upaya stimulasi otak, melatih konsentrasi, koordinasi daya tahan dan keseimbangan,visual serta stabilisasi emosi yang diperuntukkan untuk para lanjut usia, dengan gerakan yang lambat tidak membebani kerja jantung dengan frekuensi pernafasan 16-24x/menit ( Markam, 2005 ) dengan dosis terdiri dari : frekwensi 1minggu 3x. intensitas Harte-rate/HR mencapai 70% x HR max(220- umur). Time 20-30 menit terdiri dari :1 Pemanasan dilakukan selama 5-7 menit.2. Latihan inti 10-15 menit. 3 Pendinginan, waktu 5-7 menit. Pelaksanaan selama duabelas minggu/tiga bulan. 7. Senam lansia adalah latihan kebugaran jasmani bagi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah
beberapa
bentuk
permainan-permainan
untuk
meningkatkan
koordinasi keseimbangan dan kelenturan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk dapat mengurus diri sendiri serta meningkatkan kekuatan
65
otot,
daya
tahan
otot,
meningkatkan
kontak
sosial
sesama
lanjut
usia,pemeliharaan sistem kardiovaskuler, untuk kegairahan sexual serta mempertahankan kesehatan di hari tua ( Pujiastuti dan utomo, 2003). Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x I minggu. Intensitas harte-rate/ HR mencapai 70% x HR max(220- umur). Time 20-30 menit. Terdiri dari Latihan pemanasan 5-7 menit Latihan inti 10-15 menit, latihan pendinginan 5-7 menit. Pelaksanaan selama duabelas minggu/tiga bulan. 4.5 Instrumen Penelitian Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain; 1. formulir MMSE untuk mengukur fungsi kognitif lansia pre dan post perlakuan 2. tensimeter, untuk mengukur tekanan darah merk nova 3.
termometer, untuk mengukur suhu tubuh merk Ghea
4. timbangan , untuk mengukur berat badan merk Tanita 5. stetoskop, untuk pemeriksaan fisik; mengukur tekanan darah, pemeriksaan jantung, paru-paru 6. DVD ,TV,CD untuk senam vitalisasi otak 7. tape recorder untuk senam lansia 4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Prosedur administrasi penelitian Menyelesaikan administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian;
66
1) Menghadap
pimpinan
institusi
tempat
penelitian
(
Balai
Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten untuk mendapatkan ijin awal sebagai lokasi penelitian 2) Menyerahkan surat ijin penelitian resmi dari lembaga pendidikan kepada institusi tempat penelitian 3) Memberikan penjelasan kepada pimpinan insitusi tempat penelitian dan sampel penelitian tentang jadwal dan jalannya penelitian 4) Mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian 4.6.2. Prosedur persiapan penelitian 4.6.2.1 Persiapan sumber daya manusia; 1) Menghubungi instruktur senam vitalisasi otak dan instruktur senam lansia untuk bersedia memimpin pelaksanaan senam sesuai jadwal yang telah ditentukan 2) Menghubungi Psikolog untuk pelaksanaan pengisian MMSE dan persiapan psikologi sampel dalam penelitian ini 3) Menghubungi dokter umum dan paramedis untuk bersedia melakukan pemeriksaan fisik sampel penelitian 4) Meminta kesediaan staf pengelola Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
Propinsi Banten untuk ikut membantu mengawasi
pelaksanaan penelitian ini
67
4.6.2.2 Persiapan sarana dan prasarana; 1) Mempersiapkan ruang/tempat untuk administrasi dan pelaksanaan kegiatan senam 2) Mempersiapkan alat-alat penunjang kegiatan administrasi ( ATK, dll ) dan senam ( alat-alat keperluan senam ) 4.6.2.3 Persiapan konsumsi; Konsumsi berupa minuman dan makanan kecil diberikan setelah kegiatan senam 4.6.3. Prosedur pelaksanaan penelitian 1. Mencatat identitas lansia meliputi nama, umur, pendidikan, kegiatan sosial dan lainnya 2. Populasi lansia akan menjalani serangkaian anamnesis dan tes skrining/vital sign untuk kriteria inklusi dan esklusi setelah lulus dari skrening, maka akan ditetapkan sebagai subyek penelitian atau sampel dengan jumlah 54 sampel 3. Mengisi formulir informed consent sebagai tanda untuk bersedia mengikuti penelitian 4. Dilakukan penelitian sampel untuk mengalokasikan subyek penelitian kepada dua kelompok, berdasarkan acak sederhana/ simple random sampling 5. Sampel yang sudah terpilih dilakukan pengukuran pretest dengan MMSE untuk mendapatkan data kognitif awal oleh seorang psichologi. obyek penelitian tidak diberitahu masuk kelompok satu atau dua.
68
6. Tiap kelompok diberikan perlakuan, Pada kelompok I diberikan perlakuan senam vitalisasi otak dipimpin seorang instruktur dengan menggunakan perangkat TV, DVD dan CD selama satu bulan supaya dapat menghafal gerakan selanjutnya dicoba dengan panduan dari instruktur senam. Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan sosial ( BPS). Kelompok II diberikan perlakuan
senam
lansia dengan dipandu
instruktur dari senam lansia dengan menggunakan perangkat TAPE RECORDER, Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan 3 kali seminggu dengan urutan senam terdiri dari pemanasan 5-7 menit, Latihan inti 10-15 menit dan pendinginan 5-7 menit dilakukan sesuai jadwal
selama 12 minggu
7. Dilakukan pengukuran post test dengan MMSE pada dua kelompok setiap 6 minggu sekali oleh seorang psichologi selama periode latihan yaitu 3 bulan karena secara fisiologis proses adaptasi jaringan neuron terjadi setelah 4-6 minggu tapi post test MMSE dilakukan tiap 2 minggu sekali yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemajuan kognitif 8. Setelah waktu yang ditentukan berakhir maka akan dilakukan pengambilan data akhir atau post test 9. Dilakukan tabulasi data dan analisis statistik dengan menggunakan software
69
10. Dari hasil analisis data dibuat kesimpulan hasil dan dilanjutkan dengan penyusunan tesis 4.6.4. Kelemahan Penelitian 1. Para lansia peserta penelitian lemah dalam motivasi untuk pelaksanaan senam yang diselenggarakan setiap 3 kali seminggu sehingga memerlukan motivator baik dari peneliti maupun dari petugas BPS 2. Jenis senam yang dilakukan relatif baru sehingga memerlukan waktu untuk penyesuaian gerakan-gerakannya yaitu 3 kali seminggu selama 12 minggu 3.
Penelitian ini tidak blinding dan berdampak pada internal validitas yang perlu dilakukan dengan penelitian lain.
70
4.7 Alur Penelitian POPULASI K. Inklusi K. Eksklusi
SAMPEL
Acak Sederhana
Alokasi Acak Sederhana TEST AWAL Kelompok II
Kelompok I
Senam Vitalisasi otak 3xseminggu,selama 12 minggu
Senam Lansia 3xseminggu,selama 12 minggu
TES AKHIR
Analisis Data Penyusunan tesis
Gambar 4.3 Alur penelitian
4.8 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Statistik deskriptif untuk menganalisis umur, tingkat pendidikan, kegiatan sosial. 2. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan
71
yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. 3. Uji homogenitas data dengan Levene,s Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Apabila hasilnya p > 0,05 maka data homogen dan apabila p < 0,05 berarti data tidak homogen. 4. Uji komparasi nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan pada masingmasing kelompok perlakuan dengan menggunakan uji komparasi Paired t test apabila data berdistribusi normal. Bila tidak berdistribusi normal digunakan uji non parametrik (wilcoxont -test). Uji ini bertujuan untuk mengetahui efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE setelah pelatihan pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis I dan II. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan). jika p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan). 5. Uji komparasi data nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan antara kelompok I dan kelompok II dengan menggunakan uji komparasi non parametrik Independent Samples t-Test. Apabila berdistribusi normal. Bila tidak normal digunakan uji non parametrik Mann-Whitney U test. Uji ini bertujuan untuk membandingkan efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE
72
sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok I dan kelompok II. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis III. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka Ho diterima atau Ha ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan) dan apabila p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan)
73
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senam vitalisasi otak lebih meningkatkan kognitif dari pada senam lansia pada kelompok lansia, menggunakan rancangan penelitian eksperimental randomise pre and post test group design. Alat ukur yang digunakan Minimental Status Exam(MMSE) yang digunakan untuk mengukur kognitif awal dan setiap dua minggu untuk melihat perkembangan, untuk hasil akhir diambil sebelum dan sesudah pelatihan. Subyek penelitian berasal dari Balai Perlindungan Sosial ( BPS ) Propinsi Banten, Pelaksanaan selama 12 minggu, mulai bulan Juli 2010 sampai bulan September 2010, dengan frekuensi 3x se-minggu.dengan jumlah sampel 54 orang, terbagi dalam dua kelompok masing-masing 27 orang yang melakukan senam vitalisasi otak dan 27 orang yang melakukan senam lansia, Usia subyek 60-74 tahun, Kemudian Lansia yang terpilih mendapat pengarahan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian dan pengaruh dari pelatihan senam viatlisasi otak dan senam lansia hubungannya dengan fungsi kognitif. Sampel terpilih diberikan form informed consent untuk ditandatangani atau di cap jari dengan demikian yang bersangkutan (sampel terpilih) telah mengerti tentang penjelasan yang diberikan dan bersedia untuk menjadi sampel penelitian. Subyek diberikan program latihan dengan dua metode senam yang berbeda. Pada Kelompok Perlakuan I diberikan latihan metode senam vitalisasi otak, dan Kelompok Perlakuan II diberikan latihan metode senam lansia masing-masing sebanyak 36 kali selama 12 minggu
74
dan kemudian dilakukan pengukuran test untuk menentukan dan mencatat data akhir. Hasil penelitian didapatkan beberapa data sebagai berikut; 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik sampel yang di deskriptifkan dalam penelitian pada kelompok senam vitalisasi otak dan kelompok senam lansia antara lain: usia, pendidikan dan kegiatan sosial. Karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, tingkat pendidikan, kegiatan sosial, dan gangguan kognitif. dilihat pada Tabel 5.1. berikut: Tabel 5.1 Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Berdasarkan Usia Karakteristik subjek Umur
Kelompok I 65,96 ± 4,80
MIN:MAK 60 : 74
Kelompok MIN:MAK II 67,04 ± 4,57 60 : 74
Sumber : Analisis Data Primer,2010 Pada tabel 5.1. di atas diketahui bahwa lansia yang melakukan senam vitalisasi otak pada kelompok I memiliki rentang umur antara 60 hingga 74 tahun, dengan rerata umur 65,96 tahun dan standar deviasi 4,80 tahun. Sedangkan Kelompok II memiliki rentang umur antara 60 hingga 74 tahun, dengan rerata umur 67,04 tahun dan standar deviasi 4,57 tahun. artinya sebagian besar lansia yang melakukan senam vitalisasi otak dan senam lansia berumur lebih dari 65 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia bukan merupakan hambatan lansia untuk tetap bersemangat dalam beraktivitas fisik. kedua kelompok memiliki karakteristik umur yang homogen.
75
Tabel 5.2 Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Berdasarkan Pendidikan Kelompok I No.
Pendidikan
Jumlah
Kelompok II
Persentase
Jumlah
Persentase
1.
Tidak Sekolah
6
22,22%
11
40,74
2.
SD
8
29,63%
11
40,74
3.
SMP
13
48,15%
3
11.11
4.
SMA
-
-
2
7,41
Jumlah
27
100
27
100
Sumber : Analisis Data Primer,2010 Latar belakang pendidikan responden lansia yang menjadi objek penelitian adalah responden pada kelompok I (melakukan senam vitalisasi otak) memiliki pendidikan antara Tidak Sekolah sebanyak 6 orang dengan persentase 22,22%, pendidikan SD sebanyak 8 orang atau 29,63%, dan pendidikan SMP sebanyak 13 orang atau 48,15%. Juga diketahui bahwa tidak ada lansia yang melanjutkan pendidikan hingga SMU. Sedangkan Kelompok II Lansia yang tidak bersekolah sebanyak 11 orang atau 40,74%, pendidikan SD sebanyak 11 orang atau 40,74%, pendidikan SMP sebanyak 3 orang atau 11,11%, dan pendidikan SMU sebanyak 2 orang atau 7,41%. disimpulkan bahwa secara rata-rata dapat dikatakan bahwa latar belakang pendidikan responden lansia pada kelompok I dan kelompok II memiliki karakteristik yang relatif homogen.
76
Tabel 5.3 Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Berdasarkan yang Ikut Kegiatan Sosial Kelompok I No.
Kegiatan Sosial
Jumlah
Kelompok II
Persentase
Jumlah
Persentase
1.
Kejar paket A
20
74
14
51,85
2.
Wirausaha
10
37.04
8
29,63
3.
Robana
11
40.74
8
29,63
4.
Pengajian
25
92,59
24
88,89
Sumber : Analisis Data Primer,2010 Pada tabel 5.3 lansia yang mengikuti kegiatan kejar paket A pada kelompok I sebanyak 20 orang atau 74,07%, wirausaha 10 orang atau 37,04%, Robana 11 orang atau 40,74% dan pengajian 25 orang atau 92,59%. Sedangkan pada kelompok II kejar paket A sebanyak 14 orang atau 51,85%, wirausaha 8 orang atau 29,63%, Robana 8 orang atau 29,63% dan pengajian 24 orang atau 88,89%. Lansia yang tidak mengikuti kegiatan kejar paket A pada kelompok I sebanyak 7 orang atau 25,93%, wirausaha 17 orang atau 62,96%, Robana 16 orang atau 59,26% dan pengajian 2 orang atau 7,41%. Sedangkan pada kelompok II kejar paket A sebanyak 13 orang atau 48,15%, wirausaha 19 orang atau 70,37%, Robana 19 orang atau 70,37% dan pengajian 3 orang atau 11,11%. Dari gambaran data kedua kelompok tersebut tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki keaktifan responden yang hampir sama 5.2 Uji Persyaratan Analisis Sebagai prasyarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka dilakukan uji normalitas dan homogenitas data hasil test MMSE sebelum dan
77
sesudah pelatihan. Untuk semua variabel, baik variabel bebas, maupun variabel tergantung pada kelompok perlakuan I dan II, penguji melakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk, sedangkan uji homogenitas menggunakan Levene Test, dan hasilnya tertera pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Keputusan Uji Normalitas Data dan Homogenitas Data Nilai MMSE Perlakuan
Shapiro Wilk Test KLP I KLP II Nilai p Nilai p
MMSE sebelum 0,221 pelatihan MMSE sesudah 0,000 pelatihan Selisih 0,077 Sumber : Analisis Data Primer, 2010
Levene’s Test Nilai p
0,228
0,971
0,006
0,097
0,240
0,063
Pada tabel 5.4 diperlihatkan bahwa hasil uji normalitas (Saphiro WilkTest). Dengan mengambil nilai α= 0,05 maka untuk MMSE pada kelompok I sebelum pelatihan diperoleh nilai p = 0,221 (p>0,05) atau data berdistribusi normal,
sesudah pelatihan p=0,000
( p<0,05) atau data berdistribusi tidak
normal. Pada kelompok II sebelum pelatihan nilai p= 0,228 (p>0,05) atau data berdistribusi normal,, sesudah pelatihan nilai p=0,006 ( p<0,05) atau data berdistribusi tidak normal. Adapun data selisih MMSE sebelum dan sesudah pelatihan, pada kelompok I diperoleh p = 0,077 (p>0,05) atau data berdistribusi normal, dan pada kelompok II p = 0,240 (p>0,05) atau data berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas (Levene’s-Test) data hasil MMSE
sebelum
pelatihan (0,971) dan sesudah pelatihan (0,097), serta selisih (0,063) menunjukkan nilai p lebih besar dari α=0,05 (p > 0,05), yang berarti tidak terdapat
78
perbedaan nilai varians MMSE sebelum dan sesudah Perlakuan serta selisihnya antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II. 5.3 Uji Hipotesa Berdasarkan hasil uji normalitas sesuai tabel 5.4, maka untuk uji hipotesa I dan uji hipotesa II menggunakan uji non parametrik karena salah satu kelompok datanya tidak berdistribusi normal, sedangkan untuk uji hipotesis III menggunakan uji parametrik karena kedua kelompok datanya berdistribusi normal. Berdasarkan distribusi kelompok data seperti diuraikan di atas maka uji signifikansi hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan I (uji hipotesis I ) digunakan uji wilcoxon-test. Demikian pula untuk uji signifikansi hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan II (uji hipotesis II) juga menggunakan uji wilcoxon-test. Sedangkan uji beda (selisih) antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II menggunakan uji Independent samples t-test.( uji hipotesis III ). Untuk mengetahui perbedaan rerata senam vitalisasi otak dan senam lansia sebelum dan sesudah
pelatihan pada masing-masing kelompok digunakan
Wilcoxon test yang hasilnya tertera pada Tabel 5.5.
79
Tabel 5.5 Uji Beda Rerata (skor) Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Sebelum dan Sesudah Pelatihan Pada Lansia di BPS Propinsi Banten Sebelum pelatihan
Setelah pelatihan
Selisih
z
p
19,07±3,61
26,22±2,59
7,15±2,4
-4,558
0,000
Kelompok II 21,48±3,8 23,44±3,9 Sumber: Analisis data primer, 2010
1,96±1,7
-3,886
0,000
Kelompok I
1.
Pada kelompok perlakuan I dengan jumlah sampel 27 dan nilai rerata sebelum pelatihan 19,07 standar deviasi 3,61 dan setelah pelatihan nilai rerata 26,22 standar deviasi 2,59. Dengan uji wilcoxon test diperoleh nilai p=0,000 (p < 0,05). Sehingga kesimpulannya Ho ditolak dan menerima Ha dengan demikian hipotesis I Senam vitalisasi otak meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia
2.
Pada kelompok perlakuan II dengan jumlah sampel 27 dan nilai rerata sebelum pelatihan 21,48 standardeviasi 3,8 dan setelah pelatihan nilai rerata 23,44 standar deviasi 3,9 Dengan uji wilcoxon test diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05). Sehingga kesimpulannya Ho ditolak dan menerima Ha dengan demikian hipotesis II Senam lansia meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia.
80
Grafik 5.1 Uji Beda Rerata Senam vitalisasi otak dan senam lansia Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada lansia di BPS Propinsi Banten 5.4 Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada lansia di BPS Propinsi Banten Data persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan setelah pelatihan 3 x per minggu selama 12 minggu pada kedua kelompok pelatihan dapat disajikan dalam Tabel 5.6. Tabel 5.6 Data Peningkatan Nilai MMSE Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada Lansia Di BPS Propinsi Banten Hasil Analisis Nilai MMSE awal
Nilai MMSE akhir
Selisih nilai MMSE
Persentase Peningkatan (%)
Kelompok 1
19,07
26,22
7,15
37,49
Kelompok 2
21,48
23,44
1,96
9,12
Kelompok
Sumber: Analisis data primer, 2010 Untuk melihat persentase rerata peningkatan nilai MMSE sebelum dan setelah pelatihan dari kedua kelompok dapat juga disajikan dalam bentuk Grafik 5.2
81
Grafik 5.2 Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada lansia di BPS Propinsi Banten Berdasarkan persentase rerata peningkatan MMSE sebelum dan setelah pelatihan 3 x per minggu selama 12 minggu pada tabel 5.6 dan grafik 5.2 menunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan nilai MMSE pada pelatihan kelompok I ( 37,49% ) lebih besar dari kelompok II ( 9,12% ).
5.5 Uji Beda Rerata dan Selisih nilai MMSE Pada Kedua Kelompok Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan rerata nilai MMSE pada tes awal (sebelum pelatihan) dan tes akhir (setelah pelatihan) antar kelompok pada kedua kelompok yang diberikan perlakuan berupa pelatihan senam vitalisasi otak pada kelompok I dan senam lansia pada kelompok II. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Independent Samples t-test disajikan pada Tabel 5.7
82
Tabel 5.7 Uji beda rerata dan selisih nilai MMSE Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia
Kelompok Subyek
n
Beda Rerata ± SB
p
Nilai MMSE Sebelum perlakuan Sesudah perlakuan Selisih
Kelompok-1 Kelompok-2 Kelompok-1 Kelompok-2 Kelompok-1 Kelompok-2
27
19,07 ± 3,61
27
21,48 ± 3,89
27
26,22
27
23,44 ± 3,95
27
7,15
27
1,96 ± 1,72
±
±
2,59
2,46
0,022
0,004
0,000
Sumber: Analisis data primer, 2010 Uji Hipotesis III Pada uji beda antara kedua kelompok sebelum perlakuan didapatkan hasil p=0,022 yang berarti kedua kelompok berangkat dari keadaan yang tidak homogen, sehingga untuk uji hipotesis III yang dianalisis adalah perbedaan selisih antara kedua kelompok. Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai skor setelah perlakuan untuk Kelompok I skor MMSE mengalami peningkatan sebesar 7,15 dengan standar deviasi 2,46 dan pada Kelompok II skor meningkat hanya sebesar 1,96 dengan standar deviasi 1,72. Uji statistik Independents t-test menghasilkan nilai p=0,000 (p<0,05) berarti Ho ditolak dan Ha diterima, atau dapat disimpulkan bahwa Senam vitalisasi otak memberikan hasil yang lebih baik dari pada senam lansia.
83
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Kondisi subyek penelitian Subyek penelitian adalah lanjut usia lanjut 60-74tahun yang berada di balai perlindungan sosial propinsi banten dengan jumlah responden 54 orang terbagi dalam dua kelompok masing-masing 27 orang yang melakukan senam vitalisasi otak dan 27 orang yang melakukan senam lansia.dengan menggunakan alat ukur MMSE untuk pengukuran kognitif. Mengingat subyek adalah penghuni di BPS, Maka otomatis subyek sudah biasa terhadap lingkungan atau dengan kata lain lingkungan yang dipakai pengambilan data dan pada waktu pelatihan dalam keadaan nyaman. Lingkungan yang nyaman akan mengurangi pengeluaran keringat berlebihan sehingga subjek dapat menjalankan metode latihan senam yang maksimal dan dapat menghasilkan hasil latihan yang maksimal pula. Pada tabel 5.1, rerata umur subyek penelitian adalah 65,96 tahun pada kelompok I dan 67,04 tahun pada kelompok II. Kelompok I memiliki umur relatif lebih muda dibandingkan lansia yang berada pada kelompok II,dan akan berpengaruh terhadap funfsi kognitifnya. penelitian Lumbatobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan
84
beraksi terhadap rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda antar individu Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut kemampuan akan turun antara 30-50%,( Kusmana, 1992 ). Oleh karena itu, bila para usia lanjut ingin berolahraga atau meningkatkan kebugaran fisiknya harus memilih jenis kegiatan olahraga yang sesuai dengan umurnya Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada pria usia lanjut berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh
Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang
hubungan aktifitas fisik dengan penurunan kognitif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat proses penurunan fungsi kognitif. Dari tabel 5.2, pada kelompok 1 lansia yang tidak bersekolah sebanyak 6 orang dengan presentase 22,22%, Sedangkan Kelompok II Lansia yang tidak bersekolah sebanyak 11 orang atau 40,74%,Lebih jauh dapat diartikan bahwa kesadaran lansia dahulu terhadap pendidikan masih rendah, disamping adanya keterbatasan sarana prasarana pendidikan pada saat itu. Pengaruh pendidikan yang telah dicapai seseorang atau lansia dapat mempengaruhi secara tidak langsung terhadap fungsi kognitif seseorang, termasuk pelatihan (direct training). Berdasarkan teori reorganisasi anatomis menyatakan bahwa stimulus eksternal yang berkesinambungan akan mempermudah reorganisasi internal dari otak (Sidiarto, 1999). Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak
85
pada tes kognitifnya. (Farmer et al. 1995). Kebanyakan proses lanjut usia ini masih dalam batas-batas normal berkat proses plastisitas. Proses ini adalah kemampuan sebuah struktur dan fungsi otak yang terkait untuk tetap berkembang karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak cepat mundur proses plastisitas ini harus terus dipertahankan ( Kusumoputro, 2003 ). Dari tabel 5.3, kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang dilaksanakan lingkungan.
untuk
meningkatkan
keterampilan
berinteraksi
dengan
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau
mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan petugas kesehatan. data kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki keaktifan responden yang hampir sama, walaupun terlihat bahwa responden pada kelompok I cenderung sedikit lebih aktif dibanding kelompok II. Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak berkembang dan kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri ( Hurlock,1996 ). Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf pusat serta mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan. ( Zunzunegui et al, 2003 ). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia lanjut, mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39% dan tingkat keterikatan sosial mengurangi rata-rata penurunan kognitif sebesar 91% ( Barnes et al. 2004). Kegiatan Sosial Kejar Paket A banyak diminati lansia karena untuk meningkatkan
86
kemampuan kognitif lansia terutama pada bidang baca,tulis dan hitung (calistung). Demikian pula dengan kegiatan wirausaha, berupa kegiatan pembuatan keset, bunga kertas, menyulam, menjahit dilakukan dengan binaan dari petugas balai. Selain untuk mengisi waktu luang juga digunakan sebagai sarana bersosialisasi baik dengan sesama penghuni balai maupun dengan petugas disamping untuk tetap mengasah kemampuan kognitif lansia. Sedangkan kegiatan Robana merupakan kegiatan seni dan pengajian merupakan kegiatan kerohanian atau keagamaan. Hasil analisis karakteristik subjek penelitian pada kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna, karena subjek telah dikontrol. Dengan demikian karakteristik subjek penelitian yang meliputi : umur, pendidikan, kegiatan sosial, pada kelompok senam vitalisasi otak dan kelompok senam lansia, kedua kelompok pelatihan tersebut adalah sama. Apabila setelah pelatihan selama 12 minggu ada perbedaan hasil pada senam vitalisasi otak, hal ini diakibatkan dari perlakuan yang diberikan pada masing-masing kelompok 6.2 Distribusi dan Varians Subyek Penelitian Untuk menguji hasil nilai MMSE pada dua kelompok responden penelitian digunakan software. Sebelumnya dilakukan uji kenormalan data dengan menggunakan analisa Saphiro Wilk Test, dari tabel 5.4 dapat diartikan bahwa nilai MMSE kelompok data setelah pelatihan berdistribusi tidak normal, baik dengan senam vitalisasi otak maupun senam lansia, sedangkan kelompok data sebelum pelatihan dan nilai selisih berdistribusi normal. Ini berarti untuk menguji hipotesis I dan hipotesis II karena salah satu kelompok yang dibandingkan tidak
87
berdistribusi normal maka digunakan analisis Statistik Non Parametrik dengan alat Uji Statistik Wilcoxon-test. Sedangkan untuk menguji hipotesis III karena kedua
kelompok
data
yang
dibandingkan
berdistribusi
normal,
maka
menggunakan Analisis Statistik Parametrik dengan alat Uji Statistik Independent Samples t-test. Homogenitas varians antara kedua dengan Levene Test.
kelompok pelatihan diuji
Variabel yang diuji adalah nilai MMSE sebelum dan
sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dan selisih nilai MMSE sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok. Hasil uji homogenitas untuk semua variabel tersebut menunjukkan p > 0,05 yang berarti data memiliki sebaran yang homogen. 6.3 Pengaruh Pelatihan senam vitalisasi otak dan senam lansia terhadap fungsi kognitif lansia Setelah pelatihan senam vitalisasi otak dan senam lansia 3 x per minggu selama 12 minggu, diperoleh data nilai MMSE pada test awal dan test akhir pada masing-masing kelompok dengan menggunakan uji wilcoxon test (Tabel 5.5), pada kelompok I sebelum senam vitalisasi otak diperoleh rerata sebesar 19,07 dengan standar deviasi 3,61, sedangkan sesudah senam vitalisasi otak diperoleh nilai rerata 26,22 dengan standar deviasi 2,59. Dari hasil di atas kemudian dimasukkan data untuk dilakukan uji hipotesis I dengan menggunakan uji wilcoxon test didapat hasil nilai z hitung sebesar -4,558 dibandingkan dengan nilai Z tabel = -1,64 maka nilai z hitung berada di daerah penolakan, demikian pula nilai p=0.000 < α ( 0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya perlakuan senam vitalisasi otak ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif
88
lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. Pada tabel 5.5 untuk kelompok II diperoleh hasil rerata sebelum senam lansia 21,48 dengan standar deviasi 3,8, sedangkan sesudah senam lansia menghasilkan rerata 23,44 dengan standar deviasi 3,9. Dari hasil di atas kemudian dimasukkan data untuk melakukan uji hipotesis II dengan menggunakan uji Wilcoxon didapatkan hasil nilai z hitung sebesar -3,886 dibandingkan dengan nilai Z tabel = -1,64 maka nilai z hitung berada di daerah penolakan, demikian pula nilai p = 0,000 < a (0,05). Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa dengan adanya senam lansia ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa kedua tipe pelatihan yang diterapkan dapat meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna. Berarti hipotesis I yaitu Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya perlakuan senam vitalisasi otak ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. dan hipotesis II yaitu Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa dengan adanya senam lansia ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
Propinsi Banten. Peningkatan
kemampuan kognitif tersebut sesuai dengan pendapat Markam, (2006). Salah satu upaya untuk menghambat kemunduran kognitif akibat penuaan yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik, bahwa pelatihan yang
89
dilakukan selama 12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat kompetitif/
bertanding
serta
mempunyai
manfaat
besar
karena
dapat
meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran dan volume pasokan darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh terutama ke organ otak, karena berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup. Karena pertimbangan-pertimbangan diatas, pemberian dosis latihan untuk orang tua harus lebih rendah. Program latihan dimulai dengan beban yang rendah (ringan) misalnya untuk usia 60 tahun, beban dapat dimulai dengan 2-3 METs (misalnya berjalan kaki 2-3 mph = 3,2- 4,8 Km/jam ) Intensitas dipertahankan lama baru ditingkatkan misalnya 50-70% VO2 max. Smith dan Giligan menetapkan 40-70% karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihanlatihan diberikan sebaiknya 3x seminggu. Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada pria usia lanjut berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang hubungan aktifitas fisik dengan penurunan kognitif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat proses penurunan fungsi kognitif. Tilarso( 1988 ) menyatakan pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk lanjut usia dan
90
akan menghasilkan peningkatan yang berarti. mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk mempertahankan
kebugaran
jasmani,
memelihara
serta
mempertahankan
kesehatan di hari tua. Manfaat
kesehatan jasmani pada lanjut usia secara fisiologi dampak
langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah, merangsang adrenalin dan nor-adrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular, kekuatan otot rangka dan kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta kelincahan. Dampak secara psikologis dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan dan kecemasan, meningkatkan perasaan senang. dampak jangka panjang dapat meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan jiwa, fungsi kognitif, penampilan dan fungsi motorik manfaat sosial dampak langsung dapat membantu pemberdayaan lansia, peningkatan integritas sosial dan kultur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan keterpaduan dan kesetiakawanan. Selanjutnya ( Kusumoputro, 2003 ).menyatakan peningkatan potensi dan sumber daya otak. Yang diperlukan adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak ( brain fitness ). Orang harus mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat, lebih tajam, lebih efisien, dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas, orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan melupakan sesuatu. Orang yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan mengalami kemunduran sumber daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih dari lingkungannya. Keadaan itu berlaku
pula bagi mereka yang berusia
91
setengah
baya dan
berusia lanjut
proses pelatihan yang dilakukan secara
sistematis, progresif, dan berulang-ulang akan memperbaiki sistem organ tubuh serta daya ingat sehingga penampilan lanjut usia menjadi lebih baik Mekanisme yang menjelaskan hubungan antara aktifitas fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur vaskularisasi ke otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi jaringan otak yang kuat,
efek
langsung terhadap otak yaitu memelihara sruktur saraf dan meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al. 2004 ). Pada penelitian ini uji MMSE dilakukan setiap 2 minggu untuk melihat perkembangan nilai kognitif. Sedangkan untuk tabulasi data pada kelompok I dan kelompok II dilakukan Pengukuran yang signifikan setiap 6 ( enam ) minggu karena adaptasi jaringan saraf terjadi setelah 4-6 minggu.Sehingga dari hasil data tersebut Pada kelompok 1 didapatkan hasil nilai yang termasuk kategori normal / tidak ada gangguan sebanyak 23 orang atau 85%, gangguan kognitif ringan 3 orang atau 11,1% dan gangguan kognitif berat 1 orang atau 3,7%. Sedangkan pada kelompok 11 yang tidak ada gangguan 13 orang atau 48,2%, gangguan kognitif ringan 11 orang atau 40,7% dan gangguan kognitif berat sebesar 3 orang atau 11,1%. Adapun terjadinya hubungan antara latihan fisik dengan fungsi kognitif adalah melalui kontraksi otot yang akan memberikan pengaruh pada otak melalui jalur muscle spindle, adanya suatu rangsangan yang terjadi pada golgi tendon organ akan diteruskan ke central nervus system melalui jaras-jaras. Jarasjaras ini yang menerima informasi berupa sensoris dari perifer, sistem visual,
92
sistem vestibular, muskulo skletal, proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem saraf, menurut Suhartono (2005), dalam waktu singkat kurang lebih 150 mikro detik akan terbentuk suatu respon yang benar dan disimpan di otak. Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam sistem sensoris integrasi di sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu corpus amigdale diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak menjadi memori yang pendek / short term memory dilakukan secara berulangulang sehingga akan menjadi long term memory. Pada penelitian ini uji MMSE dilakukan untuk setiap 2 minggu tetapi untuk mendapatkan data yang valid terhadap perubahan yang terjadi sebelum diberikan perlakuan dan setelah selesei perlakuan maka analisis data uji MMSE adalah untuk data pre test MMSE dan post test MMSE setelah perlakuan selesei. Ganong dikutip oleh Tirtayasa( 2001 ), menyatakan pengolahan informasi pada sistem saraf pusat adalah memproses informasi yang masuk yang menimbulkan respon motoris yang sesuai keperluan, kemudian sesudah informasi yang penting diseleksi dan disalurkan kedaerah motoris yang sesuai otak sehingga menyebabkan respon yang sesuai dengan kehendak. Sebagian besar dari penyimpanan ini terjadi di kortex serebri tetapi tidak seluruhnya bisa didaerah basal otak dan medula spinalis, disini menyimpan sedikit informasi, Penyimpanan informasi proses yang disebut dengan memori.proses memori termasuk juga fungsi sinaps (tempat terjadinya hubungan satu neuron dengan neuron lain, peranannya sangat besar dalam mengontrol transmisi impuls ) Setiap impuls sensoris melalui suatu rangkaian sinaps, maka masing-masing sinaps akan
93
menghantar impuls, yang disebut proses fasilitasi. Sesudah impuls melalui sinaps berulang-ulang maka sinaps akan terfasilitasi, hal ini yang mengakibatkan seseorang merasakan suatu persepsi.walaupun untuk menimbulkan hanyalah berdassarkan sensasi dari memori. Sekali memori tersimpan dalam saraf, mereka akan menjadi bagian dalam mekanisme pengolahan. Proses berfikir dalam otak membandingkan pengalaman sensoris yang baru dengan memori yang tersimpan. Memori akan membantu untuk memilih informasi yang baru dan penting dan menyalurkannya kedaerah penyimpanan yang sesuai atau kehendah motoris yang menyebabkan respon gerakan atau adanya aktifitas fisik yang dilakukan satu minggu tiga kali dan ber ulang- ulang dengan tujuan upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih propriosetif / rasa sendi.Sehingga fungsi cognitif menjadi lebih baik. Pada kelompok I terdapat peningkatan nilai MMSE yang sangat kecil yaitu pada seorang wanita usia 60 tahun ( sampel no. 6 lampiran 12 ) hal tersebut di karenakan responden memiliki riwayat belum pernah menikah, sekolah SR kelas I, pekerjaan pembantu dan kegiatan sosialnya kurang yaitu lebih pendiam dan tidak bersosialisasi, akibat hal tersebut fungsi dari kognitifnya sangat sedikit dalam hal peningkatan. Sebaliknya ada responden yang menghasilkan nilai yang sangat baik ( sampel no.14 lampiran 12 ) hal tersebut di karenakan responden tersebut sangat aktif dalam lingkungan sekitar dan memiliki banyak kegiatan yang akan menambah kemampuan kognitif responden tersebut. Otak merupakan sistem utama dalam menyimpan memori. Semakin banyak otak digunakan dalam
94
berpikir maka semakin banyak pula impuls yang akan teraktivasi sehingga daya ingat dari seseorang akan jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak terlalu aktif dalam berpikir. Pada kelompok II, seorang wanita usia 70 tahun ( sampel no.19 lampiran 14 ) hal tersebut karena responden memiliki riwayat pendidikan rendah yaitu SR kelas I, tidak menikah dan selama di BPS tidak ada kegiatan sehingga responden sulit memahami dalam menjawab tes yang diberikan terutama dalam hal baca, tulis, dan hitung, responden lain wanita berusia 70 tahun menunjukkan nilai MMSE yang menurun ( sampel no.3 lampiran 14 ) ternyata yang bersangkutan tidak sekolah, kurang termotivasi untuk mengikuti kegiatan senam, cenderung pasif dan malas sehingga tidak berkonsentrasi sewaktu tes MMSE. 6.4 Perbedaan Pengaruh senam vitalisasi otak dan senam lansia Terhadap fungsi kognitif Selanjutnya Pada tabel 5.7 dilakukan uji hipotesis III perbandingan uji analisis antara nilai MMSE senam vitalisasi otak dengan senam lansia menggunakan uji statistik Independent Samples t-test.
Dengan menggunakan
software diperoleh hasil untuk kondisi sebelum kegiatan senam dilakukan nilai signifikansi p=0.022 < α (0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya perbedaan peningkatan MMSE antara perlakuan I (senam vitalisasi otak) dan perlakuan II (senam lansia). Sedangkan untuk kondisi setelah kegiatan senam dilakukan diperoleh nilai signifikansi p=0.004 < α (0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara peningkatan MMSE akibat perlakuan I (senam vitalisasi otak) dibandingkan dengan perlakuan II (senam
95
lansia). Selanjutnya dari nilai selisih rata-rata nilai MMSE sebelum dan sesudah perlakuan untuk masing-masing kelompok diperoleh nilai signifikansi p=0.000 < α (0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan I (senam vitalisasi otak) dengan selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan II (senam lansia). Dengan melihat besarnya peningkatan nilai MMSE oleh senam vitalisasi otak sebesar 7,15 jauh lebih besar dari peningkatan nilai MMSE akibat senam lansia sebesar 1,96, maka dapat disimpulkan bahwa senam vitalisasi otak lebih baik dibandingkan dengan senam lansia dalam meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia. Peningkatan hasil nilai kognitif pada senam vitalisasi otak tersebut sesuai dengan pendapat Kusumoputro (2003), bahwa pelatihan yang dilakukan selama 12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu sebuah kenaikan performa kognitif berupa meningkatnya kemampuan kewaspadaan, pemusatan perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif para lansia, sehingga pelatihan ini sengaja diarahkan untuk para peserta usia lanjut yang memang pada umumnya secara fisiologis mengalami kemunduran fungsi kognitifnya.sehingga dalam praktek sehari-hari tentu kenaikan performa kognitif ini berguna bagi aktifitas hidup sehari-hari, terutama untuk kualitas kehidupan lanjut. Sedangkan Markam (2006), menyatakan, Pemeliharaan otak secara struktural memerlukan asupan darah, oksigen dan energi yang cukup keotak hingga diharapkan struktur otak akan terpelihara dan fungsi otak pun menjadi lebih optimal. Pemeliharaan fungsional otak dapat dilakukan dengan proses belajar, diantaranya belajar gerak /aktifitas fisik, belajar mengingat, belajar merasakan, belajar melihat dan lain-lain,
96
semua proses belajar akan merangsang pusat-pusat otak karena didalam otak terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh, seperti gerakan, rasa kulit, rasa sikap, berbahasa, baca, tulis, pusat penglihatan pendengaran dan lainlain sehingga makin banyak proses belajar maka makin banyak juluran sel saraf dan sinap-sinap yang terjadi, ini berarti daya mengingat meningkat. Pada pelatihan senam vitalisasi otak dan pelatihan senam lansia diperlukan waktu keseluruhan 30 menit karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihan vitalisasi otak merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat pikir ( memori,imajinasi ), rangkaian gerakan yang terangkum tidak hanya melibatkan gerakan otot-otot tertentu di otak ( homonculus) dengan corpus kalosum ( gerakan menyilang ) tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak ( High cortical function ). Gerakan –gerakan yang dilakukan dalam senam/latihan vitalisasi otak merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar bagian-bagian otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak, gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan dimana dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki fungsi otak. Latihan vitalisasi otak yaitu kegiatan yang merangsang intelektual yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerak badan memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian rupa dengan
97
memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak sehingga tampilan latihan ini memiliki beberapa prinsip;lambat dan ber ulang- ulang dengan tujuan upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih propriosetif / rasa sendi. Markam (2006), perlakuan senam vitalisasi otak dipimpin seorang instruktur dengan menggunakan perangkat TV, DVD dan CD selama satu bulan supaya dapat menghafal gerakan selanjutnya dicoba dengan panduan dari instruktur senam.Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan sosial ( BPS). Berdasarkan perbedaan rerata nilai fungsi kognitif tersebut, dengan persentase perbedaan rerata peningkatkan hasil nilai MMSE ( tabel 5.6 ) kelompok I sebesar 37,49 % dan kelompok II sebesar 9,12 %. Pelatihan yang telah diterapkan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 x per minggu pada kedua kelompok perlakuan menghasilkan persentase peningkatan nilai MMSE yang bermakna. Tabel 5.7 menunjukkan perbedaan rerata peningkatan nilai MMSE di antara kedua kelompok diuji Independent Samples t-test
menghasilkan nilai
p=0,001 (p<0,05) dengan hasilnya menunjukkan persentase peningkatan nilai sebelum dan sesudah pelatihan. Peningkatan rerata kelompok I
lebih besar
daripada kelompok II. Sehingga dapat dikatakan pelatihan kelompok I lebih baik daripada kelompok II dalam meningkatkan fungsi kognitif. Dengan demikian hipotesis III terbukti. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh kusumoputro (2003) tentang pelatihan gerak dan latih otak dengan menghasilkan peningkatan
98
performa kognitif yang lebih baik. Penelitian pada warga usia lanjut di wilayah DKI yang mengutamakan pada fungsi kewaspadaan, pemusatan perhatian, dan daya ingat yang diukur dengan test kognitif yaitu nilai MMSE lebih baik dibandingkan senam lansia yang dalam meningkatkan kognitif. Dimana pada senam lansia hanya menfokuskan pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelentukan. ( Tilarso, 1988 ).
99
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
I. Simpulan Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05) sebesar 37,49%. 2. Senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05) sebesar 9,12%. 3. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu lebih baik dibandingkan dengan senam lansia dalam meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05) Hal tersebut diketahui dari selisih rerata nilai MMSE sebelum dan sesudah senam pada kedua kelompok sebesar 5,19.
100
II. Saran 1. Kebugaran fisik terutama bagi mereka yang berusia 60 tahun perlu dijaga dengan melakukan olah raga yang teratur karena akan dapat berdampak positif terhadap kondisi fisik dan kemampuan kognitif. 2. Senam vitalisasi otak dan senam lansia pada lansia dapat dianjurkan secara teratur dan terjadwal karena baru pertama kali dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten 3. Bagi peneliti lain, mudah-mudahan tesis ini bermanfaat sebagai acuan bila melakukan penelitian tentang senam vitalisasi otak atau senam lansia
101
DAFTAR PUSTAKA
Aswin, S. 2003. Pengaruh Proses Menua Terhadap Sistem Muskuloskeletal In W.Rochmah(ed): Naskah Lengkap Simposium Gangguan Muskuloskeletal.Yogyakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.hal.3-4 Ayres, A.J. 1979. Sensory Integration and the Child: Western Psychological Services. Bandiah, S. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Mulia Medika Barnes,L.K.,Leon,M.D.,Wilson R.S., Bienias,J.L and Evans,D.A.2004. Social recourses and cognitive decline in a population of older Africans and whites.Journal of Neurology,63(12):2322-2326 Biro Pusat Statistik. 1990. Statistical Yearbook 1990. Burns, M. S. 1985. Treatment of Communication Problems in right Hemisphere Damage.Maryland: Aspen System Corporation Central Bureau of Statistics (Indonesia). 1992. Population Of Indonesia, Result Of The 1990 Population Census. Biro Pusat Statistik. In H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 3. Cumming, J. L., D.F.Benson. 1992. Dementia A Clinical Approach.2nd Ed.Butterworth-Heinemann. USA. In: Berkala NeuroSains Vol. 1 No. 1. pp. 11-15. Constantinides P. 1994. In General Pathobiology, Appleton & Lange.Connecticut.In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 3. Dahlan, P. 1999. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia. Berkala Neuro Sains, 1(1):39-43. Darmojo, B. 1979. Masa Depan Geriatri di Indonesia.Acta Medica Indonesia X,84-104 ( Simposium Geriatri ke-2,Jakarta).In:H.Hadi Martono dan Kris Pranarka (eds): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.jakarta:Balai Penerbit FKUI,pp.14.
102
Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua.In: H.Hadi Martono dan Kris Pranarka (eds): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.Jakarta:Balai Penerbit FKUI,pp.3. Darmojo, Martono. 2000. Mild Cognitive Impairment (MCI) gangguan kognitif ringan. Berkala Neuro sains, 1(1):11-15 Ellis, H.C, Hunt, R. R. 1993. Fundamental of cognitive psychology. 5 th ed.United States: Wm. C. Brown Communications, Inc. Ganong, W. F. 1999. Fisiologi Kedokteran edisi 17. Dr. M. Djauhari Widjajakusumah ( Editor bahasa Indonesia ). Penerbit buku kedokteran EGC. Gelder, B. M. et al .2004. Physical activity in relation to cognitif decline elderly men.Neurology;63:2316-2321
in
Gelder, B. M., Tijhuis, M., Kalmijn, S., Giampaoli, S., Nissinen, A, Kromhout. 2006. Marital status and living situation during a 5-tahun period are associated with a subsequent 10-tahun cognitive decline in older men: The FINE Study. The Journal or Gerontology Series, 61:213-219. Hardywinoto, Setiabudhi, T. 1999. Panduan Gerontology Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Harrington, F., Saxby, B., McKeith, I., Wesnes, K, Ford, A . 2000. Cognitive performance in hypertensive and normotensive older subjects. Hypertension, 36:1079-1082. Hurlock, E. B. 1996 Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, Edisi kelima. Maxsijabat, R.ed ; Jakarta. Katzman, R., Rowe, J. W. 1992. Principles of Geriatric Neurology. Philadelphia: FA Davis Company. Kinsella K., Taeuber. 1993. An Aging World II, US Bureau of the Census, International Population Report. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 3. Kurlowicz L., Wallace M. 1999. The Mini Mental State Examination. Journal geriatric nursing, 3(1):10-11. Kusmana, D. 1992. Olahraga pada usia lanjut. Simposium Menuju Hidup Sehat pada Usia Lanjut. Bogor 7 November.
103
Kusumoputro, S., Sidiarto, L. D., Sarmino, Munir, R., Nugroho, W. 2003. Kiat Panjang Umur dengan Gerak dan Latih Otak, Jakarta: UI Press. Lumbantobing, S. M. 2006. Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Edisi 4. Jakarta: Balai penerbit FKUI. Markam, S., Mayza, A., Pujiastuti, H., Erdat, M. S., Suwardhana, Solichien, A. 2006. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta: Grasindo. Martono, H., Pranaka, K. 2009. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Matthews, M., Williams H. 2004. Improvement in physical activity and cognitive performance after a 10-week program in Tai Chi exercise. The Gerontologist,.44 (1), 507 Miller, C. A. 2004. Nursing for wellness in older adult, Theory & Practice. Philadelphia: JB.Lippincort.CO. Nala, N. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Bali. Oen L. H. 1993. Dasar Biomolekuler Proses Menua, Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 9. Poccok, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. New York: A Willey Medical Publication. Petersen, R. C., Smith, M. D., Kokmen, E., Ivnik, R. J., Tangalos, E. G., 1992. Memory Function In Normal Aging. Neurology. 42: 396-401. In: Berkala NeuroSains Vol. 1 No. 1. pp. 11-15. Psikologi Lansia, 2009. [ Cited 2009 December, 11 ] Available from: URL. http://belajarpsikologi.com/psikologi-lansia Pujiastuti, S. S., Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC. Ramdhani, N. 2008. Sikap dan beberapa definisi untuk memahaminya. [ Cited 2010 Juli, 29 ] Available from: URLhttp:/www.neila.staff.ugm.ac.id/wodrpress/2008/denifisi. Saladin, K . 2007. Anatomy and physiology the unity of form and function. 4th ed. New York: McGraw-Hill Companies inc:513-561.
104
Setyopranoto, I., Lamsudin, R, Dahlan, P. 2000. Peranan stroke iskhemik akut terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Berkala Neuro Sains, 2(1):227-234. Sidiarto, L. D., Kusumoputro, S. “Mild Cognitive Impairment (MCI) Gangguan Kognitif Ringan”. Berkala NeuroSains Vol.1.No.1,Oktober 1999. Springer, Deutsch. 1981. Left Brain, Right Brain. San Francisco: W.H Freeman and Company. Strub, R. L., Black, W. 1992. Neurobehavioral disorders, A clinical approach. Philadelphia: F.A.Davis Company. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian.Bandung: CV Alfabeta Suhana N. 1994. Teori-Teori Tentang Proses Menua Ditinjau Dari Aspek Biologi Dan Usaha-Usaha Penanggulangannya, Dalam Simposium Nasional Gerontologi-Geriatri. Dewan Riset Nasional, Ed. Boedhi-Darmojo dkk, 16-39. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar BoedhiDarmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 5. Suhartono. 2005. Faktor-faktor Keseimbangan Pada Manusia Dan respon Umpan Balik Sensori Integrasi. Jakarta : Unit Press Sulianti, A. t.t. Pemanfaatan Momen 17-Agustusan Sebagai Sarana Latihan Olahraga Rekreasi Terapeutik Untuk Lansia.Available from: URL: http:/www.koni.or.id/files/documents/journal/2 Sunarto,2009.Himpunam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia : Ikatan fisioterapi Indonesia. Takemi,T. 1977. Aging of Population in Asia & Oceania and how the Physician is to cope with this. Asian Med J Tilarso, H. 1988. Latihan Fisik dan Usia Tua. Majalah Cermin Dunia Kedokteran No.48 Tucker, J. S., Orlando, M., Elliott, M. N and Klein, D. J .2006. Affective and behavioural responses to health-related social control. Health Psychology, 25(6):715-722. Turana,Y., Mayza, A., Lumempouw, S. F. 2004. “Pemeriksaan Status Mental Mini pada Usia Lanjut di Jakarta”, Medika.Vol.XXX, September, hal. 563.
105
Weuve, J., Kang, J. H., Manson, J. E., Breteler, M. B., Ware, J. H and Grodstein, F.2004. Physical activity, including walking and cognitive function in older women. JAMA, 292(12):1454-1461 Whitehead, J. B. 1995. Exercise in ederly. In Reichel, W (ed) Care of the ederly, clinical aspects of aging, William and Wilkins. WHO. 1989. Health of the Ederly. Geneva: WHO. Williamson, J. 1985. Preventive aspects of Geriatric medicine. In Patty, JS (ed) Principles and Practice of Geriatric Medicine, John Wilwy and Sons, Chichester-New York. Zunzunegui, M. V., Alvarado, B. E., Del Ser, T, Otero, A . 2003. Social network, special integration and social engagement determine cognitive decline in community-dwellir,;g Spanish older adults. The Journal of Gerontology Series, 58:33-100.
106
LAMPIRAN