BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Judul penelitian ini diangkat dengan melihat kondisi desa Tanjungharjo yang keadaan tanahnya yang tidak produktif, tanaman sulit berkembang sehingga masyarakat Nanggulan sulit untuk mencari mata pencaharian. Dengan adanya inovasi kolam dari terpal yang diadakan oleh kelompok pembudidaya ikan Argomino maka, Argomino yang di bentuk pada tahun 2006 pasca gempa guna membantu masyarakat agar ada mata pencaharian lain dan dapat menghidupi keluarga mereka. Argomino ini juga mendapatkan bantuan dana dari pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk membantu masyarakat Kabuapaten Kulonprogo agar ada kelompok lain yang tersebar di seluruh kecamatan tidak hanya di kecamatan Nanggulan. Dengan adanya Argomino ini masyarakat terbantu dan ada suatu mata pencaharian sebagai pembudidaya ikan. Dengan cara tersebut akan meningkatkan suatu kemandirian bagi masyarakat sekitar, sehingga dengan membudidaya ikan, masyarakat diharapkan dapat menghidupi keluarganya.
9
2. Orisinalitas Penelitian dengan mengangkat tema tentang pemberdayaan kelompok petani budidaya ikan tawar, baik itu dilihat dari aspek kehidupan maupun aspek yang lain memang sudah banyak. Contohnya adalah penelitian mengenai budidaya ikan tentang “Potret Pengembangan Pembinaan Kelompok Budidaya Ikan Keramba PT. Kalimantan Prima Persada” oleh Diah Anggraini seorang mahasiswi PSdK UGM 2008, namun penelitian dengan mengambil judul “Pemberdayaan Kelompok Petani Budidaya Ikan Tawar Sebagai Program “Kolamisasi” Pokdakan Argomino” belum pernah ada, sehingga dari aspek orisinalitasnya penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan penelitian ini dengan
yang
pemberdayaan
lainnya
adalah
masyarakat
memfokuskan pada
tingkat
penelitian
kelompok
ini
petani
menekankan tersebut
kesejahteraan masyarakat,
dan
pada lebih
sedangkan
penelitian yang dilakukan Diah Anggraini adalah fokus pada spesifikasi salah satu program pemberdayaan masyarakat sebagai implementasi CSR PT. KPP yaitu program kelompok budidaya ikan keramba. Target utama penelitian milik Diah Anggraini yaitu pihak perusahaan dan anggota kelompok tersebut.
3. Relevansi dengan Jurusan Pembangun Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memfokuskan diri pada pembelajaran peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini banyak memfokuskan pada kesejahteraan, pemberdayaan dan
10
kemandirian masyarakat yang memiliki keterkaitan erat terhadap Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
B. Latar Belakang Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memiliki banyak potensi yang bisa di manfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Masyarakat yang mampu secara partisipatif menghasilkan dan meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan melalui usaha masyarakatnya sendiri, bantuan pemerintah, maupun pihak swasta.
Banyak
potensi
yang
dapat
dilakukan
dalam
peningkatan
pemberdayaan masyarakat, salah satunya adalah dalam bidang pertanian dan perikanan. Budidaya ikan adalah salah satu bagian dari pengembangan potensi bidang perikanan, yang mampu dikembangkan oleh sebagian besar masyarakat,
khususnya
masyarakat
pedesaan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan dan merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu sepanjang104 ribu kilometer, sedangkan luas lautan Indonesia dua pertiga dari daratannya. Bahkan dari data Kemendagri, Indonesia memiliki jumlah pulau terbanyak dalam satu negara, yaitu 17. 504 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kondisi ini juga sangat mendukung untuk dikembangkannya
11
budidaya ikan air laut dan tambak (www.kompasiana.com, diakses 15 September 2015). Menurut Marahudin dan Smith,di Pulau Jawa terdapat tambak terutama terdapat di sebelah barat Jakarta sampai Banyuwangi di Selat Bali dan pesisir selatan pantai Pulau Madura. Walaupun dijelaskan masih banyak kendala dalam pengembangan perikanan tersebut, mulai dari peningkatan produksi, pestisida, pupuk dan makanan tambahan serta pengelolaan, namun usaha ini memiliki potensi yang baik untuk lebih dikembangkan jika kendala fisik, sosial dan ekonomi dapat diatasi. Sektor perikanan juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar, setidaknya 16.05 juta jiwa menggantungkan hidupnya dari sektor ini yang terbagi menjadi berbagai profesi. Peningkatan kualitas di bidang ini tentu saja akan berdampak besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah seharusnya lebih jeli dalam melihat peluang dan potensi ini dengan
menjadikan
sektor
perikanan
sebagai
salah
satu
tumpuan
pembangunan nasional. Selain perikanan tambak dan laut, perikanan darat juga memiliki peluang dan potensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Syarat agar perikanan darat ini dapat berjalan setidaknya adanya ketersediaan air yang memadai dan ketersediaan lahan untuk kolam. Masyarakat Dusun Dengok sebagian besar memang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama dan sampingan,
12
masyarakat di dusun ini masih memiliki karakter masyarakat agraris walaupun jika dilihat dari letak wilayahnya sangat dekat dengan perkotaan. Hal ini tidak mengherankan, karena tanah di wilayah ini memang tergolong subur dan sangat cocok untuk pertanian. Selain itu adanya sungai yang hampir mengalir sepanjang tahun memberikan ketersediaan air yang cukup memadai untuk irigasi dan semakin mendukung perkembangan sektor pertanian dan perikanan. Ketersediaan air inilah yang coba dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengembangkan sektor lain yaitu perikanan air tawar untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya, walaupun debit air menurun terutama saat musim kemarau. Berbagai potensi sumber daya alam yang mendukung perikanan di Dusun Dengok nampaknya juga didukung dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai sadar akan pemenuhan kebutuhan gizi dengan mengkonsumsi ikan. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Bupati Kulon Progo, konsumsi ikan perkapita di Kabupaten Kulonprogo mengalami peningkatan, pada tahun 2007 konsumsi ikan per kapita sebesar 23,14 kg dan pada tahun 2011 meningkat menjadi sebesar 27,78 kg. Kesadaran masyarakat akan peningkatan gizi melalui konsumsi ikan ini tentu saja menjadi angin segar bagi pelaku budidaya dan pengolahan ikan sekaligus menjadi salah satu potensi berkembangnya sektor perikanan air tawar ini. Kelompok pembudidaya ikan di Dusun Dengok ini sudah lama didirikan. Sebelum kelompok ini dibentuk, masyarakat sebenarnya sudah
13
mengembangkan perikanan namun masih bersifat individual, baru setelah itu dibentuklah kelompok pembudidaya ikan tersebut sebagai sebuah komitmen bersama masyarakat khususnya petani ikan untuk mengembangkan sektor perikanan air tawar secara bersama. Kelompok Pembudidaya Ikan Argomino memiliki visi dan misi yang cukup jelas, hal ini ditunjukkan dengan konsistensi kelompok yang fokus mengembangkan komoditi ikan jenis nila merah beberapa tahun terakhir. Usaha yang dilakukan oleh kelompok ini cukup kompleks mulai dari budidaya, pengolahan dan pemasaran. Sejak pertama kali berdiri, kelompok ini juga menunjukkan perkembangan yang positif, dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang didapatkan karena prestasinya, salah satunya adalah penghargaan pada tingkat nasional UPT Sembada. Pertanian ikan serupa sebenarnya sudah dikembangkan khususnya di Kabupaten Kulon Progo, yaitu di dusun Dengok saja, saat initerdapat sekitar 40 kelompok petani ikan yang anggotanya berjumlah 764 orang. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kabupaten Kulon Progo telah ditunjuk sebagai masterplan kawasan Minapolitan dan Kecamatan Nanggulan menjadi pusatkawasan tersebut sesuai dengan Peraturan Bupati nomor 4 tahun 2015 yang telah dikeluarkan. Dengan penetapan ini tentu menjadi peluang tersendiri bagi perkembangan sektor perikanan, karena akan mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah pusat baik modal maupun dukungan alat bantu produksi. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak positif untuk kemajuan
14
kelompok petani ikan yang ada di Dusun Dengok, masyarakat akan lebih termotivasi untuk memajukan kelompok dan kelompok juga akan lebih mudah mendapatkan akses terhadap fasilitas yang diberikan pemerintah misalnya, karena dengan penetapan Kulonprogo sebagai kawasan Minapolitan akan menciptakan komitmen pemerintah daerah untuk lebihserius membangun sektor perikanan. Sektor perikanan air tawar memiliki potensi dan peluang yang menjanjikan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya untuk wilayah Kabupaten Kulonprogo. Namun, disamping berbagai peluang dan potensi yang ada, juga terdapat berbagai hambatan dalam mengembangkan sektor ini. Menurut penelitian, dibutuhkan minimal 4000 m² agar mendapatkan untung, padahal rata-rata kepemilikan kolam saat ini baru 500 m². Masalah ini juga dialami oleh Pokdakan Argimino, kelompok ini baru memanfaatkan 4.550 m² total dari seluruh kolam yang dimiliki anggotanya. Menurut ketua Pokdakan Argimino, produksi ikan nila bisa mencapai 2 ton per periodepanen atau selama 3,5 bulan, namun nilai ini masih cukup jauh dari hasil yang ideal, dengan luas kolam 4.550 m² seharusnya bisa menghasilkan produksi ikan sebesar 5 ton per panen. Kendala lain yang sering ditemui adalah masalah ketersediaan air, terutama di musim kemarau, kendala ini memang merupakan kendala klasik yang
sering
terjadi
di
pertanian
pada
umumnya.
Hambatan
lain
berkembangnya bidang pertanian terutama perikanan yaitu saat ini sektor ini
15
masih dianggap usaha sampingan saja, kebanyakan petani masih belum menyadari bahwa usaha ini jika digarap secara serius akan mendatangkan profit yang tinggi. Dengan kata lain motivasi para petani masih rendah, atau mungkin masih pesimis akan keberhasilannya dari usaha ini. Kondisi ini tidak lepas dari realita yang ada di negara ini, bahwa petani selalu identik dengan kemiskinan, bermitra dengan sektor tradisional ini sering dianggap tidak menguntungkan dan beresiko. Stigma ini harus dihilangkan dengan terusmenerus “memprovokasi” masyarakat bahwa sektor pertanian bukanlah jalan yang menghantarkan pada “gerbang kemiskinan” dan layak untuk dikembangkan sebagai mata pencaharian utama. Semangat untuk berkembang ini perlu ditingkatkan karena menjadi modalsosial yang penting dengan didukung semangat gotong-royong yang menjadikarakter masyarakat desa dan nilai-nilai budaya Indonesia pada umumnya. Hasilpositif dari kelompok pembudidaya ikan ini diharapkan juga dapat memberikanmotivasi bagi masyarakat di luar kelompok untuk ikut bergabung
dengankelompok
serta
dapat
mengangkat
kesejahteraan
masyarakat, khususnyamasyarakat miskin. Berbagai pengembangan usaha air ikan tawar banyak di lakukan oleh para petani ikan dalam usahanya unjuk meningkatkan ekonomi mereka, di Yogyakarta yang jumlah konsumsi ikan air tawar cukup tinggi. Hal ini banyak dibuktikan dengan banyaknya usaha rumah makan dengan pemancingan ikan. Dengan potensi seperti itu, maka budidaya ikan air tawar memberikan peluang yang besar bagi peningkatan kesejahteraan.Di Kulon Progo sendiri juga sudah
16
mengembangkan berbagai macam jenis budidaya ikan, salah satunya dengan pemanfaatan kolam terpal yang sudah dilakukan oleh masyarakat dusun Dengok yang ada di Kecamatan Nanggulan. Kecamatan Nanggulan memiliki wilayah yang subur dan banyak yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Namun hanya di dusun Dengok yang merupakan pegunungan tandus yang tanahnya menyerupai batuan kapur yang tidak cocok sebagai daerah pertanian. Hanya batu dan pohon jati yang bisa tumbuh di dusun Dengok. Dusun dengok
mempunyai tekstur tanah
dengan kemiringan sampai 40 derajat sebagian besar terletak diatas topografi selokan. Dengan keadaan yang demikian ditambah dengan keadaan tanah yang disana yang bisa disebut tanah labil ( tanah yang selalu bergerak) sehingga tidak bisa ditanami oleh tanaman produktif semisal tanaman padi dan palawija, sehingga membuat keadaan masyarakat disana menjadi teralienasi. Dalam keadaan ini sebagian masyarakat disana mempunyai insiatif untuk memperbaiki keadaan ini dengan cara membentuk sebuah kelompok pembudidaya ikan, hal tersebut bermula dari sesorang warga yang mempunyai pengetahuan yang lebih di bidang perikanan. Masyarakat setempat gotong royong menggunakan tekhnologi seadanya untuk memenuhi kebutuhan air. Kondisi yang kekurangan air dan lokasi yang cukup sulit bisa teratasi dengan pengetahuan yang mereka miliki. Penggunaan terpal di dasar kolam,pengkondisian agar air yang telah berada di dalam kolam bisa digunakan beberapa kali tanpa harus mengganti air.bentuk
17
bentuk penguasaan teknis hasil eksperimen dari masyarakat,berhasil mengatasi persoalan di dusun Dengok. Dengan semangat kebersamaan anggota pokdakan Argomino dalam membangun sebuah usaha yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat yang akhirnya berdampak juga pada bertambahnya pengetahuan anggota kelompok tentang perikanan. Sehingga dengan pengetahuan tentang perikanan yang dimiliki oleh anggota kelompok dapat mewujudkan kemandirian dalam program kolamisasi, setelah tercapai kemandirian, maka tujuan utama kelompok ini yaitu meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi
anggota
kelompok dan masyarakat Dusun dengok pada umumnya.
C. Rumusan Masalah Bagaimanakah proses program pemberdayaan kelompok petani budidaya ikan air tawar?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian : Mengetahui proses pemberdayaan kelompok petani budidaya ikan air tawar. Manfaat Penelitian : Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diuraikan di bawah ini: 1. Manfaat Teoritis.
18
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dimasa depan mengenai implementasi pemberdayaan masyarakat melalui Pokdakan Argomino. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini semoga menjadi sumbangsih pemikiran dan masukan bagi perencana program-program tanggung jawab sosial terutama di bidang pembangunan ekonomi terkait dengan adanya kepedulian terhadap masa depan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka 1. Empowerment Sebagai Kuasa Memandirikan Masyarakat Menurut Jim Ife (1995) dalam Suparjan dan Hempri (2003) disebutkan instrumen yang paling menunjang dalam prinsip pembangunan masyarakat yang didalamnya juga terdapat prinsip empowerment atau pemberdayaan. Prinsip-prinsip itu meliputi keberlanjutan, pemberdayaan, kemandirian, pembangunan organis, tahapan pembangunan, pembangunan komunitas, proses dan hasil, inklusif, kooperatif, dan partisipasi. Meskipun berbeda- beda namun dapat ditarik prinsip- prinsip umum pembangunan sebagai berikut (Soetomo, 2006:30): a. Bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga masyarakat. b. Mengutamakan pendayagunaan potensi dan sumber- sumber setempat. c. Mengutamakan kreatifitas dan berinisiatif dari masyarakat. d. Mengutamakan partisipasi masyarakat.
19
e. Merupakan proses perubahan yang disengaja dan terarah. World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara atau menyuarakan pendapat, ide, atau gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih sesuatu (konsep, metode, produk, tindakan) yang terbaik bagi pribadi, keluarga,dan masyarakatnya. Dengan kata lain pembangunan masyarakat merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat. Mendukung pendapat di atas, Suzane Kindervatter (1979:13) mengatakan
bahwa
proses
pemberdayaan
bermakna
peningkatan
kemampuan seseorang baik dalam arti pengetahuan, keterampilan, maupun sikap agar dapat memahami dan mengontrol kekuatan sosial, ekonomi dan politik sehingga dapat memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat. Dari penjelasan tersebut maka seseorang yang sedang berada dalam proses pemberdayaan terlibat secara aktif dalam kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga ia mampu berdiri sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya dengan orang lain dan dapat mengatasi permasalahannya sendiri. Pemberdayaan tidak lepas dari kemandirian dan partisipasi masyarakat. Kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung kepada otoritas dan tidak membutuhkan arahan secara penuh (Parker, 2005:223). Berangkat dari definisi tersebut
20
maka dapat diambil pengertian kemandirian adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri, tumbuh dan berkembang karena disiplin dan komitmen sehingga dapat menentukan diri sendiri yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku yang dapat dinilai (Bahara, 2008) Menurut
Beller
(1986),
kemandirian
atau
kesiapan
dan
kemampuan individu untuk berdiri sendiri yang ditandai dengan keberanian mengambil inisiatif, mencoba mengatasi masalah tanpa minta bantuan orang lain, memperoleh kekuatan dari usaha- usaha, berusaha dan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan. Masrun, dkk (1986) menyatakan bahwa lima komponen kemandirian yang utama yaitu bebas progresif, ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam, dan kemantapan diri . (Amien, M., 2005 :78) Proses
kemandirian
selalu
diikuti
dengan
partisipasi.
Mengembangkan kapasitas suatu masyarakat bisa melalui partisipasi. Partispasi
merupakan
komponen
penting
dalam
pembangkitan
kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo,1995: 84). Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk pembangkitan semangat hidup menolong dirinya sendiri (Paul, 1987).
21
Kesejahteraan disini bukanlah sekadar pemenuhan kebutuhan pokok, namun Goulet (Todaro, 1981) mengemukakan sedikitnya ada 3 nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu: a. Tercapainya swasembada yang artinya kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar yang mencakup: pangan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan, keamanan, rekreasi, dan lain sebagainya. b. Peningkatan harga diri yang bearti mengembangkan rasa percaya diri untuk hidup mandiri yang tidak bergantung kepada pihak lain dan yang terlepas dari penindasan fisik maupun ideologi dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka. c. Memperoleh suasana kebebasan, adanya kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan dan untuk memilih alternatif yang dapat dan boleh dilakukan untuk mewujudkan perbaikan mutu-hidup atau kesejahteraan terus menerus bagi setiap individu sebagai warga masyarakat yang sedang membangun tanpa adanya rasa takut da tekanan dari pihak lain. Beal (1964) menyatakan bahwa partisipasi yang tumbuh karena pengaruh atau karena adanya rangsangan dari luar, merupakan gejala yang dapat diindikasikan sebagai proses perubahan social yang eksogen (exogenous change). Karakteristik dari partisipasi ini adalah, semakin mantapnya social network yang “baru” yang membentuk suatu jaringan
22
social bagi terwujudnya suatu kegiatan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diinginkan. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Menurut Prety, J., 1995, ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut - turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu : 1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak
oleh
pelaksana
proyek
tidak
memperhatikan
tanggapan
masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka. 2. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan pertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk
23
terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat. 3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan
pandangan
masyarakat
(sebagai
masukan)
untuk
ditindaklanjuti. 4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untukmemperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. 5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan kemandiriannya. 6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragama perspektif dalanm proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan
24
keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. 7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas(tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kandali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
Ada enam bentuk partisipasi masyarakat lokal, yang secara berurutan semakin baik, yaitu: Bentuk Partisipasi
Tipe Partisipasi
Peran Masyarakat
Co-option
Tidak ada input apapun dari masyarakat lokal yang dijadikan bahan
Co-operation
Terdapat insentif, namun Employees proyek telah didesain oleh subordinat pihak luar yang menentukan seluruh agenda dan proses secara langsung Opini masyarakat ditanya, clients namun pihak luar menganalisis informasi sekaligus memutuskan bentuk aksinya sendiri
Consultation
Collaboration
Masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk menentukan
Subyek
atau
Collaborators
25
prioritas, dan pihak luar bertanggungjawab langsung kepada proses Co-learning
Collective-action
Masyarakat lokal dan luar saling membagi pengetahuannya, untuk memperoleh saling pengertian, dan bekerjasama untuk merencanakanaksi, sementara pihak luar hanya memfasilitasi Masyarakat lokal menyusun dan melaksanakan agendanya sendiri, pihak luar absen sama sekali
Partners
Directors
Sumber:Syahyuti,2006 Menurut Kunarto (1993:13) top down planning adalah perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau sasaran yang ditetapkan di tingkat nasional dalam tingkat makro, kemudian di terjemahkan ke dalam perencanaan yang lebih mikro atau perencanaan tingkat daerah. Sedangkan buttom up planning adalah perencanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam perencanaan tingkat mikro/proyek.
Ginandjar
Kartasasmita (1997: 114-115) mengatakan perencanaan top down dan perencanaan buttom up termasuk kelompok perencanaan menurut proses/hirarki penyusunan. Menurut Ginandjar, perencanaan dari top down merupakan pendekatan perencanaan yang menerapkan cara penjabaran rencana induk ke dalam rencana rinci. Rencana rinci yang berada di bawah adalah penjabaran rencana induk yang berada di atas. Sedangkan perencanaan buttom up dianggap sebagai pendekatan perencanaan yang
26
seharusnya diikuti karena dipandang lebih didasarkan pada kebutuhan nyata. Pandangan ini timbul karena perencanaan dari bawah ke atas ini dimulai prosesnya dengan mengenali kebutuhan ditingkat masyarakat yang secara langsung terkait dengan pelaksanaan dan mendapat dampak dari kegiatan pembangunan yang direncanakan. Maka pendekatan perencanaan buttom up dirasa paling sesuai untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat.
2. Pemaknaan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Kesejahteraan Masyarakat dalam konteks pembahasan George Herbert Mead dan Blummer dalam teori interaksionisme simbolik adalah organisasi sosial tempat akal budi (mind) serta diri (self) muncul. Masyarakat sebagai polapola interaksi dan institusi. Pola-pola interaksi tersebut dapat diukur dari tindakan, gestur, simbol, pikiran seseorang/masyarakat tersebut. Tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Manusia bertindak atau bersikap pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada
bahasa. Bahasa
menentukan bagaimana
proses
pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif
27
interaksionisme simbolik. (Ritzer, 2009:289.Lebih singkatnya pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis utama, yaitu: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain. 3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Kuswarno, 2008: 22). Istilah pemberdayaan masyarakat sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 1990-an di banyak Millennium Development Goals(NGOs), baru setelah konfrensi di Beijing 1995 pemerintah menggunakan istilah yang sama.
Para
ilmuwan
sosial
memberikan
pengertian
mengenai
pemberdayaan memiliki rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajiannya. Salah satunya menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero dalam bukunya yang berjudul “Community Development” yaitu pemberdayaan berasal dari istilah bahasa inggris “empowerment” yang secara luas bisa juga diartikan sebagai “pemberkuasaan”. Pemberdayaan menurutnya adalah pemberian atau pemberkuasaan kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung dengan tujuan meningkatkan keberdayaan mereka yang dirugikan (the disadvantaged), dalam hal ini terdapat dua konsep penting yaitu keberdayaan dan yang – dirugikan.
28
Berdasarkan
dua
konsep
tersebut
maka
dalam
program
pemberdayaan masyarakat, yang lemah harus mampu berkembang menjadi kuat, mandiri, berdaya dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya serta sejahtera terutama dibidang ekonomi. Sedangkan menurut Edi Suharto pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Dimana sebagai proses pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok yang lemah di dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sedangkan sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai dalam sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat
yangberdaya,
memiliki
kekuasaan
atau
mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan rangkaian untuk memperkuat kelompok yang lemah di dalam masyarakat sehingga menjadi berdaya melalui peningkatkan pengetahuan, kemandirian, serta kemampuan potensi yang telah dimiliki sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam dunia pemberdayaan masyarakat ada beberapa macam tujuan pemberdayaan, namun pemberdayaan yang diarahkan pada peningkatan ekonomi menjadi pilihan terbanyak yang dilakukan oleh para pekerja sosial yang terjun di masyarakat. Dengan tujuan terciptanya
29
pembangunan berbasis kebutuhan terutama dalam hal perekonomian, maka hal tersebut haruslah didorong dan didukung dengan berbagai sarana. Diantaranya dengan mengasosiasikan bisnismikro, pengembangan koprasi, pendampingan pertanian, perkebunan, serta peternakan. Selain itu dalam proses pemberdayaan ada beberapa modal yangharus dimiliki penguat serta pendukung pemberdayaan agar proses ini dapat menggiring pada peningkatan keberdayaan masyarakat yaitusebagai berikut: a. Modal fisik (phisical capital), adalah fasilitas atau aset yangdigunakan
sebagai
salah
satu
alat
dan
pendukung
utamaterselenggaranya suatu proses usaha atau aktivitas dalam rangkapencapaian tujuan (pemberdayaan masyarakat) seperti gedung, jalan, alat-alat, mesin, dan sebagainya. b. Modal manusia (human capital), adalah aset yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu. c. Modal sosial (social capital), adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, dalam rangka tercapainya tujuan bersama untuk menciptakan nilai. d. Kemampuan pelaku pemberdayaan yaitu adanya kemampuan yang dimiliki oleh pelaku pemberdaya yang diharapkan dapat membantu memberdayakan masyarakat tersebut. Dalam hal inipelaku adalah siapapun yang memiliki kemauan untuk merubahkeadaan yang ada di masyarakat, bisa pekerja sosial sendiri
30
ataumasyarakat lokal (stakeholders). Modal yang telah disebutkan di atas merupakan beberapa komponen yang mampu menguatkan dan mendukung terjadinya pemberdayaan sehingga proses yang dilakukan memudahkan menuju tujuan yang diinginkan. Proses merupakan sebuah rangkaian perjalanan yang terjadi dalam kejadian yang berlangsung dari awal kejadian dimulai tersebut hingga akhir.
Dengan
demikian
memberdayakan
masyarakat
sejatinya
memerlukan waktu yang panjang (tidak seketika). Dalam sebuah pemberdayaan masyarakat tidak lepas dari adanya sebuah proses yang panjang agar mereka menjadi lebih berdaya, dan cenderung dikaitkan sebagai usur pendorong sosial ekonomi dan politik. Pemberdayaan sendiri merupakan suatu upaya dan proses bagaimana agar berfungsi sebagai power dalam pencapaian tujuan yaitu pengembangan diri dan kemandirian. Secara konseptual menurut Saraswati, seperti yang dikutip Alfitri dalam bukunya yang berjudul “Community Development: Teori dan Aplikasi”, proses pemberdayaan setidaknya mencakup enam hal berikut: a. Learning by doing, artinya adanya proses belajar dan langsungditerapkan secara continu. b. Problem
solving,yaitu
adanya
proses
terjadinya
pemecahanmasalah. c. Self evaluating, yaitu adanya proses melakukan evaluasi secaramandiri.
31
d. Self development and coordination,yaitu adanya proses untuk mengembangkan diri dan berkoordinasi dengan pihak luar secara lebih luas. e. Self selection,yaitu mampu memilih dan menilai secara mandiri dalam menentukan langkah kedepan. f. Self decisim,pada proses adanya kepercayaan diri dalam memutuskan sesuatu secara mandiri. Keenam unsur tersebut merupakan pembiasan untuk berdaya sebagai penguat dan pengait pemberdayaan jika dilakukan secara kontinyu, kemudian semakin lama semakin kuat dan akan terjadi proses menggelinding dengan sendirinya. Sedangkan menurut Suharto yang dikutip oleh Edi suharto, pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan
dilakukan
dengan
melalui
penerapan
pendekatan
pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P yaitu: a. Pemungkinan:
menciptakan
suasana
yang
memungkinkan
masyarakat dapat berkembang. b. Penguatan: adanya penguatan pengetahuan dan kemampuan yang diberikan kepada masyarakat sehingga mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya. c. Perlindungan: adanya perlindungan terutama kelompok yanglemah dari kelompok yang kuat dan menghindari dari persaingan yang tidak seimbang.
32
d. Penyokongan: artinya adanya dukungan agar masyarakat mampu melakukan peranan dan tugasnya. e. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan
distribusi
sehingga
setiap
orang
memiliki
kesempatan berusaha. Indikator Keberdayaan pada dasarnya sebuah pemberdayaan lebih menekankan proses dibandingkan dengan hasil yang diharapakan. Secara umum pemberdayaan menginginkan adanya sebuah kemandirian yang akan dicapai pada proses akhirnya. Dengan tujuan kemandirian tersebut maka menjadi salah satu bekal yang akan menjadi titik fokus seorang pemberdaya dalam melakukan pemberdayaan di masyarakat. Konsep kemandirian menurut Jim Ife dan Frank Tasorairo berkaitan erat dengan teori partisipasi. Menurutnya sebuah program pemberdayaan harus mendorong pengakuan dan peningkatan baik hak maupun kewajiban untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat akan menjadi kunci dalam menunjang keberhasilan program pemberdayaan. Artinya partisipsi aktif masyarakat akan sangat berpengaruh pada keberhasilan program pembangunan dibidang pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat akan terbentuk dari beberapa sebab modal sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan konsep pembangunan yang diterapkan oleh seorang pemberdayan. Konsep pembangunan sendiri menurut Edi Suharto ada tiga tipe diantaranya yaitu pembangunan yang berbasis pada pertumbuhan, pembangunan yang berbasis pada kebutuhan
33
serta pembangunan yang menyejahterakan masyarakat. Sementara modal sosial jika dikembangkan ada beberapa diantaranya seperti modal potensi wilayah lokal, modal kemampuan berinteraksi, kemampuan mengambil keputusan dan lainnya. Namun yang dimaksud Peneliti disini adalah modal sosial yang timbul dari perpaduan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Perpaduan dimensi ini akan bermuara pada pengembangan masyarakat melalui penguatan modal sosial. Modal sosial yang dimaksud adalah kemampuan
berinteraksi,
bekerjasama
serta
membangun
jaringan
keterlibatan antar warga yang nantinya akan bermanfaat terhadap tercapainya peningkatan kemandirian baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa indikator keberhasilan dari sebuah proses pemberdayaan pada dasarnya tidak memiliki satu diameter ukuran yang pasti. Namun jika keberhasilan dalam hal ini dikaitkan dengan tingkat keberdayaannya maka seperti konsep yang dijelaskan oleh Soeharto dalam bukunya bahwa ada empat hal yang harus dilihat tingkat keberdayaan suatu masyarakat, diantaranya yaitu : a. Tingkat kesadaran dan keinginan untuk berubah (power to). Artinya adanya kesadaran keinginan untuk berubah dari ketidakberdayaan. b. Tingkat kemampuan meningkatkan kapasitas untuk memperoleh akses (power within). Artinya kemampuan meningkatkan kapasitas dari yang tidak bisa dan tidak memiliki ketrampilan menjadi memiliki
34
kemampuan ketrampilan atau skill dalam bidang tertentu dan mampu mengaksesnya. c. Tingkat kemampuan menghadapi hambatan (power over). Yaitu adanya peningkatan kemampuan dari yang tidak bisa melakukan apapun
hingga
bisa
menghadapi
hambatan-hambatan
dalam
kehidupannya. d. Tingkat kemampuan kerjasama dan solidaritas (power with). Yaitu dari yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan klien atau rekan kerja dalam tim hingga berubah dan meningkat menjadi mampu bekerjasama dengan tim atau kelompok kerjanya (klien). Dari beberapa indikator keberdayaan diatas yang dilihat dari segi kemampuan dan kekuasaan masyarakat maka akan muncul perubahan sikap maupun pola pikir yang terjadi di masyarakat. Namun jika keberdayaan masyarakat ini di kaitkan dengan aspek Ekonomi seperti yang dijelaskan Tulus dalam bukunya, maka suatu masyarakat bisa dikatakan berdaya jika terjadi perubahan dan peningkatan sebagai berikut: a. Terciptanya
peluang
pekerjaan
atau
usaha
baru
dan
berkurangnyajumlah pengangguran b. Meningkatnya pendapatan baik individu maupun kelompok c. Peningkatan mengakses teknologi dan pasar yang lebih besar d. Berkurangnya tingkat masyarakat yang miskin Dari beberapa indikator yang telah disebutkan di atas maka peneliti akan mengukur tingkat keberhasilan dalam sebuah proses pemberdayaan
35
masyarakat dari tingkat keberdayaan dalam aspek perubahan kemapuan atau kekuasaan serta perubahan ekonomi. Konsep Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan menuntut adanya suatu kerjasama serta peningkatan semangat gotong royong antar berbagai pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan. Kristina Tening memaparkan bahwa ekonomi kerakyatan di Indonesia biasanya berbasis pertanian dan akan menopang pelaksanaan otonomi daerah. Sektor pertanian merupakan sector yang tangguh dalam menghadapi gelombang resesi ekonomi, memiliki pangsa pasar yang luasdan juga sebagai substitusi impor. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, telah berhasil diidentifikasi beberapa ciri sektor industri kecil atau UKM di Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Tidak formal dan jarang yang memiliki rencana usaha, (2) Struktur organisasi bersifat sederhana, (3) Jumlah tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang longgar, (4) Tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dan perusahaan, (5) Sistem akuntansi kurang baik, bahkan tidak memiliki, (6) Skala ekonomi terlalu kecil, sehingga sukar menekan biaya, (7) Kemampuan pemasaran dan diversifikasi usaha terbatas, (8) Margin keuntungan sangat tipis, (9) tidak mampu memenuhi persyaratan administratif untuk memperoleh bantuan bank,(10) Cenderung melakukan
pemasaran
langsung
kepada
konsumen,
(11)
tingkat
ketergantungan kepada fasilitas pemerintah cenderung sangat besar, (12) cenderung menggunakan teknologi tradisional (Revrisond Baswir, 1995).
36
Community Empowerment atau pemberdayaan masyarakat telah diterima menjadi sebuah strategi dan sudah diimplementasikan cukup lama di negara-negara maju. Namun, paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan ini baru populer dan diterapkan oleh pemerintah Indonesia baru beberapa dekade terakhir. Pergeseran strategi pembangunan ini telah menjadi komitmen bersama Negara-Negara di Dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi(KTT) Pembangunan Sosial di Copenhagen (Tahun 1995), inilah awal dari komitmen global dan regional memberikan perhatian secara proporsional dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Disadari pula telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan nasional, termasuk pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu dengan memberikan
peran
kepada
masyarakat
sebagai
pelaku
utama
pembangunan yang diikuti dengan komitmen politik melalui penerapan otonomi daerah (Undang Undang Nomer 32 Tahun 2004Tentang Pemerintah Daerah), dengan meletakkan kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan pada daerah Kabupaten/Kota. Hal ini juga merupakan alternatif dari konsep pembangunan di masa lalu, seperti pemikiran Friedmann, alternative development: inclusive democracy, approtiate economic growth, gender equality, sustainability. Dalam pemikiran ini terkandung esensi dari pemberdayaan yang dijadikan alternatif atau strategi baru dalam sebuah kerangka
37
pembangunan. Konsep berdaya dalam kerangka pemberdayaan, perlu dicarikan titik temu(kesepakatan kultural) antara kelompok sasaran dengan peneliti atau penggagas pembangunan. Kesepakatan
kultural
demikian
merupakan
suatu
strategi
bagaimana memperbaiki kualitas hidup masyarakat sasaran tanpa meninggalkan kebudayaan mereka, sebagai mana pendapat De Lisi (1990) yang dikutip oleh Paul Bate (1994: 17): “Good strategy only equals success when we possess an appropriate culture”. Pemberdayaan yang identik dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budaya dan justru menggunakan kekayaan lokal sebagai modal utama disebut sebagai sebuah strategi yang baik, artinya bahwa strategi pembangunan yang bagus merupakan pembangunan yang menggunakan kerangka pemberdayaan. Chambers, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan baru yang bersifat “peoplecentered”,
participatory,
empowering,
dan
sustainable.
Konsep
pemberdayaan lebih luas dari sekedar upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau sekedar mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan. Pendapat yang kemukakan oleh Chambers tersebut semakin memperjelas bahwa pembangunan saat ini harus berdasar pada esensi pemberdayaan dan menempatkan pemberdayaan itu sendiri sebagai sebuah strategi pembangunan yang baru dengan mengedepankan partisipasi dan wewenang yang lebih kepada masyarakat serta keberlanjutan.
38
Menurut
Kartasasmita,
upaya
pemberdayaan
rakyat
harus
dilakukan melalui tiga cara. Pertama, menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat semakin berdaya. Penguatan potensi yang dimaksud diantaranya adalah: a. Peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan. b. Akses terhadap sumber kemajuan ekonomi (modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar). c. Pembangunan prasarana dan sarana fisik maupun sosial yang dapat diakses masyarakat paling bawah. d. Ketersediaan lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran pada masyarakat yang keberdayaannnya paling bawah.
39
Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapai yang kuat. Maka, pengembangan
usaha
mengimplementasikan
terhadap dasar-dasar
Pokdakan
Argomino
pemberdayaan
selayaknya
sebagai
strategi
pengembangan dan pembangunan anggota kelompok maupun masyarakat. Dusun Dengok untuk mencapai tujuan dari kelompok serta mencapai tujuan dari pembangunan itu sendiri, yaitu kesejahteraan.
40