BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan sumber daya potensial di Indonsia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri R, Rais Y, Putra S, G, Sitepu, M.J, 2001). Garis pantai yang panjang menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati adalah sumber daya alam yang ada di permukaan bumi dan hidup, antara lain hewan dan tumbuhan, misalnya perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang. Potensi non hayati adalah sumber daya alam yang ada di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi tetapi tidak hidup, misalnya tanah, udara, mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Sumber daya alam di wilayah pesisir terdapat berbagai macam ekosistem. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Sumber daya alam pesisir laut umumnya berupa aneka makhluk hidup yang dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, ataupun dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk bertahan hidup. Semua sumber daya alam ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pesisir pantai untuk bertahan hidup. Hal ini merupakan suatu insting dari manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran. Ekosistem pesisir laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi, dan pariwisata. Hal ini
1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulaupulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove. Di Indonesia, hutan mangrove atau hutan bakau kurang lebih seluas 4,2 juta ha. 1 Hutan mangrove adalah hutan yang terdiri dari pohon-pohon besar dan tumbuhan perdu. Vegatasi mangrove merupakan tumbuhan halofit (hidup dengan adanya pengaruh garam), yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Faktor ekologis yang menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove adalah frekuensi air laut tergenang secara tetap, endapan lumpur atau pasir, dan percampuran antara air laut dengan air sungai di muara. Dengan kondisi yang spesifik ini, hutan mangrove berperan penting dalam stabilitas ekosistem pantai pesisir. MANFAAT HUTAN MANGROVE Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian : 1. Fungsi ekonomis, yang terdiri atas : a. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang) b. Hasil bukan kayu •
1
Hasil hutan ikutan (non kayu)
(http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/05/hutan-mangrove-indonesia-sumberdaya.html).
2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
•
Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)
2. Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya: a. Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang. b. Pengendalian instrusi air laut c. Habitat berbagai jenis fauna d. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang e. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi f. Pengontrol penyakit malaria g. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air) Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak seimbang mengakibatkan luasannya semakin menurun. Kondisi ini tentunya mengancam kelangsungan hidup manusia. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial dan mendukung bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Rusaknya hutan mangrove diakibatkan oleh penebangan dalam skala besar. Tingginya interaksi manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan tingginya kerusakan kawasan hutan mangrove. Intensitas interaksi manusia dengan kawasan hutan mangrove yang begitu tinggi pada dasarnya juga dipengaruhi oleh fakor lain dan salah satu fakor pendorongnya adalah tuntutan ekonomi. Masyarakat di sekitar pesisir pantai memanfaatkan hutan mangrove yang merupakan sumberdaya alam sebagai jalan keluar mereka untuk dapat bertahan
3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hidup. Hutan mangrove yang kayunya banyak memiliki kegunaan untuk masyarakat menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk memanfaatkannya demi melangsungkan hidup. Seperti halnya di Desa Gambus Laut yang terletak di Kabupaten Batubara, masyarakat menggunakan kayu bakau untuk dijadikan arang yang kemudian dapat mereka jual dan bernilai ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka. Namun, pengolahan kayu bakau tersebut tidaklah diikuti dengan pelestarian kembali oleh masyarakat. Karena menurut pengetahuan masyarakat sekitar khususnya pembuat arang, kayu bakau yang telah dipotong akarnya akan kembali memunculkan tunas baru, sehingga hal inilah yang membuat masyarakat tidak melestarikan kembali hutan mangrove. Dari wawancara dengan Bapak Mujani ( 64 Tahun) yang mengatakan bahwa dahulu daerah Desa Gambus Laut ini dikelilingi oleh pohon bakau. Sekitar 30 Tahun yang lalu tanah di Desa Gambus Laut ini masih didominasi oleh rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon bakau, sehingga mau seberapa banyak pun kayu tersebut diambil tidak pernah habis. Oleh karena itu mereka merasa tidak perlu melakukan pelestarian terhadap pohon bakau tersebut. Dahulu ada tiga kepala keluarga yang bekerja sebagai pembuat arang. Mereka masing-masing memiliki satu tungku yang mempunyai kapasitas 300 kg kayu bakau. Pada awalnya pekerjaan membuat arang ini merupakan pekerjaan pokok mereka. Akan tetapi setelah mempunyai anak, mereka mengalami pertambahan kebutuhan ekonomi, selain membeli pangan untuk kehidupan sehari-hari mereka juga harus membiayai sekolah anak mereka. Sehingga Pak Mujani mulai berkebun, menanam pisang dan coklat. Namun pekerjaan pokoknya tetap membuat arang.
4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jenis hutan mangrove yang yang terdapat di pesisir pantai timur adalah jenis Rhizophora sp 2 yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat arang, dan jenis Avicennia sp. Arang pada masa dahulu sebuah komoditi yang sangat terkenal karena fungsinya sebagai salah satu sumber energi yang cukup bagus dan ramah lingkungan namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi arang lambat laun ditinggalkan dan beralih ke minyak bumi, batubara (bahan bakar fosil) dan listrik karena dianggap lebih praktis. Arang bakau memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Kayu dari hutan-hutan mangrove dipanen terutama 90% untuk produksi arang, misalnya di Sumatera (Boon 1936) 3. Salah seorang masyarakat di Desa Gambus Laut Mulyono (25 Tahun) mengatakan bahwa beberapa orang masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pembuat arang, dengan menggunakan kayu bakau yang terdapat di sekitar pesisir pantai. Para pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut bukanlah para produsen arang yang utama, atau yang produksinya terus menerus dilakukan. Usaha yang mereka punya masih dalam bentuk tradisional yang hanya dapat menghasilkan sedikit arang. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, lahan kosong yang terdapat di Desa Gambus Laut ini mulai dijual oleh para pemiliknya. Dikarenakan para pengusaha perkebunan yang ingin membuka lahan di daerah ini. Mulyono mengatakan bahwa pihak perkebunan berani membayar dengan nilai yang tinggi atas tanah mereka,
2
3
Jenis Rhizophoraceae merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Sumber: Departemen kehutanan, Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II. 2010. Cecep Kusmana, dkk. Manual Silviculture Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan KOICA. 2008
5 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga mereka banyak yang menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Lahan kosong yang tadinya rawa yang penuh dengan tumbuhan bakau sekarang sudah disulap oleh pihak perkebunan menjadi ladang sawit. Sehingga para pembuat arang mulai kesulitan untuk mencari bahan baku membuat arang. Para pembuat arang kemudian pergi ke pesisir pantai karena tumbuhan bakau di pesisir pantai masih banyak. Bapak Mujani mengatakan dahulu dia tidak mengambil bakau di pesisir, tetapi semenjak lahan kosong tempat dia biasa mengambil kayu bakau mulai ditimbun dan ditanami bibit sawit maka mereka mulai pergi ke pesisir untuk mengambil kayu bakau. Pada awal menjadi pembuat arang Bapak Mujani hanya memiliki satu tungku 4, setelah anak-anaknya dewasa Bapak Mujani mulai membangun satu tungku lagi untuk anaknya. Begitu juga dengan keluarga yang lain, sehingga ada sekitar enam tungku di Desa Gambus Laut. dan bahan baku yang diambil adalah dari pesisir pantai. Bapak Mujani dan pembuat arang lainnya tidak pernah mempelajari bagaimana penanaman kembali pohon bakau. Disamping minimnya pendidikan mereka, pemerintah juga tidak pernah memberikan pengarahan terhadap mereka para pembuat arang yang merupakan pengguna bakau. Sehingga lama kelamaan hutan bakau di pesisir Desa Gambus Laut mulai menipis dan rusak. Pada tahun 1990 sudah dikeluarkan keppres No. 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang terdapat pada pasal 26 yang berbunyi: “Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau dan tempat perkembangbiakannya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya dibelakangnya.” 4
Tungku adalah media yang di gunakan untuk membakar arang yang tebuat dari batu bata, pasir dan tanah liat.
6 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada pasal berikutnya di jelaskan batas kawasan hutan bakau, pada pasal 27 yang berbunyi: “Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.” Pada tahun disahkannya Keputusan Presiden ini kawasan pesisir khususnya hutan bakau di desa Gambus Laut dalam keadaan baik. Para pembuat arang menggunakan kayu bakau untuk diproses lebih lanjut menjadi arang dan hal ini merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat tersebut. Sejak lama mereka sudah bergelut dalam bidang pembuatan arang ini hingga sekarang. Gudang arang yang terdapat di daerah Gambus Laut ini 8 tungku dan saat ini yang aktif sekitar 6 tungku. Akan tetapi, pemanfaatan kayu bakau yang terus-menerus dilakukan sebagian masyarakat menyebabkan wilayah hutan bakau di desa Gambus Laut ini menjadi rusak, sehingga wilayah ini menjadi kawasa konservasi. Data tentang kondisi hutan menyatakan bahwa keadaan hutan mangrove di desa Gambus Laut ternyata lebih banyak luas hutan yang rusak. Kondisi Hutan Mangrove di desa Gambus Laut No Kondisi
Luas (ha)
1.
Luas hutan yang kondisinya baik
180
2.
Luas hutan yang kondisinya rusak
281
3,
Luas hutan produksi yang sudah siap diambil hasilnya
Sumber Data: Kantor Kepala Desa desa Gambus Laut, tahun 2011
7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada tahun 2007 muncul Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 35 pada Bab Larangan yang menjelaskan bahwa: “Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menebang mangrove dikawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain.” 5 Dari wawancara dengan salah seorang pegawai di Departemen Kehutanan Sumatera Utara, Bapak Ernest (31 Tahun) mengatakan bahwa wilayah pesisir di desa Gambus Laut ini termasuk dalam kawasan konservasi. Adanya pemetaan terhadap wilayah pesisir sebagai wilayah konservasi membuat masyarakat tidak dapat lagi menggunakan kayu bakau. Tuntutan untuk bertahan hidup membuat manusia akan mencari cara untuk dapat hidup dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dengan adanya larangan pengambilan bakau oleh pemerintah, dan juga keberadaan perusahaan di areal lokasi yang dulunya menjadi situs pengambilan bakau oleh para pembuat arang, menyebabkan munculnya permasalahan kehidupan (ekonomi) bagi para pembuat arang ini. Akses untuk pengambilan kayu bakau mulai ditutup. Pembuat arang menjadi kesulitan untuk mendapatkan kayu bakau. Pembuat arang di Desa Gambus Laut di satu sisi harus terus melanjutkan hidup dengan membuat arang, tapi di sisi lain adanya tekanan dari pemerintah kepada mereka, yaitu penangkapan yang dilakukan polisi hutan ketika pembuat arang mengambil arang di pesisir pantai. Pembuat arang yang terlihat mengambil arang di pesisir pantai akan ditangkap dan diinapkan dikantor dinas kehutanan selama dua sampai tiga hari. 5
Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil
8 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.2 Tinjauan Pustaka Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching dan Saenger (1987) di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 janis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku 6. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Hasil hutan mangrove non kayu ini sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat medukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Salah satunya adalah sumberdaya mangrove sebagai salah satu makanan alternatif. Mangrove memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, dan kayu bakar. Sebagai kayu bakar, secara tradisional 6
(http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/05/hutan-mangrove-indonesia-sumberdaya.html).
9 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
masyarakat biasanya memakai jenis Xylocarpus sp (Nirih atau Nyirih), dan terutama sebagai bahan pembuat arang biasanya dipakai Rhizophora sp. Oleh karena itu, keberadaan dan kelestarian hutan mangrove sangatlah penting untuk kesejahteraan manusia. Manusia adalah makhluk budaya yang akan menggunakan kebudayaannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makluk soaial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi. Dalam pengertian ini kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri menghadapi lingkungan tertentu (fisik/alam, sosial, dan kebudayaan) untuk mereka dapat tetap melangsungkan kehidupannya (Harahap: 1996). Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka (Spadley;1997). Spradley (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran (mind) manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran individu sebagai anggota dalam masyarakat. Sehingga untuk mengetahui dan
10 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk taxonomi 7. Apapun yang dihasilkan oleh setiap manusia baik yang bersifat nyata seperti artefak maupun yang bersifat abstrak seperti pengetahuan yang ada dalam pikiran seseorang sudah tergolong kepada hakekat karya manusia yang merupakan bagian dari kebudayaan. Erat kaitannya dengan hal tersebut adaptasi dalam cara hidup juga merupakan bagian dari kebudayaan serta pengalaman yang di dapat dalam setiap rentetan kehidupan yang dijalani manusia. Dalam rangka adaptasi manusia terhadap lingkungannya, Cohen (1968) mengatakan bahwa adaptasi adalah salah satu proses yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam memanfaatkan sumber-sumber daya alam lingkungan tempat hidupnya dan mendayagunakan untuk tujuan-tujuan produktif juga mempertahankan kelangsungan hidupnya (Harahap: 1996). Penelitian adaptasi masyarakat dengan lingkungan telah banyak diteliti oleh para ahli, Julian Steward yang menjelaskan hubungan timbal balik yang terjadi antara kebudayaan dan lingkungan mengenai penelaahan sudut adaptasi. Steward meneliti tentang adaptasi masyarakat primitive yang dilakukan pada masyarakat berburu dan meramu Shoshone di Great Basin, Amerika Utara. Ia menjelaskan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan Shoshone menurut ketersediaan sumberdaya dalam lingkungan hidup semi-gurun yang tandus. Ia menjelaskan bahwa kasus kepadatan penduduk, organisasi berbentuk kumpulan kecil beberapa keluarga yang
7
Folk taxonomi adalah sebuah metode yang ada dalam penulisan etnografi untuk membedah dan mengeluarkan “isi kepala” manusia dengan cara mengelompok-kan macam-macam informasi yang didapat dari hasil wawancara. Pengelompokan biasanya dilakukan dari sisi bahasa local karena dalam bahasa tersebut terdapat suatu kearifan tradisional yang tidak semua orang tahu.
11 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat tersebar dan pola menetap berubah-ubah pada teritori terbatas serta kurang kekuasaan pemimpin yang permanen semuanya tercermin pada ketidakmampuan teknologi Shoshone untuk mengekstraksi bahan makanan dalam jumlah banyak dan stabil dari sumber daya yang tersedia secara sporadic dan tersebar pada lingkungan yang gersang. Steward memandang dinamika organisasi sosial budaya sebagai hasil dari proses adaptasi manusia dan lingkungannya (Harahap, 1997: 8). Manusia yang sedang dalam keadaan mempertahankan hidup akan dengan segera melakukan aktifitas yang dapat dilakukannya untuk bertahanhidup, aktifitas tersebut tidak dilakukannya sendiri, melainkan dengan lingkungannya dan membentuk kelompok dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Selanjutnya penelitian oleh Cliffort Geertz tentang aktifitas adaptasi petani Indonesia Luar. Di Indonesia Luar (Sumatera) berkembang sistem ladang atau pertanian berpindah. Pertanian ladang atau Swidden 8 sebagaimana disebut antropolog, merupakan ladang yang setelah sekali panen, umumnya dua kali, kesuburan tanah berkurang maka tersebut lahan akan ditinggalkan, kemudian mencari bidang lahan baru di hutan yang kemudian akan dibersihkan. Lahan yang ditinggalkan secara perlahan akan kembali subur dalam 10-15 tahun kemudian, maka lahan itu bisa dibersihkan atau diusahakan kembali. Peladangan berpindah merupakan satu adaptasi pertanian yang efektif pada lapisan tanah yang kurang subur di daerah hutan basah tropis, dimana sebagian besar nutrein yang ada tersimpan pada vegetasi (Harahap, 1997: 9).
8
Sistem pertanian ladang adalah suatu sistem dimana petani menebas sebidang lahan di hutan, membiarkan vegetasi mongering dan kemudian dibakar sebelum ditanami dengan tanaman palawija. Sumber: R. Hamdani Harahap, Ekologi Manusia, (Medan: FISIP USU), hal:10.
12 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Konsep strategi adaptasi lain yaitu yang dikemukakan oleh A. Terry Rambo (1983) dalam ilmu ekologi manusia. Menurut Rambo, dalam kasus masyarakat manusia, adaptasi yang diterapkan adalah hasil seleksi alam pada tingkat kebudayaan atau sistem sosial yang berasal dari keputusan-keputusan dari individu atau kelompok. Keputusan yang dihasilkan adalah mengenai strategi berinteraksi yang menguntungkan dengan lingkungannya. Individu-individu atau kelompok membuat pilihan-pilihan mengenai eksploitasi sumberdaya yang tersedia pada saat ia memenuhi tuntutan hidup atau mengatasi ancaman-ancaman lingkungan. Dalam studi antropologi, adaptasi sering dilihat sebagai cara mempertahankan kondisi keberadaan kehidupan dalam menghadapi perubahan. Individu atau kelompok akan membuat pilihan, jika menguntungkan maka pilihan tersebut akan dipakai. (Nita Savitri, 1998, hal:15) Sama seperti penelitian di atas, penelitian yang diajukan peneliti juga mengenai adaptasi manusia terhadap lingkungannya (lingkungan hidup 9), lebih spesifik lagi yaitu strategi adaptasi yang dilakukan oleh para pembuat arang. Sumber daya alam yang terdapat di lingkungan sekitar tempat tinggal manusia yang biasa dapat diakses secara bebas kini tidak dapat lagi dimanfaatkan atau digunakan untuk kepentingan hidup manusia, sehingga manusia akan mencari cara untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada demi mensejahterakan hidupnya. Adaptasi budaya tidak bisa dilihat sebagai suatu yang statis yang dicapai pada saat permulaan sejarah suatu kebudayaan dan kemudian dipertahankan tidak berubah sampai kapanpun. Sebaliknya, hubungan antara manusia dan alam merupakan satu 9
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain Sumber: Peraturan tentang pengendalian dampak lingkungan 1998
13 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hubungan yang dinamis dimana keduanya terus-menerus beradaptasi dan beradaptasi ulang sebagai bentuk perubahan menanggapi pengaruh dari yang lain. 10 Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa mengatakan: “Adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumber-sumber daya lokal dengan mengikuti model dan patokan-patokan, standard konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.” Pengertian adaptasi ini menjadi sangat luas bahkan dapat dikatakan mencakup hampir seluruh pola perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Proses adaptasi manusia merupakan suatu bentuk kebudayaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perilaku manusia merupakan kebudayaan. Setiap perilaku kemudian dapat kita pandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai atau masalah yang dihadapi dapat diatasi. John W. Bennett (1969) membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive strategies (siasat-siasat adaptif) dan adaptive processes (proses-proses adaptif). Bagi Bennett hanya perilaku yang berkenaan dengan pencapaian tujuan atau penyelesaian masalah saja yang dapat dikatakan adaptif, dan lebih khususnya lagi adalah perilaku untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, yang meliputi keterbatasan atau kelangkaan sumber daya guna mencapai tujuantujuan atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan. Siasat-siasat adaptif berada pada tingkat yang disadari oleh yang menjalankannya, pelaku dapat 10
R. Hamdani Harahap, Ekologi Manusia, (Medan: FISIP USU), hal:18
14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merumuskan atau menyatakan siasat-siasat tersebut, berbeda dengan proses adaptif yang merupakan pernyataan formulasi dari pengamat atau peneliti. (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2003: 10). Pencapaian tujuan dan harapan yang dimaksudkan adalah tujuan dan harapan untuk dapat melangsungkan kehidupan dalam upaya bertahan hidup dengan lingkungan sekitar. Heddy Shri Ahimsa mengganti konsep adaptif menjadi adaptasi, sebab konsep adaptasi tidak menuntut pembuktian apakah suatu perilaku adaptif atau tidak. Setiap perilaku kemudian dapat kita pandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai atau masalah yang dihadapi dapat diatasi. Selanjutnya Bennett (1969) mengatakan, perilaku adaptasi mencakup pengambilan berbagai keputusan, atau lebih khusus lagi pemilihan atas sejumlah alternative. Perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Strategi adaptasi dapat didefenisikan sebagai pola-pola yaitu perilaku atau tindakan berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2003: 12). Sebagaimana telah dikatakan oleh Bennett di atas, maka secara sederhana strategi adaptasi dapat di defenisikan sebagai pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi di tempat tersebut. Seperti halnya para pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut. Mereka merupakan sekelompok orang yang mempunyai pola-pola dalam
15 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berbagai usaha untuk memanfaatkan sumberdaya alam demi mencapai tujuannya. Tujuan untuk dapat bertahan hidup dalam masalah-masalah yang ada disekitar mereka dan bagaimana cara mereka menyiasati ataupun beradaptasi dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di lingkungan hidup mereka. 1.3 Rumusan Masalah Dari uraian di atas, maka penelitian ini akan mengkaji bagaimana masyarakat, khususnya para pembuat arang, menghadapi keterbatasan dalam mengakses sumber daya alam yang terdapat di sekitar lingkungan mereka, terutama sumber daya bakau yang digunakan sebagai bahan pembuatan arang. Untuk lebih memudahkan dalam memahami permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, maka permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove terkait dengan kegiatan pembuatan arang? 2. Bagaimana pandangan masyarakat, khususnya para pembuat arang, terkait dengan adanya larangan dari pemerintah dalam mengakses sumber daya kayu bakau? 3. Lantas, bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh para pembuat arang tersebut? 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang dilakukan masyarakat dalam usaha untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk mengetahui bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka.
16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Manfaat penelitian ini adalah secara praktis, yaitu yang nantinya hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, dan memberi kontribusi yang berharga dalam memperluas wawasan pembaca, mahasiswa, para praktisi (LSM) atau pembuat kebijakan bahwa masyarakat pesisir itu menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk kelangsungan hidupnya. Manfaat secara akademis, untuk menambah kepustakaan pada bidang Antropologi, yaitu pada bidang masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Tipe penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menggambarkan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang dituju yaitu mengungkap pengetahuan para pembuat arang desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara tentang lingkungan hidup dan siasat para pembuat arang untuk bertahan hidup maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut. 1.5.2 Teknik pengumpulan data a. Lapangan o Informan Wawancara dilakukan dengan informan. Informan yang lazimnya dikenal ada tiga jenis, yaitu: informan pangkal, informan pokok atau informan kunci, dan informan biasa. Informan pangkal, yaitu orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dari
17 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penjelasan tersebut maka peneliti telah menentukan informan pangkal meliputi kepala desa, aparat pemerintah dinas kehutanan, dan dinas kelautan dan perairan. -
Bapak Kepala Desa di Desa Gambus Laut. Bapak Ernest, S.Hut (31 Tahun) merupakan Staff di Departement Kehutanan Sumatera Utara.
-
Bapak Aditya (25 Tahun) merupakan Pegawai di Dinas Kelautan dan Perairan Batu Bara.
Data yang telah diperoleh dari informan pangkal meliputi kondisi desa, dan keadaan lingkungan di sekitar pesisir Desa Gambus Laut. Informan pokok atau informan kunci, yaitu orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian, seperti para pembuat arang, pekerja di gudang arang dan para penjual kayu. -
Bapak Mujani (64 Tahun) merupakan Pembuat arang.
-
Bu Sani (50 Tahun) merupakan pembuat arang.
-
Bang Sutris (31 Tahun) merupakan pembuat arang.
-
Bang Sapri (30 Tahun) merupakan pembuat arang.
-
Kak Tuti
-
Kak Wati
-
Hasan (23 Tahun) merupakan pembuat arang.
Data yang telah diperoleh dari informan pokok tentang strategi adaptasi yang menjadi pokok permasalahan peneliti.
18 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Informan biasa, yaitu orang yang memberikan informasi mengenai sesuatu masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi bukan ahlinya, seperti masyarakat yang ada di sekitar gudang arang. -
Mulyono (25 Tahun) merupakan pekerja pabrik, dahulunya pernah bekerja bersama bapak Sutimin.
-
Nenek Ngatiem merupakan warga kampung Desa Gambus Laut.
-
Kakek merupakan warga kampung Desa Gambus Laut.
-
Hendra (23) penjual kayu
-
Arif ( 20 Tahun) anak pembuat arang
Jenis Informan
Individu
Informasi yang di dapat
Pangkal
Kepala Desa
- Sejarah desa,
data desa, batas-batas
desa, dan data kependudukan. Departement Kehutanan
Kawasan Hutan Lindung.
Dinas Kelautan dan Peraian Kunci
- Undang-undang tentang Pengelolahan
- Informasi tentang kondisi pesisir di Desa Gambus Laut
Pak Mujani
- Sejarah pembuatan arang, cara membuat arang, strategi adaptasi.
Bang Sutris
- Proses
pembuatan
arang,
cara
mendapatkan kayu, strategi adaptasi. Ibu Sutimin Biasa
Mulyono
Sani/Pak
- Cara
mendapatkan
kayu,
proses
pembuatan arang, - Tentang pembuat arang, lokasi pembuat
19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
arang, lokasi pengambilan kayu. Nenek Ngatiem dan
- Tentang aktifitas masyarakat sekitar.
Kakek Hendra
- Lokasi pengambilan kayu, hambatan dalam mengambil kayu, dan tentang para penjaga pantai.
Arif
- Lokasi pengambilan kayu, dan tentang penjaga pesisir pantai.
Data yang diperoleh dari informan biasa adalah tentang siapa-siapa saja yang bisa ditemui peneliti untuk mendapatkan informasi tentang masalah penelitian. o Wawancara Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data mengenai pandangan-pandangan Pembuat Arang di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara tentang hutan mangrove dan larangan dari pemerintah dalam mengakses sumber daya kayu bakau serta siasat mereka dalam bertahan hidup. Saat itu saya datang ke Desa Gambus Laut ini untuk melihat keadaan desa. Observasi awal saya sebelum saya tinggal di Desa Gambus Laut. Kemudian Mulyono membawa saya ke lokasi dapur arang. Wawancara pertama kali saya lakukan dengan Ibu Sani, dia adalah informan pertama saya. Wawancara dengan Ibu Sani sewaktu saya pertama kali datang ke Desa Gambus Laut. Saya melihat Bu Sani sedang memilah-milah kayu yang akan dibuat menjadi arang. Dia bersama suami dan dua orang anak laki-lakinya. Suami Bu Sani bernama Pak Sutimin. Ibu Sani agak terkejut dengan kedatangan saya, karena dia melihat saya bukan orang kampung sini
20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dia berfikir saya adalah wartawan yang mau mengambil berita tentang pembuatan arang dan masalah larangan pengambilan kayu bakau lalu saya memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa saya bukan wartawan, barulah pembicaraan dimulai dengan santai. Pertanyaan dimulai dari asalmuasal pembuatan arang. Dari mana mereka mempelajari pembuatan arang ini. Lalu pertanyaan berlanjut kepada cara pengambilan kayu. Bu Sani mengatakan bahwa dia dan suaminya tidak mengambil kayu sendiri. Mereka membeli kayu-kayu itu dari penjual kayu langganan mereka. Satu sampan berisi kayu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah. Bu Sani mengatakan kadang dia membeli sampai dua sampan berisi kayu. Dan terkadang hanya satu sampan saja. Tungku yang dimilikinya berkapasitas 200 kg. Proses Pembelian kayu tidak menggunakan sistem timbang berat, tapi hanya dengan sistem satu sampan, ntah berapa kilo isi kayu di sampan itu harganya tetap sepuluh ribu rupiah. Jika persediaan kayunya masih ada Bu Sani hanya membeli satu sampan saja. Namun, jika persediaan kayunya tinggal sedikit maka dia akan segera membeli kayu kembali. Tidak seperti suaminya Bu Sani adalah orang yang ramah. Itulah wawancara singkat saya dengan Bu Sani, karena hari sudah sore saya memutuskan untuk melanjutkan wawancara dilain waktu. Setelah mengambil beberapa foto saya pun pamit pulang. Kedatangan saya yang kedua kalinya di Desa Gambus Laut, saya kembali medatangi Bu Sani. Hanya wawancara singkat tentang proses pembuatan tungku arang lalu Bu Sani menyuruh saya untuk mendatangi Pak Mujani yang merupakan pembuat arang juga. Rumah Pak Mujani tidak begitu jauh dari rumah Bu Sani. Kemudian saya bertemu dengan keluarga Pak Mujani. Sama seperti Bu Sani. Keluarga Pak Mujani juga ramah, bahkan mereka sangat terbuka, mereka tidak
21 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menganggap saya adalah orang asing. Awal perjumpaan saya saat itu adalah dengan Kak Tuti, Kak Tuti adalah Istri Bang Sapri yang merupakan anak dari Pak Mujani. Saat itu Pak Mujani sedang tidak ada dirumah, jadi saya memutuskan untuk mewawancarai anaknya saja. Bang Sapri merupakan pembuat arang, saat itu Kak Tuti sedang menjaga tungku arangnya yang sedang dalam proses pemasakan. Kemudian saya bertanya tentang proses pemasakan arang. Bang Sapri mengatakan proses pemasakan arang tidak boleh ditinggal, karena selama proses pemasakan api tidak boleh mati, jika api mati maka kayu tidak akan menjadi arang malahan kayu akan menjadi abu. Oleh karena itu, Bang Sapri dan Kak Tuti selalu bergantian untuk menjaga api bakaran arang. Wawancara mendalam saya terapkan kepada keluarga Pak Mujani. Pak Mujani mempunyai lima orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pembuat arang, dari keluarga Pak Mujani saya banyak mendapatkan informasi tentang kehidupan pembuat arang di Desa Gambus Laut. Keluarga Pak Mujani sangat terbuka, terutama istrinya Ibu Jumikem. Ibu Jumikem sangat senang didatangi oleh orang, apalagi jika yang datang adalah anak gadis, itu dikarenakan dia tidak mempunyai anak perempuan. Jadi jika dia melihat ada anak gadis yang datang dia langsung keluar dan mendatanginya. Bang Sapri mengatakan susah saat ini untuk mencari kayu bakau, karena mereka musti kejar-kejaran dengan aparat pemerintahan yaitu polisi hutan. Karena jika ketahuan mereka akan ditangkap dan disuruh membayar denda. Walaupun kemudian mereka dilepaskan kembali, tapi adanya denda tersebut sangat memberatkan mereka. Dan lagi aparat pemerintah yang katanya adalah polisi hutan sesekali datang ke tempat pembakaran arang dan memeriksa kayu-kayu yang mereka
22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
gunakan untuk membuat arang. hal itu terjadi dua atau tiga bulan sekali. dan saat mereka datang, mereka juga meminta uang kepada pembuat arang. Sedikit keterangan diatas adalah kronologis dari jalannya wawancara mendalam yang telah saya laksanakan. Wawancara ini dilakukan agar mendapatkan data mengenai bagaimana strategi yang dilakukan pembuat arang dalam menghadapi permasalahan yang terjadi akibat larangan penganbilan kayu bakau yang dibuat oleh pemerintah. o Observasi Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi langsung untuk memperoleh gambaran selengkapnya mengenai pengolahan/pemanfaatan sumber daya alam kayu mangrove menjadi arang oleh para pembuat arang di desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Pengamatan yang dilakukan peneliti terkait dengan kegiatan para pembuat arang dan kehidupan sehari-hari mereka yang merupakan cerminan dari strategi beradaptasi. Melihat bagaimana cara pembuat arang menyusun kayu-kayu di dalam tungku kemudian membongkar tungku yang telah selesai dimasak. Bagaimana keadaan rumah mereka dan apa-apa saja yang mereka lakukan selain membuat arang. Pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut ini berjumlah delapan orang, sedangkan tungku arang yang terdapat di Desa tersebut ada delapan tungku, dan yang masih beroperasi ada enam tungku. Dua tungku berada di daerah rumah Pak Mujani, kedua tungku tersebut masih aktif sampai saat ini. Tiga tungku berada di daerah rumah Pak Sutimin, hanya dua tungku saja yang masih digunakan, satu tungku lagi tidak digunakan. Tiga tungku lagi di daerah rumah Pak Zul.
23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
o Studi Dokumentasi Untuk melengkapi data yang diperoleh di lapangan, peneliti akan mencari data yang terkait dengan masalah penelitian berupa buku-buku, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan lainnya termasuk tulisan dari media elektronik yang berkenaan dengan masalah penelitian untuk menambah pemahaman penulis terhadap pemasalahan yang akan diteliti. Penggunaan data-data ini adalah untuk mendukung data yang didapat dari lapangan. o Data Visual Gambar visual yang dihasilkan sebagai bukti yang dapat dilihat oleh semua orang, dan sebagai data pelengkap yang paling akhir. b. Analisis Data Data yang di peroleh dari lapangan dianalisi secara kualitatif. Data yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan kategori perilaku, siasat (pengetahuan), dan proses. Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian yang telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya. Setelah ini akan dianalisa kategori-kategori tersebut secara mendalam sesuai data yang dibutuhkan. 1.6
Pengalaman Di Lapangan Kunjungan pertama saya pada pertengahan tahun 2011, saat itu saya datang
hanya untuk observasi awal. Saya pergi ke kantor Kepala Desa Gambus Laut untuk meminta ijin penelitian, saat itu saya tidak bertemu dengan siapa-siapa karena seluruh pegawai sedang istrahat, kemudian ada salah seorang penduduk yang datang dan bertanya kepada saya apa yang saya lakukan di kantor itu, setelah saya menjelaskan apa maksud saya lalu bapak itu memberikan nomer telepon sekretaris
24 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kepala desa. Saat itu langsung saya hubungi dan ternyata rumah sektretaris tidak jauh dari kantor kepala desa. Ibu itu pun segera membuka kantor dan memberikan datadata yang saya butuhkan. Kunjungan kedua saya untuk melihat lokasi pembuatan arang, saat itu Mulyono membawa saya ke tempat Bu Sani dan Pak Sutimin. Tatapan mereka agak tidak mengenakkan saat melihat saya. Saat saya menghampirinya, dia langsung berbicara bahasa jawa kepada Mulyono. Dalam bahasa jawa dia bertanya kepada Mulyono saya ini siapa dan mau apa datang ke tempat dapur arangnya. Lalu mulyono menjelaskan dengan bahasa jawa juga bahwa saya hanya seorang mahasiswa dan hanya ingin belajar. Setelah saya berbincang-bincang dengan Bu Sani, ternyata awalnya dia berfikir saya adalah wartawan. Sebab dia bilang sebelumnya pernah wartawan datang dan mengambil gambar kegiatan mereka. Tidak seperti Bu Sani yang mulai mencair dalam suasana perbincangan suami bu Sani yaitu Pak Sutimin tidak terlalu memberikan respon yang baik. Dia lebih banyak diam dan sesekali memperhatikan saya. Kendalanya adalah mereka masih menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi, sehingga saya kurang mengetahui apa yang mereka katakan, Mulyono lah yang menjadi translater saya. Kunjungan penelitian berikutnya saya menginap tiga hari dirumah salah seorang warga, namanya Nenek Ngatiem dan Kakek Tukimin dan anak bungsunya bernama yayuk. Nenek dan Kakek sangat baik dan ramah, dan setelah saya tinggal disitu baru saya mengetahui bahwa mereka tidak mempunyai sanitasi yang baik. Mereka masih menggunakan jamban, semua rumah di dusun ini masih menggunakan jamban, termasuk rumah Kepala Desa. Kebetulan rumah Kepala Desan terletak di Dusun yang sama tempat saya menginap. Sore harinya saya pergi ke gudang arang
25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
untuk mengunjungi Bu Sani, lalu Bu Sani menyarankan saya untuk ke tempat Pak Mujani, di sana saya bertemu dengan Bang Supri, Hasan, Kak Tuti, Kak Wati dan Bu Jumikem, sambutan mereka sangat baik tetapi saya hanya sebentar saja karena sudah sore. Malamnya saya berniat pergi ke rumah Kepala Desa untuk melapor bahwa saya tinggal di dusun itu untuk beberapa hari, tetapi ternyata Kakek sudah lebih dulu melapor kepada Kepala Desa. Keesokan harinya saya langsung menuju kerumah Bu Jumikem dan disana saya bertemu dengan Pak Mujani, Bang Budi dan Bang Sutris yang merupakan anak Bu Jumikem dan Pak Mujani. Bu Jumikem langsung membuat keripik pisang untuk teman mengobrol, pisang itu hasil dari kebunnya, dan tidak tanggung-tanggung Bu Jumikem juga menyuruh anaknya memanjat pohon kelapa untuk mengambil “degan”. Ibu Jumikem sangat baik dan ramah, kami juga di ajak makan siang di rumahnya tapi kami sudah janji sama nenek untuk makan siang dirumah. Sorenya saya membantu Bang Sutris dan Kak Wati membongkar tungku arangnya. Saat membongkar arang banyak yang membantu, Hasan dan Arif juga ikut membantu memasukkan arang ke goni, keseluruhan arang ada enam goni. Keesokan paginya saya kembali ke rumah Bu Jumikem, saat itu bu Jumikem sedang mencuci jadi saya ke rumah Kak Wati untuk mengobrol sedikit dengannya sebelum saya kembali ke Medan. Setelah lama mengobrol dengan kak Wati saya kembali ke rumah Ibu Jumikem untuk berpamitan karena akan pulang ke Medan. Saya sempat membiarkan data penelitian ini selama sebulan. Data penelitian saya berupa foto-foto yang ada di handphone hilang, dikarenakan handphonenya dicuri orang, tidak tau kenapa saya menjadi malas untuk mengerjakan skripsi ini. Sampai beberapa bulan saya diamkan. Kemudian saya mendapat pekerjaan, saya berfikir akan dapat mengerjakan skripsi ini sambil bekerja, dan ternyata saya tidak
26 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sanggup. Satu tahun berlalu dan saya masih bekerja dan memdiamkan data-data penelian saya. Kemudian di satu kesempatan saya datang ke Desa Gambus Laut lagi untuk mengambil data-data peneliat yang hilang berupa foto-foto, dan saya kembali me-refresh kembali data-data penelitian saya. Saya pergi kerumah Ibu Jumikem, ternyata Ibu Jumikem sedang pergi ke Perdagangan tempat saudaranya yang sedang pesta jadi saya pergi ke rumah kak Wati, saya mengobrol dengan kak Wati dan Bang Sutris, kebetulan ada Bang Budi, Hasan dan Arif. Lalu kami mengobrol di pondok yang ada di rumah Bu Jumikem. Setelah kembali ke Medan saya mulai mengerjakan skripsi ini, namun karena sambil bekerja saya tidak dapat fokus dengan skripsi ini. Saya kebanyakan mendiamkan skripsi ini dari pada mengerjakannya, dan akhirnya skripsi ini tidur selama setahun lagi sampai akhirnya di saat terakhir masa kuliah, saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan saya karena saya tidak dapat fokus dengan dengan skripsi ini jika masih bekerja. Akhirnya saya kembali fokus ke skripsi ini, lalu saya kembali ke lapangan untuk mengambil data-data kembali sebagai tambahan data-data saya sebelumnya.
27 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA