1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Pada 23 Mei 1965, Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, dibanjiri manusia.
U KD W
Puluhan ribu orang memadati tribun yang mengelilingi lapangan stadion. Ribuan orang lainnya berdiri di lapangan yang terhampar di bawahnya. Di luar stadion, lebih dari 100 ribu orang menyemut berdesakan. Bendera-bendera merah berkibar di jalanjalan ibukota. Baliho-baliho raksasa berpotretkan Karl Marx, V.I. Lenin, Joseph Stalin, Bung Karno, dan D.N. Aidit berderet menjulang. Sebuah monumen yang terbuat dari kerangka kayu berbentuk angka 45 terpancang di salah satu jalan utama.
IK
Hari itu, Partai Komunis Indonesia merayakan 45 tahun ulang tahunnya. Itulah selebrasi dari sebuah partai yang sejak kemunculannya kembali dari puing-puing
IL
keruntuhan beberapa tahun sebelumnya telah menjelma menjadi sebuah “entitas
M
sosial-politik yang terorganisir paling baik dan paling dinamis di Indonesia”.1 Menyaksikan itu, siapakah yang tak tergetar karena luapan kegembiraan atau
karena denyut kebencian dan kegentaran ? Massa PKI meluap dengan kegembiraan karena merasa bahwa partai mereka sangat besar dan kuat, sanggup memenangkan bukan hanya revolusi nasional-demokratis tetapi juga revolusi sosialis kelak. Masa
1
Penilaian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam Special National Intelligence Estimate for Indonesia, sebagaimana dikutip oleh sejarawan Australia, Clinton Fernandes, dalam A Power Move with Far-Reaching Implications, http://members.optushome.com.au/spainter/Indonesia.html Diakses 10 Februari 2009.
1
2
depan baru, yang akan dilahirkan dari rahim sejarah Ibu Pertiwi, sudah di depan mata. Perjuangan masih harus berlanjut, revolusi belum selesai. Tetapi kemenangan klas buruh dan kaum tani bahkan segenap rakyat jelata Indonesia di bawah kibaran bendera merah Marxis-Leninis yang diusung oleh PKI sepertinya sudah tak tertahankan lagi.
U KD W
Pada saat yang sama, pihak-pihak yang anti-PKI berdebar dengan kebencian dan kegentaran. Selebrasi itu tampil sebagai tanda bahaya: PKI akan berkuasa di negeri Indonesia. Dengan kata lain: Indonesia akan jatuh ke dalam tangan Komunisme. Betapa tidak, partai itu mengklaim beranggotakan 3,5 juta orang. Itu belum termasuk organisasi-organisasi masyarakat yang berasosiasi atau berafiliasi dengannya.
M
IL
IK
Gerakan kaum mudanya, Pemuda Rakyat, beranggotakan 3 juta orang. Gerakan serikat buruhnya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), 3,5 juta orang. Gerakan kaum taninya, Barisan Tani Indonesia (BTI), sekitar 9 juta orang; Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), 3 juta orang; Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), gerakan sastrawan dan seniman, 5 juta orang; dan gerakan cendikiawannya, Himpunan Sarjana Indonesia (HIS), 70.000 orang.Federasi serikat buruh, SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).2
Dalam pada itu, politik negeri Indonesia pun kian bergeser dari titik
kesetimbangan. Sang penyeimbang kian bergerak ke kiri. Sebagaimana dituturkan sejarawan John Rossa, Presiden Sukarno “menyambut acara itu dengan bahagia dan menyampaikan pidato berapi-api dari podium, penuh pujian terhadap patriotisme partai
dan 2
semangat
perjuangannya
melawan
kekuatan
kolonialisme
dan
Jack Gale, “Indonesian Counter-Revolution”, dalam Marxist Internet Archives (MIA), http://www.marxists.org/indonesia/indones/betrayal.htm Diakses 10 Februari 2009.
3
neokolonialisme dunia.”3 Lebih dari 40 tahun kemudian, wartawan Aco Manafe yang anti-PKI dengan sinis mengatakan, “Pertautan mereka (Soekarno dan PKI) yang amat jelas, ditunjukkan di depan umum, pada 23 Mei 1965, pada waktu peringatan hari jadi ke-45 PKI. Bung Karno dan DN Aidit tampil bersama sebagai pembicara utama dalam rapat umum di Jakarta. Keduanya berpelukan diiringi tepukan riuh massa dan
merangkul PKI!’”.4
U KD W
Presiden berseru kepada para wartawan di sekitarnya, ‘Lihatlah saya, Soekarno
Selebrasi yang megah, jaya, dan menggetarkan hati itu seperti tak ada artinya lagi sejak bulan Oktober 1965. Penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat yang terjadi pada subuh 1 Oktober seolah menjadi titik balik bagi PKI. Di bawah pimpinan Mayor Jenderal
IK
Soeharto, Angkatan Darat melancarkan kampanye hitam terhadap PKI melalui media massa yang telah dikuasainya. Menyebut penculikan dan pembunuhan tersebut
IL
sebagai perbuatan kontra-revolusioner Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh),
M
Angkatan Darat menuduh PKI sebagai dalangnya. Angkatan Darat juga membuat cerita horor-pornografis berkenaan dengan pembunuhan terhadap para jenderal yang terculik hidup-hidup dengan mencampurkan khayalan orgiastik yang dekaden dengan
3
John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan Tiga Puluh September dan Kudeta Suharto (Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia/Hasta Mitra, 2008), hlm. 295. 4 Aco Manafe, Teperpu Mengungkap: Pengkhianatan PKI Pada Tahun 1965 dan Proses Hukum Bagi Para Pelakunya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hlm. 39.
4
rekaan penyiksaan yang biadab. Para aktivis Gerwani dan Pemuda Rakyat larut dalam pesta seks dan menyayat-nyayat tubuh para jenderal.5 Berita tentang pengkhianatan PKI dan kebejatan para aktivis organisasiorganisasi massanya menggugah naluri-naluri purba yang terpendam di dalam hati banyak orang. Kengerian dan rasa terancam, serta hasrat akan kenikmatan dan
U KD W
dorongan untuk menghancurkan yang selama ini tersublimasi secara sosio-religius dan sosio-kultural, mendapatkan saluran ekspresi. Demikian juga misogini, dendam kepada PKI,6 dan rasa frustrasi karena tekanan ekonomik yang berat. Dorongan untuk melakukan kekerasan itu benar-benar tersalurkan melalui pernyataan sikap pimpinan Angkatan Darat serta kehadiran dan dukungan pasukan-pasukan Angkatan Darat di daerah-daerah untuk “memberantas PKI sampai ke akar-akarnya.”
IK
Teror Putih pun melanda PKI. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, terjadilah pengejaran dan pembunuhan massal terhadap anggota-anggota dan
IL
simpatisan-simpatisan PKI.7 Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan “di setiap
M
5
Sebagai contoh, lihat Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh, Tragedi Nasional Percobaan Kup G/30S/PKI (Jakarta: Intermasa, c.u. 1990), hlm 22-23. Buku ini menyajikan versi resmi Orde Baru tentang Gerakan Tiga Puluh September, termasuk prolog dan epilognya. Buku ini merupakan cetakan kedua dari terjemahan atas buku berbahasa Inggris, The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1968. Lihat juga Aco Manafe, Teperpu Mengungkap, hlm. 113-4. 6 Dalam kata-kata sejarawan Orde Baru, Nugroho Notosusanto, “… pertumpahan darah antarwarga di masyarakat itu berkaitan langsung dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau.” Selanjutnya ia menuturkan “kisah pembalasan dendam” itu secara singkat dengan mengatakan, “Di daerah-daerah tempat PKI sangat aktif dengan ‘tindakan-tindakan sefihak”, seperti di Boyolali, Jawa Tengah, di bagian selatan Jawa Timur, Bali, dan bagian tenggara Sumatera Utara, bentrokan-bentrokan sebagai buntut percobaan kup 1 Oktober 1965 adalah yang paling serius. Ingatan kita kepada peristiwa Pemberontakan Madiun timbul kembali dengan perasaan marah meluap.” Lihat Notosusanto dan Saleh, Tragedi Nasional, hlm. 62. 7 Sebagaimana dikutip oleh Antonius Sumarwan, Robert Cribb mengatakan bahwa pembantaian secara umum selesai pada bulan Maret 1966, namun masih terjadi secara sporadis di
5
bagian Nusantara di mana orang Komunis dapat ditemukan”8 menjadi Indonesian killing fields. Setidak-tidaknya 400 ribu orang mati terbunuh.9 Puluhan ribu lainnya dijadikan tahanan politik.10 Selanjutnya, dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Sukarno, Mayjen Soeharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Berbekal SP itu juga Soeharto mereorganisir MPRS yang kemudian menetapkan PKI
U KD W
dan Marxisme-Leninisme sebagai partai dan ajaran terlarang di bumi Indonesia pada 5 Juli 1966 melalui Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966.11 Dengan hancurnya PKI, kandas pula cita-cita klas buruh dan kaum tani Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sosialis.
Kekalahan PKI adalah kekalahan klas buruh dan kaum tani Indonesia. Kekalahan itu tragis, karena menelan korban nyawa terutama dari kalangan massa-
IK
rakyat buruh dan tani dalam jumlah yang sangat besar. Kekalahan itu ironis, karena
M
IL
beberapa tempat hingga 1969. Lihat Antonius Sumarwan, Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 324-325. 8 Sebagaimana dikutip oleh Clinton Fernandes, A Power Move with Far-Reaching Implications, http://members.optushome.com.au/spainter/Indonesia.html Diakses 10 Februari 2009. 9 Ibid. Sebagaimana dikutip oleh Clinton Fernandez, Robert Cribb mengatakan bahwa konsensus kesarjanaan menetapkan jumlah orang yang terbunuh antara 400.000 dan 500 ribu orang. Dalam konteks ini Manai Sophiaan, seorang Sukarnois, berkomentar getir, “Mengenai pembantaian ini, pers atau penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meskipun angka yang lebih kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu diributkan.” Lihat Manai Sophiaan, Kehormatan bagi Yang Berhak, www.munindo.brd.de/archiv/manai/manai_10.html Diakses 11 Februari 2009. Di lain pihak, Jose Maria Sison, ketua International League for People’s Struggle menyebut korban terbunuh sebanyak tiga juta jiwa. Lihat Jose Maria Sison, “Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia.” Makalah ini disampaikan dalam seminar 1965 Commemoration di .Amsterdam, Negeri Belanda, 18 Desember 2005, www.contradictie.n/1965cc/archive/2005/12/051218JomaEngl.html Diakses 11 Februari 2009. Diakses 11 Februari 2009. 10 Jose Maria Sison dalam “Reflection on the 1965 Massacre in Indonesia” mengatakan 750.000 orang di-tapol-kan, www.contradictie.n/1965cc/archive/2005/12/051218JomaEngl.html Diakses 11 Februari 2009. 11 C.S.T. Kansil dan Rudy T. Erwin, eds., Kitab Himpunan Hasil Karya MPRS (Jakarta: Erlangga, 1970), hlm. 191.
6
terjadi justru tak lama sesudah selebrasi yang seolah menubuatkan kemenangan PKI. Kekalahan itu juga merupakan sebuah antiklimaks dari perjuangan sebuah partai yang dalam kurun waktu 1951-1965 berhasil bangkit dari puing-puing kehancuran, bergerak menuju kemenangan, namun sekali lagi mengalami kehancuran. Bagi penulis, yang mendapati dirinya sebagai seorang Kristen yang
U KD W
mempunyai komitmen keberpihakan kepada kaum miskin-tertindas, kekalahan PKI sangat mengusik nurani. Kekalahan PKI adalah persoalan sosial-politik: sebuah organisasi sosial-politik yang sangat berpengaruh dan menjanjikan masa depan bagi kaum buruh, tani, dan rakyat jelata Indonesia lainnya, mengalami keruntuhan justru di puncak kemegahannya. Kekalahan PKI juga merupakan persoalan teologis. Sebab, dalam terang Iman Kristen, cita-cita tentang masyarakat yang lebih adil-manusiawi
IK
dan perjuangan untuk mencapainya tak lepas dari kepedulian Allah yang di dalam Yesus Kristus menyatakan komitmen-Nya kepada kaum miskin-tertindas. Dari
IL
perspektif ini, kekalahan PKI, yang merupakan kegagalan perjuangan untuk mencapai
M
cita-cita tersebut dan sekaligus korban-korban yang berjatuhan dari kalangan kaum miskin-tertindas merupakan persoalan sebuah teologis. Sebagai persoalan teologis, kekalahan tersebut patut dikaji dan dimaknai guna dijadikan pelajaran bagi pergumulan teologi dan kepedulian sosial Kristen.
7
I.B. Rumusan Masalah dan Hipotesis Penulis berusaha menghadapi keterusikan itu dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan serta melakukan penelitian dan refleksi untuk menemukan jawabannya. Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
U KD W
Pertama, bila dikaji secara sosial-politik, apa yang menyebabkan PKI periode 1951-1965 mengalami kekalahan besar yang berdampak pada kandasnya perjuangan klas buruh, kaum tani, dan rakyat jelata Indonesia ?
Kedua, dari praksis kerakyatan PKI yang gagal, apakah yang dapat
IK
dipelajari oleh teologi dan kepedulian sosial Kristen ?
IL
Pertanyaan pertama kena-mengena dengan ilmu sosial, khususnya ilmu
M
sejarah dan politik. Pertanyaan kedua merupakan pertanyaan teologis. Jawaban atas pertanyaan pertama melibatkan studi terhadap sejarah Partai Komunis Indonesia, khususnya dalam kurun waktu 1951-1965, serta analisis sosial-politik atas kekalahannya. Jawaban ini menjadi dasar untuk melakukan refleksi teologis guna menjawab pertanyaan kedua, yang menyangkut makna kekalahan PKI. Dengan demikian studi ini merupakan upaya berteologi lintas ilmu, yakni berteologi melalui dialog dengan disiplin ilmu yang lain, secara khusus sejarah dan politik.
8
Guna memberikan titik-tolak dan arah yang jelas pada penelitian ini, penulis mengajukan hipotesis sosial-politik sebagai berikut:
PKI 1951-1965 mengalami kekalahan besar yang berdampak pada kandasnya perjuangan klas buruh dan kaum tani Indonesia karena
U KD W
dalam praksisnya PKI membuat klas buruh dan kaum tani Indonesia berada dalam posisi yang tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakan pembebasan-diri mereka sendiri, dan tidak memperoleh dukungan yang riil dari Gerakan Komunis Internasional.
IK
Penulis juga mengajukan hipotesis teologis:
Kekalahan PKI 1951-1965 adalah kegagalan sebuah Utopia dari kaum
IL
miskin-tertindas, yang sekaligus merupakan konfirmasi bagi peran kaum
M
miskin-tertindas sebagai subyek sejarah dan agen pembebasan diri mereka sendiri.
I.C. Metode yang Digunakan Pertama, karena PKI adalah partai yang menyatakan diri sebagai penganut ideologi Marxis, penulis akan menganalisis kekalahannya sebagai sebuah fenomena gerakan Marxis. Untuk itu penulis akan memanfaatkan bantuan teoretis dari perangkat analisis sosial-politik yang dikenal dengan nama Teori Revolusi Permanen.
9
Teori ini dicetuskan pada tahun 1905 oleh Leon Trotsky (1879-1940),12 seorang Marxis yang bersama dengan V.I. Lenin memimpin sebuah revolusi yang melahirkan negara buruh di Rusia pada bulan November 1917. Menurut
pendapat
penulis,
Teori
Revolusi
Permanen
berhasil
memprediksikan baik secara positif maupun negatif pencapaian-pencapaian klas
U KD W
buruh dalam memerdekakan kaum miskin-tertindas. Prediksi Teori Revolusi Permanen memperoleh konfirmasi positif dalam kemenangan klas buruh di Rusia melalui revolusi yang digelar pada bulan November 1917. Mereka berhasil mengakhiri Pemerintahan Sementara rezim burjuis-nasional yang dipimpin oleh Kerensky dan menggantikannya dengan negara buruh, Republik Sosialis FederasiSoviet Rusia (Uni Soviet). Sedangkan konfirmasi negatif terhadap Teori Revolusi
IK
Permanen misalnya datang dari kekalahan Partai Komunis Tiongkok (PKT) pimpinan Chen Du-xiu dan pembantaian massal terhadap kaum buruh pada 1926-1927.
IL
Melakukan apa yang justru dinyatakan oleh Teori Revolusi Permanen sebagai
M
kesalahan besar, PKT mengikuti instruksi Stalin untuk menempatkan Partai dan klas buruh di bawah pimpinan partai yang berkuasa, Kuomintang, yang dianggap mewakili burjuasi-nasional Tiongkok. Dalam hipotesis penulis, praksis PKI 1951-1965 agak mirip dengan PKT-nya Chen Du-xiu. PKI menempatkan klas buruh, bahkan kaum tani, dalam posisi yang tidak memungkinkan mereka melaksanakan revolusi sosialis. Hipotesis ini akan coba dibuktikan dengan mengkaji praksis PKI dalam kurun waktu tersebut. Berdasarkan 12
Leon Trotsky, Revolusi Permanen (Yogyakarta: Resist Book, 2009).
10
studi pustaka yang meliputi berbagai historiografi (baik yang pro, netral, maupun anti-PKI) dan dokumen-dokumen terkait, penulis akan memaparkan dan menganalisis praksis PKI 1951-1965 dengan menggunakan perspektif Teori Revolusi Permanen. Dalam melakukannya, penulis memposisikan diri sebagai seseorang yang memiliki solidaritas dengan PKI dan berkomitmen pada kaum miskin dan tertindas,
U KD W
preferential option for the poor and the oppressed.
Kedua, karena penulis adalah seorang Kristen yang berhaluan teologisliberatif dan bersimpati pada idea-idea Marxis yang sedikit-banyak terekspresi dalam praksis PKI, penulis akan berusaha memaknai kekalahan PKI secara teologis. Untuk itu penulis akan memanfaatkan bantuan teoretis dari perangkat analisis dan reflektif teologis dari kalangan teologi pembebasan, yakni Utopia. Karena itu penulis
IK
memberanikan diri untuk berdialog dengan tiga teolog pembebasan, yakni Gustavo Gutierrez dan Joao Batista Libanio (Katolik Roma) serta Jose Miguez Bonino
IL
(Protestan).
M
Dari Gutierrez penulis akan mempelajari Utopia sebagai proyeksi-historis
yang berintikan “penciptaan suatu manusia baru di dalam sebuah masyarakatsolidaritas yang baru.”13 Sebagai sebuah proyeksi-historis Utopia terhubung dengan realitas-historis masa kini, terverifikasi dalam praksis, dan berwatak rasional. Dalam hubungannya dengan realitas-historis masa kini, di satu sisi Utopia mengeritik bahkan mengecam tatanan masa kini yang mendehumanisasikan manusia, dan di sisi
13
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1971), hlm. 235.
11
lain ia mengumumkan tatanan masa depan, tatanan yang baru yang adil-manusiawi.14 Keterverifikasian Utopia dalam praksis terletak adalah gugatan dan pengumuman dalam aksi, yakni ketika Utopia menjadi “kekuatan yang mendorong sejarah dan bersifat subversif terhadap tatanan yang ada.”15 Sedangkan watak rasional Utopia nampak dari keterbukaan yang memungkinkan kita untuk memperoleh pengetahuan
transformatif.16
U KD W
yang otentik dan ilmiah tentang realitas, serta keterarahannya kepada praksis yang
Dari Libanio penulis akan mempelajari pendasaran antropologis bagi Utopia. Utopia adalah suatu gejala yang sangat manusiawi berhubung ketegangan antara keterbukaan kita kepada dunia sebagai sebuah keseluruhan di satu sisi dan situasisituasi partikular kita di dalam ruang dan waktu yang terbatas.17 Dalam pergumulan
IK
rakyat jelata di Amerika Latin, itu berarti “ketegangan yang dahsyat antara apa-siapa mereka secara hakiki dan bagaimana mereka ada dalam situasi yang konkret, dan
IL
antara aspirasi-aspirasi mereka dan apa yang sesungguhnya mereka alami.”18
M
Sedangkan dari Bonino penulis akan melihat perbedaan antara Utopia dan esktalogi (Kristen) di satu sisi dan pengaruh inspiratif Alkitab terhadap Utopia-utopia (Barat) di sisi lain.19
14
Gutierrez, A Theology of Liberation: History, hlm. 233. Gutierrez, A Theology of Liberation: History, hlm. 234. 16 Gutierrez, A Theology of Liberation: History, hlm. 234-35. 17 Joao Batisa Libanio, “Hope, Utopia, Resurrection”, dalam John Sobrino & Ignacio Ellacuria, eds., Systematic Theology: Perspectives from Liberation Theology (Maryknoll: Orbis, c.u. 1996), hlm. 283. 18 Libanio, “Hope, Utopia, Resurrection”, hlm. 283. 19 Jose Miguez Bonino, Toward a Christian Political Ethics (Philadelphia: Fortress Press, c.u. 1988), hlm.92-94. 15
12
Dengan menggunakan alur berpikir dialektis, penulis akan coba memahami Utopia. Selanjutnya penulis akan mendialogkan pemahaman tentang Utopia dengan Teori Revolusi Permanen Leon Trotsky. Kemudian penulis akan menggunakannya untuk melakukan refleksi teologis atas kekalahan PKI 1951-1965. Dengan jalan itu penulis berharap dapat memaknai kekalahan PKI 1951-1965 secara teologis dan
U KD W
menggagas sejenis teologi sosial-liberatif untuk perjuangan kaum miskin-tertindas Indonesia masa kini.
I.D. Judul Tesis
Sehubungan dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, hipotesis, dan metodologi yang digunakan, penulis memilih judul tesis sebagai berikut:
IK
PRAKSIS PARTAI KOMUNIS INDONESIA 1951-1965
IL
KAJIAN TEOLOGIS-LIBERATIF
M
I.E. Pentingnya Tesis Ini
Menurut pendapat penulis, penelitian dan penulisan tesis ini penting setidaknya
menyangkut tiga hal. Pertama, penelitian dan penulisan ini berupaya menjawab kegundahan penulis tentang kekalahan sebuah gerakan yang mengaku berwatak kerakyatan yang sangat besar di Indonesia. Kedua, penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat menawarkan wawasan teologis bagi orang-orang (khususnya kaum muda) Kristen untuk menggumuli
13
Marxisme, bahkan turut serta di dalam perjuangan kerakyatan dalam rangka mewujudkan integritas iman kristianinya. Ketiga, penelitian dan penulisan tesis ini kiranya dapat menjadi salah satu eksperimen teologi pembebasan dalam konteks Indonesia: i.
sebagai refleksi atas praksis sebuah perjuangan yang sangat heroik namun
ii.
U KD W
kandas di perjalanan; dan
sebagai pengharapan akan sebuah masyarakat masa depan yang lebih dekat dengan Pemerintahan Allah, yang sebenarnya sudah mulai hadir melalui praksis Yesus dari Nazaret.
I.E. Sistematika Penulisan
IK
Tesis ini direncanakan terdiri dari empat bab. Bab I, yang merupakan pendahuluan, mengemukakan latar belakang dan rumusan masalah, metode, serta
IL
signifikansi tesis ini bagi pergumulan orang Kristen yang mempunyai komitmen
M
keberpihakan kepada kaum miskin tertindas dan perjuangan kerakyatan. Dalam Bab II, penulis akan menjabarkan teori yang digunakan untuk tujuan
tersebut, yakni Teori Revolusi Permanen. Setelah itu, penulis akan menjabarkan praksis PKI 1951-1965 dan menganalisis kekalahannya dengan menggunakan Teori Revolusi Permanen. Pada Bab III, penulis akan mendiskusikan konsep tentang Utopia dan dengan
itu melakukan refleksi teologis atas kekalahan PKI. Penulis berusaha memaknai kekalahan tersebut dan mengajukan gambaran tentang teologi sosial-liberatif yang
14
perlu dikembangkan untuk mendampingi perjuangan kaum miskin-tertindas. Bab IV, yang merupakan bab terakhir, akan menyajikan kesimpulan dari penelitian dan analisis sosio-historis dan refleksi teologis yang telah dijabarkan dalam tiga bab
M
IL
IK
U KD W
sebelumnya. ***