BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Melalui kesepakatan International Conference on Population and
Development (ICPD) tahun 1994 terjadi perubahan paradigma baru Program Keluarga Berencana Nasional (KBN). Pendekatan KBN yang lama, yaitu pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi kearah pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan keadilan gender (UNFPA, 2004). KB merupakan salah satu alat promosi dari pelaksanaan hak reproduksi. Menurut ICPD 1994 hak reproduksi merupakan hak asasi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah, jarak waktu untuk mempunyai keturunan serta hak untuk mendapatkan informasi dan sarana untuk melaksanakannya selain itu hak untuk mendapatkan standar kesehatan seksual dan reproduksi yang tinggi (UNFPA, 2004). Salah satu upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan yaitu penekanan pentingnya menggunakan alat kontrasepsi yang efektif (Sidhi, 1989). Tujuan program KB adalah untuk memudahkan pasangan ataupun individu untuk bisa memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab mengenai jumlah anak yang diinginkan maupun jarak kelahiran dan memperoleh kemudahan informasi dan alat yang sesuai serta memberikan berbagai pilihan metode kontrasepsi yang aman dan efektif.
1
2
Pada ICPD tahun 1994 di Kairo tersebut juga menyoroti pentingnya melibatkan laki-laki sebagai cara untuk mencapai tujuan bersama. Bab IV dari laporan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tersebut berjudul 'Kesetaraan gender, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan’, dengan subjudul tentang 'tanggung jawab dan partisipasi laki-laki’. Uraian dalam dokumen tersebut dijelaskan: ‘. . . the objectve is to promote gender equality in all spheres of life, including family and community life, and to encourage and enable men to take responsibility for their sexual and reproductive behaviour and their social and family roles.' (Paragraph 4.25) Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kebijakan global terkait bidang kesehatan reproduksi khususnya KB tersebut. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan KB. Untuk membantu penyusunan perencanaan dan penganggaran KB yang responsif gender terdapat Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomer 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Keluarga Berencana yang Responsif Gender. Dalam praktiknya di Program Keluarga Berencana (KB), kesertaan berKB 98% perempuan (SDKI, 1997). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan kesertaan KB laki-laki kurang dari 3%. Dari jumlah itu, sekitar 2% di antaranya ber-KB memakai kondom, sedangkan kurang dari 1% melalui vasektomi (BPS et.al, 2013). Perempuan masih tetap menjadi sasaran utama sosialisasi program KB. Hal itu tidak sejalan dengan upaya
3
pemerintah untuk meningkatkan peran pria dan kesetaraan gender dalam konteks KB. Pada awalnya, program KB Nasional merupakan upaya pengaturan ke lahiran dalam rangka peningkatan kesejahteraan ibu dan anak sehingga kebijakan dan pelaksanaannya lebih diarahkan pada keikutsertaan isteri dalam menggunakan kontrasepsi. Pemakai alat kontrasepsi di Indonesia mayoritas adalah perempuan. Alat-alat kontrasepsi lebih dirancang untuk perempuan karena pertimbangan ekonomis dan politis (Susilastuti, 1993b). Pilihan kontrasepsi bagi perempuan lebih banyak bila dibandingkan dengan kontrasepsi bagi laki-laki, sehingga kontrasepsi seringkali diidentikan dengan dunia perempuan. Kenyataannya, dari sembilan jenis kontrasepsi yang ada (pil, suntik, implan, IUD, tubektomi, spermicide, kondom perempuan, kondom laki-laki, dan vasektomi), hanya ada dua jenis yang diperuntukkan laki-laki. Pria diharapkan bisa partisipasi dengan cara berperan langsung melalui penggunaan alat/cara kontrasepsi. Kalaupun tidak, partisipasi pria dalam bentuk dukungan terhadap istri sudah bisa didefinisikan sebagai partisipasi, yaitu partisipasi tidak langsung. Selain praktek penggunaan kontrasepsi oleh laki-laki, definisi lain dari partisipasi laki-laki adalah dukungan mereka kepada istri mereka untuk menggunakan metode kontrasepsi (Helzner, 1996).
1.2
Perumusan Masalah Penelitian Kontrasepsi merupakan suatu alat promosi untuk memenuhi pelaksanaan
hak kesehatan reproduksi perempuan yang efektif bagi pasangan yang ingin
4
mengatur maupun membatasi kelahiran. Sementara, masih banyak pasangan usia subur yang tidak menginginkan anak lagi namun belum menggunaan metode yang efektif untuk mengatur kehamilan. Menurut Freedman dan Coombs (dalam Bongaarts, 1991) pasangan usia subur tersenut sebenarnya sangat berpotensi untuk menggunakan kontrasepsi ataupun metode lain sebagai alat untuk mengatur kelahiran. Pasangan usia subur inilah yang disebut sebagai unmet need. Unmet need KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi. Jika kondisi unmet need tidak cepat ditangani, ledakan penduduk akan menjadi kenyataan dalam beberapa tahun ke depan (Sumini, dkk, 2009). Penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai justru menjadi beban pembangunan
dan menyulitkan pemerintah dalam
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Mereka (unmet need) masih terpapar untuk terjadinya kehamilan (BKKBN, 2009). Salah satu dampak meningkatnya
unmet
need
adalah
meningkatnya
unwanted pregnancies
(kehamilan yang tidak diinginkan) (Sukamdi, 2012). Hal ini memicu terjadinya aborsi tidak aman (unsafe abortion) (Bizuneh et al., 2008). Sementara itu, dari beberapa hal yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi, penolakan suami ikut berperan didalamnya. Hasil penelitian mengungkapkan hal-hal yang mempengaruhi istri dalam penggunaan kontrasepsi diantaranya, studi Casterline et al. (1997) yang menunjukkan bahwa hambatan niat untuk ber-KB sangat berhubungan dengan penolakan terhadap KB, pengetahuan tentang kontrasepsi, penerimaan dan sikap suami. Sita (2003) dalam
5
penelitiannya di perkotaan dan pinggiran kota di Awassa Etiopia Selatan menemukan bahwa penyebab utama unmet need pada wanita adalah penolakan suami. Kulczyki (2008) menemukan bila penggunaan kontrasepsi pada wanita berhubungan signifikan dengan kelemahan peran wanita dalam interaksi suami istri. Hubungan antara relasi kuasa suami istri dengan unmet need KB, Wattie (1996) mengatakan bahwa persoalan yang banyak muncul mengenai hak dan kesehatan reproduksi berakar pada persoalan ketimpangan status dan peran lakilaki dan perempuan dalam masyarakat. Hubungan suami istri, misalnya, telah dinilai sebagai hubungan yang timpang, khususnya pada tahap pengambilan keputusan dalam berbagai aspek (Abdullah, 2001). Di sisi lain, Bhushan (1997) menyebutkan bahwa keengganan wanita untuk menggunakan kontrasepsi dengan mengabaikan pertentangan dari suami maupun keluarganya merupakan penyebab kuat terjadinya unmet need. Selain itu, dalam Mini Survey tahun 2008 dikemukakan bahwa merasa tak subur dan telah mengalami menopause merupakan alasan utama wanita PUS tidak menggunakan alat/cara KB yang paling dominan. Kota Yogyakarta merupakan wilayah yang mempunyai unmet need yang tinggi di Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta selalu mengalami tingkat unmet need tertinggi dibandingkan kabupaten lain di DIY. Jumlah unmet need atau PUS yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi lebih banyak dibanding PUS yang memakai kontrasepsi. Tahun 2011 unmet need di
6
Kota Yogyakarta sebesar 13,22 % turun menjadi 12,09 % di tahun 2012, tahun 2013 turun lagi menjadi 10,67 %, dengan perincian PUS bukan peserta KB yang ingin anak ditunda (IAT) sebesar 2.137 dan tidak ingin anak lagi (TIAL) sebesar 2.868. Angka unmet need tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan DIY yaitu lima persen dari total pasangan usia subur yang ada di suatu wilayah. Grafik 1.1 Unmet Need DIY s/d Bulan Desember 2013
Kota Yogyakarta
10.67
Kulon Progo
7.44
Gunungkidul
7.39
Sleman
Unmet Need
8.97
Bantul
5.8 0
5
10
15
Sumber : Rek.Kab F/I/DAL/10
Sementara, dari empat belas kecamatan di Kota Yogyakarta, Kecamatan Gondomanan yang tertinggi angka unmet neednya yang mencapai 15,36 % pada tahun 2013. Sedangkan Pasangan Usia Subur (PUS) yang terbanyak berada di Kelurahan Prawirodirjan dari dua kelurahan yang ada di Kecamatan Gondomanan. Untuk itu pengambilan sampel penelitian akan dilaksanakan di Kelurahan Prawirodirjan. Sedangkan, secara universal proporsi wanita kawin yang menggunakan kontrasepsi di perkotaan umumnya lebih tinggi dari perdesaan. Persentase terpenuhinya total kebutuhan kontrasepsi yang tinggi terdapat di perkotaan daripada di perdesaan karena kemudahan akses pelayanan keluarga berencana di
7
perkotaan, keinginan memiliki anak di perdesaan yang lebih tinggi, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi di perkotaan (Westoff, 2006). Mengamati hal tersebut, tampak bahwa unmet need KB harus bisa dipahami secara lengkap dan menyeluruh, dan tidak bisa diperlakukan secara terpisah, khususnya dalam penelitian ini relasi kuasa antara antara suami dan istri. Sehingga, perumusan masalah yang mungkin tepat sebagai dasar penulisan tesis relasi kuasa unmet need dalam pengambilan keputusan Keluarga Berencana di Kota Yogyakarta ini adalah : 1) Bagaimana kondisi unmet need di Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta? 2) Bagaimana relasi kuasa unmet need dalam pengambilan keputusan KB di Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta?
1.1. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui relasi kuasa unmet need dalam pengambilan keputusan KB di Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kondisi unmet need di Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
8
b. Untuk mengetahui relasi kuasa unmet need dalam pengambilan keputusan KB di Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
1.2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dimasa yang akan datang adalah : 1. Manfaat Teoritis Memberikan masukan informasi mengenai relasi kuasa unmet need dalam pengambilan keputusan KB sebagai alat untuk mengatur kehamilan yang efektif. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengelola program di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sebagai dasar penanganan terhadap unmet need di Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.