BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gelombang arus reformasi telah memberikan nafas baru dalam kehidupan demokrasi yang pada tahun-tahun sebelumnya dibungkam oleh Orde Baru.1 Pertumbuhan partai politik pun tak dapat terhindarkan sebagai konsekuensi logis dari pilar demokrasi yang memberikan hak sebesar-besarnya bagi setiap masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam politik kenegaraan, salah satunya adalah berpartisipasi dalam perebutan kekuasaan. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasikan rakyat, mewakili kepentingan tertentu, dan memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik yang absah.2 Dari momentum keterbukaan keran demokrasi inilah, titik tolak Jama’ahTarbiyah yang berawal dari gerakan keagamaan bertranfsormasi menjadi partai politik yang berasaskan Islam, yaitu PKS.3 Sebagaimana kita ketahui, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai Partai Islam hingga saat ini merupakan fenomena unik dalam arena politik Indonesia, sehingga terus dipelajari oleh berbagai macam kalangan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rosenblum (2003), walau pun kaitan antara agama dengan politik telah banyak dikaji – misalnya tentang toleransi dan kebebasan serta pemisahan agama dan negara – namun diskursus tentang partai dan kepartaian berdasarkan agama belum mendapatkan tempat dalam teori politik. Ia juga mengatakan, ”For religious parties are missing elements in the discussionabout ’identity politics’ ”.4 Terlebih lagi, Partai Keadilan (PK) yang kini
1
Untuk meninjau lebih jauh, lihat Paul J. Carnegie, Political Islam and Democratic Change in Indonesia (Jurnal Asean Social Science, Volume. 4, No. 11 November 2011)
2
Untuk meninjau lebih jauh, lihat Saiful Mujani (ed), Kuasa Rakyat “Analisis Tentang Perilaku Memilihdalam Pemilihan Legislatif dan Presiden IndonesiaPasca-Orde Baru” (Bandung; Mizan Publika, 2012) 3
Untuk meninjau lebih jauhl, lihat Sapto Waluyo. 2005. Kebangkitan Politik Dakwah: Konsep dan Praktik Politik Partai Keadilan Sejahtera di Masa Transisi. ( Bandung: Harakatuna)
4
Arief Munandar, Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004 (Disertasi PhD, Universitas Indonesia, 2011), Hal. 1
bertransformasi menjadi PKS, menurut Liddle mewakili kelompok Islam baru yang tidak berakar pada kekuatan organisasi modernis yang pernah ada di Indonesia.5 Yon Machmudi menyatakan bahwa antara Jama’ahTarbiyah dan PKS bukan saja melakukan eksperimen ideologi, melainkan juga berkontribusi dalam mendinamisasikan politik Indonesia kontemporer dengan menguji keterkaitan hubungan antara politik Islam dengan negara sekuler, dengan menempatkan gagasan mereka dalam konteks keIndonesia-an dan kemaslahatan dakwah. Sebagaimana kita ketahui, untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang PKS, ada baiknya kita membuka “halaman sejarah” mengenai kemunculan partai yang unik ini. Seperti gerakan-gerakan Islamis lainnya di Indonesia yang dibentuk pada akhir 1970-an yang mengambil inspirasi dari Timur Tengah, PKS muncul dari diskusidiskusi kecil di kalangan mahasiswa beberapa universitas sekuler yang kemudian menjadi gerakan politik.6 Atas dasar semangat dakwah kampus, tahun itu adalah titik dimulainya kegairahan baru dalam kajian ke-islaman di kalangan mahasiswa, khususnya di kampuskampus besar seperti ITB, UGM, UI, IPB, Unpad, Unair, Undip dan universitas lainnya.7 Banyak diantara mahasiswa yang terlibat dalam aktivisme tersebut adalah Aktivis Dakwah Kampus (ADK) yang sebagian besar bernaung dibawah Lembaga Dakwah Kampus (LDK) ikut serta dalam aktivitas Jama’ahTarbiyah.8 Ketika reformasi pemerintahan Indonesia bergulir pada tahun 1998, dalam suasana euphoria era baru tersebut, para aktivis dakwah bersepakat untuk mengambil bagian dalam mengisi ruang demokrasi pasca-Soeharto dengan berijtihad mempercepat fase dakwah menuju mihwar9 muassasi (fase
5
M. Faishal Aminuddin.2010 Reorganisasi Partai Keadilan Sejahtera Di Indonesia(Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 1 Nomor 1 Agustus 2010) Hal. 129
6
Burhanuddin Muhtadi.2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia) Hal. 31
7
Arief Ihsan Rathomy. 2005. PKS & Hizbut Tahrir: Genealogi dan Pemikiran Demokrasi. (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada) Hal. 51
8
Mahfudz Sidiq. KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi. (Solo: Era Intermedia, 2003) hal. 84-86
9
Mihwar diartikan sebagai tahapan dakwah, atau fase-fase dakwah yang harus ditempuh oleh Jama’ahTarbiyah. Dalam hal ini terdapat empat mihwar yang harus ditempuh oleh Jama’ahTarbiyah, diantaranya; (1) mihwar tandhimi, mihwar sya’bi, mihwar muassasi, mihwar dauli.
institusionalisasi gerakan), yaitu dengan mendirikan partai politik, yang bernama Partai Keadilan (PK). Mihwar muassasi merupakan fase ketiga tahapan-tahapan dakwah yang dilalui olehJama’ahTarbiyahsetelah dakwah berhasil melewati mihwar tandhimi
(fase
organisatoris) dan mihwar sya’bi (fase sosialisasi) yang telah dijalankan selama beberapa tahun pada masa Orde Baru.10 Pada saat itulah, Jama’ahTarbiyah harus mengalami lompatan berpikir dan bertindak tatkala gerakan dakwah kampus (harakah da’awiyah) harus bermetamorfosis menjadi partai politik (hizb as siyasi) atau memasuki mihwar muassasi.11 Dari gambaran diatas, tentunya tidak dipungkiri bahwa perihal perubahan mihwar mencerminkan adanya kesinambungan (continuity) dan perubahan-perubahan (changes) dalam setiap perkembangan mihwar itu sendiri. Tidak dipungkiri bahwa, perkembangan demokrasi pasca-Reformasi menunjukkan bahwa pada masa awal reformasi, ketika pemilu tahun 1999 di gelar, kita akan dengan mudah melihat partai-partai politik bersaing keras secara ideologis, dan pemilih diberikan ruang kebebasan untuk memilih partai pilihannya masing-masing sesuai dengan corak ideologi yang diinginkannya. Namun, memasuki pemilihan umum 2004 dan sepanjang pelaksanaan pilkada 2005-2009 menunjukkan bahwa posisi ideologi politik sebuah partai politik saat ini tidak lagi menjadi hal yang fundamental untuk diperjuangkan. Implikasinya, bangungan koalisi yang terbentuk lebih berbasis isu pragmatis parpol ketimbang ideologi formal yang dimiliki partai.12 Permasalahan pragmatisme politik ini juga dinilai oleh sebagian pengamat mulai menjangkiti partai Islam, tidak terkecuali PKS. Dilihat dari sisi eksternal, banyak pengamat yang meragukan konsistensi ideologisnya, ketika dibeberapa daerah justeru PKS menjalin kerjasama dengan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang secara formal adalah partai nasrani.13 Pragmatisme ini juga dilihat seperti kebijakan PKS yang menuai hal yang sangat 10
Mohd Izani Mohd Zain(ed).2005. Demokrasi dan Dunia Islam: Perspektif Teori dan Praktik. (Kuala Lumpur: Penerbit University Malaya) Hal. 265
11
Sapto Waluyo. 2005. Kebangkitan Politik Dakwah: Konsep dan Praktik Politik Partai Keadilan Sejahtera di Masa Transisi. ( Bandung: Harakatuna) Hal.29 12
Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama) Hal.34
13
Koalisi dengan PDS, PKS dicemooh.http://nasional.news.viva.co.id15/03/2010 diunduh tanggal 16 april 2014
kontroversial ketika dicalonkannya Tamsil linrung sebagai anggota DPR dari PKS yang ditempatkan sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI periode 2009-2014. Padahal beberapa kalangan menuding bahwa Tamsil memiliki rekam jejak yang kurang baik dalam pemberantasan korupsi. Isu kurang sedap terakhir yang menimpa Tamsil adalah dugaan peranan dia dalam alokasi pendanaan percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.14 Yang paling kontroversial selanjutnya adalah, dicalonkannya Jenderal Polisi (Purn.) Adang Daradjatun pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007. Mietzner mengungkapkan bahwa ada spekulasi yang menyebut Adang menyetor uang antara Rp. 13 milyar sampai Rp. 15 milyar sebagai “uang mahar” dan PKS tidak menolak secara tegas.15 Dari gambaran di atas, penelitian dalam skripsi ini ingin mendalami dinamika PKS secara genealogis yang bertujuan untuk melihat sebuah kontinuitas yang tak terputus dengan cara mengidentifikasi berbagai macam perubahan-perubahan yang terjadi dalam setiap mihwar. Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa pembicaraan tentang dinamika perubahan rotasi mihwar dan konsistensi PKS juga harus membaca kembali implementasi ideologi Jama’ahTarbiyah. Begitu pun, tanpa dipungkiri bahwa terjadinya friksi antara “fraksi idealis” dan “fraksi pragmatis”. Penelitian terhadap dinamika dan pergulatan politik diantara mereka menjadi penting, karena ia akan berkaitan dengan motivasi dakwah sekaligus fenomena sosiologis sebagai bagian dari mesin partai itu sendiri. Objektifikasi dinamika dakwah kampus dalam mengaplikasikan agenda dari satu mihwar terhadap mihwar lainnya menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama ketika memasuki mihwar muassasi16yang mengalami berbagaimacam dinamika di tubuh PKS. Genealogi sangatlah
14
Burhanuddin Muhtadi. 2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia) Hal. 155
15
Ibid. hal. 156
16
Dalam rencana awal yang dicetuskan tahun 1997, para aktifis Jama’ahTarbiyah baru akan memasuki mihwar mu’asasi, terjun ke politik dengan fokus pada islahul hukumah (perbaikan pemerintahan) pada tahun 2010. Karena itu rencana tersebut dinamakan “Visi 2010”. Namun kemudian terjadilah Reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto dan rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, dan membuka peluang mendirikan partai politik dengan azas yang beragam, termasuk azas Islam.Arief Munandar. 2011.Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004 (Disertasi PhD, Universitas Indonesia) Hal. 278
penting untuk memperhatikan berbagai macam dinamika, transformasi, dan berbagai macam diskontinuitas yang terjadi di tubuh PKS. 1.2. Permasalahan Penelitian Dari pemaparan diatas, setidaknya kita akan melihat beberapa cakupan permasalahan PKS yang dapat di eksplorasi lebih jauh, diantaranya; (1) tidak semua kalangan muslim menerima demokrasi untuk mengekspresikan Islam dalam mengelola negara. Berbagai macam pandangan tersebut juga berkembang didalam jati diri sebagian kader Jama’ahTarbiyah itu sendiri ketika dikesankan adanya penyimpangan yang terjadi di PKS ketika memasuki demokrasi. (2) Sebagaimana kita ketahui, basis utama kaderisasi Jama’ahTarbiyah/ PKS mayoritas berasal dari basis kampus yang memiliki strata sosialdan strata pendidikan yang tinggi di kalangan masyarakat. Di satu sisi, kelompok ini lahir cenderung kritis dalam merespon berbagai macam hal. Namun di sisi lain, setiap anggota Jama’ah tersebut juga dibesarkan dalam tradisi pengkaderan yang cenderung ketat, dan ketaatan anggota terhadap keputusan Jama’ah adalah bagian dari norma sosial yang harus di patuhi. Perihal tersebut menunjukkan adanya kontradiksi antara daya kritis para anggota terhadap berbagaimacam isu yang berkembang di satu sisi, namun juga dituntut untuk patuh dan tunduk kedalam sistem kaderisasi yang mengedepankan ketaatan –atas nama Jama’ah di sisi lain. Dalam hal ini, terkesan adanya kegamangan ‘ideologi’ itu sendiri yang justeru datang dari ‘orang-orang berpendidikan’.17 (3) dari informasi awal yang peneliti miliki menunjukkan; terdapat gejala-gejala yang menjadi pembeda kualitas setiap kader aktivis kampus hasil dari kaderisasi Jama’ahTarbiyah/ PKS dari generasi satu mihwar, dengan mihwar selanjutnya. Perihal ini akan mencoba membedah kembali relevansi ideologi atau tema yang diperjuangkan dari setiap mihwar yang berkesesuaian atau tidak dengan realitas objektif persoalan-persoalan yang dihadapi. Artinya, apakah ideologi atau tema perjuangan yang diangkat mampu menafsirkan berbagai persoalan baru yang muncul dihadapi atau tidak. Apakah persoalan-persoalan seperti proses demokrasi melalui pemilu, dan lain-lain itu mampu ditafsirkan oleh ideologi atau tema gerakan yang 17
Untuk mendalami perihal ini lebih jauh, lihat Arief Munandar. 2011. Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004 (Disertasi PhD, Universitas Indonesia)
bersangkutan secara objektif dan di tingkat publik, atau malah dimaknai secara subjektif, dan berbenturan dengan agenda mihwar itu sendiri.18 Tidak dipungkiri bahwa; penelitian tentang Jama’ah Tabiyah/ PKS sudah banyak dikaji oleh para sarjana sosial, komunikasi, agama, maupun politik pada umumnya. Banyak diantara penelitian-penelitian sebelumnya cenderung mengungkapkan permasalahan historis maupun transformasi dari gerakan keagamaan ke gerakan politik maupun pada permasalahan dinamika perebutan elektabilitas. Namun, penjelasan sosiologis yang diletakkan dalam konteks pembacaan mobilisasi sumber daya serta dinamika kaderisasi PKS di tingkat kampus dari satu generasi ke generasi belum ada yang mengkaji secara mendalam dari para sarjana itu sendiri. 1.3. Rumusan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, setidaknya ada 3 permasalahan yang menjadi fokus rumusan penelitian ini, diantaranya: Pertama, bagaimana proses kelahiran Jama’ahTarbiyah dan landasan ideologis apa yang menjadi tujuannya? Perihal ini dapat dijawab melalui pendekatan proses kelahiran Jama’ahTarbiyah di tingkat kampus dan faktor-faktor apa saja yang berperan penting dalam memobilisasi sumber daya kader Jama’ahTarbiyah itu sendiri. Perihal ini juga berkaitan dengan cara bagaimana menyampaikan pesan ideologi secara jelas dan mampu diterima oleh sekalangan civitas akademika. Kedua, bagaimana cara PKS dalam membangun kepercayaan di tingkat kampus, ketika sebagian kalangan menganggap prilaku politik PKS tidak komitmen terhadap agenda ideologis dan tingginya penolakan terhadap politik praktis? Perhal ini dapat dijawab melalui berbagaimacam pengamatan prilaku politik yang dikembangkan para kadernya dalam menyampaikan pesan ideologis PKS ditengah berbagai macam penolakan yang tinggi dari khalayak umum dan berbagai macam maneuver gerakan yang dilakukan oleh setiap aktor dalam membendung berbagai macam isu negatif yang berkembang 18
Untuk mendalami perihal ini lebih jauh, lihat Burhanuddin Muhtadi. 2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia)
terhadap Jama’ahTarbiyah. Perihal ini bisa dijawab melalui pendekatan analisa sosiopsikologis kader Jama’ahTarbiyah dalam membangun motivasi dakwah dan memahami keberJama’ahan di internal Jama’ahTarbiyah itu sendiri. Ketiga, dinamika apa yang menjadi pembeda dalam mempertahankan ideologi Jama’ahTarbiyah sebelum dan sesudah terbentuknya PKS? Perihal ini dapat dijawab melalui pengamatan terhadap berbagai macam setting agenda dalam transformasi setiap mihwar, serta konsekuensi apa saja yang telah berkembang di internal PKS yang berefek pada agenda kaderisasi dalam mencapai tujuan ideologinya. Perihal ini juga menekankan aspek historisitas tumbuh dan berkembangnya Jama’ahTarbiyah melalui interaksi yang mendalam kepada aktor-aktor Jama’ahTarbiyah. 1.4. Pentingnya Kajian Sudah begitu banyak kajian yang telah dikemukakan oleh para sarjana mengenai PKS baik dari sudut pandang sosial-keagamaan maupun politik, namun tidak banyak yang secara fokus membahas tentang dinamika perubahan pola Jama’ahTarbiyah secara genealogis. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud; 1.4.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan dinamika orientasi ideologi Jama’ahTarbiyah/PKS yang menyertai perubahan gerakan keagamaan yang berawal dari gerakan sosial menjadi gerakan politik secara sosiologis. 2. Menjelaskan berbagai macam dinamika perjalanan transformasi gerakan Jama’ahTarbiyah pada setiap fase-nya. 1.4.2. Kegunaan Penelitian A. Manfaat Akademik
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi khasanah sosiologi politik dalam melihat dinamika politik keagamaan. 2. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman baru tentang dinamika orientasi politik PKS terhadap ideologi gerakan keagamaan. 2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kader PKS agar dapat memformulasikan gerakan politik keagamaan yang lebih baik. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan dalam studi gerakan politik keagamaan itu sendiri. 3. Sebagai prasyarat untuk memenuhi gelar sarjana ilmu sosial. 1.5.Tinjauan Teori Penelitian
skripsi
ini
menggunakan
beberapa
pendekatan
teori
yang
menghubungkan antara tinjauan historis, teologis, antropologis, dan psikologis yang dihubungkan dalam kerangka sosiologis. Salah satu pendekatan teori yang penting dalam penelitian ini adalah pembacaan sejarah dan dinamika Jama’ahTarbiyah/ PKS, diantaranya; 1.5.1. Membaca Entitas Genealogi dalam Konteks Strukturasi Yudi Latif menekankan; dalam artian Foucauldian, “genealogi” merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artian ini, “genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.” Justru sebaliknya, “genealogi
berusaha
mengidentifikasi
hal-hal
yang
menyempal
(accidents),
mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)”. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang-tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal.19 Dalam penjelasannya mengenai konsep genealogi Foucault, Michael Clifford mengungkapkan bahwa; Genealogy exposes the nonessentiality of the political subject through a historical analysis of its constitution. The exposure of political subjectivity is effected by recognizing in it the axial interplay of discursive practices, power relations, and processes of subjectivation. Yet what is exposed in this analysis is not the “origin” of the political subject, understood as the transcendental conditions of its appearance. Rather, what genealogical critique exposes is the Entstehung of the political subject, its emergence as an event. As Foucault explains, “Emergence designates a place of confrontation but not as a closed field offering the spectacle of a struggle among equals.20
“Genealogi” dalam artian ini berguna untuk memperhatikan transformasi, berbagai macam dinamika, dan berbagaimacam kontinuitas-maupun diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis dari perkembangan Jama’ahTarbiyah dan PKS itu sendiri. Dengan pembacaan secara genealogis, penelitian ini menggunakan pendekatan yang melihat momen-momen yang bersifat sinkronik (perubahan yang terjadi pada saatsaat tertentu) dalam kerangka waktu yang diakronik (lama-berkesinambungan) yang berlangsung dalam sejarah yang dikontekskan dengan realita sosial sejarah tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Benjamin Walter mengungkapkan;‘Setiap kondisi historis memunculkan polarisasi yang bersifat dialektis dan menjadi sebuah medan kekuatan (Kraftfeld) dimana di dalamnya berlangsung konflik antara masa lalu (forehistory) dan
19
Yudi Latif.2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. (Bandung; Penerbit Mizan, 2005) Hal. 7
20
Michael Clifford. 2001. Political Genealogy After Foucault: Savage Identities. (New York and London: Routledge) Hal. 151
masa depan (after-history)’.21Studi terhadap kontinuitas yang bersifat sinkronik adalah penting untuk bisa mengamati proses “strukturasi” (structuration) –dalam artian Giddens (1984)- dari tradisi-tradisi intelektual. Ide-ide, peran, dan persepsi-diri kader PKS dipengaruhi oleh batas-batas tradisi Islam dan kultural tertentu yang terbangun secara historis serta kemungkinan tindakan dan kemauan-kemauan aktor-aktor sosial (human agencies). Dalam hal ini, Anthony Giddens mengungkapkan tentang filsafat aksi dari pengamatan “strukturasi” ini setidaknya ditekankan pada dua aspek, yaitu; pertama adalah pengenalan temporalitas ke dalam pemahaman tentang pelaku manusia; kedua adalah pengenalan kekuasaan sebagai bagian tak terpisahkan dari konstitusi praktik-praktik sosial itu sendiri.22 Dalam hal ini, ‘struktur’ muncul dalam peranannya yang lebih explanatoris, yang terhubung dengan gagasan transformasi. Analisis struktural pada hubungan sosial dipandang mampu membedah dibalik akar permasalahan dan level tampilan luar Jama’ahTarbiyah/PKS sekaligus berupaya untuk mengatasi perbedaan sinkronik/diakronik baik yang berupa kekukuhan atau pengulangan perilaku; di dalam kontinuitas dalam kehidupan sosial itu sendiri. Di poin pertama selanjutnya Anthony Giddens menekankan bahwa; aktivitas sosial selalu mewujud dalam tiga momen perbedaan yang saling bersilangan: secara temporal, paradigmatis (memunculkan struktur yang hanya hadir dalam bentuknya yang sekilas) dan spasial.23 Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa; pembacaan terhadap dinamika Jama’ahTarbiyah harus dimaknai bukan hanya sebatas melihat arus sejarah terhadap proses perkembangan Jama’ahTarbiyah saja, melainkan juga; melihat perkembangan Jama’ahTarbiyah secara sinkronik dan diakronik berdasarkan setiap fase mihwar yang sudah dilewatinya secara temporal, sekaligus melihat konteks sistem sosial dan kondisi spasial yang berkembang saat itu. Pembacaan terhadap perubahan dari satu mihwar terhadap mihwar yang lainnya juga harus dilihat terhadap perubahan adakah terjadinya 21
OpCit. Hal. 8
22
Anthony giddens. 2009.Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Hal.91
23
Ibid. Hal. 91
perubahan paradigmatis yang berkembang terhadapnya. Hall mengungkapkan; ‘Identitasidentitas terbangun di dalam, bukan di luar, discourse (wacana perbincangan), dan karena itu kita harus memahami identitas-identitas tersebut sebagai sesuatu yang terbentuk dalam ruang-ruang historis dan institusional yang spesifik lewat struktur dan praktikpraktik diskursif yang spesifik.’24 Untuk membaca inti dari identitas tersebut, hal ini juga bisa dilihat dari pembacaan terhadap perkembangan paradigma yang mempengaruhi konsistensi/perubahan terhadap ideologi itu sendiri. Bagi Marx, ideologi merupakan suatu konsep yang tidak abstrak. Ideologi merupakan piranti, yang dengannya, ide-ide dari kelas yang berkuasa dapat diterima di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang normal dan natural. Segenap pengetahuan merupakan hal yang “class based”: telah terinskripsikan di dalam muasal kelasnya, dan bekerja demi kepentingan kelas yang bersangkutan. Marx memahami bahwa para anggota dari kelas subordinat, yakni kelas grass-root (dalam hal ini anggota Jama’ahTarbiyah secara umum), dituntun untuk membayangkan tentang pengalaman sosialnya, hubungan sosial, dan bahkan, akan diri mereka sendiri, melalui seperangkat ide yang bukan berasal dari diri mereka sendiri, melainkan datang dari suatu kelas yang tidak hanya memiliki kepentingan sosial, politik, dan ekonomis yang berbeda dengan mereka, namun sungguh-sungguh berlawanan.25Althusser menganggap bahwa; kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri mereka dengan ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan sosial politis mereka sendiri.26 1.5.2. Keterhubungan Politik Ideologi dan Emosi Gerakan
24
Yudi Latif.2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. (Bandung; Penerbit Mizan) Hal. 10
25
Louis Althusser. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme, Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. (Yogyakarta: Percetakan Jalasutra) Hal. x
26
Ibid. Hal. xi
Dalam hal ini, tidak dipungkiri bahwa; aktivisme Jama’ahTarbiyah/ PKS dalam memahami, memaknai, dan melakukan tindakan sesuatu juga diwarnai oleh ideologi yang diyakininya. Sebagaimana digambarkan oleh John Schwarzmantel, ideologi yang tumbuh didalam Jama’ahTarbiyah juga tidak dipungkiri hadir sebagai sebuah refleksi dari realitas sosial dan politik –terutama yang menitik beratkan pada ketimpangan sosial, ketidak adilan, penindasan, dan budaya masyarakat yang semakin rusak- menimbulkan sebagian kalangan mengimajinasikan tentang cara bagaimana membangun sebuah idea yang mampu merupak realitas sosial politik tersebut kearah perubahan yang lebih baik. Dari keyakinan idea perubahan inilah, maka akan berkembang menjadi tindakan aksi.27 Dalam Jama’ahTarbiyah/ PKS, tidak dipungkiri bahwa bangunan ideologi yang berkembang di dalam ajaran mereka meyakini bahwa salah satu faktor terpenting dalam merubah realitas sosial politik menjadi lebih baik adalah dengan cara menekankan pada pendekatanpendekatan yang bersifat teologis. Dalam konteks keterhubungan antara realitas dengan aspek teologis, Yusuf (2005) mengungkapkan bahwa; keimanan terhadap Tuhan dan aktualisasinya dalam tindakan merupakan hasil dari internalisasi individu yaitu pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Dengan kata lain, proses pembentukan pemahaman keagamaan pada individu ini tidak hanya berasal dari dalam diri individu tersebut tetapi juga berasal dari struktur sosial yang melingkupinya. GH.Mead menjelaskan bahwa; proses berpikir individu itu dihasilkan dari interaksinya dengan dunia sosial serta struktur yang ada disekitarnya. Proses sosial itu akan membentuk diri dan identitas individu sebagai seorang subjek.28 Dari perihal inilah, -meminjam teoritisasi Goran Therborn tentang ideologi- maka kita akan melihat bahwa internalisasi nilai-nilai ke-Tuhan-an setiap individu mampu dijadikan sebagai sebuah landasan dalam merefleksikan sebuah realitas, yang didalamnya memunculkan tentang cara bagaimana ‘perintah-perintah Tuhan’ berfungsi dalam 27
28
Lihat John Schwarzmantel. 2008.Ideology and Politics. (London: Sage Publications Ltd)
M. Supraja (ed). 2013.Kerentatan, Kekerasan dan Reorpduksi Sosial Kaum Muda dan Radikalisme: Studi Kasus Radikalisme Rohis di Eks-Karesidenan Surakarta. (Unpublished:Departemen Sosiologi FISIPOL UGM) Hal. 68
memperbaiki sebuah realitas tertentu berdasarkan sebuah ‘pengalaman sosial-keagamaan’ yang pernah terjadi, yang dielaborasikan dengan intellectual doctrines, yang menciptakan sebuah kesepakatan diantara para aktor sosial didalamnya, dan menginstitusionalisasikan nilai-nilai ideologi yang dibangun tersebut dalam sebuah ‘ struktur dan sistem sosial’ yang dikembangkan ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Goran Therborn: 'The operation of ideology in human life basically involves the constitution and patterning of how human beings live their lives as conscious, reflecting initiators of acts in a structured, meaningful world. Ideology operates as discourse, addressing or, as Althusser puts it, interpellating human beings as subjects'. This operation of ideology involves two processes: the constitution and subjection of human, conscious agents and their qualification to fulfil their positions in society.29 Meski pun begitu, selanjutnya Goran Therborn mengungkapkan bahwa ideologi meletakkan setiap individu di dalam ruang dan waktu menggunakan cara pandang ideologi yang didalaminya dalam rangka untuk menentukan identitas personal, posisi, dan juga dalam menciptakan karakteristik sosial yang baru.
29
Slavoj Zizek (ed). 1994. Mapping Ideology.(New York and London: Verso) Hal. 153
Tabel: 1.1 Dimensi Pembentukan Ideologi Subjectivities of-in
Subjectivities of Being
the-WorW Existential 1. Inclusive
Believe
Historical about
2.
Beliefs
about
meaning (e.g. Life and
membership of historical
death)
social worlds (e.g. tribe, village, ethnicity, state, nation, church)
3. Beliefs Positional
identity
about (e.g.
4. Beliefs about 'social geography'(e.g.
individuality, sex,
educational
age)
lineage,
status,
hierarchy,
class) Sumber: Slavoj Zizek (ed). Mapping Ideology.(New York and London: Verso, 1994) Hal. 153
Selanjutnya, dari pendekatan teoritisasi Goran Therborn tentang ideologi, maka kita akan mengambil benang merah bahwa sejatinya ideologi juga berperan menempatkan ‘agen’ pada sebuah posisi tertentu, didalam struktur sosial dan institusi yang diciptakannya. Perihal ini juga senada dengan apa yang digambarkan oleh Louis Althusser yang menyatakan bahwa; ...Just as in class society, ideology has the function of securing the bond between men in the ensemble of the forms of their existence, the relation of individuals to their task fixed by the social structure.30 Dari upaya meng-institusionalisasi-kan ideologi inilah, tidak dipungkiri bahwa dalam sebuah institusi, maka ia akan menciptakan struktur kekuasaan tertentu. Oleh 30
Théorie, Pratique Théorique et Formation Théorique: Idéology et Lutte Idéologique.p29. Dalam Jacques Ranciére. On The Theory of Ideology:The Politics of Althusser.Hal. 2
karena itu, dalam teoritisasi yang dibangun, Goran Therborn membuka sebuah diskusi antara ideologi dengan kekuasaan dalam sebuah pertanyaan the ideology of power and the power of ideology? Dalam hal ini, Thomas Hobbes berpendapat bahwa; kekuasaan tidak hanya datang karena terjadinya ‘kontrak sosial’ yang terjadi, yang hanya dilihat secara fungsionalis untuk memenuhi kebutuhan setiap individu dan masyarakat. Melainkan, jauh daripada itu adalah bahwa; kekuasaan dibangun oleh setiap ‘agen’ dengan cara menciptakan “pengakuan” dari setiap individu dalam institusi tersebut dengan cara menciptakan “rasionalisasi” dan “legitimasi” yang menggambarkan tentang tujuan dan capaian apa yang ingin dihadirkan dari kekuasaan di dalam institusi tersebut di “masa mendatang”.31 Dalam hal ini, ideologi berperan dalam meng-eksistensikan sebuah kekuasaan tertentu. Selanjutnya, Thomas Hobbes melihat bahwa dengan ideologi, di satu sisi kekuasaan sebagai “kemampuan” alam menciptakan sebuah realitas sosial tertentu, namun di sisi lain juga kekuasaan ruang bagi setiap ‘agen’ untuk menciptakan sebuah “dominasi”.
Oleh
karena
itu,
-sebagaimana
digambarkan
oleh
Hobbes-
dalam
mempertahankan sebuah kuasaan tertentu, maka di dalam realitas ‘agen’ akan tercipta agen-agen yang ingin menjadi “I want to be dominant” di dalam sebuah kekuasaan tertentu, dan juga “I accept dominant” yang menyepakati dominasi kekuasaan tersebut, karena dianggap setiap agen yang berada di dalamnya membutuhkan legitimasi “kuasa” itu sendiri. Dalam meng-kontekskan ideologi terhadap Jama’ahTarbiyah, maka kita akan melihat bahwa konseptualisasi yang dibangun dalam rangka menghadirkan Islam yang mampu menjadi solusi bagi perbaikan masyarakat dan negara, akan dilihat konsistensinya dalam mengaplikasikan ideologi mereka ditatanan masyarakat, dan sejauhmana komitmen mereka dalam menghubungkan ideologi sebagai kaca mata dalam melihat realitas masyarakat, yang dikerangkai dengan perpektif atau cara pandang yang bersumber pada nilai-nilai Islam. Termasuk dalam memahami realitas dakwah dan kuasa.
31
W.J. Stankiewicz (ed). 1993. In Search of A Political Philosophy: Ideologies at The Close of The Twentieth Century.(London and New York: Routledge Publishing) Hal. 208
Yang menjadi titik tekan selanjutnya adalah tentang bagaimana Islam memandang sebuah ideologi?. Tentu tidak mudah untuk menjawab hal tersebut. Sebab bagaimana pun, landasan ideologi Islam pastilah bersumber pada suatu hal yang sudah givendari Allah seperti syariat Islam yang sudah “baku dan tetap” dengan sistem yang bersifat theo-sentris lebih ditekankan, sedangkan secara teoritis ideologi berkembang dari sebuah hasil dari pemaknaan realitas secara antropo-sentris yang bisa berubah secara dinamis. Untuk memahami hal tersebut dan tidak terjebak pada pemaknaan ideologi Islam secara paradoks, penting kiranya untuk dipahami bahwa Islam merupakan agama yang memuliakan hal yang bersifat antropo-sentris, namun juga dilandasi oleh hal yang bersifat theosentris. Dengan perihal yang seperti ini, maka kita akan melihat Islam yang sangat dinamis, mengitegrasikan hal yang bersifat Illahiyyah terhadap hal yang bersifat pendayagunaan akal manusia.Sebagaimana Wan Mohd Noor Wan Daud yang menyatakan bahwa dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang disebut sebagai stabilisme dinamis (dynamic stabilism), dimana antara hukum Tuhan yang “stabil” mampu menjawab sebuah realitas yang “dinamis” yang dipadukan dengan daya pikir kreatif setiap idividu muslim yang terus menerus menggabungkannya antara nalar theologis dengan nalar rasio, mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktik sesuai pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan inkulturasi dalam pengembangan ideologi Islam pun terjadi. Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun solusi tersebut bertanggung jawab untuk memperbaiki, memperkuat metafisika, etika, kerangka hukum, dan sosial, dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka memiliki landasan stabilisasi yang berdasarkan konsep-konsep Islam.32 Oleh karena itu, dalam menggambarkan ideologi Islam, yang harus dipahami adalah tentang sejaumana sebuah gerakan Islam tetap konsisten terhadap landasan ideologis yang “stabil dan tetap” (al-Qur’an dan sunnah) dan diaplikasikan secara dinamis dalam menjawab realitas sosial yang berkembang.
32
Wan Mohd Nor Wan Daud. 2013. Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi. (Bogor: Universitas Ibn Khaldun & CASIS-UTM Malaysia) Hal. 38-39
Di sisi lain, keberlangsungan hal yang bersifat ideologis juga dipengaruhi mau pun mempengaruhi hal yang bersifat emosional bagi setiap individu yang berada di dalamnya, yang akan mempengaruhi tindakan mereka dalam sebuah aktivitme gerakan yang bersifat kolektif mau pun hal yang bersifat personal diantara mereka. Dari perihal inilah, maka kita akan melihat bahwa; Jama’ahTarbiyah –sebagai bagian dari gerakan sosial keagamaanyang dibentuk atas dasar kesadaran teologis telah membingkai hubungan keterikatan di dalam gerakan sosial yang bukan hanya bertemu pada ranah kognitif semata, melainkan terjalin hubungan emosional didalamnya. Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Aminza dan Mc Adam yang menekankan dua hal penting dalam mengimajinasikan gerakan sosial, yaitu; (1) how individually-based emotion is transformed in social movements and (2) how new emotions are created through the collective.33 Yang menarik dari Jama’ahTarbiyah/ PKS selanjutnya adalah; bagaimana membangun solideritas yang tinggi diantara sesame kader. Meski pun terjadi berbagaimacam penyerangan isu yang bersifat negatif dari berbagai macam media –baik nasional maupun internasional- dan juga berbagai macam isu kasus kriminalitas yang menyangkut kadernya, -bahkan puncak pimpinannya- atau pun berbagai macam isu yang dikemukakan oleh orang-orang yang keluar dari barisan Jama’ah tidak berarti membuat para kader yang lain dengan mudah untuk menunjukkan kekecewaannya. Bahkan fakta menarik menunjukkan, bagaimana setelah tragedi yang menimpa LHI justeru menunjukkan solideritas Jama’ahTarbiyah/PKS semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan tentang bagaimana para kader berubaya bahu membahu dalam memenangkan pemilu 2014 dengan segenap upaya dan pengerahan massa secara besar-besaran, mulai dari kader yang berasal di daerah pedesaan dan perkotaan, hingga kader yang masih duduk di bangku SMA atau pun kuliah. Hal ini juga bisa digambarkan, karena sistem kaderisasi PKS yang mampu mengembangkan interaksi partisipatif secara intensif –baik di dalam forum halaqoh/ usroh yang dilakukan setiap pekan secara rutin oleh setiap kader- telah membangun energi emosional yang tinggi dalam memproduksi solideritas itu sendiri.
33
Helena Flam and Debra King (eds). 2005.Emotions and Social Movements. (USA and Canada: Routledge Publishing) Hal. 42
Collins argues that individuals gain emotional energy, which feels like confidence, enthusiasm, and willingness to initiate interaction, from participating in face-to face interaction or group level rituals that produce solidarity. Emotional energy is the individual spin-off of the creation of solidarity on the group level.34
Bagan: 1.1 Kerangka Teoritis Strukturasi Teologi
Teologi
GENEALOGI Sinkronik/ Diakronik
Ideologi
Teologi
Emosional
Dengan kata lain, pembicaraan tentang strukturalisme juga bisa dibaca dari pandangan emosional dalam cara pandang/ penilaian terhadap status dan struktur tertentu. Konsep mikro-sosiologis yang dikembangkan oleh konsep strukturalisme juga bisa menjadi alat utama dalam membaca kecenderungan emosional para aktivis Jama’ahTarbiyah/ PKS dalam membangun interaksi sosial yang mampu mengukuhkan struktur sosial tertentu. Dari perihal inilah, sebagaimana digambarkan Ashef Bayat maka kita akan melihat religious activismyang dipengaruhi oleh dinamika dan kontestasi ideologi Islam (dalam hal ini ideologi PKS) kedalam; (1) “religiositas aktif” yang memiliki nuansanuansa politik yang berorientasi keluar (outward oriented) dengan tujuan menciptakan sebuah perubahan yang Islami, (2) “kesalihan aktif” yang berorientasi pada kesalihan individu (inward oriented). 34
Ibid. Hal. 137
1.6.Metodologi Studi ini menggunakan penelitian kualitatif. Pendekatan ini menjadi penting dalam rangka berusaha untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik dalam sebuah konteks diakronik yang didasarkan pada sebuah kronologi tertentu. Selain itu, pendekatan penelitian kualitatif ini juga menjadi penting dalam rangka mengembangkan deskripsi dan eksplanasi yang mendalam mengenai dinamika kaderisasi PKS dari setiap mihwar. Crasswell menekankan; dengan demikian peneliti berangkat dari asumsi ontologis bahwa pada dasarnya, realitas yang ada bersifat subjektif dan beragam sebagaimana yang dipahami oleh setiap informan, ketika kebenaran/ pengetahuan adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Ada pun teknik penelitian kualitatif ini dibutuhkan beberapa teknik, diantaranya ialah; wawancara mendalam (in-dept interview) yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dan pandangan dari tokoh kunci di setiap hasil kaderisasi mihwar tertentu. Ada beberapa tujuan pencarian data informasi dalam wawancara ini, diantaranya; (1) melakukan profiling informan dalam mengemukakan cara pandangnya terhadap dinamika Jama’ahTarbiyah/ PKS dan keterkaitannya dengan Jama’ah tersebut. (2) mendalami lebih jauh dinamika perubahan setiap mihwar, maupun berbagai macam kronologis transformasi kaderisasi itu sendiri. (3) mendalami lebih jauh tentang konteks sosial yang berkembang ketika Jam’ah Tarbiyah melakukan proses transformasi dari satu mihwar ke mihwar lainnya. (4)
mengetahui cara bagaimana Jama’ahTarbiyah dalam memandang realita
tertentu, dan apa yang menjadi rujukan ataupun motivasi utama dari setiap transformasi mihwar
tertentu.
(5)
mengetahui
pembacaan
terhadap
realita
perkembangan
Jama’ahTarbiyah baik dalam melihat realita soliditas sosial yang terbangun dan kerentanan yang terjadi diantara sesama kader Jama’ahTarbiyah dalam menjalankan agenda setting dari setiap mihwar tertentu, maupun melihat realita terhadap konflik-konflik sosial yang terjadi diantara setiap mihwar dalam mencapai visi dakwah Jama’ahTarbiyah itu sendiri. Wawancara mendalam dilakukan dengan cara menggunakan prinsip siangulasi, yaitu: data yang diperoleh dari para informan akan di crosscheck kembali kepada informan lainnya untuk memperoleh data yang valid. Wawancara juga dilakukan dengan
menggunakan prinsip triangulasi, dimana data yang diperoleh dari informan akan di crosscheck kepada informan lain untuk memperoleh data yang valid. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis mencoba memetakan para informan kedalam dua kategori, yaitu; (1) Aktivis yang mengembangkan Jama’ahTarbiyah pada setiap Mihwar (2) Saksi sejarah Perkembangan Jama’ahTarbiyah di setiap area kampus tersebut. Dari gambaran diatas, secara metodologis penulis mencoba untuk menciptakan skema studi genealogis terhadap pembacaan perkembangan Jama’ahTarbiyah yang dikontekskan dengan transformasi politik PKS itu sendiri. Dengan kata lain, penekanan terhadap metodologi ini diharapkan mampu memetakan peranan antara agen dan struktur dan siapakah diantara keduanya yang menjadi aktor dominan dalam mempengaruhi kebijakan Jama’ahTarbiyah di setiap mihwar tertentu. Oleh karena itulah, dalam studi ini tidak menafikkan bahwasanya gambaran realitas PKS hari ini juga bisa dikaitkan dari bagaimana aktivisme Jama’ahTarbiyah kampus terbangun dalam membaca sebuah realitas sosial yang berkembang.35 Untuk membantu penelitian ini, penulis juga melakukan penelusuran terhadap datadata yang bersifat sekunder, dengan pendekatan studi literasi terhadap berbagai macam buku-buku yang berkaitan dengan perkembangan Jama’ahTarbiyah atau pun PKS baik yang ditulis oleh kader Jama’ahTarbiyah ataupun peneliti dari kalangan di luar kader, berbagai macam dokumen-dokumen sejarah tertentu. Perihal ini dimaksudkan untuk menelaah lebih jauh untuk memahami berbagai macam faktor historis, berbagai macam motif-motif maupun karakteristik-karakteristik di setiap mihwar, ide-ide yang terangkum dalam ideologi, maupun berbagai macam kegiatan politik PKS/ Jama’ahTarbiyah sendiri. Pengamatan langsung menjadi bagian dari perangkat penting dalam penelitian ini, mengingat bahwa peneliti juga merupakan bagian dari salah seorang yang aktif dalam mengikuti agenda kaderisasi Jama’ahTarbiyah kampus. Kondisi ini telah membantu peneliti 35
Hal ini juga bisa digambarkan, jikalau sebelum tahun 2004 dalam Jama’ahTarbiyah, memandang seorang Muslimah –terlebih seorang akhwat kader Jama’ahTarbiyah Kampus maupun kader PKS- bernyanyi didepan panggung yang dipetontonkan oleh laki-laki dan perempuan adalah suatu hal yang tabu, namun kini justeru PKS seorang Muslimah atau seorang akhwat bernyanyi dipanggung kampanye PKS.
memahami berbagai macam tradisi, budaya, dan norma-norma yang berkembang di dalam Jama’ahTarbiyah ketika mengikuti jenjang kaderisasi di tingkat kampus. Dan yang terakhir, pengumpulan data –baik yang primer maupun yang sekunderakan dieksplorasi lebih jauh dalam rangka saling melengkapi akurasi data sekaligus memberikan gambaran yang sangat empiris terhadap hasil dari penelitian ini.
Tabel: 1.2 PEMETAAN RESPONDEN SAKSI SEJARAH JAMA’AHTARBIYAH No
1
2
3
4
Nama
MJASP
IY
YM
AH
Tahun Lahir
1962
1962
1973
1949
L/P
L
L
L
L
Riwayat Pendidikan
S1 Fakultas Hukum UII Yogyakarta, S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
S1 Fakultas Teknik UGM
Profesi/Spesialisasi
Keterkaitan Jama’ah
Dewan Pembina Majelis Intelektual Ulama Indonesia (MIUMI) DIY, Majelis Dakwah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta, Ketua Takmir Masjid Jogokaryan. Dewan Pembina Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM.
Tokoh muslim inspiratif Yogyakarta yang mengetahui perkembangan sejarah pergerakan Islam di Yogyakarta, kini menjabat sebagai pengurus ranting Muhammadiyah, namun anak beliau berafiliasi pada Jama’ahTarbiyah
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
S1 Fakultas Sastra UI, S3 Australian National University (ANU)
Dosen Sastera Asia Barat UI
S1 Fakultas Hukum Univ. Krisnadwipayana (sulit diketahui data biografinya)
Dewan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-2014, Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) 20002005, Ketua PB HMI 1979-1981
Salah satu tokoh yang pertama kali mendakwahkan Jama’ahTarbiyah melalui FSLDK, namun beralih gerakan menjadi salah satu penggagas HTI Pengamat Gerakan Islam Indonesia. Disertasinya berjudul Islamising Indonesia: The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party. (Caneberra: ANU EPress) Tokoh yang sangat berpengaruh di HMI dan juga terhadap perlawanan kepada Orde Baru. Menjadi salah satu tokoh yang mengetahui pengenalan paham Ikhwanul Muslimin yang dimulai dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
Waktu &Lokasi Wawancara
Tanggal 20 Oktober 2014 di Sekretariat Masjid Jogokaryan Yogyakarta
Tanggal 9 November 2014 di Bandar Udara Ahmad Yani Semarang
Tanggal 4 Oktober 2014 di FIB UI, Depok
Diskusi informal tanggal 26 April 2014 di Sekretariat JS UGM, Yogyakarta
AKTIVIS SENIORJAMA’AHTARBIYAH No
5
Nama
MU
Tahun lahir
1956
L/P
Riwayat Pendidikan
L
S1 Fakultas Hukum UNDIP, S1 Fakultas Syariah Univ. Islam Sultan Agung Semarang, S 2 Fakultas Hukum Univ. Jayabaya
Profesi/Spesialisasi Anggota Legislatif DPR RI F PKS 2004-2009, Pernah menjadi pengurus DPP PKS, Ketua Umum PB PII 1980-1983
Keterkaitan Jama’ah
Waktu & Lokasi Wawancara
Menjadi salah satu tokoh senior Jama’ahTarbiyah, menjadi salah satu tokoh yang diprediksikan sebagai kalangan ‘Fraksi Keadilan’. Menjadi salah satu tokoh ‘Faksi Keadilan’
Diskusi Informal dengan MU tanggal 31 Oktober 2014dikediamannya daerah kawasan Cibinong, Jawa Barat
AKTIVIS JAMA’AHTARBIYAH UI No
6
7
8
9
Nama
MAS
Tahun lahir
Riwayat Pendidikan
Profesi/Spesialisasi
Keterkaitan Jama’ah
Waktu & Lokasi Wawancara
1968
S1 Fakultas Teknik UI, S2 dan S3 Universiti Teknologi Malaysia
Anggota Majelis Syuro PKS, Ketua DPP PKS Bidang Koordinasi Kehumasan, Anggota Legislatif DPR RI Fraksi PKS, Dosen
Diprediksikan menjadi salah satu generasi awal yang terpengaruh dengan Jama’ahTarbiyah.
Tanggal 5 November 2014 di Kantor DPP PKS Jakarta Selatan
L
M
-
L
S1 F MIPA UI
Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Depok,
Diprediksikan menjadi salah satu generasi awal yang terpengaruh dengan Jama’ahTarbiyah.
MFM
1993
L
S1 FISIP UI
Majelis Syuro’ SALAM UI 2015
Salah satu tokoh penting Jama’ahTarbiyah UI di tingkat Mahasiswa saat ini.
S1 FIB UI
Bekerja di STT-NF Jakarta. Mantan pengurus SALAM UI 2012
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang juga berpartisipasi dalam kegiatan pembinaan pribadi muslim bagi ADK.
M
1991
P
Tanggal 4 Oktober 2014 di kediamannya daerah Kota Depok, Jawa Barat Tanggal 6 November 2014 di Musholla Fisip UI, Depok
10
11
FRNW
ENI
1992
1992
P
P
S1 F Psikologi UI
S1 FIB UI
Supervisor PPSDMS-NF Puteri Regional 1 Jakarta
Jama’ah Menjadi kader Tarbiyah yang cenderung kritis terhadap segala kebijakan Jama’ah Tarbiyah.
Tanggal 22 Februari 2015 di Asrama PPSDMS & Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Fikri (STT-NF) Kota Depok
AlumniPPSDMS Puteri Regional 1 Jakarta
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang cenderung kritis terhadap segala kebijakan Jama’ah Tarbiyah.
Tanggal 22 Februari 2015 di Asrama PPSDMS & Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Fikri (STT-NF) Kota Depok
Keterkaitan Jama’ah
Waktu & Lokasi Wawancara
AKTIVIS JAMA’AHTARBIYAH ITB No
12
13
14
15
Nama
RYA
TB
FA
AF
Tahun lahir
Riwayat Pendidikan
Profesi/Spesialisasi
1988
S1 Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, S2 Institute of Social Studies, Erasmus Rotterdam University
Direktur Riset Indonesia Strategic Institute (INSTRAT). Ex Ketua GAMAIS ITB dan Presiden KM ITB 2009-2010
1989
1992
1992
L
L
L
L
S1 Planologi ITB
S1 Teknik Kimia ITB
S1 Teknik Mesin ITB
Researcher Laboratorium Policy Planning ITB. Ex Presiden KM ITB 20112012 Majelis Syuro’ Wilayah ITB. Sedang mempersiapkan keberangkatan S2 di Fahd Petroleum University Mahasiswa Tingkat Akhir ITB. Pengurus GAMAIS ITB 2013 dan Ketua Angkatan 2010 ADK ITB.
Menjadi salah satu tokoh Jama’ah Tarbiyah ITB yang cukup fenomenal hingga skala nasional, dan menjadi tokoh inspiratif, Mantan Ketua GAMAIS ITB dan Presiden KM ITB 2009-2010. Menjadi tokoh yang di usung oleh Jama’ah Tarbiyah ITB menjadi Presiden KM ITB 2011-2012.
Tanggal 27 Februari 2015 di Kantor Pustral, Bandung
Tanggal 26 Februari 2015 di ITB, Kota Bandung
Salah satu stake-holder Jama’ahTarbiyah ITB di tingkat Mahasiswa saat ini.
Tanggal 25 Februari 2015 dikediamannya daerah Dago Barat, Kota Bandung
Kader Jama’ah Tarbiyah yang juga berpartisipasi dalam kegiatan pembinaan pribadi muslim bagi ADK.
Tanggal 25 Februari 2015 dikediamannya daerah Dago Barat, Kota Bandung
16
AYR
-
L
S1 Teknik Fisika ITB
Ketua GAMAIS ITB 2014
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang aktif dalam mengikuti kegiatan pembinaaan dan agenda keTarbiyah-an.
Tanggal 26 Februari 2015 di Area Masjid Salman ITB, Kota Bandung
AKTIVIS JAMA’AHTARBIYAH UGM No
17
18
19
Nama
RTB
KNR
AE
Tahun lahir
1979
1986
1988
L/P
L
L
L
Riwayat Pendidikan
Profesi/Spesialisasi
S1 F Teknik UGM, S 2 Teknik dan Manajemen UGM
Menjadi pengurus Gerakan Muda dan Profesi DPP PKS, Mantan Ketua Umum PP KAMMI 20082009
S1 F Pertanian UGM
Koordinator Departemen Kaderisasi PP KAMMI 2013-2015
S1 F MIPA UGM
Direktur Beastudi Bakti Nusa Dompet Dhuafa, Ketua KAMMI Wilayah DIY
Keterkaitan Jama’ah Pernah dikeluarkan dari Jama’ah Tarbiyah mau pun dikudeta kepemimpinannnya ketika menjabat Ketua Umum PP KAMMI tahun 2008-2009. Namun bergabung kembali dan menjadi pengurus Jama’ah Tarbiyah hingga tingkat Pusat. Menjadi kader Jama’ah TarbiyahUGM yang selalu beraktivitas di KAMMI mulai dari tingkat komisariat hingga pusat. Menjadi salah satu tokoh Jama’ah Tarbiyah UGM yang cukup fenomenal. Selain pernah diusung menjadi Presiden BEM KM UGM oleh Jama’ah Tarbiyah, ia juga aktif dalam membidangi kepengurusan Jama’ah Tarbiyah UGM dimasanya.
Tanggal 4 Oktober 2014 di Green Tebet Mall, Jakarta Selatan
Tanggal 21 Oktober 2014 di salah satu Perumahan Daerah Sagan, Yogyakarta
Tanggal 27 Desember 2014 di Kantor Beastudi Dompet Dhuafa, Bogor, Jawa Barat
20
21
22
23
IM
II
NAP
K
1989
1992
1989
1992
L
L
P
P
S1 FISIPOL UGM
Bekerja di STT-NF Jakarta. Pernah menjadi Supervisor PPSDMS-NF Putera Regional 3 Yogyakarta dan pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Eksternal BEM KM UGM 2011
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang cenderung objektif terhadap segala kebijakan Jama’ah Tarbiyah. Ikut serta dalam aktivitas keTarbiyah-an.
Tanggal 24 Oktober 2014 di Asrama PPSDMS-NF Putera Regional 3 Yogyakarta, Sleman
S1 F Pertanian UGM
Mahasiswa Tingkat Akhir. Mantan pengurus Departemen Kaderisasi Jama’ah Shalahuddin 2013.
Jama’ah Menjadi kader Tarbiyah yang cenderung kritis terhadap segala kebijakan Jama’ah Tarbiyah.
Tanggal 31 Januari 2014 di Asrama Lembaga Pendidikan Insani (LPI) Sleman, Yogyakarta
S1 F Pertanian UGM, S2 F Pertanian IPB
Menjadi Mahasiswa PascaSarjana IPB. Pernah menjabat sebagai
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang cenderung objektif terhadap segala kebijakan Jama’ah Tarbiyah. Ikut serta dalam aktivitas keTarbiyah-an. Menjadi salah satu tokoh Jama’ah Tarbiyah UGM yang cukup fenomenal bagi kalangan akhwatADK.
Tanggal 21 Desember 2014 di Area Gedung Rektorat IPB, Bogor
S1 F Psikologi UGM
Mahasiswa Tingkat Akhir. Aktivis Gerakan KAMMI Mengajar GKM dan Kepala Kaderisasi GERISMA UGM.
Menjadi kader Jama’ah Tarbiyah yang juga berpartisipasi dalam kegiatan pembinaan pribadi muslim bagi masyarakat umum.
Tanggal 15 November di Warung Makan daerah Karang Wuni, Sleman, Yogyakarta
AKTIVIS KAMPUS YANG KELUAR DARI JAMA’AHTARBIYAH No
24
25
Nama
ANW
KR
Tahun lahir
-
L/P
L
-
L
Riwayat Pendidikan
Profesi/Spesialisasi
Keterkaitan Jama’ah
S1 FISIPOL UGM, S2 FISIP UI
Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan Pengurus Pusat PP KAMMI. Sedang menjadi Mahasiswa Tingkat Akhir Pasca Sarjana UI
Keluar dari Jama’ah Tarbiyahkarena alasan tertentu. Sebelumnya adalah orang yang sangat aktif dalam mengikuti kegiatan keTarbiyah-an sejak SMA.
Mahasiswa Tingkat Akhir. Aktivis gerakan kiri SEMAR UI
Keluar dari Jama’ah Tarbiyah karena alasan tertentu. Sebelumnya adalah orang yang sangat aktif dalam mengikuti kegiatan keTarbiyah-an, karena merupakan anak kader PKS.
S1 FISIP UI
Tanggal 1 November 2014 di Sektertariat PP KAMMI
AKTIVIS DAKWAH YANG PERNAH BERKOMUNIKASI DENGAN ADK No
26
Nama
RFA
Tahun lahir
1993
L/P
L
Riwayat Pendidikan
Profesi/Spesialisasi
Keterkaitan Jama’ah
Waktu & Lokasi Wawancara
S1 Teknik Fisika ITB
Mahasiswa Tingkat Akhir. Mantan Ketua Keluarga Muslim F MIPA ITB 2012
Sebagai Ketua Keluarga Muslim F MIPA ITB –yang mayoritas kadernya adalah ADK Jama’ah Tarbiyahnamun ia sendiri tidak berasal dari Jama’ah Tarbiyah.
Tanggal 25 Februari 2015 di Area Masjid Salman ITB, Kota Bandung,
JUMLAH PARTISIPAN DALAM MEMAHAMI PERKEMBANGAN SETIAP MIHWAR36 AREA
Mihwar Tandhimi
Mihwar Sya’bi
Mihwar Muassasi
Mihwar Dauly37
Total
UI
3
0
0
5
8
ITB
0
0
0
6
6
UGM
2
0
1
7
10
1.7. Pembatasan Penelitian Meski pun sejatinya penelitian ini menggunakan pendekatan multi-disipliner, terutama pendekatan sejarah-politik- dan sosiologis-, namun sejatinya penelitian ini harus dibatasi dalam cakupan geografis dan pendalaman isu tentang mihwar itu sendiri. Pembatasan cakupan geografis dimaksudkan bahwa penelitian ini akan dilakukan terhadap aktivisme ADK (strata sarjana 1) di tiga universitas, yaitu; Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada. Penelitian di tiga kampus tersebut dikarenakan tiga kampus tersebut menjadi salah satu kampus yang pertama kali Jama’ahTarbiyah hadir dan berkembang di dalamnya. Selain itu, pendekatan ini juga berkaitan dengan banyaknya aktor intelektual Jama’ahTarbiyah yang berasal dari tiga kampus tersebut, sekaligus ada perbedaan karakteristik dan cara pandang yang sangat mendasar dari sistem kaderisasi setiap mihwar diantara ketiga kampus tersebut.
36
Perlu dipahami bahwa, karena konsep transformasi Jama’ah Tarbiyah bersifat berkesinambungan, maka tidak dipungkiri bahwa mereka yang menjadi aktivis Jama’ah Tarbiyah di Mihwar Tandhimi juga menjadi aktivis di Mihwar Sya’bi, Mihwar Muassasi, mau pun Mihwar Dauly. 37
Penulis mencoba memberikan penafsiran subjektif bahwa Jama’ah Tarbiyah benar-benar memasuki fase Mihwar Dauly ketika tahun 2004, dimana PKS sudah mampu menjadi bagian dari eksekutif pemerintahan yang lebih luas.