1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut sangat diperlukan sejumlah dana yang dalam dunia perekonomian lazim disebut dengan modal. Ditinjau berdasarkan taraf hidup dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka dapat ditemui adanya dua sisi yang berbeda, dimana disatu sisi ada orang atau sekumpulan orang atau badan hukum yang memiliki kelebihan dana dan disisi lain begitu banyaknya masyarakat baik perorangan maupun lembaga atau badan usaha yang membutuhkan dana. Kondisi yang demikian ini melahirkan hubungan timbal balik diantara mereka. Dengan
adanya
kelebihan dana
maka
timbul
suatu
pemikiran
untuk
menginvestasikan dana tersebut pada suatu usaha yang menguntungkan secara ekonomis maupun sosial. Disinilah kemudian muncul lembaga-lembaga keuangan sebagai perantara yang menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga keuangan merupakan perantara keuangan masyarakat.
2
Lembaga keuangan di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan.1 Seiring dengan perkembangan jaman, pada kenyataannya saat ini lembaga keuangan bank tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat, mengingat keterbatasan jangkauan penyebaran kredit dan keterbatasan sumber dana yang dimiliki. Melihat berbagai kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam menyalurkan kebutuhan dana, maka muncul lembaga keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel daripada bank. Dan sebagai lembaga keuangan terakhir yang muncul adalah lembaga pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan/atau barang modal. Istilah lembaga pembiayaan memang mungkin belum sepopuler dengan istilah lembaga keuangan dan lembaga perbankan. Belum akrabnya dengan istilah ini bisa jadi karena dilihat dari eksistensinya yang memang masih relatif baru jika dibandingkan dengan lembanga keuangan bank. Meskipun lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan, namun dilihat dari padanan istilah dan penekanannya, kegiatan usaha antara lembaga
1
Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Keuangan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9.
3
pembiayaan dan lembaga keuangan adalah berbeda. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.2 Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha dibidang lembaga keuangan bukan bank yang memiliki peranan sangat penting dalam pembiayaan. Dikatakan sangat penting karena siapa pun orangnya baik pribadi ataupun badan usaha tertentu memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhannya.3 Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan mengenal tiga jenis lembaga pembiayaan yang meliputi : 1. Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit. 2. Perusahaan Modal Ventura, yaitu badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.
2
Sunaryo, 2007, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
3
Ibid, h. 2-3.
4
3. Perusahaan Pembiayaan Insfrastruktur, yaitu badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. Pada Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan melarang lembaga pembiayaan menarik dana secara langsung berupa giro, deposito, dan tabungan. Dari tiga jenis lembaga pembiayaan tersebut diatas yang tidak kalah penting dengan yang lainnya adalah Pembiayaan Konsumen atau yang dikenal dengan istilah Consumer Finance. Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah Pembiayaan Konsumen (Consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Dalam memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen membuat perjanjian pembiayaan
konsumen
diantara perusahaan
pembiayaan dengan konsumen, yang mengatur penyediaan dana bagi pembelian barang-barang tertentu. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen dilakukan penyerahan barang secara fidusia, dalam arti penyerahan barang tersebut dilakukan berdasarkan atas kepercayaan, yang akan melahirkan mekanisme, dimana pihak yang
ingin memperoleh keuntungan dari pihak yang kurang mampu berhasrat untuk membeli barang dengan cara yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu
5
diperlukan suatu hubungan yang konkrit dari para pihak-pihak tersebut yang dituangkan dalam sebuah perjanjian pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan (collateral). Meskipun demikian, sebagai lembaga bisnis, pembiayaan konsumen juga tidak lepas dari adanya resiko. Oleh karena itu dalam praktek, perusahaan pembiayaan konsumen biasanya meminta jaminan tertentu sebagaimana jaminan dalam kredit. Seperti yang diraikan sebelumnya, dalam praktek tidak berarti bahwa munculnya pembiayaan konsumen di dalam masyarakat tidak membawa masalah serta berbagai hambatan. Hal ini muncul mengingat bahwa dalam memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, perusahaan pembiayaan akan melakukan perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Tindakan atau perbuatan perusahaan pembiayaan konsumen untuk menyerahkan dana pembiayaan yang diperlukan oleh konsumen serta demikian pula tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh konsumen untuk melakukan pembayaran kembali hutang pembiayaan, tentunya hal itu merupakan suatu perbuatan yang akan membawa akibat hukum. Dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut, pihak perusahaan pembiayaan harus bertindak berhati-hati karena dari pembiayaan tersebut akan timbul sejumlah resiko yang cukup besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang dipinjam dapat kembali atau tidak. Dalam praktek perjanjian pembiayaan konsumen, banyak dijumpai konsumen (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan atau melanggar perjanjian yang biasa disebut wanprestasi. Dimana seringkali debitur tidak mau
6
melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya untuk menjaga dan merawat keutuhan barang jaminan atau justru terlambat untuk membayar angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen sampai jangka waktunya berakhir. Mengingat akibat-akibat yang timbul dari wanprestasi itu begitu penting, maka di semua perusahaan pembiayaan harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si debitur benar-benar melakukan wanprestasi agar dapat diambil langkah penyelesaian yang tepat apabila debitur benar melakukan wanprestasi. Berdasarkan kenyataan sebagaimana diuraikan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang ukuran oleh perusahaan pembiayaan untuk
menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi serta penyelesaian masalah yang timbul jika terjadi wanprestasi oleh debitur dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan judul “PENYELESAIAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
KONSUMEN
DALAM
HAL
DEBITUR
WANPRESTASI
PADA
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas pada bab berikutnya adalah : 1. Apa yang menjadi kriteria oleh perusahaan pembiayaan konsumen untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi ?
7
2. Bagaimana proses penyelesaian perusahaan pembiayaan konsumen dalam hal debitur wanprestasi ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang dibahas maka penelitian disini dibatasi sesuai dengan rumusan masalah seperti yang telah diuraikan diatas, yakni tentang kriteria yang dipakai oleh perusahaan pembiayaan untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi dan proses penyelesaian masalah oleh perusahaan pembiayaan jika debitur wanprestasi.
1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum 1. Untuk melengkapi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Peguruan Tinggi khususnya bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 3. Untuk melatih diri dalam usaha untuk menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.
b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui kriteria yang dipakai oleh perusahaan pembiayaan konsumen untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi.
8
2. Untuk mengetahui proses penyelesaian perusahaan pembiayaan konsumen dalam hal debitur wanprestasi.
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu hukum pada umumnya dan khususnya mengenai hukum bisnis mengenai perjanjian pembiayaan konsumen.
b. Manfaat Praktis 1. Memberikan sumbangan pemikiran yuridis kepada WOM Finance Kantor Cabang Singaraja, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, dan PT. Federal International Finance (FIF) Kantor Cabang Denpasar sehingga dapat memberikan pengetahuan ilmiah melalui skripsi ini. 2. Memberikan pengetahuan dan informasi yang jelas kepada konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat luas mengenai kriteria yang dipakai oleh perusahaan pembiayaan untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi dan proses penyelesaian masalah oleh perusahaan pembiayaan jika debitur wanprestasi. 3. Sebagai pedoman bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
9
1.6 Landasan Teoritis atau Kerangka Teori Kegiatan pembiayaan konsumen mulai diperkenalkan dalam usaha perusahaan pembiayaan pada waktu dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dan saat ini sudah lahir peraturan yang mengatur tentang pembiayaan konsumen sebagai badan usaha perusahaan pembiayaan yaitu Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan. Target pasar dari model pembiayaan ini sudah jelas adalah konsumen. Besarnya pembiayaan yang diberikan melalui fasilitas pembiayaan konsumen kepada konsumennya adalah relatif kecil. Oleh karena itu resiko pembiayaannya juga menyebar berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil ini, sehingga lebih aman juga bagi pihak pemberi biaya yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian fasilitas pembiayaan
konsumen didasarkan pada adanya perjanjian antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen. Bila diartikan maka perjanjian pembiayaan konsumen merupakan suatu perjanjian yang diadakan antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan guna pembelian barang-
10
barang konsumen dimana perusahaan pembiayaan memberikan pinjaman sejumlah dana yang akan dibayar konsumen dalam jangka waktu tertentu dengan tingkat bunga yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Perjanjian merupakan bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih, yang saling berjanji untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya perjanjian ini sangat penting, sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya selalu di buat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum. Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kemudian R. Subekti mengemukakan pendapatnya tentang perjanjian sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau di tulis.” 4
Sedangkan J. Satrio, menyatakan bahwa perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan perkataan lain, bahwa perjanjian berisi perikatan.5 Perjanjian adalah
4
5
R. Subekti, 1963, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h.1.
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5.
11
merupakan bagian dari perikatan, jadi perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan dan dari perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam Buku III KUHPerdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
Suatu perjanjian demikian halnya dengan perjanjian pembiayaan konsumen dinyatakan sah apabila perjanjian tersebut setelah memenuhi empat syarat sebagai mana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu. Kata sepakat dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan tentang orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu : 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
12
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang- Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata “hanya barang-barang yang dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan”. Dalam Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata dirumuskan bahwa : “suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya“. Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya. 4. Suatu sebab yang halal. Suatu
sebab
yang
halal
berhubungan
dengan
isi
perjanjian.
Menurut
pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian, di mana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Sedangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dalam suatu perjanjian, begitu juga dalam perjanjian pembiayaan konsumen, debitur diwajibakn untuk memenuhi prestasinya yang telah desepati sebelumnya
13
dengan kreditur yang dituangkan dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu sebaliknya dianggap melakukan wanprestasi. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen apabila debitur tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya, yakni debitur tidak dapat membayar lunas hutang setelah jangka waktu perjanjian habis maka sejak saat itu sudah dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Wanprestasi merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Belanda “Wanprestatie” yang mempunyai arti tidak terpenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan, baik perikatan yang ditimbulkan dari Undang-Undang maupun dari perjanjian.6 Tidak terpenuhinya kewajiban tersebut ada dua macam kemungkinan yang dapat digunakan sebagai alasan yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik kesengajaan maupun kelalaian. b. Karena keadaan memaksa (force majeur), yaitu diluar kemampuan debitur dalam arti debitur tidak bersalah. Dari rumusan tersebut diatas, maka wanprestasi dikatakan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati sebelumnya yang telah dibuat secara patut dan benar, sehingga ia dapat dikatakan telah memiliki perestasi yang buruk.
6
Abdulkadir Muhammad. 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h. 20.
14
Menurut R. Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 7 Seorang debitur yang melakukan wanprestasi sebagai pihak yang wajib melaksanakan sesuatu, mengakibatkan ia dapat dikenai sanksi atau hukuman sebagai upaya penyelesaian wanprestasi sebagai salah satu bentuk akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi itu senditi, yakni berupa : a. Membayar kerugian yang di derita oleh kreditur atau ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata). b. Pembatalan perjanjian melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata). c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata). d. Membayar biaya perkara, apabila sampai diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR).
7
R. Soebekti, op.cit, h. 45.
15
1.7 Hipotesis Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, maka dalam hal ini dapatlah diberikan suatu hipotesis, yaitu suatu jawaban sementara yang nantinya juga memerlukan suatu pembuktian dan pembahasan dalam bab-bab berikutnya. Hipotesis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Yang menjadi kriteria oleh perusahaan pembiayaan konsumen untuk menentukan apabila debitur wanprestasi adalah : a. Debitur tidak memenuhi salah satu atau lebih prestasi atau kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, yakni tidak membayar angsuran hutang pembiayaan dengan lewatnya waktu tiga puluh (30) hari sejak tanggal jatuh tempo angsuran tersebut atau dengan kata lain lewat dari waktu yang ditentukan dalam perjanjian. b. Debitur tidak memenuhi kewajibannya seperti merawat dan menjaga keutuhan barang jaminan dari kemungkinan hilang atau musnah, rusak, ataupun yang lainnya atas resiko sendiri. c. Debitur melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh untuk dilakukan, seperti menjual barang jaminan kepada orang lain, meminjamkan atau melakukan perbuatan lain dengan tujuan beralihnya barang jaminan tersebut kepada pihak lain, tanpa pemberitahuan atau persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak kreditur. d. Barang jaminan tersebut disita atau terancam akan disita oleh pihak lain karena sebab apapun juga.
16
2. Proses penyelesaian perusahaan pembiayaan konsumen jika debitur wanprestasi adalah : perusahaan pembiayaan akan memberikan Surat Peringatan I (SP I) sebagai peringatan yang pertama. Apabila debitur tidak menanggapinya maka akan dilanjutkan dengan memberikan Surat Peringatan II (SP II). Namun jika tidak juga ditanggapi, maka pihak kreditur akan memberikan Surat Peringatan Terakhir (SPT) sebagai peringatan terakhir kepada debitur. Apabila SPT tidak ditanggapi juga oleh debitur, maka pihak kreditur akan melakukan eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan yang ada ditangan debitur secara fiat eksekusi, yakni melewati suatu penetapan Pengadilan.
1.8 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris, yaitu penelitian berdasarkan praktek di lapangan atau bagaimana norma hukum dalam hal ini tentang perjanjian pembiayaan konsumen diterapkan di WOM Finance Kantor Cabang Singaraja, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, dan PT. Federal International Finance (FIF) Kantor Cabang Denpasar.
b. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yang tujuannya untuk menggambarkan secara tepat mengenai situasi atau kejadian dan menerangkan hubungan antara kejadian tersebut dengan masalah yang akan diteliti, karena dari hasil penelitian ini
17
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penyelesaian masalah oleh perusahaan pembiayaan dalam hal debitur wanprestasi pada lembaga pembiayaan konsumen sehingga gambaran tersebut dapat dianalisa tanpa memberikan kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum.
c. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu : 1. Data Primer (data lapangan), yakni data yang diperoleh dari peneliti, dari sumber asalnya yang pertama dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Data yang diperoleh didapatkan secara langsung melalui teknik wawancara dengan informan di WOM Finance Kantor Cabang Singaraja, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, dan PT. Federal International Finance (FIF) Kantor Cabang Denpasar. 2. Data Sekunder, yakni adalah data yang diperoleh dari kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum, yaitu : a. Bahan hukum yang bersifat primer berupa peraturan perundang-undangan yang dapat membantu dalam menganalisa dan memahami permasalahan dalam penelitian ini, antara lain : -
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentag Jaminan Fidusia;
18
-
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor : 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan;
-
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan; -
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. b. Bahan hukum yang bersifat sekunder, berupa literatur-literatur hukum, majalah, koran, dan karya tulis yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini.
d. Teknik Pengumpulan Data Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal 3 (tiga) jenis alat pengumpul data yaitu bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.” 8 Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka teknik yang digunakan sebagai berikut : -
Data studi dokumen atau bahan kepustakaan yang juga disebut sebagai data sekunder terutama dapat diperoleh dari perpustakaan.9 Maksudnya bahwa
8
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67. 9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukun Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
19
dalam penelitian ini akan dikumpulkan data-data kepustakan yang dikumpulkan dengan cara membaca dan memahami, selanjutnya dilakukan teknik pencatatan dengan mengutip teori dan penjelasan yang penting dari bahan-bahan yang relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, baik itu berupa kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung. -
Teknik wawancara (interview), yaitu suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data guna mencari informasi dengan cara mengadakan tanya jawab secara lisan dan tulisan yang diarahkan pada masalah tertentu dengan informan yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penentuan populasi dan sampel yang tepat sangat penting artinya dalam suatu penelitian. Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya. Maka populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan pembiayaan. Dalam penelitian ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah teknik Puposive Sampling (Non Probability Sampling), dimana penarikan sampel ini dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti yang dilakukan dengan cara mengambil subjek didasarkan pada tujuan tertentu, tanpa menggunakan perhitungan random. Teknik
20
ini dipilih karena pertimbangan keterbatasan waktu dan tenaga, sehingga tidak mengambil sampel dalam jumlah yang besar. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu, harus memenuhi syarat yaitu berdasarkan kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Subjek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat dalam populasi. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sampel dalam penelitian ini adalah WOM Finance Kantor Cabang Singaraja, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, dan PT. Federal International Finance (FIF) Kantor Cabang Denpasar, karena sampel-sampel tersebut memenuhi kriteria dan sifat-sifat yang peneliti tentukan, dimana di WOM Finance Kantor Cabang Singaraja, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, dan PT. Federal International Finance (FIF) Kantor Cabang Denpasar terdapat masalah yakni debitur wanprestasi pada lembaga pembiayaan konsumen tersebut.
f. Teknis Pengolahan dan Analisis Data Guna mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti, maka keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya dioalah dan dianalisa dari aspek praktek dan teorinya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa kualitatif, dalam arti keseluruhan data yang terkumpul diklasifikasikan sedemikian rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan
21
dibahas.
Akhirnya
akan diperoleh kesimpulan
yang menjawab
semua
permasalahan yang diajukan. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasan disajikan secara analisis deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap dan mendetail aspek-aspek tertentu yang berkaitan atau bersangkut paut dengan masalah, diberikan uraian-uraian dan disajikan secara berurutan sesuai dengan data yang pada akhirnya menjadi sebuah skripsi.