BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterwakilan politik perempuan pasca tumbangnya Orde Baru terus bergerak dinamis. Untuk mengakselerasi keterwakilan politik perempuan, organisasi dan kelompok-kelompok perempuan yang
tumbuh
diberlakukannya
subur sistem
pasca kuota
reformasi atau
1998,
persentase
mendesak minimum
keterwakilan perempuan dalam parlemen.1 Hasilnya bisa dilihat antara lain dengan disahkannya Undang-undang
yang
mengakomodir
keterwakilan
politik
perempuan, seperti Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang keterwakilan perempuan oleh partai politik dalam pemilihan umum2. Di Tahun 2008, terbit UU No 10 tentang
1 Kuota merupakan bagian dari affirmative action (tindakan khusus sementara). Tujuan diberlakukannya kuota keterwakilan perempuan ialah untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen yang masih sangat rendah, yaitu 16,6% dibanding 83,4% keterwakilan laki-laki. Berdasar strategi penempatannya, ada tiga kategori kuota, reserved seat, pengalokasian sejumlah kursi tertentu kepada perempuan di parlemen; constitutional seat, pengaturan kuota dalam salah satu pasal konstitusi atau UU di suatu negara; dan political party quota, kesepakatan suatu partai politik untuk membuat aturan khusus tentang keterwakilan perempuan dalam proses seleksi calon anggota legislatif yang akan diajukan partai tersebut dalam suatu pemilihan umum. Indonesia memakai aturan kuota model constitutional quota seperti diatur dalam UU Pemilu No 12 tahun 2003. (Nur Azizah, Sistem Pemilu, Partai Politik dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia, dalam jurnal Socia, No. 1, Vol. 7, Mei 2010, hlm. 39-40). 2 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan angka sebesar 30% sebagai target keterwakilan perempuan di parlemen. Dengan angka keterwakilan minimal 30%, kelompok minoritas dinilai dapat mempengaruhi arena pengambilan kebijakan secara kritis. Kuota diterapkan sementara hingga
1
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada Pasal 53 yang mensyaratkan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legistlatif (caleg). Sebelumnya, 6 Desember 2007, disahkan Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menjamin minimum 30 persen keterlibatan perempuan dalam partai politik, satu dari tiga elemen utama demokrasi3. Indikasi
makin
meningkatnya
keterlibatan
perempuan
Indonesia pada wilayah politik bisa disaksikan antara lain melalui UU Pemilu yang telah memperhatikan keterwakilan perempuan, meningkatnya persentase jumlah perempuan di parlemen dari 11,8 persen pada pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009, bertambah banyaknya perempuan menjadi Kepala Daerah, dan tumbuh suburnya pendidikan politik bagi perempuan. Realitas politik perempuan saat ini seperti mengiyakan komentar Susan Blackburn, analis politik perempuan dari Monash University Australia, bahwa sejarah perempuan dan politik di Indonesia selalu diwarnai kejutan. Ditambahkannya lagi, posisi perempuan Indonesia dalam politik berlangsung fluktuatif. 4
hambatan terhadap keterwakilan perempuan dalam politik dapat disingkirkan. (Nur Azizah, 2010, hlm. 38). 3 Eko Bambang Subiyantoro, dalam Rubrik Swara Kompas, 18 Januari 2010. 4 Sebagaimana dikutip oleh MB Wijaksana dalam, “Perempuan dan Politik, Ketika yang Personal adalah Konstitusional”, dalam Jurnal Perempuan 34 Th. 2004, hlm. 94.
2
Pencapaian progresif politik perempuan Indonesia adalah bagian dari sejarah panjang pergerakan perempuan Indonesia di wilayah politik, sebagaimana seperti dikatakan Susan Blackburn, selalu
diwarnai
mengindikasikan
kejutan naik
dan
turunnya
fluktuatif. kurva
Pernyataan perjalanan
ini
politik
perempuan di Indonesia. Salah satu momen stategis dalam sejarah politik perempuan Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan Umum nasional 1955, ketika perempuan mendapatkan kesempatan atas hak politiknya. Pemilu merupakan bagian penting dari demokrasi representatif modern, dan keterwakilan perempuan menandai pelaksanaan prinsip hak asasi manusia yang menjadi kerangka inti demokrasi. Prinsip hak asasi manusia menjamin perempuan maupun laki-laki dalam menjalankan hak politiknya.5 Pemilu 1955 termasuk dalam era tahun 1950-an, meminjam anjuran Adrian Vickers, sebaiknya dianggap sebagai dekade kunci berdirinya sebuah negara bangsa yang modern.6 Namun, kata „berdirinya‟, lebih tepat dimaknai dalam kerangka „proses‟ untuk menjadi negara-bangsa, baik oleh penyelenggara negara maupun warga
dari
negara
baru
bernama
Indonesia,
dan
tidak
Dwi Windyastuti Budi Hendrarti, “Membangun Asertivitas Perempuan pada Kekuasaan Politik”, dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18, No. 4, November 2013, hlm. 61. 6 Adrian Vickers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia”, dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, ed. Henk Schulte Nordholt, dkk., (Jakarta: YOI: KITLV-Jakarta, 2008), hlm. 74. 5
3
dimaksudkan untuk mengiyakan bahwa kedaulatan Indonesia baru „diberikan‟ di tahun 1949. Di tahun 1950-an, para pemimpin negara sedang giatgiatnya membangkitkan semangat dan menggalang dukungan orang-orang Indonesia untuk bergabung dalam negara baru yang merdeka, sambil menawarkan makna dan manfaat negara. Sementara
pemilihan
umum
ibarat
simbol,
bagaimana
penyelenggara negara dan warga negara menaruh harapan pada terwujudnya
negara
yang
demokratis
sebagaimana
dikampanyekan para pemimpin rakyat, di tengah gonjang-ganjing pemerintahan negara yang ditandai dengan susul menyusul pergantian kabinet. Prinsip
demokrasi
menghiasi
cita-cita
tentang
penyelenggaraan negara, seperti tampak dalam paragraf pertama buku “Pemilihan Umum” terbitan Kantor Pemilihan Pusat yang dibuka dengan kalimat, “roda pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dijalankan atas kehendak rakyat”, sebelum kemudian menukik pada pesan utama, bahwa untuk membentuk perwakilan rakyat, tidak ada cara yang sesuai dengan cita-cita demokrasi daripada cara pemilihan umum.7 Menariknya, Kantor Pemilihan Pusat, merasa perlu membahas secara khusus soal “Hak wanita untuk memilih dan dipilih” sebagai sub bab dari “Hak memilih dan 7 -, Pemilihan Umum, diterbitkan oleh Kantor Pemilihan Pusat, Sekretariat Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat, 1948, hlm. 7
4
dipilih”. Meski baru menyoal tentang sejarah perolehan hak memilih dan dipilih perempuan, tepatnya di negara barat, sambil menyitir azas semasa Revolusi Perancis, bahwa hak memilih adalah hak kewarganegaraan suatu negara, sehingga perempuan pun berhak mendapat hak memilih.8 Hak pilih perempuan adalah bagian dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri, sebagaimana tersurat dari buku itu, dan bisa
dilihat praktiknya sejak
dilaksanakan pemilu daerah dan pemilu nasional pertama 1955. Inilah pentingnya kajian di sekitar tahun 1950-an, untuk memahami bagaimana bentuk negara ini „diusahakan‟ oleh penyelenggara negara dan rakyatnya di masa-masa awal, dengan menyertakan perempuan sebagai warga negara. Sayangnya, kerja keras elemen-elemen negara saat itu malah tidak diimbangi dengan kisah manis tentang era 1950-an dalam historiografi nasional Indonesia. Malahan, menurut Vickers, tahun 1950-an cenderung menonjol sebagai periode yang tidak dapat dimasukkan ke mana-mana dalam kisah tentang apa yang terjadi setelah itu.9 Dalam konteks gerakan politik perempuan Indonesia, pemilu 1955 adalah momen politik untuk merealisasikan keterwakilan perempuan. Periode itu bisa ditandai sebagai titik kurva atas riwayat pergerakan politik perempuan Indonesia yang bergerak ke
8 9
Ibid., hlm. 9. Adrian Vickers, Op.cit., hlm. 67.
5
bawah paska tragedi 1965 dengan memberangus „aroma‟ politik pada
organisasi
perempuan
melalui
domestikasi
pergerakan
perempuan Indonesia untuk mencapai „stabilitas‟ yang dieluelukan oleh negara pada era Orde Baru.10 Ketika berlangsung reformasi 1998, garis kurva kembali didorong naik hingga terus berlanjut pada 2009. Pasca proklamasi, seperti dinyatakan Susan Blackburn, perempuan Indonesia telah mencapai tingkatan partisipasi politik yang jauh lebih maju dibanding negara-negara lain.11 Bahwa Republik baru Indonesia telah mengabadikan hak pilih universal dalam undang-undang pemilu tahun 1948. Rencana untuk mengadakan pemilihan umum sebenarnya sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945, tetapi baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Pada 1948, Badan Pekerja KNIP menyetujui UU yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional, dan memberikan
Melalui aparat dan lembaga-lembaganya, Negara menyebarkan ideologi „ibuisme negara‟, yaitu ideologi jender yang menciptakan stereotip kaku-baku untuk mengontrol an menciptakan tatanan hierarkis. Ideologi „ibuisme negara‟ mencakup unsur-unsur „pengiburumahtanggaan‟ dan „ibuisme‟ dan mengarah pada proses domestifikasi yang memiliki implikasi antara lain penjinakan dan depolitisasi. Konstruksi „ibuisme negara‟ dan „domestifikasi‟ menampakkan diri pada 10 program PKK dan Panca Dharma Wanita yang cukup populer. Panca Dharma Wanita misalnya, mencakup wanita sebagai pendamping setia suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pembimbing anak, pengatur rumah tangga, anggota masyarakat yang berguna. (Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara, Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 9-12, dan 17). 11 Sebagaimana dikutip oleh MB Wijaksana, Loc. cit. 10
6
hak pilih pada semua warga negara, baik itu laki-laki maupun perempuan yang berusia di atas 18 tahun.12 Sebelum berlangsungnya pemilihan umum nasional 1955, beberapa pemilihan umum daerah sudah berhasil digelar, seperti di Karesidenan Kediri dan Surakarta (1946), di DIY (1951), dan di Minahasa, Sangir-Talaud, Kotapraja Makasar (1952).13 Di masingmasing pemilu daerah, perempuan menggunakan hak pilihnya, baik hak memilih dan dipilih. Di Yogyakarta, ada 16 calon perempuan, dan hanya 1 orang yang kemudian terpilih sebagai anggota DPRD. Di Kediri, 5 badan perjuangan perempuan ikut dalam pemilihan, tetapi tidak ada satupun yang mendapat kursi menurut pemilihan, dan baru memperoleh jatah kursi, masingmasing 1 kursi, hasil dari pembagian sisa suara.14
Dalam
pemilihan yang berlangsung di Minahasa pada 1952, perempuan aktif memilih, dan organisasi perempuan seperti Gabungan Organisasi Wanita Indonesia (GASWANI), ikut mengkampanyekan supaya perempuan terpilih sebagai anggota Dewan Daerah.15 Pemilu daerah dilaksanakan dengan menggunakan sistem pemilihan yang berbeda-beda sehingga pemerintah memperoleh Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm.2. 13 Ibid., hlm. 3. 14 Sekretariat Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat, Op.cit.,hlm. 37. 15 Majalah Wanita, 1951, memuat foto-foto pemilihan umum di Minahasa, dan kebanyakan isi foto menampilkan perempuan dalam kegiatan pemilu, termasuk foto rapat Gaswani yang menghadirkan Nj. Soepeni Pudjobuntoro, aktivis politik perempuan di PNI. 12
7
banyak pengalaman sekaligus masukan untuk penyelenggaraan pemilu
nasional.
Dalam
konteks
perspektif
perempuan,
pelaksanaan pemilu daerah menyuguhkan pengalaman berharga bagi gerakan politik perempuan Indonesia. Di Yogyakarta, pemakaian kata „djago‟ untuk menyebut para calon, dinilai oleh Nj. Soepeni Pudjobuntoro bias gender atau memicu keberpihakan pemilih pada calon laki-laki. Penggunaan kata „djago’ yang berarti ayam jantan, berpotensi mempengaruhi alam pikiran para pemilih, bahwa dalam pemilihan „djago‟, sudah semestinya
mencalonkan
dan
memilih
laki-laki
bukan
perempuan.16 Otonomi perempuan dalam menyatakan pilihannya juga dipersoalkan oleh Nj. D. Susanto, aktivis perempuan. Perempuan belum tentu mendasarkan pilihannya sesuai pilihan sadarnya, tetapi lebih dipengaruhi oleh pilihan suami, orangtua, maupun keluarganya. Seorang istri bertengkar dengan suaminya, bahkan ada juga yang nyaris diancam akan diceraikan gara-gara menolak memilih suaminya atau partai pilihan suami sebagai pemilih tetap.17 Ketidakberdayaan perempuan menolak pilihan suami atau anggota keluarga yang lain, berdalih stabilitas keluarga dan
16 Nj. Soepeni Pudjobuntoro, Wanita dalam Pemilihan Umum, (Jakarta, 1954), hlm. 106-107. 17 Nj. D. Susanto, “Kedudukan Wanita dalam Pemilihan Umum DPR DIY”, dalam Wanita, 1951, hlm. 406. Lihat juga dalam “Serba Serbi dari Pemilihan Umum di Djokja”, dalam Wanita, 1951.
8
stereotip bahwa perempuan itu mesti nurut dan manut (menurut dan patuh), mengindikasikan adanya relasi kuasa atas perempuan yang berujung pada peminggiran otonomi perempuan dalam menggunakan hak politiknya. Keanggotaan kewarganegaraan adalah aspek yang ambivalen bagi perempuan Indonesia.18 Perempuan berada di persimpangan antara pandangan liberal kewarganegaraan yang memandang mereka sebagai individu bebas, dan kecenderungan masyarakat Indonesia pada tradisi kewarganegaraan komunitarian, bahwa warga negara adalah bagian dari suatu kolektif, dan hak lebih terikat pada komunitas dibandingkan pada individu. Pandangan kewarganegaraan komunitarian cenderung tidak menguntungkan perempuan yang dituntut melakukan sejumlah kewajiban dan kepatuhan dibandingkan mendapatkan haknya. Di bulan September dan Desember 1955, pemilihan umum nasional pertama akhirnya terlaksana. Pemilu digelar di 15 distrik pemilihan, antara lain daerah pemilihan Jawa Tengah yang mencakup 7 karesidenan, termasuk Yogyakarta.19 Pemilihan umum tidak asing lagi di mata warga Yogyakarta, karena sebelumnya mereka telah menggelar hajatan demokrasi serupa untuk memilih anggota dewan daerah di tahun 1951.
18 Susan Blackburn, Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, (Jakarta: Kalyana Mitra, 2009), hlm. 154. 19 Herbert Feith, Op. cit., hlm. 118 dan 123.
9
Yogyakarta
terasa
istimewa
terutama
bagi
kalangan
pergerakan perempuan. Di kota itu, Kongres Perempuan Indonesia I digelar,20 dan di Yogyakarta pula berdiri organisasi perempuan generasi awal seperti Aisyiyah (1917)21 dan Wanita Taman Siswa. Keistimewaan Yogyakarta sebagai basis pergerakan perempuan yang diperhitungkan diuji dalam pemilu nasional 1955. Apalagi di kota itu terdapat Partai Wanita Rakyat, satu-satunya partai perempuan peserta pemilu. Pelaksanaan pemilu 1955 di Yogyakarta dapat dilihat oleh penulis untuk menakar representasi atau keterwakilan perempuan sebagai warga negara Indonesia dalam ruang politik. Representasi perempuan dalam pemilu 1955 dapat dilihat dalam lingkup rangkaian proses jelang pemilu hingga hasil pemilu diketahui. Sebelum berlangsung pemilu, terdapat berbagai kegiatan politik 20 Kongres Perempuan Indonesia I diselenggarakan di Ndalem Joyodipuran, 22-25 Desember 1928, dihadiri oleh utusan dari 30 organisasi, 7 di antaranya adalah cabang dari organisasi yang sama. Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota dilaksanakannya kongres, dalam analisa Susan Blacburn, dikarenakan para penggagas dan penyelenggara banyak berdomisili di kota itu. Yogyakarta, menurut Susan, juga menawarkan lokasi yang pluralis dan toleran untuk kerjasama antar aktifis perempuan dari berbagai latarbelakang. Kota ini pula, menjadi basis organisasi perempuan yang diperhitungkan, seperti Aisyiyah, Wanita Tamansiswa, Poetri Indonesia. Keberadaan tiga organisasi itu di Yogyakarta, sangat mendukung terlaksananya kongres. Ketika berlangsung pembukaan kongres, kesaksian dari Rangkajo Chairoel Sjamsoe, yang sengaja ditugaskan oleh pejabat Penasihat Urusan Pribumi untuk mengikuti dan melaporkan jalannya kongres, di antara para hadirin, banyak yang berkerudung putih, dan rata-rata mereka adalah anggota „Aisyiyah. Para penampil panembromo dalam kongres, juga berasal dari Siswa Praja Wanita binaan „Aisyiyah dan murid-murid Tamansiswa binaan Wanita Taman Siswa. (Pengantar dalam Susan Blackburn, Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, Jakarta: YOI dan KITLV, 2007). 21 Aisyiyah adalah bagian perempuan dari Muhammadiyah, organisasi Islam modernis berdiri tahun 1912. Aisyiyah sendiri berdiri pada 1917.
10
yang melibatkan perempuan seperti dilakukan oleh Partai maupun Negara
yang
berfungsi
memberikan
pendidikan
terkait
penyelenggaraan Pemilu 1955. Beberapa partai memiliki sayap perempuan,
misalnya
saja,
Muslimat
(Masyumi);
Gerwani
berafiliasi dengan PKI; Wanita Demokrat Indonesia berafiliasi dengan PNI, dan beberapa partai lain. Sayap perempuan partai maupun organisasi perempuan yang memiliki afiliasi politik, terlibat secara nyata dalam memberikan pendidikan politik maupun „mendulang‟ dukungan perempuan untuk memberikan suara bagi partainya. Pemilu 1955 sebagai peristiwa perhelatan demokrasi telah dituliskan dengan baik, seperti dilakukan oleh Herbert Feith22 Namun, tidak mudah menemukan perempuan di antara lembar halaman buku. Membicarakan prosesi pemilu dan kontestasi sengit antarpartai terkesan lebih menarik dibanding menyoal sedikitnya perempuan yang terpilih, aktivitas gerakan politik perempuan
jelang
perempuan
di
pemilu,
antara
maupun
berbagai
isu
mengidentifikasi kampanye
isu-isu
partai.
Dari
minimnya narasi tentang perempuan pada Pemilu 1955, bisa digarisbawahi menuliskan
bahwa
ternyata
perempuan
sebagai
perlu
„keberpihakan‟
bagian
dari
untuk
keseluruhan
peristiwa. 22 Herbert Feith menulis antara lain, The Indonesian Election of 1955 dan The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
11
Narasi
atau
penjelasan
masa
lalu
Indonesia
masih
berlangsung di sekitar laki-laki. Bahwa secara prosesual sejarah sejarah Indonesia seakan hanya melibatkan laki-laki dan secara konseptual
berjenis
kelamin
laki-laki.23
Ini
seperti
menerangbenderangkan mengapa historiografi nasional Indonesia masih miskin referensi tentang riwayat perempuan, apalagi di wilayah politik yang dikonstruksi secara sosial sebagai dunianya kaum laki-laki. B. Rumusan Masalah Warga Indonesia menyandarkan harapan pada Pemilihan umum 1955, termasuk para pegiat pergerakan perempuan. Setelah perhelatan demokrasi itu selesai, beberapa kelompok mengaku kecewa bahwa pemilu tidak menciptakan stabilitas politik,
tapi
bagi
sebagian
yang
lain
pemilu
pertama
itu
menyajikan pengalaman pendidikan politik untuk warganya.24 Keikutsertaan perempuan pada Pemilu 1955 di Yogyakarta adalah
bentuk
kehidupan
partisipasi
bernegara.
keanggotaan
Apakah
Pemilu
perempuan 1955
di
dalam
Yogyakarta
menghasilkan representasi perempuan, dan bagaimana bentuk representasi perempuan yang hadir dalam Pemilu 1955 di Yogyakarta?
23 Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hlm. 29 dan 30. 24 Herbert Feith, Op.cit., hlm. 130 dan 133.
Indonesiasentris?!,
12
Saskia
Wieringa
menyatakan,
pemilihan
umum
1955
mengecewakan kaum perempuan. Ia menengarai tiga alasan pemicu, pertama, sangat sedikit wakil perempuan yang dipilih; kedua, Partai Wanita Rakyat tidak mendapat kursi; ketiga, tidak ada partai pimpinan kaum laki-laki yang aktif mengkampayekan reform perkawinan.25 Dalam konteks Yogyakarta, apakah Pemilu 1955 juga mengecewakan kaum perempuan, dan apa faktor yang menyebabkannya. Di
sisi
lain,
jika
Pemilihan
Umum
1955
justru
mengecewakan perempuan, apakah perempuan mempunyai ruang politik yang lain tempat perempuan dapat menyatakan aspirasi politiknya secara leluasa? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan dalam rangkaian proses Pemilu 1955 di Yogyakarta. Selain itu, untuk mencari tahu ruang politik di luar pelaksanaan pemilu yang digunakan oleh pergerakan perempuan ketika keterwakilan perempuan tidak hadir sebagaimana diharapkan. Di sisi lain, apa yang dicapai ini oleh pergerakan politik perempuan pada masa reformasi adalah bagian dari riwayat perjalanan politik perempuan di Indonesia yang bersifat fluktuatif. Harapan penulis, potret partisipasi perempuan dalam pemilu 25 Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, (Jakarta: Kalyana Mitra dan Garba Budaya, 1999), hlm. 248-249.
13
nasional pertama di tahun 1955 di Yogyakarta, mampu mengisi ruang yang luang pada kajian historis gerakan politik perempuan Indonesia. Sebagaimana sejarah dimaknai sebagai „jembatan‟ antara masa kini dan masa mendatang, maka tesis ini diharapkan pula untuk menjadi „jembatan‟ antara realitas gerakan politik perempuan Indonesia pada masa-masa awal negeri ini berdiri dengan perumusan identitas maupun strategi gerakan politik perempuan Indonesia mendatang. D. Ruang Lingkup Penelitian ini mengkaji secara spesifik tentang partisipasi perempuan dalam pemilu nasional pertama yang berlangsung tahun
1955,
dengan
jangkauan
spasial
Daerah
Istimewa
Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari distrik pemilihan Jawa Tengah. E. Tinjauan Pustaka Pemilihan umum nasional pertama tahun 1955, mengutip Herbert Feith, sangat menarik sebagai eksperimen demokrasi. Pemilihan umum nasional pertama menjadi momen pendidikan politik masyarakat, apalagi hak pilih diberikan kepada semua warga negara baik laki ataupun perempuan, serta membawa perubahan besar pada fungsi dan arah kegiatan partai politik. Tak heran, daya pikat mengitari pengalaman pelaksanaan pemilu 1955, sehingga menarik untuk dikaji.
14
Herbeth Feith, nyaris identik dengan kajian tentang Pemilu 1955, melalui karyanya „The Decline of Constutional Democracy in Indonesia‟; „The Indonesian Elections of 1955‟; dan „Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965‟ (bersama Lance Castle). Literatur karya Feith, memperkaya penulis dalam memahami jalannya penyelenggaraan Pemilu 1955, serta konstalasi kekuatan dan pemikiran politik masa itu. Sayangnya, Feith tak banyak menyoal tentang perempuan dalam pemilu 1955. Contohnya saja, Tabeltabel hasil pemilu 1955 disajikan Feith dengan kaya, tetapi tidak mencantumkan komposisi anggota parlemen terpilih berdasar jenis kelamin. Referensi buku ihwal perempuan dan negara dalam konteks Indonesia telah dituliskan oleh Susan Blackburn, yang berjudul ‘Women and the State in Modern Indonesia’, terbitan Cambridge University Press, Tahun 2004. Buku itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, yang diterbitkan oleh Kalyanamitra, tahun 2009. Dalam Bab Citizenship, tepatnya subbab Political Participation, Susan Balckburn mendeskripsikan secara garis besar partisipasi politik perempuan pada setiap babakan sejarah politik perempuan, termasuk era tahun 1950-an, namun tidak mengulas detail perempuan dalam Pemilu 1955.
15
Dalam konteks pembahasan tentang Yogyakarta, salah satu buku babon tentang perubahan sosial di era 1950-an, ialah, buku yang
ditulis
oleh
Selo
Soemardjan,
Perubahan
Sosial
di
Yogyakarta, diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2009. Dari buku yang terbit pertama tahun 1981 itu, bisa didapat informasi tentang pemerintahan, partai politik dan masyarakat. Selo bicara tentang pertumbuhan partai politik dan keikutsertaan mereka dalam pemilu, serta relasi partai politik dan masyarakat, tapi Selo, tidak menyoal secara khusus tentang perempuan dan kehidupan politik. M. Nazir Salim menulis buku yang merupakan hasil dari tesisnya pada program studi sejarah Universitas Gadjah Mada tentang Pemilu Daerah di Yogyakarta, tahun 1951, dan diberi judul „Yogyakarta Memilih: Pemilihan Umum Anggota DPR Daerah 1951 Di Yogyakarta‟, tahun 2008. Dalam tiga halaman tesisnya, Nazir memang sempat menyoal secara khusus tentang perempuan pada Pemilu Daerah 1951 di Yogyakarta. Ia terbilang jeli membaca bias
gender dalam penyelenggaraan Pemilu 1951,
seperti
ditunjukkannya dalam alur cerita film tentang sosialisasi Pemilu 1951; gambar sosialisasi Pemilu 1951, dan pemakaian kata djago yang berjenis kelamin laki-laki untuk menyebut para calon yang dipilih.
16
Selain buku yang ditulis Nazir, ada dua skripsi sarjana muda Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UGM yang menyoal tentang Pemilu 1955 di Yogyakarta. Pertama, skripsi tahun 1964 yang ditulis oleh Sumarni, „PKI dalam Pemilihan Umum 1955 di Kota Pradja Jogjakarta; kedua, skripsi berjudul „Partai Katholik dalam Pemilu 1955 di Kotamadya Yogyakarta‟ yang ditulis oleh M.A. Woro Astuti tahun 1980. Sayang sekali, penulis belum menemukan dua skripsi tersebut, apalagi skripsi yang ditulis tahun 1965. Menurut informasi petugas ruang baca skripsi dan tesis FIB, skripsi pada kisaran tahun 1960-an berada di gudang dan tidak bisa diakses untuk dibaca. Kedua skripsi tersebut sama-sama menyoal tentang Pemilu 1955 di Yogyakarta, tetapi dengan fokus persoalan yang berbeda. Sumarni dan Woro Astuti menulis tentang dua partai yang ikut dalam kontestasi Pemilu 1955, sedangkan penulis mengkaji tentang partisipasi warga negara Indonesia berjenis kelamin perempuan dalam hajatan demokrasi Pemilu 1955. F. Kerangka Konsep dan Teori Pemilihan umum adalah mekanisme pemungutan suara untuk memilih wakil rakyat yang distrukturkan oleh sistem partai politik. Dalam sistem demokrasi, pemilihan umum merupakan perlambang dan tolak ukur demokrasi, karena melalui mekanisme pemilu itulah warga negara dapat menggunakan hak pilihnya
17
untuk menentukan wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasi politik mereka. Apa yang dimaksud dengan Pemilihan Umum tahun 1955 ialah kegiatan pemungutan suara untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakjat dan Majelis Konstituante. Pemilihan anggota DPR berlangsung pada bulan September, sedangkan pemilihan anggota Konstituante dilaksanakan pada bulan Desember. Sistem pemilihan yang digunakan dalam Pemilu 1955 ialah sistem proporsional, yaitu satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil.26 Penelitian keterwakilan represent
ini
menyoal
perempuan.
atau
mewakili.
tentang
Representasi Pitkin
representasi
berasal
atau
dari kata
mendefinisikan
to
representasi
sebagai aktivitas yang membuat perspektif, pendapat, dan suara warga negara hadir dalam proses pembuatan kebijakan publik.27 Dalam
konteks
dimaksudkan
penyelenggaraan
sebagai
aktivitas
Pemilu yang
1955,
membuat
representasi perspektif,
pendapat, dan suara perempuan hadir dalam serangkaian proses pemilu 1955 di Yogyakarta untuk memilih anggota parlemen.
26 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Gramedia, 2008), hlm. 461–462, 473-474. 27 Sebagaimana dikutip oleh Dewi Haryani Susilastuti dalam “Kepemimpinan Perempuan” Perubahan Paradigma dari Politik Gagasan ke Politik Kehadiran” dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No. 4, November 2013, hlm. 9.
18
Pentingnya representasi perempuan berangkat dari argumen bahwa perempuan dipandang dapat mewakili gagasan
dan
kepentingan perempuan karena ia menghadapi realitas yang dialami
oleh
perempuan.
Isu
representasi
mencerminkan
pergeseran dari politik gagasan (politic of ideas) ke arah politik kehadiran (politic of presence). Secara teoritis, laki-laki bisa saja menjadi representasi perempuan karena laki-laki mempunyai kapasitas untuk menyampaikan gagasan atau aspirasi atas nama perempuan. Tetapi dalam teori representasi deskriptif dinyatakan bahwa tingkat kepercayaan pemilih sangat dipengaruhi oleh karakteristik wakil rakyat yang bersifat kasat mata, seperti jenis kelamin dan pengalaman serupa. Wakil rakyat yang memiliki karakteristik
maupun
pengalaman
serupa
mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk memahami kebutuhan rakyat yang diwakili, seperti pentingnya kebijakan tentang tempat pengasuhan anak, yang tidak mudah dipahami laki-laki karena ia tidak merasakan kesulitan menjaga keseimbangan peran sebagai ibu dan sebagai pekerja.28 Di sisi lain, perempuan bukanlah kelompok yang homogen karena terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan elemen penanda sosial lainnya, seperti kelas sosial, usia, dan tempat
Dewi Haryani Susilastuti, “Kepemimpinan Perempuan” Perubahan Paradigma dari Politik Gagasan ke Politik Kehadiran” dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No. 4, November 2013, hlm. 8-11. 28
19
tinggal. Heterogenitas tersebut dapat memengaruhi pemahaman perempuan terhadap kenyataan sosial yang dialami perempuan dari penanda sosial yang lain. Dengan demikian, representasi perempuan
dalam
lembaga
politik
tidak
selalu
substantive
representative (representasi substantif) karena tidak menjamin bertambahnya perlindungan atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan. Menurut Anne Phillips, akan sangat sulit mempertahankan pandangan bahwa perempuan anggota parlemen harus mengakomodasi kepentingan perempuan karena
mereka
merupakan perwakilan partai juga perwakilan berbagai komponen masyarakat atau multiple representative.29 Terkait Pemilu 1955 di Yogyakarta,
tulisan
ini
akan
melihat
bagaimana
dampak
kehadiran perempuan dalam partai sebagai institusi politik terhadap representasi perempuan. Membicarakan politik dalam konteks perempuan tidak cukup terakomodasi melalui konsep-konsep politik konvensional. Politik
lebih
akomodatif
terhadap
realitas
perempuan
jika
dimaknai sebagai setiap hubungan yang ditata dalam kekuasaan, satu kelompok orang dikontrol oleh kelompok yang lain.30 Definisi politik dalam artian relasi kekuasaan, membantu analisis untuk
29 Sebagaimana dikutip oleh Wahidah Zein Br Siregar dalam tulisannya “Komposisi, Peran, dan Tantangan Perempuan Parlemen” pada Jurnal Perempuan, Vol. 34, diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, hlm. 26. 30 Rubrik „Kata dan Makna‟ dalam Jurnal Perempuan, Vol. 34, diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, hlm. 100
20
membuka tabir di balik minimnya keterwakilan perempuan pada Pemilu 1955 di Yogyakarta. Relasi kuasa dipahami sebagai akibat ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan dan peran gender. Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Perbedaan gender dibentuk, disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural sehingga dianggap ketentuan Tuhan atau difahami sebagai kodrat.31 Dalam konteks penelitian
ini,
dikaitkan
dengan
bagaimana
masyarakat
Yogyakarta memahami dan mempraktikkan perbedaan gender dalam konteks partisipasi politik perempuan. Yogyakarta adalah kota berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia
I
Surjomihardjo,
di
Yogyakarta,
perhelatan
dan
itu
menurut
menambah
Abdurrachman
kesempatan
bagi
penduduknya untuk lebih terbuka pada kemungkinan mengikuti perubahan dan kemajuan zaman.32 Selain itu, Kota Yogyakarta juga menjadi pusat kultural Jawa
yang
berpusat
di
keraton.
Meski
Abdurrahman
Surjomihardjo menyatakan terdapat kecenderungan progresif di kalangan keraton yang menentukan corak pergerakan menjadi
31 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 9 32 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, (Jakarta: Komunitas Bambu), hlm. 165-166.
21
lebih moderat, tetapi tidak menjamin hal serupa berlaku dalam kehidupan politik perempuan. G. Metode Penelitian dan Sumber Penelitian Penelitian sejarah mensyaratkan ditempuhnya empat langkah yang terumuskan sebagai metode sejarah yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik atau pengumpulan sumber, penulis
menelusuri sumber dari arsip-
arsip tentang Pemilu 1955 di Yogyakarta yang terdapat di kantor Arsip Daerah Pemerintah Provinsi DIY, dan kantor Arsip Nasional di Jakarta. Penulis juga memakai sumber koran atau majalah yang terbit pada kisaran tahun 1950 – 1956, seperti Harian Kedaulatan Rakyat, Majalah Wanita, Majalah Pedoman Isteri, Isteri Indonesia. Selain arsip, berita di koran, tulisan di majalah, penulis memakai foto dan poster tentang Pemilu 1955 untuk membaca bagaimana
perempuan
terepresentasikan
dalam
pelaksanaan
pemilu melalui simbolisasi yang termuat pada gambar. Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya memakai sumber tertulis atau gambar, tetapi juga mengandalkan sumber lisan yang diperoleh dari pelaku dalam pemilihan umum 1955. Beberapa di antaranya masih hidup, dan penulis melakukan cek kebenaran informasi dari narasumber lain maupun dari sumber-sumber tertulis seperti koran dan majalah.
22
H.
Sistematika Penulisan Tulisan ini akan disusun dalam lima bab. Bab Pertama
adalah Pendahuluan, yang meliputi, latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan
dan
Manfaat
Penelitian,
Ruang
Lingkup
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Konsep dan Teori, Metode penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua mengkaji tentang latar belakang budaya Jawa yang
melingkupi
kehidupan
politik
perempuan,
khususnya
mengenai prinsip-prinsip budaya Jawa terkait peran perempuan. Selain itu, dituliskan pula tentang latar belakang sosial, berupa akses pendidikan bagi perempuan dan keterlibatan mereka secara aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran politik perempuan. Bab Ketiga, menyoal tentang pergerakan perempuan dalam kontestasi politik Pemilu 1955, mulai dari ruang ide pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik termasuk pada Pemilu 1955, hingga peran-peran yang dijalankan sayap politik perempuan untuk meraup suara. Bab Keempat, mengkaji tentang batas-batas keterwakilan perempuan dengan melihat representasi perempuan pada media sosialisasi pemilu dan hasil Pemilu 1955. Selain itu, pada bab ini juga menampilkan ruang partisipasi politik yang lain di luar jalur Pemilu
akibat
terbatasnya
keterwakilan
perempuan,
untuk
23
merepresentasikan
pandangan
dan
suara
perempuan
guna
terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai warga negara. Bab Kelima berisi kesimpulan, ruang untuk menjawab rumusan masalah penelitian.
24