BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data kebumian yang memberikan informasi geospasial terus berkembang. Real world yang menjadi obyek pemetaan juga cepat mengalami perubahan. Penyediaan data harus dapat mengimbangi kebutuhan dan perubahan tersebut, sehingga perlu suatu metode pemetaan yang cepat dan efisien. Untuk mewujudkannya dibutuhkan suatu teknologi yang dapat menghasilkan data outuput yang memiliki keakuratan, efisien, dan menjangkau daerah yang luas.
Kebutuhan akan data kebumian yang meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan wilayah, aplikasi di bidang kehutanan, pertambangan, pengukuran topografi, dan lain – lain. Salah satunya adalah data DEM (Digital Elevation Mode) yang menggambarkan topografi atau terrain dari suatu daerah. Data DEM ini dapat dihasilkan dengan menggunakan teknik pemetaan Airborne Laser Scanning (ALS). ALS atau LiDAR (Light Detection and Ranging) merupakan salah satu cara yang paling efektif dan dapat diandalkan dalam pengumpulan data terrain, teknologi ini memberikan data akuisi yang memiliki kerapatan dan akurasi data 3D yang tinggi (Liu, 2008). LiDAR telah menjadi metode standard untuk akuisi data topografi (Raber, 2003). Survei terestris dengan kerapatan tinggi perlu biaya besar, teknologi sensor aktif LiDAR sebagai solusinya karena cepat dan akurat, kerapatannya dan distribusi data sangat tinggi (Istarno dkk, 2011).
Teknologi ini menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan metode konvensional dalam pengumpulan data topografi yaitu: kerapatan lebih tinggi, akurasi yang lebih tinggi, lebih sedikit waktu untuk pengumpulan data dan pengolahan, hampir semua sistem otomatis, memerlukan
titik kontrol tanah
minimum, dan data tersedia dalam format digital sejak dari awal (Joko, 2012).
1
2
Pengambilan data pada survei ALS dapat dilakukan pada siang maupun malam hari dengan syarat kondisi cuaca yang memungkinkan pesawat untuk terbang. Survei dapat dilakukan pada malam hari, karena sensor ALS memancarkan energy sendiri berupa sinar laser. LiDAR memiliki kelebihan yaitu dapat memancarkan laser untuk akuisisi data mencapai 200 kHz yang dapat mengukur 200000 pulsa per detik, dengan memutar scanner yang bergerak memutar pada interval 0.004 derajad. Data LiDAR terdiri dari point clouds yang menampilkan titik-titik hasil penyiaman, DEM (Digital Elevation Model), DTM (Digital Terrain Model), danDSM (Digital Surface Model).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas data LiDAR, diantaranya adalah kuat lemahnya signal pancaran, daerah topografi yang diamati, kecepatan terbang pesawat, dan jarak antara sensor dengan obyek (Harding, 2009). Semua faktor tersebut dapat di minimalisir dengan cara menentukan terlebih dahulu hal-hal yang harus dilakukan sebelum pengambilan data. Misalnya dengan penentuan kecepatan pesawat, lebar sudut sapuan, dan tinggi terbang pesawat. Jarak antara sensor (tinggi terbang) dan permukaan tanah yang bergunung-gunung, berbukit, landai, dan daratan datar akan menghasilkan ketelitian vertikal yang berbeda. Pada dasarnya, semakin rendah posisi sensor terhadap obyek, maka ketelitian yang dihasilkan akan semakin baik.
Dari pernyataan tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai ketelitian profil sungai dari data LiDAR yang dibandingkan dengan pengukuran langsung menggunakan TS (Total Station). Dari tingkat ketelitian elevasi yang dihasilkan dapat dikaji mengenai kemampuan teknologi LiDAR dalam menyajikan DEM (Digital Elevation Model) khususnya profil sungai.
3
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat dipaparkan adalah seberapa besar ketelitian yang disajikan dari data LiDAR (point clouds dan DEM) terkait dengan analisis profil melintang sungai.
I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketelitian profil melintang sungai antara data yang dihasilkan dari point clouds dan DEM yang dibentuk dari TIN (ekstraksi data LiDAR) dan data dengan pengukuran langsung dengan menggunakan TS .
I.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah, dapat mengetahui ketelitian dari hasil ekstraksi data LiDAR dan dapat mengetahui kenampakan profil melintang dari pengukuran sungai dengan menggunakan LiDAR, serta memberikan informasi mengenai akurasi DEM (Digital Elevation Model) hasil LiDAR khususnya daerah aliran sungai.
I.5. Batasan Masalah Dalam penelitian ini akan ditetapkan pembatasan masalah seperti butir-butir di bawah ini : 1. Data LiDAR merupakan point clouds dan TIN untuk membentuk DEM yang diperoleh dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Geodesi UGM. 2. Lokasi yang diambil adalah Sungai Code yang diamat dari utara (Ring Road Utara) dan selatan (Jembatan Amarto) 3. Titik sample yang akan dijadikan titik uji merupakan titik cross section (penampang melintang) dari profil sungai yang diambil di lapangan. 4. Titik uji hasil pengukuran Total Station (TS) merupakan data yang dianggap benar bila dibandingkan dengan data LiDAR. Kedua data tersebut mempunyai sistem koordinat yang sama.
4
I.6. Tinjauan Pustaka Kartika (2010) melakukan perbandingan ketelitan elevasi hasil penyiaman LiDAR dengan tinggi terbang 1100 m dengan ketelitian elevasi hasil penyiaman dengan tinggi terbang 700 m pada daerah beraspal. Pengambilan data dilakukan di Bandara Cakrbuana Cirebon, pada runway 04-22 dengan arah azimut 40º-220º serta elevasi 21 meter di atas permukaan laut. Proses akuisisi data menggunakan RIEGL LMS Q560 Airbone Laser Scanner. Spesifikasi parameter LiDAR yang digunakan yaitu dengan tinggi terbang 1100 m dan 700 m, kecepatan pesawat 60 m/s, sudut sapuan 60º, scan speed 60 lines/s, spasi titik 1 meter. Berdasarkan parameter penyiaman itu, penyiaman dengan tinggi terbang 1000 m diperoleh lebar swath 1270,171 m, Pulse Repetition Rate (PRR) 76,210 kHz, angular step width 0,052º. Penyiaman dengan tinggi terbang 700 m swath 808,290 m, Pulse Repetition Rate (PRR) 48,497 kHz, angular step width 0,0082º. Ketelitian hasil elevasi penyiaman LiDAR dengan ketinggian 1100 m mencapai 15,900cm. Ketinggian 700 m menghasilkan ketelitian mencapai 14,100 cm.
Joko (2012) melakukan perbandingan terhadap akuisisi ALS (Airborne Laser Scanner) dengan pengukuran topografi menggunakan Total Station pada area tambang batubara, dengan mengambil sample pada lima kategori tutupan lahan, yaitu: daerah tebangan (clear cut), daerah vegetasi (uncut vegetation), jalan tanah (soil road), daerah tambang (open pit area), dan tanah terbuka (barren ground). Pengambilan data tersebut dilakukan pada bulan Desember 2010. Akuisisi data dilakukan pada salah satu daerah tambang batubara di Muara Bungo provinsi Jambi mengunakan LiDAR LITE-MAPPER 5600 Airbone LiDAR sistem dengan laser scanner RIEGL LMS Q560. Hasil dari penelitian tersebut adalah, pada kategori daerah tebangan menghasilkan nilai RMSE = 16,630 cm, dan nilai ketelitian = 32,588 cm. Daerah vegetasi menghasilkan nilai RMSE =20,990 cm, dan nilai ketelitian = 41,151 cm. Daerah soil road menghasilkan nilai RMSE = 15,360 cm, dan nilai ketelitian = 30,095 cm. Daerah tambang terbuka menghasilkan nilai RMSE = 17,450 cm, dan nilai ketelitian = 34,201 cm. Tanah terbuka menghasilkan nilai RMSE = 16,050 cm, dan nilai ketelitian = 31,456 cm.
5
Perbandingan ketelitian yang dilakukan oleh Zuriabangkit (2013) yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran LIDAR dari dua ketinggian yang berbeda yaitu tinggi terbang 500 m dan 1000 m dengan menggunakan dua set DTM LiDAR, dimana lokasi dari penelitian terletak di Tajem, Yogyakarta. Penyiaman LiDAR dilakukan pada tanggal 4 Mei 2013 dengan menggunakan Laser Scanner RIEGL LMS 5600 yang mampu merekam obyek ground dan non ground. Pengambilan sample data meliputi jalan beraspal dan sebagian tanah yang dinamis. Dengan mengambil sampling data sebagai titik uji sebanyak 169 titik yang diukur dengan menggunakan Total Station (TS) dan proses interpolasi linear pada data TIN yang dihasilkan dari proses LiDAR. Dalam penelitian tersebut tinggi terbang 500m memperoleh ketelitian lebih baik dibanding tinggi terbang 1000 m dengan nilai RMSE sebesar 0,090 m untuk tinggi terbang 1000 m dan nilai RMSE sebesar 0,069m untuk tinggi terbang 500 m, dan perbedaan ketelitian variasi tinggi terbang mencapai 2,1 cm. Dimana nilai selisih tersebut tidak terlalu signifikan terhaadap ketelitian data karena nilai tersebut lebih kecil dari toleransi LiDAR yaitu sebesar 15 cm.
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah uji ketelitian profil melintang sungai dari ekstraksi data LiDAR. Penelitian ini dilakukan di Sungai Code, Yogyakarta dengan kriteria area meliputi sungai, daerah pemukiman, daerah terbuka, daerah tertutup pohon, dan tebing natural, tebing ditalud.
I.7. Landasan Teori
I.7.1. LiDAR(Light Detection and Ranging) LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah teknologi yang menerapkan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat udara survei kecil atau helikopter. Laser didapatkan dengan melewatkan sinar dengan frekuensi tertentu ke sebuah prisma sehingga sumber cahaya yang relatif lemah dapat
6
menempuh jarak yang jauh dengan sedikit reduksi (Sutanta, 2002). LiDAR merupakan teknologi baru dalam dunia survei dan pemetaan dengan menembakkan sinar laser dengan memanfaatkan emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser. Titik – titik yang diperoleh dari scanning LiDAR merupakan titik – titik yang sudah memiliki koordinat tiga dimensi yang berasal dari multy return sinyal LiDAR pada suatu obyek yang kemudian dapat dimodelkan secara tiga dimensi dan titik – titik tersebut disebut points cloud. Rentang atau jarak antara scanner ke target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh dari Global Positioning Sistem (GPS) dan Inertial Measurment Unit(IMU) dapat menentukan lokasi target dengan akurasi tinggi dalam ruang tiga dimensi. Berikut adalah Gambar I.1 tentang teknologi LiDAR.
Gambar I.1 Prinsip kerja LiDAR (Habib, 2008)
Untuk mendapatkan data range setiap pantulan sinar yang dikembalikan ke data recorder maka dilakukan waveform signal processing. Waveform signal processing merupakan prosedur pengolahan data LiDAR dengan menggunakan algoritma signal processing, yaitu metode pulse range secara Gauss. Pada metode ini setiap bagian signal laser yang mengenai objek akan membentuk echo pulse berupa tampilan grafik Gauss (Kartika, 2010). Ditampilkan pada Gambar I.2 berikut ini.
7
Gambar I.2 Pembentukan echo pulse (RIEGL, 2009)
Gambar I.2 di atas mengilustrasikan pembentukkan echo pulse saat penyiaman LIDAR. Pulsa berwarna merah merupakan signal laser yang dipancarkan ke target, sedangkan warna biru adalah echo pulse yang terbentuk dari bagian signal laser yang mengenai obyek. Setiap bagian signal laser yang mengenai obyek akan membentuk echo pulse berupa tampilan grafik Gauss dengan bentuk unik. Prinsip dasar digitasi full waveform adalah lebar echo pulse menunjukkan kekasaran permukaan, volumetrik dan kemiringan permukaan obyek, amplitudo dari echo pulse menunjukkan reflektivitas obyek, jarak antar echo pulse menunjukkan tinggi target sedangkan posisi echo pulse menunjukkan jarak absolut target.
Dalam pengolahannya, informasi echo signal diolah dalam bentuk kurva Gaussian yang digunakan untuk mengestimasi lokasi masing-masing echo dan bentuk scattering-nya, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
8
Gambar I.3 Waveform Signal Processing (RIEGL, 2009)
Dari Gambar I.3, dijelaskan bahwa ketika signal menyentuh reflektivitas permukaan bumi, maka signal tersebut akan membentuk echo pulse yang merupakan signal analog. Dalam interval waktu tertentu, signal analog akan disampel dan di konversi ke signal digital yang menghasilkan digital data stream. Data stream disimpan dalam RIEGL data recorder berdasarkan waktu pengukuran perjaanan signal untuk off-line post processing selanjutnya. Pada tahap ini signal dapatdisempurnakan sehingga dapat dianalisis secara detil untuk menghasilkan informasi jarak, tipe, dan parameter obyek. 1.7.1.1. Prinsip kerja LiDAR. Prinsip kerja LiDAR yaitu memancarkan laser yang berasal dari transmitter pada pesawat ke obyek atau permukaan bumi, yang kemudian dipantulkan kembali setelah membentur obyek atau permukaan bumi. Pantulan tersebut memiliki beda waktu dan direkam oleh receiver sebagai data jarak. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika
9
waktu (tL) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat diukur dengan persamaan berikut ini (Wehr, 1999).
R = c/2 .tL
…………………………………………………… (I.1)
Keterangan : R = jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) c = konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s) tL = Travelling Time (ns)
Karena jarak yang harus dilewati laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor menuju target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus dibagi dua. 1.7.1.2. Komponen sistem LiDAR. LiDAR memiliki sistem yang saling terhubung dengan komponen-komponen lainnya. Komponen utama yang digunakan diantaranya: aerial platform, sensor laser, IMU, GPS, dan perangkat lunak dan perangkat keras untuk pengolahan LiDAR. 1. Aerial Platform. Sistem LiDAR harus dipasang pada wahana pesawat terbang atau helikopter sebagai platform saat akuisisi data pada kegiatan survei. Sistem dapat di-setting didalam maupun diluar platforms. Pusat koordinat platforms dan orientasi terletak pada IMU. Wahana pesawat survei yang digunakan untuk pekerjaan LiDAR ada berbagai macam salah satunya adalah pesawat type Cessna seperti gambar I.4 berikut.
10
Gambar I.4 Pesawat Cessna type 402B
2.
Laser
Scanner
Unit.
Dikarenakan
LiDAR
merupakan
sistem
penginderaan jauh sensor aktif, sehingga terdapat sensor untuk memancarkan energinya sendiri. Sensor menembakkan sinar laser ke obyek kemudian dipantulkan kembali oleh obyek tersebut, sehingga diperoleh data jarak. Tipe laser yang dipancarkan dapat dibedakan menjadi pulse sistem dan continuous wave (CW-system). Gelombang yang digunakan adalah near infrared. Terkait dengan kemampuan gelombang near infrared maka survei LIDAR tidak bisa dilakukan saat cuaca buruk seperti hujan, mendung dan berkabut. Bagian dari laser scanner yang memancarkan sinar adalah transmitter (Wehr,1999).
3. Inertial Navigation System. Komponen ini merupakan suatu sistem inersial untuk menentukan dan menghitung orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan roll, pitch, dan yaw (heading) pada tiap pusat proyeksiLiDAR. INS (Inertial Navigation System) dengan peralatan berupa IMU melakukan pengukuran terhadap pergerakan dan rotasi pesawat terhadap sumbu X (roll), sumbu Y (pitch), dan sumbu Z (yaw)
11
berdasarkan grafitasi lokal dan utara sebenarnya. Sistem referensi INS menggunakan kaedah tangan kanan. Dimana sumbu X searah dengan pergerakan pesawat dan sumbu Y searah dengan sayap kanan pesawat. Sistem LiDAR yang dipasang pada platform dapat bergerak keluat dari rencana jalur terbang karena pengaruh angin. Pergerakan persawat dapat mempengaruhi ketelitian dan hasil pengukuran, sehingga diperlukan IMU untuk mengatasi hal tersebut (Joko, 2012)
4. Global Positioning Sistem. GPS merupakan sistem penentuan posisi tiga dimensi secara teliti. Seperti pada gambar I.5, GPS receiver dipasang pada titik referensi sebagai base station di tanah. Pada pesawat juga terdapat Airborne GPS sebagai rover. Receiver GPS juga berfungsi untuk merekam lintasan pesawat (trajectory) selama penerbangan. Dalam pelaksanaannya GPS yang berada di tanah harus diaktifkan saat pesawat mulai lepas landas hingga pesawat mendarat agar dapat merekam secara utuh posisi lintasan pesawat dalam pengambilan data selama penerbangan. GPS sebagai alat pengukur posisi yang memiliki tingkat kestabilan yang baik untuk pengamatan dalam jangka waktu yang cukup lama. Airbone GPS dapat menghasilkan ketelitian horisontal 5 cm dan vertikal 10 cm, sedangkan IMU dapat menghasilkan attitude dengan akurasi dalam beberapa centimeter (Liu, 2008).
12
Gambar I.5 GPS dititik referensi
I.7.2. Sumber kesalahan LiDAR LiDAR merupakan teknologi yang modern dan canggih, namun bukan berarti alat tersebut tidak memiliki kesalahan. Kesalahan tersebut ada pada masing-masing komponen yang saling terhubung. Adapun kesalahan LiDAR akan disebutkan dibawah ini.
1. Kesalahan acak (random errors) Kesalahan acak menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LiDAR. Menurut Habib (2008), terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation noise, dan range noise) pada sistem pengukuran LiDAR dalam menghasilkan point clouds .
13
a. Position noise. Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap tinggi terbang dan metode penyiaman. b. Orientation noise. Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horisontal daripada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman. c. Range Noise. Range Noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang, tetapi dependen tehadap sudut penyiaman.
2. Kesalahan sistematik. Kesalahan sistematik dapat dipengaruhi kesalahan bias dalam sistem pengukuran LiDAR dan kalibrasi untuk menentukan point clouds. Dalam BMGS(2006) dijelaskan bahwa pengaruh dari kesalahan sistematik dalam pengukuran sistem dan parameter kalibrasi dalam menghasilkan point clouds sebagai berikut. a. Bore sighting offset error (spatial offset antara sinar laser yang ditembakkan ke titik dan unit GPS/INS) akan mengakibatkan pergeseran secara konstan. b. Sudut bias (IMU atau mirror angles) akan mempengaruhi koordinat horisontal lebih kuat daripada koordinat vertikal. c. Range bias terutama akan mempengaruhi ketinggian daripada koordinat horisontal.
I.7.3. Ketelitian elevasi hasil penyiaman LiDAR Ketelitian elevasi ditentukan dari beberapa faktor, diantaranya yaitu kecepatan pesawat, sudut sapuan, dan jarak sensor ke obyek. Akurasi vertikal ditentukan dengan membandingkan koordinat Z dari data LiDAR dengan data elevasi permukaan bumi yang umumnya memiliki permukaan datar. Pada
14
penelitian ini, ketelitian diperoleh dengan membandingkan data pengukuran LiDAR dengan data Total Station yang dianggap benar dan dianggap memiliki ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan data LiDAR. Ketelitian hasil penyiaman LiDAR ditentukan berdasarkan: 1.7.3.1. Titik uji. Penentuan titik uji diusahakan dipilih pada daerah yang relatif datar, akan tetapi kondisi tersebut tidak selalu bisa memungkinkan mengingat kondisi medan dan permukaan yang selalu dinamis. Kemiringan terain tidak boleh lebih curam dari 20% karena kesalahan horisontal akan mempengaruhi perhitungan RMSE vertikal. Pemilihan titik uji yang melebihi batas 20% dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan interpolasi linier. Kesalahan ini akan mempengaruhi ketelitian elevasi titik uji, dan pemilihan titik uji perlu menyebar secara merata pada lokasi survei (Flood, 2004). 1.7.3.2. Ketelitian elevasi.Ketelitian LiDAR salah satunya ditentukan oleh besarnya RMSE (root meansquare error) dari elevasi. Tingkat ketelitiannya secara absolut ditunjukkan dengan besarnya nilai RMSE elevasi. RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai elevasi yang didapat dari penyiaman LiDAR dengan data hasil ukuran independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi.Dengan rumus matematis sebagai berikut (NSSDA, 1998). RMSE
( Z lidar Z survei ) 2 n
………………………………..
(I.2)
.
Keterangan: ZLiDAR = elevasi data hasil penyiaman LiDAR Zsurvei
= elevasi hasil survei independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi
n
= jumlah titik uji
1.7.3.3. Standar ketelitian. Untuk mengevaluasi ketelitian suatu produk diperlukan suatu standar ketelitian baku yang diakui atau diterapkan oleh lembaga independen suatu negara. Setiap Negara memiliki suatu referensi yang berbeda – beda tergantung dari produk yang dihasilkan. Sebagai contoh Amerika menggunakan (National Standar for Spatial Data Accuracy) NSSDA. Standar
15
ketelitian tersebut merupakan suatu kontrol terhadap ketelitian produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat ketelitian yang ingin dicapai. Dalam NSSDA hubungan matematis ketelitian dapat ditujukan dengan persamaan berikut. Ketelitian(z) = 1,96 * RMSE(z) …………………………………. (I.3) Jika kesalahan vertikal terdistribusi normal maka, faktor 1,96 diterapkan untuk menghitung kesalahan linear pada tingkat kepercayaan 95% (NSSDA, 1998).
I.7.4. Sistem tinggi LiDAR Tinggi suatu titik di bumi didefinisikan sebagai jarak vertikal terhadap suatu bidang referensi. Pendefinisian ketinggian suatu bidang referensi (datum) sering disebut sistem tinggi. Sistem tinggi di bidang geodesi berdasarkan bidang acuannya yang dijadikan sebagai kerangka referensi tinggi ada 2, yaitu : 1. Sistem tinggi orthometris (geoid), yaitu jarak dari suatu titik di permukaan bumi yang diukur sepanjang garis gaya berat bumi sampai ke geoid. Sistem tinggi orthometris mempunyai realisasi fisis di permukaan bumi sehingga dapat digunakan untuk keperluan praktis. 2. Sistem tinggi geometris (elipsoid), yaitu jarak linier di atas bidang ellipsoid yang diukur sepanjang normal ellipsoid pada titik tersebut. Sistem tinggi geometris tidak memiliki realisasi fisis di permukaan bumi sehingga tidak dapat digunakan untuk keperluan praktis. Gambar hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan topografi dapat dilihat pada Gambar I.6.
16
Gambar I.6 Hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan
topografi. Menurut Heliani (2011) prinsip hubungan matematis antara ketinggian titik di atas elipsoid (h), tinggi titik diatas geoid (H), dan undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (N) dapat ditulis dalam persamaan (I.4). N = h – H………………………………………………………….(I.4) Keterangan N
: Undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (m)
h
: Tinggi titik di atas elipsoid (m)
H
: Tinggi titik di atas Geoid (m)
Ketinggian titik di atas ellipsoid (h), didapat dari pengukuran GPS, sedangkan ketinggian titik diatas geoid (H) didapat dari pengukuran sipat datar. Apabila tidak memungkinkan dilakukan pengukuran sipat datar maka dapat digunakan model geoid global. Jika nilai ketinggian titik di atas elipsoid (h), ketinggian titik di atas geoid (H) diketahui, maka nilai undulasi geoid di suatu titik di atas permukaan bumi dapat dihitung dengan persamaan (I.4).
17
I.7.5. Interpolasi linear Penentuan titik uji LiDAR dapat dilakukan dengan cara interpolasi terhadap point clouds. Titik-titik uji hasil pengukuran Total Station akan dibandingkan dengan data hasil penyiaman LiDAR. Dari titik-titik itu, hasil pengukuran Total Station biasanya tidak tepat berada pada titik penyiaman LiDAR, akan tetapi berada di antara titik-titik hasil pengukuran LiDAR, sehingga perlu dilakukannya proses interpolasi linier agar titik uji Total Station dapat tepat berada pada titik point clouds LiDAR. Proses interpolasi ini mengunakan pemodelan dalam bentuk TIN yang merupakan representasi permukaan bumi dalam bentuk kumpulan titik-titik elevasi yang terdistribusi secara acak. TIN merupakan bentuk jaring segitiga dengan unsur-unsur linier seperti breaklines dan mass point. Untuk membentuk jaring segitiga yang teliti diperlukan titik-titik yang terdistribusi rapat dan memiliki ketilitian yang tinggi sehingga model yang diperoleh dapat menggambarkan representatif permukaan bumi secara teliti. Penentuan elevasi titik uji berdasarkan dari titik point clouds LiDAR yang dilakukan berdasar titik uji posisi X dan Y pada hasil pengukuran Total Station. Dengan demikian, nilai elevasi titik uji pada TIN model merupakan interpolasi linear dari ketinggian point clouds di sekitarnya. Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan terain dengan kualitas bagus diperlukan data elevasi yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titiktitik pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1 (X1,Y2), A2 (X2, Y2), dan A3 (X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan nodal-nodal dari sebuah segitiga serta memiliki nilai Z1, Z2, dan Z3, dengan demikian nilai semua titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga adalah sebagai berikut. Z = aX + bY + c .............................................................................(I.5)
18
Persamaan (1.5) di atas merupakan persamaan dasar dari interpolasi linier. Untuk menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier dengan teknik ini diperlukan minimal tiga buah titik agar koefisienkoefisien (a ,b ,c) pada persamaan tersebut dapat dipecahkan. Dari ketiga titik tersebut dapat dibentuk sistem persamaan linier sebagai berikut. Z1 = aX1 + bY1 + c
......................................................................(I.6)
Z2 = aX2 + bY2 + c ......................................................................(I.7) Z3 = aX3 + bY3 + c......................................................................(I.8) Persamaan I.5, I.6, I.7 dapat disusun dalam bentuk matriks X = A. B, koefisien X sebagai matriks a,b,c, koefisien A sebagai matriks X,Y dan koefisien B sebagai matriks Z, maka terbentuk persamaan matrik sebagai berikut.
a X 1 b = X 2 c X 3
Y1 Y2 Y3
1 1 1
1
Z1 Z 2 Z 3
............................................. ( I.9)
Hasil interpolasi akan semakin baik jika bentuk segitiga penyusun TIN model sistematis yakni mendekati segitiga sama kaki dan hasil interpolasi semakin buruk jika perbandingan panjang salah satu sisinya dengan tinggi segitiga semakin besar (Guruh, 2007).
I.7.6. Definisi DEM, DTM, dan DSM Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM) memiliki pengertian yang hampir sama. Pengertian tersebut memiliki perbedaan di berbagai negara.DEM merupakan data elevasi digital terain (topografi dan batimetri) berdasarkan referensi tertentu, tanpa adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS, 2007).
DEM
merupakan model permukaan bumi yang terbentuk dari titik –titik yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Titik – titik tersebut dapat berupa titik sample permukaan bumi atau titik hasil interpolasi atau ekstrapolasi titik – titik sample (Kartika, 2010). Istilah DTM hampir sama dengan DEM yakni representasi relief
19
dari terain serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan manusia, namun DTM mencakup unsur – unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan (ASPRS, 2007).
Gambar I.7 Ilustrasi DTM dan DSM
DSM adalah representasi permukaan bumi termasuk fitur-fitur alam dan buatan manusia seperti jalan, gedung, dan bangunan yang lain. DSM merupakan model elevasi topografi permukaan bumi yang memberi batas acuan secara geometris.
I.7.7. Uji global Semua hasil pengukuran selalu mengandung kesalahan. Untuk itu perlu dilakukan pemilihan data dari sejumlah data yang tersedia, karena tidak mungkin dilakukan pengukuran ulang. Seleksi data digunakan menggunakan uji global untuk membuang blunder dari data tersebut, sehingga data dapat digunakan untuk proses selanjutnya dan dapat dipercaya.
Uji global dengan membuat
20
besarnyarentang kepercayaan menggunakan simpangan baku (σ ) pada data sebesar -3σ<(x- μ)<3σ (Sudjana, 2005). Apabila nilai data terletak diantara rentang tersebut maka data dapat digunakan dalam proses selanjutnya. Simpangan baku (σ) dihitung dengan rumus berikut. n
( Zi Z ) 2
i 1
n 1
………………………………………..
(I.10)
Keterangan:
σ
= simpangan baku atau standar deviasi
Zi = selisih elevasi hasil penyiaman LiDAR dengan hasil survei terestris
untuk data ke-i Z
= rata – rata selisih elevasi hasil penyiaman LiDAR dengan hasil survei terestris
n
= jumlah data
Dalam penelitian ini uji global menggunakan rentang -3σ<(x- μ)<3σ digunakan untuk seleksi data yang akan digunakan untuk proses selanjutnya.
1.8. Hipotesis Elevasi profil melintang menggunakan hasil point clouds lebih baik dibandingkan elevasi hasil DEM.