BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan satu atau lebih virus dengue dapat membahayakan kira-kira 2,5 milyar orang yang tinggal di negara tropis dan subtropis. Sekitar 50-100 juta orang terinfeksi setiap tahun, dan dalam beberapa tahun sebanyak 500 ribu orang telah dirawat di rumah sakit (Halstead, 2007; Halstead, 1988). Beaty et al. (2010) melaporkan bahwa virus dengue bertanggung jawab setidaknya 500 juta kasus infeksi di lebih dari 100 negara. Virus Dengue dapat menyebabkan tiga penyakit pada manusia yaitu dengue fever (DF), dengue haemorraghic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS). Infeksi akibat virus tersebut membedakan tingkat keparahan dari DF, DHF, dan DSS. DF jarang sekali menyebabkan kefatalan, tetapi menghasilkan beberapa gejala yang tidak spesifik. Sementara DHF tingkat keparahannya lebih serius, dengan gejala demam hebat, pembengkakan hati, bocornya plasma, haemorrhage dan thrombocytopenia. Selanjutnya DHF dapat berkembang menjadi DSS yang dapat menyebabkan kematian jika bocornya plasma sangat besar (Herrero et al., 2013). Virus dengue dapat menyerang manusia dari berbagai umur termasuk bayi, anak kecil, orang dewasa, dan manula yang menyebabkan spektrum
1
penyakit berkembang dari DF menjadi lebih parah yaitu DHF dan DSS. Elemen utama yang menentukan kemampuan virus dalam menyebabkan penyakit berasal dari kombinasi faktor virus yaitu protein virus, struktur virion, genotipe virus dan serotipe virus. Virus dengue (DENV) merupakan virus yang tergolong dari genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal dengan panjang genom sekitar 11 kb. Genom virus mengandung 2 daerah terminal yang tidak ditranslasi (UTRs) dan mengkode tiga gen struktural , yaitu: capsid (C), pre membrane (prM) dan envelope (E) serta tujuh protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5) (Mosiman et al., 2009; Chambers et al., 1990). DENV diklasifikasikan secara imunologi ke dalam empat serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Dewasa ini, teknologi rekombinan DNA telah menjadi alternatif perkembangan vaksin flavivirus (Caufour, 2001; Rice et al., 1985). Berbagai penelitian menyatakan bahwa gen prM/E digunakan sebagai antigen target karena dapat menghasilkan respon imun protektif. Protein E, protein permukaan utama virus, mengandung epitop sementara protein prM penting untuk proses ekpresi protein E. Vaksin yang menggunakan virus YF 17D telah berhasil mengekspresikan protein prM/E DENV-2 yang memiliki kemampuan imunogenik dan protektif (Guirakhoo et al., 2001). Penelitian yang dilakukan Lua (2013) menunjukkan bahwa vaksin DNA yang mengekspresikan prM/E menginduksi titer antibodi anti-DENV-2 tertinggi. Oleh karena itu, pemahaman atas
2
kompleksitas virus Dengue sangat penting dalam pengembangan anti-virus atau untuk desain vaksin. Perkembangan teknologi imunoinformatik dan bioinformatik lainnya memiliki peranan penting terhadap perkembangan vaksin berdasarkan pengenalan epitop. Antigen berupa peptida (epitop) digunakan untuk memicu respon imun humoral (epitop sel B) dan atau selular (epitop sel T) (OyarzĂșn et al., 2013). Oleh karena itu, identifikasi epitop sel B dan sel T sangat diperlukan dalam mendesain vaksin berbasis epitop dan perkembangan obat untuk penyakit infeksius maupun non-infeksius. Epitop sel B dapat dikategorikan menjadi dua tipe: epitop linear (continuous) dan epitop conformational (discontinuous). Epitop linear meliputi rantai samping yang berkelanjutan di dalam sekuens, sedangkan epitop conformational terdiri dari rantai samping yang terpisah tetapi memiliki tempat yang berdekatan (Zhang et al., 2011). Sementara epitop sel T dipresentasikan kepada sel T dalam hubungannya dengan protein major histocompability complex (MHC), pada manusia terdapat human leukocyte antigen (HLA). Molekul MHC adalah glikoprotein pada permukaan sel yang berperan penting dalam reaksi imun. Molekul MHC dikode oleh 3 kelas gen. Produk gen kelas I dan kelas II berhubungan langsung dengan reaksi imun sementara produk gen kelas III memiliki peran tidak langsung (Somvanshi dan Seth, 2009). Sel T-sitotoksik mengenali peptida intraseluler yang dipresentasikan oleh molekul MHC-1 yaitu epitop sel T CD8+, sedangkan sel T-helper mengenali peptida yang diambil dari
3
ekstraseluler dan dipresentasikan oleh molekul MHC-2 yaitu epitop sel T CD4+ (OyarzĂșn et al., 2013). Interaksi antara reseptor sel T dan peptida HLA memicu aktivasi dan induksi respon imun seluler. Pemilihan sekuens antigen protein yang berfungsi sebagai epitop sel T dalam formulasi vaksin penting untuk keberhasilan aplikasi strategi vaksin (Sette et al., 2001). Desain vaksin dengan menggunakan epitop memberikan beberapa keuntungan termasuk ketepatan aktivasi respon imun, kemampuan untuk fokus pada daerah antigen tertentu (conserved dan atau imunogenik), sehingga produk vaksin yang dihasilkan aman (OyarzĂșn et al., 2013). Saat ini, demam berdarah yang diakibatkan oleh infeksi virus dengue masih menjadi penyakit endemik di Indonesia yang sampai sekarang masih dilakukan penelitian untuk pengembangan vaksin. Sebagai langkah awal dalam pembuatan vaksin, perlu adanya identifikasi epitop yang dapat memunculkan respon imun secara in silico. Metode ini dapat mengurangi waktu terkait screening epitop potensial hingga 95% (De Groot et al., 2001). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wen et al. (2008) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara prediksi epitop sel T menggunakan analisis bioinformatika dengan penelitian selanjutnya menggunakan uji in vitro. Selain itu, identifikasi epitop sel B pada protein prekusor (pr) virus dengue yang sebelumnya dilakukan oleh Song et al. (2013) menggunakan in silico menunjukkan hasil positif pada uji ELISA. Peptida fusi yang dipurifikasi bereaksi dengan serum dari pasien dengue fever (DF) yang terinfeksi DENV-2. Prediksi
4
epitop sel B pada NS1, NS4a dan C telah berhasil diidentifikasi (Song et al., 2014). Pada penelitian ini, dilakukan analisis secara bioinformatika untuk mengidentifikasi epitop sel B dan sel T pada protein prM/E yang potensial dan memiliki sifat imunogenik terhadap DENV isolat Indonesia. Identifikasi peptida imunogenik protein prM/E yang dapat dikenali oleh sel B dan sel T dilakukan allignment untuk mengetahui daerah conserved pada protein prM/E DENV-1 sampai dengan DENV-4. Selain dapat mengetahui epitop pada protein prM/E yang bertanggung jawab dalam memicu respon imun tubuh, identifikasi dan analisis epitop yang memiliki sifat imunogenik yang tinggi dapat digunakan untuk pengembangan vaksin berbasis peptida di Indonesia.
1.2 Rumusan masalah 1. Apa saja sekuens peptida epitop sel B yang conserved pada protein prM/E virus dengue? 2. Apa saja sekuens peptida epitop sel T yang conserved pada protein prM/E virus dengue? 3. Bagaimana letak epitop sel B pada protein prM/E virus dengue dilihat dengan struktur tiga dimensi?
5
1.3 Tujuan 1.
Mengetahui sekuens peptida epitop sel B pada protein prM/E virus dengue yang berpotensi imunogenik.
2.
Mengetahui sekuens peptida epitop sel T pada protein prM/E virus dengue yang berpotensi imunogenik.
3.
Mengetahui letak epitop sel B pada virus dengue menggunakan struktur tiga dimensi.
1.4 Manfaat Epitop sel B dan sel T dalam pengembangan vaksin memiliki peranan penting untuk memicu respon imun dalam tubuh. Identifikasi epitop sel B dan sel T menggunakan analisis bioinformatika memberikan gambaran peptida yang berpotensi imunogenik. Selain itu, peptida imunogenik dalam hal ini adalah epitop protein prM/E yang dikenali oleh sel B dan sel T berguna di dalam desain vaksin berbasis epitop. Untuk mendesain vaksin yang potensial dibutuhkan pemilihan epitop yang aman, imungenik, dan memiliki antigenisitas yang tinggi. Prediksi epitop sel B dan sel T menggunakan analisis bioinformatika merupakan suatu pendekatan yang cepat, ekonomis, dan akurat untuk kemudian dapat digunakan sebagai kandidat vaksin.
6