perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Waktu penyebaran Islam yang pertama di Nusantara tidak diketahui dengan pasti, sejauh ini masih terdapat banyak pendapat tentang islamisasi di Nusantara, mengenai: asal kedatangan Islam, pembawa, dan waktu kedatangan (Ricklefs, 2007). Salah satu teori dikemukakan Pijnappel, berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari India, hal ini menolak anggapan bahwa orangorang Arab bermahzab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Indonesia. Teori Pijnappel kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, Islam berpijak kukuh di beberapa kota India, salah satunya Deccan. Hurgronje juga menambahkan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Indonesia (Azra, 2013). Teori penyebaran Islam ke Nusantara yang lain dikemukakan oleh Moquette, bahwa asal di Nusantara berasal dari Gujarat. Dasar teori Moquette dari bentuk batu nisan Malik al Shalih di Pasai, Sumatera, dan batu nisan lain yang kelihatannya mirip yaitu di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Bentuk kedua batu nisan ternyata sama dengan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Malik al Saleh adalah orang pertama yang mendirikan kerajaan Islam, batu nisan Malik al Shalih tertulis tahun 1297 M (Aceh, 1971). Menurut Moquette batu nisan yang dihasilkan di Gujarat bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga di ekspor ke daerah lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Dengan mengambil batu nisan dari Gujarat, secara tidak langsung orangorang Nusantara mendapatkan pengaruh Islam dari Gujarat. Pendapat Moquette didukung oleh Schrieke dengan menekankan signifikansi peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan Nusantara dan penyebaran Islam (Azra, 2013). Pendapat Moquette ditentang keras oleh Fatimi, menurut Fatimi gaya to user batu nisan yang terdapat di Pasai commit justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2 Bengal. Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja dapat dipersoalkan lebih lanjut yang berkenaan dengan adanya perbedaan mahzab yang dianut kaum muslim Indonesia (Syafi’i) dan mahzab yang dipegang muslim Bengal adalah Hanafi (Federspiel, 2007). Teori mengenai Islam di Nusantara yang berasal dari Gujarat atau Bengal ditentang oleh Marrison, dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian (1298), Gujarat ditaklukan kekuasaan muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al Shalih. Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat melainkan dibawa para penyebar muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari Coromandel dan Malabar, tetapi juga dari Arabia. Pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan barat-timur sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Biarpun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan pedagang Arab dalam penyebaran Islam, akan tetapi dapat dipertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian dari orang-orang Arab melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga membentuk komunitas muslim. Komunitas muslim melakukan kegiatan penyebaran Islam. Teori lain tentang masuknya Islam ke Nusantara juga disajikan oleh A.H. John, yang menyebutkan para pedagang memainkan peran kecil dalam penyebaran Islam, John menyebutkan bahwa para sufi pengembara yang terutama melakukan penyebaran Islam di Nusantara. Para sufi berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau commit to user kontinuitas dari pada perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3 Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu Indonesia, John memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat pendapatnya (Azra, 2013). Pembawa ajaran tasawuf adalah sufi, yakni para penyiar agama Islam yang mengembara dan berkelana di seluruh dunia, secara sukarela hidup dalam kemiskinan. Sufistik mengajarkan sinkretisme Islam yang kompleks, yang umumnya dikenal baik oleh orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah ajaran Islam yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam. Pada umumnya penganut sufi menguasai ilmu magis serta memiliki kekuatan supranatural yang dihubungkan dengan ajaran Islam. Berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis para sufi, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan. Kesimpulan John, Islam tidak dapat dan menancapkan akarnya di Nusantara atau mengislamkan para penguasa sampai Islam disiarkan oleh para sufi. Gelombang sufi baru aktif sejak abad ke-13, menurut John tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan dunia muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 1258. Setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan dunia muslim dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah Arab, Persia, dan Turki. Pada masa-masa demikian tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan, yang turut membentuk masyarakat urban (Federspiel, 2007). Afiliasi memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia muslim ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi berbagai batas bahasa dan dengan demikian mempercepat proses ekspansi Islam. Dengan latar belakang tersebut, maka sumber-sumber lokal yang disebut dan dikutip terdahulu memberi informasi tentang kedatangan syekh, sayid, makhdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah. Teori sufi berhasil membuat korelasi antara commit tokonversi user kepada Islam. peristiwa-peristiwa politik dan gelombang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4 Banyak peneliti berpendapat bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai penyebar Islam pertama di Jawa. Dilaporkan telah mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa 1386-1429) agar memeluk Islam. Sama dengan sejarah Islam di Nusantara, sejarah awal Islam Jawa masih sangat kabur. Proses transisi dan dan konversi penduduk Jawa Tengah ke Islam bersifat gradual, tak merata, dan terus berkembang. Data tradisional mengenai jatuhnya Majapahit, kerajaan Hindu Jawa besar terakhir, adalah tahun 1478 (Ricklefs, 2007). Sumber Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada di kawasan pantai utara pada awal abad ke-15. Maka sama sekali tidak mungkin bisa sampai pada kesimpulan yang tegas berkaitan dengan data kedatangan Islam menguasai kehidupan keagamaan dan politik di Jawa Tengah. Faktor lain yang harus diperhatikan, komunitas muslim pertama tersebut juga terdiri dari para pedagang yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah lautan India. Para pedagang mengikutsertakan para guru agama sesudah mereka mendirikan komunitas-komunitas yang permanen. Dengan demikian
jalinan
antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, tetapi tidak langsung. Kendati jalur dagang yang membawa Islam ke Jawa, akan tetapi para sufi, ulama dan para raja muslimlah yang bertanggung jawab terhadap penegaran Islam sebagai agama Jawa (Woodward, 1999). Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota di pesisir utara, merupakan titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Keratonkeraton secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Suseno, 2001). Peran ulama dalam islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih dari sekedar mengislamkan saja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayahcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5 wilayah pantai utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota dagang (Burhanudin, 2003). Keraton Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan yang bernafaskan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan pengulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayyidin panatagama yang artinya raja sebagai pemimpin dan sekaligus pengatur urusan agama, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar hari keagamaan (Soeratman, 2000). Dalam pemikrian Jawa, keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan bangunan di dalam keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menjelaskan kehidupan masyarakat keraton dengan jagat raya. Dengan demikian maka bangunan merupakan lambang yang penuh arti. Pengaturan bangunan dilakukan dengan pola tengah yang berarti pusat dan sakral. Diapit oleh dua bangunan lain yang terletak di depan dan di belakang atau di kanan kirinya. Pengapitan dapat berjumlah empat atau delapan yang ditempatkan sesuai arah mata angin. Tata ruang di Jawa pasca Kerajaan Hindu menggunakan konsep tata ruang yang berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya memakai konsep Islam. Unsur Islami terlihat dengan penempatan keraton, masjid, pasar, dan penjara dalam satu komunitas yang berpusat di alun-alun. Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya Keraton Kasusunan Surakarta. Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur baik yang dijiwai nilai asli Jawa maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu-Budha, dimana di Jawa telah berdiri berbagai jenis bangunan seperti candi, makam, rumah joglo, relief gapura. Oleh karena itu ketika Islam masuk Jawa arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi tidak dapat dinafikan oleh Islam. Agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa maka simbol-simbol Islam hadir to user dalam bingkai budaya dan konsepcommit Jawa yang kemudian memunculkan kreativitas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6 baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Islam di Jawa dalam karya arsitekstur. Menurut Mark R. Woodward Islam di Jawa unik, karena konsep-konsep sufi mengenai kewalian, jalan mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi suatu kultus keraton (imperial cult). Salah satu ciri Islam di Jawa yang paling mencolok adalah kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu Budha yang paling maju. Sifat agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi di pedalaman Jawa sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun ditangan para sufi, agama Islam dikemas atraktif dengan menekankan kesesuaian pada praktik keagamaan lokal. Pada umumnya raja tidak melaksanakan rukun Islam secara penuh. Dua kalimat syahadat juga telah diucapkan, yang berarti mengakui tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.Raja juga mengeluarkan zakat dan berpuasa dalam bulan Ramadhan, akan tetapi tidak melakukan shalat lima waktu serta tidak tertarik untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima agama Islam, yakni menunaikan ibadah haji (Soeratman, 2000). Seorang pengulu ditunjuk untuk menuntun dalam penyempurnaan beribadah keluarga raja. Pengulu atau yang disebut abdi dalem ngulama berperan sebagai pemangku persoalan dalam urusan agama Islam dan penyebaran agama Islam di lingkungan keraton Surakarta yang ditandai dengan diakuinya abdi dalem ngulama sebagai pegawai kerajaan. Raja dalam melaksanakan tugasnya sebagai panatagama, mengangkat dan menempatkan seorang pengulu yang dipilih dari orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai penasehat raja. Dalam struktur birokrasi pemerintahan, Kasunanan membagi tiga departemen penting dengan kewenangan yang jelas dan terpisah, antara lain: Reh Kepatihan, Reh Kadipaten Anom, dan Reh Pangulon. Reh Kepatihan adalah lembaga administrasi pemerintahan dibawah kekuasaan patih, dimana patih user birokrasi. Reh Kadipaten Anom berfungsi sebagai pejabat tertinggicommit dalam to hierarki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7 adalah lembaga yang mengurusi segala kebutuhan para sentana dalem, berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom. Dan lembaga atau departemen yang bertanggung jawab pada urusan-urusan agama termasuk melaksanakan keadilan dalam pertikaian-pertikaian dalam yurisdikasi hukum Islam di bawah Reh Pangulon, yang dipimpin oleh seorang pengulu. Abdi dalem yang ditunjuk menjadi pengulu diberi gelar Pengulu Tafsir Anom. Pengulu Tafsir Anom merupakan pengulu terikat di dalam pemerintahan keraton. Ulama terikat ini diangkat menjadi seorang pegawai keraton berdasarkan pilihan, lebih mengabdikan ilmu agamanya untuk kepentingan di dalam pemerintahan atau di dalam keraton. Untuk menjadi seorang ulama terikat maka dibutuhkan pengetahuan ilmu agama Islam, minimal telah menyelesaikan sekolah atau madrasah baik di pesantren maupun dari lulusan madrasah pengulu. Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas serta mampu dalam mengemban tugas di dalam birokrasi pemerintahan. Ulama birokrasi diangkat dan ditunjuk oleh pemerintahan bagi Landraad atau lembaga pengadilan kolonial untuk pribumi di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Nama Tabsir ‘Anom diambil dari bahasa Arab yang berarti kabar gembira, tetapi lidah orang Jawa menyebutnya Tabsir Anom, ada pula yang menyebutnya Tafsir Anom. Kanjeng Dalem Pengulu diangkat oleh raja sebagai penasehat spiritual di bidang agama Islam. Abdi dalem yang melaksanakan kegiatan sesuluh agama Islam adalah Abdi dalem Anon-anon yang memiliki pengetahuan tentang agama Islam (Kanjeng Raden Pengulu Tafsir Anom). Seorang pengulu adalah kepanjangan tangan dan lidah raja sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah dan panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam yang patut untuk ditiru dan diteladani bagi seluruh rakyat kerajaan. Para pengulu diberi tanah di samping masjid yang diberi nama Kampung Kauman, sebuah kampung tempat hanya kalangan santri yang diperbolehkan tinggal. Administrasi masjid tersebut berada di bawah tanggung jawab pengulu. Sebelum swapraja dihapus, tugas-tugas pengulu adalah menangani administrasi commit to user masjid dan hukum Islam di seluruh wilayah kerajaan. Masa kemerdekaan tugas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8 tersebut diambil oleh Departemen Agama Republik Indonesia, tetapi pengulu tetap bertanggung jawab menyelenggarakan ibadah-ibadah Islam di keraton juga untuk memelihara dan merawat beberapa makam dan tempat keramat lainnya yang tersebar di lingkungan keraton (Woodward, 1999). Maksud dan tujuan ulama masuk ke dalam birokrasi pemerintahan keraton ialah agar agama Islam di keraton dapat berkembang. Pengaruh dari perkembangan zaman dapat mengubah sikap bentuk sebuah pemikiran dan keputusan. Para ulama keraton yang diangkat ke dalam sebuah birokrasi pemerintahan dalam keraton yang berperan dalam mengurusi masalah sosial, keagamaan, dan kehidupan duniawi. Dengan demikian kehidupan keagamaan dalam keraton dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Perubahan itu dapat dilihat ketika masyarakat di dalam keraton maupun di lingkungan keraton belum mengenal agama Islam. Banyak diantara masyarakat yang memuja patung dan belum mengetahui hukum Islam lebih dalam. Tugas pengulu antara lain untuk membantu raja dalam mengurusi masjid, ibadah agama Islam, memimpin upacara keagamaan maupun prosesi tradisi keraton, berdoa untuk keselamatan raja atau keseluruhan, menguatkan dalam pelantikan raja baru, memberi pengajaran agama kepada kerabat raja atau keseluruhan, serta urusan pengadilan agama. Ulama-ulama tersebut tergabung dalam suatu badan yang disebut Yogiswara, yaitu badan yang diberi tugas menangani urusan-urusan agama. Dalam jajaran birokrasi Reh Pangulon, seorang pengulu membawahi beberapa jabatan yaitu: ketib, modin, koyyim, dan merbot. Ketib bertanggung jawab dalam penyelenggaraan khutbah jumat dan diberi kepercayaan untuk mengajar agama dalam pengajian. Modin bertugas dalam mengumandangkan adzan dan kedudukan modin diperkuat oleh koyyim. Dan merbot bertugas memelihara masjid seperti pengaturan air, tikar, dan perabot lainnya sehingga para merbot terikat di dalam masjid (Darban, 2002). Bagi masyarakat ulama adalah seorang pemimpin pemuka agama yang memiliki kharisma yang luar biasa, selain mengetahui segalanya tentang agama commit to user juga sebagai penasehat masyarakat. Seorang pengulu atau abdi dalem ngulama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9 keraton adalah sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam. Ulama patut untuk ditiru dan diteladani bagi seluruh rakyat kerajaan, sehingga tercipta rakyat yang bermoral dan berbudi pekerti yang luhur. Kelompok ulama ditengah-tengah masyarakat biasa dikatakan kelompok putihan, golongan santri. Ulama biasanya berperan sebagai guru agama Islam dan biasanya mendirikan sebuah pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren di tengah-tengah masyarakat. Penyebaran dan perkembangan agama Islam di Surakarta tidak bisa lepas dari peranan ulama, ulama dapat menjalin kekerabatan dan dapat diterima menjadi abdi dalem keraton melalui jalur perkawinan maupun hubungan kekerabatan. Datangnya kelompok ulama bertujuan untuk memberi pelajaran dan bimbingan kepada masyarakat dan priyayi yang belum mengetahui banyak tentang kehidupan beragama yang perlu diciptakan dalam kehidupan sehari-hari. Ulama di mata masyarakat mempunyai kedudukan yang terhormat dan dianggap sebagai orang yang berada dalam kebenaran, ulama menjadi golongan kelompok yang sangat diagungkan bagi masyarakat dan memiliki banyak simpatisan. Jika dilihat kedudukan ulama, berada dibawah priyayi dan diatas kawula. Dengan kharismatik yang dimiliki oleh ulama, membuat ulama mudah untuk berinteraksi dengan para priyayi sehingga mudah untuk memberi bimbingan. Sebelum
berdiri
pendidikan
formal,
masyarakat
Surakarta
menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantren yang diselenggarakan oleh kyai, guru-guru agama dan ulama. Misalnya Pondok Pesantren Jamsaren. Pendidikan di pondok pesantren ternyata menghasilkan ulama-ulama sebagai penerus abdi dalem pamethakan. Penitikberatan pendidikan nonformal tersebut pada pendidikan rohani/keagamaan khususnya agama Islam. Tujuannya adalah memperdalam pengetahuan tentang ilmu dan agama Islam. Pendidikan nonformal di pondok pesantren berfungsi sebagai pendidikan lanjutan bagi pendidikan informal yang telah diterima oleh anak-anak di lingkungan keluarga masing-masing. Banyak diantara murid pondok pesantren yang memperdalam bahasa Arab, usul fiqih (pengetahuan tentang sumber-sumber commit Islam), to user tasawuf dan akhlak etika Islam. dan sistem hukum Islam), tarikh (sejarah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10 Pondok Pesantren Jamsaren yang didirikan oleh Kyai Jamsari sekitar 1750, mempunyai jasa yang sangat besar bagi berdirinya Madrasah Mambaul ‘Ulum. Modernisasi Islam di Keraton Kasunanan ditandai dengan adanya pendirian-pendirian
sekolah,
madrasah
di
lingkungan
keraton.
Wujud
didirikannya madrasah adalah adanya ajaran-ajaran dari para penghulu keraton yang bertugas membimbing ibadah sholat, puasa, zakat, amal, dan rukun Islam. Dengan berlandaskan Al-Qur’an dan hadist sebagaimana adanya, para pengulu menyusun syariat yang merupakan hukum Islam. Suatu perpaduaan perundangundangan yang rumit meliputi hampir setiap bidang kehidupan sosial, tetapi dengan titik berat pada urusan-urusan agama (Geertz, 1983). Pendirian pendidikan formal yang berdasarkan Islam dipengaruhi oleh beberapa alasan diantaranya yaitu masuknya pengaruh Barat ke Surakarta, selain munculnya sekolah-sekolah, adanya zending di Surakarta yang mendirikan sekolah-sekolah dengan misi penyebaran agama Kristen. Keadaan ini yang membuat Sunan resah. Untuk mengantisipasi perkembangan zending di Surakarta dan untuk regenerasi abdi dalem ngulama keraton, Sunan mendirikan sebuah sekolah Islam (madrasah) bernama Mambaul ‘Ulum. Diharapkan sekolah ini dapat mencetak ulama-ulama yang nantinya terjun ke lapangan dan berusaha membendung upaya pihak zending (Kuntowijoyo, 2004). Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul ABDI DALEM REH PANGULON DALAM PENGEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA 1885-1939.
B. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini dibatasi hanya Keraton Kasunanan, Masjid Agung Surakarta dan Kampung Kauman Surakarta karena di wilayah ini sebagai tempat tinggal yang dikhususkan untuk Reh Pangulon dan tentu saja Masjid Agung tempatnya berdinas menjalankan tugas dari raja. Waktu penelitian dibatasi antara tahun 1885-1939, dengan alasan bahwa to user ditemukannya sumber Staatsblad commit 1882 nomor 152 tentang aturan mengenai raad
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11 agama yang bersidang di serambi masjid, memungkinkan untuk menentukan dasar berpijak dalam penyelidikan sejarah pada penelitian ini. Ditariknya ulama (pengulu) menjadi bagian dari birokrasi memunculkan sistem administrasi modern yang baik, tertib, teratur dan tercatat dengan teliti telah mendorong semangat baru dalam kehidupan masyarakat Islam khususnya lingkungan elite Islam. Tahun 1885 adalah awal mula Pengulu Tafsir Anom V mulai menjabat sebagai abdi dalem pengulu di Keraton Kasunanan Surakarta, sedangkan tahun 1939 merupakan akhir dari pemerintahan dari Paku Buwana X, setelah pemerintahan Paku Buwana X kedudukan pengulu tidak begitu kuat karena diterbitkannya Staatsblad tahun 1937 nomor 116 tentang adanya aturan dicabutnya wewenang raad agama, dan dibentuk sebuah majelis Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di Jakarta.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain: 1.
Bagaimana kedudukan Reh Pangulon di dalam Keraton Kasunanan?
2.
Bagaimana peran Reh Pangulon dalam pengembangan agama Islam pada birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta 1885-1939?
3.
Bagaimana peran Pengulu Tafsir Anom dalam pengembangan pendidikan Islam di Keraton Kasunanan Surakarta 1885-1939?
D. Tujuan Penulisan Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui kedudukan Reh Pangulon dalam Keraton Kasunanan.
2.
Untuk mengetahui peran Reh Pangulon dalam pengembangan agama Islam pada birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta 1885-1939.
3.
Untuk mengetahui peran Pengulu Tafsir Anom dalam pengembangan pendidikan Islam di Keraton Kasunanan Surakarta 1885-1939. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12 E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang perkembangan Islam di Keraton Kasunanan Surakarta yang ternyata terdapat komunitas yang diberi tugas untuk menjalankan fungsi keislaman di Keraton Kasunanan Surakarta.
b.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna dalam bidang ilmu pengetahuan dan untuk melihat kehidupan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dalam eksistensi serta interaksi dengan keraton serta masyarakat Surakarta. 2. Manfaat Praktis
a.
Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.
Dapat memberikan motivasi kepada para sejarawan untuk selalu mengadakan penelitian ilmiah di Surakarta yang masih banyak hal untuk dikajiselain kehidupan raja.
commit to user