BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan sumber daya air di bumi harus dijaga kelestariannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peraturan Pemerintah RI No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air mendefinisikan air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber air yang ada di permukaan tanah. Kelestarian sumberdaya air baik dari segi kuantitas maupun kualitas di berbagai daerah saat ini menjadi permasalahan utama. Berkembangnya sektor industri, pertanian dan perikanan darat telah banyak memberikan dampak negatif yaitu penurunan kualitas air. Danau ataupun waduk merupakan salah satu sarana yang mampu menampung ketersediaan air sebagai penunjang kehidupan. Keberadaan danau ataupun waduk juga berguna sebagai pembangkit listrik (PLTA) serta merupakan habitat bagi organisme perairan seperti ikan dan udang. Air danau atau waduk sebagai salah satu sumber air tawar juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang kegiatan sosial dan perekonomian seperti sumber irigasi dan sarana pengembangan kegiatan perikanan darat. Akan tetapi dewasa ini, masyarakat cenderung mengutamakan keuntungan dari sisi ekonomi saja dan seringkali mengabaikan faktor ekologi lingkungan di sekitar danau. Kegiatan tersebut tentu dapat mengancam eksistensi danau atau waduk yang merupakan salah satu sumber penampung ketersediaan air. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan sumberdaya perairan yang luas baik itu perairan laut maupun perairan darat terutama danau dan waduk. Keberadaan danau dan waduk di Indonesia cukup merata dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Papua. Beberapa danau yang cukup terkenal karena keindahannya adalah Danau Toba, Danau Batur, 1
Danau Kelimutu dan lain-lain. Akan tetapi tidak sedikit juga danau di Indonesia yang mengalami permasalahan terutama dari faktor lingkungan seperti sedimentasi dan eutrofikasi yang dapat mengancam eksistensi danau dan/atau waduk itu sendiri. Jorgensen (2011) dalam Irianto dan Triweko (2011) mengemukakan bahwa permasalahan utama waduk dan danau di seluruh dunia mencakup beberapa hal yaitu (a) sedimentasi yang tinggi pada danau/waduk akibat penggunaan lahan yang tidak terkendali di suatu DAS (b) terjadinya asidifiksi danau akibat hujan asam yang mengganggu perikanan dan degradasi ekosistem (c) degradasi kualitas air di danau/waduk akibat pencemaran air limbah (d) timbulnya eutrofikasi akibat masuknya senyawa nitrogen dan/atau fosfor hasil kegiatan industri, pertanian, domestik, limpasan permukaan dan menimbulkan blooming fitoplankton, pencemaran air dan penurunan biodiversitas serta (e) terjadinya perubahan total pada ekosistem akuatik pada kasus ekstrim. Salah satu danau di Indonesia yang tercatat mengalami eutrofikasi adalah Danau Rawa Pening. Rawa Pening merupakan danau alami yang terletak di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Danau Rawa Pening merupakan salah satu dari 15 danau prioritas nasional 2010-2014 dalam upaya pengelolaan berkelanjutan. Berdasarkan rekonstruksi kondisi ekologi Danau Rawa Pening di masa lampau yang dilakukan oleh Soeprobowati (2010), diketahui bahwa pemicu utama eutrofikasi di Danau Rawa Pening disebabkan oleh pupuk pertanian. Hasil dari rekonstruksi diketahui bahwa sejak tahun 1967 kondisi danau sudah eutrofik dengan kandungan bahan organik cukup tinggi. Menginjak tahun 1990, kondisi danau berubah menjadi hipereutrofik dengan pH >9 yang diindikasikan dengan ditemukannya dominasi Aulacoseira granulate pada sampel sedimen yang diteliti. Volume Danau Rawa Pening tercatat mengalami penurunan sebesar 29.34% dalam kurun waktu 22 tahun (1976-1998). Pemerintah Kabupaten Semarang pada tahun 2000 memprediksikan pada tahun 2021 Rawa Pening akan berubah menjadi daratan dengan catatan jika pendangkalan danau dan erosi di daerah hulu tidak berubah. Gejala eutrofikasi pada danau Rawa
2
Pening ditandai dengan berkembangnya tanaman eceng gondok yang menutupi sebagian besar permukaan air. Golten & Timotius (1994) dalam Soprobowati (2010) mengemukakan bahwa kurang lebih 20-30% danau tertutup Eicchornia crassipes, 10% Hydrilla verticillatan dan Salvania cucculata. Menurut Wibowo (2004), kondisi tersebut diperparah dengan status Rawa Pening yang merupakan perairan tertutup dengan waktu tinggal material yang cukup lama. Tercatat pada tahun 2000, lumpur yang masuk ke Rawa Pening pada musim penghujan mencapai 786 ton per bulan yang berasal dari 9 sub DAS, sedangkan pada musim kemarau, lumpur yang masuk sebesar 270 ton per bulan (Wibowo, 2004). Perkembangan penginderaan jauh saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat didukung dengan teknologi, wahana serta sensor yang memiliki keunggulan tersendiri. Aplikasi penginderaan jauh pun sudah banyak berkembang di berbagai bidang seperti perkotaan, geologi, hidrologi, lingkungan, kebencanaan, sumberdaya alam, cuaca dan kepesisiran. Pemanfaatan citra penginderaan jauh dalam identifikasi dan analisis fenomena di permukaan bumi memiliki keunggulan dari sisi spasial sehingga distribusi fenomena di suatu daerah dapat direpresentasikan dengan baik. Hal tersebut tentunya sangat berguna untuk identifikasi suatu fenomena, seperti eutrofikasi yang terjadi di Rawa Pening.
1.2.Rumusan Masalah Rawa Pening merupakan perairan alami yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk beberapa kegiatan seperti perikanan darat, pertanian serta pariwisata. Kegiatan tersebut memberikan dampak positif bagi perekonomian warga sekitar. Akan tetapi, di sisi lain memberikan dampak negatif bagi lingkungan yaitu pencemaran limbah pada tubuh air. Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari kegiatan tersebut merupakan limbah organik. Kondisi ini akan berpengaruh pada kualitas air terutama status trofik
3
di Rawa Pening. Tingginya bahan organik pada tubuh perairan dapat memacu proses eutrofikasi yang seringkali ditandai dengan terjadinya blooming algae. Eutrofikasi pada sebuah waduk/danau selain berpengaruh pada kualitas air juga dapat mempercepat proses sedimentasi waduk yang berdampak pada eksistensi waduk itu sendiri. Status trofik suatu waduk dapat dinyatakan dalam suatu indeks yang dikembangkan oleh Carlson yaitu TSI (Trophic State Index) yang diukur melalui 3 parameter yaitu kandungan total fosfor, konsentrasi klorofil-a serta kejernihan air pada waduk. Pada kasus Rawa Pening, gejala eutrofikasi ditandai dengan berkembangnya tumbuhan air yaitu enceng gondok (Eichhornia crassipes) yang hampir menutupi seluruh permukaan danau. Penginderaan jauh sebagai sebuah ilmu serta teknologi yang memiliki keunggulan dalam mengekstrak informasi tanpa kontak langsung dengan objek serta dari aspek resolusi baik spasial, temporal, radiometrik maupun spektral. Keunggulan tersebut dapat digunakan untuk mengetahui status trofik di Rawa Pening pada waktu tertentu dan distribusinya secara spasial melalui pengolahan citra. Berdasarkan asumsi tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa besar citra Landsat 8 OLI/TIRS dapat digunakan untuk identifikasi parameter penentu status trofik pada tubuh perairan khususnya Danau Rawa Pening? 2. Bagaimana distribusi konsentrasi klorofil-a, kandungan total fosfor dan kejernihan air di Rawa Pening tahun 2014 dianalisis dari data Citra Landsat-8 dan survei lapangan? 3. Bagaimanakah status trofik di perairan Rawa Pening pada tahun 2014 dianalisis dari data Citra Landsat-8 dan survei lapangan?
4
1.3.Tujuan Penelitian 1. Mengetahui seberapa besar data penginderaan jauh yaitu citra Landsat 8 OLI/TIRS dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter penentu status trofik perairan Rawa Pening pada tahun 2014 2. Mengetahui distribusi konsentrasi klorofil-a, kandungan total fosfor dan kejernihan air di Rawa Pening pada tahun 2014 melalui analisis data Citra Landsat-8 dan survei lapangan 3. Melakukan identifikasi status trofik di Rawa Pening melalui analisis data citra Landsat 8 OLI/TIRS dan survei lapangan tahun 2014
1.4.Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memetakan sekaligus memberikan informasi status trofik perairan Rawa Pening secara spasial sebagai bahan evaluasi dalam penentuan kebijakan pembangunan daerah dan kelestarian lingkungan di sekitar danau.
1.5.Batasan Penelitian Eutrofikasi pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor fisika maupun kimia, sehingga banyak parameter yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi status trofik di suatu perairan. Akan tetapi pada penelitian ini identifikasi status trofik di perairan Rawa Pening dilakukan berdasarkan pada algoritma Carlson yang memperhitungan 3 parameter yaitu konsentrasi klorofil-a yang merepresentasikan biomassa fitoplankton, kandungan total fosfor sebagai nutrien yang terkandung dalam tubuh air dan kejernihan air yang diukur melalui kedalaman Secchi. Menurut Hart (2004) dalam Piranti (2012), fosfor merupakan unsur pertama penyebab eutrofikasi danau dan waduk yang berasal dari kegiatan manusia, sedangkan pada penelitian Soeprowati dan Suedi (2007) terkait status trofik Rawa Pening dikatakan bahwa Danau Rawa Pening mengandung TN sebesar 825 mg/L dan TP sebesar 71 mg/L yang mengindikasikan bahwa perairan tersebut tergolong hipereutrofik, sedangkan berdasarkan konsentrasi
5
klorofil-a tergolong eutrofik (21,72 g/L). Rasio N/P di Danau Rawa Pening sebesar 14/1 sehingga fosfor merupakan nutrien pembatas terjadinya eutrofikasi di Rawa Pening. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya digunakan parameter total fosfor sebagai nutrien untuk identifikasi status trofik danau dan tidak memperhitungkan kandungan total nitrogen.
6