BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan secara serius untuk pemetaan permukaan bumi seperti pembuatan kontur, hill shading dan visualisasi tiga dimensi (Chang, 2008). Sebelum adanya komputer para pembuat peta menggunakan titik tinggi untuk mengetahui ketinggian suatu tempat. Titik tinggi sebagai data tersebut dihubungkan dengan metode triangulasi untuk mempermudah pembacaan peta. Seiring perkembangannya model elevasi berubah menjadi bentuk elevasi digital. Model elevasi digital sering disebut dengan DEM (Digital Elevation Model) atau model elevasi medan. DEM merupakan susunan data elevasi yang mempunyai spasi seragam (Chang, 2008). DEM merupakan singkatan yang sering digunakan untuk digital topografi atau data batimetri di semua bentuk (Heidemann, 2012). DEM mempunyai titik tinggi tiap pusat sel, titik tersebut membuat satuan elevasi yang saling terhubung satu sama lain dan dianggap model permukaan bumi paling nyata. DEM sendiri berdasar bentuk datanya ada dua macam yaitu DEM raster dan DEM vektor, DEM raster menggunakan grid atau piksel sebagai elevasi sedangkan DEM vektor menggunakan TIN (Triangulated Irregular Network). Menurut Chang (2008) DEM dan TIN tidak dapat digunakan bersamaan, tetapi DEM dapat diubah menjadi TIN dan TIN dapat diubah menjadi DEM. Raster data merupakan data yang berbentuk grid pixel (picture element), piksel merupakan data yang mempunyai nilai tiap kotak (grid). DEM data raster berupa intensitas kecerahan piksel sebagai nilai ketinggian, semakin cerah nilai DEM maka semakin tinggi elevasi piksel tersebut.
1
DEM dapat diperoleh dari berbagai metode, metode paling akurat menggunakan metode pengukuran lapangan. Keakuratan metode pengukuran lapangan mempunyai kelemahan mahalnya biaya, waktu dan tidak efisien. Metode yang lebih sederhana menggunakan metode penurunan dari peta kontur, metode ini akurat tetapi tergantung pada akurasi, skala peta yang dibuat dan update peta. Kelebihan dari metode ini mampu memodelkan dengan waktu yang lebih singkat dan biaya lebih murah. Metode-metode ini sering menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) berskala 1:25000. Foto udara stereo menjadi salah satu perolehan data untuk model elevasi berbentuk digital, data digital menghasilkan elevasi permukaan bumi lebih nyata. Keunggulan foto udara dapat memodelkan elevasi dengan lebih detail dari pada peta RBI. Pemodelan hampir menyamai survei lapangan tetapi model ini menghasilkan data surface bumi. Akurasi model surface untuk menyamai hasil ketelitian survei masih tergantung pada besarnya resolusi spasial foto udara. Kelemahan dari pemodelan foto udara adalah mahalnya wahana dan resolusi temporal foto udara. Akhir-akhir ini juga berkembang citra dengan resolusi tinggi yang mampu digunakan sebagai pengganti foto udara yaitu menggunakan citra stereo. Keunggulannya beresolusi temporalnya tinggi dan dapat menggantikan peran dari foto udara. Penggunaan citra satelit dapat menghemat biaya dari wahana yang digunakan. Citra seperti model foto udara, model ini berupa model elevasi digital yang berbentuk surface / permukaan bumi. Model surface dari permukaan bumi sering disebut sebagai DSM (Digital Surface Model). DSM (Digital Surface Model) sama seperti Digital Elevation Model (DEM) atau Digital Terrain Model (DTM) kecuali DSM menggambarkan permukaan bangunan, pohon, dan feature lain yang ada di atas bumi (Heidemann, 2012). Kemampuan citra di atas membuat citra lebih sesuai untuk updateting peta. Citra menjadi salah satu sumber data dengan penyimpanan digital dan dapat diproses dengan metode digital atau manual. Peranan dari citra satelit sangat besar
2
membuat para pengembang menghasilkan citra stereo digital. Beberapa satelit penghasil citra satelit yaitu satelit JERS milik Jepang, citra Cartosat milik India dan masih banyak lagi. Salah satu citra yang sering digunakan dan mempunyai akurasi stereo tinggi yaitu citra ALOS PRISM milik Jepang. PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument For Stereo Mapping), diluncurkan menggunakan satelit sumber daya milik Jepang yang disebut sebagai ALOS (Advanced Land Observing Satellite). ALOS pertama diluncurkan pada tanggal 26 Januari 2006 dan dirancang untuk 3-5 tahun (Restek, 2010, dikutip Danoedoro 2012). Resolusi spasial ALOS PRISM 2,5m dengan 3 modul optik independen yaitu pengamatan miring ke depan (forward), tegak lurus ke bawah (nadir), dan miring ke belakang (backward) (Danoedoro, 2012). 3 modul optik citra PRISM menjadi sumber pemodelan DSM. Banyak peneliti menggunakan citra ALOS PRIM tetapi penelitian tersebut dilakukan pada permukaan bumi yang datar dan landai. Seperti penelitian Hartoyo pada tahun 2014 meneliti perbandingan ketelitian citra CARTOSAT dan ALOS PRISM berlokasi di Jakarta. Daerah penitian tersebut masuk dalam kelas topografi datar dan landai (Hartoyo,2014). Selain pada daerah datar dan landai para peneliti melakukan pengujian akurasi menggunakan ketinggian medan. Pengujian akurasi dengan menggunakan medan memang akurat untuk model DEM. Hasil dari sebuah citra bukanlah DEM melainkan DSM sehingga perlu pengujian menggunakan surface. Pengujian menggunakan data surface dilakukan menggunakan peta topografi dari RBI. Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh akurasi beda tinggi objek. Kemampuan stereo ALOS PRISM dan DEM RBI diharapkan mampu untuk memodelkan permukaan bumi. Pemodelan berupa DSM dari ALOS PRISM dan DEM dari RBI mampu digunakan pada skala model 1:25000. Pemodelan ini juga diharapkan mampu untuk tingkat ketelitian yang diharapkan sehingga dapat digunakan untuk aplikasi ketinggian permukaan bumi.
3
1.2 Rumusan Masalah Berbagai uraian di atas DEM dapat dibagi dua bentuk DEM raster dan DEM vektor. DEM merupakan model permukaan bumi tanpa tutupan di atasnya. DEM banyak diaplikasikan untuk menurunkan informasi berupa slope dan aspek. Informasi tersebut dapat digunakan untuk arah aliran, igir sampai lembah. DEM sendiri terbentuk menggunakan data topografi atau menggunakan data pengukuran langsung. Kemajuan aplikasi komputer membangun citra digital membuat para pengembang serius mengembangkan model digital. Model seperti ini sering disebut sebagai digital surface model (DSM). DSM (Digital Surface Model) sama seperti Digital Elevation Model (DEM) atau digital terrain model (DTM) kecuali DSM menggambarkan permukaan bangunan, pohon, dan feature lain di atas bumi (Heideman, 2012). Telah banyak penelitian menggunakan ALOS PRISM sebagai sumber data. Sering kali pengujian dilakukan di daerah yang landai sampai datar. Hanya beberapa penelitian DSM menggunakan citra ALOS PRISM pada daerah bergunung dan bergelombang. Model elevasi DEM dan DSM merupakan model yang berbeda. Perbedaan terletak pada informasi medan dan surface. Perbedaan informasi tersebut menimbulkan informasi baru berupa data tinggi objek di permukaan tanah. Informasi tersebut diharapkan dapat diaplikasikan sebagai data ketinggian pohon atau informasi cekungan bekas tambang. DSM dan DEM diharapkan dapat diaplikasikan sebagai sumber data tinggi objek berskala 1:25.000. Penelitian dilakukan di DI.Yogyakarta, Kab. Bantul, sebagian Kec. Pengasih dan Kec. Sentolo meliputi Desa Sendang sari, Desa Pengasih, Desa Kaliagung dan Desa Margosari. Pemilihan daerah penelitian ini dikarenakan empat desa ini mempunyai topografi yang beragam. Topografi daerah ini dari bergunung, berombak hingga landai. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
4
1. Seiring dengan semakin banyaknya pemanfaatan DSM PRISM maka perlu diketahui akurasi DSM tersebut terhadap DEM yang dihasilkan dari peta RBI. 2. Disamping akurasi terhadap peta RBI, perlu pula diketahui akurasi DSM PRISM terhadap hasil pengukuran lapangan. Berdasar rumusan masalah tersebut, maka disusunlah penelitian ini dengan judul “Akurasi Beda Tinggi DSM dan DEM menggunakan citra ALOS PRISM Dan Kontur Digital” 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui akurasi beda tinggi DSM PRISM dan DEM kontur RBI berdasar standar BAKOSURTANAL. 2. Mengetahui
akurasi
DSM
PRISM
berdasar
standar
BAKOSURTANAL. 1.4 Kegunaan 1. Dapat digunakan sebagai bahan aplikasi yang membutuhkan ketinggian objek di permukaan tanah. 2. Citra stereo ALOS PRISM dapat digunakan sebagai data DSM.
5