1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu
untuk memajukan bangsa Indonesia dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa Indonesia di dunia global. Agar tercapai tujuan tersebut penduduk Indonesia harus memiliki taraf kesehatan dan status gizi yang lebih baik agar dapat bertahan hidup lebih lama, lebih aktif, lebih produktif serta lebih menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dengan kata lain penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan, jumlah, kemanan, dan mutu gizi yang memadai harus benar – benar terjamin sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi seluruh penduduk Indonesia (Tsauri, 1998). Pembinaan penduduk Indonesia perlu dilakukan sejak dini terutama pembinaan di sekolah. Pendidikan formal yang diberikan di sekolah akan sangat bermanfaat untuk menciptakan generasi penerus yang lebih baik. Hal tersebut akan berjalan lancar jika ditunjang oleh status kesehatan dan status gizi. Salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi yang lebih baik
dalam
institusi
sekolah
adalah
dengan
diselenggarakannya
pelayanan gizi institusi di sekolah yang dimaksudkan untuk membantu meningkatkan status gizi siswa di sekolah, yang lambat laun menjadi kebutuhan, sebagai akibat waktu sekolah yang panjang ataupun tidak sempat sarapan di rumah sebelum berangkat ke sekolah (Mukrie, 1990).
1
2
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak berkembang sekolah yang di dalamnya terdapat penyelenggaraan makanan. Namun dalam perjalanannya, kegiatan penyelenggaraan makannya pun ada yang baik dan ada yang kurang baik karena banyak faktor yang mempengaruhi sukses atau tidaknya suatu penyelenggaaan makan di suatu sekolah. Salah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator sukses tidaknya pelayanan gizi di sekolah adalah dengan melihat asupan energi dan protein yang dikonsumsi (Depkes, 1991). Kualitas pelayanan di suatu institusi pelayanan kesehatan di bidang gizi dapat dilihat dari perubahan status gizi dan asupan energi dan protein konsumennya. Asupan energi dan protein yang sesuai dengan kebutuhan gizi sangat diperlukan oleh tubuh, terutama dalam masa tumbuh kembang (Mukrie, 1990). Jika asupan energi baik maka diharapkan seseorang akan mempunyai status gizi yang baik. Energi dapat dikatakan baik jika energi tersebut seimbang, antara energi yang masuk ke tubuh melalui makanan dengan energi yang dikeluarkan (Almatsier, 2004). Begitu pula dengan asupan proteinnya, jika asupan proteinnya baik, maka diharapkan status gizinya pun baik. Protein amat penting untuk pertumbuhan dan rehabilitasi, terutama di usia anak-anak yang masih dalam usia tumbuh kembang. Kecukupan protein hanya dapat dipakai dengan syarat kebutuhan energinya lebih dulu terpenuhi. Karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi maka sebagian protein yang masuk ke dalam tubuh akan dipakai untuk pemenuhan kebutuhan energi (Muhilal, 1996). Asupan zat gizi yang bisa memenuhi kebutuhan tubuh sangat tergantung dari jenis makanan yang dikonsumsi. Jenis makanan yang baik terdapat pada menu yang baik.
3
Menu yang disajikan dengan baik dapat menjadi suatu alat penyuluhan gizi yang baik sehingga terbentuk pola makan yang baik. Menu yang baik dan bergizi tidak harus terdiri dari bahan makanan yang mahal, tetapi harus disusun dengan bahan yang beraneka ragam dengan biaya yang terjangkau dan bernilai gizi baik agar konsumen merasa puas dengan biaya serta kualitas makanan yang dihidangkan. Biaya mempunyai hubungan secara langsung terhadap pelayanan makanan yang akan diselenggarakan, oleh karena itu biaya makanan dapat dikendalikan dengan berbagai cara seperti menukar, merubah atau mengganti bahan makanan dengan bahan makanan lain yang sesuai nilai gizinya. Tujuan dari pengendalian biaya adalah menghindari atau mengurangi pengeluaran yang berlebihan untuk menjamin supaya tujuan dari perencanaan dapat dicapai (Mukrie, 1990). Berdasarkan
sebuah
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Devi,
menyatakan dari 57 sampel yang diteliti, jika dilihat dari makan siang yang dikonsumsi terhadap energi sebanyak 22 sampel (38,6%) tergolong dalam kategori kurang dan terhadap protein sebanyak 25 sampel (43,9%) tergolong dalam kategori kurang (Devi, 2010). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari makanan yang dikonsumsi dapat dikaji seberapa besar kandungan energi dan protein yang dikonsumsi, apalagi jika hal ini terjadi di usia tumbuh kembang pada seorang anak. Usia tumbuh kembang anak yang baik ada di usia sekolah dasar. Sedangkan penelitian mengenai biaya bahan makanan yang dikonsumsi belum pernah ada sampai saat ini. Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia adalah salah satu contoh sekolah dasar swasta yang melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan siang. Pada periode tahun 2010-2011 terdapat 351 siswa yang bersekolah di SD Plus Nurul Aulia yang beralamat di jalan Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi Utara. Penyelenggaraan makan siang di SD Plus Nurul Aulia dilaksanakan
4
oleh pihak kedua (outsourcing). Pihak sekolah hanya memfasilitasi tempat yaitu terdapat 2 kantin, kantin “Annisa” dan kantin “Outbond” dengan biaya makan siang Rp 6500 per porsi. Kantin “Outbond” menjadi tempat dilaksanakannya penelitian karena digunakan untuk siswa kelas 4 dan 5 yang sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Penelitian mengenai hubungan biaya terhadap asupan energi dan protein belum pernah diteliti di sekolah yang pernah juara 1 “Kantin Sehat” tingkat nasional pada tahun 2008. Dalam rangka pengembangan penyelenggaraan makan siang yang sedang dilakukan oleh pihak sekolah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada makan siang di SD Plus Nurul Aulia.
1.2
Perumusan Masalah
1.2.1 Apakah ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi pada makan siang siswa – siswi di SD Plus Nurul Aulia? 1.2.2 Apakah ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein pada makan siang siswa – siswi di SD Plus Nurul Aulia?
5
1.3
Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui
hubungan
biaya
bahan
makanan
yang
dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada makan siang siswa – siswi di SD Plus Nurul Aulia. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui data karakteristik sampel (nama, umur, jenis kelamin, dan kelas). b. Mengetahui gambaran umum SD Plus Nurul Aulia (latar belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa). c. Memperoleh
gambaran
mengenai
sistem
penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia, meliputi siklus menu, pola menu, cara pemberian makan siang, jam distribusi makanan, standar porsi, dan harga hidangan. d. Mengetahui faktor yang mempengaruhi asupan makan siang yang dikonsumsi. e. Mengetahui
asupan
energi
makan
siang
yang
asupan
protein
makan
siang
yang
dikonsumsi. f. Mengetahui dikonsumsi. g. Mengetahui biaya bahan makanan yang dikonsumsi h. Menganalisis hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi pada makan siang.
6
i.
Menganalisis hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein pada makan siang.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian di bidang
gizi institusi yang hanya dibatasi makan siang pada siswa – siswi yang dijadikan sampel dan hal yang diteliti adalah biaya bahan makanan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu) yang dikonsumsi yang berhubungan terhadap asupan energi dan protein pada makan siang.
1.5
Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti bisa mendapatkan wawasan
yang
baru,
yang
bisa
bermanfaat
dalam
pengembangan diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Bagi Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi Penelitian ini bisa menjadi sumber informasi dalam ilmu pelayanan gizi di bidang institusi, sekaligus menambah literatur di perpustakaan Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi yang nantinya bisa digunakan oleh mahasiswa. Penelitian ini pun bisa memberikan gambaran umum tentang penyelenggaraan makan di institusi SD Plus Nurul Aulia. c. Bagi Institusi Sekolah Dasar
7
Penelitian
ini
bisa
dijadikan
sebagai
masukan
dalam
penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia dan bisa menjadi
bahan
evaluasi
untuk
meningkatkan
kualitas
penyelenggaraan makanan berikutnya.
1.6
Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti masih memiliki keterbatasan yaitu adanya
variabel
yang
mempengaruhi
makan
siang
yang
dikonsumsi siswa seperti kondisi kesehatan siswa tersebut. Keterangan tentang biaya bahan makanan tidak selengkap yang diharapkan karena kurangnya keterbukaan mengenai rincian biaya dalam penyelenggaraan makan siang.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyelenggaraan Makanan Institusi 2.1.1 Pengertian Penyelenggaraan Makanan Institusi Penyelenggaraan
makanan
institusi
adalah
penyelenggaraan dan pelaksanaan makanan dalam jumlah yang besar.
Dari
data
yang
ada,
dapat
disimpulkan
bahwa
penyelenggaraan makanan di atas 50 porsi dapat dinyatakan sebagai penyelenggaraan makanan institusi (Mukrie, 1990). Penyelenggaraan makanan institusi adalah berbagai jenis usaha yang melaksanakan suatu kegiatan berupa penyediaan makanan. Di sisi lain juga disebutkan bahwa penyelenggaraan makanan institusi merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu, pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan / pembelian bahan makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan, dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan pelaporan dan evaluasi yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di institusi (Depkes, 1991).
2.1.2 Karakteristik Penyelenggaraan Makanan Institusi
8
9
Setiap masyarakat terdiri dari berbagai golongan sehingga timbulah kebutuhan yang berbeda-beda pula. Kebutuhan yang berbeda ini menjadi awal mula munculnya berbagai macam pengelolaan makanan banyak menurut kebutuhan konsumen yang dilayani.
Perkembangan
dari
waktu
ke
waktu
membuat
penyelenggaraan makanan institusi yang kita jumpai menjadi bermacam-macam
jenisnya,
tetapi
sebenarnya
cara
pengelolaannya dikerjakan dengan prinsip yang tidak jauh berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari tujuan penyediaan makanan serta cara pengelolaan yang telah diatur sedemikian rupa oleh pemilik institusi. Macam dan jumlah zat gizinya pun disesuaikan dengan standar yang ada dan diperhitungkan sesuai kebutuhan konsumen dan syarat gizi yang berlaku (Mukrie, 1990). Penyediaan makanan institusi adalah penyediaan makanan bagi konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok masyarakat
yang
terorganisir
di
institusi
seperti
sekolah,
perkantoran, perusahaan, pabrik, industri, asrama, rumah sakit, panti sosial, lembaga pemasyarakatan, pusat transito dan pesantren (Soegeng, 2004). Institusi militer, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, sekolah, universitas, dan institusi lain yang tidak mengutamakan keuntungan merupakan jenis penyelenggaraan makanan institusi. Semua institusi memiliki beberapa hal kesamaan, seperti pelangan tetap, harga murah satu kali makan, beberapa aturan standar, dan peraturan pemerintah yang harus dipatuhi (Puckett,2004).
2.1.3 Tujuan Penyelenggaraan Makanan Institusi
10
Semakin berkembangnya waktu dan ilmu pengetahuan, penyelenggaraan makanan institusi dikelola oleh berbagai pihak yang sifatnya pun berbeda, bisa komersial, semi komersial, atau pun sosial. Namun dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa kesamaan tujuan yang diinginkan. Tujuan umumnya adalah tersedianya makanan yang bisa memuaskan konsumen, dengan manfaat yang setinggi-tingginya bagi institusi tersebut (Mukrie, 1990). Namun secara khusus setiap institusi harus menyediakan makanan yang berkualitas, yang meliputi: a. Makanan yang baik Makanan yang baik meliputi tepat nilai gizi, tepat cita rasa, tepat sanitasi, tepat jumlah, tepat harga dan tepat waktu, serta kepuasan konsumen (DEPKES RI, 2006). Makanan bisa dinilai baik jika dari proses pembelian bahan makanan baik, penyimpanan yang tepat, persiapan, pemasakan dan penyajian yang benar (Mukrie, 1990). Makanan yang memiliki mutu dan kualitas yang baik akan memberikan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi tubuh, sedangkan apabila makanan yang dikonsumsi tidak memiliki mutu dan kualitas yang baik untuk tubuh maka tubuh akan mengalami defisiensi zat gizi. Zat gizi terbagi dalam beberapa jenis diantaranya : 1. Karbohidrat sebagai sumber energi 2. Protein sebagai zat pembangun 3. Lemak sebagai memberikan rasa gurih pada makanan dan sebagain sumber energi terbesar
11
4. Vitamin dan mineral sebagai zat pengatur (Almatsier, 2001).
b. Pelayanan cepat dan menyenangkan Makanan bisa menjadi alat komunikasi dalam hubungan antar manusia. Untuk itulah diperlukan sikap yang baik dalam rangka memberikan servis yang baik pula. Servis yang ramah tamah dan
menyenangkan
akan
membuat
nyaman
konsumen
sehingga institusi bisa mendapatkan predikat yang baik. Pelayanan bisa berjalan dengan cepat jika disesuaikan dengan jumlah konsumennya. Jka jumlah konsumen tidak terlalu banyak bisa
dilakukan
dengan
pelayanan
langsung,
tetapi
jika
konsumen banyak maka perlu dilaksanakan cafetaria atau pelayanan sendiri yang lebih tepat, bisa dengan mesin atau pun manusia (Mukrie, 1990). c. Menu seimbang dan bervariasi Menu yang seimbang diperlukan untuk kesehatan. Namun diperlukan juga variasi menu yang baik agar meningkatkan daya terima konsumen. Variasi menu yang baik meliputi aspek komposisi, warna, rasa, rupa dan kombinasi masakan yang serasi (Mukrie, 1990). Variasi dan keseimbangan jumlah merupakan kunci utama, karena bila kekurangan satu saja zat gizi yang dipentingkan oleh tubuh dapat menyebabkan ketidakseimbangan kecerdasan (Graimes, 2005).
d. Harga layak
12
Harga makan per orang per hari yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan makanan. Harga dapat mempengaruhi kualitas, kuantitas hidangan, besar porsi, atau jumlah konsumen yang
dilayani
dalam
suatu
penyelenggaraan
makanan
(DEPKES RI, 2006) Cara pengelolaan yang berbeda bisa menimbulkan harga yang berbeda pula. Namun sebenarnya konsumen bisa menerima suatu harga jika apa yang dia dapatkan sesuai dengan nilai harga
tersebut. Standar makanan
yang disajikan
harus
sebanding dengan penampilan makanan, pelayanan dan fasilitas yang disediakan, dan yang paling utama sesuai dengan kebutuhan nilai gizi konsumen. Harga layak pun berguna untuk pengendalian biaya untuk mencegah pemborosan dari biaya yang
dikeluarkan.
Proses
ini
merupakan
proses
yang
berkelanjutan dan melibatkan beberapa aktivitas dimulai dari perencanaan menu, penjualan dan penjadwalan dari personnnel (Mukrie, 1990). e. Fasilitas yang cukup Ruangan dan peralatan yang disediakan harus memadai, sehingga pelayanan dapat berjalan lancar (Mukrie, 1990). f. Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi Makanan yang baik sudah pasti harus memiliki nilai gizi yang baik pula. Namun bukan hanya itu, keutuhan dan keamanan makanan
sangat
penting
juga
bagi
kesehatan
yang
mengonsumsinya. Prosedur pemasakan yang benar dan sanitasi yang layak amat diperlukan (Mukrie, 1990).
13
Makanan yang sehat, bersih, dan dapat dimakan memiliki syarat-syarat, yaitu : 1. Sesuai dengan susunan makanan yang diinginkan, benar pada tahap-tahap pembuatannya dan layak untuk dimakan. 2. Bebas dari pencemaran benda-benda hidup yang sangat kecil yang bisa menimbulkan penyakit. 3. Bebas dari unsur kimia yang merusak. 4. Bebas dari jasad renik dan parasit yang bisa menimbulkan penyakit bagi orang yang memakannya. (Laksono, 1986)
2.1.4 Klasifikasi Penyelenggaraan Makanan Institusi a. Pelayanan gizi institusi industri Biasa disebut dengan pelayanan gizi pekerja. Yang termasuk ke dalam golongan ini adlah pabrik, perusahaan, perkebunan, industri kecil di atas 100 karyawan, industri tekstil, perkantoran, bank, dsb. Di banyak negara maju telah ditetapkan
peraturan
dan
perundangan
menyangkut
penyediaan makanan atau pembentukan kantin karyawan serta persyaratannya. Gagasan dan upaya pembentukan kantin pada pabrik, perusahaan atau kantor-kantor telah banyak dirintis dan dikelola oleh berbagai sektor terkait, walaupun dalam jumlah dan ketetapan yang ada masih terbatas (Depkes, 1991).
14
b. Pelayanan gizi institusi sosial Pelayanan gizi ini dilakukan oleh pemerintah atau swasta yang berdasarkan azas sosial dan bantuan. Contoh dari pelayanan gizi ini adalah panti asuhan, panti jompo, panti tunanetra, tuna rungu, dsb (Mukrie, 1990). c. Pelayanan gizi institusi asrama Pelayanan gizi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi golongan masyarakat tertentu yang tinggal di asrama. Contohnya adalah asrama pelajar, militer, mahasiswa, dsb (Mukrie, 1990). d. Pelayanan gizi institusi sekolah Pelayanan gizi yang diselenggarakan di sekolah yang bertujuan untuk memberikan makanan bagi anak sekolah, baik swasta atau pun negri (Mukrie, 1990). Penyelenggaraan makan untuk anak di sekolah termasuk dalam penyelenggaraan makan institusi. Ada yang bersifat nonkomersil (orang tua membiayai atau subsidi dan sekolah sedikit pun tidak mencari keuntungan), semi komersil (keuntungan hanya sedikit untuk menutupi kebutuhan tertentu) dan dapat juga bersifat sosial, yaitu tanpa pungutan biaya kepada orang tua anak (Mukrie, 1990). Fungsi penyelenggaraan makan di sekolah, diantaranya: a. Menambah konsumsi zat gizi anak dalam menu makan sehari- hari b. Mendidik sopan santun dalam acara makan bersama, memupuk hidup kebersamaan
15
c. Melatih anak makan berbagai jenis bahan makanan serta hidangan yang bergizi, dll (Muhilal, 2006). Syarat makanan anak meliputi: a. Mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan anak. b. Higienis dan tidak membahayakan anak. c. Mudah dan praktis. d. Dibuat sama jenis hidangan dan porsi yang standar sehingga cukup mengenyangkan anak. e. Efisiensi dan mudah dalam pengelolaan program makan, persiapan, pengolahan, dan penyajian. f. Memenuhi syarat-syarat makan anak usia tertentu (Muhilal, 2006). e. Pelayanan gizi institusi kesehatan Pelayanan gizi untuk memenuhi kebutuhan gizi orang sakit atau sehat selama mendapat perawatan. Contohnya adalah rumah sakit tipe A, B, C, D, E, khusus, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, balai pengobatan atau pun puskesmas perawatan (Mukrie, 1990). f. Pelayanan gizi institusi komersial Penyelenggaraan pelayanan gizi bagi masyarakat yang makan di luar rumah dengan mempertimbangkan pelyanan dan kebutuhan konsumen. Salah satu contohnya adalah hotel, yang mengutamakan kepuasan walau dengan harga yang mahal. Konsumen tetap puas karena pelayanan yang diberikan melampaui harapan tamu, yang berarti tamu memperoleh sesuatu yang melebihi nilai yang diharapkannya melebihi dari harga yang mereka bayar (Sulastiyono, 1999).
16
g. Penyelenggaraan makanan nonkomersial Pada penyelenggaraan makanan nonkomersial, persiapan dan pelayanan makanan masih diutamakan tetapi bukan prioritas utama. Restoran hotel dan motel serta restoran club country termasuk penyelenggaraan makanan jenis ini. Beberapa dari penyelenggaraan makanan nonkomersial seringkali tergantung dengan ekonomi. Ketika keadaan ekonomi bagus maka akan banyak pelanggan yang menggunakan
uangnya
untuk
makan
di
restoran
(Sulastiyono, 1999). h. Pelayanan gizi institusi khusus Bentuk pelayanan ini tertuju untuk kelompok khusus. Contohnya adalah pelayanan gizi di pusat latihan olahraga, asrama haji, penampungan transmigrasi, kursus-kursus dan nara pidana (Mukrie, 1990). i. Pelayanan gizi untuk keadaan darurat Dilakukan di saat keadaan darurat, seperti bencana alam. Makanan matang dipersiapkan untuk jangka waktu yang singkat dengan bahan makanan seadanya (Mukrie, 1990).
2.2
Karakteristik Anak Sekolah Dasar Usia anak-anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
yang baik secara fsik atau pun mental. Masukan makanan yang baik akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan yang baik pula. Usia anak-anak yang khususnya pada usia sekolah dasar sangat rawan terhadap kekurangan zat-zat gizi terutama dari konsumsi makan yang
17
kurang baik. Makanan yang mereka konsumsi harus mengandung cukup gizi dan zat-zat yang penting lainnya (Pergizi Pangan Indonesia, 1996). Hampir semua anak usia sekolah dasar suka jajan, sebanyak 91,1% menurut hasil penelitian Susanto di Jogjakarta. Sebagai salah satu alternatif makanan bagi anak sekolah, nilai gizi dan keamanan makanan jajanan masih perlu mendapat perhatian. Hasil penelitian YLKI (Warta Konsumen 2000) menyimpulkan bahwa persentase makanan jajanan anak SD yang dicampur dengan berbagai zat yang berbahaya masih sangat tinggi seperti es sirop warna warni, kue pukis, siomay, gorengan, odading, usus tusuk goreng, chiki, wafer, mi remes, dan permen (Muhilal, 2006). Pada usia anak sekolah dasar sangat membutuhkan terpenuhinya zat-zat gizi untuk membantu mereka dalam berkonsentrasi dan menyerap serta memahami pelajaran yang diberikan. Status gizi yang baik akan mempengaruhi prestasi belajar mereka juga. (Pergizi Pangan Indonesia, 1996) Makanan dengan kandungan gizi seimbang akan membentuk kebiasaan makan yang baik dan berpartisipasi dalam aktivitas olahraga secara teratur guna mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal, berat badan normal, menikmati makanan, dan menurunkan risiko menderita penyakit kronis (Muhilal, 2006). Melihat kebutuhan tubuh yang cukup besar pada masa ini maka kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi anak akan sangat penting. Namun anak-anak sangat mudah sekali terpengaruh oleh iklan produk makanan. Oleh karena itu sudah seharusnya bimbingan diberikan kepada mereka tentang makanan yang berkualitas. (Pergizi Pangan Indonesia, 1996)
18
2.3
Biaya dalam Penyelenggaraan Makan Biaya merupakan pengorbanan yang diukur dalam satuan uang
untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh / memproduksi barang / jasa tertentu. Biaya yang dikeluarkan oleh konsumen harus sesuai dengan kualitas makanannya, baik gizinya atau pun penampilan dan sanitasinya. Untuk itulah diperlukan rancangan anggaran yang tepat sesuai dengan kecukupan gizi konsumen. Jika harga yang ditawarkan sesuai, maka konsumen pun akan mendapatkan kepuasan dari peyanan yang diberikan (Depkes, 1991). Biaya penyelenggaraan makan terdiri dari berbagai biaya belanja. Biaya belanja dalam penyelenggaraan makanan yang diperhitungkan adalah untuk bahan makanan, peralatan, tenaga, dan pengeluaran lain yang disebut biaya overhead seperti bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih, dsb (Mukrie, 1990).
2.3.1 Biaya untuk bahan makanan Harga bahan makanan selalu tidak tetap dari waktu ke waktu, sehingga perlu penyusunan harga yang baru pula untuk penyelenggaraan di waktu berikutnya. Untuk memperhitungkan biaya pembelian bahan makanan, diperlukan standar bahan makanan perkapita, pengelompokkan bahan makanan (daging, ikan, telur, sayur-sayuran, buah – buahan, beras dan bahan makanan kering lain) serta penetapan kenaikan index harga bahan makanan (Depkes, 1991). Berikut Tahap penyusunan biaya makan : a. Penyusunan menu menurut siklus menu
19
b. Penyusunan pedoman menu ( Rincian Pemakaian Bahan makanan segar, kering dan bumbu) c. Penyusunan standar menu d. Mengalikan standar makanan dengan harga satuan bahan makanan e. Rekapitulasi harga (perporsi, perwaktu makanan, perhari) dalam satuan siklus menu Hasil dari rekapitulasi merupakan biaya bahan makanan rata-rata perhari menurut macam dan kelas perawatan (Munawar, 2007)
2.3.2 Biaya untuk peralatan Perhitungan biaya untuk peralatan meliputi biaya untuk peralatan besar dan kecil, biaya pemeliharaan dan penggantian alat, serta biaya untuk bahan pembersih alat. Penggantian alat bisa dilakukan jika alat tersebut sudah tua atau kurang efektif dipakai yang bisa mengganggu proses produksi. Bisa juga direncanakan alat baru yang dianggap sangat dibutuhkan karena terjadi perubahan cara kerja (Depkes, 1991).
2.3.3 Biaya untuk tenaga Biaya untuk pekerja yang diperhitungkan adalah jumlah tenaga, kenaikan gaji, hari libur, cuti sakit dan lembur, serta kemungkinan penambahan pegawai baru (Depkes, 1991).
20
2.3.4 Biaya lain-lain Biaya lain-lain disebut juga biaya overhead. Biaya overhead meliputi biaya untuk bahan bakar, air, listrik, alat tulis kantor, dsb. Biasanya biaya ini sudah termasuk dalam biaya institusi pemilik penyelenggaraan makanan (Depkes, 1991).
2.4
Evaluasi Biaya Evaluasi merupakan salah satu implementasi fungsi manajemen,
bertujuan untuk menilai pelaksanaan kegiatan apakah sudah sesuai dengan perencanaan.
Pada
kegiatan
evaluasi, tekanan penilaian
dilakukan terhadap resources, proses, luaran, dampak untuk menilai relevansi, kecukupan, kesesuaian dan kegunaan. Jadi dalam hal ini diutamakan luaran atau hasil yang dicapai. Untuk melancarkan penilaian ini maka sebagai alat ukur adalah membandingkan kenyataan yang terjadi dengan rencana (Mukrie, 1990). Pada dasarnya evaluasi biaya makan dilakukan pada setiap unit kegiatan
pengelolaan
makanan
banyak
yang
dimulai
pada
saat
perencanaan menu, perencanaan taksiran kebutuhan bahan makanan, pembelian bahan makanan, penerimaan, penyimpanan, pemasakan, pendistribusian, kemudian diperhitungkan pula biaya tenaga dan biaya lain-lain (overhead). Data untuk evaluasi harga makanan didasarkan atas pencatatan yang periodik dan teratur terhadap pemakaian, pemasukan dan harga bahan makanan. Dengan perhitungan yang cermat dapat diperbandingkan biaya yang dipakai dan biaya yang direncanakan (Mukrie, 1990). Persentasi dari harga penjualan ditetapkan atas dasar perhitungan pengeluaran untuk bahan mentah, tenaga dan pengeluaran lain. Di
21
samping itu diperhitungkan pula sisa makanan yang tidak/belum terjual yang dapat dinyatakan sebagai keuntungan kasar dalam bentuk bahan makanan (Mukrie, 1990). Bagi institusi komersial biaya bahan makanan dapat merupakan 40-60 % dari harga jual. Tetapi bagi institusi sosial/semi sosial, persentasi biaya bahan makanan 100% artinya tidak diperhitungkan keuntungan dari penyediaan makanan. Pada institusi bersubsidi, persentasi biaya bahan makanan sekitar 45% dari harga jual (Mukrie, 1990). Salah satu restoran di USA menyatakan perbandingan antara unsur biaya adalah: - harga bahan makanan
45%
- biaya tenaga
40%
- biaya lain-lain
15%
Hal-hal yang harus dikumpulkan yang dapat mempengaruhi harga, antara
lain,
kesalahan
pemesanan,
kerusakan
bahan
makanan,
kehilangan selama persiapan dan pemasakan, standar porsi yang salah, kelebihan jumlah makanan, sisa makanan yang berlebih, dan makanan untuk pegawai (Mukrie, 1990).
2.5
Kecukupan Zat Gizi 2.5.1 Energi Manusia membutuhkan energi untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
Selain
itu
energi
pun
dibutuhkan
untuk
mempertahankan hidup dan menunjang pertumbuhannya. Energi
22
diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam makanan (Almatsier, 2004). Energi yang diperlukan oleh tubuh dinyatakan dalam kilokalori yang sering ditulis dengan bentuk K kapital yaitu Kalori. Satu kalori setara dengan panas yang dibutuhkan untuk menaikkan panas 1 gram air dari 14,5o C menjadi 15,5o C. Cara untuk mendapatkan angka kebutuhan energi untuk masing-masing kegiatan fisik ialah dengan mengukur pemakaian oksigen selama melakukan kegiatan. Satu liter oksigen setara dengan 4,95 Kalori. Ada pun cara lain untuk mengukur kebutuhan energi adalah dengan mengukur denyut jantung saat melakukan aktivitas (Muhilal, 1996). Kebutuhan energi seseorang dalam sehari bisa dihitung dari kebutuhan energi yang terdiri dari komponen-komponen berikut: 1. Angka Metabolisme Basal/AMB (kebutuhan sedang istirahat) 2. Aktivitas fisik 3. Pengaruh Dinamik Khusus Makanan/SDA (dapat diabaikan) Untuk menghitung kebutuhan energi suatu penduduk, aktivitas fisik dikelompokkan menurut berat ringannya aktivitas, yaitu ringan, sedang dan berat. Untuk setiap kelompok aktivitas fisik kemudian ditetapkan suatu faktor aktivitas (Almatsier, 2004).
23
TABEL 2.1 ANGKA KECUKUPAN ENERGI UNTUK TIGA TINGKAT AKTIVITAS FISIK UNTUK LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN Kelompok Aktivitas Ringan Laki – laki Perempuan Sedang Laki – laki Perempuan Berat Laki – laki Perempuan
Jenis Kegiatan 75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 25% waktu untuk berdiri atau bergerak. 25% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 75% waktu untuk aktivitas pekerjaan tetentu. 40% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 60% waktu untuk aktivitas pekerjaan tetentu.
Faktor aktivitas 1,56 1,55
1,76 1,70
2,10 2,00
(Almatsier, 2004)
Untuk perhitungan yang ditujukan secara luas ada yang disebut Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (KGA) atau yang kini disebut Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kecukupan gizi yang dianjurkan agak berbeda dengan kebutuhan gizi per individu yang biasanya. Angka kecukupan gizi lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu secara keseluruhan. Kecukupan yang dianjurkan selalu dianjurkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin. Patokan berat badan ini didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang digolongkan sehat (Muhilal, 1996). Untuk memenuhi kebutuhan energi pada orang sehat dalam jumlah yang banyak, maka jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh haruslah mengacu pada tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah ditetapkan (Almatsier, 2005).
24
Kurangnya asupan energi dan zat gizi pada anak usia sekolah dapat menyebabkan anak mudah lelah, tidak tahan melakukan aktivitas fisik yang lama, tidak mampu berfikir dan berpartisipasi penuh dalam proses belajar. Selain itu anak yang asupan energi dan zat gizinya kurang mempunyai resiko lebih besar menderita berbagai penyakit dan sering absen dari sekolah (Muhilal,1996). Berikut ini adalah daftar angka kecukupan energi pada usia sekolah dasar : TABEL 2.2 ANGKA KECUKUPAN ENERGI BERDASARKAN GOLONGAN UMUR Golongan umur 7-9 thn
Berat badan (Kg) 25
Tinggi badan (cm) 120
Energi (kkal) 1800
Pria 10-12 thn
35
138
2050
Wanita 10-12
37
145
2050
(AKG, 2005)
2.5.2 Protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, setengah ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang
25
membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan. Protein mempunyai fungsi khas yang tak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. (Almatsier, 2004) Keseimbangan nitrogen adalah salah satu dasar dalam penentuan kecukupan protein, yang mana dapat dilihat dari perbandingan antara nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang dikeluarkan melalui feces, urin, keringat, dan metabolisme lain. Keseimbangan nitrogen seimbang jika asupan nitrogen sama dengan pengeluaran, keseimbangan nitrogen negatif jika asupan nitrogen lebih sedikit daripada pengeluaran (Muhilal, 1996). Protein terdiri dari 20 asam amino, 8 di antaranya adalah asam amino essensial. Komposisi asam amino protein hidangan mempunyai skor asam amino yang dapat dihitung dengan cara membandingkan
komposisi
asam
amino
hidangan
dengan
komposisi asam amino protein standar yang dianggap memiliki mutu paling tinggi (Muhilal, 1996). Skor asam amino protein hewani umumnya sangat tinggi, sehingga lebih baik dibanding protein nabati, dan umumnya bermanfaat untuk: o Memudahkan penyusunan komposisi hidangan dengan mutu protein yang tinggi, terutama pada balita dan anak sekolah yang dalam usia tumbuh kembang o Menolong absorpsi zat gizi lain misalnya zat besi, sehingga bisa mengurangi kejadian anemia o Mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral karena protein hewani merupakan sumber vitamin dan mineral yang mudah diserap tubuh (Muhilal, 1996).
26
Untuk memenuhi kebutuhan protein pada orang sehat dalam jumlah yang banyak, maka jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh haruslah mengacu pada tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah ditetapkan (Almatsier, 2005). Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Kekurangan protein murni pada stadium berat disebut kwasiorkor pada anak. Gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan Energy-Protein Malnutrition atau Kurang Energi Protein/KEP. Sedangkan kelebihan protein juga tidak akan menguntungkan bagi tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas.
Kelebihan
protein
akan
menimbulkan
asidosis,
dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum darah, dan demam. Batas yang dianjurkan untuk konsumsi protein adalah dua kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk protein (Almatsier,2004). Berikut ini adalah daftar angka kecukupan protein pada usia sekolah dasar : TABEL 2.3 ANGKA KECUKUPAN PROTEIN BERDASARKAN GOLONGAN UMUR Golongan umur 7-9 thn Pria 10-12 thn Wanita 10-12 (AKG, 2005)
Berat badan (Kg) 25 35
Tinggi badan (cm) 120 138
Protein (gram) 45 50
37
145
50
27
2.6
Survei Konsumsi Salah satu pengukuran status gizi secara tidak langsung adalah dengan melakukan survei konsumsi baik pada perorangan maupun pada kelompok. Tujuan dari survei konsumsi adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu, rumah tangga maupun kelompok serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2002). Beberapa metode survei konsumsi berdasarkan sasaran pengamatan atau pengguna : 1. Tingkat Nasional -Food Balance Sheet
2. Tingkat Rumah Tangga a.Metode pencatatan (food account) b.Metode pendaftaran makanan (food list) c.Metode inventaris (inventory method) d.Pencatatan makanan rumah tangga (household food record)
3. Tingkat Individu a.Metode recall 24 jam b.Metode estimated food record c.Metode frekuensi makanan (food frequency) d.Metode dietary history e.Metode penimbangan (food weighing) Untuk melihat berat makanan yang dikonsumsi dapat digunakan metode penimbangan.
Pada penelitian
ini akan
digunakan metode food weighing/penimbangan. Prinsipnya adalah
28
mengukur secara langsung berat setiap jenis makanan yang dikonsumsi yaitu berat makanan sebelum dimakan dan berat makanan sisa setelah makan (Supariasa, 2002). Langkah-langkah : a. Petugas menimbang dan mencatat berat makanan awal yang disajikan dan berat makanan sisa. b. Berat
makanan
yang
dikonsumsi
didapat
dari
pengurangan berat awal dengan berat sisa, lalu dianalisis dengan program Nutrisurvey. c. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan AKG.
Kelebihan : Data yang diperoleh lebih akurat dan teliti. Kekurangan : a. Memerlukan waktu lebih lama dan cukup mahal karena perlu peralatan. b. Bila dilakukan dalam kurun waktu yang lama, responden dapat merubah kebiasaan. c. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil. d. Memerlukan kerja sama yang baik dengan responden. (Supariasa, 2002).
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
29
3.1
Kerangka Konsep Biaya bahan makanan yang dikonsumsi berhubungan dengan
asupan energi dan protein. Biaya makanan meliputi biaya bahan makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu. Kandungan energi dan protein dari makan siang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan asupan energi dan protein.
Asupan Energi Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
Asupan Protein
GAMBAR 3.1 KERANGKA KONSEP HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA MAKAN SIANG SISWA SEKOLAH SD PLUS NURUL AULIA
Keterangan: Variabel dependen: - Asupan Energi -Asupan Protein Variabel independen: Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
29
30
3.2
Definisi Operasional 1. Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi Rata-rata besar rupiah yang dikeluarkan untuk bahan makanan dari makan siang yang dikonsumsi selama 2 hari tidak berturut – turut meliputi hidangan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu) dan dibandingkan dengan biaya standar bahan makanan. Cara Pengukuran
: Perhitungan Biaya Bahan Makanan
Satuan
: Rupiah
Hasil Ukur
: - Baik
:
jika
biaya
bahan
makanan yang dikonsumsi ≥ mean. -
Kurang :
jika
biaya
bahan
makanan yang dikonsumsi < mean. Skala Ukur
: Ordinal
2. Asupan Energi Rata-rata konsumsi energi pada makan siang siswa-siswi SD Plus Nurul Aulia selama 2 hari tidak berturut-turut dan hasilnya
dikonversikan
dengan
menggunakan
nutrisurvey
dengan satuan energi (kkal). Cara Pengukuran
: Metode Penimbangan
Alat Ukur
: Timbangan Digital
Hasil Pengukuran
: - Baik
: Jika energi dari
makanan yang dikonsumsi ≥ mean. - Kurang : Jika energi dari makanan yang dikonsumsi < mean.
31
Satuan
: Persen (%)
Skala Ukur
: Ordinal
3. Asupan Protein Rata-rata konsumsi protein pada makan siang siswa-siswi SD Plus Nurul Aulia selama 2 hari tidak berturut-turut dan hasilnya
dikonversikan
dengan
menggunakan
nutrisurvey
dengan satuan protein (gram). Cara Pengukuran
: Metode Penimbangan
Alat Ukur
: Timbangan Digital
Hasil Pengukuran
: - Baik
: Jika protein dari
makanan yang dikonsumsi ≥ mean. - Kurang : Jika protein dari makanan yang dikonsumsi < mean.
3.3
Satuan
: Persen (%)
Skala Ukur
: Ordinal
Hipotesis a. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi pada makan siang siswa - siswi SD Plus Nurul Aulia
32
b Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein pada makan siang siswa - siswi SD Plus Nurul Aulia.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Disain Penelitian Desain yang akan digunakan adalah Cross-sectional karena
variabel independen dan dependen diteliti dalam satu periode waktu yang bersamaan.
4.2
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan bulan
April 2011. Penelitian bertempat di SD Plus Nurul Aulia yang beralamat di jalan Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi Utara.
4.3
Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SD Plus Nurul
Aulia. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling yang terdiri dari siswa kelas 4 dan kelas 5 yang mendapatkan makan siang dan bersedia menjadi sampel. Jumlah siswa kelas 4 dan 5 yang mendapatkan makan siang adalah 62 orang, terdiri dari :
33
33
kelas 4 = 31 orang siswa kelas 5 = 31 orang siswa Besar sampel yang diambil menggunakan rumus besar sampel yaitu: n
N
1 N d
2
Keterangan: N = 62 besar populasi n = 39 besar sampel d = tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan 90% (α = 0,1) (Notoatmojo, 2002). Dari seluruh siswa kelas 4 dan 5 yang berjumlah 62 orang, dengan menggunakan rumus diatas maka diperoleh sampel sebanyak 39 orang, yang terdiri dari : Kelas 4 = 20 orang siswa Kelas 5 = 19 orang siswa Penetapan sampel dilakukan dengan cara Systematic Random Sampling.
4.4
Jenis dan Cara pengumpulan Data 4.4.1 Jenis Data
34
Jenis
data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi
data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data karakteristik sampel yang meliputi nama, umur, jenis kelamin dan kelas.
Gambaran mengenai sistem penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia, meliputi siklus menu, pola menu, cara pemberian makan siang, jam distribusi makanan, standar porsi, dan harga hidangan.
Daftar harga bahan makanan yang digunakan untuk menu makan siang.
Jumlah makanan yang disajikan kepada sampel dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh sampel.
Asupan energi dari makan siang yang dikonsumsi oleh sampel.
Asupan protein dari makan siang yang dikonsumsi oleh sampel.
Biaya bahan makanan yang dikonsumsi.
b. Data Sekunder Data mengenai gambaran umum SD Plus Nurul Aulia yang meliputi latar belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa.
4.4.2 Cara Pengumpulan Data a. Data Primer
35
Data karakteristik sampel yang meliputi nama, umur, jenis kelamin dan kelas diperoleh melalui metode wawancara dengan menggunakan kuesioner.
Gambaran mengenai sistem penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia, meliputi siklus menu, pola menu, cara pemberian makan siang, jam distribusi makanan, standar porsi, dan harga hidangan diperoleh melalui metode wawancara dengan menggunakan kuesioner.
Data makan siang diperoleh dari rata-rata makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut karena dapat menggambarkan secara keseluruhan, bukan menu pilihan saja. Data makan siang yang dikonsumsi diperoleh dari hasil penimbangan berat awal dikurangi berat sisa hidangan dengan menggunakan timbangan digital elektrik dengan ketelitian 0.1 gram dan kapasitas 5000 gram, maka diperoleh makanan yang dikonsumsi. Persentase Makanan Yang Dikonsumsi Diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut ;
Asupan energi dari hasil penimbangan makan siang yang dikonsumsi
diperoleh
mengkonversikan
dari
hasil
perhitungan
dengan
makanan
yang
dikonsumsi
dengan
menggunakan nutrisurvey dengan satuan Energi (kkal).
Asupan protein dari hasil penimbangan makan siang yang dikonsumsi
diperoleh
mengkonversikan
dari
hasil
perhitungan
dengan
makanan
yang
dikonsumsi
dengan
menggunakan nutrisurvey dengan satuan Protein (gram).
36
Biaya
bahan
penimbangan
makanan
yang
berat awal
dikonsumsi
dikurangi
berat
diperoleh sisa
dari
hidangan.
Penimbangan dikelompokkan menurut tiap jenis bahan makanan dan dikonversikan ke dalam biaya makanan. Biaya tiap jenis bahan makanan yang dikonsumsi dijumlahkan dan dibandingkan dengan biaya standar bahan makanan. b. Data Sekunder
Data mengenai gambaran umum SD Plus Nurul Aulia yang meliputi latar belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa didapat dari profil sekolah ke bagian tata usaha sekolah.
4.5 Pengolahan dan Analisa Data 4.5.1 Pengolahan data Pengolahan data ini menggunakan program SPSS versi 13.0 for Windows. a. Data umum sampel :
Jenis kelamin dikelompokkan menjadi laki - laki dan perempuan.
Kelas dikelompokkan menjadi kelas 4 dan kelas 5.
b. Data
biaya
bahan
makanan
yang
dikonsumsi,
dikelompokkan menjadi :
Baik
:Jika biaya bahan makanan yang dikonsumsi ≥
mean.
Kurang :Jika biaya bahan makanan yang dikonsumsi < mean.
c. Data asupan energi dikelompokkan menjadi :
37
Baik : Jika energi dari makanan yang dikonsumsi ≥ mean.
Kurang: jika energi dari makanan yang dikonsumsi < mean.
d. Data asupan protein dikelompokkan menjadi :
Baik : Jika protein dari makanan yang dikonsumsi ≥ mean.
Kurang: jika protein dari makanan yang dikonsumsi < mean.
4.5.2 Analisa Data Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan
komputer dengan program SPSS 13.0 For Windows dan sebelum dianalisis dilakukan tabulasi lalu dianalisis secara deskriptif. Analisis meliputi : a. Analisa Univariat 1. Gambaran karakteristik sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin 2. Biaya bahan makanan yang dikonsumsi 3. Asupan energi dan protein b. Analisa Bivariat Untuk
menguji hubungan antara biaya makanan yang
dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada makan siang siswa, digunakan analisa bivariat dengan uji statistik chi-square (X2) dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
38
Rumus Chi-square B
K
X 2
Oij Eij 2
i j j 1
Eij
Keterangan: X2 = Nilai Chi-square B = Baris K = Kolom Oij = frekuensi teramati pada sel baris ke-I dan kolom ke-j Eij = frekuensi harapan pada sel baris ke-I dan kolom ke-j Dengan kriteria uji Db = (B-1) (K-1)
α = 0,05
Jika p value ≤ α maka Ho ditolak = bermakna Jika p value > α maka Ho diterima = tidak bermakna
(Notoatmojo, 2002). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia (SDPNA) Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia yang beralamat di jalan Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi Utara ini, berdiri pada tahun 2003 di bawah naungan Yayasan Nurul Aulia. SD Plus Nurul Aulia didirikan atas dasar keinginan untuk membuat sebuah sekolah Islami yang
39
berkualitas tinggi. Pendiri yayasan adalah Bapak H. Aga Sumarga, sedangkan ketua yayasan dipimpin oleh Ibu Hj. Noermaliah A. Sumarga. Generasi yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia serta menjunjung tinggi nama baik Islam merupakan cita-cita pendiri dan ketua yayasan ini. SD Plus Nurul Aulia berupaya mengutamakan Program Peduli Lingkungan pada semua siswa-siswi serta semua civitas sekolah. Program kebersihan dimulai dari membuang sampah pada tempat sampah yang unik agar siswa-siswi nya lebih termotivasi dalam menjaga kebersihan, hingga ruangan kelas yang selalu dibersihkan oleh siswa yang bertugas piket. Kegiatan belajar dimulai setiap pukul 07.00 selama 5 hari dari Senin hingga Jumat. Untuk kelas 1 dan 2 pulang pukul 14.00 WIB dengan istirahat 1 x mulai pukul 10.25 selama 30 menit sedangkan kelas 3 sampai dengan kelas 6 pulang pukul 14.30 WIB dengan 2 x istirahat, yaitu istirahat pagi pukul 09.45 dan istirahat makan siang pukul 11.30 WIB – 12.30 WIB. Jumlah siswa Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia kelas 4 dan 5 berjumlah 117 orang, sedangkan siswa yang mengikuti makan siang di kantin berjumlah 62 orang. Jumlah tenaga pengajar dan staff tata usaha berjumlah 33 orang dengan jenjang pendidikan SMA sebanyak 1 orang dan S1 sebanyak 32 orang. Fasilitas yang ada di Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia terbilang sangat lengkap, diantaranya kantor, perpustakaan, ruang belajar, lapangan olahraga, lapangan outbond, kantin, laboratorium, toilet, mushola, ruang ekstrakurikuler.
40
40
5.2 Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia. Penyelenggaraan makan siang di SD Plus Nurul Aulia dilaksanakan oleh pihak kedua (outsourcing), pihak sekolah hanya memfasilitasi tempat yaitu kantin. SD Plus Nurul Aulia memiliki dua kantin. Kantin pertama biasa disebut Kantin “Annisa” melayani makan siang untuk kelas 1,2,3,dan 6 yang sifatnya wajib. Kantin kedua disebut Kantin “Outbond” bersifat tidak wajib dan hanya melayani makan siang bagi siswa kelas 4 dan 5 yang ikut makan saja. Letak kantin “Outbond” berdekatan dengan lapangan outbond di belakang sekolah. Kantin “Outbond” yang berdiri sejak tahun 2007 memiliki ketenagaan sebanyak 5 orang terdiri dari 1 orang kepala katering dan 4 orang pegawai yang bertugas belanja bahan makanan, mengolah makanan, distribusi hidangan hingga sanitasi alat dan ruangan. Dalam penyelenggaraannya tidak terdapat seorang ahli gizi, begitu juga dengan kepala katering dan pegawainya tidak mempunyai latar belakang pendidikan di bidang gizi. Kelengkapan dapur dan alat hidang sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari alat hidangnya yaitu berupa plato. Kebersihan dapur pun sangat baik dan sudah tertata rapih setiap alat yang akan digunakan. Biaya makan siang yaitu sebesar Rp 6.500,00/hari. Siswa kelas 4 dan 5 yang terdaftar ikut makan sejumlah 62 orang, tetapi pihak kantin selalu menyediakan 65 porsi/hari karena ada beberapa siswa yang ikut makan mendadak dan bayarnya pun mendadak di kantin. Secara formal pembayaran biaya makan siang dilakukan sebulan sekali. Waktu penyelenggaraan makan siang di Kantin “Outbond” dimulai pukul 11.30 – 12.30 WIB.
41
Siklus menu yang digunakan adalah siklus menu 10 hari dan masih mengikuti siklus menu dari Kantin “Annisa” yang pemiliknya merupakan adik kandung dari pemilik kantin “Outbond”. Pola menu di kantin “Outbond” sering berubah-ubah, dan tidak pernah terdapat pola menu yang lengkap karena menu terkadang disesuaikan dengan permintaan siswa agar tidak bosan. Pola menu yang baik dan lengkap terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah. Pada kenyataannya, pola menu di Kantin “Outbond” hanya terdiri dari makanan pokok, lauk hewani dan sayur, sedangkan lauk nabati dan buah jarang sekali dihidangkan. Hal ini terlihat dari menu yang terpilih pada saat penelitian yaitu menu pada tanggal 5 April 2011 (nasi, telur balado, soto Bandung) dan menu 7 April 2011 (nasi, ayam goreng, tempe goreng, sayur asem). Kantin “Outbond” tidak memiliki standar makanan dan standar bumbu yang tertulis, hanya sesuai pengalaman saja dan terkadang porsi tiap hidangan terlampau jauh berbeda. Menu pada tanggal 7 April 2011 sudah sesuai dengan menu yang tertulis. Sedangkan menu pada tanggal 5 April 2011 sedikit berbeda dengan menu, yaitu pada hidangan lauk hewani, yang tertulis di menu adalah Telur Balado tetapi yang disajikan adalah Telur Ceplok Balado. Perbedaan bentuk telur yang disajikan bertujuan agar menu lebih bervariasi sehingga siswa tidak bosan dan diharapkan menambah nafsu makan. Pembelian bahan makanan segar dilakukan setiap hari dengan cara langsung karena tidak mengalami proses penyimpanan tetapi langsung dilakukan proses persiapan dan pengolahan. Pembelian bahan makanan kering dan bumbu biasanya dilakukan di awal bulan dan terkadang dalam waktu-waktu tertentu.
42
Persiapan dan pengolahan bahan makanan dilakukan oleh orang yang sama, dimulai dari pukul 04.00 di rumah kepala katering yang tidak jauh dari sekolah. Proses pengolahan lauk hewani, nabati dan sayur dilakukan lebih siang sekitar pukul 09.00 dengan tujuan hidangan masih dalam keadaan hangat saat didistribusikan karena tidak tersedia alat penghangat hidangan. Proses pendistribusian dilakukan sekitar pukul 11.00. Sistem distribusi
dilakukan
secara
desentralisasi,
yaitu
hidangan
didistribusikan ke kantin di bagian pantry untuk dilakukan pemorsian hidangan ke dalam plato. Plato yang telah berisi makanan kemudian dijajarkan dengan rapih di atas meja makan dan ditutupi dengan palstik bening yang besar agar terhindar dari kontaminasi bakteri dan debu. Berdasarkan wawancara, kepala katering sering observasi langsung saat penyelenggaraan makan dilakukan dengan tujuan menjalin komunikasi dengan siswa sekaligus melakukan evaluasi secara lisan terhadap hidangan yang disajikan. Beberapa siswa terkadang memberikan ide mengenai menu yang akan dihidangkan. Untuk evaluasi mengenai biaya makan siang, pihak kantin sering mengadakan pertemuan dengan para orang tua siswa sekaligus mengevaluasi kualitas hidangan serta pelayanan yang diberikan. 5.3 Karakteristik Sampel Pada penelitian ini sampel adalah siswa kelas 4 dan 5 SDPNA yang mendapat makan siang, sampel yang diambil sebanyak 39 siswa dari keseluruhan sebanyak 62 siswa. Dari hasil penelitian, diperoleh data karakteristik siswa yang dapat dilihat pada tabel 5.1.
43
TABEL 5.1 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN JENIS KELAMIN SISWA KELAS 4 DAN 5 SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
n 27 12 39
% 69,2 30,8 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 27 orang siswa (69,2%). Jumlah sampel laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sampel perempuan dikarenakan siswa di SD Plus Nurul Aulia didominasi oleh siswa laki-laki yang berjumlah 202 orang, sedangkan siswa perempuan hanya berjumlah 155 orang. TABEL 5.2 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KELOMPOK USIA SISWA KELAS 4 DAN 5 SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011 Usia < 10 Tahun ≥ 10 Tahun Total
n 9 30 39
% 23,1 76,9 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah sampel dengan kelompok usia ≥ 10 tahun sebanyak 30 orang (76,9%). Sedangkan jumlah sampel dengan kelompok usia < 10 tahun sebanyak 9 orang ( 23,1%). Pengelompokkan usia dilakukan untuk memudahkan dalam perhitungan kecukupan zat gizi berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2005.
44
TABEL 5.3 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KELAS SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011 Kelas Kelas 4 Kelas 5 Total
n 20 19 39
% 51,3 48,7 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah sampel dari siswa kelas 4 sebanyak 20 orang (51,3%). Sedangkan jumlah sampel dari kelas 5 sebanyak 19 orang (48,7%). Jumlah sampel yang hampir sama dari masing-masing kelas disebabkan karena jumlah siswa dari kelas 4 dan 5 yang mengikuti makan di kantin sebanyak 62 orang yang terdiri dari kelas 4 sebanyak 31 orang dan kelas 5 sebanyak 31 orang.
5.4 Asupan Energi dari Makan Siang Asupan energi yang dikonsumsi dari makan siang yang diselenggarakan di SDPNA dikumpulkan selama 2 hari tidak berturutturut. Distribusi frekuensi asupan energi dapat diihat pada tabel 5.4.
TABEL 5.4 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN ASUPAN ENERGI SISWA KELAS 4 DAN 5 SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Kategori
Asupan Energi
45
Kurang Baik Total
n
%
18 21 39
46,2 53,8 100,0
Dari tabel diatas, dari 39 sampel dapat dilihat bahwa asupan energi baik sebanyak 21 sampel (53,8%) dan dikategorikan kurang sebanyak 18 sampel (46,2%). Asupan energi terendah yaitu sebesar 153,95 kkal (49,1% dari rata-rata ketersediaan energi 313,25 kkal). Sedangkan asupan energi tertinggi yaitu sebesar 264,55 kkal (84,5% dari rata-rata ketersediaan energi 313,25 kkal). Jika dibandingkan dengan AKG, asupan energi tertinggi hanya 45,8% dari 577,5 kkal. Hal ini berarti asupan energi pada sampel tidak dapat memenuhi kecukupan energi pada makan siang. Masukan makanan yang baik akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Usia anak-anak yang khususnya pada usia sekolah dasar sangat rawan terhadap kekurangan zat-zat gizi terutama dari konsumsi makan yang kurang baik. Makanan yang mereka konsumsi harus mengandung cukup gizi dan zat-zat yang penting lainnya (Pergizi Pangan Indonesia, 1996). Asupan energi dan zat gizi yang baik akan membentuk anak memiliki kebiasaan makan yang baik dan berpartisipasi dalam aktivitas olahraga secara teratur guna mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal, berat badan normal, menikmati makanan, dan menurunkan risiko menderita penyakit kronis dan mampu berpikir serta berpastisipasi penuh dalam proses belajar (Muhilal, 2006). Dari hasil wawancara, hampir seluruh siswa melakukan sarapan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti nasi lengkap dengan lauk pauk, nasi goreng, nasi kuning, mi, susu, gorengan, dan lain-lain. Selain sarapan pagi, siswa pun jajan di kantin pada saat jam
46
istirahat pagi sekitar pukul 10.00, dengan bentuk jajanan seperti lumpia, gorengan, makanan dan minuman ringan lainnya. Hal ini mempengaruhi asupan makan siang siswa sehingga terdapat beberapa siswa yang tidak menghabiskan hidangan yang disajikan, bahkan ada yang tidak memakan hidangan sama sekali. Sebanyak 6 sampel (15,3%) tidak mengonsumsi lobak dan tetelan daging
sapi
pada
soto
Bandung,
4
sampel
(10,2%)
tidak
mengonsumsi telur balado, 1 sampel (2,5%) tidak mengonsumsi ayam goreng, dan 12 sampel (30,7%) tidak mengonsumsi tempe goreng.
5.5 Asupan Protein dari Makan Siang Asupan protein yang dikonsumsi dari makan siang yang diselenggarakan di SDPNA dikumpulkan selama 2 hari tidak berturutturut. Distribusi frekuensi asupan energi dapat diihat pada tabel 5.5.
TABEL 5.5 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN ASUPAN PROTEIN SISWA KELAS 4 DAN 5 SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011 Kategori
Asupan Protein
n
%
47
Kurang Baik Total
21 18 39
53,8 46,2 100,0
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 39 sampel sebanyak 18 sampel (46,2%) asupan proteinnya baik dan 21 sampel (53,8%) memiliki asupan protein kurang. Asupan protein terendah yaitu sebesar 6,85 gram (59,6% dari rata-rata ketersediaan protein 11,5 gram). Sedangkan asupan protein tertinggi yaitu sebesar 13,7 gram (119,1% dari rata-rata ketersediaan protein 11,5 gram). Jika dibandingkan dengan AKG, asupan protein tertinggi hanya 96,2% dari 14,25 gram. Hal ini berarti asupan protein pada sampel tidak dapat memenuhi kecukupan protein pada makan siang. Perlu diperhatikan bahwa selain energi, protein juga penting untuk pertumbuhan. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2004). Asupan energi makanan yang kurang, belum tentu asupan proteinnya pun kurang. Namun jika asupan protein yang dikonsumsi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan berarti makanan yang dikonsumsi tidak cukup memberikan energi (Almatsier, 2005). Dari hasil wawancara, hampir seluruh siswa melakukan sarapan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti nasi lengkap dengan lauk pauk, nasi goreng, nasi kuning, mi, susu, gorengan, dan lain-lain. Selain sarapan pagi, siswa pun jajan di kantin pada saat jam istirahat pagi sekitar pukul 10.00, dengan bentuk jajanan seperti lumpia, gorengan, makanan dan minuman ringan lainnya.
48
Hal ini mempengaruhi asupan makan siang siswa sehingga terdapat beberapa siswa yang tidak menghabiskan hidangan yang disajikan, bahkan ada yang tidak memakan hidangan sama sekali. Sebanyak 6 sampel (15,3%) tidak mengonsumsi lobak dan tetelan daging
sapi
pada
soto
Bandung,
4
sampel
(10,2%)
tidak
mengonsumsi telur balado, 1 sampel (2,5%) tidak mengonsumsi ayam goreng, dan 12 sampel (30,7%) tidak mengonsumsi tempe goreng.
5.6 Kecukupan Gizi berdasarkan AKG, Ketersediaan Zat Gizi, dan Rata-rata Asupan dari Makan Siang Kecukupan gizi makan siang didapat dari 30 % AKG tahun 2005. Rata-rata asupan dan ketersediaan zat gizi dari menu yang disajikan didapat selama 2 hari tidak berturut-turut, dapat diihat pada tabel 5.6. TABEL 5.6 KECUKUPAN GIZI, KETERSEDIAAN ZAT GIZI, DAN RATA-RATA ASUPAN MAKAN SIANG PADA SISWA KELAS 4 DAN 5 DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Asupan Zat Gizi
Kecukupan 30 % AKG
Rata-rata ketersediaan
Rata-rata Asupan
Asupan Energi 577,5 kkal 313,25 kkal 212,17 kkal Asupan Protein 14,25 gr 11,5 gr 10,17 gr Pada tabel diatas dapat dilihat rata-rata asupan energi sebesar 212,17 kkal (67,73%) dibandingkan dengan ketersediaan zat gizi. Rata-rata asupan protein sebesar 10,17 gr (88,43%) dibandingkan dengan rata-rata ketersediaan zat gizi protein. Sedangkan jika dibandingkan dengan AKG, rata-rata ketersediaan energi hanya 54,2% dan rata-rata asupan energi hanya 36,7%. Rata-rata
49
ketersediaan protein hanya 80,7% dan rata-rata asupan protein hanya 71,4%. Rata-rata asupan yang kurang dari AKG dan tidak mencapai 100% dari rata-rata ketersediaan zat gizi bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena kondisi siswa masih dalam keadaan kenyang saat jam makan siang. Hal ini menyebabkan menurunnya nafsu makan siswa yang berakibat pada asupan energi dan protein yang kurang saat makan siang. Tolak ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan mean, tidak menggunakan AKG. Jika menggunakan AKG, maka data yang dihasilkan homogen karena rata-rata ketersediaan zat gizi makan siangnya pun tidak mencukupi dari kecukupan zat gizi makan siang sebesar 30% AKG. Penggunaan mean membuat data menjadi variatif dan bisa dikategorikan menjadi baik dan kurang saat proses pengolahan data. Namun tolak ukur yang baik untuk kecukupan gizi pada realitanya harus berdasarkan AKG.
5.7 Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi Biaya merupakan pengorbanan yang diukur dalam satuan uang untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh / memproduksi barang / jasa tertentu. Biaya bahan makanan merupakan salah satu biaya yang dikeluarkan oleh konsumen untuk mendapatkan kualitas makanan yang baik, baik gizinya atau pun penampilan dan sanitasinya. Untuk itulah diperlukan rancangan anggaran yang tepat sesuai dengan kecukupan gizi konsumen. Jika harga yang ditawarkan sesuai, maka konsumen pun akan mendapatkan kepuasan dari pelayanan yang diberikan (Depkes, 1991).
50
TABEL 5.7 DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI SISWA KELAS 4 DAN 5 DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011 Kategori Baik Kurang Total
Berdasarkan
N 17 22 39
tabel
diatas,
% 43,6 56,4 100
biaya
bahan
makanan
yang
dikonsumsi, dari 39 sampel, 22 sampel (56,4%) termasuk kedalam kategori kurang. Sedangkan yang termasuk dalam kategori baik sebanyak 17 sampel (43,6%). Biaya bahan makanan awal rata-rata per hari adalah Rp 2742,00. Biaya didapat dari hasil perhitungan perkiraan biaya belanja yang dikeluarkan untuk membeli bahan makanan dan bumbu yang digunakan dalam 1 porsi, untuk membuat menu pada saat 2 hari penelitian dan kemudian dirata-ratakan. Menurut teori, biaya bahan makanan minimal sebesar 40% (Mukrie, 1990) dari biaya makan siang adalah sebesar Rp 2600,00. Jika dibandingkan dengan biaya bahan makanan awal rata-rata per hari Rp 2742,00, maka biaya bahan makanan yang dikeluarkan oleh pihak katering sudah baik. Namun jika dibandingkan dengan biaya bahan makanan awal pada hari ke 1, yaitu Rp 2009,00, termasuk kurang baik karena persentasenya kurang dari 40%. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan besar porsi dari setiap hidangan dengan alasan agar hidangan tidak mubajir karena sebelumnya terjadi banyak sisa pada makan siang. Sedangkan biaya bahan makanan awal pada hari ke 2, yaitu Rp 3474,00, sudah termasuk baik.
51
Rata-rata biaya makanan yang dikonsumsi Rp 1833,62 (66,9%) dari harga biaya bahan makanan awal rata-rata perhari yaitu Rp 2742,00 (44,2% dari harga makan siang Rp 6500,00). Biaya bahan makanan minimal yang dikonsumsi yaitu Rp 1174,00 (42,8% dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari Rp. 2742,00), sedangkan biaya bahan makanan terbesar yang dikonsumsi sebesar Rp 2302,00 (84,1% dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari Rp. 2742,00). Biaya
bahan
makanan
terbesar yang
dikonsumsi tidak
mencapai 100% dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari menandakan sampel sebagai konsumen, mengalami kerugian dari uang yang mereka keluarkan untuk membayar 1x makan siang. Hal ini berdampak pada ketersediaan zat gizi yang tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumen. Menurut perhitungan teori, biaya bahan makanan sebesar Rp 2600,00 dari biaya makan siang Rp 6500,00 sudah dapat mencukupi kebutuhan zat gizi sesuai AKG, yaitu energi 577,5 kkal dan protein 14,25 g. Namun pada kenyataannya, dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari sebesar Rp 2742,00 hanya memiliki rata-rata ketersediaan zat gizi yang kurang dari AKG, yaitu energi 313,25 kkal dan protein 11,5 g.
5.8 Hubungan antara Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi dengan Asupan Energi Biaya bahan makanan yang sesuai dengan fasilitas yang diberikan, salah satunya zat gizi, merupakan tujuan dari suatu penyelenggaraan makanan institusi yang baik. Semakin besar biaya bahan makanan dari hidangan yang disajikan, seharusnya semakin tinggi juga kandungan zat gizi yang bermanfaat bagi konsumen (Mukrie, 1990).
52
TABEL 5.8 HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI DENGAN ASUPAN ENERGI SISWA KELAS 4 DAN 5 DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011 Biaya Kurang Baik Total
Asupan Energi Kurang Baik N % n % 16 72,7 6 27,3 2 11,8 15 88,2 18 46,2 21 53,8
Total n 22 17 39
% 100 100 100
Berdasarkan tabel diatas, dari 39 sampel, sebanyak 16 sampel (72,7%) termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi kurang dengan kategori asupan energi kurang, sedangkan untuk kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi kurang dengan asupan energi baik sebanyak 6 sampel (27,3%). Sedangkan yang termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi baik tetapi asupan energi kurang sebanyak 2 sampel (11,8%), sedangkan biaya bahan makanan yang dikonsumsi baik dengan asupan energi baik sebanyak 15 sampel (88,2%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Chi Square didapat bahwa nilai p= 0,001 < α (0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi. Adanya hubungan dari hasil uji yang dilakukan sesuai dengan tujuan dari diadakannya penyelenggaraan makanan institusi, yaitu memberikan biaya hidangan yang sesuai dengan fasilitas yang diberikan. Banyaknya makanan yang dikonsumsi dari hidangan yang disajikan menimbulkan besarnya pula biaya bahan makanan yang dikonsumsi dan asupan energi. Kandungan energi dari bahan makanan yang mencukupi kebutuhan konsumen merupakan hal yang
53
mutlak
harus
dipenuhi
oleh
penyelenggara
makanan
karena
konsumen telah mengeluarkan biaya untuk membeli makanan dengan harapan
mendapatkan
kepuasan
dan
memenuhi
kebutuhan
energinya (Mukrie, 1990). Namun dikonsumsi
pada
sebagian
kenyataannya besar
jumlah
tergolong
makan
kurang
siang
baik
yang
sehingga
mengakibatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli hidangan tersebut tidak sesuai dengan apa yang didapatkan, dari segi kepuasan atau pun kecukupan zat gizi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dari diadakannya penyelenggaraan makanan institusi di sekolah.
5.9 Hubungan antara Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi dengan Asupan Protein Salah satu zat gizi penting yang dibutuhkan dalam usia sekolah dasar adalah protein. Penyelenggaraan makan di institusi sekolah bertujuan untuk dapat mencukupi kebutuhan zat gizi siswa. Asupan protein yang mencukupi kebutuhan akan menguntungkan siswa dan pihak sekolah karena akan menghasilkan siswa yang berprestasi (Mukrie, 1990).
TABEL 5.9 HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI DENGAN ASUPAN PROTEIN SISWA KELAS 4 DAN 5 DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
54
Biaya Kurang Baik Total
Asupan Protein Kurang Baik N % n % 19 86,4 3 13,6 2 11,8 15 88,2 21 53,8 18 46,2
Total n 22 17 39
% 100 100 100
Berdasarkan tabel diatas, dari 39 sampel, sebanyak 19 sampel (86,4%) termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi
kurang
dengan
kategori
asupan
protein
kurang,
sedangkan untuk kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi kurang dengan asupan protein baik sebanyak 3 sampel (13,6%). Sedangkan yang termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi baik tetapi asupan protein kurang sebanyak 2 sampel (11,8%), sedangkan biaya bahan makanan yang dikonsumsi baik dengan asupan protein baik sebanyak 15 sampel (88,2%). Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Chi Square didapat bahwa nilai p= 0,000 < α (0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%, hal ini menunjukan adanya hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein. Protein yang merupakan salah satu zat gizi penting bagi pertumbuhan usia sekolah dasar diharapkan dapat terpenuhi lewat hidangan yang disajikan oleh penyelenggara makanan institusi di sekolah. Biaya bahan makanan dengan jenis protein tinggi terbilang cukup mahal diantara bahan makanan lainnya, sehingga terkadang harga hidangan menjadi mahal. Menu yang bervariasi dan bergizi dalam penyelenggaraan makanan di sekolah diharapkan dapat meningkatkan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh siswa, sehingga terjadi keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dengan asupan protein yang dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Mukrie, 1990).
BAB VI
55
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan 1. Penyelenggaraan makan siang di SDPNA dikelola oleh pihak kedua (outsourcing). 2. Siswa laki laki sebanyak 27 orang (69,2%) dan siswa perempuan sebanyak 12 orang (30,8%). Sedangkan siswa yang berumur < 10 tahun sebanyak 9 orang (23,1 %) dan sisanya berumur ≥ 10 tahun sebanyak 30 orang (76,9%). 3. Asupan energi baik sebanyak 21 sampel (53,8%) dan dikategorikan kurang sebanyak 18 sampel (46,2%). Rata-rata asupan energi dari makanan yang dikonsumsi 212,17 kkal (67,73%). 4. Asupan
protein
baik
sebanyak
18
sampel
(46,2%)
dan
dikategorikan kurang sebanyak 21 sampel (53,8%). Rata-rata asupan protein dari makanan yang dikonsumsi 10,17 gr (88,43%). 5. Biaya bahan makanan yang dikonsumsi termasuk dalam kategori baik sebanyak 17 sampel (43,6%) dan dikategorikan kurang sebanyak 22 sampel (56,4%). 6. Rata-rata biaya bahan makanan yang dikonsumsi Rp 1833,62 (66,9%) dari harga biaya bahan makanan awal rata-rata perhari yaitu Rp 2742,00. 7. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi pada sampel dimana nilai p<α dengan p=0,001 dan α=0,05. 8. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein pada sampel dimana nilai p<α dengan p=0,000 dan α=0,05. 6.2 Saran
57
56
1. Perlunya peran ahli gizi dalam proses penyelenggaraan makanan institusi di sekolah. 2. Membuat standar makanan dan standar bumbu secara tertulis sehingga ada kontrol dan evaluasi dari pihak sekolah kepada pihak catering, terkait dengan penggunaan dana agar ada kesesuaian antara dana dengan standar makanan. 3. Mengontrol kebiasaan jenis jajanan siswa pada saat istirahat pagi sehingga tidak dalam keadaan kenyang saat makan siang. 4. Perlu pengkajian ulang lebih rutin mengenai besar porsi dan variasi
bahan makanan yang digunakan agar pelayanan menjadi lebih baik lagi. 5. Hasil evaluasi penyelenggaraan makan siang, lebih ditindak lanjut
lagi oleh pihak katering.
DAFTAR PUSTAKA Tsauri, H.Soefjan, dkk. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Departemen Kesehatan RI. 1991. Pedoman Pengelolaan Makanan bagi Pekerja. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Karyadi, Darwin dan Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pergizi Pangan Indonesia. 1996. Peran Pangan dan Gizi dalam Menyongsong Era Globalisasi. Surabaya: Pergizi Pangan Indonesia.
57
Mukrie, A. Nursiah, dkk. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat.
Notoatmodjo, Dr. Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Menteri Kesehatan RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.
Santoso, Soegeng dan Anne. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta:
PT
Rineka Cipta.
Almatsier, Sunita. 2005. Penuntun Diet edisi baru Instalansi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Mukrie, Nursiah A. 1990. Managemen Pelayanan Gizi Lanjut. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat bekerjasama dengan Akademi Gizi DepKes RI.
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Damayanti, Didit dan Muhilal. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primedia Pustaka.
Muhilal. 2006. Gizi Seimbang untuk Anak Usia Sekolah Dasar dalam Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka.
58
Graimes, Nicola. 2005. Brain Foods for Kids. Jakarta: Erlangga.
Sulastiyono, Agus. 1999. Manajemen Penyelenggaraan Hotel. Bandung: CV Alfabeta.
Depkes RI. 2006. Pedoman PGRS Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Laksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung: PT Alumni.
Departemen Kesehatan RI. 1991. Menyusun Menu Makanan Karyawan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Puckett, Ruby P. 2004. Food Service Manual for Health Care Institutions.third edition. USA : AHA Press. Munawar, Asep Ahmad. 2007. “ PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN BIAYA MAKAN PASIEN BERBASIS TARIF PELAYANAN MAKANAN DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG” dalam Makalah PIN ke-3 “PERAN AHLI GIZI DALAM KELANGSUNGAN HIDUP MANUSIA” Simposia 6. Halaman 1 – 21 . Devi. Dalam Karya Tulis Ilmiah “Hubungan Cita Rasa Makanan dengan Asupan Energi dan Protein Makan Siang Siswa Kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia Cimahi Tahun 2010”. Politeknik Kesehatan Bandung Departemen Kesehatan Jurusan Gizi: Bandung: Tahun 2010.