BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Film adalah media massa yang populer dan sering digunakan oleh masyarakat selain televisi, sehingga film telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Anak-anak, remaja maupun orang dewasa menyukai film meskipun dengan pilihan jenis film yang berbeda. Saat ini menonton film tidak hanya melalui bioskop, tetapi juga bisa melalui media televisi. Cerita dalam sebuah film dikemas sedemikian rupa agar pesan yang dibawa dapat tersampaikan kepada penonton. Tak jarang sebuah film dapat mempengaruhi pikiran maupun tindakan para penontonnya. Pada dasarnya tujuan khalayak menonton film adalah untuk memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang (Ardianto dkk, 2009:145). Sebagai salah satu bentuk media massa, film juga dapat berfungsi sebagai penyebaran nilai-nilai. Fungsi ini disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok (Ardianto dkk, 2009:16). Untuk menyampaikan pesan informatif dan edukatif tersebut, film dikemas dalam berbagai genre. Genre sendiri didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama. Genre dibagi menjadi dua kelompok, yakni genre induk primer dan genre induk sekunder. Genre induk primer terdiri dari aksi, drama, epik sejarah, fantasi, horor, komedi dan musikal. Sedangkan genre induk sekunder terdiri dari biografi, perjalanan, olahraga, melodrama dan supranatural (Pratista, 2008:13).
1
Dari masa ke masa genre berkembang seiring dengan perkembangan film itu sendiri. Setelah ditemukan pada akhir abad ke-19, film mengalami perkembangan mengikuti dari perkembangan teknologi yang mendukung. Mula-mula hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas (Sumarno, 1996:9). Kekuatan dan kemampuan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas mampu menjangkau banyak segmen sosial. Hal ini membuat para ahli berpendapat bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Sejak itu, maka merebaklah berbagai penelitian yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2013: 127). Melihat perspektif tersebut peneliti setuju bahwa film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya. Disadari atau tidak film bisa memberikan pengaruh kepada penontonnya. Pesan-pesan atau nilai-nilai yang terkandung dalam film dapat mempengaruhi penonton baik secara kognitif, afektif maupun konatif. Sedangkan Graeme Turner (dalam Sobur, 2013:127) menolak untuk melihat film sebagai refleksi masyarakat. Bagi Turner makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindahkan realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai
2
representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Namun sebuah pandangan yang telah dikembangkan di Inggris pada 1970-an dan berpengaruh pada teori film feminis mengatakan bahwa representasi bukanlah melulu soal cerminan realitas, apakah benar atau menyimpang, tetapi lebih merupakan produk dari sebuah proses aktif berupa memilih dan menampilkan, menata dan membentuk, membuat hal yang menunjukkan makna sehingga disebut sebagai praktik penandaan. Praktik penandaan ini berhubungan dengan citra perempuan dalam sebuah film yang memang berfungsi sebagai tanda, tetapi suatu tanda yang mendapatkan maknanya bukan dari realitas kehidupan perempuan, tetapi dari hasrat dan fantasi laki-laki ( Jackson & Jones, 2009:367-369). Berdasarkan hal tersebut maka tidak heran bila perempuan hanya bisa berfungsi sebagai objek narasi dan menandakan kepasifan bahkan perempuan juga berfungsi sebagai objek erotis utama dalam film. Siswanti Suryandari dalam artikelnya yang berjudul Ketimpangan Gender dalam Film Indonesia (2010) mengatakan bahwa di Indonesia sendiri entah disadari atau tidak, sebagian besar film-filmnya masih menggambarkan ketimpangan secara gender. Dalam artikelnya ini Siswantini juga mengungkapkan hasil penelitian dari Abdul Firman Ashaf seorang dosen Ilmu Komunikasi dan Sosial di Universitas Lampung yang berjudul “Aspek Gender dalam Film Indonesia”, di mana ketimpangan gender ini diidentifikasi melalui tiga hal yaitu: domestifikasi perempuan dan politik relasi gender, segregasi perempuan dalam realitas simbolik film, dan perempuan sebagai objek seks. Ketiga aspek ini muncul dalam film-film produksi sineas Indonesia. Padahal film merupakan alat untuk memahami dan melihat realitas sosial masyarakat yang ada pada saat itu. Bila memang arti film secara harfiah seperti itu, cerminan perempuan di era modern sekarang masih terjebak pada urusan domestifikasi,
simbolik,
dan
objek
seks
setidaknya
benar
adanya
(http://library.wri.or.id/index.php?p=show_detail&id=2757, diakses tanggal 23 April 2015 pukul 19.55 WIB).
3
Tidak hanya perfilman Indonesia, di Hollywood konsep perempuan pun telah disalahartikan. Karakter perempuan selalu distereotipkan dalam banyak bagian. Hal ini terjadi tidak hanya disetiap film tetapi banyak film dan televisi telah menampilkan perempuan sebagai objek seks, kurang pengetahuan dan kurang berkepribadian. Di dalam dunia hiburan, kecerdasan seorang perempuan tidak lebih tinggi peringkatnya dibandingkan kecantikan tubuh. Rolandra West dari Texas Wesleyan University dalam artikelnya ini mengatakan bahwa menurut masyarakat, perempuan di bidang hiburan harus memiliki cukup keseksian. Perempuan secara alami adalah objek keindahan, tetapi masyarakat dan televisi telah
melakukan
kesalahan
dalam
mengartikan
keindahan
itu
(http://therambler.org/2012/01/28/hollywood-continues-portrayal-of-sexistfemale-stereotypes/, diakses tanggal 19 April 2015 pukul 20.58 WIB). Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk membahas feminisme dalam film, di mana perempuan tidak hanya digambarkan sebagai objek narasi yang pasif tetapi juga bisa menjadi subjek narasi yang aktif seperti laki-laki. Mulvey berpendapat bahwa, “feminisme memerlukan sinema yang avant-garde secara politik dan estetika yang akan membuat gebrakan radikal dengan konvensi formal sinema mainstream untuk menentang ideologi patriarki”. Satu-satunya cara untuk mengubah sinema populer adalah melalui kreasi konteks feminis untuk memandang mana yang akan mendidik penonton perempuan yang pasif dan mengubahnya menjadi penonton feminis yang aktif (Hollows, 2010:66). Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Doktrin yang bermula dari abad ke 18 ini berpendapat bahwa perempuan diperlemah secara sistematis dalam masyarakat modern. Paham ini membela keseteraan peluang bagi laki-laki dan perempuan (Sobur, 2013:384). Perjuangan perempuan pada awalnya bermula di Eropa. Para perempuan Eropa pada saat itu menemukan persoalan tentang ketidaksetaraan yang mereka alami yaitu tirani laki-laki dalam rumah tangga. Perjuangan ini dipelopori oleh Mary Wollstonecraft dengan menuangkan ide-ide pencerahannya bagi kaum perempuan
4
dalam bukunya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman (1972). Buku tersebut berhasil menjadi batu alas dari feminisme modern (Rueda dkk, 2007:15). Feminisme sebagai gerakan sosial mulai berhasil membuat perubahan yang menyangkut nasib kaum perempuan secara global. Misalnya saja dari aspek politik, kaum perempuan secara global saat ini telah memiliki hak untuk memilih. Dari aspek pendidikan, prestasi kaum perempuan dalam mengejar ketertinggalan mereka dari pendidikan kaum laki-laki justru jauh lebih mengesankan. Dari segi ekonomi, peran kaum perempuan juga melonjak dengan pesat. Perjuangan mereka dalam mengesahkan anti-discrimination law secara global telah membawa dampak luas terhadap kesempatan kerja kaum perempuan (Fakih, 2013:158). Kesempatan kerja bagi kaum perempuan khususnya juga dirasakan dalam dunia perfilman internasional Hollywood. Perempuan sudah mendapatkan kesempatan untuk berkreasi di bidang perfilman baik di depan layar maupun di belakang layar. Meskipun demikian ternyata masih ada ketidaksetaraan gender di Hollywood. Perempuan di Holywood masih merasa kurang terwakilkan dalam film-film Hollywood. Hal ini dibuktikan oleh The New York Film Academy yang merilis infografis pada tahun 2013 dengan menyoroti perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada penggambaran di layar dan kesempatan kerja di belakang layar Hollywood. NYFA mengambil data dari sejumlah studi dan sumber termasuk Forbes, Indiewire, dan sekolah film lainnya. Adapun hasil dari NYFA sebagai berikut :
5
Gambar 1.1 Infografis dari NYFA
Sumber: https://www.nyfa.edu/film-school-blog/gender-inequality-infilm/#! prettyPhoto/0/ (diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 09.45 WIB)
6
Berdasarkan infografis di atas diketahui bahwa pada tahun 2007-2012 dalam top 500 film, sebanyak 28.8% perempuan menggunakan pakaian yang sexy sedangkan pada laki-laki hanya 7.0% dan sebanyak 26.2% aktris perempuan mendapat peran setengah telanjang dan hanya 9.4% aktor laki-laki melakukan hal yang sama. Selain itu perbandingan untuk laki-laki dan perempuan yang bekerja di film adalah 5:1. Perempuan lebih banyak menyutradarai film-film dokumenter daripada film narasi, 34.5% untuk film dokumenter dan hanya 16.9% untuk film narasi. Pada tahun 2012 keterlibatan perempuan dibalik layar dalam top 250 film paling besar persentasenya adalah sebagai produser yaitu 25% dan yang terkecil adalah sebagai sinematografi hanya 2% saja. Keterlibatan perempuan dalam film Hollywood memang terbilang kecil dan mungkin sering digambarkan sebagai sosok yang hanya menonjolkan kecantikan fisik semata. Namun hal ini bisa menjadi motivasi para perempuan untuk berperan aktif di balik layar dan membuat film dengan menggambarkan perempuan yang kuat dan tangguh. Seperti yang ditampilkan Angelina Jolie dalam filmnya yang berjudul Maleficent (2014). Dalam film Maleficent, Jolie tidak hanya berperan sebagai pemain utama tetapi juga sebagai eksekutif produser dan ketika ditanyakan mengenai film ini ia menjawab seperti yang dikutip oleh website buzzfeed.com, “We wanted to tell a story about the strength of women and the things they feel between one another”. Film Maleficent bukanlah film pertama bagi Jolie dalam memerankan karakter perempuan seperti ini. Sebut saja film yang pernah diperankan Jolie seperti Lara Croft: Tomb Raider (2001), Mr. And Mrs.Smith (2005), Changeling (2008), Wanted (2008) dan Salt (2010). Angelina Jolie memang dikenal sebagai aktris yang sering memerankan karakter perempuan kuat dan mungkin merepresentasikan feminisme. Selain dalam film yang menampilkan sosok Jolie sebagai perempuan tangguh ternyata di dalam kehidupan sehari-hari Jolie juga dikenal sebagai perempuan tangguh. Di luar kesibukannya sebagai aktris Hollywood, Jolie adalah seorang Ibu dengan enam anaknya yang juga aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Jolie pun didaulat sebagai Duta Komisi PBB untuk penanganan pengungsi (UNHCR). Sebagai duta PBB, Jolie telah melakukan 40 lebih perjalanan misi kemanusiaan untuk UNHCR termasuk ketika 7
membantu para pengungsi Suriah dan mengkampanyekan untuk mengakhiri kekerasan seksual di daerah konflik. Belum lama ini juga Jolie menjalankan misi kemanusiaan terbarunya untuk kaum perempuan, yaitu dengan mendirikan sebuah pusat akademik bernama The Centre for Women, Peace and Security yang dibuka di London School of Ecomonics (LSE). Selain aktif dalam misi kemanusiaan, pada tahun 2013 lalu Jolie membuat sebuah keputusan berani sebagai seorang perempuan yaitu mengangkat kedua payudaranya untuk mencegah kanker. Karakter perempuan tangguh yang ditampilkan Jolie dalam film-filmnya berbanding lurus dengan apa yang ia lakukan dalam kehidupan nyata. Tidak heran bila Jolie dikategorikan sebagai salah satu most feminsit filmographies dalam website bustle.com dan top 10 celebrity feminist icons dalam website mirror.co.uk. Melihat
hal tersebut peneliti
tertarik untuk menganalisis
penggambaran feminisme yang ditampilkan oleh Jolie dalam film Maleficent, di mana Jolie berperan sebagai eksekutif produser dan sebagai tokoh Maleficent. Maleficent sendiri adalah sebuah film yang bersifat universal sehingga dapat dinikmati dan dipelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh masyarakat secara umum. Untuk meneliti lebih lanjut film Maleficent, peneliti menggunakan analisis semiotika karena film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Sobur, 2013:128). Karena film terdiri atas tanda-tanda yang membentuk sebuah sistem maka sebuah film dapat diteliti menggunakan analisis semiotika. Menurut Fiske (2012:66) semiotika memiliki tiga wilayah kajian yaitu (1) tanda itu sendiri, (2) kode-kode atau sistem di mana tanda-tanda diorganisasi dan (3) budaya tempat di mana kode-kode dan tanda-tanda beroperasi.
8
Berdasarkan uraian-uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai penggambaran atau representasi feminisme dalam film Maleficent yang diperankan Angelina Jolie dengan menggunakan analisis semiotika John Fiske.
1.2 Fokus Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah “bagaimana feminisme direpresentasikan dalam film Maleficent ?”. Dalam penelitian ini, permasalahan yang ingin diteliti oleh peneliti adalah : 1. Bagaimana pemaknaan pada level realitas dari feminisme dalam film Maleficent ? 2. Bagaimana pemaknaan pada level representasi dari feminisme dalam film Maleficent ? 3. Bagaimana pemaknaan pada level ideologi dari feminisme dalam film Maleficent ?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun beberapa hal yang dimaksud dan tujuan dari penelitian ini diantaranya : 1. Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan pada level realitas dari feminisme dalam film Maleficent. 2. Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan pada level representasi dari feminisme dalam film Maleficent. 3. Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan pada level ideologi dari feminisme dalam film Maleficent.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek praktis.
9
1.4.1 Aspek Teoritis 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu komunikasi dalam perkembangan penelitian yang berbasis kualitatif terutama kajian semiotika dalam film. 2. Penelitian ini
diharapkan dapat
menambah
pengetahuan dan
memperkaya penelitian mengenai representasi feminisme yang ditampilkan dalam film.
1.4.2 Aspek Praktis Penelitian ini diharapkan dapat mengubah stereotip yang ada pada perempuan bahwa seorang perempuan juga dapat berperan aktif dalam masyarakat dan memahami bagaimana konsep feminisme yang ditampilkan dalam film selain itu juga peneliti berharap penelitian ini bisa menjadi referensi bagi para penggiat film yang ingin merepresentasikan feminisme melalui media film.
1.5 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian atau langkah penelitian adalah serangkaian proses penelitian di mana peneliti dari awal yaitu merasa menghadapi masalah, berupaya untuk memecahkan masalah, memecahkan masalah sampai akhirnya mengambil keputusan yang berupa kesimpulan bagaimana hasil penelitiannya, dapat memecahkan masalah atau tidak (Narbuko dan Achmadi, 2009:57). Menurut Sobur (2009:154) dalam penelitian semiotika terdapat beberapa langkah umum yang bisa dijadikan pedoman. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : 1. Cari topik yang menarik perhatian. 2. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, di mana, apa). 3. Menentukan alasan dari penelitian 4. Rumuskan
tesis
penelitian
dengan
mempertimbangkan
sebelumnya (topik, tujuan, dan alasan). 5. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika). 6. Klasifikasi data :
10
tiga
langkah
a. Identifikasi teks; b. Berikan alasan mengapa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi; c. Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau, pola sintagmatik dan paradigmatik; d. Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada. 7. Analisis data berdasarkan : a. Ideologi, interpretan kelompok, frame work budaya; b. Pragmatik, aspek sosial, komunikatif; c. Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lian, hukum yang mengaturnya; d. Kamus vs ensiklopedi. 8. Kesimpulan.
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terhadap film Maleficent yang diperankan Angelina Jolie ini dilakukan di Bandung. Selain sumber utama, peneliti juga menggunakan literatur seperti buku, artikel cetak maupun elektronik, jurnal ilmiah dan skripsi. Untuk pengumpulan data literatur tertulis tersebut penulis lakukan di perpustakaan Universitas Telkom, Kineruku dan beberapa tempat lain. Waktu penelitian dibutuhkan kurang lebih selama sembilan bulan oleh peneliti, yaitu dari bulan Januari 2015 hingga September 2015. Rincian waktu penelitian yang dilakukan peneliti akan dijabarkan dalam tabel berikut ini :
11
Tabel 1.1 Rincian Waktu Penelitian Waktu (Bulan) Kegiatan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Menonton film Pengumpulan Data Pengumpulan Teori Penyusunan Proposal Skripsi Seminar Proposal Skripsi Perbaikan proposal skripsi Analisis Data Hasil Akhir Penelitian Sidang Skripsi Bimbingan
Sumber: Olahan Peneliti
12
Juni
Juli
Agustus
September