BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hasil hutan tidak hanya sekadar kayu tetapi juga menghasilkan buahbuahan dan obat-obatan.Namun demikian, hasil hutan yang banyak dikenal penduduk adalah sebagai sumber kayu.Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia mengakibatkan meningkatnya permintaan akan bahan baku kayu untuk berbagai kebutuhan. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah melaporkan bahwa dalam tahun 2000 Indonesia telah membangun lebih dari 700 unit rumah per tahun dengan kebutuhan kayu 2,2 juta m³. Kebutuhan tersebut hanya dihitung untuk konstruksi rumah baru tanpa memperhitungkan renovasi rumah-rumah yang rusak (Warman, 2008). Sementara itu, konsumsi rata-rata akan bahan baku kayu tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 sekitar 40 juta m³. Lebih lanjut Forest Watch Indonesia melaporkan bahwa kebutuhan kayu bulat di Indonesia diperkirakan diatas 80 juta m³ per tahun. Tingginya konsumsi tersebut tidak disertai dengan kemampuan hutan dalam menyediakan kayu secara lestari yang hanya sebesar 6,9 juta m³ per tahun. Bahkan departemen Kehutanan telah menetapkan jatah tebangan produksi dari hutan alam produksi sebesar 8,5juta m³ untuk tahun 2006. Kayu di Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar, namun penggunaan dan pemanfaatan secara bijak perlu ditingkatkan. Sebagai salah satu negara besar penghasil kayu, Indonesia memiliki kira-kira 4000 jenis kayu dan kurang lebih 25% dari jumlah kayu itu memiliki keawetan rendah. Pusat 1
penelitian dan pengembangan hasil hutan dan sosial ekonomi kehutanan (P3HHSEK) berhasil mengidentifikasi 3.233 jenis dan 3.132 jenis diantaranya sudah berhasil diklasifikasi keawetannya. Dari 3.132 jenis hanya 14,3% jenis kayu yang mempunyai keawetan tinggi, sisanya 85,7% tergolong kurang atau tidak awet sehingga perlu diawetkan terlebih dahulu sebelum jenis tersebut digunakan (Anonim, 1997). Sementara itu, jumlah pasokan kayu dengan keawetan tinggi semakin terbatas, dengan demikian perlu dimanfaatkan kayu yang keawetannya rendah, yaitu kayu yang termasuk kedalam kelas awet III, IV, V dan kayu muda dari kayu yang termasu kkelas awet I dan II. Dari hasil identifikasi jenis kayu yang mempunyai keawetan tinggi hanya sedikit, maka perlu dilakukan pengawetan pada kayu-kayu yang mempunyai kelas awet rendah ataupun kayu muda pada kelas awet tinggi agar keawetan kayu menjadi meningkat. Ketidak seimbangan antara jumlah kayu yang tersedia dengan kebutuhan kayu membuat konsumen harus menggunakan kayu dari jenis yang cepat tubuh dan tersedia dalam jumlah yang banyak, salah satunya adalah kayu sengon. Kayu sengon bisa digunakan sebagai bahan bangunan, kayu lapis, peti kemas, korek api, pulp, dan mebel sederhana (Martawijaya dkk., 1989). Kayu sengon adalah jenis kayu lunak, dalam artian kayu ini jika dipegang terasa empuk hampir mirip dengan kayu randu atau kapuk. Sengon menghasilkan kayu yang ringan sampai agak ringan, dengan densitas 320–640 kg/m³ pada kadar air 15%, agak padat, berserat lurus dan agak kasar, namun mudah dikerjakan. Kekuatan dan keawetannya digolongkan ke dalam kelas kuat III–IV dan kelas awet III–IV. Selain karena keawetan yang rendah, kayu ini juga mudah terserang
2
oleh rayap karena makanan utamanya adalah kayu yang banyak mengandung selulosa. Kurang lebih terdapat 200 jenis rayap yang telah dikenal di Indonesia, salah satunya adalah rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Kerusakan kayu akibat serangan organisme perusak kayu, khususnya rayap, pada bangunan perusahaan dan gedung tidaklah kecil bila diukur secara finansial. Kerusakan tersebut pada tahun 2000, di Indonesia mencapai Rp2,67 trilyun pada bangunan rumah dan Rp 300 milyar per tahun pada bangunan pemerintah (Tarumingkeng, 2002). Melihat kenyataan semakin menurunnya kemampuan hutan di Indonesia untuk memasok kayu karena sebagian besar kayu di Indonesia memiliki kelas awet rendah (III-V) serta adanya organisme perusakkayu, maka diperlukan pengawetan terhadap kayu sebelum pemakaian agar diperoleh masa pakai yang lebih lama. Pada akhirnya perlakuan tersebut diharapkan dapat menekan laju konsumsi kayu, khususnya bahan baku kayu untuk bangunan perumahan dan mebel (Warman, 2008). Untuk menambah keawetan kayu dari serangan rayap dan menambah umur pakai produk, maka perlu dilakukan pengawetan. Pengawetan kayu dilakukan dengan cara memasukkan bahan kimia dalam kayu yang bersifat racun bagi organisme perusak kayu sehingga meningkatkan keawetan kayu tersebut. Pengawetan bertujuan untuk menambah umur pakai kayu lebih lama terutama kayu yang dipakai untuk bahan bangunan ataupun perabot di luar ruangan. Dalam pengawetan kayu, terdapat beberapa metode yang bisa dilakukan, diantaranya dengan metode perendaman, metode pencelupan, metode
3
pemulasan dan penyemprotan, metode pembalutan, serta metode vakum dan tekanan (cara modern).Berdasarkan kelima metode tersebut, metode perendaman adalah metode yang paling sering digunakan dalam mengawetkan kayu, selain murah dan mudah pelaksanaannya, metode ini juga paling baik karena penetrasi dan retensi bahan pengawet yang masuk ke kayu lebih dalam dan lebih banyak sehingga keawetan kayu dapat meningkat(Antok, 2009). Selain itu, jenis bahan pengawet yang digunakan juga mempengaruhi penetrasi dan retensi pada kayu. Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga, dan peerusak kayu lainnya.Tidak semua bahan pengawet baik digunakan dalam pengawetan kayu, dalam penggunaan harus memperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar sesuai dengan tujuan pemakaian (Antok, 2009).Berdasarkan sifat kelarutannya, bahan pengawet dibagi menjadi tiga, yaitu bahan pengawet larut air, bahan pengawet larut minyak, dan bahan pengawet berupa minyak. Salah satu bahan pengawet larut air adalah asap cair yang terbuat dari tempurung kelapa. Asap cair (liquid smoke) merupakan suatu hasil kondensasi (pengembunan) dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, dan senyawa karbon lainnya. Proses pembuatan asap cair tempurung kelapa dilakukan dengan cara membakar tempurung kelapa selama 6 – 8 jam dengan suhu ± 300°C. Asap hasil pembakaran akan keluar melalui pipa dan ditampung dalam drum penampung.
4
Biasanya dalam sekali pembuatan asap cair menggunakan tempurung kelapa sebanyak 100 kg, akan menghasilkan asap cair sebanyak 25 liter. Pemanfaatan asap cair tempurung kelapa telah lama digunakan dan dikembangkan
secara
luas
pada
teknologi
makanan,
khususnya
untuk
mengawetkan daging dan ikan. Penggunaannya dimaksudkan untuk menambah cita rasa, aroma, penampakan dan pengawet bahan makanan tersebut. Penggunaan tersebut didasarkan adanya dua senyawa utama asap cair, yaitu fenol dan asamasam organik, yang bersifat bakterisidal / bakteriostatik yang mampu mengontrol pertumbuhan
mikroba
seperti
Staphylococusaureus,
Bacillus
subtilis,
Pseudomonas flourescensidan Escherichia coli. Fenol sebagai hasil daripirolisis lignin berkemungkinan sebagai bahan yang cocok sebagai antioksidan, bahan pengawet dengan sifat-sifat fungisida, herbisida dan insektisida (Goldstein, 1975; HewgilldanLegge, 1976; Fengeldan Wegener, 1984 dalamSunarta, 2006). Asap cair tempurung kelapa telah banyak diaplikasikan pada kegiatan manusia sehari-hari. Asap cair tempurung kelapa digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengawet karena sifat anti mikroba dan antioksidannya. Dalam industri perkebunan, asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional asap cair sebagai anti jamur, anti bakteri, dan anti oksidan dapat memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan. Asap cair berguna dalam industri kayu, yaitu dengan mengoleskan asap cair, kayu mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap lebih tinggi dari pada kayu yang tanpa diolesi asap cair (Anonim, 2014).
5
Bahan pengawet yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah asap cair (bio fenol) yang berasal dari tempurung kelapa. Asap cair yang berasal dari tempurung kelapa merupakan salah satu bahan pengawet alami. Pemilihan bahan pengawet alami ini karena lebih ramah lingkungan dan tidak merugikan kesehatan. Pemberian bahan pengawet asap cair tempurung kelapa adalah untuk menekan pertumbuhan rayap kayu kering yang dapat merusak kayu serta meningkatkan sifat keawetan kayu. Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, akan dicoba penelitian pengawetan kayu sengon dengan menggunakan bahan pengawet asap cair untuk meningkatkan keawetan kayu sengon agar kayu lebih awet dan dapat digunakan dalam waktu yang lebih lama serta tahan terhadap serangan organisme perusak kayu khususnya rayap kayu kering. 1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh interaksi antara konsentrasi bahan pengawet alami asap cair dan lama perendaman pada pengawetan kayu sengon dengan metode rendaman dingin untuk mencegah serangan rayap kayu kering. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan bahan pengawet alami asap cair tempurung kelapa (bio fenol) sebagai bahan pengawet alami kayu sehingga diketahui efektifitasnya untuk meningkatkan sifat keawetan kayu.
6