BAB I PENDAH ULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konflik muncul dalam konteksnya yang beragam dan bisa terjadi pada level pribadi, antar individu, antarkelompok, organisasional, maupun internasional. Konflik terjadi ketika terdapat kepentingan yang tidak sesuai antara individu, kelompok atau 1
negara. Konflik yang destruktif cenderung untuk meluas dan bereskalasi sebagai bentuk kompetisi, komunikasi yang buruk, perilaku bermusuhan, penila ian yang keliru dan salah persepsi sehingga pihak yang berkonflik terjebak dalam situasi yang tidak lagi 2
menggunakan akal sehat. M enurut H ugh M iall, terdapat pergeseran sifat konflik di dunia saat ini. Pertama, kebanyakan konflik yang terjadi saat ini ber sifat asimetris, yang ditandai oleh ketidakseimbangan kekuatan dan status. Kedua, banyak konflik yang terjadi belakangan ini bersifat berkepanjangan (protracted), yang secara terus-menerus masuk dalam kekerasan yang seringkali menunjukkan model yang bertolakbelakang dengan model fase konflik bell-shaped yang selama ini dipahami. Ketiga, konflik yang berkepanjangan (protracted) ini menghancurkan masyarakat, ekonomi, dan w ilayah dimana ia berlangsung dan menciptakan kondisi darurat yang kompleks yang dipicu oleh perjuangan lokal di satu sisi serta faktor global seperti perdagangan senjata dan dukungan bagi rejim atau bagi oposisinya dari negara asing di sisi yang lain.
3
M enurut Edward Azar, konflik yan g berkepanjangan atau “protracted social conflict” adalah konflik panjang yang kadang menggunakan kekerasan, yang dilakukan oleh kelompok komunal untuk memperjuangkan kebutuhan dasar seperti keamanan, pengakuan dan penerimaan, akses yang adil pada institusi politik dan partisipasi ekonomi.
4
1
M .Deutsch, P.T.Coleman & E .C.M arcus (eds.), The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, Jossey Bass, San Fransisco, 2000 dalam D .J.D. Sandole, S. Byrne, I.S. Starostem & J. Senehi, Handbook of Conflict Analysis and Resolution , Routledge, London & New York, 2009, p. 4. 2 Deutsch, Coleman & M arcus. 3 H.M iall, Conflict Transformation: A M ulti -Dimensional Task, Berghof Research Cente r for Constructive C onflict M anagement, August 2004, p. 3. 4 E. Azar, „The Analysis and M anagement of Protracted Socia l Conflict ‟,dalam Volkan, et.al. The Psychodynamics of International Relationship, vol.2, D.C. Health, Lexington, 1991 – sebagaimana dikutip dalam M .I.Gawerc, „Peace-Building: Theoretical and Concrete Perspectives‟, Peace & Change, vol. 31, no.4, October 2006, p. 436.
1
Konflik ini seringkali terjadi antara kelompok komunal dan negara, atau ketika di sebuah negara,
kelompok
kekuasaannya
etnis
atau
agama
untuk mendiskriminasi
yang
memegang
kekuasaan
menggunakan
kelompok lain. John Burton
menggunakan
terminologi “deep roote d conflict” untuk merujuk kepada konflik yang berbasis pada kebutuhan manusia yang non-negotiable seperti identitas, pengakuan, dan keamanan. D i sini identitas kelompok akan
digunakan
untuk mencari semua cara guna memenuhi
kebutuhan mereka. Konflik seper ti ini menurut Burton tidak dapat ditekan, ditahan atau diselesaikan dalam waktu pendek melalui kekuatan koersif atau bahkan melalui 5
kesepakatan dan negosiasi. Benjamin Gidron, S tanley Kantz, dan Yeheskel Hasenfeld menggunakan terminologi
“intractable
con flict”
yang menurut mereka
memiliki
karakteristik berkepanjangan, berlangsung terus-menerus, penuh kekerasan, sulit untuk diselesaikan, zero-sum, berfokus pada hidupnya identitas kelompok, dan bersifat total, yaitubahwa konflik ini terkait erat dengan kebutuhan dan nilai dasar bagi keberlangsungan hidup kelompok.
6
Konflik di Irlandia Utara adalah salah satu yang tergolong konflik yang sulit diselesaikan (intractable). Konflik etnis yang meletus pada tahun 1968 dan secara resmi dianggap sudah berakhir pada tahun 1998 dengan disepakatinya Perjanjian Belfast, dikenal dengan sebutan “The Troubles”, sebuah periode konflik yang sangat panjang dan melibatkan kekerasan, pemberontakan, terorisme dan tindakan-tindakan balasannya. Konflik dipicu oleh perjuangan hak sipil kelompok Nasionalis Katolik di Irlandia Utara yang menuntut perlakuan yang adil, yang kemudian mendapatkan perlawanan koersif dari 7
pemerintah unionis Protestan. Dominasi kaum Protestan di Irlandia Utara memunculkan diskriminasi bagi kaum Katolik dan tuntutan perlakuan yang adil berujung pada isu inti dari konflik ini, yaitu haruskah Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Inggris sebagai wilayah unionis atau menjadi bagian utara dari Irlandia bersatu, sebagaimana yang diinginkan oleh kaum nasionalis Katolik. Walaupun dogma agama, kemerdekaan beribadah dan isu agama lain tidak menjadi isu yang diperselisihkan dalam konflik Irlandia Utara, namun konflik ini tetap memiliki dimensi agama dan budaya yang memiliki kesamaan dengan sejarah konflik antara negara -negara di Eropa.
5
Gawerc, p. 436. Gawerc, p. 438. 7 A. Oberschall, Conflict and Peace Building in Divided Society: Responces to Ethnic Conflict, Routledge, London & New York, 2007, p. 157. 6
2
Konflik
ini
menghasilkan
tiga
peristiwa
kekerasan
besar
yang
berusaha
diselesaikan dengan tiga upaya inisiasi perdamaian. U paya perdamaian pertama dilakukan pada tahun 1973 di Sunningdale, sementara upaya kedua menghasilkan Anglo-Irish Agreement (AIA) pada tahun 1985. Kedua upaya gagal ketika kedua pihak yang berkonflik kemudian menolak untuk bekerjasama. Upaya berikutnya adalah N orthern Ireland Peace Agreement yang dicapai di Belfast pada 10 April 1998 yang secara resmi mengakhiri 8
konflik panjang tersebut. Perjanjian ini dikenal juga dengan Perjanjian Belfast atau Good Friday Agreement. M eski demikian, konflik-konflik kecil masih terus berlangsung. Selama periode 1969-2001 jumlah korban yang jatuh dalam konflik ini mencapai 3.500 orang. Juga terdapat kelompok-kelompok paramiliter yang masih aktif sampai sekarang, antara lain RIRA (Real Irish Republican Army) dan CIRA (Continuity Irish Republican Army). M enurut data tahun 2001, segregasi di Belfast justru meningkat sejak 1994. Dua pertiga populasi Irlandia Utara tinggal di area yang 90% Katolik atau 90% Protestan.
9
Upaya
perdamaian terakhir adalah melalui St. Andrews Agreement pada 2007. Namun, perjanjian ini pun tidak serta-merta mengakhiri kekerasan jalanan di Irlandia Utara. Konflik Irlandia U tara memenuhi semua kriteria konflik yang sulit diselesaikan (intractable). Konflik ini berlangsung lama, penuh kekerasan, dan terkait dengan identitas kelompok yang menuntut kebutuhan dan nilai dasarnya untuk melangsungkan hidup. Perjanjian perdamaian dicapai berulang kali, namun selalu gagal dengan munculnya kembali konflik kekerasan dan masih tersegregasinya masyarakat. Upaya perdamaian bukan saja diinisiasi oleh negara atau pemerintah, dalam hal ini pemerintah Inggris dan Irlandia, namun juga melalui jalur diplomasi ke-dua (second track diplomacy). Terdapat sekitar 4.000 N on-Governmental Organization (NGO) yang bergerak dalam isu-isu sosial dan pemberdayaan masyarakat terkait konflik Irlandia Utara, termasuk kelompok-kelom pok perempuan, namun kebanyakan berbasis sektarian, tidak banyak yang bergerak di level lintas pihak.
10
Secara formal, keterlibatan perempuan dalam proses
perdamaian di Irlandia Utara diinisiasi oleh Northern Ireland Women’s Coalition (NIWC), satu-satunya partai politik di dunia ini yang didirikan oleh perempuan dengan perwakilan yang dipilih. NIWC dibentuk pada tahun 1996 setelah Northern Ireland Women’s
8
Oberschall, p.159. Oberschall, p.182. 10 M . Fitzdull,„W omen and W ar in Northern Ireland -A Slow Growth To Powe r‟, South Asian Journal of Peacebuilding, vol.3, no. 1, Spring 2010, p. 3. 9
3
European Platform (NIWEP) beberapa kali gagal dalam
upayanya memasukkan
perempuan ke dalam All Party Talks untuk menentukan masa depan Irlandia Utara. NICW dibentuk dengan berfokus pada inklusi, persamaan dan hak asasi manusia. Pada tahun 1996, NICW masuk dalam 10 partai terbesar dan mendapatkan dua kursi di parlemen.
11
Keberhasilan NIWC ini kemudian mengawali peran perempuan dalam proses perdamaian formal di Irlandia U tara. Pada pemilu 1998 pasca Belfast Agreement, 14 dari 108 kursi dewan diduduki oleh wanita. Keterlibatan NIWC menunjukkan sejarah panjang perjuangan perempuan dalam proses perdamaian secara umum di Irlandia dan secara khusus dalam konteks formal. Selama bertahun-tahun dengan dukungan Northern Ireland Women’s European Platform , NIWC berusaha untuk melobi partai politik untuk memasukkan perempuan dalam daftar kandidat mereka, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, organisasi ini menginisasi terbentuknya partai perempuan sendiri untuk berkompetisi dalam pemilu. Upaya ini tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok perempuan, di mana sebagian dari mereka merasa bahwa membentuk koalisi bicom munal adalah hal yang sulit, karena akan membutuhkan banyak kompromi.
12
Terminologi bicommunal merujuk pada
sistem politik dimana terdapat dua kelompok komunal yang mendominasi sedikitnya 80 % populasi, masing-masing memiliki jumlah populasi yang tidak seimbang, sehingga membentuk kelompok mayoritas dan minoritas. Sistem bicommunal ditandai dengan perbedaan dan segregasi.
13
M asyarakat seperti inilah yang terbentuk di Irlandia Utara
antara kaum U nionis dan Nasionalis melalui konflik mereka yang sulit diselesaikan (intractable). Oleh karena itu, tidak mudah menemukan titik kompromi antara keduanya untuk membentuk koalisi perempuan lintas komunitas dan mendorong upaya perdamaian Irlandia Utara melalui partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Terbentuknya NIWC adalah puncak keberhasilan aktivisme perempu an dalam proses perdamaian di Irlandia Utara. Partai ini adalah partai lintas komunitas (lintas agama) dengan laki-laki dan perempuan sebagai anggotanya. NICW menyatukan perempuan dari
11
M . Besancon, W omen in the Northern Ireland Peace Process: A Novel Use of Expected Utility in Bridging the Gap Between The Quantitative Scholars and The Policy Pundits, Boston Consortium on Gender, Security and Human Rights, W orking Paper N o. 101, 2002 -2003, p. 3, http://gende randsecurity.umb.edu/M arie.pdf, diakses pada 19 April 2014. 12 K. Fearon, Northern Ireland W omen’s Coalition: Institutionalizing a Political Voice and Ensuring Representation,http://www.cr.org/sites/files/Accord% 2013_16N orthe rn% 20Ireland% 20women% 27s% 20coal ition_2002_ENG.pdf, diakses pada 19 April 2014. 13 D.E. Schmitt, „Bicommunalism in Northern Irreland ‟,Publius,vol. 18, no.2, Spring 1988, p. 33.
4
berbagai identitas nasionalisme dan agama, juga latar belakang politik dan aktivisme. M enarik untuk melihat bagaimana aktivis perempuan berperan dalam proses perdamaian informal di Irlandia Utara sebelum kemudian berhasil memperjuangkan peran perempuan dalam proses perdamaian formal. Peneliti akan melihat peran aktivisme per empuan ini dari konteks transformasi konflik yang sulit diselesaikan ( intractable).Pendekatan transformasi konflik memfokuskan pada transformasi konflik bersenjata yang deep-rooted atau intractable dan protracted. Terminologi „transformasi konflik‟ menggantikan „resolusi konflik‟ karena pendekatan ini melihat kebutuhan untuk menyelesaikan dilema antara manajemen konflik jangka pendek dan bagaimana membangun hubungan jangka panjang, sekaligus melakukan resolusi atas penyebab konflik. Pendekatan ini menekanka n pada bagaimana membangun infrastruktur jangka panjang bagi proses peacebuilding dengan memberikan dukungan pada potensi masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi.
14
Dalam
hal ini potensi masyarakat yang dilihat adalah aktivisme perempuan. Rentang waktu yang akan difokuskan di sini adalah selama masa “ The Troubles” (1968-1998) sampai dengan ditandatanganinya Perjanjian St. Andrews pada tahun 2007 untuk mendapatkan gambaran tentang konflik yang sulit diselesaikan (intractable) dan proses transformasi.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian berikut: Bagaimana aktivisme perempuan berperan dalam transformasi konflik Irlandia Utara antara tahun 1968-2007 yang sulit diselesaikan (intractable) ?
C. Tinjauan Pustaka Dalam risalahnya yang berjudul „The Participation of Women in Peace Process, The Other Tables‟, M aria Arino berusaha melihat partisipasi perempuan dalam proses 15
perdamaian. Dengan menggunakan studi kasus Sri Lanka dan Irlandia Utara, Arino berusaha menjawab beberapa pertanyaan: A pa saja keterlibatan perempuan dalam gerakan perdamaian dan proses peace-building? Apa partisipasi perempuan dalam proses
14
T. Paffenholz, „Unde rstanding Peacebuilding Theory: M anagement, Resolution and Transformation‟, New Routes, A Journal of Peace Research and Action , vol. 14, no. 2, 2009, p. 4. 15 M .V. Arino, The Participation of W omen in Peace Process, The Other Tables, ICIP W orking Papers, No. 5, 2010, http://www20.gencat/cat.doc/icip/Continguts/Pub lication/W orkingPapers/A rxius/W P10_5_ANG.pdf, diakses pada 18 April 2014.
5
perdamaian? Apa implikasi peran perempuan tersebut dalam memperbaiki proses perdamaian? Arino menemukan bahwa walaupun aktivisme damai dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, gerakan perdamaian senantiasa dilihat sebagai gerakan sosial yang mengalami feminisasi.
16
Perempuan secara tradisional selalu dilihat sebagai korban dalam perang. Baru setelah tahun 1990-an, perhatian pada perempuan dalam perang m ulai beralih dengan temuan bahwa ternyata perempuan sanggup memainkan peran yang berbeda dalam konflik bersenjata atau perang. Perempuan di banyak negara mulai mengorganisir diri mereka untuk melawan perang karena mereka kehilangan keluarga, berbicara tentang hak asasi manusia yang dilanggar selama konflik dan menuntut pihak -pihak yang berkonflik untuk melakukan perundingan damai guna mengakhiri konflik. Perempuan juga mulai memobilisasi kelompok-kelompok untuk melakukan tuntutan-tuntutan tersebut. Di Sri Lanka, perempuan yang berpartisipasi dalam kelompok -kelompok selama masa perundingan damai tahun 2003 berhasil menge laborasikan agenda bersama sebagai basis perundingan. Agenda ini dimulai dengan pengakuan adanya efek kehancuran yang diakibatkan oleh konflik. Gerakan perempuan di Sri Lanka juga mengorganisir misi internasional bersama aktivis perdamaian internasional ya ng mendorong rekomendasi agar perempuan dilibatkan dalam proses perdamaian. Sementara itu, di Irlandia Utara perempuan mendorong didirikannya partai politik agar bisa mendapatkan perwakilan yang cukup di parlemen dan mengambil bagian dalam proses perdamaia n. Arino kemudian menyimpulkan bahwa proses perdamaian, sebagaimana perang, adalah proses yang gendered, yang sangat dipengaruhi oleh kekuatandan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial, baik di ruang publik maupun privat. Arino juga mel ihat bahwa peran perempuan dalam
perdamaian sangat penting sehingga melibatkan
perempuan dalam proses perdamaian adalah keharusan. Kesimpulan lain dari risalah Arino adalah bahwa konsep gender adalah penting dalam proses perdamaian dan harus menjadi tuntunan dalam proses perdamaian.
17
Penelitian lain yang berbicara tentang peran perempuan dalam proses perdamaian dilakukan Ann Jordan. Dalam artikel jurnal yang berjudul „W omen and Conflict Transformation: Influences, Roles, and Experiences‟, yang diangkat dari penelitian H idden Voices: W orking T owards a Culture of Peace , Jordan ingin menemukan apa yang 16 17
Arino, p.22. Arino, p.43-45.
6
mempengaruhi dan mendorong serta bagaimana perempuan berperan aktif dalam proses proses peace-building. Dengan menggunakan testimoni oral, yang diprioritaskan pa da testim oni perempuan, Jordan mengeksplorasi proses-proses transformasi dalam upaya penyelesaian konflik, seperti mediasi, advokasi, pendidikan, self-help, musik dan kesenian, rekonsiliasi, spriritualitas, story-telling dan bridge-building. Fokus dalam penelitian Jordan adalah peran perempuan dalam proses perdamaian yang transformasional.
18
Jordan mewawancarai 22 orang, 14 diantaranya perempuan yang menarasikan 20 cerita yang berbeda. Semua perempuan yang menjadi partisipan bekerja dengan kapasitas yang berbeda dalam proses-proses peace-building. Separuh dari partisipan berbasis di Inggris, tetapi bekerja secara internasional, sedangkan selebihnya di Israel, A ustralia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Irlandia, dengan latar belakang etnis yang beragam pula.M enariknya, Jordan menemukan bahwa perempuan tidak selalu bekerja dengan sesama perempuan dalam
proses-proses perdamaian. Peran perempuan dalam proses-
proses perdamaian dapat dikategorikan dalam empat kategori:(1) Supportive: enabling, assisting, fac ilitating, supporting, accompanying, and building up; (2) Directive: organising, training, managing, advising, and providing resources and information; (3) Networking: promoting, liaising, disseminating, publishing, and influencing ; serta (4) Representing: acquiring the roles of ambassadors and advocates.
19
Dalam penelitian Jordan muncul empat tema besar yang mewarnai peran perempuan dalam proses peace-building yang transformatif. Keempat tema besar itu adalah: 1. Hubungan dan K omunikasi Semua partisipan perem puan yang diwawancari menyebutkan pentingnya bekerja secara kolaboratif dan dengan semangat solidaritas dengan pihak lain. Nilai yang ditekankan disini adalahrasa percaya, penerimaan, niat baik, rasa hormat, saling memaafkan, kasih sayang dan rasa hum or. 2. Pendekatan dan M etode dalam M encapai Sustainable Peace Aktivis perempuan dalam penelitian ini melihat bahwa perdamaian adalah proses kreatif,
oleh
karenanya
dibutuhkan
penekanan
pada
fleksibilitas,
kemampuan
18
A. Jordan, „W omen and Conflict Transformation: Influences, Roles and Experiences ‟, Development in Practice, vol. 13, no. 2 & 3, M ay 2003, p. 239. 19 Jordan, p. 242.
7
beradaptasi dan pikiran yang terbuka. Dengan meng gunakan pendekatan “prosesstruktur” yang ditawarkan Lederach, contoh metode yang digunakan adalah: a. Pendekatan Kreatif : menggunakan media musik dan kesenian; b. Rekonstruksi dan Pembangunan M asyarakat : melibatkan komunitas lokal dalam membangun program -program perdamaian sehingga program yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan komunitas yang disasar; c. Pendidikan dan Pelatihan : program -program pelatihan diadakan bukan untuk menyangkal konflik, tapi bagaimana bekerja dengan konflik dengan cara yang nir-kekerasan dan netral, serta bagaimana merespon perbedaan dengan benar agar tidak terjebak dalam konflik; d. Pertukaran Informasi dan Solidaritas : sebisa mungkin menekankan pada prinsip non-interference dan hanya sebatas membantu membuatkan skema bagaimana terlibat dalam upaya-upaya resolusi konflik. 3. Ras dan Budaya Faktor utama dalam tema ini adalah kesadaran, sensitivitas, dan kepantasan bekerja dalam batasan lintas budaya. Hal ini terkait dengan pemahaman yang cukup mengenai isu etnis dan ras, dengan kerangka budaya dan kebutuhan masing -masing ras dan budaya terakomodasi dalam program -program yang dibangun. Tiga aspek utama yang harus dipahami dalam hal ini adalah bahasa, perilaku, dan jembatan budaya. 4. Isu Gender Dalam penelitian ini, sejumlah partisipan menekankan adanya interseksi antara ras dan gender. Diskriminasi bukan saja dialami oleh perempuan dari komunitas tertentu, tetapi juga oleh mereka sendiri sebagai pekerja peace-building.
20
Literatur lain yang ditinjau dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Lee Smithey yang berjudul Unionist, L oyalist, and Conflict Transformation on Northern Ireland. Buku ini membahas tentang transformasi konflik di Irlandia U tara dengan lebih dulu menjelaskan bagaimana identitas etnopolitik terbentuk di Irlandia U tara antara kelompok-kelom pok Unionis dan Loyalis dengan menggunakan sejumlah data survei. Dijelaskan bahwa sejak akhir abad ke-18 dan terutama pada masa “The Troubles” antara 1968 sampai dengan 1998, Irlandia Utara menjadi masyarakat yang sangat terpisah ( deeply 20
Jordan, p. 243.
8
divided society) dimana kaum Protestan dan Katolik secara terus-menerus ditarik ulur dalam ruang publik dan kultural yang tersegregasi. Bahkan setelah Belfast Agreement tahun 1998, Irlandia Utara tetap menjadi masyarakat yang secara signifikan terpisah dan kekerasan masih dihadapi oleh komunitas-komunitas di dalamnya sehingga mempengaruhi semua aspek hidup mereka. Pemukiman mereka masih terpisah selama 20 tahun sehingga dalam satu pemukiman berisi lebih dari 90% Protestan atau 90% Katolik. Sebanyak 95% anak-anak masih bersekolah di sekolah terpisah yang menunjukkan pilihan etnopolitis para orang tua di Irlandia U tara.
21
Pada bagian selanjutnya dalam buku ini dijelaskan bagaimana
transformasi konflik melibatkan perubahan cara konflik ini diselesaikan. Proses politik perdamaian telah mengkonstruksi sebuah arena dimana bahkan pihak-pihak yang paling militan sekalipun bisa melihat bagaimana kepentingan utama mereka dapat tercapai melalui proses-proses perundingan. Buku Smithey kemudian menjelaskan bagaimana identitas politik diekspresikan melalui simbol-sim bol dan ritual dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang dihubungkan dengan tradisi seperti mural, parade, dan lain sebagainya. Baik U nionis maupun Loyalis melakukan modifikasi atas sim bol-simbol dan ritual mereka, yang menunjukkan kerangka transformasi identitas kolektif. Walaupun modifikasi ini tidak datang sendiri dari kedua komunitas, tapi hal ini menunjukkan terjadinya transformasi. Ranah politik telah mendesak baik kelompok U nionis maupun dan Loyalis untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka atas yang lainnya.
22
Penulis akan menggunakan karya Arino dan Jordan untuk mendapatkan wawasan mengenai peran perempuan dalam proses perdamaian. Penelitian Arino berkontribusi untuk membantu melihat kembali bagaimana posisi perempuan dalam konflik dan perdamaian secara umum. Perempuan dalam konflik tidak lagi dilihat sebagai korban, namun memiliki peran yang signifikan dalam proses perdamaian. Sementara itu, tulisan Jordan membantu penulis untuk secara khusus melihat bagaimana peran perempuan dalam transformasi konflik. Penelitian ini menggunakan metodologi yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis dengan obyek yang berbeda pula. Jordan menggunakan metodologi feminis dengan melibatkan langsung sejumlah partisipan yang diwawancari untuk mendapatkan informasi m engenai peran mereka sebagai perempuan dalam 21
L.A. Smithey, Unionist, Loyalist, & Conflict Transformation in Northern Ireland, Oxford University Press, New York, 2011, p. 9-15. 22 Smithey, p. 23.
9
transformasi konflik melalui tema-tema besar yang muncul selama penelitian. Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis melihat bagaimana peran aktivisme perempuan dalam transformasi konflik Irlandia Utara. Buku Smithey membantu penulis untuk melihat konteks identitas politik dalam
transformasi konflik di Irlandia Utara. Smithey
menggunakan pendekatan konstruktivis untuk melihat bagaimana proses perdamaian panjang telah mendorong baik pihak U nionis maupun dan Loy alis mengubah simbolsimbol dalam ritual-ritual yang biasa mereka gunakan untuk mengekspresikan identitas politik sampai dengan posisi mereka satu sama lain. Sejalan dengan itu, penulis akan melihat bagaimana aktivisme perempuan melakukan transformasi atas konteks, struktur, aktor, isu dan personal dalam konflik.
D. Kerangka Konseptual 1.
Aktivisme Perempuan dalam Proses Perdamaian
Dalam situasi konflik, perempuan seringkali harus membuat keputusan kritis mengenai bagaimana ia memilih tipe keterlibatan dalam konflik. M enurut M aud Eduards, “all human beings, by nature, have the capacity to initiate change, to commit oneself to a certain transformative course of action, independently of historical circum tances. ”
23
Dilihat dari pernyataan ini, maka setiap manusia akan menginginkan untuk menggunakan kapasitas untuk berubah dengan berbagai cara untuk menjadi agen daripada hanya menjadi korban atau pasif . Apabila memiliki kesempatan, maka manusia akan berusaha untuk mempengaruhi keadaan sebisa mungkin daripada hanya berdiam diri dan menjadi korban dari perubahan. M enurut Joyce Kaufman dan Kristen Williams, perempuan bisa memilih tiga bentuk aktivisme dalam konflik:
a. Pelaku kekerasan langsung (Women as belligerents). Alasan perempuan untuk terlibat dalam konflik dalam bentuk partisipasi melakukan kekerasan kurang lebih sama dengan alasan perempuan ikut terlibat dalam konflik dalam bentuk mendu kung perdamaian.
Ketika perempuan m ulai ikut aktif
23
J.P. Kaufman & K.P. W illiams, W omen and W ar: Gender Identity and Activism in Times of Conflict, Kumarian Press, Sterling, VA, 2010, p. 64.
10
dalam upaya perdamaian, pada sisi yang lain perempuan juga ikut aktif dalam aktivisme yang mengarah pada kekerasan, seperti melakukan bom bunuh diri, menyembunyikan dan menyalurkan senjata, atau sekedar m elakukan aktivitas mata-mata, sebagai upaya untuk memberikan dampak bagi konflik. Pilihan perempuan ini tidak bisa ditentukan motivasinya, karena hal ini terkait dengan pilihan personal. Bisa jadi pilihan itu terkait dengan upaya balas dendam karena kehila ngan keluarga dalam konflik atau sebagai upaya perempuan membuat lingkungan masyarakat mereka menjadi tempat yang lebih baik bagi anak-anak atau perempuan yang lain. Selain pada pilihan personal, pilihan perempuan untuk terlibat dalam konflik kekerasan juga bisa dikarenakan akses mereka pada proses politik formal terhambat. Ditambah lagi dengan rendahnya pendidikan yang membuat mereka memiliki pilihan yang terbatas, memilih jalan kekerasan daripada jalan damai. Hal lain yang membuat perempuan memilih terlibat dalam konflik kekerasan adalah keinginan mereka untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan laki-laki. Ini menjadi justifikasi bagi perempuan untuk memperoleh peran agen mereka dalam konflik. b. Membangun jejaring selam a konflik berlangsung (W o men’s networking during conflict).
Dalam konflik, perempuan – terutama di level akar rumput – juga bisa memilih peran mengembangkan jejaring. Hal ini dilakukan perempuan untuk mempengaruhi pemerintah atau anggota masyarakat lain, bahkan sampai pada masyarakat di luar negara mereka untuk mem bantu dan melakukan intervensi dalam penyelesaian konflik. Dalam konteks ini, perempuan akan bekerja bersama, membentuk jejaring yang pada akhirnya akan mengarah pada aksi politik, termasuk melakukan resolusi konflik, walaupun hal ini bukan tujuan awal gerakan mereka. Tujuan perempuan dengan pilihan ini tidak selalu bersifat politis, tetapi cenderung untuk menyelesaikan masalah bersama yang muncul selama konflik berlangsung dengan cara berbagi pengalaman. Tujuan mereka bukan saja memotivasi dan memobilisasi diri, tapi juga bekerjasama untuk menyelesaikan perbedaan yang mungkin menyebabkan terpecahnya masyarakat. Aktitivisme
perempuan
dalam
pilihan
ini
terkait
dengan
bagaimana
mengidentifikasi dan mengatasi konsekuensi yang dihasilkan dari rasa tidak aman ya ng mendasar, seperti kurangnya pendidikan, jaminan kesehatan, ketersediaan air bersih dan
11
ketakutan akan kekerasan, yang sebetulnya didasarkan pada bagaimana mereka harus mendapatkan jaminan atas keamanan mereka sendiri dan orang -orang yang bergantung pada mereka. Ketika situasi konflik membawa dampak langsung kepada perempuan, perempuan kemudian bisa memanfaatkan jaringan yang mereka bentuk untuk melakukan mobilisasi politik guna memberikan tekanan pada struktur politik yang ada. c. Accidental activist. Pilihan yang ketiga ini biasanya dipilih karena keadaan memaksa yang dialami perempuan. Ketika
para
pemimpin
laki-laki
tidak lagi bisa
memperjuangkan
kepentingan kelom pok, misalnya karena ditangkap atau dieksekusi, perempuan terpaksa melakukan aktivisme karena adanya ketidakadilan sosial. Perempuan yang tadinya tidak melihat diri mereka dalam konteks politik kemudian terpaksa menjadi agen perubahan. Aktivisme inilah yang kemudian memberdayakan mereka untuk berhadapan dengan sistem politik yang lebih luas.
24
2. Konflik Yang Sulit D iselesaikan (Intractable) Konflik yang sulit diselesaikan (intractable) menurut Daniel Bar-Tal dan Yigal Rosen biasanya merujuk kepada konflik yang berlangsung lebih dari 25 tahun dan tujuannya dipandang sebagai tujuan existential, penuh dengan kekerasan, sulit untuk diselesaikan, memiliki sifat zero-sum, dan melibatkan anggota masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. M asing-masing pihak yang bertikai berinvestasi dalam konflik tersebut dalam jumlah yang sangat besar pula.
25
Salah satu alasan yang membuat konflik jenis ini
terus berlangsung adalah karena ia melibatkan budaya konflik yang didominasi oleh keyakinan sosial atau memori kolektif, etos atas konflik, dan orientasi emosi kolektif. M emori kolektif atas konflik merepresentasikan sejarah konflik yang diingat oleh anggota masyarakat. Etos konflik menunjukkan orientasi dominan masyarakat yang terlibat dalam konflik yang memberi makna pada kehidupan sosial pada saat konflik dan mengarahkan tujuan masa depan masyarakat. Latar belakang ini sangat berpengaruh terhadap kebutuhan sosial dalam konflik sehingga memberikan justifikasi posisi masyarakat dalam konflik dan memberikan gambaran sebagai korban konflik.
24
Kaufman, p.69. D. Bar Tal & Y. Rosen, „Peace Education in Societies Involved in Intractable Conflicts: Direct and Indirect M odel‟,Review of Educational Research, vol. 79, no. 2, June 2009, p. 562. 25
12
M enurut Gavriel Salomon, konflik yang sulit diselesaikan (intractable) memiliki lima karakteristik: a. Stubborn: masing-masing pihak yang bertikai menolak untuk mencapai kesepakatan. Bagi mereka, kompromi dan damai lebih mahal harganya karena ini berkaitan dengan sense of unity, tujuan, moral dan kejayaan mereka; b. Violent: konflik ini melibatkan kekerasan langsung yang dilakukan dan dialami oleh masing-masing anggota masyarakat yang bertikai; c. Central and total: konflik ini menjadi pusat kehidupan sosial, berada dalam pikiran semua orang yang bertikaisertamempengaruhi semua tindakan dan aspek kehidupan masyarakat; d. Total devotion and involvement: konflik ini membutuhkan keterlibatan total dari masyarakat yang mempengaruhi visi kelompok dan berakibat pada terbatasnya logika dan cara pandang masyarakat tersebut; dan e. Strong em otions: konflik ini melibatkan emosi yang sangat kuat, mulai dari perasaan takut sampai perasaan marah, dari perasaan uncertainty sampai collective selfconfidence, dan dari rasa bangga sampai rasa benci.
26
Apabila meminjam model yang ditawarkan Edward Azar dengan protracted social conflict-nya, konflik yang berkepanjangan (protracted) muncul dari konteks sejarah dan dari penyangkalan atas kebutuhan akses, identitas dan keamanan yang diikuti dengan peran yang dimainkan oleh negara, politik internasional, serta h ubungan ekonomi dan militer dalam politik. Apabila negara dan kelompok komunal memilih untuk menggunakan kekerasan dalam strategi mereka, maka konflik akan menjadi destruktif. Konflik yang destruktif ini kemudian menghasilkan pola pembangunan yang lebih tergan tung dan eksploitatif, yang merusak pola tata kelola (governance) dan munculnya militerisasi politik. Hal ini akan mendorong penyangkalan lebih jauh terhadap kebutuhan dasar. Hasilnya adalah siklus berkepanjangan dari deformasi institusi dan konflik yang m akin destruktif.
27
26
G. Salomon, Does Peace Education M ake a Difference in the Context of an Intractable Conflict? , Paper presented at the conference on “Peace Education Around the W orld”,International Expert M eeting on Theory and Practice of Peace Education,9 -11 February 2004, Feldafing, Germany, p. 3. 27 M iall, p. 5.
13
3. Transformasi Konflik M enurut D ictionary of Conflict Resolution, definisi Transformasi Konflik memfokuskan pada “perubahan karakteristik konflik dan oleh karenanya transformasi konflik dilihat sebagai sebuah metode untuk mendorong perubahan dalam hubungan antar kelompok yang berkonflik melalui peningkatan
m utual understanding.
28
Dengan
menggunakan definisi ini maka transformasi konlfik dihubungkan dengan perubahan sistem dan peacebuilding. Sementara itu, menurut Encyclopedia of Conflict Resolution, setidaknya terdapat tiga cara bagaimana teorisi dan praktisi mengguna kan terminologi Transformasi Konflik. Pertam a, Transformasi Konflik menggambarkan perubahan fundamental
dalam hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik dan perubahan dalam
bagaimana pihak-pihak ini mengakui aspirasi etnis dan nasionalisme satu sama lain . Kedua, Transformasi Konflik dilihat sebagai restrukturisasi institusi sosial sekaligus juga redistribusi power dari high-power group menjadi low power group. Cara pandang ini didasarkan pada bagaimana masyarakat dilihat mengalami transformasi ketika perubahan sosial dan politik yang fundamental
t erjadi
dilakukan untuk memperbaiki
ketidakadilan sehingga semua masyarakat dapat memenuhi kebutuhan fundamentalnya. Ketiga, Transformasi K onflik merujuk pada perubahan individu, dimana transformasi dirancang untuk
mengubah kesadaran dan karakter dari manusianya.
29
M erujuk pada
definisi-definisi diatas, maka Transformasi Konflik dilihat sebagai upaya yang bukan saja ditujukan untuk menghilangkan sumber dan penyebab situasi yang menyebabkan konflik, tapi juga melakukan perubahan atas sikap dan hubungan antar pihak -pihak yang berkonflik. M enurut Raimo Vayrynen, teori konflik yang berbasis pada ide transformasi menekankan pentingnya melihat bagaimana dinamika konflik itu terbentuk: “The bulk of conflict theory regards the issues, actors and interests as given and on that basis makes efforts to find a solution to mitigate or eliminate contradictions between them.Yet the issues, actors and interests
28
D. Yarn, Dictionary of Conflict Resolution, Jossey-Bass Publisher, San Fransisco 1999, p. 121 sebagaimana dikutip dalam J. Botes, „Conflict Transformation : A Debate Ove r Se mantics or A Crucial Shift in The Theory and Practice of Peace and Coflic t Studies ? , International Journal of Peace Studies , vo. 8, no. 2 (Autumn/W inter 2003), p. 3 29 H. Burgess & G. Burgess, Encyclopedia of Conflict Resolution, ABC -CLIO Inc, Santa Barbara, CA, 1997, p. 258-259 sebagaimana dikutip dalam J Botes, p. 3
14
change over time as a consequence of the social, economic and political 30 dynamics of societies.”
Dengan demikian, maka diperoleh pemahaman mengenai kapan dan bagaimana transformasi konflik berlangsung. Pendekatan Vayrynen mencakup identifikasi perlunya melakukan transformasi pada empat area, yaitu (1) transformasi aktor, terkait dengan perubahan internal pihak-pihak yang bersengketa atau munculnya aktor-aktor baru; (2) transformasi isu, terkait dengan agenda isu konflik , yang intinya mengubah konflik apa yang sebetulnya sedang terjadi; (3) transformasi aturan, terkait dengan perubahan norma dan aturan yang dipegang oleh aktor-aktor dalam konflik dalam interaksinya satu sama lain dan apa yang menentukan batas hubungan mereka ; serta (4) transformasi struktural, terkait dengan perubahan yang m ungkin terjadi dalam sistem atau struktur dimana konflik itu terjadi, dimana hal ini lebih dari sekedar perubahan dalam aktor, isu atau peran aktor dalam konflik. . Sedangkan Edward Azar menawarkan model transformasi pada area -area berikut yang memiliki hubungan berkelanjutan : transformasi konteks, transformasi kebutuhan, transformasi kapasitas, transformasi aktor, dan transformasi sifat konflik.
31
Dengan mengelaborasi pemikiran Vayrynen dan Azar, M iall menawarkan model transformasi konflik pada lima area:
32
a. Transformasi Konteks, merujuk kepada perubahan konteks konflik yang secara radikal bisa mengubah persepsi dan motif masing-masing pihak yang bertikai tentang dan atas situasi konfliknya; b. Transformasi Struktural, merujuk kepada perubahan stuktur dasar dari konflik, yaitu setting aktor, isu, ketidaksesuaian tujuan dengan hubungan, setting masyarakat, atau kondisi sosial ekonomi yang melekat pada konflik; c. Transformasi Aktor, meliputi kebijakan yang dibuat untuk mengubah tujuan atau mengubah pendekatan umum mereka terhadap konflik, yang mencakup kebijakan mencapai perdamaian dan menginisiasi perdamaian d. Transformasi Isu, terkait dengan reformulasi posisi yang diambil pihak -pihak yang bertikai pada isu-isu kunci dari konflik dan juga bagaimana pihak-pihak ini membingkai ulang posisi mereka dalam rangka mencapai resolusi; dan 30
R.Vayrynen (ed), „To Settle or to Transform? Pe rspectives on th e Resolution of National and International Conflict ‟,.New Directions in Conflict Theory Conflict Resolution and Conflic t Transformation , London, Sage, 1991,pp.1-25 – sebagaimana dikutip dalam M iall, p. 5. 31 M iall,p.6. 32 M iall,p. 10
15
e. Transformasi Personal, yang merujuk kepada bagaimana pemimpin atau kelompok mengubah perspektif, keinginan dan atau kecenderungankonsiliasi mereka. 4.
Operasionalisasi K onsep: Peran Aktivisme Perempuan dalam Transformasi Konflik Irlandia Utara Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana peran aktivisme perempuan dalam
transformasi konflik Irlandia Utara dari tiga pilihan peran perempuan dalam situasi konflik. Penelitian ini akan berfokus baik pada proses konflik maupun proses perdamaian, maka peran perempuan yang akan dilihat adalah pada ketiga pilihan peran yang, yaitu sebagai pelaku kekerasan langsung (belligerents), yang mengembangkan jejaring selama konflik dan sebagai accidental activist. Dari ketiga pilihan ini, akan dilihat bagaimana perempuan dapat melakukan transformasi konflik di Irlandia U tara dalam konteks lima bentuk transformasi konflik,yaitu transformasi-transformasi konteks, struktural, aktor, isu dan personal.
E. Argumen Utama Dalam konflik Irlandia Utara yang sulit diselesaikan ( intractable), perempuan berperan langsung dalam melakukan kekerasn ( belligerents), membentuk jejaring dan menjadi accidental activist untuk mempengaruhi proses perdamaian. Tiga jenis aktivisme ini mengantarkan pada transformasi konteks, struktur, aktor, isu dan personal, yang kesemuanya berpengaruh dalam menentukan arah perkembangan konflik tersebut.
F.
Sistematika Penulisan
Tesis ini akan terdiri atas lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan menggambarkan konflik di Irlandia Utara dan berbagai upaya perdamaian untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh negara secara formal. Selanjutnya, di Bab Ketiga penulis akan m enguraikan tentang perempuan dalam konflik dan upaya perdamaian di Irlandia U tara. Dalam bab ini secara khusus akan ditunjukkan bagaimana perempuan menjadi korban dalam konflik, yang kemudian menjadi pendorong bagi upaya -upaya inisiasi perdamaian yang dilakukan oleh perempuan di Irlandia U tara. Bab Keempat, sebagai inti dari tesis ini, akan menganalisis peran perempuan dalam proses perdamaian di
16
Irlandia Utara dengan menggunakan konsep transformasi konflik. Sebagai penutup, Bab Kelima akan memberikan kesim pulan dan inferens yang diperoleh dari hasil penelitian.
17