BAB I DESENTRALISASI MENJADI PENYEBAB KONFLIK PUSAT - DAERAH
Konflik Adalah Bagian Dari Kehidupan Alamiah Yang Dialami Manusia (T Glaser).
A. Latar Belakang PNPM Mandiri Perkotaan (MP) merupakan program nasional pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan Pemerintah sejak 2007, dimana sebelumnya pada tahun 1999 program ini dikenal dengan nama P2KP (Program Penanggulangan
Kemiskinan
di
Perkotaan).
P2KP
dilaksanakan
untuk
mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan, yang bersifat reaktif terhadap keadaan darurat akibat krisis ekonomi serta strategis bagi perkembangan masyarakat masa mendatang. Ditjen Cipta Karya sebagai lembaga negara, bertanggungjawab atas PNPM MP, untuk mengarahkan Pemerintah Daerah agar makin responsif dalam menanggulangi kemiskinan. Selain itu dilakukan pula pendampingan secara intensif terhadap masyarakat, agar mampu berupaya menanggulangi kemiskinan di wilayahnya, sehingga diharapkan Pemerintah Daerah menjadi mandiri, dan menciptakan masyarakat madani. Munculnya program PNPM MP disebabkan karena tingginya volume kemiskinan di Indonesia. Masih banyak daerah-daerah yang masyarakatnya belum
1
mampu memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan lain sebagainya. Contoh krisis ekonomi pun terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Sehingga kemudian terciptalah Reformasi dengan melahirkan produk UU No. 22 tahun 1999, dan mengalami pergantian dengan UU No. 32 tahun 2004, yang membahas tentang Pemerintah Daerah atau lebih dikenal dengan otonomi daerah.1 Dimana kedua undang-undang menyiratkan adanya keleluasaan Pemerintah Daerah dalam mengelola daerah dari sistem pemerintahan yang sentralistis menuju desentralisasi. Terkait kemiskinan, tidak luput menjadi permasalahan daerah di Indonesia, yang mengharuskan untuk segera ditangani oleh Pemerintah Daerah. Dalam keleluasaan Pemerintah Daerah (Pemda) mengelola daerah, terciptalah hubungan pemerintah pusat - daerah, dengan berbagai pembagian kekuasaan dan kewenangan, keuangan, serta ada kontrol atas program, oleh Pemerintah Pusat. Hubungan pemerintah pusat - daerah bersifat partnership, ini yang kemudian menguntungkan keduanya terutama dalam hal pembangunan. Hubungan pemerintah pusat dengan daerah yang partnership merupakan salah satu proses untuk perkembangan suatu wilayah (daerah). Pemerintah daerah mempunyai tugas serta tanggungjawab untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakatnya. Begitu juga dengan pemerintah pusat, yang harus menjadikan daerah-daerah di Indonesia menjadi semakin maju mengikuti perkembangan dunia modern. Mewujudkan perkembangan daerah ini dilakukan dengan cara pemberian program yang bersifat mandiri dan pemberdayaan, supaya masyarakat dan 1
Irtanto. DINAMIKA POLITIK LOKAL ERA OTONOMI DAERAH (Konflik Elit Politik Lokal dalam Proses Pilkada Kabupaten Banyuwangi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hal 1.
2
pemerintah menjalin komunikasi dan kerjasama untuk kemajuan daerah. Namun, dalam proses pewujudan perkembangan tersebut, ada kemungkinan memunculkan konflik dari berbagai kalangan, misalnya antara masyarakat dengan masyarakat, pemerintah dengan pemerintah, atau masyarakat dengan pemerintah. Program yang dipilih oleh pemerintah untuk mewujudkan perkembangan daerah ini menggunakan program PNPM MP. Dimana, program ini merupakan program penanggulangan kemiskinan. Dalam pelaksanaan program tersebut, terdapat banyak konflik yang muncul, misalnya saja daerah Surakarta. Penyebabnya adalah terjadi penolakan PNPM MP oleh Pemkot Surakarta, dengan alasan sudah terdapat program penanggulangan kemiskinan di Kota atas kebijakan Pemkot Surakarta. Penolakan PNPM MP di Surakarta terjadi saat kepala daerah/Walikota dijabat oleh Joko Widodo dengan wakil walikota Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo. Namun, kalimat penolakan justru disampaikan langsung oleh wakil walikota FX Hadi Rudyatmo dan bukan langsung dari Walikota. Sikap dan tindakan secara sepihak, oleh Pemerintah Pusat dalam memberikan program penanggulangan kemiskinan kepada daerah pun menjadi alasan penolakan berikutnya.2 Penolakan PNPM MP mengejutkan beberapa pihak terutama pemerintah pusat. Sampai pada akhirnya Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut angkat bicara atas sikap penolakan Pemkot Surakarta, yakni “Membantu rakyat, menolong rakyat, ditolak. Saya tidak habis pikir, Mengapa ditolak? Jelaskan pada saya, jelaskan pada rakyat dari kabupaten yang bersangkutan,”
2
Solopos. Wawali: Hentikan PNPM!. Solo: sabtu, 22 November 2008
3
tegas Presiden SBY.3 Komentar tersebut disampaikan saat membuka Munas Kadin di Jakarta pada Minggu 21 Desember 2008. Keluarnya komentar terkesan bahwa SBY kurang berkenan atas penolakan yang disampaikan oleh Wakil Walikota Surakarta. Komentar tersebut memicu munculnya konflik antara lembaga pemerintahan (pusat - daerah), dan diikuti oleh masyarakat.4 Konflik (pusat - daerah) memanas akibat penolakan yang dilakukan Pemkot Surakarta. Lebih-lebih ketika komentar dari SBY muncul yang sebenarnya tidak hanya untuk Kota Surakarta, sebagai satu-satunya daerah yang melakukan penolakan. Namun, proses penolakan oleh Surakarta tidak berangsur lama, yang terjadi pada sekitar bulan Juli tahun 2008. Pada awal tahun 2009 pun mulai terjadi proses negosiasi untuk mencari solusi atas konflik pusat - daerah. Setelah itu, Pemkot memutuskan untuk menerima PNPM MP dengan berbagai tawaran yang disepakati oleh pusat - daerah. Pada akhirnya PNPM MP dilaksanakan di Surakarta sebagai salah satu program penanggulangan kemiskinan. Sehingga proses terjadinya konflik ini tidak berangsur lama, namun efek yang ditimbulkan sangat terasa lama dan dinamis. Konflik antar lembaga negara, kemudian menarik perhatian secara khusus peneliti untuk segera dikaji lebih dalam. Komentar yang disampaikan oleh SBY pun menjadi poin khusus atas ketertarikan tersebut. Sehingga kemudian terbesit pertanyaan di otak peneliti bahwa, sampai kapankah konflik ini berlangsung? Dan bagaimana kemudian kondisi hubungan antara lembaga pemerintahan (pusat-
3
Presiden pada Pembukaan Munas KADIN "Aneh, Ada Bupati Yang Menolak PNPM", dalamhttp://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/12/21/3850.html diunduh pada hari Rabu, Tanggal 23 Maret 2011, pukul 15.00 Wib. 4 Solopos. Kebijakan Tak Popular Picu Berbagai Konflik. Solo: Senin, 1 Desember 2008
4
daerah), apakah terjalin hubungan yang kooperatif ataukah tidak? Karena hubungan pusat - daerah diwajibkan untuk selalu menjalin koordinasi satu sama lain dan lebih kooperatif. Koordinasi dilakukan demi menjalin kerjasama “pembangunan” daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Itulah yang menjadi sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini juga terinspirasi dari penelitian sebelum-sebelumnya tentang konflik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Namun fokus dan lukusnya yang berbeda yakni mengenai ‘Konflik Pusat - Daerah Dalam Rekruitmen Elit Lokal (DIY PilGub 1998)’, dan Penelitian ini dilakukan sekitar tahun 2000. Selain itu, ada juga penelitian lain yang kasus dan pembahasannya tidak jauh berbeda yaitu Skripsi tentang “Pergulatan Politik Timah (Inkonsistensi Regulasi Pusat - Daerah Dan Kelemahan Kapasitas Pemerintah Daerah)”. Sehingga sangat penting agaknya untuk kemudian mengembangkan kajian hubungan pusat - daerah di daerah lain dengan fokus kasus yang berbeda.
B. Rumusan Masalah Mengacu pada pemaparan latar belakang dan permasalahan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian, guna menjadi pertanyaan besar dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Bagaimana konflik antara pemerintah pusat - pemerintah daerah dalam menjalankan program PNPM Mandiri Perkotaan di Surakarta/Solo pada tahun 2008-2009?
5
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan tema penelitian yang dipilih oleh penulis, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui seberapa besar peluang pemerintah daerah dalam menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah untuk pembangunan daerah dan inovasi dalam pengentasan kemiskinan daerah. Untuk memberikan gambaran lengkap mengenai setiap proses dan dinamika konflik yang terjadi antara pemerintah kota Surakarta dengan pemerintah pusat. Untuk mengetahui secara pasti penyebab terjadinya konflik antara pemerintah kota Surakarta dengan Pemerintah Pusat.
D. Kerangka Konseptual Penelitian ini menggunakan dua
konsep besar, untuk mempermudah
dalam pemahaman arah penelitian. Dua konsep tersebut adalah: Hubungan pusat dan daerah, dan Teori Konflik. Kerangka konseptual tersebut merupakan turunan dari rumusan masalah diatas, sehingga akan mempermudah dalam menjawab pertanyaan penelitian ini.
6
D. 1. Hubungan Pusat dan Daerah (Desentralisasi) Desentralisasi menjadi wacana favorit bagi penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Desentralisasi merupakan antithesis daripada sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi menjadi sebuah konsep dan panduan tersendiri bagi sistem pemerintahan dengan mengandung maksud dan semangat untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatif. Desentralisasi adalah pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintah yang lebih rendah (pemerintah lokal).5 Hal senada juga disampaikan oleh Rondinelli (1981) bahwa desentralisasi merupakan the transfer or delegation of legal and authority to plan, make decisions and manage public fungtions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public coparation, area wide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-govermental organization.6 Definisi tersebut menunjukkan bahwa ada upaya untuk menciptakan kemandirian dan kemampuan untuk independen bagi Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat harus rela melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit pemerintahan baru dan otonom. Pemerintah Pusat hanya bertugas memainkan peran pengawasan dan koordinasi.
5
Imawan, Riswanda. Desentralisasi, Demokrasi dan Pembentukan Good Governance dalam Jurnal Ilmu Politik No 18 (Konflik dan Kinerja Pemda). Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). 2002. Hal 4. 6 Khoirudin. Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia. Malang: Averroes Press. 2005. Hal 3.
7
Desentralisasi menjadi salah satu pilihan untuk mengantur hubungan kekuasaan dan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Setelah ada pengaturan kekuasaan tersebut, maka pengejawantahan dari desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Otonomi daerah merupakan kewenangan untuk membuat kebijakan (mengatur) berdasarkan perkara sendiri. Dengan begitu, masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu adalah sebagai pemilik dan subyek daripada otonomi daerah.7 Desentralisasi juga memberi peluang besar bagi masyarakat dan daerahdaerah yang berpotensi untuk maju. Sehingga ada beberapa alasan mengapa desentralisasi sebagai model penyelenggaaraan pemerintahan, yakni: 8 1. Desentralisasi
memungkinkan
pemerintah
lokal
untuk
membuat program-program dan rencana pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah dan masyarakatnya. 2. Desentralisasi yang berarti transfer kekuasaan dari pusat ke daerah, akan meningkatkan sensitifitas aparat pemerintah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. 3. Desentralisasi dapat mendorong peningkatan kapabilitas pemerintah dan institusi-institusi swasta (private) di tingkat lokal. Desentralisasi juga mendorong aparat lokal untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerialnya. 4. Struktur pemerintahan yang terdesentralisasi diperlukan untuk
melembagakan
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan dan pengelolaan pembangunan.
7
Hoessein, Bhenyamin. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam (Pasang-Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun). Jakarta: Institute For Local Development Yayasan Tifa. 2005. Hal 198. 8 Laporan Akhir Penataan Kelembagaan Perangkat Daerah Kota Yogyakarta. Kerjasama Pemerintah Koya Yogyakarta dengan Pasca Sarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM.Yogyakarta. 2004. Hal 4-5.
8
5. Desentralisasi juga memungkinkan menciptakan sistem administrasi yang lebih fleksibel, kreatif, dan inovatif. Riswanda Imawan (2002) mengutip Maddick dalam Demokrasi, Decentralization And Development bahwa ada dua bentuk pola dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi yakni secara administratif (dekonsentrasi) dan secara politis (devolusi). Kedua pola dijelaskan dalam undang-undang yang disahkan oleh Pemerintah. Pola tersebut menjadi kesepakatan pakar politik bahwa dianutnya desentraliasi adalah agar kebijakan Pemerintah dapat tepat sasaran dan sesuai dengan kondisi wilayah serta masyarakat setempat. Pada pola desentralisasi politis, dasarnya lebih menekankan pada partisipasi masyarakat, khususnya dalam tataran politis. Misalnya saja partisipasi dan keikutsertaan pemilihan umum kepala daerah. Ikut aktif dalam pemilihan kepala daerah sangat penting, mengingat agenda tersebut terhitung baru dalam perjalanan pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi. Serta, keaktifan dan partisipasi masyarakat akan membantu Pemerintah dalam mengelola daerah, misalnya dalam aspek kontrol kepala daerah beserta pemerintahannya. Nilai lebih bagi Indonesia apabila pola desentralisasi politik terlaksana dengan baik. Antara lain adalah:9 a. Bagi demokrasi dan stabilitas politik -
Pendidikan politik: menyediakan kesempatan lebih besar kepada anggota masyarakat untuk memilih dan dipilih.
9
Opcit,. Imawan. Hal 6.
9
-
Pelatihan kepemimpinan politik: memberikan pengalaman menjadi legislator dan eksekutor lokal sebelum beranjak ke tingkat nasional.
-
Stabilitas
politik:
pendidikan
masyarakat
lokal
untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab. b. Bagi pendewasaan masyarakat lokal -
Political equality: menambah kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan lokal.
-
Accountability:
meningkatkan tanggungjawab pemerintah
kepada masyarakat dengan terbukanya akses masyarakat kedalam proses politik. -
Responsiveness:
meningkatkan
kemampuan
pemerintah
untuk melayani keinginan masyarakat. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa pola politis sangat diperlukan dalam pelaksanaan pemerintahan serta menguntungkan bagi hubungan pusat dan daerah, sehingga mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Apabila terlaksana dengan baik maka artinya demokrasi sudah mulai berjalan sebagaimana mestinya. Karena desentralisasi dan otonomi daerah merupakan hasil perwujudan dari demokrasi. Pola administratif juga memberikan pengaruh besar dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam pola administratif, dijelaskan secara rinci bahwa ada hubungan dan pembagian tugas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah untuk daerah. Pembagiannya meliputi, hubungan kewenangan,
10
hubungan keuangan dan hubungan pengawasan.10 Ketiga pembagian disesuaikan dengan kebutuhan keseluruhan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hubungan kewenangan (urusan pemerintahan). Hubungan kewenangan dan/atau urusan pemerintahan merupakan
salah
satu
langkah
untuk
membantu
terwujudnya
desentralisasi.
Pembagian ini, memberikan keuntungan pemerintah dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya saling timbal balik mengingat banyaknya urusan wajib dan pilihan yang harus dijalankan dalam pemerintahan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ada dua kategori dalam pembagian urusan pemerintahan yakni, pertama adanya otonomi terbatas, yang mana daerah tidak mempunyai wewenang secara penuh dalam mengatur jalannya pemerintahan karena ada urusan-urusan rumah tangga yang diatur Pemerintah Pusat, dilakukan pengawasan sehingga menimbulkan ketidakmandirian dan membatasi ruang gerak dalam menentukan keuangan daerah. Kedua, otonomi terbuka adalah semua urusan pemerintah pada dasarnya sudah menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali beberapa poin pokok yang diatur dalam undang-undang. Daerah dituntut untuk mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat tanpa menanggalkan tujuannya menyejahterakan masyarakat. Pada hubungan kewenangan, menjadi tolok ukur bahwa Pemerintah Daerah mampu atau tidak mewujudkan masyarakat sejahtera. Namun 10
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII. 2002. Hal 26.
11
pembagian ini bersifat dinamis, sehingga suatu saat akan ada kemungkinan terjadi perubahan, sesuai dengan kebutuhan pemerintahan.
Hubungan Keuangan Hubungan keuangan atau lazimnya disebut dengan perimbangan
keuangan, merupakan suatu keharusan yang ada sebagai akibat dari perluasan tugas yang diberikan kepada Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan konsep desentralisasi dan daerah menjadi daerah otonom, maka diperlukan biaya cukup tinggi guna mendukung jalannya otonomi dan kemandirian daerah. Dana perimbangan adalah penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, dana perimbangan adalah subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada daerah.11
Dana
subsidi
digunakan
untuk
menopang
kehidupan
pemerintahan tiap daerah. Setiap daerah mempunyai sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan daerah. Sumber pendapatan paling pokok adalah yang tertuang dalam undang-undang12, antara lain: 1.
Pendapatan asli daerah (PAD), antara lain: o
11 12
Pajak daerah
o
Retribusi daerah
o
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
o
Lain-lain PAD yang sah.
Ibid. Hal 43. Undang-undang No. 33 Tahun 2004.
12
2.
Dana perimbangan terdiri atas: o
Dana Bagi Hasil
o
Dana Alokasi Umum; dan
o
Dana Alokasi Khusus.
Berdasarkan sumber keuangan diatas, setiap daerah diharuskan menyusun anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya (APBD). Penyusunan anggaran menentukan keberlangsungan hidup daerah. Besaran nominal dana subsidi oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan yang dikehendaki/dibutuhkan oleh daerah. Penyusunan anggaran dilakukan mulai dari awal tahun, melalui adanya rancangan anggaran terlebih dahulu. Rancangan
anggaran
disusun
berdasarkan
musyawarah
rencana
pembangunan (musrenbang) tingkatan paling bawah terlebih dahulu. Perimbangan keuangan merupakan penentu dalam terwujudnya kemandirian otonomi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi. Perimbangan, membantu mempertebal sumber lumbung keuangan daerah. Namun daerah diwajibkan mengatur sistem keuangan dengan benar, demi menstabilkan subsidi kesejahteraan daerah. Setiap daerah diharuskan mengedepankan sistem money follows function untuk mengatur sistem keuangan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat (kesejahteraan). Daerah
mempunyai
sumber
pendapatan
tersendiri
demi
mendukung subsidi pemerintah. Sumber-sumber keuangan dapat digali melalui pendapatan asli daerah (PAD), merupakan sumber pendapatan utama daerah. Pemanfaatan PAD harus mampu maksimal, sehingga
13
subsidi pemerintah tidak menjadi dasar pokok pendapatan daerah. Karena Pemerintah hanya sebatas “pendukung” pemenuhan kebutuhan daerah. Kebutuhan keuangan daerah, pada dasarnya tergantung tingkatan pelaksanaan desentralisasi di daerah. Semakin tinggi desentralisasi diterapkan pada daerah, maka semakin rendah subsidi pemerintah. Karena daerah dianggap mampu bertanggungjawab dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerahnya. Sebaliknya, apabila daerah rendah pelaksanaan desentralisasi. Secara terpaksa Pemerintah harus banyak membantu dalam subsidi keuangan untuk daerah tersebut.
Hubungan pengawasan Setelah pembagian kewenangan dan keuangan dalam desentralisasi
dan otonomi daerah, diperlukan pengawasan pemerintah kepada daerah. Hubungan pengawasan, tidak mengandung maksud memberi batasan kepada daerah dalam kemandiriannya. Melainkan menjaga keseimbangan antara desentralilasi dan sentralisasi. Pengawasan harus dilakukan oleh pemerintah terhadap hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Dalam pengawasan juga dibutuhkan hubungan harmonis antara pemerintah dengan daerah.13 Pada dasarnya Pemerintah Daerah tercipta karena dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Alasan itu cukup kuat untuk dilaksanakannya pengawasan terhadap daerah. Walaupun daerah sudah menjadi daerah otonom, tetapi daerah tidak dapat sepenuhnya bebas dari pengawasan 13
Riwu Kaho, Josep. Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Center for Politics and Government (PolGov). 2012. Hal 303.
14
Pemerintah
Pusat.
Kebijakan
yang
menyangkut
keuangan
dan
pembangunan daerah harus mendapat pengawasan pemerintah, itu akibat daripada daerah hanya sebagai subordinasi dari pemerintah pusat. Namun, dalam pengawasan,
sikap pemerintah
tidak boleh sampai pada
melemahkan desentraliasi dan otonomi yang sedang dibangun di daerah. Pengawasan pemerintah kepada daerah, umum dilaksanakan di berbagai negara, walaupun daerah memiliki otonomi cukup luas (Raul P. de Guzman and Arturo Pacho, 1975:47). Ada berbagai alasan diadakannya pengawasan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut:14 a) to maintain minimum standards in the performance of services by local authorities b) to maintain of standards of administration as well as coordinate administration between and among various levels of goverment c) to protect the citizens against the abuse of powers by local authorities d) to control local expenditures as part of the management and planning of the national economy e) to wield and integrate the diverse people into a nation. Pengawasan dijalankan, untuk menciptakan koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Harapannya pemerintah akan memberi arahan daerah untuk mengatur pemerintahan serta kebijakan ekonomi sosial politiknya. Arahan pemerintah tentunya tergantung dengan kondisi perekonomian, kemandirian masing-masing daerah, dan semuanya bertujuan supaya daerah semakin baik kedepannya. Desentralisasi dan pengawasan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pemerintahan. Apabila dalam pemerintahan terlalu 14
Ibid,. Hal 304.
15
pada posisi sentralisasi, maka desentralisasi lah yang menyeimbanginya. Sebaliknya, ketika pemerintahan terlalu pada titik desentralisasi, maka diperlukan pengawasan, supaya desentralisasinya tidak berlebihan.15 Dalam jurnal ilmu politik yang dituliskan Riswanda Imawan menegaskan bahwa, pola administratif mempunyai beberapa nilai, diantaranya: Menjaga integrasi
nasional,
menjaga
standar
minimum
pelayanan
nasional
dan
menyediakan prasarana minimal yang diperlukan masyarakat untuk beraktifitas dan mengembangkan diri secara nasional.16 Desentralisasi admistratif dan politis merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena desentralisasi membutuhkan kontrol dan pengawasan. Serta pewujudan adanya hubungan pemerintah dengan daerah yang baik dan koordinatif serta partisipatif dari masyarakat. Dengan saling melakukan pengawasan dan kontrol, maka akan tercipta chek and balances dalam tata kehidupan pemerintahan. Bertujuan untuk keselarasan dalam menyejahterakan masyarakat. Karena, peningkatan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial serta pelayanan publik menjadi kewajiban tersendiri bagi terlaksananya demokrasi dan desentralisasi. Bentuk hubungan dari desentralisasi diatas juga menjadi konsepkonsep dasar maupun praktik pelaksanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
15 16
Opcit,. Manan. Hal 153. Opcit,. Imawan. Hal 6.
16
D. 2. Konflik Dalam Hubungan Pusat - Daerah D.2.1 Apa itu Konflik? Secara harfiah, konflik berasal dari bahasa latin “conflictus” artinya pertentangan (pringgodigdo, 1973:687). Konflik juga didefinisikan oleh Albert F. Eldridge sebagai suatu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham dan kepentingan diantara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk non fisik, bisa pula berkadar rendah dengan menggunakan kekerasan (violence), bisa pula berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasam.17 Sedangkan menurut Tanya Glaser, mengungkapkan bahwa konflik adalah bagian dari kehidupan alamiah yang dialami manusia, terutama interaksi antar manusia yang dapat dikategorikan konstruktif maupun destruktif. Maksud dari konflik konstruktif adalah konflik yang menghasilkan resolusi positif bagi perubahan atau pembaruan relasi.18 Diungkapkan oleh Haryanto, terdapat dua tipe dalam konflik. Pertama, Konflik yang menggunakan kekerasan (violent). Merujuk kepada digunakannya cara-cara “non konvensional” oleh mereka yang terlibat dalam konflik seperti cara-cara demonstrasi, huru-hara ataupun tindakan kekerasan lainnya yang dipergunakan oleh mereka yang terlibat konflik-konflik dalam upaya memperoleh kemenangan. Kedua, konflik yang tidak menggunakan kekerasan (non violent). Menunjukkan digunakannya cara-cara konvensional dalam penyelesainnya.19
17
Salahuddin. dalam Setawar, Suatu Model Resolusi Konflik Masyarakat Adat Di Bengkulu Prof , Dr, Alo Liliweri. Prasangka dan konflik: Komunikasi lintas budaya masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS. 2005. Hal 290. 19 Haryanto. Elit, massa dan konflik. Yogyakarta: PAU - Studi sosial UGM. 1994. Hal 4. 18
17
Kedua tipe yang disebutkan diatas, tidak akan luput dari konflik bersifat politik. Artinya ada kalanya konflik politik menggukanan kekerasan, dan tidak menutup kemungkinan konflik politik tidak menggunakan kekerasan. Menurut Eric Hoffer, faktor “keinginan akan perubahan” dan “keinginan mendapat pengganti”, merupakan penyebab logis dari konflik politik - untuk membedakan dengan konflik sosial.20 Konflik politik, merupakan salah satu bentuk konflik sosial yang ada di masyarakat. Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konfllik sosial karena terjadi di anggota masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik politik, berkaitan dengan penguasaan politik atau keputusan politik yang dibuatnya. Sementara konflik sosial tidak melibatkan perbedaan pandangan terhadap penguasa dan keputusan politik. Masalah yang dipertentangkan adalah masalah sosial yang tidak ada kaitannya langsung dengan politik ataupun tidak berdampak terhadapnya. Namun, yang ada adalah perbedaan pandangan antar anggota masyarakat tentang masalah sosial - budaya, dimana kemudian menjadi sumber konflik sosial pada umumnya. Masalah yang dipertimbangkan dalam konflik sosial berada pada tingkatan societal, sedangkan konflik politik berasa pada tingkatan political.21 Dengan demikian, terdapat cara penyelesaian yang berbeda ketika konflik politik dan konflik
sosial
muncul
dipermukaan.
20
Urbaningrum, Anas. Ranjau-Ranjau Reformasi: Portret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999. Hal 8. 21 Ibid. Hal 9.
18
D.2.2 Konflik Vertikal dan Konflik Horizontal Pada dasarnya konflik politik disebabkan oleh dua hal, yaitu mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. Kemajemukan horizontal adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultur, dan majemuk secara sosial misalnya seperti petani, buruh, pegawai negeri sipil, militer, cendekiawan, dan dalam arti perbedaan karakteristik tempat tinggal seperti desa dan kota.22 Sedangkan kemajemukan vertikal, ditandai dengan adanya polarisasi struktur masyarakat menurut tingkat kekayaan, kekuasaan dan pendidikan. Konflik jenis ini (konflik vertikal) mampu terjadi tatkala distribusi ketiga sumber tersebut pincang alias tidak adil dan proporsional.23 Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat dikemukakan konflik terjadi jika ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh “titik kemarahan” pihak lain. Dengan kata lain, perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertikal dan horizontal merupakan kondisi yang harus ada (necessary condition) bagi timbulnya konflik, tetapi perbedaan kepentingan bukan kondisi yang memadai (sufficient condition) untuk menimbulkan konflik. 24 Di Indonesia, masyarakatnya terkomposisikan secara majemuk, maka potensi konflik akan lebih besar dan merupakan realitas yang harus disadari. Konflik antar kelompok/horizontal terjadi, tatkala ada satu sumber yang sama untuk diperebutkan. Konflik ini menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat 22
Surbakti, Ramlam. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia. 1992. Hal 115. Opcit,. Urbaningrum. Hal 11. 24 Opcit,. Ramlan Surbakti. Hal 152. 23
19
implikasi yang akan ditimbulkan, maupun kearah disintegrasi sosial serta dikhawatirkan menjadi penghambat demokratisasi dan penciptaan keadilan sosial. Namun tidak lalu kemudian konflik yang bersifat vertikal jarang terjadi dalam lingkungan sekitar. Konflik kemajemukan vertikal cenderung banyak karena menyangkut dengan terjadinya konflik politik. Dimana kekuasaan menjadi penyebab utama bagi munculnya konflik pada kemajemukan vertikal. Ketika kekuasaan yang menjadi salah satu penyebab konflik ini, maka dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi pada tataran pemerintahan dan politik.
D.2.3 Penyebab dan Sumber Konflik Dilihat dari adanya jenis konflik vertikal dan horizontal, penelitian ini dapat dikategorikan masuk dalam konflik vertikal. Dimana terjadi konflik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten (pemerintahPemkot Surakarta). Munculnya konflik adalah karena masing-masing dari aktor (pemerintah pusat - daerah) merasa mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam pengambilan keputusan politik. Ada keyakinan tersendiri dalam konflik vertikal ini disebabkan dari terjadinya konflik antar elemen tersebut. Adapun penyebabnya adalah:
Kemiskinan Masif di Daerah (Kota surakarta)
John Friedman berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena minimnya kesempatan dalam basis kekuasaan sosial yang meliputi sumber keuangan,
20
pengetahuan dan keterampilan, informasi dan lain sebagainya.25 Kemiskinan muncul karena berawal dari tingkat perekonomian yang rendah. Seperti yang di ungkapkan oleh J.W. Schoorl26 merujuk kepada teorinya Marx, bahwa pada dasarnya penyebab munculnya konflik ini adalah ingin terwujudnya suatu revolusi dalam kehidupan. Dimana akan menuntut peran ekonomi semakin besar untuk kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Sehingga kemudian kemiskinan menjadi salah satu permasalahan utama yang berimplikasi pada keseluruhan aspek kehidupan dan buruknya kualitas hidup manusia. Karenanya pemerintah daerah dan pemerintah wajib menyiapkan program penanggulangan kemiskinan. Bertujuan untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan secara bersamaan dan saling bersinergi, pada level nasional (pemerintah) maupun daerah. Pemerintah dan Daerah harus sama-sama mampu memobilisasi sumber daya dan otoritas secara seimbang. Agar program dan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dapat diberikan secara tepat sasaran kepada masyarakat, dan kemudian negara tidak merasa dirugikan oleh masyarakat yang tidak produktif (miskin). Dasar sebuah negara harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat, seperti isi dan tujuan dari undang-undang pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila sistem pemerintahan menggunakan pola 25
Nurhadi. Mengembangkan Jaminan Sosial, Mengentaskan Kemiskinan. Yogyakarta: Media Wacana. 2007. Hal 13-14. 26 Opcit,. Haryanto. Hal 53-54.
21
desentralisasi, namun keadaan masyarakat tidak terjadi perubahan dalam hal perekonomian dan kesejahteraan meningkat, maka dapat dikatakan sistem tersebut telah gagal dalam penerapannya. Kemiskinan menjadi penyebab konflik Pemerintah - Pemkot Surakarta adalah karena kemiskinan menjadi salah satu komoditi yang sangat menarik untuk diperebutkan. Komoditi ini menjadi kue lezat bagi pemerintah karena akan ada anggaran atau proyek dari kemiskinan tersebut, yang diperuntukkan daerah. Sehingga pemerintah akan semakin dikenal oleh masyakat melalui bantuan atau proyek tersebut. Sedangkan Daerah tidak luput memperebutkan kue kemiskinan, sebab Pemerintah Daerah akan mendapatkan proyek dari Pemerintah. Atau bahkan Daerah akan memutuskan sebuah kebijakan sendiri untuk memunculkan proyek atas nama kemiskinan. Kedua kondisi tersebut akan secara otomatis membuat Pemerintah memberi dana perimbangan dan tambahan subsidi untuk program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Konflik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kota Surakarta, merupakan situasi konflik menang-menang. Dimana kedua belah pihak menginginkan kemenangan atas kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. Masing-masing dari lembaga negara tersebut juga merasa sangat perlu untuk mempertahankan egoisme yang bertujuan mampu menyejahterakan rakyat. Bentuk konflik politik ini harus diselesaikan dalam proses politik antara pihak pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Pusat.
22
Permasalahan ekonomi di suatu daerah, sehingga menimbulkan konflik antar lembaga Negara tidak terlepas dari pola desentralisasi yang ada. Dimana menuntut lebih mandiri dan partisipatif dalam pembangunan daerah. Daerah pun menginginkan perkembangan yang pesat dalam pembangunan dan kemandirian serta inovasi khususnya khususnya bidang perekonomian. Namun, tidak mudah bagi Pemerintah Pusat melepaskan Daerah untuk berinovasi demi pertumbuhan, sehingga konflik antar lembaga Negara (pusat - daerah) yang kemudian muncul.
E. Definisi Konseptual E.1 Hubungan Pusat dan Daerah (Desentralisasi) Hubungan pemerintah pusat - daerah kemudian memberikan kebebasan dan keleluasaan untuk berotonomi, sehingga daerah mempunyai hak, wewenang dan kewajiban dalam mengatur, mengurus rumah tangganya sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan ketentuan desentralisasi yang dianut. Pola desentralisasi admistratif dan desentralisasi politik tidak bisa terpisahkan dalam pelaksanaan otonomi, keduanya memberi pengaruh besar bagi hubungan antar lembaga negara (pemerintah daerah - pemerintah pusat).
E.2 Konflik Dalam Hubungan Pusat - Daerah Konflik dipahami sebagai perbedaan persepsi kepentingan antara dua pihak atau lebih. Konflik muncul karena adanya gesekan kepentingan antara pihak Kota Surakarta dengan Pemerintah Pusat, masing-masing mempunyai tujuan untuk memperjuangkan kepentingannya. Perbedaan kepentingan dipicu oleh
23
adanya ketimpangan ekonomi, sehingga memutuskan keputusan politik atas kekuasaan di Kota Surakarta. Sehingga mengharuskan pemerintahan (pemerintahpemkot Surakarta) untuk berupaya lebih melakukan inovasi penanggulangan kemiskinan secara “tepat sasaran”.
F. Definisi Operasional F.1 Hubungan Pusat dan Daerah (Desentralisasi) Hubungan pusat - daerah, menunjukkan adanya pembagian kewenangan, keuangan dan pengawasan dari Pemerintah Pusat. Pembagian tersebut membuat daerah lebih leluasa dalam menjalankan pemerintahan dan menekan intervensi dari berbagai pihak (pemerintah pusat). Adapun indikator pendukung untuk melihat terjadinya hubungan pusat - daerah, antara lain adalah:
Melihat
seberapa
luasnya
pembagian
urusan
pemerintahan
(kewenangan, keuangan, pengawasan) kepada Pemerintah Daerah.
Melihat hubungan koordinatif antara Pemkot Surakarta dengan Pemerintah Pusat dalam pembangunan daerah.
Melihat seberapa luasnya pola desentralisasi mampu dijalankan dalam pemerintahan (pusat - daerah) secara sosial, ekonomi dan politik.
F.2 Konflik Dalam Hubungan Pusat - Daerah Konflik politik merupakan perbedaan pendapat antara pusat - daerah, hal ini mengenai penerapan program pengentasan kemiskinan (PNPM MP) di Surakarta. Berikut beberapa indikator untuk melihat terjadinya konflik tersebut:
24
Melihat perbedaan persepsi dalam penanggulangan kemiskinan daerah
Melihat sumber konflik ditataran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
Melihat strategi Pemerintah pusat dan Pemkot Surakarta dalam mempertahankan sumber konflik demi kepentingan masing-masing.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan anti-positivis dengan kualitatif khususnya Studi Kasus. Metode ini dipilih karena peneliti mengetahui sebab terjadinya konflik
antara lembaga pemerintahan dengan konteks
yang
melingkupinya. Ketajaman penelitian digunakan untuk mengupas realitas yang selama ini menjadi perdebatan kedua pihak. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi data-data yang temukan. Strategi penelitian, menggunakan metode studi kasus, yang Menurut Schramm, esensi studi kasus adalah “mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya” (Schramm, 1971, dalam Yin, 2003: 18). Oleh karenanya studi kasus mengkhususkan objek penelitiannya pada suatu hal yang unik, spesifik, dan menarik. Cerita kasus ini dapat fokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar. Tujuan penelitian, untuk mengetahui terjadinya konflik antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Pusat dalam penanggulangan kemiskinan
25
daerah, serta alasan pemerintah Surakarta dalam melakukan penolakan program PNPM Mandiri Perkotaan pada tahun 2008 silam. Analisis untuk memahami realitas tersebut dapat dilihat dari kepentingan dibalik aturan pembagian wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atas desentralisasi dan otonomi daerah. Proses penelitian dilakukan dengan cara meng-cross-check data untuk memeroleh gambaran jelas perihal realitas yang terjadi. Setelah itu analisis dilakukan untuk membaca data yang diperoleh di lapangan. G.2. Unit Analisis Data Penelitian difokuskan untuk melihat kiprah pelaksanaan Pemerintah Daerah khususnya pada pelaksanaan otonomi daerah dalam terjadinya penolakan Program PNPM Mandiri Perkotaan oleh pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2008. Sasaran yang dituju adalah aktor-aktor dalam pelaksana pemerintahan daerah dan pelaksana program penanggulangan kemiskinan dan PNPM Mandiri Perkotaan Kota Surakarta. Untuk dapat memperdalam realitas di Pemerintah Daerah Surakarta, peneliti melakukan interaksi dengan aktor pemerintahan yang terkait dalam penanggulangan kemiskinan (PNPM Mandiri Perkotaan), baik yang berada dalam tataran struktural maupun operasional. Peneliti juga meng-crosscheck sikap dan respon Pemerintah Pusat atas terjadinya penolakan Program PNPM Mandiri Perkotaan di Kota Surakarta dengan data sekunder. G.3. Jenis Sumber Data Dalam penelitian ini menggunakan dua macam sumber data, yakni data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara
26
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengakses beberapa surat kabar cetak maupun elektronik. Penggalian data lebih lanjut juga dilakukan dari beberapa arsip pelaksanaan otonomi daerah, penanggulangan kemiskinan dan Program PNPM Mandiri Perkotaan secara pustaka (studi pustaka). Tentunya semua dipilih dengan mengukur relevansinya atas informasi yang hendak dicapai. 1. Teknik Wawancara Wawancara dilakukan dengan indepth interview kepada semua informan dilengkapi daftar pertanyaan yang berfungsi sebagai pemandu jalannya wawancara. Hal itu juga dilakukan untuk menjaga konsistensi wawancara agar tetap fokus pada tujuan. Selain itu, wawancara juga dilengkapi dengan peralatan yang mendukung seperti recorder dan kamera. Penggunaan recorder hanya bila informan bersedia direkam pembicaraannya. Informan yang dapat diwawancarai selama pengambilan data adalah sebagai berikut: FX. Hadi Rudyatmo selaku walikota pada saat penolakan PNPM MP, Bagus Ardiyan yang sekarang ini menjabat sebagai koordinator PNPM MP kota Surakarta, serta tokoh-tokoh masyarakat dan beberapa ketua LKM PNPM MP. 2. Studi Pustaka Studi pustaka hanya dilakukan dengan mengkaji beberapa buku yang relevan untuk penelitian, seperti jurnal, arsip daerah, maupun media cetak dan elektronik. Hal ini dilakukan untuk memperkaya data-data lapangan. Selain itu untuk mempermudah proses dalam memperoleh validitas data.
27
G.4. Teknik Analisis Data Analisis data menjadi sebuah proses pengorganisasian data-data temuan lapangan agar menjadi sebuah data yang bermakna. Teknik penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif yang mensyaratkan perlunya menganalisis data dengan cara diinterpretasikan sesuai perspektif peneliti dan tujuan yang dilakukan. Proses peneliti menjawab rumusan pertanyaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data kemudian menganalisanya sehingga menghasilkan data yang bermanfaat dan solid.
H. Sistematika Bab Dalam sistematika Bab, penulis mencoba menggambarkan beberapa bab untuk menulis dan menjelaskan hasil penelitian. Sistematika bab juga menjadi patokan dan pembatas supaya tulisannya lebih fokus. Bab pertama: Tidak jauh berbeda dengan penulisan karya ilmiah pada umumnya, yakni berisikan tentang pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka konseptual dan lain sebagainya. Bab ini bertujuan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan. Harapannya, pembaca lebih mudah mengetahui arah, maksud dan tujuan penulisan skripsi/penelitian ini. Bab kedua: menjelaskan tentang konsep hasil penelitian yakni melihat perkembangan kerangka konsep Hubungan Pemerintah pusat dengan pemerintah
28
daerah sebagai titik kunci perkembangan penelitian, serta kondisi secara sosial, karakteristik dan ekonomi masyarakat Surakarta. Bab ketiga: Sesuai dengan rumusan masalah, maka bab ini akan melihat kemunculan PNPM Mandiri Pekotaan (MP) di Surakarta sebagai program penanggulangan kemiskinan. Seberapa efektif dan relevan PNPM MP dijadikan program unggulan penanggulangan kemiskinan di daerah (Surakarta). Sehingga terjadi penolakan PNPM MP oleh Pemkot Surakarta dengan berbagai alasan atas kondisi sosial, politik masyarakat Surakarta, serta munculnya respon Pemerintah Pusat atas penolakan yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta. Bab keempat: Setelah bab tiga menjelaskan alasan penolakan oleh Pemerintah Kota Surakarta, pada bab keempat melihat dinamika Konflik antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Pusat atas penolakan PNPM Mandiri Perkotaan, sampai pada masing-masing menyiapkan strategi demi mempertahankan kepentingannya. Pada bab keempat juga dijelaskan terjadi proses negosiasi antara lembaga Negara (Pusat - Pemkot Surakarta), sehingga membuat Pemkot Surakarta mengambil keputusan untuk mengalah dan kemudian menerima PNPM MP dilaksanakan di Surakarta. Bab kelima: merupakan bab terakhir dari perjalanan penulisan hasil penelitian, berisi tentang kesimpulan dari kasus yang diteliti. Kesimpulan menjadi jawaban dari pokok permasalahan dalam penelitian.
29