ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Data 2.1.1. Definisi Data berasal dari kata datum yang dalam bahasa Inggris memiliki arti sesuatu yang diketahui atau dianggap, atau dalam arti lain adalah materi atau kumpulan fakta. Data menggambarkan sebuah representasi fakta yang tersusun secara terstruktur, dengan kata lain bahwa “Generally, data represent a structured codification of single primary entities, as well as of transactions involving two or more primary entities .” (Vercellis, 2009) Dalam penelitian kuantitatif, data merupakan komponen yang sangat penting. Sebab data merupakan bahan baku yang akan diolah untuk memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi dalam penelitian. (Usman 2013) 2.1.2. Sumber data Jika dilihat dari mana data berasal, maka sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya atau tanpa perantara. Adapun data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.2. Data spasial 2.2.1. Pengertian Yang dimaksud dengan data spasial menurut LeSage (1999) adalah hasil pengukuran yang memuat adanya indikasi ketergantungan hasil observasi di suatu tempat (i) terhadap hasil observasi ditempat lain yang berbeda (j) yang mana i ≠ j. Hubungan ketergantungan hasil observasi di lokasi (i) terhadap hasil observasi di lokasi (j) dinyatakan dalam sebuah persamaan yi = f(yj), i = 1,……, n j ≠ i. Tobler dalam Lee & Wong 2001 menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (“everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”). 2.2.2. Tipe Data spasial Bivand, Pebesma and Gómez-Rubio (2008) didalam Viton 2010 menyatakan bahwa terdapat tiga tipe data spasial yaitu data titik, data geostatistik dan data area. Uraian dari ketiga tipe data spasial tersebut adalah sebagai berikut : a. Data Titik (Point Pattern Analysis) Menunjukkan lokasi yang berupa titik, misalnya berupa titik pada Longitude (garis bujur) dan latitude (garis lintang) atau titik koordinat dari nilai x dan nilai y tertentu. Pola titik muncul ketika variabel penting yang akan dianalisis adalah lokasi dari “even-even”.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
b. Data line (Geostatistical Data) Yang termasuk dalam data line adalah : 1. Continuous spatial surface 2. Geologi Data Geostatistik muncul pada awal 1980-an sebagai campuran disiplindisiplin teknik pertambangan, geologi, matematik, dan statistik. Kelebihannya dibandingkan pendekatan klasik untuk mengestimasi cadangan mineral adalah bahwa geostatistik mengenal variasi spasial baik pada skala besar maupun skala kecil, atau dalam bahasa statistik: mampu memodelkan baik kecenderungan spasial (spatial trends) maupun korelasi spasial (spatial correlation). Metodemetode trend-surface melibatkan hanya variasi skala-besar dengan asumsi galatgalat yang independen. c. Data area (Polygons or Lattice Data) Menunjukkan lokasi yang berupa luasan, seperti suatu negara, kabupaten, kota, dan sebagainya. Sebuah lattice dari lokasi-lokasi menggambarkan ide titiktitik yang tersebar merata dalam ruang terhubung ke tetangga terdekat, terdekat kedua, dan seterusnya. Bentuk lattice tersebut dapat beraturan (regular) maupun tidak beraturan (irregular) yang pergeseran relatifnya tidak mengikuti pola yang bisa diperkirakan dan hubungan-hubungannya tidak selalu berhubungan dengan bentuk geometrinya. Contoh: pixel yang disensor dalam penginderaan jauh.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.3. Spasial pattern (Pola spasial) Spatial pattern atau pola spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi (Lee dan Wong, 2001). Spatial pattern akan menjelaskan bagaimana fenomena geografis terdistribusi dan bagaimana perbandingannya dengan fenomena-fenomena lainnya. Sementara yang dimaksud dengan Spatial statistic merupakan alat yang banyak digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis spatial pattern tersebut, yaitu bagaimana objek-objek geografis terjadi dan berubah di suatu lokasi. Selain itu juga dapat membandingkan pola objek-objek tersebut dengan pola objek-objek yang ditemukan di lokasi lain. Bentuk-bentuk pola spasial dapat dikelompokkan menjadi : acak (random), seragam/merata (uniform), dan mengelompok (clustered). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.1 Bentuk-bentuk pola spasial Untuk menganalisis spatial pattern tersebut maka digunakan spatial statistics. Beberapa kelebihan dan keuntungan menggunakan spatial statistics antara lain bahwa spatial statistics mampu menggambarkan apa yang nampak secara visual pada peta yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah secara kualitatif
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
seperti bagaimana pola distribusi kejadian, apa yang mempengaruhi distribusi tersebut dan bagaimana arah perkembangan distribusi tersebut di masa yang akan datang. Beberapa spatial statistic yang digunakan untuk mendeteksi pola spasial (spatial pattern) menurut Lee dan Wong 2001 adalah sebagai berikut : a.
Quadran Analysis Quadran Analysis merupakan salah satu metode analisis pola spasial.
Metode ini mengevaluasi distribusi titik dengan meneliti bagaimana perbedaan kepadatan titik antar ruang. Kepadatan titik kemudian dibandingkan secara biasa dengan distribusi frekuensi teoritis dan dilihat apakah distribusi titik yang terbentuk memiliki pola acak, atau lebih cenderung mengumpul/clustered atau titik justru tersebar secara merata sehingga bisa dikatakan memiliki pola uniform. Konsep dan prosedur Quadran Analysis yang relatif mudah. Langkah pertama, daerah penelitian ditutupi dengan kotak persegi biasa (pada daerah penelitian dibuat kotak persegi dengan luas yang relative sama, kemudian titiktitik yang mewakili kejadian yang diamati ada di masing-masing kotak dihitung. Beberapa kotak akan bisa jadi tidak terisi titik sama sekali , sementara kotak lain akan terisi satu titik, dua titik, dan seterusnya. Kemudian distribusi frekuensi titik yang diamati tersebut dibandingkan dengan distribusi frekuensi pola yang diketahui seperti pola teoritis random/acak atau pola yang lain. Dari situ akan terlihat pola distribusi frekuensi titik yang diamati tersebut cenderung mirip dengan pola yang mana, apakah random, clustered atau uniform. b.
TESIS
Kernel Density Estimation (K means)
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Estimasi fungsi densitas adalah suatu gambaran tentang sebuah sebaran data. Estimasi fungsi densitas kernel merupakan salah satu metode non-parametrik untuk menduga fungsi kepadatan probabilitas dari suatu variabel acak. Kernel Density merupakan fungsi matematika yang kemudian dikembangkan dalam fungsi spasial untuk mengukur persebaran intensitas suatu titik dalam bidang/ruang dengan radius tertentu (Kloog et al, 2009). Kernel density estimation dalam perhitungan estimasinya menggunakan pendekatan non parametrik. Formula dasar estimasi kepadatan parametric adalah sebagai berikut :
Dimana : V : volume disekitar x, N : total sampel K : total sampel pada radius V Perhitungan kernel density akan menghasilkan persebaran kepadatan di sekitar fitur titik mauputn garis. Nilai kepadatan akan tinggi di sekitar titik atau garis. Semakin jauh dari titik atau garis referensi, nilai kepadatan akan semakin berkurang dan pada jarak tertentu akan mencapai titik 0. c.
Nearest Neighbour Distance Pola spasial juga dapat ditentukan melalui perhitungan Average Nearest
Neighbour (ANN). Lee dan Wong 2001, menyebutkan bahwa untuk menganalisis ANN digunakan statistik uji yang disebut denga R. R diambil dari istilah Randomness. R statistik kadang-kadang juga disebut sebagai R scale. R scale atau skala R adalah rasio antara rata-rata jarak antara masing-masing kejadian yang diobservasi dengan tetangga terdekatnya dan rata-rata jarak antara kejadian yang
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
diharapkan dengan tetangga terdekatnya. Skala R dapat dihitung menggunakan rumus:
dimana : R = skala R robs = rata-rata jarak antara masing-masing kejadian yang diobservasi dengan tetangga terdekatnya rexp = rata-rata jarak antara masing-masing kejadian yang diharapkan dengan tetangga terdekatnya di = jarak antara kejadian i dan kejadian tetangga terdekatnya i = 1,2,3,…..m m = jumlah kejadian A = luas daerah Untuk menyimpulkan pola spasial berdasarkan hasil perhitungan di atas adalah sebagai berikut; Jika R = 1 berarti kejadian berpola acak (random) Jika R < 1 berarti kejadian berkerumun (clustered) Jika R > 1 berarti kejadian menyebar (dispersed) Ketiga metode di atas digunakan hanya untuk menganalisis sebaran titik menurut lokasinya namun tidak membedakan titik berdasarkan atributnya. Untuk menganalisis pola spasial (spatial pattern) dari sebaran titik dengan membedakan lokasi dan atributnya, maka analisis yang digunakan adalah analisis autokorelasi spasial. 2.4. Autokorelasi spasial Autokorelasi spasial didefinisikan sebagai penilaian korelasi antar pengamatan/lokasi pada suatu variabel. Jika pengamatan x1, x2, …, xn menunjukkan saling ketergantungan terhadap ruang, maka data tersebut dikatakan terautokorelasi secara spasial. Menurut Lembo (2006) autokorelasi spasial adalah
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang (jarak, waktu dan wilayah). Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan (bertetangga). Lembo (2006) menyebutkan bahwa jika ada pola spasial yang sistematik dalam sebaran spasial suatu atribut, maka dapat dikatakan bahwa ada autokorelasi spasial dalam atribut tersebut. Jika di suatu daerah yang saling berdekatan memiliki nilai yang sangat mirip, hal tersebut menunjukkan adanya autokorelasi positif. Jika nilai di daerah yang saling berdekatan tidak mirip, hal tersebut menunjukkan bahwa adanya autokorelasi negative, sedangkan jika nilai tersebar secara acak maka hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial. Lebih formal, keberadaan autokorelasi spasial dapat dinyatakan oleh kondisi sebagai berikut : Cov(Yi, Yj) = E(YiYj) – E(Yi).E(Yj) ≠ 0
untuk i ≠ j
dimana yi dan yj adalah pengamatan pada variabel acak di lokasi i dan j dalam ruang, dan i, j dapat berupa titik (misalnya, lokasi toko, wilayah metropolitan, diukur sebagai lintang dan bujur) atau unit areal (misalnya, negara, kabupaten atau unit sensus) (Anselin dan Bera 1998). Beberapa metode untuk mengetahui adanya autokorelasi spasial adalah sebagai berikut (Lee dan Wong, 2001) : a.
TESIS
Moran’s I
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Ada dua indeks yang populer untuk mengukur autokorelasi spasial dalam distribusi titik yaitu: Rasio Geary (Geary’s C) dan Indek Moran (Moran’s I). Kedua indeks mengukur autokorelasi spasial untuk data atribut interval atau rasio. Moran’s I mengukur korelasi satu variable misalnya x (xi dan xj) dimana i≠j, i=1,2,…n, dan j=1,2,…n dengan banyak data sebesar n, maka formula dari Moran’s I adalah sebagaimana persamaan berikut ini (Lee dan Wong 2001): cij = (xi – x)( xj – x),
i = j = 1,2,…,n
dan Moran’s I dapat dihitung sebagai berikut :
Dimana s2 adalah varian pada sampel dan bisa dihitung sebagai berikut:
Sementara σ2 adalah varian pada populasi dan bisa dihitung sebagai berikut:
b.
Geary’s C Untuk menghitung koefisien dari geary digunakan rumus-rumus formula
sebagai berikut : cij = (xi - xj)2,
i = j = 1,2,…,n
Perbedaan nilai atribut untuk titik i dan titik j dihitung sebagai (x i - xj). hal ini berlaku untuk semua pasangan dari i dan j kemudian dikuadratkan sebelum kemudian dijumlahkan, sehingga dipastikan nilai perbedaan tersebut bernilai
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
positif. Sementara untuk menghitung Geary’s Ratio bisa digunakan persamaan sebagai berikut :
σ
σ
dimana σ2 adalah nilai varian dari atribut nilai x dengan rata-rata sebesar x atau sesuai persamaan berikut :
Untuk mengetahui pola spasialnya digunakan acuan pada tabel berikut ini : Tabel 2.1 Pola spasial berdasarkan Geary’s C dan Moran’s I Pola spasial
Geary’s C
Moran’s I
Cluster
0
I > E(I)
C~1
I ~= E(I)
1
I < E(I)
Acak Uniform
E(I) = (-1)/(n-1), dengan n menunjukkan jumlah titik dalam distribusi. Lee dan Wong 2001 c.
Local Indicator of Spatial Association (LISA) Kemampuan untuk visualisasi, pengambilan data yang cepat, dan
manipulasi dalam sistem informasi geografis ( GIS ) telah menciptakan kebutuhan akan teknik-teknik baru analisis data eksplorasi yang berfokus pada aspek "ruang" dari suatu data . Identifikasi pola autokorelasi spasial secara lokal merupakan masalah penting dalam hal ini. Artinya menemukan korelasi spasial pada setiap daerah. Untuk tujuan tersebut dapat digunakan Moran’s I. Berbeda dengan
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Moran’s I yang telah dijelaskan di atas, yang merupakan indikasi adanya autokorelasi global, Moran’s I pada LISA mengindikasikan autokorelasi lokal. Dalam hal ini LISA mengidentifikasi bagaimana hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan lain. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut (Lee dan Wong 2001) : Ii = zi ∑i wij zj zi dan zj pada persamaan diatas merupakan deviasi dari nilai rata-rata zi = (xi - x)/δ, dimana δ adalah nilai standar deviasi dari xi Pengujian terhadap parameter Ii dapat dilakukan sebagai berikut : Ho : tidak ada autokorelasi spasial,
IM = E(IM)
H1 : terdapat autokorelasi spasial,
IM ≠ E(IM)
Statistik uji :
Dengan Ii merupakan indeks LISA, Zhitung merupakan nilai statistik uji indeks LISA, E(Ii) merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan Var (Ii) merupakan nilai varians dari indeks LISA. E(Ii) = - wi/(n-1)
dimana :
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai Zhitung
terletak
pada│Zhitung│> Zα/2 d.
Moran’s Scatterplot Lee dan Wong 2001 menyatakan bahwa salah satu cara untuk
menginterpretasikan statistic Indeks Moran adalah Moran’s Scatterplot. Selain itu Moran’s Scatterplot juga merupakan alat untuk melihat hubungan antara “nilai pengamatan yang sudah distandarisasi” dengan “nilai pengamatan tetangga yang juga sudah distandarisasi”. Gambaran lengkap tentang hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
LH
HH
Kuadran II WZstd
Kuadran I
LL
HL
Kuadran III
Kuadran IV
Zstd Gambar 2.2. Moran’s Scatterplot Kuadran I disebut Hig-High(HH), menunjukkan daerah yang memiliki nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang memiliki nilai pengamatan
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tinggi. Kuadran II disebut Low-High (LH) menunjukkan daerah yang memiliki nilai pengamatan rendah dikelilingi daerah yang memiliki nilai pengamatan tinggi. Kuadran III disebut Low-Low (LL), menunjukkan bahwa daerah yang memiliki nilai pengamatan rendah dikelilingi oleh daerah yang memiliki nilai pengamatan rendah. Kuadran IV disebut High-Low (HL), menunjukkan bahwa daerah yang memiliki nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang memiliki nilai pengamatan rendah Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran I dan kuadran III akan cenderung memiliki nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster), sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran II dan IV akan cenderung memiliki nilai autokorelasi negative. 2.5. Matrik bobot Hubungan kedekatan (neighbouring) antar lokasi dinyatakan dalam matrik pembobot spasial W. a.
Matriks Bobot Tipe data spasial Point:
W=
Wij = 1 ketika i dan j adalah memiliki hubungan kedekatan (neighbouring) dan sebaliknya Wij = 0 ketika i dan j tidak memiliki hubungan kedekatan. b.
Matriks Bobot Tipe data Spasial Area (LeSage, 1999): Untuk tipe data spasial area (polygon) maka matriks pembobot bisa
ditentukan dengan beberapa metode antara lain sebagai berikut :
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1. Rook Contiguity (Persinggungan sisi) Persinggungan sisi mendefinisikan wij=1 untuk region yang bersisian (common side) dengan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya. 2. Queen Contiguity (Persinggungan sisi-sudut) Persinggungan sisi-sudut mendefinisikan wij=1 untuk entity yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya.
3. Linear Contiguity (Persinggungan tepi) Persinggungan tepi mendefinisikan wij=1 untuk region yang berada di tepi (edge) kiri maupun kanan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya. 4. Bhisop Contiguity (Persinggungan sudut) Persinggungan sudut mendefinisikan wij=1 untuk region yang titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan sudut region yang menjadi perhatian,wij=0 untuk region lainnya. 5. Double Linear Contiguity (Persinggungan dua tepi) Persinggungan dua tepi mendefinisikan wij=1 untuk dua entity yang berada di sisi (edge) kiri dan kanan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6. Double Rook Contiguity (Persinggungan dua sisi) Persinggungan dua sisi mendefinisikan wij=1 untuk dua entity di kiri, kanan, utara dan selatan region yang menjadi perhatian, wij=0 untuk region lainnya.
(4) (3)
(5)
(2) (1)
Sumber LeSage 1999 Gambar :2.3 Ilustrasi Contiguity Apabila digunakan metode queen contiguity maka diperoleh susunan matriks berukuran 5×5, sebagai berikut: Keterangan: Baris dan kolom menyatakan region yang ada pada peta.
W=
Catatan : bahwa matriks W adalah simetris, dan sesuai kesepakatan bahwa matriks selalu memiliki nilai 0 pada diagonal utamanya. Proses transformasi dilakukan untuk mendapatkan jumlah baris yang sama yaitu satu, sehingga matriks tersebut diatas menjadi sebagai berikut :
C= Sumber : LeSage 1999 2.6. Peta tematik
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Peta merupakan bahan dasar dalam analisis spasial, sebagaimana namanya yaitu analisa kewilayahan. Kegunaan peta dalam analisis spasial diantaranya adalah: a. Melihat kedekatan posisi antar wilayah, b. Menentukan pembobot spasial yang mencerminkan ketersinggungan antar wilayah. Hal menarik lainnya yang dapat dilakukan guna mendukung proses analisis spasial adalah pembuatan peta tematik. Peta tematik merupakan gambaran pengelompokan atau pengklasifikasian wilayah. Peta tematik tersebut tentunya dapat menggambarkan sesuatu dengan lebih baik bila disertai penjelasan (ringkas atau mendalam). Untuk itu diperlukan kemampuan atau pemahaman dari keilmuan lainnya, misal kesehatan dan kependudukan. 2.7. Pengujian efek spasial Hal yang khas dalam analisis spasial adalah hubungan antar wilayah. Dalam pemodelan regresi secara umum disyaratkan adanya uji asumsi residual, yang mana model regresi harus memenuhi kriteria identik, independen, berdistribusi normal Manurung (2007) dalam Bekti R.D dan Sutikno (2012). Pemodelan regresi klasik dengan Ordinary Least Square (OLS) sangat ketat terhadap beberapa asumsi. Apabila ada asumsi yang tidak terpenuhi, maka terdapat indikasi adanya pengaruh spasial Andra (2007) dalam Bekti R.D dan Sutikno (2012). Keterkaitan antar wilayah ini harus didukung secara substansial (materi/masalah yang dihadapi) dan secara matematis (melalui uji statistik).
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Keterkaitan antar wilayah yang dilihat adalah ketergantungan spasial (spatial dependence) dan keragaman spasial (spatial heterogienity) Sebagaimana Hukum Tobler bahwa setiap wilayah saling berhubungan, hubungan yang kuat berasal dari wilayah yang terdekat wilayah yang paling dekat dengan suatu wilayah adalah yang saling bersinggungan. a.
Spatial dependence (Ketergantungan spasial) Untuk mendeteksi adanya ketergantungan spasial maka dapat digunakan
uji statistik Langrange Multiplier (LM). Uji Lagrange Multiplier sering digunakan untuk menjadi dasar pemilihan model regresi spasial yang sesuai. Anselin (2010). Langkah-langkah untuk melakukan uji LM yaitu ; pertama dibuat model regresi sederhana melalui Ordinary Least Square (OLS). Kemudian dilakukan identifikasi keberadaan model spasial dengan menggunakan uji LM. LMerror adalah uji untuk mendeteksi dependensi spasial dalam error dan LMlag adalah uji untuk mendeteksi dependensi spasial dalam lag. Apabila LMlag signifikan maka model yang sesuai adalah SAR dan apabila LMerror signifikan maka model yang sesuai adalah SEM, apabila keduanya signifikan maka model yang sesuai adalah Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Dalam perkembangannya ternyata ditemukan masalah misspesification model dari hasil uji LM. Maka dapat dilakukan uji lanjut guna mendeteksi lebih spesifik dengan menggunakan Robust LM. Uji ini terdiri dari Robust LMerror dan Robust LMlag. Uji Robust Lagrange Multiplier juga dilakukan ketika keduanya signifikan. Hal yang membedakan antara model regresi umum dengan model regresi spasial adalah bahwa dalam model regresi spasial mempertimbangkan adanya
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dependensi antar lokasi (spatial dependence) sementara dalam model regresi umum tidak mempertimbangkannya. Untuk itu model spasial baru bisa dibentuk ketika minimal unit pengamatan pada variable respon saling berhubungan, atau galat antar lokasi saling berhubungan. Sehingga pengujian adanya dependensi spasial menjadi sangatlah penting untuk dilakukan. Salah satu statistic uji yang digunakan untuk menguji adanya dependensi spasial tersebut adalah uji Lagrange Multiplier (LM), karena jika pengujian terhadap dependensi spasial ini diabaikan maka yang dihasilkan adaah penduga yang tidak efisien dan kesimpulan yang diambil jadi tidak tepat. Statistik uji LM untuk model Spatial Autoregressive (SAR) dan Spatial Error Model (SEM) adalah sebagai berikut : SAR :
LMρ =
SEM :
LMλ = σ2 =
dimana, A = σ-2(W1Xβ)ʹM(W1Xβ) M = I-X(XʹX)-1 Xʹ T = tr[(W2ʹ + W2) W2] 2 Uji ini akan menolak H0 jika LM > χ (1) atau p value < α, artinya terdapat
pengaruh spasial, Matrik W1 adalah matrik pembobot, β adalah estimasi parameter dari model regresi OLS. Keduanya perlu dilakukan untuk mengetahui keberadaan pengaruh spasial. Kemudian dilakukan identifikasi keberadaan model spasial
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dengan menggunakan uji LM. Apabila LMerror signifikan maka model yang sesuai adalah SEM, dan apabila LMlag signifikan maka model yang sesuai adalah SAR. Apabila keduanya signifikan maka model yang sesuai adalah Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) b.
Spatial heterogenity (keragaman spasial) Heterogenitas Spasial terjadi akibat adanya perbedaan antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Pengujian heterogenitas Spasial menggunakan uji Breusch-Pagan. Anselin (2010) mengatakan bahwa hipotesis yang mendasari pengujian heterogenitas spasial menggunakan uji Breusch-Pagan adalah: H0 : σ12 = σ22 =….= σn2 = σ2 ,
i = 1,2,……n
H1 : minimal terdapat satu σi2 ≠ σ2 ,
i = 1,2,……n
Statistik Uji Breusch-Pagan adalah BP = Dengan vector f adalah
σ
2.8. Regresi spasial 2.8.1 Analisis regresi Regresi menurut Bekti R.D dan Sutikno (2012) adalah persamaan matematik yang menjelaskan hubungan variabel respon dan variabel prediktor. Dalam analisis regresi terdapat dua variabel, yaitu variabel respon dan variabel prediktor. Variabel respon disebut juga variabel dependen yang dipengaruhi oleh variabel lainnya, dinotasikan dengan Y. Variabel prediktor disebut dengan variabel independen yaitu variabel bebas yang dinotasikan degan X. Berdasarkan
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
hubungan-hubungan antar variabel bebas, regresi linear dibagi menjadi dua, yaitu analisis regresi sederhana dan analisis regresi berganda. a.
Analisis regresi sederhana Analisis regresi sederhana adalah analisis regresi yang menjelaskan
hubungan antara satu peubah respon dengan satu prediktor. Secara umum model regresi sederhana adalah : ,
b.
i = 1,2…..n dan j = 1,2,……k
Analisis regresi berganda Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang menjelaskan
hubungan antara peubah respon dengan lebih dari satu prediktor. Secara umum model regresi berganda adalah :
Keterangan : y i : variabel respon pada pengamatan ke-i (i = 1,2,…,n)
: konstanta 0 : koefisien regresi ke- j(j = 1,2,...,k) j
x ij : variabel prediktor ke- j pada pengamatan ke -i
: residual dengan asumsi identik, independen, dan berdisribusi Normal dengan mean nol dan varians σ2
n : banyaknya amatan atau lokasi (k+1)
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Dalam analisis regresi ada beberapa uji asumsi yang harus dipenuhi, yaitu uji asumsi residual, uji asumsi saling bebas (uji autokorelasi residual), uji asumsi normal (residual harus berdistribusi normal). Pemodelan klasik dengan Ordinary Least Square (OLS) sangat ketat terhadap beberapa asumsi. Jika ada asumsi yang tidak terpenuhi, maka terdapat indikasi adanya pengaruh spasial. Selain beberapa uji asumsi diatas, untuk regresi berganda juga dilakukan uji multikolinearitas. Multikolinearitas artinya ada korelasi yang kuat antara beberapa atau semua variabel prediktor. Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel prediktor. Cara mendeteksi adanya multikolinearitas adalah dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF) dari hasil analisis dengan R language. Apabila nilai VIF
lebih
kecil
daripada
10
maka
dapat
disimpulkan
tidak
terjadi
multikolinearitas (Ghozali, 2011). 2.8.2 Analisis regresi spasial Analisis regresi spasial memungkinkan bagi kita untuk memperhitungkan ketergantungan antara pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lain. Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu titik atau area di suatu wilayah tertentu. Yang diamati bisa pendapatan, pekerjaan, tingkat populasi dan lain sebagainya. Data sampel yang dikumpulkan di suatu daerah atau titik dalam ruang ternyata tidak independen, melainkan bergantung spasial, artinya pengamatan dari satu lokasi cenderung menunjukkan nilai-nilai mirip dengan pengamatan dari lokasi terdekat. (Lesage dan Pace, 2008)
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Ada sejumlah teori yang menjelaskan adanya ketergantungan antara beberapa pengamatan yang saling berdekatan. Sebagai contoh, Ertur dan Koch (2007) dalam James P Lesage (2008) menyatakan bahwa terdapat ketergantungan antara kondisi fisik wilayah, sumber daya manusia dan teknologi di suatu wilayah. Anselin (1988) Tobler mengemukan Hukum pertama tentang geografi, menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh.
2.9. Pemodelan Spasial Pemodelan spasial bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara variabel prediktor dan variabel respon dengan menggunakan pendekatan titik dan area. Secara umum model spasial dapat ditunjukkan dalam General Spatial Model sebagai berikut : Y = ρW1Y + Xβ + u u = λW2u + ε ε ~N(0,σ2) Dari General Spatial Model tersebut bisa dibentuk beberapa model sebagai berikut : a. Apabila ρ ≠ 0, λ = 0 maka persamaannya menjadi : Y= ρW1Y + Xβ + ε
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Model persamaan di atas disebut sebagai regresi Spatial Lag Model (SLM) atau biasa disebut sebagai Spatial Autoregressive Models (SAR) b. Apabila ρ = 0, λ ≠ 0 maka persamaannya menjadi : Y = Xβ + u, u = λW2u + ε Model persamaan di atas disebut juga sebagai regresi Spatial Error Model (SEM) c. Apabila ρ ≠ 0, λ ≠ 0 maka persamaannya menjadi : Y = ρW1Y + Xβ + u, u= λW2u + ε Model persamaan di atas disebut juga sebagai General Spatial Model atau disebut juga sebagai Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA)
2.9.1
Spatial Autoregressive Model (SAR) Menurut Anselin (1988), Model Spatial Autoregresive adalah model yang
mengkombinasikan model regresi sederhana dengan lag spasial pada variabel dependen dengan menggunakan data cross section. Model spasial autoregressive terbentuk apabila W2 = 0 dan λ = 0 , sehingga model ini mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel respon (Lee dan Yu, 2010). Model umum SAR ditunjukan oleh persamaan sebagai berikut :
ε ~ N (0, 2 I)
Model ini adalah pengembangan dari model autoregressive order pertama, dimana variabel respon selain dipengaruhi oleh lag variabel respon itu sendiri juga dipengaruhi oleh variabel prediktor. Proses autoregressive juga memiliki
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kesamaan dengan analisis deret waktu seperti pada model spasial autoregressive order pertama. Perkembangan dari model SAR itu sendiri adalah model SAC dan SARMA (LeSage, 2009: 32). Kelebihan dari model Spatial Aoutoregresive adalah model ini tepat digunakan untuk pola spasial dengan pendekatan area. Menurut Anselin (1988), Untuk mengetahui apakah model SAR ini konsisten, maka dikembangkan model estimasi parameter dengan maximum likelihood. Model maximum likelihood dapat digunakan pada spasial SAR, SEM, SDM, SAC. Rumus umum dari maximum likelihood adalah sebagai berikut:
Nilai awal untuk β tergantung pada parameter autoregressive ρ. Maka hasil estimasi untuk nilai β adalah sebagai berikut:
Sedangkan fungsi logaritma natural untuk mengestimasi adalah:
Selanjutnya estimasi parameter
didapatkan dengan optimalisasi sebagai
berikut :
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dengan :
dan σ 2.9.2 Spatial Durbin Models (SDM) Spatial Durbin Model (SDM) merupakan model khusus dari Spatial Autoregression
(SAR)
dengan
penambahan
spasial
lag
pada
variabel
bebas/variabel prediktornya (Lesage dan Pace 2009). Model ini dikembangkan karena
ketergantungan
spasial
tidak
hanya
terjadi
pada
variable
tergantung/variable respon tetapi juga terjadi ketergantungan spasial pada variabel bebas/variable prediktor. SDM dijelaskan pada persamaan berikut ini:
dimana : β0 : intercept β1 : koefisien regresi tanpa pembobot β2 : koefisien regresi dengan pembobot Atau :
dimana : β1 : koefisien parameter dari variabel bebas. β2 : koefisien parameter dari spasial lag variabel bebas.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SDM dapat juga dibentuk dalam suatu persamaan di bawah ini : Zβ + ε dimana :
Peran bobot sangat penting karena mewakili hubungan antar lokasi. Bobot juga menunjukkan hubungan neighbouring/tetangga antar pengamatan, sehingga perlu metode pembobotan yang akurat. Matriks bobotnya adalah sebagai berikut :
W=
2.10. Difteri 2.10.1 Definisi, Patogenesis dan Patofisiologis Difteri adalah penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corinebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Kuman Corinebacterium diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah (Parwati dalam PDT SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2008).
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.10.2 Manifestasi klinis Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin difteri, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) C. diphtheria, dan lokasi penyakit secara otomatis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya dating berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi difteri. a.
Difteri hidung Permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistematis ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasal. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemis yang timbul tidak nyata sehingga diagnose lambat dibuat. b.
Difteri tonsil-faring Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. Dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, kemudian meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal, ke laring dan trachea. c.
TESIS
Difteri laring
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruktif saluran nafas atas.
(Parwati
dalam PDT SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya 2008) 2.10.3 Cara Penularan Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Kartono, Purwana dan Djaja (2008) 2.10.4 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian difteri Setiono (1989) menyebutkan faktor yang mempengaruhi kematian penderita difteri adalah status gizi penderita, ketidaktahuan orang tua penderita difteri, status imunitas, dan tidak pernah mendapat vaksinasi DPT. Menurut Kartono, Purwana dan Djaja (2008), dalam penelitiannya menyebutkan variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian difteri adalah kepadatan hunian ruang tidur, kelembaban dalam rumah, jenis lantai rumah, sumber penularan, status imunisasi dan pengetahuan ibu. Wibowo, Sudiarto, dan Nurvitasari (2013) dalam penelitiannya di RSUD Saiful Anwar menyebutkan bahwa ada hubungan antara kelengkapan status imunisasi DPT sesuai usia dengan kejadian difteri, ada hubungan antara antara kelengkapan imunisasi DPT dasar dengan kejadian difteri, ada hubungan antara booster imunisasi DPT dengan kejadian difteri.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sebagaimana kita ketahui, menurut teori Achmadi (2005), kejadian penyakit merupakan hasil interaksi berbagai factor diantaranya manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Saat ini pendekatan epidemiologi banyak digunakan dalam mempelajari fenomena kejadian penyakit yang sangat beragam. Secara epidemiologi dalam penanganan suatu penyakit di masyarakat juga mempertimbangkan faktor penyebab (tunggal atau ganda), cara penularannya, keadaan sanitasi, daya dukung lingkungan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan penyebab penyakit, daya tular, tingkat imunitas populasi, kepadatan populasi atau intensitas penyakit yang terjadi. Dalam kejadian difteri, karakteristik berbagai faktor risiko timbulnya penyakit yang memungkinkan antara lain sebagai berikut : a.
Faktor penyebab. Penyebab suatu penyakit merupakan unsur yang keberadaannya jika terus
menerus terjadi kontak dengan manusia rentan dalam keadaan memungkinkan akan menimbulkan suatu penyakit. Penyakit difteri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Beberapa karakteristik bakteri ini antara lain : 1. Bakteri akan menghasilkan toksin bila bakteri terinfeksi oleh Coryne Bacteriophage yang mengandung informasi genetik toksin. Bakteri ini merupakan bakteri fakultatif anaerob, dan akan tumbuh optimal pada suasana aerob. 2. Corynebacterium diphtheriae tahan terhadap cahaya, pengeringan dan pembekuan.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3. Pada pseudomembran bisa bertahan hidup selama 14 hari, pada suhu 58ºC bisa bertahan selama 10 menit sedangkan pada air mendidih hanya tahan 1 menit. Bakteri ini akan mati jika kontak dengan desinfektan. 4. Menurut sebuah hasi penelitian, Corynebacterium diphtheriae dapat bertahan hidup di lingkungan dalam keadaan kering pada tekstil, kaca, dan di pasir dan debu untuk jangka waktu hingga 7 bulan. 5. Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit difteri atau disebut juga reservoir adalah manusia (baik penderita maupun karier). Menurut data di negara endemis difteri 3%-5% individu sehat mengandung bakteri difteri di tenggorokan mereka. Sementara cara penularan penyakit difteri melalui cara penularan tidak langsung, antara lain merupakan salah satu jenis airborne diseaase, bakteri terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita atau karier bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa peralatan, seperti ketika droplet terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan dalam gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke seluruh bangunan atau kompleks bangunan. b.
Faktor Host Menurut teori Achmadi (2005), faktor host pada timbulnya suatu penyakit
sangat luas. Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor lingkungan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang diukur sebagai perilaku pemajanan. Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
umumnya adalah umur, jenis kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku. 1. Umur Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut sejarah difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak, populasi yang dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit difteri antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun. Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut data CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%) berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus difteri pada anak-anak menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja dan dewasa. 2. Status Imunisasi Sebagaimana kita pahami, faktor imunitas sangat berpengaruh pada timbulnya suatu penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh seseorang ada yang didaptkan secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
bersifat tahan lama. Imunitas alamiah pasif adalah imunitas yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk melalui plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang bersifat aktif yaitu jika host telah mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma globulin dan berlangsung hanya 45 minggu. Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi. Pemberian imunisasi pada sebagian besar komunitas akan menurunkan penularan penyebab penyakit dan mengurangi peluang kelompok rentan untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang rentan terhadap penyakit tersebut. Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat mempengaruhi timbulnya penyakit di masyarakat, dengan terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke umur yang lebih tua. 3. Faktor status gizi dan sosial ekonomi Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi besar dalam penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan hunian dan rendahnya hygiene sanitasi kulit. Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan penyakit infeksi. Pasa satu sisi penyakit infeksi menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi berkurang, sebaliknya tubuh sedang memerlukan
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
masukan yang lebih banyak sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi, hingga anak dalam malnutrisi marginal menjadi lebih buruk keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit. Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare. 4. Faktor Perilaku Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan atau penyebaran penyakit difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan bergantian.
c.
Faktor Lingkungan: Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain
meliputi tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada lingkungan fisik biologi, social dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya tersebut.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lingkungan biologi terkait dengan vektor atau reservoir penyakit. Sementara faktor lingkungan lain dapat diperankan oleh lingkungan sosial ekonomi. Antara faktor sosial dan ekonomi saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Beberapa faktor lingkungan sosial ekonomi berkaitan dengan penyakit adalah kepadatan hunian, stratifikasi sosial, kemiskinan, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan, perang, bencana alam. Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum area dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara ditingkat rumah tangga, kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi syarat yang telah ditentukan. Ukuran kepadatan hunian rumah ini antara lain bisa dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur. Standar yang dipersyaratkan sesuai Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Sedangkan standar luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan sebaiknya udara yang masuk adalah udara segar dan bersih. Selain aspek tersebut, persyaratan rumah sehat lain adalah pencahayaan alami, yang berfungsi sebagai penerangan juga mengurangi kelembabanruangan, serta membunuh kuman penyakit karena sinar ultra violet yang berasal dari cahaya matahari.
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Selain faktor kepadatan hunian, mobilitas penduduk yang tinggi juga berpotensi meningkatkan resiko kejadian difteri. Moblitas tinggi meningkatkan resiko kemungkinan membawa bibit penyakit dari satu daerah ke daerah lainnya. d.
Interaksi Faktor Penyebab, Host dan Lingkungan Interaksi antara faktor penyebab, host dan lingkungan adalah keadaan
yang saling mempengaruhi dalam menimbulkan suatu penyakit, Sesuai teori John Gordon suatu penyakit dapat timbul karena terjadi ketidak seimbangan antara penyebab penyakit dengan host, ketidak seimbangan mana bergantung pada sifat alami dan karakteristik dari faktor penyebab dan host baik secara individu maupun kelompok dan karakteristik faktor penyebab dan host berikut interaksinya secara langsung berhubungan dengan dan tergantung pada keadaan alami dari lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis. Terjadinya penyakit difteri juga disebabkan adanya perubahan keseimbangan yaitu adanya perubahan pada faktor host, misalnya bertambahnya jumlah orang yang rentan terhadap Corynebacterium diphtheria. Kerentanan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti status imunisasi, status gizi, faktor sosial ekonomi dan perilaku host. (Azwar A., 1996)
TESIS
Spatial Durbin Models Pada ...
Puguh Saneko