BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polimer
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani Poly, yang berarti ‘banyak’ dan mer, yang berarti ‘bagian’. Unit-unit ulang mengandung atom-atom yang disebut monomer (Stevens, M.P., 2001).
Polimer dapat dibuat sebagai bentuk lurus, bercabang, ikat silang bahkan campuran dari ketiganya. Dalam banyak kasus, perbedaan yang lengkap antara rantai linier dengan jaringan ikat silang hanya dapat dicakup secara sistematis. Sebagai contoh yang paling berbeda, untuk rantai lurus adalah polietilen sedangkan untuk jaringan ikat silang yang dapat digambarkan adalah berlian (Sperling, L.H., 1981).
Pembagian polimer dapat digambarkan sebagai berikut, 1) Polimer linier tidak memiliki cabang selain gugus-gugus pendan yang digolongkan sebagai monomer (contohnya gugus fenil dalam polistirena), 2) Polimer bercabang memili cabang dari rantai utamanya (contonya kopolimerkopolimer cangkok, namun tidak semua polimer bercabang merupakan kopolimer cangkok), 3) Polimer jaringan merupakan polimer yang terjadi ketika rantai-rantai terikat bersama atau ketika digunakan monomer-monomer polifungsional sebagai ganti monomerdifungsional (Stevens, M.P., 2001).
Polimer tinggi adalah molekul yang memiliki massa molekul besar. Polimer tinggi terdapat dialam (benda hidup, baik binatang maupun tumbuhan, mengandung sejumlah besar bahan polimer) dan dapat juga disintesis di laboratorium. Para ahli kimia telah berhasil menggali pengetahuan yang dapat digunakan untuk membuat polimer yang sesuai bagi berbagai tujuan tertentu, dan pengertahuan tentang hal itu
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan industri polimer berkembang pesat dalam empat puluh tahun belakangan ini.
Penerapan bahan polimer ke segala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan memerlukan berbagai standar mutu bahan polimer dari polimer komoditas sampai bahan polimer teknik dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya menggunakan teknik polimerisasi. Lebih lanjut, molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif yang berbobot molekul rendah (Wirjosentono, B., 1995).
2.1.1 Polimer Jaringan Polimer jaringan juga secara umum direferensikan sebagai ‘polimer ikat silang’. Karena terjadi pengikat silangan, rantai-rantai polimer tersebut kehilangan kemampuan untuk mengalirkan atau melewatkan satu rantai ke lainnya, dan materi itu memperlihatkan derajat stabilitas dimensi yang baik. Polimer tersebut tidak akan melebur atau mengalir, dan oleh karenanya, tidak bisa dibentuk. Polimer-polimer tersebut dikatakan sebagai termoset (thermosetting atau thermoset).
Untuk membuat barang-barang produk yang berguna dari polimer-polimer termoset, seseorang harus menyempurnakan reaksi ikat silang atau menghancurkan untuk sementara pengikatsilangan tersebut sehingga memungkinkan polimer mengalir. Polimer-polimer termoset juga tidak dapat larut karena pengikat silangan menyebabkan kenaikan berat molekul yang dasyat. Paling tidak, polimer-polimer termoset hanya bisa lunak dalam hadirnya pelarut, sebab molekul-molekul pelarut menembus jaringan polimer tersebut (Stevens, M.P., 2001).
Dalam beberapa dekade terakhir, pencampuran (blends) telah diteliti dengan sangat untuk memuaskan kebutuhan dari sektor spesifik dalam industri polimer. Seperti halnya pencampuran polimer yang menunjukkan penampilan yang luar biasa
Universitas Sumatera Utara
terhadap polimer konvensional dan akibatnya penerapan aplikasinya menjadi semakin bertumbuh dengan cepat terutama dalam kelas material (Banerjee, S., 2010).
2.2 Interpenetrasi Jaringan Polimer (IPN)
Suatu campuran fisis dari dua atau lebih polimer atau kopolimer berbeda yang tidak terikat melalui ikatan kovalen merupakan suatu paduan polimer (polymer blend) atau polipaduan (polyblend). Jaringan polimer interpenetrasi (IPN, Interpenetrating Polymer Network) adalah polimer ikat silang digembungkan dengan monomer yang berbeda, kemudian monomer dipolimerasi dan diikatsilangkan (Stevens, M.P., 2001).
Suatu IPN dapat didefenisikan sebagai suatu kombinasi dari dua polimer dalam bentuk jaringan, yang mana salah satunya merupakan hasil sintesis dan atau terikat silang satu dengan yang lain. Suatu IPN dapat unggul karena pencampuran polimernya yang sederhana.
Pada aturannya IPN dibuat sebelum akibat penuh daari fase pemisahan terbentuk. Interpenetrasi molekul terjadi hanya dalam kasus dimana campuran terjadi secara saling (satu dengan yang lain). Bagaimanapun kebanyakan fase pemisahan IPN adalah untuk menjadi lebih semakin atau lebih kurang terikat. Jadi interpenetrasi molekul
mungkin
terbatas
atau
terbagi
dengan
level
supermolekul
dari
penginterpenetrasi. Dalam beberapa kasus, interpenetrasi molekul yang sesungguhnya adalah pemikiran untuk mengambil kesempatan keluar dari batas-batas yang ada (Sperling, L.H., 1981).
Dua teknik umum yang sering digunakan untuk mensintesis IPN adalah IPN secara berurutan dan IPN secara serentak. IPN berurutan, dimana jaringan dibuat secara berurutan, rangkaian polimer dibengkakkan dengan monomer kedua dari jenis B dan ditambahkan agen pengikat silang. IPN serentak, dapat dibuat dengan menggabungkan dua polimer, dicampur dan dimatangkan. Hasil dari pematangan akan diperoleh mekanisme yang berbeda dari kedua polimer. Polimer pertama membentuk
Universitas Sumatera Utara
pempolimeran radikal bebas dan polimer kedua terjadi pempolimeran bertahap (Tamrin, 1997).
2.2.1 Jenis-jenis IPN
Interpentrasi Jaringan Polimer (IPN) dapat diklasifikasikan sebagai berikut,
ikatan kovalen
semi IPN
berdasarkan ikatan kimia
semi IPN ikatan nonkovalen full IPN
Interpentrasi Jaringan Polimer (IPN)
novel IPN
sequensial IPN berdasarkan susunan pola semi IPN
simultan IPN
Gambar 2.1 Klasifikasi IPN
Klasifikasi IPN didasarkan pada ikatan kimia dan ikatan berdasarkan susunan pola. Secara ikatan kimia terbagi atas dua kelompok yaitu, ikatan kovalen yaitu semi IPN dan ikatan non-kovalen terdiri dari semi IPN dan full IPN (Banerjee, S., 2010).
Berikut adalah jenis-jenis ikatan IPN yang sering dipakai, 1) Kovalen- semi IPN, mengandung dua sistem polimer yang terpisah yang terikat silang membentuk, jaringan polimer tunggal. 2) Non kovalen- semi IPN, satu dari salah satu sistem polimer saja yang terikat silang, 3) Non kovalen- full IPN, kedua sistem polimer yang terikat silang dan membentuk jaringan secara mandiri (Akbari B.V., 2012).
Universitas Sumatera Utara
a)
b)
Gambar 2.2 a) semi IPN c) non-kovalen full IPN
Untuk IPN Berdasarkan susunan pola, dapat terjadi melalui pencampuran dua monomer, yang mana setelah itu (seringan secara serentak) terpolimerisasi dan terikatsilang (Gambar 2.3 a), atau melalui peleburan satu monomer dalam suatu jaringan polimer; bahan pembentuk kemudian bereaksi untuk membentuk jaringan interpenetrasi yang kedua (Gambar 2.3 a). Tahap ketiga membentuk IPN adalah melalui pencampuran dua bahan polimer yang secara termodinamika dapat bercampur yang kemudian akan terikat-silang.
Gambar 2.3 a. IPN secara serentak (simultaneous IPN), b. IPN secara bertahap (sequential IPN)
Universitas Sumatera Utara
IPN secara serentak (simultaneous IPN), dipreparasi melalui polimerisasi dan proses ikat-silang dari pencampuran dua monomer atau dua bahan prapolimer yang berantai lurus, dengan tekanan pada fasa terpisah secara cepat menaikkan viskositas. IPN secara bertahap (sequential IPN, dimana jaringan terbentuk dalam monomer, yang kemudian terjadi polimerisasi dan proses terikat-silang yang menghasilkan suatu IPN, fasa pemisahan juga biaanya baik untuk IPN jenis ini (Roland, C. M., 2013).
2.2.2 Aplikasi IPN
Ada sejumlah interpenetrasi jaringan polimer komersial, meskipun mereka jarang diidentifikasikan sebagai IPN. Dimasukkannya termoplastik dengan poliester tak jenuh untuk menurunkan jumlah penyusutan yang terakhir pada rantai silang. Dimasukkannya poliuretan yang membuat poliester tak jenuh lebih keras dan lebih tangguh.
Contoh lain dari IPN yang digunakan adalah epoksi resin-polisulfida, epoksi resin-poliester, epoksi resin-poliuretan, poliuretan-poli(metilmetkrilat), poliloksanpoliamida, dan epoksi resin-poli (dalil ptalat). Banyak dari bahan tersebut tidak ‘murni’. IPN yang telah dijelaskan diatas adalah karena adanya penyambungan dan ikat silang antara dua komponen. Ini biasanya merupakan keuntungan untuk menghasilkan IPN dengan pemisahan fasa minimal (Odian, G. 2004).
Polimer semi IPN baik yang memiliki Tg yang rendah maupun yang tinggi mampu menjadi peredam suara dan getaran dari berbagai tingkat transisi yang ada. Gerakan dari rantai yang fleksibel ke material lain yang lebih kaku yang mampu mengatasi fenomena ini. Tipe yang paling sering dijadikan material peredam menggunakan material simpel seperti homopolimer atau kopolimer dengan tingkat efisiensi peredam yang terbatas pada range suhu antara 20-30 oC, memusat tentang transisi gelas-karet dari polimer yang terlibat (Sperling, L.H., 1981).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Poliuretan
Poliuretan disebut juga polikarbamat (dari asam kaarbamat, R2NHCO2H), adalah turunan ester-amida dari asam karbonat. Poliuretan dipakai dalam berbagai macam aplikasi, termasuk serat (teristimewa jenis elastis), bahan pereka, pelapis, elastromer, dan busa-busa yang fleksibel dan kuat (Stevens, M.P., 2001).
Poliuretan memiliki sifat yang sama dengan nilon, tetapi dengan sukar diwarnai dan titik lelehnya yang lebih rendah, polimer ini pada awalnya tidak banyak diperdagangkan. Akan tetapi, kemudian terjadi kemajuan pesat pada kimia poliuretan yang menghasilkan busa, elastromer, pelapis permukaan, serat, dan perekat poliuretan.
Poliuretan juga digunakan dalam pembuatan elastromer. Sifat mekanisnya baik, yakni tahan kikisan dan tahan sobek. Akan tetapi, harganya tinggi sehingga penggunaannya terbatas. Dalam bidang pelapisan, keberhasilan cat dan pernis poliuretan bertahan di pasaran karena ketahanannya terhadap cuaca dan kikisan (Cowd, A., 1991).
Hari-hari ini poliuretan merupakan satu dari material yang paling serbaguna. Dengan pengaplikasian di bidang yang cukup berbeda dari penggunaan busa lunak dalam melapisi perabotan hingga penggunaan busa keras sebagai penyekat dinding, atap, dan untuk poliuretan termoplastik dalam penggunaanya di bidang medis dan alas kaki, untuk pakaian, perekat, penguat, dan bahan elastromer yang digunakan di lantai dan interior otomotif.
Poliuretan menghadirkan kembali suatu kelas yang penting dari termoplastik dan termoset dari segi mekanik, suhu dan struktur kimianya dapat digabungkan dari reaksi dari variasi poliol dan isosianat, yang biasanya menggunakan katalis turunan dari timah seperti dibutil timah dilaurat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Reaksi poliol dan isosianat membentuk poliuretan
Pada umumnya, poliuretan mengandung gugus spesifik yaitu ikatan urea (-NH-COO-) tanpa mengkaitkannya dengan makromolekul lain di alam. Dalam pembuatan material termoset, poliuretan merupakan preparasi dari poliol yang diperbaharukan, sementara bahan kedua adalah isosianat yang pada dasarnya dibuat dari sumber petroleum (Raquez, J. M., 2010).
2.3.1 Pembuatan Poliuretan
Suatu elastromer poliuretan dapat dipreparasi dengan polimerisasi bulk atau larutan. Dan preparasi ini dapat selesai dalam waktu 3 jam. Prisip dalam pembuatan poliuretan adalah suatu polieter gliko (polimeg 1000) direaksikan dengan suatu diisosianat untuk menghasilkan suatu zat antara polimer (prepolimer) dengan kelompok isosianat (NCO). Ini adalah pencangkokan rantai atau ‘crosslink’ melalui reaksi berlanjut dengan poliol atau poliamida. Struktur dari polimer (acak atau blok) dapat divariasikan melalui pengubahan polimer alam dengan memperanjang rantai dan mereaksikan pembentukannya (Collins, E.A., 1973).
Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan : reaksi biskloroformat dengan diamin dan lebih penting dari perspektif industri., reaksi diisosianat dengan senyawa-senyawa dihidrasi. Biskloroformat, yang dipreparasi lewat reaksi diol atau bisfenol dengan fosgena berlebih, kurang reaktif dari pada klorida-klorida asam; meskipun demikian, ia bereaksi dengan diamin pada suhu rendah dibawwah kondisikondisi polimerisasi antar permukaan. Poliuretan yang terbentuk dalam reaksi melebur pada suhu sekitar 180 oC, dibandingkan dengan 295 oC untuk poliamida yang strukturnya sebanding.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Reaksi pembentukan Biskloroformat
Gambar 2.6 Reaksi pembentukan Poliuretan dari Biskloroformat dan Diamin
Adisi senyawa dihidroksi ke diisosianat untuk membentuk poliuretana pada prinsipnya serupa dengan sintesis poliurea. Diantara produk komersial yang paling awal adalah poliuretan yang dipreparasi dari 1,6-heksadiisosianat dan 1,4-butana-diol. Rekasi tersebut dikatalisis oleh amin dan beberapa garam logam (Stevensons, M.P., 2001).
Dalam polimerisasi bulk, mode pencampuran dari bahan-bahan dapat mengganti struktur dari polimer secara drastis. Malahan pencampuran antara poliol dan rantai penyambung kemudian ditambahkan diisosianat memiliki berbagai variasi yang mana akan menghasilkan poliuretan dengan komposisi yang sama namun akan memiliki bagian yang berbeda. Eksperimen yang lebih menantang akan menghasilkan karakteristik dari material tersebut (Collins, E.A., 1973).
2.3.2 Busa Poliuretan
Busa-busa polimer dibuat dalam berbagai cara yang bergantung pada jenis polimer yang digunakan dan aplikasinya. Poliuretana yang berbeda sesuai dengan produk sampingan karbon dioksida merupakan kunci dalam proses pembusaan.
Universitas Sumatera Utara
Pada salah satu metode, prapolimer yang berujung pada isosianat berat molekul rendah (dipreparasi sebagaimana yang digambarkan di atas dari diisosianat dan polyester atau polieter) dibusakan lewat penambahan air, yang menimbulkan kenaikan berat molekul lewat pembentukan gugus-gugus urea dengan melepaskan karbon dioksida secara simultan. Ketika gas yang berkembang tersebut menyebabkan polimer membusa, reaksi polimerisasinya menaikkan viskositas dan membentuk busa sebelum pecah. Suatu bahan peniup kimiawi, yang mendidih oleh eksoterm reaksi, biasanya ditambahkan untuk memperbesar aksi pembusaan dari karbon dioksida.
Busa-busa yang fleksibel biasanya dipreparasi dari polyester atau polieter dihidroksi, busa yang kuat dari prapolimer polihidroksi. Busa yang kuat kadangkadang dipreparasi tanpa air dengan mereaksikan prapolimer berujung hidroksil dengan diisosianat dalam hadirnya suatu bahan peniup. Dalam hal ini berat molekul naik lewat ikatan-ikatan uretana. Busa-busa demikian merupakan isolator-isolator yang teristimewa efektif karena bahan peniup, yang tertangkap dalam sel-sel busa, memiliki konduktivitas panas yang rendah.
Reaksi diisosianat dengan polyester-poliester berujung karboksil juga dipakai untuk membuat busa-busa yang fleksibel, dalam hal ini lewat pembentukan amida. Bukan merupakan hal aneh untuk memandang reaksi-reaksi demikian tercakup di bawah busa-busa uretana bahkan meskipun tidak ada kimia uretana yang terlibat. Dengan perkataan lain, semua fabrikasi busa yang memakai diisosianat cenderung dikelompokkan dibawah poliuretana.
Diisosianat yang paling umum digunakan adalah TDI (Toluen Diisosianat) atau MDI (Metilen Difenildiisosianat), teristimewa yang pertama. Garam-garam logam
seperti
timah
diazabisiklo[2,2,2]-oktana
2-etilheksanoat (DABCO),
dan
biasanya
amin-amin dipakai
tersier, untuk
terutama
mengkatalis
pembentukan uretana. DABCO merupakan katalis yang lebih efektif
daripada
kebanyakan amin-amin tersier lainnya, mungkin karena system siklisnya yang kokoh meminimumkan gangguan sterik.
Universitas Sumatera Utara
Busa-busa yang fleksibel dipakai sebagai isolator, termasuk laminat-laminat tekstil untuk pakaian musim dingin; panel pelindung mobil; kain pelapis; tempat tidur; karpet dasar; spon sintesis; dan berbagai pemakaian lainnya. Busa-busa yang keras umumnya dipakai dalam panel-panel kontruksi terisolasi, unutk pengemasan barangbarang yang lunak, untuk furnitureringan, dan unutk perlengkapan flotasi kapal laut. Penggunaan bahan-bahan ini dalam bidang konstruksi telah mendorong usaha-usaha pembuatan poliuretan yang tidak bisa terbakar. Sebagai contoh, poliuretan yang mengandung fosfor (P) yang bisa memadamkan diri (Stevensons, M.P., 2001).
Dalam proses pembuatan busa poliuretan dapat diketahui kelakuan atau sifat busa padat poliuretan selama reaksi polimerisasi berlangsung. Pemakaian busa poliuretan sebagai bahan isolator sudah lama digunakan dunia industri. Di Indonesia beberapa perusahaan telah memakai busa poliuretan yang kaku sebagai isolator panas. Walaupun demikian prosedur pembuatan busa kaku poliuretan untuk isolator panas belum banyak dipubiikasikan. Dengan kelangkaan informasi tersebut, bentuk produk yang dihasilkan seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut informasi yang diperoleh, kerugian ekonomi akibat proses pembuatan busa padat poliuretan cukup besar. Hal tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai sifat busa kaku poliuretan selama reaksi pembentukannya (Rohaeti, E., Suyanta, 2011).
2.4 Karet Alam
Karet merupakan polimer alam terpenting dan dipakai secara luas diihat dari sudut industri. Karet dipakai selama berabad-abad oleh bangsa Maya dibelahan bumi barat sebelum diperkenalkan ke eropa oleh kolombus. Orang-orang Maya memperoleh bahan tersebut dari suatu pohon yang mereka namakan Caoutchouc ‘Pohon Menangis’, suatu istilah yang masih dipakai untuk menyatakan polimer tersebut dibanyak negara. Akan tetapi, Joseph Priestley yang telah menciptakan istilah rubber ketika mencatat bahwa caoutchouch bisa dipakai untuk menghapus (to rub out) tulisan pensil.
Universitas Sumatera Utara
Karet merupakan politerpena yang disintesis secara alami melalui polimerasi enzimatik isopentilpirofosfat. Unit ulang adalah sama sebagaimana 1,4-poliisoprena. Sesungguhnya, isoprena merupakan produk degradasi utama karet, yang diidentifikasi sebagaimana pada awal 1860-an.
Gbr 2.7 Struktur Kimia Karet
Bentuk utama dari karet alam, yang terdiri dari 97 % cis 1,4-poliisoprena, dikenal sebagai Havea rubber. Karet ini diperoleh dengan menyadap kulit sejenis pohon (Havea brasiliensis) yang tumbuh liar di Amerika Selatan dan tumbuhan kecil, termasuk milkweed dan dandelion.
Karet disebut elastomer merupakan polimer yang memperlihatkan resiliensi (daya pegas), atau kemampuan merenggangkan dan kembali ke keadaan semula dengan cepat. Hampir semua karet alam diperoleh sebagai lateks yang terdiri dari sekitar 32-35 % karet dan sekitar 5 % senyawa lain, termasuk asam lemak, gula, protein, sterol, ester dan garam (Stevensons, M.P., 2001).
Karet sudah lama digunakan orang. Penggunaannya meningkat sejak Goodyear pertama kali memvulkanisasinya pada tahun 1839 dengan cara memanaskan campuran karet dan belerang. Industri yang berbahan baku karet alam (kemudian karet sintetik) banyak didirikan pada awal perkembangan industri kendaraan bermotor. Karet alam dan gutta-percha ternyata merupakan isomer ruang yang mempunyai struktur cis dan trans. Dimana karet hampir tersusun atas cis-1,4poliisopropena dan gutta-percha tersusun atas trans-1,4-poliiopropena (Cowd, A., 1991).
Universitas Sumatera Utara
Karet alam banyak digunakan dalam industri-industri barang. Barang yang dapat dibuat dari karet alam antara lain aneka ban kendaraan (dari sepeda, motor, mobil, traktor, hingga pesawat terbang), sepatu karet, sabuk penggerak mesin besar atau kecil, pipa karet, kabel, isolator, dan bahan-bahan pembungkus logam (Tim Penulis PS, 2008).
2.4.1 Jenis-jenis Karet Alam
Ada beberapa macam karet alam yang dikenal, diantaranya merupakan bahan olahan. Bahan olahan ada yang setengah jadi atau yang sudah jadi. Ada juga karet yang diolah kembali berdasarkan bahan karet yang sudah jadi. Berikut adalah jenis-jenis karet alam, yaitu : 1) Bahan olahan karet (lateks kebun, sheet angin, slap tipis, dan lump segar), 2) Karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes, pale crepes, estate brown crepes, thin brown crepe remills, thick blanket crepe ambers, flat bark crepe, dan off crepe), 3) Lateks pekat, 4) Karet bongkah atau block rubber, 5) Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber, 6) Karet siap olah atau tyre rubber, 7) Karet reklim atau reclaimed rubber (Tim Penulis, 2008).
Karet bongkah atau block rubber adalah karet remna yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditentukan. Standar mutu karet bongkah Indonesia tercantum dalam Standart Indonesian Rubber (SIR).
Karet bongkah ada yang berwarna muda dan setiap kelasnya memiliki kode warna tersendiri. Setiap negara memiliki standar karet bongkah masing-masing, seperti Malaysia memiliki standar karet bongkah yang tercantum dalam Standard Malaysian Rubber (SMR). Dibandingkan dengan SIR, SMR mempunyai sedikit perbedaan dan standar yang dibuat mencakup lebih banyak ketentuan (Tim Penulis, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Standard Indonesian Rubber (SIR), (Sitinjak, E.M., 2013).
2.5 Bentonit
Mineral bentonit memiliki diameter kurang dari 2 mikrometer yang terdiri dari berbagai macam phyllosilicate yang mengandung silika, aluminium oksida dan hidroksida yang mengikat air. Struktur bentonit terdiri dari 3 layer yang tersusun dari 2 layer silika tetrahedral dan satu sentral oktahedral. Diantara lapisan octahedral dan tetrahedral terdapat kation monovalent maupun bivalent, seperti Na +, Ca+ dan Mg2+.
Montmorilonit merupakan penyusun terbesar bentonit yaitu sebesar 85%. Rumus kimia bentonit adalah (Mg, Ca) xAl 2O3. ySiO2. nH2O dengan nilai n sekitar 8 dan x,y adalah nilai perbandingan antara Al 2O3 dan SiO2. Penyusun lainnya yaitu campuran kristobalit, feldspar, kalsit, gypsum, kaolinit, plagioklas, illit.
Universitas Sumatera Utara
Mineral Montmorilonit kadang disebut Smektit namun lebih sering disebut Bentonit. Montmorilonit memiliki ion-ion Mg2+ dan Fe3+ didalam posisi oktaeder (Supeno, M., 2011).
Gambar 2.8 Struktur Bentonit
Kenampakan yang menonjol dalam struktur montmorilonit adalah adanya molekul air yang dapat di masuki posisi antar lapisan. Bila hal ini terjadimaka kisi kisinya dapat juga terisi oleh kation kation. Hal ini yang membedakan varites-varites montmrilonit dengan yang lainya. Bentonit juga banyak digunakan dalam dunia pertanian dan peternakan sebagai bahan tambahan. Bentonit yang digunakan dalam industri makanan ternak terutama untuk makanan unggas, dalam hal ini bentonit berfungsi sebagai bahan pengikat. Penggunaan bentonit dalam industri lain seperti pada pembuatan tinta cetak, cat yang tidak menetes, enamel keramik dan campuran cairan yang disemprotkan untuk racun serangga (Tim penulis, 2005).
2.6. Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah merupakan bahagian yang sangat penting pada komposit. Bahan pengisi dapat berupa logam, keramik, dan polimer. Sifat-sifat komposit adalah fungsi dari sifat-sifat zatnya, jumlah zat yang sesuai dan geometri fasa terbesar. Yang
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dengan geometri fasa tersebar adalah bentuk partikel, ukuran partikel, dan taburan orientasinya.
Interaksi antara matrik polimer dan pengisi dipengaruhi oleh ukuran partikel, aktivitas permukaan, muatan serta jenis polimer dalam campuran. Interaksi tersebut member kesan yang tampak pada sifat mekanik,kandungan gel, persentase serbuk yang terjerap, dan sifat termal campuran pengisi.
Bahan pengisi pada komposit
akan memodifikasi atau memperbaiki sifat-sifat bahan atau menggantikan kandungan matrik dengan bahan yang lebih murah. Secara umum bahan pengisi bersifat sebagai penguat (Callister, 2000).
Bahan pengisi merupakan bahan terbanyak kedua setelah karet dalam suatu kompon karet. Oleh sebab itu bahan ini sangat berperan dalam mengendalikan sifat barang jadi karet atau biaya produksi pembuatan barang jadi karet. Bahan pengisi dikelompokkan ke dalam dua pengelompokan besar, yaitu bahan pengisi yang menguatkan (reinforcing filler) dan bahan pengisi yang tidak menguatkan (nonreinforcing filler).
Penambahan bahan pengisi yang menguatkan ke dalam karet bertujuan, selain meningkatkan kekerasan, antara lain untuk meningkatkan kekuatan tarik (tensile strength), kekuatan sobek (tear strength), dan ketahanan kikis (abrasion resistance). Kecuali peningkatan kekuatan dan kekakuan, penambahan bahan pengisi yang tidak menguatkan ke dalam kompon karet hanya bertujuan untuk menekan biaya kompon mengingat harga bahan ini relative jauh lebih murah dari harga karet.
Bahan pengisi yang tidak menguatkan antara lain kaolin, berbagai jenis tanah liat atau clay, kalsium karbnat, dan magnesium karbonat. Carbon black atau arang hitam adalah termasuk ke dalam golongan bahan pengisi yang menguatkan. Bahan pengisi yang mengisi yang menguatkan lainnya adalah silica, aluminium silikat, dan magnesium silikat. Tingkat penguatan yang diberikan oleh bahan pengisi yang menguatkan tergantung kepada ukuran, keadaan permukaan, dan bentuk butir halusnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam prakteknya, kombinasi bahan pengisi yang menguatkan dan bahan pengisi yang tidak menguatkan sering digunakan dalam proses pembuatan barang jadi karet. Hingga porsi yang optimum, penambahan bahan pengisi akan meningkatkan kekuatan tarik, modulus, ketahanan sobek, ketahanan kikis, dan ketahanan retak lentur (flex cracking resistance). Untuk memperoleh peningkatan kekuatan yang efektif, bahan pengisi harus tersebar baik dan merata di dalam kompon karet (Bhuana, K.S, 1999).
2.7 Vulkanisasi
Vulkanisasi adalah suatu proses pengikat-silangan yang mana setiap molekul dari karet (polimer) diubah kedalam jaringan tiga dimensi yang saling berhubungan membentuk suatu polimer oleh rantai yang terikat-silang secara kimia oleh sulfur.
Gambar 2.9 Karet yang Mengalami Vulkanisasi oleh Sulfur
Proses vulkanisasi ditemukan pada tahun 1839 oleh Charles Goodyear di USA dan Thomas Hancock di Inggris. Keduanya menemukan penggunaan Sulfur dan timah putih sebagai suatu sistem vulkanisasi untuk karet alam. Penemuan inilah yang menjadi dasar terobosan untuk kemajuan ekonomi dunia (Nocil, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Vulkanisasi merupakan proses terjadinya ikat silang antar rantai utama molekul karet. Akibat dari proses ini, sifat-sifat buruk karet, seperti lengket, mulur, dan kekuatan rendah dapat diperbaiki, sehingga karet dapat digunakan untuk keperluan yang lebih luas. Vulkanisasi umumnya dilakukan dengan pemanasan kompon dalam keadaan ditekan, seperti pada proses compression moulding. Akan tetapi, terbentuknya ikatan silang antar rantai utama molekul karet dapat pula dilakukan dengan menggunakan radiasi atau microwave (Bhuana, K.S, 1999).
2.7.1 Vulkanisasi Menggunakan Belerang
Belerang atau sulfur merupakan bahan pemvulkanisasi tertua yang digunakan untuk membuat jembatan antar rantai molekul karet sehingga terjadi ikat silang. Hingga saat ini belerang masih umum digunakan untuk memvulkanisasi karet. Nilai vulkanisasi dan konsentrasi ikat-silang meningkat jika jumlah pencepat sulfide mengalami peningkatan ketika sulfur tetap konstan. Ketika pencepat meningkat nilai efektifitas sulfur yang mana digunakan sebagai pengikat-silang akan lebih baik dan menurunkan kemungkinan reaksi samping (Rodriguez, A. 2005).
Vulkanisasi ini menghasilkan ikat silang yang dibentuk oleh atom belerang. Dalam penggunaannya, bahan pencepat ditambahkan ke dalam kompon karet. Ternyata rasio kadar belerang dan kadar bahan pencepat sangat menentukan sifat fisik barang jadi karetnya. Pengaturan rasio antara belerang dengan bahan pencepat akan menentukan panjang jembatan belerang. Apabila jembatan belerang ini mengandung satu atom belerang, maka ikatan silang ini disebut monosulfida. Disulfida adalah sabutan bagi ikatan silang yang dibentuk oleh dua atom belerang, sedangkan apabila jumlah atom belerang dalam satu ikatan silang sebanyak lebih besar dari tiga atau lebih kecil dari enam, maka disebut polisulfida. Secara kuantitatif, perbedaan rasio belerang dengan bahan pencepat digolongkan dalam masing-masing sistem dalam tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Penggolongan Sistem Vulkanisasi Sistem
Kadar Belerang (phr)
Kadar Bahan Pencepat (phr)
Konvensional
2,0-3,5
0,4-1,2
Semi-efisien
1,0-1,7
1,2-2,5
Efisien
0,4-0,8
2,0-5,0
Setiap sistem memiliki akibat yang berbeda terhadap barang jadi karet yang dihasilkan. Oleh sistem konvensional (95% ikatan poli dan disulfida, 5% ikatan monosulfida) lebih fleksibel karena ikat silangnya lebih panjang, sehingga ketahanan retak lenturnya lebih baik. Dipihak lain, ketahanan panas dan pampatan tetap yang baik akan dihasilkan oleh sistem efisien (20% ikatan poli dan disulfida, 80% ikatan monosulfida), karena ikata C-S lebih kuat daripada ikatan S-S. sistem semi-efisien (50% ikatan poli dan disulfida, 50% ikatan monosulfida) digunakan untuk memvulkanisasi barang jadi karet yang mendekati rujukan dari sistem efisien dan konvensional (Bhuana, K.S, 1999).
Vulkanisasi karet dengan belerang saja merupakan proses yang sangat lambat dan tidak efisien. Reaksi kimia yang terjadi antara sulfur dan hidrokarbon pada karet tepatnya pada ikatan rangkap C=C dan setiap ikat silang membutuhkan 40-50 atom sulfur dan keberadaaan pencepat (accelerator). Proses tanpa pencepat akan membutuhkan sekitar 6 jam pada suhu 140 oC untuk menyelesaikannya, dan ini sama sekali tidak ekonimis untuk standar produksi. Proses vulkanisasi cenderung mengalami degradasi oksidasi dan tidak memiliki cukup alat mekanik untuk melakukan proses ini. Batasan ini akhirnya menemukan bahan pencepat yang kemudian menjadi bagian yang selalu ada dalam formula pencampuran karet sebagai subjek yang selalu diteliti lebih lanjut (Nocil, 2010).
2.8 Bahan Tambahan 2.8.1 Bahan Pemercepat (Acceleator)
Suatu proses diharapkan dapat berlangsung secara cepat dan memperleh suatu roduk yang dapat memenuhi persyaratan. Proses vulkanisasi dengan hanya menggunakan
Universitas Sumatera Utara
belerang berlangsung sangat lambat. Penambahan suatu bahan yang dikenal sebagai bahan pencepat dapat mempercepat terjadinya proses vulkanisasi. Jenis bahan pemercepat yang ditambahkan ke dalam kompon karet dapat satu jenis atau kombinasi dua atau lebih yang bergantung pada sifat pematangan yang dikehendaki.
Berdasarkan kepada bahan induknya, bahan pencepat digolongkan antara lain sebagai : -
Thiasol ( seperti : MBT dan MBTS)
-
Guanidine (seperti : DPG dan DOTG)
-
Sulfenamida (seperti : Santocure CBS, Santocure NS dan Santocure MOR)
-
Thiuram Disulfida (seperti : TMTM dan TMTD)
-
Dithiokarbamat (seperti : ZDC dan ZDBC)
Bahan pencepat juga digolongkan berdasarkan tingkat kecepatannya, yaitu dari bahan pencepat lambat, sedang, cepat-sedang, cepat, dan sangat cepat.
Untuk bahan pencepat yang dikombinasi, bahan pencepat berklasifikasi cepat dan sangat cepat umumnya digunakan sebagai bahan pencepat kedua, yaitu ditambahkan dalam dosis rendah kepada bahan pencepat utama untuk lebih meningkatkan kecepatan matangnya, contoh penambahan pencepat TMTD ke dalam kompon yang memiliki pencepat CBS (Bhuana, K.S, 1999).
Bahan pemercepat berfungsi untuk membantu mengontrol waktu dan temperatur pada proses vulkanisasi dan dapat memperbaiki sifat vulkanisasi karet. Beberapa jenis bahan pemercepat antara lain bahan pemercepat organik.
2-2’-Dithiobis(benzothiazole)
Grup: Thiazoles. Kecepatan reaksi: Ultra fast namun lebih lambat dari MBT. Kegunaan: sebagai accelerator
(MBTS)
utama
Gambar 2.10 Struktur Marcapto Benzhoathizole Disulfida (MBTS)
Universitas Sumatera Utara
Misalnya, Marcapto Benzhoathizole Disulfida (MBTS), Marcapto Banzhoathizole (MBT), dan Diphenil Guanidin (DPG), Tetra Metil Thiura Disulfarat (TMTD) dan bahan pemercepat anorganik, misalnya Karbonat, Timah hitam, Magnesium, dan lainlan (Nocil, 2010).
2.8.2 Bahan Penggiat (Activator)
Bahan penggiat/ activator ditambahkan ke dalam komposit untuk menggiatkan kerja dari bahan pemercepat. Pada umumnya bahan pencepat organik tidak akan berfungsi secara baik tanpa bahan penggiat. Bahan penggiat yang umum digunakan adalah kombinasi antara ZnO dan Asam Stearat (Bhuana, K.S, 1999).
Bahan pengaktif adalah bahan yang dapat meningkatkan kerja dari bahan pemercepat. Umumnya bahan pemercepat tidak dapat bekerja baik tanpa bahan pengaktif. Bahan pengaktif yang bisa digunakan adalah ZnO, asam stearat, PbO, MgO dan sebagainya. Campuran bahan pengaktif, bahan pemercepat dan belerang (S) disebut sistem vulkanisasi dari kompon (vulcanising system of the coumpond) .
2.8.3 Bahan Pemvulkanisasi (Vulcanizing Agent)
Belerang atau sulfur merupakan bahan pemvulkanisasi tertua dalam proses pembuatan barang jadi karet. Selama proses vulkanisasi, misalnya dengan memberikan tekanan dan suhu tertentu pada proses vulkanisasi secara compression molding, belerang menjadi jembatan antara rantai-rantai molekul karet sehingga terbentuk ikatan secara tiga dimensi (3D). Bahan ini masih umum digunakan untuk memvulkanisasi karet alam dan karet sintetik tertentu, seperti SBR, EPDM, BR, IR, NBR, dan IIR. Belerang dapat berbentuk belerang bebas atau belerang yang terikat dan leas saat proses vulkanisasi berlangsung (Sulphur donor). Belerang yang diperlakukan dahulu, seperti MC (Magnesium-coated) sulfur juga tersedia. MC sulfur sangat cocok memvulkanisasi karet NBR karena kemampuan disperse sulfur biasa di dalam karet NBR sangat rendah.
Universitas Sumatera Utara
Belerang yang biasa digunakan sebagian besar adalah soluble sulphur. Pada pemakaian dosis tinggi dan selama penyimpanan, belerang ini akan migrasi ke permukaan barang jadi karet. Kejadian ini biasa dikenal sebagai blooming. Tentu saja kejadian ini tidak kita kehendaki karena mengurangi performance dan daya rekat antara kompon atau ke benda lain, seperti logam. Untuk menghindari gejala ini , maka digunakan insoluble sulphur.
Bahan pemvulkanisasi lainnya adalah logam oksida seperti PbO, MgO, dan ZnO. Bahan-bahan pemvulkanisasi ini digunakan untuk memvulkanisasi karet Chloroprene atau Neoprene dan CSM atau Hypalon .
2.9 Sifat Mekanik Polimer
Untuk bahan polimer komersial yang besar, sifat-sifat mekanik merupakan aspek yang sangat mendasar. Meskipun sifat-sifat lainnya seperti ketahanan nyala, stabilitas termal, dan ketahanan kimia mempunyai kaitan dalam aplikasi-aplikasi yang lebih spesifik, semua polimer apapun pemakaniannya harus memperlihatkan suatu daerah ssifat-sifat mekanik yang trespesifikasi yang cocok untuk aplikasi tersebut.
Diantara lusinan sifat yang harus diperhatikan produsen polimer, kekuatan tarik, kompresif, dan fleksur (dan modulus mereka masing-masing) dan ketahanan impak adalah yang terpenting. Sifat-sifat terkait mencakup kekerasan, ketahanan abrasi, dan ketahanan sobek. Sifat mekanik jauh lebih bergantung pada berat molekul untuk daerah berat molekul yang sangat luas, meskipun juga mendatar pada akhir spektrum berat molekul yang lebih tinggi.
Kekuatan tarik mengacu kepada ketahanan terhadap tarikan. Kekuatan kompresif adalah kebalikan dari kekuatan tarik; yanng merupakan ukuran sampai dimana suatu sampel bisa ditekan sampai rusak. Kekuatan fleksur adalah ukuran dari ketahanan terhadap patahan (snapping/ patah cepat) ketika suatu sampel diketuk
Universitas Sumatera Utara
(difleks). Kekuatan impak adalah ukuran dari ‘keuletan’ bagaiman suatu sampel akan menahan pukulan stress yang tiba-tiba, seperti pukulan palu (Stevens, M.P., 2001).
Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam polimer, yakni ikatan kimiayang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lemah. Dalam bahan logam yang merupakan zat padat polikristalin, sifat mekanis ini bergantung dari sifat patah bahan karena adanya cacat kristal. Karena itu, kekuatan mekanis bahan logam jauh lebih kecil dari sifat kekuatan mekanis teoritisnya yang diperkirakan dari energi ikatan antara-ion. Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (ζ t) menggunakan alat ukur tensometer dan dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan secara praktis, kekuatan-tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang semula (Ao). …….. (2.1)
Selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volume speismen tidak berubah , sehingga perbandingan luas penampang dengan penampang setiap saat adalah
Ao/A = l/lo
…….. (2.2)
Dimana l dan lo masing-masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula (Wirjosentono, B., 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Pengujian Persentase Ikat Silang
Melaui reaksi ikat-silang beberapa sifat polimer dapat ditingkatkan seperti, sifat mekanik, daya tahan terhadap goresan, kinerja pada suhu tinggi, seiring dengan peningkatan suhu leleh, dan ketahanan terhadap bahan kimia karena kelarutannya rendah dalam pelarut organik.
Pengujian persentase ikat silang dapat dilakukan melalui berbagai cara. Namun ada metode yang telah ditetapkan menjadi ‘standar emas’ untuk mengetahui nilai persentase ikat silang terutama dengan tahapan prosedurnya menggunakan ASTM yaitu metode sokletasi. Pertama tiga specimen dengan berat masing-masing adalah dua gram (Wo) yang dipotong dari bekas uji mekanik sebelumnya. Pastikan pengukuran berat secara akurat dan stabil, kemudian specimen di potong kebentuk lembaran 1x1 cm, bungkus dengan kertas saring, dan refluks selama 8 jam menggunakan pelarut xilen. Setelah itu fraksi yang tidak terikatsilang akan larut dalam pelarut xilen dan terpisah dari specimen utama. Lalu spesimen yang dibungkus kertas saring tadi dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam kemudian setelah kering ditimbang kembali berat akhirnya (We). Nilai persentase ikat silang dihitung dengan persamaan berikut,
Persen Ikat Silang =
Dimana,
e≤
o
x 100 %
…….. (2.3)
o atau berat akhir ≤ berat awal.
Metode selain sokletasi adalah dengan metode Solvent Swelling atau dengan merendam bahan polimer yang beratnya telah ditimbang lebih dahulu ± 2 gram dalam pelarut organik seperti toluen selama 24 jam pada suhu ruang, yang kemudian beratnya ditimbang setelah perendaman dilakukan. Nilai persentase ikat silang dihitung dengan persamaan berikut,
Persen Ikat Silang =
o
-1
x 100 %
…….. (2.4)
Universitas Sumatera Utara
Dimana
e≥
o, atau berat akhir ≥ berat awal. Berbeda dengan metode sokletasi
yang mengalami penurunan berat diakhir karena larutnya bahan-bahan dalam specimen yang tidak terikatsilang, dalam metode ini semakin sedikit pelarut yang mengisi spesimen maka nilai persentase ikat silang akan meningkat.
Ada beberapa metode yang lain untuk mengetahuipersentase ikat silang suatu bahan polimer seperti menggunakan metode termal atau mekanik dengan instrument seperti DSC atau dari nilai tegangan tarik, regangan tarik, dll, juga dengan metode spektroskopi. Namun metode-metode ini belum banyak digunakan dan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing (Hirschl, Ch., 2013).
2.11 Sifat Termal
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguaan), tetapi juga terjadinya proses-kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dsb. Karena mobilitas yang tinggi diatas suhi Tg rantai polimer mudah tersusun dan membentuk struktur kristal yang ditandai dengan penurunan kapasitas panas yang drastis (ΔH positif), dan tidak adanya kehilangan bobot dari kuva Tg. Dalam bidang campuran (poliblen) pengamatan transisi-kaca (Tg) sangat penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer. Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak Tg (eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. T g campuran biasanya berada diantar Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen digunakan unutk menurunkan Tg, seperti halnya plastisasi dengan pemlastis-cair. Pencampuran polimer heterogen ditunjukkan untuk menaikkan ketahananbentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. Campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak T g, karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antar muka mungkin memberikan
Universitas Sumatera Utara
Tg yang berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk penentuan parameter interaksi A, yang merupakan faktor penurunan suhu-leleh kristal (Wirjosentono, B., 1995).
DSC (Differential Scanning Calorimeter) mengukur perubahan aliran kalor sebagai fungsi waktu atau suhu. Dalam pirantinya termuat pula ruang pendingin integral dengan pemrograman suhu (kaijan reaksi neversibel lelehan-kristalisasi), sel khusus, program analisis data (kinetik, kemurnian, kapasitas kalor). Pada DSC berubahnya suhu (sementara berlangsung perubahan kimia, kristalisasi dan sebagainya) dipantau terus-menerus. Laju ikat silang, puncak jamak lelehan sistem kommposit, knetika, energi pengativan, penyidikan tahap reaksi tersembunyi, kristalisasi, oksidasi, dan dekomposisi, curing, pengukuran kalor jenis, penyusunan diagram fasa, pengaruh distribusi urutan atas T g, struktur kristal, kestabilan termal, kalor pengatsirian dipelajari dalam teknik DSC. Makin canggih peralatan, makin teliti dan cepat simakan dilaksanakan (Hartomo, A.J., 1993).
Suhu transisi gelas paling umum diukur dengan kalorimetri skan differensial (DSC), analisa termal diferensial (DTA), atau analisa termo-mekanik (TMA). Degradasi termal ditetapkan oleh analisis termogravimetrik (TGA) dan kromatografi gas pirolisis (PGC). Dalam metode DSC dan DTA, suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen dan kemudian transiss-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Pemegang sampel yang paling umum dipakai adalah cangkir aluminium sangat kecil (emas atau grafit dipakai untuk analisis-analisis diatas 800 oC), dan referensinya berupa cangkir kosong atau cangkir yang mengandug bahan inert dalam daerah temperatur yang diinginkan, misalnya aluminia bebas air. Ukuran sampel bervariasi sekitar 0,5 s/d sekitar 10 mg.
Ketika terjadi suatu transisi dalam sampel tersebut- misalnya, transisi gelas atau reaksi ikat silang- temperatur sampel akan tertinggal di belakang temperatur referensi jika transisi tersebut endotermik, dan akan mendahului jika transisi tersebut eksotermik. Dengan DSC, sampel dan refernsi akan diberikan dengan pemanasannya sendiri-sendiri, dan energi disuplai untuk menjaga suhu-suhu sampel pada referensi tetap konstan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini perbedaan daya listrik antara sampel dan referensi (dΔQ/dt) dicatat. Data diplot tersebut disebut termogram. Keuntungan utama DSC adalah bahwa area-area peak termogram berkaitan langsung dengan perubahan entalpi dalam sampel, oleh karena itu bisa dipakai untuk pengukuran-pengukuran kapasitas panas, panas fusi, entalpi reaksi, dan sejenisnya (Stevens, M.P., 2001).
Universitas Sumatera Utara