5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sinus Paranasal Sinus frontal, maksila dan etmoid anterior merupakan kelompok sinus paranasal bagian anterior. Ketiga sinus ini bermuara pada meatus media. Sedangkan sel-sel etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus paranasal bagian posterior. Sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid bermuara
ke meatus superior (Barnes,2005;Soetjipto
2007;Leung,2014). 2.1.1 Sinus maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuran 7 x 4 x 4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi dan lebar hampir sama panjang. Pada usia 10-12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang sama dengan dasar kavum nasi. Diatas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila ke arah inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang yang semula ditempati oleh tugas-tugas gigi permanen akan mengalami pneumatisasi yang mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar kearah inferior (Ballenger,1994; Leung,2014). Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatik berbentuk pyramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus terbesar diantara sinus paranasal. Pada saat lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6-8 ml dan penuh dengan cairan. Sinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior, dinding anterior dibentuk oleh permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk
5 Universitas Sumatera Utara
6
oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum (Ballenger, 1994; Leung,2014). Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar kedua, gigi molar ke satu dan ke dua, bahkan kadang-kadang gigi
tumbuh
ke
dalam
rongga
sinus dan
hanya
tertutup
oleh
mukosa.Proses supuratif yang terjadi sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus melalui fistel oroantral
yang
akan
mengakibatkan
sinusitis
(Ballenger,1994;
Leung,2014). 2.1.2 Sinus frontal Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis (Ballenger,1994). 2.1.3 Sinus etmoid Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun, etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml. Etmoid anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media, sedangkan etmoid posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior ( Ballenger,1994; Leung,2014).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.4 Sinus sfenoid Sinus sphenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang
merupakan
invaginasi
mukosa
dari
bagian
superoposterior rongga hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sphenoid sampai umur 3 tahun ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah berumur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sphenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Ballenger, 1994; Leung,2014).
Gambar 2.1 Anatomi dari kavum nasi dan sinus paranasal (dikutip dari AJCC Cancer Staging,2002)
Universitas Sumatera Utara
8
2.2 Epidemiologi Tumor sinus paranasal dijumpai sekitar 3% dari seluruh tumor kepala dan leher, dan 1% dari seluruh tumor ganas di tubuh. Dengan insidensi pada pria 2:1 dibandingkan pada wanita. Dimana 60% tumor sinonasal berkembang didalam sinus maksilaris, 20-30% didalam rongga nasal,10-15% didalam sinus ethmoidalis, dan 1% didalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul didalam sinus maksilaris, 22% didalam sinus ethmoidalis dan 1% didalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan kematian dan kecacatan dalam jumlah yang signifikan ( Barnes,2005; Roezin,2007). Di India, tumor ganas dan sinus paranasal berkisar sekitar 0,44% dari seluruh tumor ganas (0,57% pada pria dan 0,44% pada wanita). Paling banyak ditemukan pada sinus maksilaris dan diikuti pada sinus etmoidalis, sinus frontal sinus sfenoidalis (Dingra, 2010). Insidensi tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2 sampai 3,6 per100.000 penduduk pertahun. Di Departemen THT FKUI RSCM Jakarta keganasan ini ditemukan 10-15% dari seluruh tumor ganas THT( Roezin,2007). Di Departemen THT-KL FK USU/RSUP.HAM Medan, kasus tumor ganas sinonasal pada periode bulan januari 2005 hingga bulan desember 2009 terdapat 51 kasus tumor ganas sinonasal, sebagian besar ditemukan 44 kasus (86,3%) pada stadium lanjut (Salim,2010). 2.3 Etiologi Tumor ganas sinonasal etiologinya belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropil dan lain-lain. Pekerja dibidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus paranasal jauh lebih besar (Barnes et al,2005; Roezin,2007).
Universitas Sumatera Utara
9
Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi keganasan ( Roezin,2007; Dingra, 2010). Lebih dari 80% tumor ganas adalah karsinoma sel skuamosa. sisanya adalah adenokarsinoma, adenoid kistik karsinoma, melanoma dan berbagai jenis sarkoma. Karsinoma sel skuamous merupakan tumor sinonasal yang terbanyak. Dilaporkan pada pria kulit putih dengan umur dekade 5-6. Prognosis berhubungan dengan luas dan letak tumor (Roezin,2007; Dingra, 2010). Adenokarsinoma sebanyak 10-20% dari seluruh tumor sinonasal. Awalnya kebanyakan di sinus etmoid dan rongga hidung, dihubungkan dengan paparan serbuk kayu
(Roezin,2007; Leivo,2007;Dingra, 2010).
Karsinoma kistik adenoid pada sinonasal sebanyak 14-20% dari seluruh karsinoma kistik adenoid di kepala dan leher. Karakteristiknya adalah perluasan yang cepat ke struktur neurovaskular, submukosa dan didiagnosa pertama kali pada stadium yang sudah lanjut (Roezin,2007; Dingra, 2010). Melanoma pada sinonasal bisa berupa primer maupun metastase. Walaupun 20% dari melanoma yang ada di kepala dan leher, kurang dari 1% timbul dari sinonasal. Kebanyakan pada rongga hidung, kemudian di sinus maksilaris, etmoid, dan frontal (Roezin,2007; Dingra, 2010). Sarkoma neurogenik jarang di kepala dan leher dan umumnya berhubungan denga neurofibromatosis. Sifatnya agresif dan sering muncul dengan metastase jauh ( Dingra, 2010;Leung,2014). 2.4 Gejala Klinis Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan gejala yang tetap, dimana tanda yang paling sering pada tumor sinonasal sama dengan gejala pada infeksi sinus, seperti hidung tersumbat, epistaksis, sakit kepala, nyeri wajah, hidung berair, dan bisa asimptomatik pada 9-12% pasien, tergantung dari perkembangan
Universitas Sumatera Utara
10
penyakit. Gejala orbital, seperti diplopia, proptosis, hilang penglihatan dan epipora, dapat timbul dengan adanya invasi atau ekspansi ke mata. Memasuki dasar tengkorak hingga fossa kranial anterior menimbulkan nyeri kepala, neuropati kranial, bahkan sindrom lobus frontalis. Tumor juga
bisa
menembus
maksila
dan
timbul
massa
di
palatum
(Roezin,2007;Lalwani,2008;Dingra,2010). 2.5 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang,
diagnosis
pasti
ditegakkan
berdasarkan
pemeriksaan histopatologi (Roezin,2007;Lalwani,2008; Dingra,2010). 2.5.1 Anamnesis Penting untuk dilakukan anamnesis yang teliti, biasanya perlu ditanyakan apakah ada obstruksi hidung, hidung berdarah, diplopia, pasien mengeluh apakah gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah (Ballenger,1994;Roezin,2007). 2.5.2 Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai pembengkakan wajah sebelah atas seperti sisi batang hidung dan daerah kantus medius, penonjolan daerah pipi dan pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan mukosa mulut. Perluasan tumor keintrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, gangguan visus. Dapat disertai likuorea yaitu cairan otak yang keluar dari hidung.Pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Sekret yang keluar harus diperiksa dengan teliti. Sekret yang berbau busuk mungkin berasal dari nekrosis jaringan yang sering berhubungan dengan proses suatu neoplasma (Ballenger,1994;Roezin,2007).
Universitas Sumatera Utara
11
2.5.3 Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan bagian sangat penting pada diagnosis, staging dan follow up keganasan sinonasal. Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan. CT scan merupakan sarana terbaik karena lebih jelas memperlihatkan tumor dan destruksi tulang. MRI dapat membedakan jaringan tumor dari jaringan normal tetapi kurang baik dalam memperlihatkan destruksi tulang (Roezin,2007;Ziemmer,2014). Pemeriksaan
dengan
Positron
emission
tomography
(PET)
digunakan untuk staging dan mengamati tumor ganas pada leher dan kepala. Kombinasi PET dan CT scan menunjukkan secara detail anatomi serta perluasan dari tumor dan membantu dalam rencana pembedahan. Angiography dengan carotid flow study digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi dengan tumor yang berada disekeliling arteri carotis atau dapat juga digunakan untuk mendapatkan batas tumor dengan jelas. Foto polos paru diperlukan untuk melihat adanya metastase tumor secara hematogen seperti sarkoma, melanoma dan adenoid kistik karsinoma. Evaluasi metastase penting bila akan melakukan
reseksi secara luas.
Apabila tumor telah meluas ke meningen atau otak dapat dilakukan pemeriksaan
lumbal
dan
brain
puncture
serta
spine
imaging
(Roezin,2007;Ziemmer,2014). 2.5.4 Pemeriksaan histopatologi Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran histopatologi yang paling sering pada keganasan sinonasal. Disamping karsinoma sel skuamosa, keganasan sinonasal berupa adenokarsinoma, adenoid sistik karsinoma, melanoma maligna, neuroblastoma olfaktori, karsinoma tidak berdiferensiasi, limfoma serta sarkoma. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
Universitas Sumatera Utara
12
dilakukan. Biopsi tumor maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus gingivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma,
jangan
dilakukan
biopsi
karena
akan
sangat
sulit
menghentikan perdarahan yang terjadi (Roezin,2007; Ziemmer,2014). 2.6 Klasifikasi TNM dan Stadium Stadium tumor ganas sinonasal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010 yaitu: (NCCN 2010) Tumor Primer (T) Tx
: Tumor primer tidak bisa ditentukan
TO
: Tidak tampak tumor primer
Tis
: Karsinoma insitu
2.6.1 Sinus maksilaris T1 : Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang T2 : Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang hingga
T3
palatum atau
meatusmedia
tanpa
melibatkan
posterior sinus
maksilaris,jaringan subkutaneus.
dinding
: Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, subkutaneus jaringan dinding dasar dan medial orbita, fossa pteriogoid,sinus etmoidalis.
T4a
:Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infra temporal,fossa kribriformi, sinus sphenoidalis atau frontal.
T4b :Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa Kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal (V2), nasofaring atau klivus.
Universitas Sumatera Utara
13
2.6.2
Kavum nasi dan sinus etmoidalis
T1
: Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
T2
: Tumor berada didua bagian dalam satu region atau tumor meluas dan
melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks,
dengan atau tanpa invasi tulang. T3
: Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum atau Fossa kribiformis.
T4a : Tumor menginvasi salah satu bagian anterior orbita, kulit nasal atau pipi, meluas minimal ke fossa pterigoid, sinus sphenoidalis atau frontal. T4b : Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa
kranial
medial,
Nervus
kranialis
selain
dari
V2,nasofaring atau klivus. Kelenjar getah bening regional (N) Nx : Pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditentukan NO : Tidak ada metastasis kekelenjar limfe regional N1 : Metastasis kelenjar limfe ipsilateral diameter ≤ 3 cm N2 : Metastasis tunggal kelenjar limfe ipsilateral diameter 3-6 cm, atau 6cm
multipel kelenjar limfe ipsilateral < 6 cm atau
metastasis bilateral atau kontralateral diameter ≤ 6 cm N2a : Metastasis
≤
6cm
tunggal
kelenjar
limfe
ipsilateral
diameter3- 6cm N2b : Metastasis multiple pada kelenjar limfe ipsilateral diameter ≤ 6cm N2c: Metastasis
pada
kelenjar
limfe
bilateral
atau
kontralateral,diameter ≤ 6cm N3 : Metastasis kelenjar limfe diameter lebih dari 6 cm Metastasis jauh (M) MO : Tidak ada metastasis jauh MI : Ada metastasis jauh
Universitas Sumatera Utara
14
2.6.3 Stadium karsinoma sinus maksila dan sinus ethmoid (NCCN 2010) Stadium I
T1
N0
M0
Stadium II
T2a
N0
M0
Stadium III
T3
N0
M0
T1
N1
M0
T2
N1
M0
T3
N1
M0
T4a
N0
M0
T4a
N1
M0
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N2
M0
T4a
N2
M0
N3
M0
T4a Setiap N
M0
Stadium IV
Stadium IVB Semua T Stadium IVC Semua T
Semua N
M1
2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari tumor sinus paranasal ialah pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti terapi radiasi dan kemoterapi sebagai adjuvant, dimana sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama untuk keganasan hidung dan sinus paranasal,
penyakit
stadium
lanjut
jika
diobati,
membutuhkan
multimodalitas terapi, yaitu operasi dengan radiasi sebelum atau setelah operasi. Katz et al, mencatat angka harapan hidup 5 tahun bagi pasien yang menerima radiasi setelah operasi adalah 79% dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
15
pasien yang diobati dengan radioterapi saja adalah 49%. Kemoterapi sebagai tambahan radioterapi dan pembedahan telah menunjukkan peningkatan hasil pengobatan pada satadium III/IV (Roezin,2007;Glesson, 2008). Pembedahan
masih
diiindikasikan
walaupun
menyebabkan
morbiditas yang tinggi bila terbukti dapat mengangkat tumor secara lengkap. Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas kesinus kavernosus bilateral atau tumor sudah mengenai kedua orbita. Untuk tumor ganas, tindakan operasi seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal (Roezin,2007;Glesson,2008). Maksilektomi radikal dilakukan pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk kerongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk kerongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kalau perlu kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf (Roezin,2007). Penatalaksanaan setelah operasi adalah rehabilitasi yang bertujuan untuk penyembuhan luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free mycutaneous dan cutaneous flap (Ziemer,2014). Pada umumnya prognosis keganasan sinus paranasal pada umumnya kurang baik, karena sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal,cara tepat dan akurat. Faktorfaktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status immunologis,lamanya follow up dan
Universitas Sumatera Utara
16
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor (Roezin,2007 ). 2.8 Karsinoma Sel Skuamosa Karsinoma sel skuamosa (SCC) merupakan bagian dari tumor sinonasal yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal dimana etiologinya berhubungan dengan faktor lingkungan, merokok,
alkohol
dan
terpapar
dengan
bidang
industri
seperti
nikel,kromium dan debu kayu termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing( Barnes,2005;Thompson,2006). Enam puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, diikuti didalam kavum nasi 22%, di dalam sinus etmoidalis 15%, dan <3% dijumpai dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Dengan mayoritas dijumpai SCC dan variannya (55%), diikuti oleh non-epithelial neoplasms(20%), glandular tumours (15%), undifferentiated carcinoma (7%) dan miscellneous tumours (3%). (Dhingra, 2008;Thompson 2006). Secara makroskopik, KSS kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, mudah berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif (Barnes, 2005). 2.8.1 Mikroskopik keratinizing squamous cell carcinoma Secara histologi keratinizing squamous cell carcinoma menunjukkan selnya berkeratin, intercellular bridges dan squamous perals. Sel tumor biasanya besar, nukleus hiperkromatin dengan tingkat variabel dari nukleus anaplasia. Tumor tersusun didalam sarang-sarang, massa atau sel-sel individual, dimana invasinya tidak beraturan (Barnes, 2005; Thompson,2006).
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.2 Karsinoma sel skuamosa, keratinizing Pulau-pulau sel-sel tumor
dengan
invasi
yang
tidak
beraturan
(Thompson,2006). 2.8.2 Mikroskopik non-keratinizing (cylindrical cell, transitional) carcinoma Bentuk dari non-keratinizing carcinoma berupa sarang yang padat dengan batas yang relatif halus, sel tumor berbentuk bulat atau oval dengan inti menonjol,
variasi sitoplasmanya terdiri dari acidophilic ke
amphophilic sampai vacuolated. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin (Barnes, 2005; Thompson,2006).
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.3 Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing. Pulau-pulau sel-sel tumor kohesif menginvasi ke dalam stroma dibawahnya (Thompson,2006). 2.9 Protein p53 Gen
p53
dijumpai
pertama
kali
pada
tahun
1979
sebagai
transformation-related protein53 yang pada manusia terletak pada lengan pendek kromosom 17, terentang sepanjang 2,8 kb mRNA, terdiri atas 11 ekson dan diekspresikan pada hampir semua jaringan tubuh, p53 merupakan bagian dari gen supresor tumor, dimana fungsi dari p53 adalah untuk menghambat siklus sel, diferensiasi ,apoptosis penuaan sel dan angiogenesis (Fearon,2000;Macdonal,2004;Bai,2006). Pada sel normal,Tp53 dan komponen pada jalur p53 berada dalam keadaan inaktif dan akan menjadi aktif bila sel memberikan respon terhadap stress sehingga sel tersebut menjadi hancur dan terjadi perbaikan DNA pada sel atau yang mengalami apoptosis, oleh karena itu Tp53
sering
disebut
sebagai
The
Guardian
of
the
Genome
(Fearon,2000;Klein 2002;Macdonal,2004; Roezin,2007).
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam keadaan sehat protein p53 secara terus menerus diproduksi dan didegradasi.Jika gen p53 mengalami kerusakan, misalnya akibat mutagen (kimia, radiasi dan virus), maka fungsi sebagai supresor akan berkurang, sehingga terjadi pembelahan yang tidak terkontrol. Pada keganasan sel, gen p53 adalah gen yang paling banyak bermutasi (ditemukan >50% dari seluruh kasus kanker) Waktu paruh p53 wild type kurang dari 30 menit dan merupakan protein yang labil dan terdiri atas region yang tidak terstruktur sedangkan p53 mutan mempunyai waktu paruh
lebih
panjang
sehingga
dapat
terdeteksi
dengan
pulasan
imunohistokimia (Handayani, 2011). Wild-type p53 protein berisi 393 asam amino dan terdiri dari domain struktur dan fungsional, dimana gen p53 homolog dengan p63 dan p73 yang memiliki
domain struktur yang sama dan termasuk domain
oligomerisasi dan ketiga protein ini dapat menginduksi apoptosis. Kerusakan DNA yang mengarah untuk penggandaan DNA, ATM (Ataxia Telangiectasia Mutasi), protein kinase serta CHK2 kinase diaktifkan kemudian p53 difosforilasi kelokasi yang berbeda yang mengarah ke siklus dependent, dimana kerusakan DNA menyebabkan penghambatan replikasi sehingga ATR (ATM dan Rad3-related) kinase menjadi aktif akibatnya ATR dan Chk 1 phosphorylate diaktifkan dan p53 menjadi aktif (Bai,2006). Gen p53 dapat juga berinteraksi dengan protein 90 kd. Protein 90 kd adalah produk gen MDM2 berupa fosfoprotein nuclear yang disebut MDM2, yang merupakan sasaran transkripsi bagi p53, tetapi di lain pihak MDM2 juga dapat mengikat p53 pada domain transaktivasinya. Interaksi ini memblok kemampuan p53 untuk mengaktifkan fungsi transkripsinya dan mengontrol pertumbuhan sel. Sehingga interaksi antara p53 dengan MDM2 merupakan suatu bentuk autoregulatory negative feedback loop (Kresno,2011).
Universitas Sumatera Utara
20
Peran
utama
p53
sebagai
tumor
suppressor
gen
adalah
kemampuannya untuk mentranskripsi urutan spesifik, mengatur ekspresi gen seluler yang berbeda. Target p53 downstrem adalah mengaktifkan jenis sel yang berbeda, tingkat kerusakan yang mempengaruhi aktivitas p53 dan berbagai variasi parameter lainnya yang belum teridentifikasi (Handayani, 2011). Pasien yang resisten terhadap obat memperlihatkan ekspresi p53 mutan lebih tinggi dibanding pasien yang responsif terhadap obat, sehingga ada indikasi bahwa adanya p53 mutan dapat mempengaruhi resistensi terhadap obat dibanding dengan petanda-petanda lain. Penelitian lain menyatakan bahwa mutasi p53 berhubungan dengan perbedaan
staging,
tetapi
tidak
signifikan
untuk
prognostik
(Handayani,2011). Ada dua jenis bentuk stres seluler yang dapat mengaktivasi p53 yaitu: 1. Kerusakan DNA, yang dapat disebabkan oleh ionisasi radiasi, obatobatan kemoterapi, sinar ultraviolet atau inhibitor protein kinase, protein checkpoints yang memberikan sinyal pada p53 bahwa kerusakan telah terjadi dan siklus sel harus dihentikan sampai DNA diperbaiki oleh protein kinase. 2. Deregulasi ekspresi onkogen, dimana terjadi kegagalan mekanisme untuk mengeliminasi sel yang mengalami proliferasi abnormal. Protein
onkogen
menghambat
akan
berinteraksi
aktifitas MDM2
tersebut
dengan sehingga
MDM2
dan
kadar
p53
meningkat (Macdonald,2004).
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.4 skema protein p53 ( Zanbeeti,2005). Respon p53 yang teraktivasi terdiri dari dua yaitu:
1. Inhibisi siklus sel Efek yang utama dari aktifasi p53 adalah memblok siklus sel sehingga kerusakan dari DNA dapat diperbaiki. Pada tahun 1993, sebuah gen yang diinduksi oleh wild-type p53 yang berlebihan teridentifikasi. Gen ini disebut p21. Transaktifasi p21 menyebabkan inhibisi protein CDK yang menghambat siklus sel pada G1 dan G2 (Macdonal,2004).
Universitas Sumatera Utara
22
2. Apoptosis Merupakan suatu proses aktif yang memerlukan induksi ekspresi gen. Sel limfoid dan sel myeloid dengan cepat mengalami apoptosis setelah mengalami kemoterapi atau radiasi, tetapi pada jenis sel lain diperlukan ekspresi gen-gen lain untuk membantu apoptosis, diantaranya bcl2 dan bax, dimana bax merupakan gen proapoptotik yang pertama diidentifikasikan sebagai target dari p53, dan dikuti oleh gen yang lainnya seperti NOXA, PUMA dan p53AIPI. Produk protein yang dihasilkan oleh gen-gen ini berada pada
mitokondria
dan
menyebabkan
hilangnya
potensial
membrane dan pelepasan sitokrom C. Integritas mitokondria juga dapat terganggu oleh gen yang disebut dengan p53-inducible genes
(PIG). P53 juga terlibat dalam death receptor-induced
pathway dan ekspresi dari paling sedikit dua resptor seperti FAS/APO1 dan DR5/KILLER yang diinduksi oleh p53. Menurunnya ketahanan protein oleh karena tertekannya gen antiapoptosis seperti BCL2 yang diinduksi oleh p53 juga berperan penting untuk terjadinya apoptosis (Macdonal,2004;Kresno,2011;Shahib,2012). 2.9.1 Peran p53 pada apoptosis Pada keadaan-keadaan tertentu, p53 juga mampu menginduksi suatu bentuk kematian sel yang terprogram yang dikenal sebagai apoptosis. Proses ini berbeda dengan tipe kematian sel lainnya, terdapat beberapa karakteristik seperti menggelembungnya membran, kondensasi kromatin dan fragmentasi DNA. Beberapa tindakan yang menyebabkan peningkatan ekspresi p53 akan menghasilkan apoptosis. Walaupun apoptosis dan penekanan pertumbuhan merupakan fenomena yang berbeda, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mencegah berkembangnya sel-sel yang mengandung mutasi gen, sederhananya, peranan p53 adalah menekan pertumbuhan sel (Shahib,2012).
Universitas Sumatera Utara
23
Tumor protein p53 memegang peranan penting dalam mengatur proses dalam sel sebagai respon terhadap berbagai stress, baik genotoksik (perubahan DNA akibat iradiasi, UV, karsinogen, obat sitotoksik) maupun non-genotoksik (hipoksia, deplesia nukleitida, aktivasi okogen, disrupsi mikrotubuli,gangguan kontak antar sel). Protein p53 dapat dipandang sebagai tanda adanya sinyal stress yang kemudian ditransduksi melalui kemampuan p53 untuk bertindak sebagai faktor transkripsi (Kresno,2011). Gen p53 juga menghasilan 53-kDa fosforotein nuclear yang berlokasi pada kromosom 17p dan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan sel. p53 dengan p73 dan p63 merupakan bagian dari family dariTSGs, dimana gen p53 ini berperan sebagai transkripsi beberapa target gen, mengendalikan perjalanan siklus sel, sebagai kontrol checkpoint pada G1, dan meregulasi perbaikan DNA, apoptosis dan diferensiasi (Scully,2003). Hilangnya 17p13 terjadi pada hampir 60% pada kasus squamous cell carcinoma (SCC). Perubahan gen p53 oleh karena kehilangan alel, point mutation, delesi dan inaktifasi mengganggu perannya sebagai Guardian of the
Genome
dengan
cara
menurunkan
kemampuan
sel
untuk
memperbaiki DNA dan mengalami apoptosis sebagai respon terhadap kerusakan DNA tersebut sehingga menyebabkan instabilitas genomik. Sebuah penelitian mengenai tumor-tumor invasif, mutasi p53 terjadi sebanyak 40-50% dan lebih banyak ditemukan pada penderita squamous cell carcinoma kepala dan leher yang terpapar asap rokok dan minum alkohol, dimana kita ketahui bahwa salah satu penyebab atau faktor resiko timbulnya tumor ganas sinonasal adalah dari paparan asap rokok dan alkohol. Ekspresi yang lebih dari protein p53 didalam tumor pada penderita squamous cell carcinoma kepala dan leher dilaporkan berkorelasi dengan timbulnya tumor primer yang kedua (Irish,2003).
Universitas Sumatera Utara
24
2.9.2 Ekspresi p53 mutan pada karsinoma sel skuamosa sinonasal Gangguan fungsi p53 yang terjadi pada tumor disebabkan oleh mutasi gen p53 itu sendiri maupun mutasi gen yang mengatur p53. Mutasi dari protein p53 dapat dijumpai hampir 50% dari kanker. Sedangkan pada kanker mulut dan kanker kepala dan leher dijumpai hampir dua-pertiga (dari 12-100%) yang disebabkan mutasi dari p53. Di Negara barat, overekspresi skuamous sel karsinoma pada kepala dan leher dikatakan berhubungan dengan komsumsi alkohol dan tembakau. Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya mutasi p53 pada perokok atau mantan perokok (Scully,2003). Poeta dalam penelitian di Inggris menyatakan bahwa p53 mutan dapat digunakan sebagai faktor stratifikasi dalam prospektif uji klinis khususnya pada karsinoma sel skuamosa (Poeta,2007). Ekspresi p53 lebih tinggi pada jaringan maligna dibandingkan dengan jaringan normal, dan karsinoma diferensiasi jelek menunjukkan jumlah sel p53 positif lebih banyak dengan karsinoma diferensiasi baik. P53 kuat terekspresi pada karsinoma sel skuamosa, tetapi negatif pada smallcellcarcinoma dan adenokarsinoma ( Scully,2003;Oncel,2011). p53 termasuk gen yang paling sering mengalami perubahan pada kanker manusia, strategi perancangan untuk mengembalikan akibat dari perubahan yang terjadi menjadi topik utama dalam luasnya masalah terapi. Fakta-fakta telah memperkuat dugaan bahwa banyak dari bahanbahan yang digunakan sekarang dalam pengobatan kanker seperti radiasi, beberapa zat kemoterapi seperti 5-fluorourasil(5FU), etoposide dan adriamisin merangsang ekspresi p53, pada kanker dengan p53 intak, sehingga induksi tersebut akan dapat menyebabkan peningkatan kematian sel akibat apoptosis (Shahib,2012).
Universitas Sumatera Utara
25
2.10 Kerangka Konsep Zat hasil industri Z (industrial Fumos)
Paparan karsinogen lingkungan
Infeksi bakteri dan inflamasi
Mutasi gen supressor p53 Protein p53 mutan
Pasien Ca Sinonasal
Gambar 2.5 Skema kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara