BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1.
Kelekatan (attachment)
2.1.1. Definisi Kelekatan (attachment) Bowlby mengatakan bahwa kelekatan (attachment) adalah ikatan antara bayi dan ibu, sedangkan menurut Papalia dan Olds (1998) kelekatan (attachment) adalah keaktifan, rasa kasih sayang, timbal balik selama terdapat hubungan antara dua orang yang berinteraksi terus menerus dan yang semakin menguatkan ikatan. Menurut Egeland (2009) kelekatan (attachment) dibentuk dari ide dasar mengenai hubungan awal yang terus bekembang antara infant dan caregiver yang menyediakan fondasi bagi kelanjutan perkembangan selanjutnya. Ainsworth (dalam Papalia & Olds, 1998) mengatakan bahwa esensi dasar dari manusia adalah seorang infant memiliki kelekatan dengan figure ibu. Jadi kelekatan (attachment) dapat dikatakan sebagai bentuk ikatan antara individu dengan orang terdekatnya. Ikatan tersebut terbentuk karena suatu proses yang hasilnya akan membentuk attachment style yang berbeda-beda.
2.1.2. Adult Attachment Adult attachment menurut Sperling dan Berman (dalam Pratishita, 2008) adalah kecenderungan stabil yang dimiliki individu untuk melaksanakan suatu usaha penting dalam mencari dan mempertahankan kedekatan atau kontak dengan seseorang yang memberikan rasa aman secara fisik maupun psikologis. Penelitian dan teori kelekatan (attachment) terus maju dan berkembang setelah adanya trilogi kelekatan (attachment) dari Bowlby, kemajuan metodelogi dan sudah adanya teori yang saling melengkapi kelekatan (attachment) (Bretherton, 1992). Ada hal yang menarik dari terus berkembangnya teori kelekatan (attachment) dalam penelitian yang dilakukan. Menurut Bretherton (1992) terdapat sumber tambahan inspirasi working model berasal dari hubungan infant dan caregiver yang berusaha diterjemahkan oleh Ainsworth dengan subjek adult attachment. Menurut Papalia & Olds (1998), kelekatan (attachment) memiliki efek 9
jangka panjang, hubungan antara kelekatan (attachment) dan karakteristiknya akan terus berkembang dan akan berhubungan juga dengan emosi, kognitif dan perkembangan fisik seseorang. Dalam perkembangan dewasa, kelekatan (attachment) akan berperan ketika seseorang menjalin hubungan dekat dengan orang lain. Menurut Hazan dan Shaver (1994), pada anak figure caregiver biasanya adalah orang tua tetapi pada kelekatan (attachment) dewasa figure yang muncul secara umum adalah peer yang biasanya partner secara seksual. Dengan kata lain pada adult attachment, seseorang memiliki ikatan dengan seseorang yang sedang dalam hubungan pacaran. Hazan dan Shaver (dalam Steuber 2005) berpendapat bahwa ikatan awal pada masa infancy yang terbentuk dengan baik pada salah satu bentuk kelekatan (attachment) maka akan berpengaruh pada adult attachment khususnya ketika menjalin hubungan romantis. Dalam perspektif kelekatan (attachment), formasi dari pacaran hubungan antara dua orang yang secara fisik mengalami kedekatan, dengan kata lain kelekatan (attachment) dalam hubungan pacaran sangat mendorong kedekatakan (Hazan dan Shaver, 1994). Walaupun hubungan pacaran adalah bagian dari fenomena kelekatan (attachment), hal ini terlibat dalam sistem berperilaku seseorang, pemberian perhatian dan seks hal ini berhubungan tetapi secara teori dapat dipisahkan (Fraley dan Shaver, 2000). Jadi menurut Hazan dan Shaver (dalam Fraley dan Shaver, 2000) sistem berperilaku, pemberian perhatian dan seks merupakan bagian dari pengalaman dalam kelekatan (attachment) dalam hubungan berpacaran.
2.1.3. Tipe Kelekatan (attachment style) Hazan dan Shaver (dalam Fraley dan Shaver, 2000) mengategorikan romantic attachment, mengadopsi 3 kategori kelekatan (attachment) dari Ainsworth dalam mengorganisir bagaimana cara orang dewasa berpikir, merasakan dan berperilaku dalam hubungan romantis, romantic attachment diklasifikasikan menjadi secure, anxious-ambivalent dan avoidant. Hazan dan shaver setuju dengan pola kelekatan (attachment) yang diungkapkan oleh Ainsworth (secure, anxious-ambivalent dan anxious avoidant) secara konsep sama dengan “love style” pada orang dewasa yang dikatakan oleh Lee, dkk ( Fraley & Shaver, 2000).
10
A. Secure attachment Secure attachment adalah bentuk kelekatan (attachment) yang paling ideal dibandingkan dengan bentuk yang lain, karena dengan secure attachment seseorang akan mudah dekat dengan orang lain tanpa merasa khawatir atau takut. Secure attachment adalah tujuan dari attachment system yang dibuat oleh Bowlby (Mikulincer & Shaver, 2007). Dalam menjalani kehidupan sosial secure attachment juga sangat penting, karena seperti yang dikatakan Hazan & Shaver (1994), kebutuhan akan rasa aman adalah hal yang paling penting dan kepuasan hubungan sosial. Perilaku infant yang memiliki secure attachment cenderung memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain, nyaman dan memiliki kemampuan untuk menjadikan caregiver sebagai dasar dari rasa aman yang dimiliki (Hazan dan Shaver, 1994). Pada masa dewasa secure attachment ditunjukan kepada pasangan dengan perilaku yang kurang lebih sama. Seperti yang dikatakan Fraley dan Shaver (2000) orang dewasa akan cenderung merasa aman dan memiliki secure attachment ketika pasangan dekat dengan dirinya, mudah untuk dihubungi dan adanya respon dari pasangan. Seseorang yang memiliki secure attachment dalam hubungan akan merasa cenderung baik dalam menjalani hubungan, baik secara komunikasi ataupun hal lain. Seperti yang dikatakan (Santrock, 2012), orang yang memiliki secure attachment cenderung melihat hubungan sebagai hal yang positif, seseorang akan cenderung lebih mudah dekat dengan orang lain, dan sedikit stress dalam menjalani hubungan romantis. Menurut Mikulincer & Shaver (2007), secure attachment memiliki beberapa ciri khusus yang disimpulkan dari rasa aman itu sendiri; merasa aman, dapat mencurahkan perhatian kepada masalah yang dihadapi daripada sekedar melindungi diri, bisa menghargai perasaan dalam mencintai dan menilai, dapat mengambil resiko, dan percaya diri. B. Avoidant attachment Avoidant adalah salah satu bentuk insecure attachment. Menurut Hazan dan Shaver terdapat dua dimensi insecure dalam kelekatan (attachment) dan salah satunya adalah avoidant attachment (Mikulincer & Shaver, 2007). Avoidant attachment adalah bentuk kelekatan (attachment) yang cenderung menghindari sesuatu. Caregiver pada avoidant attachment pada masa infant secara konsisten menyangkal bahwa infant 11
membutuhkan kenyamanan, khususnya kontak secara fisik (Hazan & Shaver, 1994). Caregiver bersifat kaku terhadap infant dan menolak segala usaha infant dalam mencari kedekatan (Mikulincer & Shaver, 2007) Ciri avoidant attachment dalam menjalin hubungan juga sangat berbeda dengan secure attachment yang cenderung mudah untuk dekat orang lain. Seseorang dengan avoidant attachment ragu-ragu dalam mejalin hubungan romantis dan beberapa malah cenderung untuk menghindari dekat dengan pasangannya (Santrock, 2012). Hal ini sama dengan yang dikatakan Mikulincer dan Shaver (2007) yang mengatakan bahwa seseorang dengan avoidant attachment merasa tidak nyaman dengan kedekatan dan ketergantungan dengan pasangan. Seseorang dengan avoidant attachment dalam berinteraksi dengan pasangan juga cenderung merasa yang dikatakan selalu benar (Mikulincer dan Shaver, 2007). C. Anxiety-ambivalent attachment Anxiety-ambivalent attachment adalah bentuk insecurity attachment yang kedua setelah avoidant attachment (Mikulincer & Shaver, 2007). Ainsworth (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) dalam melakukan observasi, menemukan bahwa interaksi antara anxious infant dan ibunya bersifat kurang harmonis dan caregiver dianggap tidak konsisten dalam merespon kebutuhan. Hal ini membuat infant merasa membutuhkan tetapi tidak juga direspon sehingga infant merasa takut kehilangan kelekatan (attachment) dengan caregiver. Dalam menajlin hubungan, seseorang dengan anxiety-ambivalent attachment memiliki rasa cemas atau takut mengenai pasangannya. Seseorang dengan anxietyambivalent attachment sangat menuntut kedekatan, memiliki sedikit rasa percaya terhadap pasangan, dan secara emosional memiliki kecemburuan dan posesif terhadap pasangan.
2.1.4. Konsep Two Major Dimensions dari Attachment Style Konsep dari dua dimensi besar pada adult attachment memang merupakan isu yang digaris bawahi dalam pengukuran attachment itu sendiri (Mikulincer dan Shaver, 2007). Bartholomew (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) mengungkapkan bahwa seseorang dengan 12
skor tertentu pada dimensi avoidant dan tertentu pada dimensi anxiety dapat menggambarkan attachment style tertentu-dan ini bisa digambarkan melalui dua dimensi tersebut. Mikulincer dan Shaver (2007) sendiri menyimpulkan mengenai dua dimensi besar ini, bahwa secara umum attachment dapat diukur menggunakan dua skala yang berbeda dengan menggunakan dimensi empiris yaitu, avoidant dan anxiety. Hal ini karena kedua dimensi tersebut sudah menggambarkan cara pandang individu mengenai dirinya sendiri ataupun bagaimana dia memandang orang lain (Pratishita, 2008). Jadi dapat dikatakan bahwa avoidant an anxiety adalah dimensi yang dirasa sudah dapat menggambarkan attachment secara keseluruhan.
2.2. Konflik 2.2.1. Definisi Konflik Canary, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) melihat konflik sebagai gambaran spesifik mengenai peristiwa tertentu, dan konflik sebagai hal yang tesebar sebagai pola yang terus menerus dilakukan dari perilaku tertentu. Sedangkan Kelley dan Thibaut (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) melihat konflik sebagai sesuatu yang bisa terjadi dari berbagai interaksi yang merupakan balasan yang tidak sama dari pasangan dalam interaksi. Christensen dan Shenk (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) mengatakan bahwa penyebab utama konflik dapat terjadi adalah buruknya komunikasi. Jadi konflik dapat dikatakan sebagai bagian dari interaksi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga terjadi konflik dalam interaksi tersebut.
2.2.2 Konflik pada Pasangan Konflik bukan hanya dapat dilihat dari sisi negatifnya saja, tetapi juga dari sisi positif. Konflik mungkin diasosiasikan dengan perasaan negatif dan keadaan yang lebih buruk, walaupun begitu konflik bisa saja menjadi kesempatan untuk menambahkan keintiman dan meningkatkan komunikasi pada pasangan (Pietromonaco, Greenwood & Barret, 2004). Dalam hubungan pacaran Howe (2002) mengatakan terdapat konflik yang sehat dan konflik tidak sehat. Dalam konflik sehat seseorang akan cenderung menyelesaikan konflik, daripada memperpanjang konflik atau menhindari konflik yang sudah ada. Sedangkan dalam 13
konflik tidak sehat seseorang fokus pada mengubah persepsi pasangan agar daripada menemukan dan mengerti apa yang pasangan inginkan. Konflik harus ditangani dengan baik agar hubungan terus dapat berjalan dengan baik. Pendekatan konflik sebagai masalah harus diselesaikan bukan dihindari atau dijauhi (Howe, 2002). Konflik adalah bagian penting dari seluruh hubungan manusia, dan penelitian mengenai konflik harus dimengerti dalam hubungan dan bagaimana hubungan dapat meningkat dan diteruskan (Zacchilli, Hendric & Hendrick, 2009).
2.2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Konflik pada Pasangan Konflik bukan hanya muncul tiba-tiba dalam hubungan. Konflik pasti memiliki penyebab yang akhirnya dua orang dapat menganggap hal tersebut sebagai konflik. Menurut Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan konflik. A. Komunikasi Konflik sering terjadi dalam hubungan karena salah satu tidak dapat mengatakan secara tepat mengenai apa yang diinginkan kepada pasangan (Howe, 2002). Ketidakmampuan mengatakan sesuatu dengan tepat dapat dikatakan sebagai komunikasi yang kurang tepat. Komunikasi sangat penting agar pasangan saling mengetahui satu sama lain apa yang diinginkan. Menurut Hazan dan Shaver (1994) pasangan yang tidak secara jelas mengkomunikasikan pikiran dan perasaan akan mengalami penderitaan dalam hubungan. Komunikasi memiliki hubungan dengan aspek yang ada dalam hubungan yang intim, ketika individu terbuka dengan pasangan hubungan akan lebih memuaskan, dan lebih berkomitmen (Zacchilli, Hendrick & Hendrick 2009).
B. Cinta Cinta adalah hal yang penting dalam hubungan, karena individu yang menjalani hubungan romantis biasanya menemukan cinta dalam hubungan. Cinta adalah sesuatu yang berbeda dari “sangat menyukai” dan bukan hanya masalah dorongan seksual saja (Aronson, Wilson dan Akert, 2007). Jika dilihat cinta 14
memang kelihatannya bukan sumber dari konflik dapat muncul atau berhubungan dengan konflik, tetapi Richadson, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick & hendrick, 2009) menemukan bahwa beberapa jenis cinta secara positif berhubungan dengan strategi penanganan konflik yang membangun. C. Seksualitas Seksualitas adalah hal yang penting dalam hubungan romantis menurut Sprecher (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009). Hubungan antara seksualitas dan konflik bisa saja karena skesualitas juga berhubungan dengan berbagai komponen lain seperti komunikasi. Seperti yang dikatakan Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menentukan kapan, bagaimana dan seberapa sering hubungan seksual dibutuhkan membutuhkan komunikasi dan bisa saja konflik terjadi karena hal ini. D. Kepuasan hubungan Kepuasan dalam hubungan sangat penting karena menurut Steuber (2004), kepuasan dalam hubungan pacaran berkontribusi dalam mood dan emotional wellbeing seseorang. Menurut Cramer (dalam Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009) strategi penanganan konflik adalah salah satu prediktor terkuat dari kepuasan hubungan. E. Sikap menghargai Sikap saling menghargai perlu ditunjukan dalam hubungan pacaran karena menurut Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menghargai adalah aspek penting dalam hubungan dekat bahkan hal ini mendapat perhatian dari para peneliti. Bagaimana akhirnya sikap saling menghargai dapat menjadi penyebab konflik, karena menghargai dapat menunjukan aspek dasar bagaimana pasangan terhubung satu sama lain, hal tersebut seharusnya dapat berhubungan dengan konflik (Zacchilli, Hendrick,& Hendrick, 2009). F. Perbedaan jenis kelamin
15
Bagaimana seorang pria dan wanita menghadapi konflik berbeda. Seperti yang dikatakan Canary, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick, & Hendrick 2009) beberapa penelitian mendemonstrasikan bahwa wanita menggunakan emosi dan taktik distributive (kritik dan kemarahan), sedangkan pria lebih suka menghindar.
2.3.
Strategi Penanganan Konflik
2.3.1. Definisi Strategi Penanganan Konflik Menurut Mansilla dan Kintanar (2010), penanganan konflik adalah menyelesaikan ketidakcocokan atau argumen yang berbeda satu sama lain. Guererro, dkk (dalam Brandenberger, 2007) mengatakan bahwa kesempatan terakhir dalam penangan konflik adalah dengan cara melatih diri untuk menjadi pendengar yang aktif, dan merespon dengan pesan yang positif. Strategi penanganan konflik setiap individu berbeda karena menurut Gottman (dalam Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009), secara konsep setiap pasangan memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam menangani konflik. Jadi strategi penanganan konflik adalah cara yang dipilih atau diambil oleh individu untuk menanggapi konflik yang terjadi.
2.3.2 Strategi Penangan Konflik pada Pasangan Menurut Brandenberger (2007) penangangan konflik adalah hal paling kecil yang dapat seseorang lakukan adalah meminimalisir terjadinya konflik. Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menyimpulkan bahwa konflik adalah hal yang penting dalam hubungan pacaran, dan ilmu mengenai
penanganan
konflik
membantu
untuk
memahami
bagaimana
agar
dapat
mengembangkan kemampuan dalam penanganan konflik. Penanganan konflik akan membantu memudahkan menguraikan konflik yang terjadi (Brandenberger, 2007). Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) mengatakan bahwa strategi penanganan konflik yang bersifat membangun secara positif berhubungan dengan kepuasan pada hubungan pacaran dan perasaan saling menghargai satu sama lain.
16
2.3.3. Bentuk Strategi Penanganan Konflik Dalam penelitian Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009), mengenai pengukuran strategi penanganan konflik, berfokus pada beberapa strategi penanganan konflik; compromise, collaboration, avoidance, domination, submission dan separation. Pada kesimpulannya Zacchilli, Hendrick, & Hendrick (2009) membagi strategi penanganan konflik menjadi enam dimensi: A. Compromise Menurut Lulofs dan Cahn (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) compromise adalah mencari jalan tengah dari konflik. Menurut Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) compromise adalah mencari solusi yang dapat diterima oleh kedua pasangan. Dengan mencari penyelesaian konflik dengan kesepakatan berdua maka pasangan akan sama-sama dapat menemukan pemecahan masalah yang diinginkan. Menurut Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009), strategi compromise adalah gabungan dari strategi negotiation dan collaboration, dengan tujuan kedua pasangan puas dengan hasil keputusan bersama. B. Domination Domination adalah cara penyelesaian konflik dimana salah satu pasangan cenderung mendominasi untuk menyelesaikan masalah. Strategi penanganan konflik menurut Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) adalah usaha untuk memengaruhi atau memaksa yang lain untuk memilih apa yang dominator katakan. Sedangkan menurut Lulofs dan Cahn (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) domination sama dengan istilah completion dalam strategi penanganan konfliknya. C. Submission Submission memiliki karakteristik salah satu pasangan membiakan pasangan yang lain untuk menyelesaikan masalah seperti yang diinginkan agar pasanga merasa puas atau hanya sekesar agar masalah cepat terselesaikan (Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009). Jadi dalam strategi penyelesaian konflik ini pasangan cenderung pasrah dalam menyelesaikan konflik. D. Separation
17
Dalam startegi penyelesaian konflik Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009), separation adalah masa “mendinginkan” dengan membicarakan masalah setelah merasa tenang. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009) sendiri bahwa separation adalah masa “pendinginan” dan mendiskusikan masalah nanti. Jadi pasangan menunggu hingga kondisi cukup tenang baru mulai membicarakan masalah setelahnya. E. Avoidance Menurut Horney (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) contoh perilaku dari strategi penyelesaian konflik avoidance adalah merubah topik atau menyangkal konflik yang ada. Menurut Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009), Avoidance adalah strategi penyelesaian konflik dengan menghindari melibatkan diri dalam situasi konflik sebelum hal itu terjadi. F. Interactional reactivity Stategi penanganan konflik dengan cara agresi yang berbentuk verbal terhadap pasangan, emosi yang berubah-ubah dan kurang rasa percaya kepada pasangan (Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009). Jika hal ini terjadi kepada pasangan dalam menyelesaikan konflik, maka tipe penyelesaiannya adalah interactional reactivity.
2.4.
Emerging Adulthood
2.4.1. Definisi Emerging Adulthood Emerging adulthood adalah konsep baru dalam perkembangan untuk periode remaja akhir, sekitar usia 20 tahun-an, berfokus pada usia 18-25 tahun (Arnett, 2000). Pada usia ini seseorang berada dalam masa antara remaja akhir dan dewasa muda. Dalam hal pacaran, usia emerging adulthood dianggap masih mengeksplorasi untuk mendapatkan pasangan yang tepat. Seperti yang dikatakan Arnett (2004), di Eropa sejak abad 19, usia remaja akhir atau dua-puluh tahunan adalah masa puncak dari romantisme pada usia ini mereka banyak menghabiskan waktu untuk traveling dan eksplorasi diri sebelum akhirnya mereka tetap dalam komitmen dewasa (Arnett, 2004). Ekspektasi emerging adulthood untuk cinta dan pekerjaan sangat tinggi (Arnett, 2007). Pada usia 18 tahun keatas hingga 20 tahunan seseorang dianggap belum dapat 18
menempatkan ekspektasi, periode eksplorasi dan tidak stabil, mencoba berbagai hal dalam pekerjaan dan cinta sebelum membuat keputusan untuk berkomitmen (Arnett, 2004). 2.4.2. Ciri-ciri Emerging Adulthood Menurut Arnett (2004), terdapat lima hal yang membedakan emerging adulthood dengan remaja dan dewasa muda, yaitu: A. Identity exploration Pada usia emerging adulthood, individu banyak melakukan ekplorasi mengenai diri sendiri. bahkan menurut Arnett, (2004) identity exploration adalah ciri utama dari emerging adulthood dimana ini adalah waktu ketika seseorang mengeksplor berbagai kemungkinan untuk hidup mereka pada beberapa area, khususnya cinta dan pekerjaan. Menurut Arnett, Ramos dan Jensen (2001) eksperimen dan eksplorasi kunci dari masa emerging adulthood, dalam cinta dan pekerjaan juga mengenai menghargai perkembangan dan ideology atau sudut pandang dunia. Ekplorasi diri akan lebih mudah dilakukan pada usia emerging adulthood. Hal ini karena menurut Arnett (2004), emerging adulthood lebih mandiri daripada remaja. Walaupun ketika remaja sebenarnya sudah dapat melakukan eksplorasi khususnya pekerjaan dan cinta, tetapi pada usia remaja cinta biasanya bersifat sementara dan masih berganti-ganti, sedangkan pada emerging adulthood ekplorasi dalam cinta cenderung lebih dalam keintimannya. (Arnett, 2004) B. Instability Emerging adulthood dapat dikatakan sebagai usia yang tidak stabil. Arnett (2004) mengilustrasikan ketidakstabilan emerging adulthood dengan seringnya emerging adulthood pindah dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal lainnya. Berpindahpindahemerging adulthood adalah bagian dari eksplorasi diri emerging adulthood, jadi ketidakstabilan emerging adulthood karena ciri ekplorasi emerging adulthood (Arnett, 2004). C. Self-focused Tidak ada waktu dalam kehidupan yang lebih berfokus pada diri sendiri daripada emerging adulthood (Arnett, 2004). Pada masa ini emerging adulthood memiliki 19
keputusannya sendiri. pada usia anak-anak dan remaja memang berfokus pada diri sendiri, tetapi pada usia tersebut terdapat orang tua yang memiliki peraturan yang harus diikuti (Arnett, 2004). Sedangkan pada usia emerging adulthood menurut Arnett (2004), akan sangat banyak keputusan yang harus diambil sendiri oleh emerging adulthood. D. Feeling in between Pada masa emerging adulthood seseorang akan merasa berada diantara masa remaja dan dewasa muda. Pada masa emerging adulthood seseorang berada pada masa dimana mereka tidak lagi tinggal bersama orang tua dan pergi kesekolah tetapi tidak juga seperti pada dewasa muda yang sudah memiliki keluarga (Arnett, 2004). E. Possibilities Banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada masa emerging adulthood. Ketika banyak masa depan yang berbeda yang mungkin terbuka ( Arnett, 2004). Pada usia ini seseorang memiliki harapan dan ekspektasi yang besar, seperti yang dikatakan Arnett, (2004) emerging adulthood melihat masa depan akan mendapatkan gaji yang baik, kepuasan dalam pekerjaan, mencintai, pernikahan seumur hidup, dan anak-anak yang bahagia. Pada usia emerging adulthood seseorang dapat menentukan bagaimana akan merubah diri untuk menjadi sesuai dengan ekspektasi mereka. Hal ini karena mereka dapat membuat keputusan sendiri tentang mereka ingin menjadi seperti apa dan bagaimana mereka berharap tentang kehidupan (Arnett, 2004).
2.5.
Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Pacaran
konflik
20
Strategi penanganan konflik berbeda
Sejarah keluarga
Pengalaman eksternal
Pilihan dan status
Norma sosial
Jenis kelamin
Attachment
Fenomena dalam penelitian ini adalah pacaran. Pacaran adalah sebuah kombinasi yang kompleks antara passion, komitmen, persahabatan dan cinta yang dijalani dua individu memaksa adanya dorongan untuk dekat satu sama lain (Howe, 2002) Dalam hubungan pacaran, pacaran tidak lepas dari konflik. Jika masalah ingin diselesaikan oleh pasangan, maka pasangan akan memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Seperti yang dikatakan Hazan dan Shaver (1994), jika pasangan kekurangan rasa percaya satu sama lain dan akhirnya mereka tidak mengkomunikasikan secara efektif mengenai pikiran dan perasaan mereka maka mereka tidak akan menemukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan konflik. Bagaimana seseorang menyelesaikan masalah ternyata dipengaruhi oleh bebarapa hal dan salah satunya adalah sejarah keluarga, karena keluarga adalah media seorang individu pertama kali bersosialisasi dan individu. Seperti yang dikatakan oleh Sari, Hubeis, Mangkuprawira dan Saleh (2010) keluarga adalah lingkungan pertama dan utama yang dapat mengarahkan anak untuk menghadapi kehidupan. Bagaimana seseorang dibesarkan dalam lingkungan keluarga ternyata berpengaruh pada kehidupan seseorang saat dewasa (Indriwati dan Fauziah, 2012). Dalam hubungan keluarga seorang anak akan mulai dididik oleh ibu atau pengasuh dan memiliki kelekatan (attachment) dengan caregiver. Macam-macam sikap orangtua dalam pengasuhan anak, dilihat dari cara orangtua merespon dan memenuhi kebutuhan anak, akan membentuk suatu 21
ikatan emosional antara anak dengan orangtua sebagai figur pengasuh (Indriwati dan Fauziah, 2012). Kelekatan (attachment) juga terus berkembang dari masa infant hingga dewasa seperti yang dikatakan oleh Hazan dan Shaver (1994) bahwa kelekatan (attachment) akan berpindah dari orang tua ke pasangan. Masa emerging adulthood (18-25 tahun) adalah masa yang dianggap sebagai masa eksplorasi cinta dan pekerjaan, dan seseorang cenderung akan menetap dengan pasangannya (Arnett, 2004). Maka penelitian ini akan melihat strategi penanganan konflik dan kelekatan (attachment) pada pasangan yang berada dalam kategori emerging adulthood.
2.6.
Hipotesis
H01: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha1: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H02: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha2: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H03: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha3: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H04: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha4: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H05: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. 22
Ha5: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H06: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha6: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H07: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha7: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H08: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha8: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H09: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha9: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H010: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha10: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H011: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha11: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta.
23
H012: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha12: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta.
24