BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jahe Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. ( Paimin, 2008).
2.1.1
Nama daerah. Zingiber officinale Rosc. mempunyai nama umum atau
nama Jahe, dengan aneka sebutan misalnya Aceh (halia), Batak karo (bahing), Lampung (jahi), Sumatra Barat (sipadeh atau sipodeh), Jawa (jae), Sunda (jahe), Madura (jhai), Bugis (pese) dan Irian (lali) (Muhlisah F, 2005).
2.1.2 Deskripsi jahe. Tanaman jahe termasuk keluarga Zingiberaceae suatu
yaitu
tanaman rumput - rumputan tegak dengan ketinggian 30 -75 cm, berdaun
sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15 – 23 cm, lebar lebih kurang dua koma lima sentimeter, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-bintik putih kekuningan dan kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang bercabang-cabang dan
Universitas Sumatera Utara
berbau harum, berwarna kuning atau jingga
dan
berserat (Paimin, 2008 ;
Rukmana 2000).
2.1.3 Sistematika Tanaman Rimpang Jahe : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Musales
Family
: Zingiberaceae
Genus
: Zingiber
Spesies
: officinale
Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang, jahe dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Jahe putih/kuning besar disebut juga jahe gajah atau jahe badak. Ditandai ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna kuning muda atau kuning, berserat halus dan sedikit.
Beraroma tapi berasa kurang tajam.
Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua, baik sebagai jahe segar maupun olahan. Pada
umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
makanan dan minuman.
Universitas Sumatera Utara
2. Jahe kuning kecil disebut juga jahe sunti atau jahe emprit. Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya termasuk katagori sedang, dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma serta berasa tajam. Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua.
Kandungan
minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas.
Jahe
ini
cocok untuk ramuan
obat- obatan, atau diekstrak
oleoresin dan minyak atsirinya.
3. Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah
jingga,
berserat
(pedas). Dipanen
kasar,
beraroma serta berasa
tajam
setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama
dengan jahe kecil sehingga
jahe merah pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
Jahe Gajah / Jahe Badak
Tanaman Jahe
Jahe Sunti / Jahe Emprit
Jahe Merah
Gambar 3. Jenis-Jenis Jahe (Paimin, 2008 )
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Kandungan Kimia. Rimpang jahe mengandung 2 komponen, yaitu:
1. Volatile oil (minyak menguap) Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama minyak jahe. Jahe kering mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe segar yang tidak dikuliti kandungan minyak atsiri lebih banyak dari jahe kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri dari bagian tengah demikian pula dengan baunya. Kandungan minyak atsiri juga ditentukan umur panen dan jenis jahe. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi. Sedangkan pada umur tua, kandungannyapun
makin menyusut walau
baunya semakin menyengat.
2. Non-volatile oil (minyak tidak menguap) Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang sering diambil, dan
komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat pedas
tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari bubuk jahe. Kandungan oleoresin dapat menentukan jenis jahe. Jahe rasa pedasnya tinggi, seperti jahe emprit, mengandung oleoresin yang tinggi dan jenis jahe badak rasa
Universitas Sumatera Utara
pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit. Jenis pelarut yang digunakan, pengulitan serta proses pengeringan dengan sinar matahari atau dengan
mesin
mempengaruhi
terhadap
banyaknya
oleoresin
yang
dihasilkan. Table 1. Komponen Volatil dan Non-volatil Rimpang Jahe Fraksi
Komponen
Volatile
(-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-β-sesquiphelandrene, -bisaboline, -pinene, bornyl acetat, borneol, camphene, -cymene, cineol, cumene, β-elemene, farnesene, β-phelandrene, geraneol, limonene, linalool, myrcene, β-pinene, sabinene.
Non-volatil
Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat, Gingerenon.
Gingerdion,
Sumber : WHO Monographs on selected medicinal plants Vol 1,1999
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai, 1984). Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang berpengaruh dalam sifat pedas jahe (Kesumaningati, 2009), sedangkan senyawa terpenoida adalah merupakan
komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan
biosintesa
senyawa terpenoida, disebut juga senyawa “essence” dan memiliki bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran,
Universitas Sumatera Utara
spasmolitik, sedative, dan bahan pemberi aroma makanan dan parfum. Menurut Nursal, 2006 senyawa-senyawa metabolit sekunder golongan fenolik, flavanoiada, terpenoida dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak jahe diduga merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakeri.
2.1.5 Antioksidan Pada Jahe. Menurut Kusumaningati RW (2009) kemampuan jahe sebagai antioksidan alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di dalamnya, dimana jahe memiliki kadar fenol total yang tinggi dibandingkan kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe. Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap mencit yang diinduksi oleh gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan jahe yang mengandung flavanoida dapat menormalkan kadar
serum
kreatinin,
urea dan asam urat (Laksmi B.V.s ., Sudhakar M, 2010).
2.1.6 Farmakokinetik Jahe. Menurut Zick SM, et al ., 2008. Pada
manusia
konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian melalui oral, dan mencapai Tmax antara 45 -120 menit, dengan t½ eliminasi 75 – 120 menit pada dosis dua gram. Pada uji ini tidak ada efek samping dilaporkan setelah menggunakan 2 g ekstrak jahe.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Plumbum 2.2.1 Gambaran umum . Plumbum (Pb) adalah logam berat secara alami terdapat di alam tetapi bisa juga didapat dari industri. Pb secara alami bersumber dari bebatuan, air telaga dan air sungai, udara dan tumbuh-tumbuhan. Pb organik dan anorganik banyak digunakan pada pabrik pembuat kaca, pabrik cat, pewarna karet, pewarna tinta, bahan peledak, bahan pembuat sebagai
bahan
kimia
tekstil, regensia
kimia, dan
baterai. Pb asetat khususnya digunakan pada proses
pencelupan dan pencetakan tekstil, bahan pernis kayu, pabrik pestisida, pabrik cat, regensia kimia dan pewarna rambut (Johonson, 1998; Palar, 2000). Pb dapat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Pemaparan Pb melalui makanan, minuman, akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh.
2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia. Plumbum adalah logam berat, dengan nomor atom delapan puluh dua, berat atom 207,19 dan berat jenis 11,34, bersifat lunak dan berwarna biru keabu-abuan dengan kilau logam yang khas sesaat setelah dipotong. Kilauanya akan segera hilang sejalan dengan pembentukan lapisan oksida pada permukaannya, meliputi titik leleh 327,50C dan titik didih 17400C (MSDS, 2005). Lebih dari 95% Pb merupakan senyawa anorganik dan umumnya dalam bentuk garam Pb anorganik, kurang larut dalam air dan selebihnya berbentuk Pb organik. Senyawa Pb anorganik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan
Universitas Sumatera Utara
Tetramethyllead (TML) terdapat dalam bahan bakar kenderaan. Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid (WHO, 1977).
2.2.3 Farmakokinetik. Secara perlahan namun konsisten, Pb anorganik diserap melalui saluran nafas dan cerana. Pb anorganik tidak diserap secara baik melalui kulit, tetapi komposisi Pd organik, misalnya antiknock gasoline yang mengandung Pb, dapat diserap dengan baik melalui kulit. Penyerapan debu yang mengandung Pb melalui saluran nafas merupakan penyebab paling umum dari keracunan industri. Saluran cerna merupakan jalan masuk non-industri (Tabel 2).
Tabel 2 . Toksikologi Senyawa Pb Bentuk yang memasuki tubuh
Jalan Absorbsi utama
Oksida dan garam Pb anorganik
Gastrointestinal, respiratorik
Organik (tetraethethyl lead)
Kulit; gastrointestinal; respiratorik
Pb
Distribusi Jaringan lunak ; redistribusi ke kerangka (>90% beban tubuh dewasa) Jaringan lunak, khususnya hati, SSP
Efek Klinis Utama Defisit SSP; neuropati perifer; anemi;nefropati.
Ensefalopati
Aspek Penting dari Mekanisme Inhibisi enzim; mempengaruhi kation esensial; mengubah struktur membran. Dealkalisasi hepatis (cepat)trialkylmetabo lites (lambat)disosiasi Pb
Metabolisme dan Eliminasi Ginjal(mayor) ; air susu (minor). Urine dan feces(mayor); keringat (minor)
Sumber : Farmakologi Dasar dan Klinik (Katzung BG,2004)
Penyerapan melalui pencernaan berbeda sesuai dengan sifat komposisi Pb. Secara umum, orang dewasa menyerap sekitar 10% dari jumlah yang masuk sementara anakanak menyerap sampai mendekati 50%. Kalsium diet rendah, kurang zat besi, dan pemasukan ke dalam perut yang kosong terkait dengan peningkatan penyerapan Pb.
Universitas Sumatera Utara
Setelah diserap dari saluran nafas atau saluran cerna, Pb terikat ke eritrosit dan awalnya didistribusikan secara luas ke jaringan lunak seperti sumsum tulang, otak, ginjal, hati, otot, dan gonad; kemudian ke permukaan tulang subperiosteal; lalu ke matriks tulang. Pb juga menyeberangi plasenta dan merupakan bahaya potensial bagi janin. Kinetika klirens Pb dari tubuh mengikuti model multikompartemen, terdiri dari sebagian besar darah dan jaringan lunak, dengan waktu paruh 1-2 bulan; dan kerangka tubuh dengan waktu paruh tahunan hingga puluhan tahun. Lebih dari 90% Pb yang dieliminasi dijumpai dalam urin, dan sisanya diekskresi melalui empedu, kulit, rambut, kuku, keringat, dan air susu. Sebagian yang tidak segera diekskresi, kira-kira setengah dari Pb yang diserap, mungkin dimasukkan kedalam kerangka tubuh, tempat pembuangan lebih dari 90% dari beban Pb tubuh pada kebanyakan orang dewasa (Katzung BG, 2004).
2.2.4 Metabolisme dan Toksisitas. Absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen saja, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil dan absorbsi Pb melalui saluran pencernaan tergantung dengan ukuran logam berat tersebut, waktu transit gastrointestinal, status gizi, dan usia (Khaturia, 2008). Namun demikian jumlah plumbum yang masuk bersama makanan dan minuman masih mungkin ditolelir oleh lambung disebabkan asam lambung (HCl) yang mempunyai kemampuan untuk menyerap keberadaan logam Pb.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Waktu paruh dalam darah kurang 25 hari, pada jaringan 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Eksresi yang lambat menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan okupasional maupun nonokupasional (Nordberg, 1998). Toksikitas Pb sangat mempengaruhi proses metabolisme organ penting pada makhluk hidup yaitu hati dan ginjal. Kedua organ tersebut sangat berperan dalam proses metabolisme dan filtrasi unsur-unsur nutrisi bagi kesehatan makhluk hidup. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai hambatan proses metabolisme tersebut baik dalam sudut perubahan biokimia dan histologi dari organ yang bersangkutan terutama pada hewan laboratorium. Selain itu beberapa penelitian mengenai toksisitas Pb pada ginjal menunjukkan terjadi kerusakan tubulus ginjal sehingga fungsinya sebagai organ filtrasi sangat menurun. Sebagai akibatnya beberapa janis asam amino dan elektrolit diekskresikan (Darmono, 2001). Saluran pencernaan, susunan saraf, system hematopoitik dan ginjal merupakan alat-alat tubuh yang paling sensitif terhadap efek toksik Pb. Logam berat Pb dapat meracuni tubuh manusia baik secara akut maupun kronis. Senyawa Pb organik mempunyai daya racun yang lebih kuat dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik. Keracunan Pb akut pada anak-anak dan dewasa dapat menderita disfungsi tubuli proksimal dengan gejala-gejala seperti sindroma de fanconi (aminoasiduria, glukosuria dan hiperfosfaturia) (Doloksaribu B, 2008). Menurut Robbin (2006) Pada sel normal, Pb dapat membentuk radikal bebas, sehingga menyebabkan rangsangan patologi yang merugikan (jejas; injury) berupa:
Universitas Sumatera Utara
jejas reversible atau jejas irreversible. Jejas reversible menunjukkan perubahan sel yang dapat kembali menjadi normal jika rangsangan dihilangkan atau jika penyebab jejasnya ringan, sedangkan jejas irreversible terjadi jika stresornya melampaui kemampuan sel untuk beradaptasi (hingga di luar point of no return) dan menunjukkan perubahan patologik permanen yang menyebabkan kematian sel. Namun pada jejas reversible maupun irreversible bila terjadi, akan mempunyai ciri yang khas, diantaranya pada jejas reversible akan terjadi pembengkakan sel sedangkan pada jejas irreversibel (nekrosis) membran sel mengalami fragmentasi dan perubahan nukleus meliputi piknosis, kariolisis, dan karioreksis.
2.3 Radikal Bebas dan Antioksidan Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai species yang terdiri dari satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan berbagai cara. Salah satunya apabila dua radikal bebas bertemu maka elektron yang tidak
berpasangan
tadi
akan
bergabung
membentuk
ikatan
kovalen
(Halliwell B, 1991). Radikal bebas berbahaya jika menjadi sangat reaktif dalam mendapatkan pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul penting seperti enzim, DNA, dan juga merusak sel lain yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit, hal ini dapat dihambat dengan pengguanan antioksidan. Ketidak seimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan menimbulkan stres oksidaif.
Universitas Sumatera Utara
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang berbeda (Tuminah, 2000). Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007). Antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan non-enzimatis.
1. Antioksidan Enzimatis Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di dalamnya adalah enzim Superoksida Dismutase (SOD), katalase, Glutation Peroksidase (GSH-PX), serta Glutation Reduktase (GSH-R) (Mates JM, 1999; Tuminah, 2000). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant (Winarsih, 2007). Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan
Universitas Sumatera Utara
cara mengkatalisis reaksi dismutasi
dari
radikal
anion
superoksida
menjadi H2O2 (Langseth L, 1995; Winarsih 2007).
2. Antioksidan Non-enzimatis Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini bekerja secara preventif, dimana terbentukanya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya (Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin dan isokatekin (Kahkonen,et al.,1999). Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.
2.4 Tubulus Proksimal Ginjal 2.4.1
Anatomi dan Histologi Tubulus Proksimal Ginjal. Secara anatomi
ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medulla ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal (Underwood JCE, 2004; Alpers CE, 2007). Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal; tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa Henle; dan tubulus kontortus distal. Pada kutub
Universitas Sumatera Utara
urinarius pada korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsul Bowman, berhubungan langsung dengan epitel silidris dari tubulus kontortus proksimal . Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks. Tubulus ini juga memiliki
lumen
lebar
dan
di kelilingi
oleh
kapiler
peritubuler
(Junqueira L.C, 1995). Lapisan sel tubulus proksimal merupakan jaringan di ginjal paling sangat sensitif untuk plumbum (Goyer RA,1973). Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal,beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin sehingga ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting (Guyton, 1997; Purnomo BB, 2009). Toksin atau konsentrasi zat
yang
tinggi berpotensi merusak, dan dapat menyebabkan Akut Tubular Nekrosis (ATN).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Ginjal dan nefron (Junqueira LC, 2007)
2.4.2 Efek Pb Terhadap Tubulus Proksimal Ginjal. Pb yang masuk melalui mulut akan terdistribusi ke jaringan, salah satunya ginjal. Di ginjal Pb terakumulasi akan membentuk vakuolisasi sel tubulus proksimal, kemudian akan terbentuk tonjolan (bleb) dari
sitoplasma sel tubulus proksimal, sehingga tubulus sempit,
penyempitan tubulus dapat menjadi suatu tanda awal dari kerusakan ginjal akibat substansi nefrotoksik dalam darah. Selanjunya bleb tersebut pecah sehingga mikrofili hilang. Pecahan-pecahan bleb akan menyumbat tubulus proksimal sehingga terjadi obstruksi tubulus proksimal, keadaan ini mengakibatkan terjadinya Akut Tubular
Universitas Sumatera Utara
Nekrosis dan berakhir dengan gagal ginjal akut (GGA) (Underwood JCE, 2004; Jennette JC, 2007). Lihat Gambar 5.
Tubuh
Pb asetat
Ekskresi
Vasodilatasi
Ekstravasasi Cairan
Difusi Intraselular
Vakuolisasi Sel
Akumulasi Pb di ginjal Tonjolan (Bleb) Sitoplasma pecah Respon Radang Akut
Akut Tubuler Nekrosis (ATN)
Gagal Ginjal Akut (GGA)
Gambar 5. Pengaruh pemberian Pb asetat pada kerusakan tubulus proksimal ginjal
ATN adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers CE, 2007 ). ATN dapat dibedakan atas ATN iskemik dan ATN nefrotoksik. ATN nefrotoksik disebabkan oleh berbagai bahan seperti logam berat (Pb, merkuri, arsenik, emas, kromium, arsenik, bismuth, dan uranium) (Nurdjaman, 2004). Pada ATN nefrotoksik, ginjal bengkak, berwarna merah, dan sering ditemukan vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak di tubulus proksimal,
Universitas Sumatera Utara
jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood JCE, 2004; Alpers CE, 2007 ). ATN merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Klinisnya adalah oliguria yang dilanjutkan dieresis. Peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian akibat ATN terjadi selama fase diuretik (Underwood JCE, 2004).
2.5 Tween 80 Tween 80 (polisorbat 80) adalah surfaktan nonionik digunakan secara luas sebagai aditif dalam makanan, farmasi , dan kosmetik sebagai emulsifier, dispersan, atau stabilizer. Menurut laporan program toksikologi, 2009. Penelitian toksisitas dan karsinogenik dilakukan dengan pemberian polisorbat 80 dalam pakan tikus dan mencit selama 14 hari, 13 minggu, semua binatang bertahan sampai akhir penelitian. Berat badan dan tikus
mirip dengan kontrol. Tidak ditemuan kelainan klinis,
perubahan organ bobot relatif atau absolut, dan lesi mikroskopis tidak dijumpai pada tikus atau mencit yang diberi polisorbat 80 dan tidak terbukti sebagai karsinogenik. Menurut data keamanan material, 2008. Tween 80 tidak menyebabkan toksisitas mau efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik.
Universitas Sumatera Utara