27
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Monosodium Glutamat
Gambar 2.1 Rumus bangun Monosodium glutamat (Inuwa, 2011) Monosodium glutamat (MSG) berupa serbuk kristal putih dengan rumus molekul C5H8NNaO4, berat molekul 187,13, mempunyai sifat kelarutan 74 g/100 ml air (sangat mudah larut dalam air), tetapi tidak bersifat higroskopis dan
praktis
tidak
larut
dalam
pelarut
organik
umum
seperti
eter
(Wikipedia, 2012). MSG mengandung 78% asam glutamat, 22% sodium dan 1% air (Eweka, 2011). Glutamat alami yang berbentuk L- glutamic acid pertama kali ditemukan pada tahun 1866 oleh Karl Ritthausen seorang peneliti Jerman yang mengisolasinya dari tepung gluten. Garam asam glutamat pertama kali ditemukan oleh Kikunae Ikeda pada tahun 1908 dan mengidentifikasi rasa umami dari asam glutamat serta berhasil mengisolasi asam glutamat dari tumbuhan laut (genus laminaria) atau disebut “konbu” di Jepang yang memiliki cita rasa yang khas yang disebut umami yaitu suatu elemen rasa yang dijumpai pada elemen alamiah
Universitas Sumatera Utara
28
seperti kaldu dimana karakteristik umami berupa sedap, lezat dan enak berbeda dengan
empat
(Jinap, et al.,
rasa
yang
lain
yaitu
pahit,
manis,
asin,
dan
asam
2010).
Glutamat juga dibentuk oleh tubuh dan berikatan dengan asam amino lain untuk membentuk struktur protein. Apabila glutamat berikatan dengan molekul protein menjadi tidak berasa dan tidak akan menimbulkan rasa umami pada makanan, namun hidrolisa protein oleh pemanasan selama proses pemasakan akan menyebabkan pelepasan glutamat sehingga glutamat menjadi bentuk bebas yang dapat menimbulkan rasa umami. Glutamat dalam bentuk bebas banyak ditemukan dalam bahan makanan seperti keju, daging dan sayuran, kedelai, jamur, teh hijau dan kol bahkan air susu ibu juga mengandung glutamat. Konsentrasi glutamat yang paling tinggi terdapat pada tomat matang 140 mg/100g dan keju parmesan 1200 mg/100g (Jinap, et al., 2010; Khropycheva, et al., 2009). MSG banyak digunakan pada masakan Cina dan Asia tenggara yang dikenal dengan nama ajinomoto, sasa, vet-sin, miwon, atau weichaun. Tubuh memetabolisme glutamat yang berasal dari MSG dengan cara yang sama dengan terhadap glutamat alami. Tubuh hanya akan mengenali glutamat, tetapi tidak dapat membedakan dari mana asalnya, apakah berasal dari keju, tomat, jamur, atau berasal dari MSG (Jinap, et al., 2010). MSG diabsorbsi sangat cepat didalam saluran cerna dan menyebabkan meningkatnya kadar glutamat dalam plasma darah
(Abbas, et al., 2011). Dalam
sirkulasi MSG akan berdisosiasi menjadi natrium dan L- glutamat, L-glutamat akan melewati mesothelial peritoneal sel dan tiba di aliran darah melalui suatu
Universitas Sumatera Utara
29
sistem transportasi menggunakan ATP. sebagian L- glutamat akan berkonjugasi di dalam sel dan akan mengalami proses eliminasi dan sebagian lagi akan berubah menjadi glutamin (Abass, et al ., 2011) Reseptor glutamat ada 2 jenis, ionotropik dan metabotropik. Reseptor Jenis ionotropik (terkait kanal ion) ada tiga, yaitu N-methyl-D-aspartate receptor (NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate receptor (AMPA) and kainite receptor (KA). Reseptor NMDA ini banyak ditemukan diotak yaitu pada bagian cortex cerebral dan hippocampus, selain itu ditemukan juga pada jaringan ekstraneuronal seperti sel beta pankreas, saluran urogenital pria bagian bawah, ginjal dan limfosit (Gao, et al., 2007; Abass, et al., 2011). Glutamat memicu reseptor NMDA dengan efek membuka reseptor sehingga terjadi pembukaan kanal ion Ca+2 , ion kalsium yang masuk akan mengaktifkan enzim enzim seperti protease, lipase dan endonuklease yang dapat berpengaruh terhadap posfolipid yang merupakan penyusun membran sel (Kumar, et al., 2004), proses ini disertai pelepasan radikal oksigen bebas berbentuk radikal superoxide (O2.-), oleh SOD akan dirubah menjadi bentuk H2O2, dengan adanya logam Fe2+ melalui reaksi Fenton akan terbentuk radikal hidroksi (OH-) dan diakhiri dengan peroksidasi lipid, peroksidasi protein dan kerusakan DNA, sehingga menyebabkan peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar dan mengalami kematian sel akibat nekrosis (Gao, et al., 2007; Abass, et al ., 2011). Konsumsi MSG sangat kecil pengaruhnya terhadap kadar glutamat didalam air susu ibu dan tidak bisa menembus plasenta (International Food
Universitas Sumatera Utara
30
Information Council Foundation). Pada tahun 1958 Menurut FDA MSG masuk dalam kategori “generally recognized as safe” (GRAS), sama seperti bahan tambahan lain seperti garam, cuka dan baking powder (IFIC Foundation), sehingga tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi garam (Ardyanto, 2004). Bila penggunaanya dalam jumlah besar dan lama MSG dapat menimbulkan berbagai macam gejala berupa rasa kebas, jantung berdebar-debar, mual dan sakit kepala, gejala ini kemudian dikenal dengan Chinese restaurant syndrome (Attia, et al., 2008). Oleh karena itu penelitian terhadap efek MSG banyak dilakukan, dari penelitian yang dilakukan oleh Inuwa, et al., 2011, masyarakat Nigeria menggunakan MSG selain sebagai penyedap juga digunakan sebagai pemutih pakaian untuk menghilangkan noda dari pakaian, dari sini timbul pemikiran bahwa zat pemutih bisa saja berefek berbahaya pada jaringan dan organ pada tubuh yang menyebabkan penyakit bila di konsumsi sebagai penyedap makanan, didapatkan hasil bahwa MSG dengan dosis 200 mg, 300 mg dan 400 mg selama empat minggu menimbulkan efek toksikologi pada ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Penelitian yang dilakukan oleh Bertolin, et al, (2011), menemukan bahwa pemberian MSG dengan dosis 4 mg/g BB secara intra peritoneal memperlihatkan bahwa MSG merupakan zat yang reaktif dalam menginduksi lipid peroksidasi yang menghasilkan malondialdehyd yang dideteksi menggunakan Thiobarbituric test. Selain itu pemberian MSG 830 mg/kg BB selama 28 hari memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
31
perubahan pada jaringan ginjal seperti adanya pembengkakan pada endothelium glomerulus dan atropi glomerulus (Abbas, et al., 2011)
2.2 Garcinia Mangostan Linn Buah
manggis
dapat
diklasifikasikan
dalam
golongan
divisi:
Spermatophyta (tumbuhan berbiji); subdivisi: Angiospermae (berbiji tertutup); kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua); famili: Guttiferae; genus: Garcinia; dan spesies: Garcinia Mangostana L. Manggis dengan nama Latinnya Garcinia mangostana Linn (GM) dikenal juga sebagai Queen of the Tropical Fruits di luar negeri. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Burma dan Thailand, merupakan tanaman tropis dengan tinggi pohon antara 7-25 meter (Misra, et al., 2009). Manggis dibudidayakan di hutan hujan tropis pada beberapa negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand. Masyarakat di berbagai negara ini telah menggunakan kulit GM sebagai obat tradisional untuk pengobatan sakit perut, diare, disentri, luka yang terinfeksi dan gastritis kronis (Doi, et al., 2009). Penelitian lain telah menunjukkan bahwa ekstrak GM memiliki aktifitas antioksidan, anti tumor, anti alergi, anti inflamasi, anti bakteri, dan anti virus.
Gambar 2.2. Garcinia mangostana Linn (Shibata, et al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
32
Kulit buah manggis mengandung berbagai senyawa seperti mangostin, tannin, Xanthon, crysanthemin, garcinone, gartanin, vitamin B1, B2, terpen, anthocyanin, phenol dan zat bioaktif lainnya (Moongkarndi, et al., 2004; Shan, et al., 2011).
Diduga yang mempunyai aktifitas farmakologi adalah golongan
Xanthone yang terdiri dari α-mangostin, β- mangostin dan γ- mangostin (Doi, et al., 2009). Xanthone merupakan senyawa polifenol alami yang terdapat di dalam tanaman, dan telah disintesis secara luas dan memiliki efek antioksidan (Mahabusarakam, et al., 2000). Xanthone atau xanthen-9H-one merupakan senyawa organik dengan rumus molekul C13H8O2 merupakan salah satu metabolit sekunder yang banyak ditemui pada beberapa tanaman tingkat tinggi, jamur dan lichen. Inti dari xanthone adalah 9-xanthene atau Dibenzo-c-pyrone. Xanthone di klasifikasikan dalam lima kelompok yaitu: (a) simple oxygenated xanthones; (b) xanthone glycosides; (c) prenylated xanthones; (d) xanthoneolignoids; dan (e) xanthone jenis lain (Chaverri, et al., 2006). Ada sekitar 50 jenis xanthone yang terdapat dalam pericarp buah manggis beberapa di antaranya adalah α-Mangostin, β-Mangostin γ-Mangostin, Garcinone A, Garcinone B, Garcinone C, Garcinone D, Garcinone E, Garcimangosone A (Chaverri, et al., 2006). Jung, et al. (2006), berhasil mengidentifikasi kandungan ekstrak xanthone yang terlarut di dalam diklorometana, berupa dua xanthone yang sudah teroksidasi yaitu 8-hidroksikudraksanton G, dan mangostingon7metoksi-2(3-metil-2-butenil)-8-(3-metil-2-okso-3-butenil)-1,3,6 trihidroksiksanton dan 12 xanthone lainnya yaitu: (1) Kudraksanton G, 8-deoksigartanin; (2)
Universitas Sumatera Utara
33
Garsimangostin; (3) Garsinon; (4). Garsinon-E; (5) Gartanin; (8) 1isomangostin; (9) Alfamangostin; (10) Gamma-mangostin; (11) Mangostinon smeathxanthone A; dan (12) Tovofillin A. Struktur kimia dari kandungan ekstrak etanol kulit manggis terdapat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Struktur inti Xanthone dan beberapa rumus kimia kandungan pericarp Garcinia Mangostana Linn (Chaverri, et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
34
Mekanisme kerja senyawa xanthone ini adalah dengan cara menghambat produksi ROS intraseluler secara signifikan (Moongkarndi, et al., 2004). Penelitian Chomnawang, et al. (2007), menyebutkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis mempunyai aktivitas antioksidan yang signifikan yang diukur dengan penghambatan pembentukan radikal dengan metoda DPPH dan menghasilkan bahwa ekstrak etanol kulit manggis mampu menghambat 50% pembentukan radikal dan juga mereduksi produksi ROS dengan menghambat radikal superoxide (O2-). Selain itu juga dapat menangkap radikal hidroksil (OH-), tetapi kerjanya lebih kuat dalam menghambat radikal superoxide (Kosem, et al., 2007). Evaluasi terhadap α mangostin sebagai antioksidan juga dilakukan dengan cara percobaan terhadap tikus yang diberi isopretenolol 150 mg/kg BB selama dua hari untuk menginduksi infark miokardia memperlihatkan penurunan enzim antioksidan seperti gluthation S transferase (GST), gluthation peroxidase (GPx) dan Superoxide dismutase (SOD) dan peningkatan serum enzim seperti lactate dehydrogenase (LDH), cretinine phosphokinase (CPK), glutamat oxaloacetate transaminase (GOT) serta lipid peroxidase, di samping itu pada pemeriksaan histologi menunjukan adanya nekrotik pada jaringan dengan infiltrasi neutrofil, setelah diberi α mangostin 200 mg/kg BB selama enam hari menunjukkan perubahan yang signifikan hingga dapat disimpulkan bahwa α mangostin mempunyai
efek
sebagai
protektif
lipid
peroksidasi
dan
antioksidan
(Chavveri, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
35
2.3 Radikal Bebas Radikal bebas atau oksidan adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Oleh karena itu untuk menstabilkan diri maka mempunyai kecendrungannya memperoleh elektron dari substansi lain menjadikan radikal bebas sangat reaktif (Murray, et al., 2003). Radikal bebas terdapat dalam tubuh dengan berbagai cara, umumnya akibat proses biokimiawi, antara lain hasil samping dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel, olahraga berlebihan, peradangan, atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan berupa asap kendaraan, asap rokok, bahan pencemar dan radiasi matahari.
Radikal yang sangat berpengaruh terhadap proses biologi adalah yang berasal dari oksigen dan disebut reactive oxygen species (ROS). Oksigen memiliki dua elektron tidak berpasangan di orbital terpisah di kulit terluarnya. Struktur elektronik membuat oksigen sangat rentan terhadap pembentukan radikal. Kelompok
ROS terdiri dari:
(i) superoxide anion; (ii) peroxide (hydrogen
peroxide); dan (iii) hydroxyl radical (Bowen, 2003). (gambar 2.4)
Gambar 2.4 Struktur ROS (Bowen, 2003)
Universitas Sumatera Utara
36
Radikal
bebas
dapat
merusak
senyawa
yang
penting
untuk
mempertahankan integritas sel, yaitu : 1. Asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yaitu fosfolipid, glikolipid yang merupakan komponen penting penyusun membran sel. Asam lemak tak jenuh sangat rawan terhadap serangan-serangan radikal, terutama radikal hidroksil. Radikal hidroksil dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan nama peroksidasi lipid 2. Protein, Oksidan dapat merusak asam amino yang merupakan penyusun protein, seperti sistein yang mengandung gugusan sulfidril (SH) yang paling peka terhadap radikal hidroksil sehigga terbentuk ikatan disulfida (-S-S-) menimbulkan ikatan intra atau antar molekul sehingga protein tersebut kehilangan fungsi biologisnya. 3. DNA, Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA berupa hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA yang berakibat timbulnya mutasi, apabila mutasi ini mengenai gen-gen tertentu yang disebut onkogen, maka mutasi tersebut dapat menimbulkan kanker Senyawa kimia dan reaksi kimia yang menghasilkan spesies oksigen yang bersifat
toksis
pembentukannya
disebut disebut
prooksidan antioksidan.
sedangkan Dalam
senyawa sel
yang
yang
menekan
normal
terjadi
keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan, tetapi pada keadaan tertentu keseimbangan ini bergeser kearah prooksidan karena produksi spesies oksigen meningkat, keadaan ini disebut dengan stres oksidatif, apabila stres tersebut
Universitas Sumatera Utara
37
berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan sel yang berat atau menetap menyebabkan cedera ireversibel dan sel yang terkena akan mengalami kematian (Murray, et al., 2003).
2.4 Antioksidan Antioksidan terdiri dari dua kelompok yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan
nonenzimatis.
Antioksidan
enzimatis
(primer):
merupakan
antioksidan endogen, yaitu enzim superoxidea dismutase (SOD), catalase, glutation peroksidase (GSH-PX), serta glutation reduktase (GSHR). Enzim SOD bekerja dengan cara mengubah radikal anion superoxidea (O2-) yang sangat reaktif menjadi H2O2 yang kurang reaktif, sedangkan catalase dan glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 (Mates, et al., 1999 dalam Wresdiyati, et al., 2010; Bowen, 2003). Antioksidan non ezimatis (sekunder): disebut juga antioksidan eksogen, antioksidan ini bekerja secara preventif. Terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Komponen ini meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid. Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas (Mates, et al., 1999 dalam Wresdiyati, et al., 2010; Bowen, 2003Mates, et al., 1999). SOD terdiri dari empat kelas, yaitu: (i) Mn SOD ( manganese superoxide dismutase) yang terdapat didalam mitokondria merupakan homotetramer dengan berat 96 KDa mengandung satu atom Mn perunitnya; (ii) Cu Zn SOD (Copper Zinc superoxide dismutase) yang terdapat didalam sitoplasma terdiri dari dua sub
Universitas Sumatera Utara
38
unit yang identik dengan berat 32 KDa; (iii) Ni SOD (Nickel superoxide dismutase) mengandung empat unit yang identik dengan berat 13,4 KDa; (iv) EC SOD (extracellular superoxide dismutase), (Goodsel, 2007). Pengukuran kandungan enzim antioksidan SOD merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi terdapat pada hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium dan timus. Pada masa embrional Cu Zn SOD terdapat pada organ yang sedang berkembang dan sangat kuat terekspresi pada ependymal epithelium dari choroid plexus, ganglia, sel sensor pada olfactory dan epitel vestibulocochlear, sel darah, hepatosit, sel hematopoetik liver, dan kulit. Selama masa organogenesis dan pada masa akhir kehamilan levelnya akan meningkat pada sel yang telah matang dan akan terdeteksi pada sel epitel dari saluran cerna, saluran pernafasan, pankreas dan ginjal (Yon, et al., 2008) Pada ginjal tikus Cu Zn SOD lebih banyak ditemukan pada bagian inti dan sitoplasma sel-sel tubuli renalis (tubuli distalis dan proksimalis). Tingginya kandungan Cu Zn SOD pada jaringan ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai tingkat konsumsi oksigen yang sangat tinggi dan sangat rentan terkena dampak langsung dari radikal-radikal bebas yang terbentuk dari metabolisme parsial oksigen. Tingginya kandungan Cu Zn SOD pada ginjal juga merupakan indikasi tingginya kemampuan sistem pertahanan untuk tetap mempertahankan kapasitas antioksidan agar tetap mampu mengatasi oksidanoksidan yang terbentuk selama proses metabolisme yang berlangsung di dalamnya
Universitas Sumatera Utara
39
maupun yang terbentuk dari luar ginjal (Wresdiyati, et al., 2002). Pengamatan immunohistokimia dilakukan terhadap inti sel tubulus proksimal dan tubulus distal renalis yang memberikan reaksi positif pada berbagai tingkat kandungan Cu Zn SOD yaitu coklat tua (positif kuat/+++), coklat sedang (positif sedang/++), coklat muda campur biru (positif lemah/+), dan warna biru (negatif/-).
2.5 Vitamin E (Tokoferol)
Gambar 2.5 α- Tokoferol (Murray, et al., 2003)
Vitamin
E
merupakan
senyawa
6-hidroksikromana
(tokol)
yang
tersubsitusi isoprenoid seperti pada gambar 2.5. Di alam vitamin E terdiri dari berbagai jenis seperti: α tokoferol (5,7,8-Trimetil tokol), β tokoferol (5,8-Dimetil tokol), γ tokoferol (7,8-Dimetil tokol), δ tokoferol (8-Metil tokol), yang mempunyai aktifitas biologis terbesar dan distribusi alami yang paling luas adalah α tokoferol dengan rumus kimia C29H50O2 (Murray, et al., 2003). Alfa tokoferol berupa minyak kental jernih, warna kuning atau kuning kehijauan, tidak larut dalam air, sukar larut dalam larutan alkali, larut dalam etanol, eter, aseton dan dalam minyak nabati, mudah larut dalam kloroform (Eitenmiller, 2004).
Universitas Sumatera Utara
40
Tokoferol merupakan antioksidan non enzimatik, memutus reaksi rantai radikal bebas dengan mekanisme mendonorkan ion hidrogen fenolat kepada radikal bebas peroksil asam lemak tak jenuh ganda yang terperoksidasi seperti persamaan berikut ini: ROO. + TocOH → ROOH + TocO. ROO. + TocO. → ROO + (Produk non radikal bebas)
Radikal bebas fenoksi yang dihasilkan dapat bereaksi dengan vitamin C untuk menghasilkan kembali tokoferol atau bereaksi dengan radikal bebas peroksil berikutnya sehingga cincin kromana serta rantai samping dioksidasi menjadi produk bukan radikal bebas. Kerja vitamin E akan efektif bila bekerja pada konsentrasi oksigen tinggi sehingga vitamin E cenderung terdapat pada struktur lipid yang terpajan tekan parsial O2 paling tinggi seperti membran eritrosit dan retina. Sumber vitamin E banyak terdapat dialam seperti benih gandum, minyak biji bunga matahari, minyak jagung dan kedelai dapat rusak oleh proses pemasakan dan pengolahan makanan seperti proses deep freezing. Gangguan absorbsi lemak dapat menyebabkan defisiensi Vitamin E karena tokoferol larut dalam lemak makanan dan dibebaskan serta diserap saat lemak dicerna. Vitamin E tersimpan dalam jaringan adipose karena itu kondisi defisiensi vitamin E dapat ditemukan pada kondisi steatore kronis, penyakit hepar kolestatik, kistik fibrosis dan pasien yang menjalani operasi reseksi usus (Murray, et al., 2003)
Universitas Sumatera Utara
41
2.6 Ginjal Pada manusia bentuk ginjal seperti kacang merah dengan ukuran panjang sekitar 10-12 cm, lebar sekitar 6 cm dan ketebalan 3,5 cm dengan berat sekitar 150 gram dan terbenam dalam dasar lemak yang disebut lemak perirenal. Terdapat pada posterior abdomen bagian atas pada masing-masing sisi vertebrata lumbal atas, letak ginjal kanan biasanya terletak lebih rendah di bandingkan ginjal kiri (Gambar 2.6). Ginjal di bungkus oleh simpai jaringan fibrosa yang tipis. Setiap ginjal memiliki bukaan yang disebut hilus yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter (Watson, 2002). Pada pelvis renalis yakni ujung atas ureter yang melebar terbagi menjadi tiga kaliks mayor dan 12-18 cabang kecil atau kaliks minor. Ginjal dibagi menjadi korteks luar dan medulla didalam yang terdiri dari 10-18 struktur piramid yang disebut pyramid medulla. Dari dasar tiap pyramid terjulur berkas tubulus yang parallel disebut berkas medulla yang menyusup kedalam korteks (Junqueira, et al., 2007).
Gambar 2.6 Anatomi ginjal normal (Watson, 2002).
Universitas Sumatera Utara
42
Unit fungsional ginjal yaitu nefron yang berjumlah 1-4 juta, nefron memiliki beberapa segmen yaitu: (1) korpuskel renalis (Malpighi); (2) Tubulus kontortus proksimal; (3) Segmen tipis; (4) Segmen tebal; (5) Lengkung Henle; (6) Tubulus kontotortus distal; (7) Tubulus; dan (8) Duktus koligentes (gambar 2.7).
Gambar 2.7 Struktur nefron (Junqueira, et al., 2007)
Setiap korpusel renalis dengan diameter 150-25 µm mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Universitas Sumatera Utara
43
Bowman berjumlah lebih dari satu juta unit dalam satu ginjal (gambar 2.8) (Junqueira, et al., 2007).
Gambar 2.8
A. Gambaran histologi glomerulus ginjal, (CL: Capylary lumen, MES: mesangium; END:endothelium; EP: visceral epithelia cells); dan B. Skema glomerulus (Kumar, 2010)
Nefron memiliki fungsi dasar membersihkan plasma darah dari zat yang tidak diinginkan oleh tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, dan ion-ion natrium, kalium, klorida, serta ion-ion hidrogen dalam jumlah yang berlebihan, melalui mekanisme filtrasi pada
Universitas Sumatera Utara
44
korpuskel renal, reabsorbsi pada saluran tubular dan sekresi pada epitel tubulus (Silverthone, 2001). Tubulus kontortus proksimal dimulai dari korpuskel ginjal, panjangnya sekitar 14 mm dengan diameter 50-60 µm dan berkelok membentuk lengkungan yang menghadap ke permukaan kapsula ginjal dan berakhir sebagai saluran lurus menuju tempat tubulus melanjutkan diri dengan ansa Henle. Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah reabsorpsi
filtrat glomerulus dengan proses aktif
melalui pompa natrium (Na+/K+ATPase) yaitu mengabsorbsi seluruh glukosa, asam amino, lebih kurang 85% NaCl dan air dari filtrat, selain fosfat dan kalsium (Junqueira, et al., 2007). Epitel yang melapisi tubulus ini adalah selapis kuboid atau silindris yang menunjang dalam mekanisme absorbsi dan ekskresi. Sel-sel epitel ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang sekitar 1 μm, yang membentuk suatu brush border (Junqueira, et al., 2007). Tubulus kontortus distal dimulai sesudah ansa Henle segmen tebal dan bentuknya berkelok-kelok. Tubulus ini dilapisi oleh sel epitel selapis kuboid dan berbeda dengan tubulus proksimal karena tidak mempunyai sel brush border, tidak mempunyai kanalikuli apical dan ukuran sel lebih kecil. Karena sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil daripada tubulus proksimal, maka lebih banyak terdapat inti sel pada dinding Tubulus kontortus distal dibanding tubulus proksimal (Junqueira, et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
45
Fungsi dari ginjal sebagian besar untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal meliputi:1) Mengatur keseimbangan H2O dalm tubuh; 2) Mengatur jumlah dan konsentrasi ion cairan ekstra sel termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Mg++, SO4=; 3) Memelihara volume plasma sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri; 4) Memelihara keseimbangan asam basa tubuh dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3melalui urin; 5) Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh melalui pengaturan H2O; 6) Mengekskresikan produk sisa metabolisme tubuh; 7) mengekskresikan senyawa asing misalnya obat, bahan tambahan makanan, pestisida dan bahan eksogen yang masuk kedalam tubuh; 8) mengekskresikan eritropoietin (hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah); 9) Mengekskresikan rennin; dan 10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001). Karena fungsinya untuk mengekskresikan sisa metabolisme dan senyawa asing misalnya obat, bahan tambahan makanan, pestisida dan bahan eksogen yang masuk kedalam tubuh maka konsumsi MSG yang berlebihan dan berlangsung lama dapat merusak organ ginjal. Didalam tubuh MSG berubah natrium dan Lglutamat, ketika L- glutamat dalam konsentrasi yang tinggi memasuki arteri renal maka ginjal berusaha untuk mengekskresikannya. L- glutamat masuk kedalam korpuskel renal melalui arteriole afferent, kemudian akan diabsorbsi, filtrasi dan melintasi membrane merusak sel. Tubulus proksimal lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan dengan tubulus distal (Attia, et al., 2008), hal ini di sebabkan transport tubuler dari anion dan kation organik dan logam berat
Universitas Sumatera Utara
46
terutama terjadi pada tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus proksimalis juga mempunyai epitelium yang mudah bocor bila dibandingkan dengan tubulus kontortus distalis yang relatif rapat dan mempunyai ketahanan elektrik tinggi, maka diduga tubulus kontortus proksimalis akan mengalami kerusakan yang lebih berat apabila dibandingkan dengan tubulus kontortus distalis (Muliani, 2006). Hal ini seperti penelitian yang dilakukan Abbas, et al. (2011) yang menyebutkan bahwa pemberian MSG pada tikus dengan dosis 830 mg/kgBB selama 28 hari secara oral akan menyebabkan terjadinya perubahan histopatologi pada ginjal, seperti terlihatnya pembengkakan pada endothelium glomerulus yang berhubungan dengan atropi glomerulus, dan juga terdapat degenerasi hidropic tubula dengan dilatasi tubula dan hyaline casts. Pada daerah inter tubula memperlihatkan adanya dilatasi dan kongesti pada pembuluh darah kortikal dengan haemorroge diantara tubula (Gambar 2.9 dan 2.10).
Gambar 2.9 Kortek ginjal normal (g) glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul bowman (D) tubulus distal (P) tubulus proksimal (Abbas, et al., 2012)
Universitas Sumatera Utara
47
Gambar 2.10 Gambaran bagian ginjal tikus yang mendapat MSG memperlihatkan degenerasi hidropik dan vakuolisasi tubulus (panah), dilatasi tubulus (D) dengan hyaline casts (C) (Abbas, et al., 2012)
Ketika sel mengalami stres fisiologis atau patologis sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan sel akan kembali ke kondisi semula. Stres yang berat atau menetap menyebabkan cedera ireversibel dan sel yang terkena menjadi mati (Kumar, et al., 2010). Nekrosis (jejas ireversibel) adalah perubahan morfologik yang mengikuti kematian sel pada jaringan atau organ hidup. Sel yang mengalami nekrotik berwarna seperti kaca (glassy), membran sel pecah-pecah. Perubahan inti sel nekrotik adalah kariopiknosis (inti kecil, padat), kariolisis (inti pucat, larut) dan kariorheksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan) (Kumar, et al., 2010). Nekrosis tubular akut (NTA) adalah kumpulan tanda dan gejala dari kegagalan ginjal yang disebabkan oleh iskemik atau toksik. Kerusakan tubulus proksimal ginjal akibat zat nefrotoksis terlihat adanya penyempitan tubulus proksimal,
Universitas Sumatera Utara
48
nekrosis sel epitel tubulus proksimal dan adanya hyaline cast di tubulus distal. NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Dengan gejala klinis oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan pada daerah tubulus menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia, peningkatan kreatinin dan blood urea nitrogen (Underwood, 2000).
Universitas Sumatera Utara
49
2.7
Kerangka Teori
MSG
Reactive Oxygen Species (ROS) ↑
Stres oksidatif ↑
Peroksidasi lipid
ginjal
Ekstrak etanol kulit manggis
Vitamin E Perubahan makroskopis, mikroskopis dan tampilan immunohistokimia antioksidan CU Zn SOD pada ginjal Keterangan : menghambat : memacu
Gambar 2.13 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara