BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Internet 2.1.1 Pengertian Internet Internet merupakan jaringan terbesar didunia dan juga merupakan salah satu teknologi informasi yang terus berkembang seiring dengan bertambahnya kebutuhan atas suatu informasi (Honni & Amelia, 2011, p. 980). Internet adalah jaringan komputer yang tumbuh dengan cepat dan terdiri dari jutaan jaringan perusahaan, pendidikan, serta pemerintahan yang menghubungkan ratusan juta komputer serta pemakainya dilebih dari 200 negara (O'Brien, 2005 , p. 261). Internet adalah sebuah jaringan komputer terbesar di dunia, terdiri dari beribu-ribu jaringan yang saling terkoneksi, semua bebas bertukar informasi (Stair & Reynolds, 2010, p. 14). Sesuai dengan pengertian internet dari menurut beberapa ahli yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa internet adalah sebuah jaringan yang menghubungkan satu atau beberapa komputer dengan yang lain menggunakan koneksi guna untuk melakukan pertukaran informasi, baik di dalam negeri atau bahkan sampai ke luar negeri. 2.1.2 Pengertian Intranet Intranet adalah jaringan seperti internet di dalam organisasi. Software penjelajah web memberikan akses mudah ke situs web internal yang dibuat oleh berbagai unit bisnis, tim, dan individu, serta sumber daya jaringan dan aplikasinya (O'Brien, 2005 , p. 256). Intranet adalah sebuah jaringan pribadi dalam suatu perusahaan menggunakan standar internet untuk memungkinkan karyawan dapat mengakses dan berbagi informasi menggunakan teknologi berbasis web (Chaffey, 2009, p. 13). Intranet adalah sebuah jaringan internal yang berbasis pada teknologi web yang memperbolehkan oranng-prang didalam organisasi untuk saling bertukar informasi dan menggunakan proyek (Stair & Reynolds, 2010, p. 15).
4
5 Intranet
adalah
jaringan
perusahaan
atau
pemerintahan
yang
menggunakan tools dalam internet, seperti web, browser, internet protocol (Turban, King, Lee, Liang, & Turban, 2010 , p. 49). Jadi, sesuai dengan pengertian intranet di atas, maka dapat disimpulkan bahwa intranet adalah sebuah jaringan seperti internet yang digunakan dan dapat diakses oleh satu organisasi. 2.1.3 Pengertian Ekstranet Extranet adalah jaringan yang menghubungkan sumber daya tertentu dari suatu perusahaan dengan pelanggan, pemasok, dan mitra bisnis lainnya, dengan menggunakan internet atau jaringan pribadi untuk menghubungkan intranet organisasi (O'Brien, 2005 , p. 268). Extranet adalah sebuah layanan yang disediakan melalui internet dan teknologi web disampaikan dengan memperluas intranet diluar perusahaan kepada pelanggan, pemasok, dan rekna (Chaffey, 2009, p. 15). Extranet adalah sebuah jaringan berbasis pada teknologi web yang memingkinkan pihak-pihak luar yang terpilih, seperti mitra bisnis, konsumen, untuk mengakses daya yang diijinkan oleh perusahaan (Stair & Reynolds, 2010, p. 15). Extranet
adalah
jaringan
yang
menggunkan
internet
untuk
menghubungkan beberapa intranet secara aman (Turban, King, Lee, Liang, & Turban, 2010 , p. 49). Kesimpulan dari pengertian extranet di atas adalah bahwa intranet adalah jaringan yang menghubungkan intranet yang ada dalam sebuah organisasi dengan intranet organisasi lainnya yang telah memiliki suatu kesepakatan atau sebuah kerja sama.
6
Gambar 2. 1 Hubungan antara intranet,ekstranet, dan internet Source: (Chaffey, 2009) 2.2 E-business 2.2.1 Pengertian e-Business e-Business adalah semua pertukaran informasi melalui media elektronik, baik dalam suatu organisasi serta eksternal stakeholder yang mendukung berbagai proses bisnis (Chaffey, 2009, p. 13). e-Business adalah definisi yang lebih luas dari e-Commerce yang melibatkan tidak hanya kegiatan jual beli barang dan jasa, tetapi juga pelayanan pelanggan, bekerja sama dengan rekan bisnis dan melakukan transaksi elektonik dalam organisasi (Turban, King, Lee, Liang, & Turban, 2010 , p. 47). E-Business digunakan dua cara dalam organisasi. Yang pertama, eBusiness merupakan konsep dimana dapat digunakan dalam strategi dan operasional.Yang kedua, e-Business yang digunakan untuk menggambarkan sebuah bisnis terutama yang dijalankan secara online. 2.2.2 Model-Model e-Business Dalam buku karangan Dave Caffey E-BUSINESS AND E-COMMERCE MANAGEMENT model-model dari e-Business dapat dikategorikan sebgai berikut: •
Business-to-Consumer (B2C) Transaksi komersial antara organisasi dan konsumen.
•
Business-to-Business (B2B) Transaksi komersial antara sebuah organisasi dan organisasi lain
•
Consumer-to-Consumer (C2C)
7 Transaksi informasi atau keuangan antara konsumen, tetapi biasanya dimediasi melalui situs bisnis. •
Consumer-to-Business (C2B) Pendekatan bisnis yang dilakukan oleh konsumen dengan sebuah daya tawar.
2.3 E-Commerce 2.3.1 Pengertian e-Commerce E-Commerce merupakan proses pembelian, penjualan, pemindahan, atau pertukaran produk, jasa, dan/atau informasi melalui jaringan komputer, sebagian besar melalui internet dan intranet. (Turban, King, Lee, Liang, & Turban, 2010 , p. 46). Electronic commerce (e-Commerce) merupakan semua pertukaran informasi yang dilakukan secara elektronik antara organisasi dan eksternal stakeholder (Dave Caffey, 2011). Menurut Kalakota and Whinston (1997) yang dikuti dari buku karangan Dave Caffey (2009) mengacu pada berbagai perspektif yang berbeda untuk eCommerce: 1) A
communication
perspective
–
mengirimkan
informasi,
produk/jasa atau pembayaran yang dilakukan secara elektronik. 2) A business process perspective – mengaplikasikan teknologi terhadap otomatisasi dari bisnis dan alur kerja. 3) A service perspective – memungkinkan adanya pemotongan biaya pada saat yang bersamaan dalam meningkatkan kecepatan dan kualitas dari keluaran bisnis. 4) An online perspective – membeli dan menjual product dan informasi secara online. 2.3.2 Dimensi dari e-Commerce Menurut (Turban, King, Lee, Liang, & Turban, 2010 )dimensi dari ecommerce dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) Brick and Mortar (old-economy) Organization Merupakan organisasi yang melakukan bisnis secara offline, menjual produknya secara fisik dan membuka took fisik. 2) Virtual (pure-play) Organization
8 Merupakan organisasi yang melakukan bisnis secara online. 3) Click and Mortar (click and brick) Organization Merupakan organisasi yang melakukan beberapa aktivitas ecommerce bisasanya hanya dijadikan jalur pemasaran tambahan. 2.3.3 Buy-Side e-Commerce Buy-side e-commerce merupakan transaksi e-commerce antara pembelian dalam sebuah organisasi dan pemasoknya (Chaffey, 2009). Buy-side e-commerce mengacu pada transaksi untuk mendapatkan sumber yang dibutuhkan oleh organisasi dari suppliernya. 2.3.4 Sell-Side e-Commerce Sell-side e-commerce adalah transaksi antara organisasi dengan pemasok dan konsumen (Chaffey, 2009). Sell-side e-commerce mengacu pada transaksi yang terlibat dalam penjualan produk kepada konsumen dari sebuah organisasi. Sell-side e-commerce tidak hanya melibatkan penjualan produk, tetapi juga melibatkan menggunkan teknologi internet untuk layanan pasar dengan menggunkan beberapak teknik. Tidak semua produk cocok untuk dijual secara online, sehingga cara dimana sebuah situs yang digunakan memasarkan produk akan bervariasi. Ada empat jenis utama dari situs, yaitu: 1) Transactional e-Commerce site Memungkinkan pembelian produk secara online. Kontribusi untama dalam bisnis dari siitus ini adalah melalui penjualan produk. Situs tersebut juga mendukung bisnis dengan memberikan informasi bagi pelanggan yang lebih memilih untuk memebeli produk secara offline 2) Service-oriented relationship-building website Memberikan informasi untuk merangsang pembelian secara serta membangun hubungan. Produk tidak biasanya tersedia untuk pembelian online. Informasi ini disediakan melalui situs dan enewsletter untuk menginformasikan keputusan pembelian. 3) Brand-building sites Memberikan pengalaman untuk mendukung sebuah brand. Produk biasanya tersedia dalam online. Fokus utaman mereka adalah untuk
9 mendukung brand dengan mengembangkan pengalaman online suatu brand. 4) Porta, publisher or media sites Memberikan informasi, berita atau hiburan tentang berbagai topik. Jaringan sosial juga dapat dianggap dalam kategori ini karena mereka sering terdapat dukungan iklan.
Gambar 2. 2 Perbedaan antara Buy-side dan Sell-side e-Commerce Source: (Chaffey, 2009) 2.4 Definisi dan Perspektif Kualitas (Tjiptono, 2007) Konsep Kualitas sering dianggap sebagai ukuran relative kesemopurnaan atau kebaikan sebuah produk/jasa, yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah ukuran seberapa besar tingkat kesesuaian antara sebuah produk/jasa dengan persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan sebelumnya. Goetsch & Davis (1994( mendefinisikan kualitas sebagai “kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, sumber daya manusia, proses, lingkungan yang memenuhi atau yang melebihi harapan”. Menurut Dgarvin (1998), perspektif kualitas bisa diklasifikasi dalam 5 kelompok. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing individu dalam konteks yang berlainan. 1. Transcendental approach
10 Dalam ancangan ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, yaitu sesuatu yang bisa dirasakan atau diketahui, namun sukar didefinisikan, dirumuskan atau dioperasionalisasikan. Perspektif ini menegaskan bahwa orang hanya bisa belajar memahami kualitas melalui pengalaman yang didapatkan dari eksposurberulang kali. 2. Product-based approach Ancangan
ini
mengasumsikan
bahwa
kualitas
merupakan
karakteristik atau atribut objektif yang dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah berapa unsure atau atribut yang dimiliki produk. Karena perspektif ini sangat ibjektif, maka kelemahannya adalah tidak bisa menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual. 3. User-based approach Ancangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang menilainya, shingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif ini bersikap subyektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bawa setiap pelanggan memiliki kebutuhan dan keinginan masing-masing yang berbeda satu sama lain, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya. Produk yang dinilai berkualitas baik oleh individu tertentu belum tentu dinilai sama oleh orang lain. 4. Manufacturing-based approach Perspektif ini bersifat suppy-based dan lebih berfokus pada praktikpraktik perekayasaan dan pemanufaktur, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian atau kecocokan dengan persyaratan. Ancangan ini menekankan penyesuaian spesifikasi produk dan operasi yang disusun secara internal yang sering dipicu ileh keinginan untuk meningkatkan produktivitas dan menekan biaya. 5. Value-based approach Ancangan ini memandang kualitas dari aspek nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan
sebagai
affordable
excellence.
Kualitas
dalam
11 perspektif ini bersifat relative sehingga produk yang memiliki kualutas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. 2.5 Konsep Kualitas Jasa (Tjiptono, 2007) Konsep jasa mengacu pada beberapa lingkup definisi utama: industry, output atau penawaran, proses, dan sistem. Lewis & Booms (1983) merupakan pakar yang pertama kali medefinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan, Berdasarkan definisi ini, kualitas jasa bisa diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhkan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Dengan demikian, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa: jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service) (parasuraman, et al., 1985). Apabila perceived service sesuai dengan expected service, maka kualitas jasa bersangkutan akan dipersepsikan baik atau positif. Jika perceived service melebihi expected service, maka kualitas jasa di persepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service lebih jelek dibandingkan expected, maka kualitas jasa bisa dipersepsikan negative atau buruk. 2.6 Model ServQual Model kualitas jasa yang paling popular dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset manahemen dan pemasaran jasa adalah model servqual (singkatan dari service quality) yang di kembangkan oleh parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Model yang dikenal pula dengan istilah Gap analysis Model ini berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada ancangan diskonfirmasi (Oliver, 1997). Model dari servqual sendiri dikembangkan untuk membantu para manaje dalam menganalisis sumber masalah kualitas dan memahami cara-cara memperbaiki kualitas.
12
Komunikasi Gethok Tular
Kebutuhan Pribadi
Pengalama n masa lalu
Jasa yang Diharapkan GAP 5 Jasa yang Dipersepsikan
PEMASAR
Penyampai an Jasa GAP 1
GAP 4
Komunikasi Eksternal Kepada Pelanggan
GAP 3
Spesifikasi Kualitas Jasa GAP 2
Persepsi Manajemen Atas Harapan Pelanggan
Gambar 2. 3 Model Konseptual SERVQUAL Sumber: (Tjiptono, 2007)
13 Pada gambar 2.3, garis putus-putus horizontal memisahkan dua fenomena utama: bagian atas merupakan fenomena yang berkaitan dengan pelanggan dan bagian bawah mengacu pada perusahaan atau penyedia jasa.Selain dipengaruhi pengalaman masa lalu, kebutuhan pribasi pelanggan, dan komunikasi gethok tular, jasa yang diharapkan (expected service) juga dipengaruhi aktivitas komunikasi pemasaran perusahaan. Lima gap utama yang terangkum dalam gambar 2.3: 1. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap) Gap ini berarti bahwa pihak manajemen mepersepsikan ekspektasi pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat. Beberapa kemungkinan penyebabnya antara lain: informasi yang didaptkan dari riset pasar dan analisis permintaan kurang akura; interpretasi yang kurang akurat atas informasi mengenai ekspektasi pelanggan; tidak adanya analisis permintaan; buruknya atau tiadanya aliran informasi ke atas (upward information) dari staf kontak pelanggan ke pihak manajemen; dan terlalu banyak jenjang manajerial yang menghambat atau mengubah informasi yang disampaikan dari karyawan ke kontak pelanggan ke pihak manajemen. 2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standards gap) Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas jasa tidak konsisten dengan persepsi manajemen terhadap ekspektasi kualitas. Penyebabnya antara lain: tidak adanya standar kinerja yang jelas; manajemen perencanaan yang buruk; kurangnya penetapan tujuan yang jelas dalam organisasi; kurangnya dukungan dan komitmen manajemen puncak terhadap perencanaan kualitas jasa; kekurangan sumber daya; dan situasi permintaan berlebihan. 3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap) Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi ileh kinerja dalam proses produksi dan penyampaian jasa. Sejumlah penyebabnya antara lain: spesifikasi kualitas terlalu rumit dan atau terlalu kaku;
14 para karyawan tidak menyepakati spesifikasi tersebut dan karenanya tidak memenuhinya; spesifikasi tidak sejalan dengan budaya korporat yang ada; manajemen operasi yang buruk; kurang memadainya aktivitas internal marketing; serta teknologi dan sistem yang tidak menfasilitasi kinerja sesuai dengan spesifikasi. 4. Gap
antara
penyampaian
jasa
dan
komunikasi
eksternal
(comunications gap) Gap ini berarti bahwa janji-janji yang disampaikan melalui aktivitas komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada pelanggan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya: perencanaan komunikasi pemasaran tidak terintegrasi dengan operasi jasa; kurangnya koordinasi antara aktivitas pemasaran eksternal dan operasi
jasa;
organisasi
gagal
memenuhi
spesifikasi
yang
ditetaokannya, sementara kampanye komunikasi pemasaran sesuai dengan spesifikasi tersebut; dan kecenderungan untuk melakukan ‘over-promise, under-deliver’. 5. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap) Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa yang diharapkan. Gap ini bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi negative. Seperti kualitas buruk (negatively confirmed quality) dan masalah kualitas; komuniksi gethok tular yang netatif; dampak negative terhadap citra korporat atau cita local; dan kehilangan pelanggan. Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/ prestasi perusahaan berdasarkan criteria yang berbeda, atau bisa
juga
mereka
keliru
menginterpretasikan
kualitas
jasa
bersangkutan. 2.7 e-Service Quality (Lee & Lin, 2005, p. 162) E-Service quality dapat didefinisikan sebagai tanggapan pelanggan secara keseluruhan dan penilaian mengenai keunggulan dan kualitas pengiriman e-service di pasar virtual (Santos, 2003). Misalnya, ukuran suatu service quality telah diterapkan untuk menilai kualitas dari sebuah komunitas virtual dalam suatu web (Kuo, 2003), kepuasan dalam saluran e-
15 commerce (Devaraj et al, 2002), dan faktor-faktor penentu keberhasilan website liu and Arnett, 2000). Disamping itu, dari pelanggan online, standar yang tinggi dalam e-service quality adalah sarana dimana keuntungan potensial dari internet dapat direalisasikan (Yang, 2001). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa e-Service quality merupakan kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan dalam bentuk virtual, contoh nya melalui situs atau secara elekronik. 2.7.1 Mengukur cara penyampaian service quality melalui website Wolfinbaeger dan Gilly (2002) menggunakan online dan offline sebagai fokus grup, penyortiran tugas, dan survey online dari panel pelanggan untuk mengembangkan skala bernama .comQ dengan
empat faktor: website design,
reliability, privacy/security and customer service. •
Website design: melibatkan atribut yang diharapkan terkait dengan desain,
serta
barang-barang
yang
berhubungan
dengan
personalisasi, •
Reliability: melibatkan representasi yang akurat dari produk, ketepatan waktu dalam pengiriman dan pemesanan yang akurat,
•
Privacy/security: dimana perasaan amaan dan kepercayaan pada sebuah situs,
•
Customer service: menggabungkan minat dalam memecahkan masalah. Kemaian secara personil untuk membantu dan menjawab pertanyaan secara cepat.
2.7.2 Model-model Kualitas Jasa online
Gambar 2. 4 Model E-Service Quality Sumber: (Tjiptono, 2007)
PELANGGAN
Fulfillme nt Gap Kebutuhan Website Pelanggan
Pengalaman Website Pelanggan
Perceived eSQ
Perceived Value
Pembelian atau Pembelian Ulang
PERUSAHAAN Information Gap
Perancangan & Operasi Website
Pemasaran Website
Communi cation Gap
Keyakinan Manajemen Tentang Kebutuhan Pelanggan Design Gap
16
17
Dalam model e-SERVQUAL terdapat 4 macam gap, yaitu information gap, design gap, communication gap. Dan fulfillment gap. •
Information gap mencerminkan kesenjangan antara tuntutan kebutuhan pelanggan berkenaan dengan sebuah wbsite dan keyakinan pihak manajemen atau pengelola website mengenai tuntutan kebutuhan tersebut.a
•
Design gap bisa terjadi apabila perusahaan gagal memanfaatkan secara optimal semua pengetahuan menyangkut fitur-fitur diharapkan pelanggan ke dalam struktur dan fungsi website perusahaan yang bersangkutan.
•
Communication gap mencerminkan kurangnya pemahaman akurat para staf pemasar terhadap fitur, kapabilitas, dan keterbatasan
websitenya.
Komunikasi
efektif
antara
staf
pemasaran dan staf operasi mutlak dibutuhkan daalam rangka memastikan bahwa janji-janji kepada pelanggan tidak melebihi apa yang dilakukan atau diwujudkan. •
Fulfillment gap mencerminkan kesenjangan keseluruhan antara tuntutan kebutuhan dan pengalaman pelanggan. Gap ini memiliki dua bentuk berbeda. (1) fulfillment gap akibat janji pemasaran yang berlebihan yang tidak mencerminkan secara akurat realitas desain dan operasi website. (2) Frustasi pelanggan tidak bisa merampungkan transaksi pembelian elektronik.
2.8 Information Quality Nelson et al. (2005) dalam jurnal (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012, p. 203) menyatakan bahwa ada beberapa tampilan dari information quality, tetapi berfokus pada instrik, context-based, dan pandangan representasional dari kualitas informasi. Pandangan instrik pada information quality mengacu pada keadaan data actual dalam hal akurasi, ketepatan waktu dan konsistensi. Pandangan dari contextbased mengacu pada wujud kegunaan bagi pengguna karena bersifat relevan, lengkap, dan terkini. Pandangan reprsentasional mengacu pada format dimana informasi yang disajikan, relative terhadap kualitas dari situs, sering dioperasikan
18 sebagai bagian dari kegunaan situs. (Cheung & Lee; 2005; Lin & Lu, 2000;. McKinney et al, 2002) atau desain (Liu & Arnett, 2000; Parasuraman et al, 2005). Menurut Turban dan Gehrke (2000) dalam jurnal (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012, p. 204) mengemukakan bahwa information quality pada sebuah situs web yang bertanggung jawab untuk menarik atau menolak pelanggan online. Informasi pada situs sering dipindai, apabila dibandingkan dengan menbaca secara rinci (Nah & Davis, 2002) dan pengguna ingin informasi yang berguna yang dapat diandalkan oleh mereka untuk dapat mengakses dengan cepat (Cheung & Lee, 2005). (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012, p. 204) Informasi yang akurat dan up-to-date diidentifikasikan sebagai dua faktor kualitas diberbagai situs domain (pendidikan, pemerintahan, farmasi, hiburan, e-commerce, dan keuangan) (Zhang & von Dran, 2001-2002). Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa information quality merupakan kualitas dari informasi yang disajikan pada sebuah situs, mulai dari keakuratan informasi yang disajukan, informasi yang bersifat up-to-date dan bersifat informatif. 2.9 Perceived Value Menurut Zeithaml (1988) dalam jurnal (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012), mengaitkan value dengan empat tema: value itu harga yang rendah, value adalah apapun yang diinginkan seseorang ada dalam suatu produk, value adalah kualitas yang diterima oleh setiap individu yang dibayarkan pada produk tersebut, dan value adalah apa yang diterima sesuai dengan apa yang dibayarkan. Sebuah tinjauan literature ada yang menunjukkan tiga konseptualisasi dari nilai konsumen (Zazia, 2012): •
Value as a cognitive treatment: adalah rasio antara manfaat yang dirasakan dan pegorbanan yang dirasakan. Woodruff dan Gardial (1996) mengusulkan definisi nilai berdasarkan konseptual ini: “nilai yang dirasakan merupakan suatu kompromi antara konsekuensi positif dan negative dari penggunaan produk”.
•
Value as cognitive trait: adalah hubungan antara nilai-nilai priobadi dan evaluasi individual atribut produk. Menurut Woodruff (1997) nilai yang dirasakan adalah “preferensi pelanggan yang dirasakan dan evaluasi atribut produk mereka,
19 atribut pertunjukan, dan konsekuensi yang timbul dari penggunaan yang membafilitasi (atau blok) untuk mencapai tujuan pelanggan dan tujuan dalam situasi penggunaan”. Value as situation’s trait: pada konseptual ini, nilai yang dirasakan mencermikan pengalaman, dalam hal ini tidak hanya dalam produk yang dibeli, merek yang dipilih, atau objek yang dimiliki melainkan dalam pengalaman konsumsi diturunkan dan itu dianggap sebagai “interactive relativistic preference experience” (Holbrook, 1999). Perspsi (atau konsumen) nilai interaktif antara subjek (pelanggan) dan obyek (produk). Berkaitan dengan situs, value yang dirasakan tidak berhubungan banyak untuk biaya secara moneter yang terkait dengan penggunaannya, tetapi, seperti yang dinyatakan oleh Kim dan Niehm (2009), merupakan kemungkinan untuk melakukan kunjungan kembalu terhadap situs tersebut. (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012). • Jika pelanggan menikmati kualitas dari e-service dan information quality yang diberikan oleh situs, pelanggan cenderung utnuk membentuk penilaian yang menguntungkan situs tersebut, dan akibatnya, pelanggan akan menentukan apakah situs web tersebut lebih disukai daripada situs lainnya untuk melakukan pembelian dimasa depan. Menurut (Woodruff, 1997) dalam jurnal (Hu & Chuang, 2012, p. 4) mengatakan, meskipun istilah dan definisi yang berbeda-beda pada perceived value, kesamaan, seperti: a. Perceived value terkait melalui penggunaan beberapa produk, layanan, atau obyek, b. Perceived value adalah sesuatu yang dirasakan secara subyektif oleh konsumen daripada ditentukan secara obyektif, dan c. Perceived value biasanya melibatkan tradeoff antara apa yang diterima dan diberi oleh konsumen untuk mendapatkan dan menggunakan produk atau jasa. 2.10 Loyalty Intention Dalam jurnal (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012), loyalitas pada situs telah didefinisikan sebagai pilihan pelanggan untuk mengunjungi situs tertentu
20 berulang kali untuk melakukan pembelian dari kategori produk tertentu (Flavianus & Guinalíu, 2006). Menurut (Oliver, 1997) dalam Jurnal (Pearson, Tadisina, & Griffin, 2012) terdapat 4 tahap. Tahap pertama , cognitive stage, dimana saat konsumen mengevaluasi produk atau service, secara khas yang berbasis pada biaya. Loyalitas pada tahap ini berdasarkan pada informasi yang disediakan untuk konsumen. Tahap kedua, affective stage, merupakan dimana saat konsumen suka terhadap pelayanan atau pengalaman yang memuaskan. Tahap ketiga, conative stage, menciptakan pembelian yang memiliki pengalaman positif terhadap produk / jasa, dan konsumen mempunyai good intention untuk pembelian kembali. Tahap terakhir, action stage, merupakan kegiatan rutin dalam pembeluan produk / jasa. Dari Pengertian diatas, disimpulkan bahwa loyalty intention menyangkut konsumen yang melakukan pengunjungan kemabli pada situs, melakukan pembelian ulang, serta yang memiliki pengalaman posotif dalam mengunjungi situs sehingga dapat menimbulkan minat loyalitas dari konsumen. 2.11Kerangka Penelitian
Perceived Value (PV)
Perceived eService Quality (PSQ)
Loyalty Intentions (LI)
Sumber: Penulis 2.12 Hipotesis Hipotesis pertama yang akan diuji kebenarannya sesuai dengan Tujuan penelitian 1 adalah:
21 -
Ho = Perceived e-Service Quality tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Perceived Value
-
Ha = Perceived e-Service quality berpengaruh secara signifikan terhadap Perceived Value
Hipotesis kedua yang akan diuji kebenarannya sesuai dengan Tujuan penelitian 2 adalah: -
Ho = Perceived Value tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Loyalty Intention.
-
Ha: Perceived value berpengaruh secara signifikan terhadap Loyalty Intention.
Hipotesis ketiga yang akan diuji kebenarannya sesuai dengan Tujuan penelitian 3 adalah: -
Ho = Perceived e-Service Quality dan Perceived Value tidak berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap Loyalty Intention.
-
Ha = Perceived e-Service Quality dan Perceived Value berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap Loyalty Intention.