Analisis Implementasi Kebijakan Rekonsiliasi Periodik Pajak Penghasilan Minyak dan/atau Gas Bumi Ayumi Setyorini dan Inayati Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas implementasi kebijakan rekonsiliasi periodik terkait dengan PPh Migas yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait pengelolaan PPh Migas, yaitu DJA, DJP, dan SKK Migas. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan rekonsiliasi PPh Migas sebagai upaya optimalisasi administrasi PPh Migas. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas yang dilakukan oleh DJA, DJP, dan SKK Migas dalam optimalisasi pengelolaan PPh Migas. Penelitian yang membahas mengenai pengelolaan PPh migas di Indonesia masih jarang ditemui. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari segi kebijakan (policy) telah dirancang dengan cukup baik, namun dalam implementasinya tidak ada kebijakan prosedural mengenai pelaksanaan secara periodik yang dapat mewujudkan konsistensi tindakan dari para pelaksana kebijakan.
Analysis of the Implementation for Oil and Gas Income Tax Periodical Reconciliation Policy Abstract This focus of this study is the implementation of periodical reconciliation for oil and gas income tax policy. The purpose of this study is to understand how the Indonesia Government’s oil and gas income tax administration. Knowing this will allow stakeholders in oil and gas income tax to identify changes should be made to improve the tax administration. This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected by means of deep interview. The researcher suggests that there should be procedural policy to implement oil and gas income tax periodical reconciliation to achieve the consistency from the policy implementers to realize the policy goals. Key words: Policy Implementation; Oil and Gas Income Tax; Reconciliation
Pendahuluan Pajak Penghasilan (PPh) memiliki kontribusi peran yang besar bagi penerimaan negara. Dalam APBN pada periode 2007-2011, kontribusi rata-rata pendapatan PPh dalam pendapatan pajak dalam negeri mencapai 52,0 persen. Kontribusi PPh dari PPh Migas dan PPh Non-Migas masingmasing sebesar 9,5 persen dan 42,5 persen. Kedua jenis PPh tersebut merupakan komponen
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
penting dalam pendapatan pajak dalam negeri. Oleh karena itu, pengelolaan penerimaan atas PPh harus diperhatikan dengan baik.
Gambar 1. Kontribusi Rata-Rata Pendapatan Pajak Dalam Negeri Periode 2007-2011 Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2013
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2012, penerimaan PPh migas terbilang tidak optimal. Penerimaan PPh migas yang tidak optimal salah satunya disebabkan karena adanya permasalahan pada pengelolaan PPh migas yang dilakukan oleh pemerintah (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2012, hlm. 6). Lemahnya pengelolaan dalam PPh migas, diungkap BPK karena adanya permasalahan pada sistem koordinasi, pencatatan dan penagihan atas PPh migas yang tidak dapat memastikan kelengkapan dan keakuratan penerimaan PPh migas yang menjadi hak pemerintah. Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan koordinasi antar instansi yang terkait, menyempurnakan sistem administrasi pengelolaan pembayaran pajak dari KKKS, menetapkan dengan jelas pembagian kewenangan antar instansi yang terkait, memperbaiki mekanisme pemantauan dan penagihan kewajiban PPh migas, serta memverifikasi selisih kewajiban dan menagih kekurangan PPh migas (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2012, hlm. 6). Menanggapi rekomendasi dari BPK tersebut, pada tahun 2012 Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.02/2012 tanggal 24 Mei 2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi. Sampai tahun 2012, permasalah mengenai pengelolaan PPh migas masih ditemukan. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan PPh migas yang dilakukan BPK atas LKPP Tahun 2012, terdapat kelemahan pada sistem koordinasi antara DJP, DJA, dan SKK Migas dalam melakukan rekonsiliasi perhitungan PPh Migas, walaupun kebijakan untuk melakukan rekonsiliasi secara periodik antar instansi terkait sudah ada sebagaimana terdapat dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.02/2012 (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2013, hlm. 6). Dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.02/2012, terdapat kebijakan bagi DJA-DJP-SKK Migas untuk melakukan rekonsiliasi periodik terkait dengan PPh Migas secara bersama-sama dalam rangka monitoring dan evaluasi penerimaan negara dari usaha migas. Untuk menerapkan peraturan tersebut, diperlukan suatu mekanisme koordinasi yang jelas antar instansi yang terkait dalam pengelolaan PPh migas. Namun, hingga saat penelitian ini ditulis, belum terdapat juknis atau SOP sebagai aturan pelaksanaan dalam menindaklanjuti Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79/PMK.02/2012. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas bagaimana implementasi
kebijakan
tersebut,
melalui
penelitian
yang
berjudul
ANALISIS
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN REKONSILIASI PERIODIK PAJAK PENGHASILAN MINYAK DAN/ATAU GAS BUMI. Adapun pokok permasalahan yang dirumuskan adalah: bagaimana implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas yang dilakukan oleh DJA, DJP, dan SKK Migas sebagai upaya optimalisasi pengelolaan PPh Migas? Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan, tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas yang dilakukan oleh DJA, DJP, dan SKK Migas dalam optimalisasi pengelolaan PPh Migas. Grindle (1980, hlmn. 6-10) mengemukakan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
pelaksanaan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Keberhasilan pelaksanaan implementasi kebijakan sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu isi/konten dari kebijakan itu sendiri (content of policy) dan konteks/keadaan implementasi (context of implementation). Content of policy mengacu pada unsur-unsur yang terdapat pada kebijakan (policy) yang diimplementasikan. Sedangkan context of implementation membicarakan bagaimana kondisi lingkungan yang mewarnai proses implementasi kebijakan oleh pihakpihakpelaksana (program implementors).
Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian kualitatif, peneliti mengandalkan pada data yang diperoleh langsung di lapangan. Jenis penelitian berdasarkan tujuan penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jika dilihat dari segi manfaat dilakukannya penelitian oleh penulis, penelitian ini termasuk penelitian murni. Berdasarkan waktu penelitian yang dilakukan, penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dibagi menjadi dua, yaitu: a. Studi Lapangan, dilakukan dengan cara wawancara mendalam atau in depth interview. b. Studi Literatur, dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber atau referensi seperti literatur buku, jurnal, majalah, peraturan perundangundangan, karya skripsi dan tesis, serta artikel-artikel terkait di internet. Berdasarkan teknik analisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan terkait yang terlibat dengan permasalahan penelitian dan mengenal dengan jelas mengenai fenomena yang diangkat. Adapun informan peneliti adalah sebagai berikut. 1. Direktorat Jenderal Pajak (DJP), peneliti melakukan wawancara mendalam dengan pihak Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan dan Direktorat Peraturan Perpajakan II. Peneliti mencari informasi tentang bagaimana tindakan yang telah dilakukan dalam rangka rekonsiliasi periodik penerimaan PPh migas dan bagaimana koordinasi yang berjalan antara DJP dengan DJA dan SKK Migas.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
2. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Peneliti melakukan wawancara dengan pihak Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yaitu Puji Wibowo. Informasi yang diperoleh adalah mengenai bagaimana pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan pajak dan koordinasi DJA dengan DJP dan SKK Migas. 3. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), peneliti melakukan wawancara mendalam dengan pihak dari Divisi Manajemen Resiko dan Perpajakan (Risk Management and Taxation Division), yaitu Setiyanto Aji Prahoro dan Herdjuno Poernomo. Peneliti mencari informasi mengenai bagaimana peran SKK Migas dalam mengawasi penerimaan PPh migas dari KKKS dan koordinasi SKK Migas dengan DJP dan DJA dalam melakukan rekonsiliasi periodik perhitungan PPh migas. 4. Akademisi, Wawancara mendalam diliakukan dengan Prof. Dr. Gunadi. Peneliti mencari informasi mengenai pendapat dari sisi pengelolaan PPh migas setelah adanya kebijakan PMK Nomor 79/PMK.02/2012. Peneliti memiliki site penelitian di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Pembahasan A.
Implementasi Kebijakan Rekonsiliasi Periodik PPh Migas berdasarkan Content of Policy 1. Manfaat dan Kepentingan Pembuat Kebijakan
Dalam memahami bagaimana unsur manfaat dan kepentingan pembuat kebijakan berpengaruh terhadap implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas, harus ditinjau terlebih dahulu mengenai latar belakang lahirnya kebijakan ini. Lahirnya kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 ini diawali dengan adanya permasalahan pada lemahnya: (a) Pengelolaan pembayaran; (b) Pengelolaan pelaporan; dan (c) Pengelolaan penagihan. Dari berbagai permasalahan tersebut, akar utama permasalahan adalah lemahnya pengelolaan pembayaran PPh Migas. Di Indonesia, pembayaran PPh Migas diadministrasikan oleh DJA.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Untuk menanggapi hal tersebut, DJA mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang. Peraturan tersebut dirumuskan oleh DJA. Namun, pada proses akhir formulasi kebijakan tersebut, ternyata kebijakan ini cenderung merupakan pernyataan kehendak secara sepihak yang dilakukan oleh DJA. Peraturan ini dibentuk oleh DJA atas dasar pemikiran untuk menjawab permasalahan sistem pembayaran PPh Migas, yang terjadi dalam internal DJA. Hal tersebut juga dapat terlihat dari sebagian besar pasal-pasal yang terkandung, mengatur bagaimana DJA melakukan administrasi pembayaran dan pencatatan PPh Migas sebagai penerimaan negara. Dilihat dari nature kebijakan yang dibuat, Pasal 16 yang mengatur instansiinstansi terkait melakukan rekonsiliasi PPh Migas, juga dirancang untuk hanya mengakomodir keperluan, manfaat, dan kepentingan dari DJA.
Kewajiban KKKS sebagai Wajib Pajak
Daftar
Hitung
Bayar
Lapor
DJP
Keterlibatan Pengelolaan PPh Migas
DJA
SKK Migas
Memiliki tanggung jawab penuh Tidak memiliki tanggung jawab penuh Gambar 3. Keterlibatan DJA, DJP, dan SKK Migas dalam Pengelolaan PPh Migas Sumber: Diolah oleh Peneliti.
Meskipun begitu, dalam hal ini, peneliti melihat bahwa kebijakan dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012, tetap dapat mempengaruhi DJP dan SKK Migas,
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
sebagai pihak lain yang ikut terlibat dalam pengelolaan PPh Migas. Gambar 3 menunjukan bagaimana para pelakana kebijakan terlibat dalam Pengelolaan PPh Migas. DJP dan SKK Migas masing-masing memiliki keterlibatan serta tugas dan tanggung jawab sendiri terhadap PPh Migas. Jika terdapat kelancaran pada sistem pembayaran dari DJA, maka dapat memberikan manfaat juga bagi DJP dan SKK Migas. 2. Perubahan yang Diinginkan dalam Kebijakan Berdasarkan keterangan dari informan yang didapat oleh peneliti, ternyata sebelum adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 ini, pelaksanaan rekonsilisi antar tiga instansi terkait pengelolaan PPh Migas sebenarnya sudah ada. Dilihat dari pernyataan tersebut, kebijakan rekonsiliasi PPh Migas dalam Pasal 16 PMK No. 79 tahun 2012 ini hanya berfungsi untuk mempertegas koordinasi antar instansi terkait pengelolaan pembayaran PPh Migas. Dengan melihat kenyataan tersebut, bahwa sebetulnya telah ada pelaksanaan rekonsiliasi terkait dengan PPh Migas yang dilakukan DJA-DJP-SKK Migas, berarti perubahan yang diinginkan dalam kebijakan ini tidak terlalu besar dan tidak bersifat long term karena sudah masuk tupoksi masing-masing instansi terkait sebelumnya. Perubahan yang diharapkan dalam kebijakan seperti ini, dapat mendukung proses implementasi, karena tidak terlalu sulit untuk melakukan adaptasi. Meskipun perubahan yang dinginkan tidak terlalu besar, namun adanya ketentuan untuk melakukan rekonsiliasi dalam kebijakan ini berarti juga menginginkan perubahan pada instansi terkait (target groups) untuk melakukan koordinasi penyelesaian masalahan pembayaran PPh Migas secara teratur. Adanya ketentuan ini berusaha untuk mempertegas agar ketiga instansi terkait tidak menghindari tugasnya dalam pengelolaan PPh Migas. Selain itu adanya kata-kata ‘periodik’ dimaksdukan agar pelaksanaan dilakukan secara teratur atau tertib waktu. 3. Kemampuan dan Sumber Daya yang Dialokasikan Telah disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan rekonsiliasi antar tiga instansi terkait pengelolaan PPh Migas sudah ada sejak sebelum kebijakan pada Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 diberlakukan. Dari segi kemampuan para aktor pelaksana, tentu hal ini dapat memperlancar proses implementasi. Hal ini dikarenakan, tidak ada tuntutan kemampuan tertentu yang harus dipersiapkan, karena sebelumnya kemampuan tersebut telah dimiliki para aktor terlibat.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Pembahasan mengenai kemampuan para pelaksana kebijakan dalam implementasi, juga tidak terlepas dari ketersediaan sumber daya. Dalam kebijakan rekonsiliasi terkait dengan PPh Migas oleh DJA-DJP-SKK Migas ini, ketersediaan sumber daya dapat dilihat dari ketersediaan sarana, keahlian, dana, dan lain-lain. Jika didefinisikan, DJA-DJP-SKK Migas memang merupakan pihak-pihak yang terkait pengelolaan PPh Migas. Artinya, instansi atau organisasi yang terlibat tersebut, pasti telah memiliki kemampuan dari segi tenaga ahli dalam bidang perpajakan. Selain itu, berdasarkan keterangan yang didapat peneliti dari hasil wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait, para pelaksana kebijakan (policy implementors) juga tidak mengalami kesulitan berarti yang dapat mempengaruhi proses implementasi, baik dari segi sumber daya, tenaga kerja, sarana, keahlian, dana, dan lain-lainnya. Ketersediaan sumber daya yang telah dirasa cukup tersebut, akan memudahkan para pelaksana kebijakan dalam mengimplementasikan kebijakan rekonsiliasi terkait PPh Migas. 4. Kedudukan Para Pelaksana Kebijakan Implementasi
kebijakan
akan
lebih
sulit
jika
kedudukan
(site)
para
pelaku/actor
kebijakanterpisah, baik secara geografis maupun secara organisasional (Grindle, 1980, hlm. 11). Kedudukan dari para pelaksana kebijakan tersebut selanjutnya juga dapat mempengaruhi kapasitas (kemampuan) dari para pihak pelaksana untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah kebijakan. Meskipun begitu, keterbatasan posisi kedudukan (site) dari para pihak pelaksana kebijakan dapat didukung dengan sarana yang menunjang kemampuan (kapasitas) para pihak pelaksana kebijakan. Dalam mengkaji analisa policy Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 ini dari segi kedudukan (site) para pelaksana kebijakan, baik secara geografis dan organisasional tidak memiliki hambatan. Policy yang dirancang telah tepat dengan melibatkan DJA, DJP , dan SKK Migas. Secara geografis bertempat di Ibu Kota Negara. Sedangkan secara organisaional, DJA dan DJP berada dalam satu Keenterian Keuangan. Selain itu pihak yang melaksanakan hanya melibatkan 1 divisi dari masing-masing instansi, yaitu Direktorat PKP DJP; Direktorat PNBP DJP; dan Divisi Manajemen dan Resiko Perpajakan SKK Migas.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
B.
Implementasi Kebijakan Rekonsiliasi Periodik PPh Migas berdasarkan Context of Implementation 1. Interpretasi Kebijakan dari Para Pelaksana
Dalam mengidentifikasikan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-sasaran, kita dapat melihat pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan, sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman kebijakan (Winarno, 2005, hlm. 111). Masalahnya, terjadi kesulitan dalam mengidentifikasikan maksud dan tujuan kebijakan dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012, jika pihak yang mengartikan peraturan tersebut merupakan ‘orang luar’ dari DJA-DJP-SKK Migas. Setidaknya pertanyaan yang muncul tersebut adalah: a. Apa yang dimaksud dengan ‘hal terkait PPh Migas’ yang menjadi objek rekonsiliasi oleh DJA, DJP, dan SKK Migas? Rekonsiliasi atas perhitungan kewajiban pajak yang seharusnya terutang atau hal lain seperti angka pembayaran? b. Apa yang dimaksud dengan periodik? Berapa waktu atau periode yang dilakukan pihakpihak pelaksana kebijakan dalam melakukan tugas tersebut? Idealnya, sebuah kebijakan harus tersirat secara jelas apa instruksinya dan bagaimana melakukannya. Menurut Theodore Lowi, suatu kebijakan yang akan dihasilkan sangat berdampak pada aktivitas politik pada saat proses pembuatan kebijakan. Untuk melihat maksud tersebut, peneliti membagi pembahasan interpretasi kebijakan menjadi dua: interpretasi maksud dan tujuan; dan interpretasi waktu pelaksanaan. Berdasarkan interpretasi maksud dan tujuan, berdasarkan keterangan dari informan yang didapat oleh peneliti, masing-msing pihak memahami bahwa apa yang direkonsiliasi secara bersamasama (ketiga pihak terlibat saling bertemu) tersebut, merupakan rekonsiliasi atas setoran PPh Migas. Rekonsilisi dalam Pasal 16 ini adalah rekonsiliasi setoran dan bukan rekonsiliasi perhitungan PPh yang seharusnya terutang. Para pelaksana kebijakan juga telah memahami bahwa tugas untuk melakukan rekonsiliasi perhitungan PPh yang seharusnya terutang bukan termasuk dalam rekonsiliasi secara bersama-sama yang dimaksud dalam peraturan tersebut. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa para pelaksana kebiakan telah memahami dengan baik maksud dan tujuan kebijakan. Pertama, sebelum adanya ketentuan rekonsiliasi secara periodik dalam PMK 79 tahun 2010 ini, para pelakasana kebijakan telah melakukan hal yang sama.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Kedua, alur komunikasi yang terjalin antar pihak-pihak terlibat dalam melaksanakan rekonsiliasi bersifat konsisten dan dilakukan secara sepihak. Dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana besarnya peran DJA dalam mengundang DJP dan SKK Migas untuk melakukan rekonsiliasi setoran PPh Migas yang bermsalah. Jika hanya terdapat satu sumber informasi, maka kemungkinan terjadinya kesalahan interpretasi akan lebih kecil. Dalam hal ini DJA merupakan pihak yang akan berusha untuk menyampaikan pesan-pesan dan tujuan-tujuannya agar pihak-pihak terlibat melaksanakan tindakan-tindakan sesuai keinginan pembuat kebijakan. Berdasarkan interpretasi maksud dan tujuan, belum terdapat adanya konsistensi waktu (periode) pelaksanaan kebijakan dari para actor pelaksana. Hal ini dapat terlihat dari pada tahun 2013, DJA selaku pihak yang mengundang DJP dan SKK Migas dalam melakukan rekonsiliasi periodik, melakukan rekonsiliasi setiap enam bulan dengan DJP dan SKK Migas. Namun pada tahun 2014, DJA mengundang pihak-pihak terkait untuk melakukan rekonsilisi setiap tiga bulan dengan DJP dan SKK Migas. Dengan melihat pola pelaksanaan kebijakan tersebut, dapat diperoleh suatu kesimpulan. Hal apa yang sudah dilakukan oleh ketiga instansi terkait dalam pelaksanaan Pasal 16 Perturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 sudah konsisten, yaitu merekonsiliasi atas setoran PPh Migas yang dilakukan KKKS, utamanya atas setoran yang bermasalah. Namun, untuk konsistensi waktu (periode) pelaksanaannya, dapat dilihat belum adanya konsistensi waktu (periode). Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2005, hlm. 113), implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar agar para pelaksana kebijakan bertindak dalam suatu cara yang konsisten, dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Strategi untuk mencapai ketaatan dari para pelaksana kebijakan dapat melalui dengan penentuan kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan prosedural. Atas dasar itulah, perlu dibuat suatu peraturan pelaksana (seperti SOP, juklak/juknis) atas kebijakan tersebut, dalam mengikat para pelaksana kebijakan untuk melaksanakan instruksi kebijakan dengan waktu yang tepat, konsisten, dan pasti secara hukum. 2. Komunikasi antar Organisasi Dalam implementasi kebijakan rekonsiliasi ini, masing-masing pihak terlibat telah mematuhi pelaksanaan kebijakan yang diinstruksikan. Hal ini didukung karena proses komunikasi yang
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
berjalan dan terjalin antar ketiga instansi dalam melakukan rekonsiliasi secara periodik tidak mengalami hambatan dan terlihat harmonis tanpa ada konflik. Walaupun pelaksanaan rekonsiliasi setoran PPh Migas tergantung instruksi dari DJA, namun semua pihak telah terlibat secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan PPh Migas. Selama ini pelaksanaan komunikasi dihubungkan oleh DJA. Hal tersebut dimungkinkan karena data pembayaran PPh Migas bermasalah yang menjadi objek rekonsiliasi, dimiliki oleh DJA. Sehingga, ketika terjadi kesalahan dan menurut DJA sudah waktunya untuk melakukan rekonsiliasi, DJA akan mengundang DJP dan SKK Migas untuk bersama-sama melakukan rekonsiliasi atas setoran bermasalah tersebut. Sementara itu, tidak ada hambatan komunikasi lainnya dalam proses pelaksanaan kebijakan antara DJA, DJP, dan SKK Migas. Adanya proses komunikasi antara pihak-pihak pelaksana yang berlangsung baik tersebut, dapat disebabkan karena masing-masing pihak sama-sama memiliki keterlibatan dalam pengelolaan PPh Migas. Apalagi pihak yang menjadi objek kepentingan DJA (DJP dan SKK Migas) merupakan pihak-pihak yang ternyata memiliki lebih banyak tanggung jawab dalam pengelolaan PPh Migas. Pihak-pihak yang memiliki lebih banyak tanggung jawab dalam pengelolaan PPh Migas terebut pasti akan lebih concern terhadap segala upaya yang dapat memmperbaiki pengelolaan PPh Migas, baik pengelolaan pembayaran, penagihan, maupun pelaporan. 3. Responsivitas dari Pelaksana Kebijakan Dalam pelaksanaan kebijakan rekonsiliasi ini, masing-masing pihak telah terlibat secara aktif. Adanya respon baik yang ditunjukan oleh masing-masing pihak, khususnya DJP dan SKK Migas sebagai pihak yang diundang oleh DJA, dapat dikaitkan dengan fakta bahwa pihak-pihak tersebut memang memiliki peran dan kepentingan terhadap penerimaan PPh Migas. DJP, sebagai otoritas pajak (Fiskus), bertanggung jawab penuh atas monitoring dan evaluasi penerimaan PPh Migas. DJA dan SKK Migas merupakan pihak yang ikut melakukan monitoring dan evaluasi penerimaan PPh Migas namun tidak memiliki tanggung jawab penuh seperti DJP. DJA, sebagai pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam monitoring dan evaluasi pembayaran PPh Migas, ikut memegang keterlibatan terhadap monitoring dan evaluasi penerimaan PPh Migas. Sedangkan untuk SKK Migas, walupun SKK Migas berkewajiban mengawasi pemenuhan kewajiban KKKS dalam hal PPh Migas karena Kontrak Kerja Sama, namun SKK bukan merupakan otoritas pajak.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Adanya saling keterkaitan DJP-SKK MIGAS-DJA dalam penerimaan PPh Migas, mengakibatkan respon yang ditunjukan pihak-pihak pelaksana (policy implementors) dalam melaksanakan rekonsiliasi setoran PPh Migas dengan baik. Walaupun kebijakan tersebut utamanya untuk kepentingan tertib admiistrasi PPh Migas pada kinerja DJA, namun DJP dan SKK masingmasing memiliki benefit dari kebijakan tersebut. Hal inilah yang membuat kesepahaman tujuan dan tindakan aktif dari masing-masing pihak pelaksana. 4. Administrasi Pajak PPh Migas dalam Implementasi Kebijakan Karena administrasi pajak adalah sistem, maka kajian untuk perbaikan kinerjanya juga harus dilakukan dengan pendekatan sistem holistic dan menyeluruh (Rosdiana dan Irianto, 2012, hlm. 105). Perbaikan kinerja administrasi perpajakan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mencari apa yang sebenarnya merupakan leverage, yaitu suatu hal yang dapat memberikan pengaruh (dampak) terhadap sub-sub sistem perpajakan lainnya, sehingga terjadi perubahan yang lebih baik. Dikeluarkannya PMK No. 79 tahun 2012 dalam mengatasi permasalahan administrasi PPh Migas merupakan upaya Pemerintah untuk meminimalkan tax gap penerimaan PPh Migas. Tax gap adalah perbedaan dari pajak yang seharusnya terutang dengan pajak yang telah dibayar. Sebelumnya, terdapat angka yang besar pada ‘Pendapatan PPh Migas yang Ditunda’ akibat dari sistem administrasi pembayaran PPh Migas dari Pemerintah yang lemah. Timbulnya angka ‘Pendapatan PPh Migas yang Ditunda’ disebabkan dari adanya setoran PPh Migas yang telah dibayar oleh KKKS, namun oleh Pemerintah (DJA) tidak dapat dicatat sebagai Penerimaan Negara karena belum terpenuhinya syarat validasi pemindahbukuan ke Rekening KUN. Bedasarkan pemikiran tersebut, dari berbagai permasalahan pengelolaan PPh Migas oleh Pemerintah yang ada, hal yang dapat menjadi leverage adalah terdapatnya lebih dari satu instansi pemerintahan yang bertanggung jawab atas penerimaan PPh Migas. Seperti telah diungkit sebelumnya, terdapat 3 instansi terkait pengelolaan PPh Migas di Indonesia, yaitu: DJP; DJA; dan SKK Migas. Terdapatnya lebih dari satu instansi yang terlibat dalam administrasi PPh Migas, menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan pengelolaan PPh Migas seperti yang diungkap oleh BPK. Permasalahan pengelolaan PPh Migas tersebut muncul karena dibutuhkan suatu upaya tersendiri bagi masing-masing pihak untuk melakukan koordinasi, penyeragaman tujuan, serta
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
komunikasi. Di samping itu, adanya tiga pihak yang terlibat dalam sistem administrasi PPh Migas tentunya dapat memunculkan permasalahan dari segi efisiensi. Pemisahan tugas dan tanggung jawab administrasi PPh Migas dalam Kementerian Keuangan, dalam pelaksanaannya telah menunjukan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut seperti adanya inefisiensi, koordinasi yang sulit, ketidak jelasan pembagian kewenangan antar instansi terkait, saling lempar tanggung jawab, dan berbagai permasalahan pengelolaan PPh Migas lainnya. Mengenai hal tersebut, peneliti akan menganalisis dampak dari adanya pemisahan tugas dan tanggung jawab administrasi PPh Migas dalam Kementerian Keuangan, secara singkat Dipegangnya tugas dan tanggung jawab administrasi pembayaran PPh Migas oleh DJA, membuat DJP mengalami keterhambatan dari segi waktu dalam memperoleh informasi pembayaran setoran PPh Migas KKKS. Proses pemindahbukuan, rekonsiliasi atas setoran PPh Migas yang bermasalah, penyampaian laporan pemindahbukuan dari DJA, tentunya memakan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat mempengaruhi upaya pengawasan Fiskus terhadap kewajiban perpajakan WP, yang seharusnya dapat segera dimonitor secara langsung. Setelah membahas dampak yang dirasakan DJP dari adanya pemisahan tugas dan tanggung jawab administrasi PPh Migas dalam lingkungan Kementerian Keuangan, selanjutnya akan dianalisis bagaimana dampak dari pihak DJA. Tugas dan tanggung jawab administrasi pembayaran PPh Migas dipegang oleh Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) DJA. Hal yang menarik dari hal tersebut adalah Direktorat PNBP DJA merupakan direktorat yang sebagian besar tugas dan tanggung jawabnya menangani penerimaan negara yang tidak berasal dari pajak. Adanya kenyataan bahwa sebagian besar tugas dan tanggung jawab Direktorat PNBP tidak berurusan dengan penerimaan pajak tersebut, membuat para anggota dan pemimpin dalam lingkungan organisasi Direktorat PNBP tidak menempatkan PPh Migas, sebagai penerimaan negara dari pajak, ke dalam prioritas utama tugas dan tanggung jawab Direktorat PNBP. Menurut Stoner (1989, hlm. 281), koordinasi hanya dapat terjadi apabila terdapat kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi (untuk kerja sama antar instansi). Koordinasi menuntut sikap dan perilaku tertentu dari orang-orang, maupun pemimpin-peminpin organisasi. Jika concern yang ditunjukan DJA sendiri terhadap pengelolaan PPh Migas terlihat kurang, seharusnya dapat mempengaruhi proses koordinasi
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
dengan DJP atau pihak terkait lainnya seperti SKK Migas. Namun dalam pelaksanaanya hingga sekarang, berdasarkan hasil temuan lapangan yang didapat oleh peneliti, proses koordinasi masih berjalan lancar dengan adanya kesadaran penuh DJA terhadap tanggung jawab PPh Migas yang masih menjadi tupoksinya. Terpisahnya tugas dan tanggung jawab dalam administrasi PPh Migas dalam lingkungan Kementerian Keuangan, juga sempat menimbulkan adanya saling pelemparan tanggung jawab antara DJP dan DJA dalam PPh Migas (BP Migas, 2011, para. 19). Dalam hal ini, terjadi dispute mengenai siapa pihak Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penerimaan PPh Migas, jika terdapat kasus atau permasalahan yang menyangkut penerimaan Negara dari PPh Migas. Solusi untuk menyelesaikan inti permasalahan administrasi PPh Migas adalah dengan memberikan seluruh tugas dan kewenangan administrasi perpajakan PPh Migas kepada DJP, termasuk juga untuk tugas administrasi pembayaran PPh Migas KKKS. Sejalan dengan hal tersebut, sebenarnya saat ini Pemerintah juga sedang menyusun revisi PMK No. 79 tahun 2012, yang mengatur tata cara pembayaran dan pelaporan PPh Migas. Revisi dilakukan terhadap proses pembayaran PPh Migas dari KKKS. Saat ini, KKKS melakukan penyetoran PPh melalui Rekening Migas yang diadministrasikan oleh DJA. Setelah ada revisi, KKKS tidak lagi melakukan penyetoran ke Rekening Migas di Bank Indonesia, melainkan melalui Bank Persepsi Valas. Setelah ada revisi mengenai proses pembayaran pajak KKKS kepada negara, tanggung jawab admistrasi pembayaran PPh Migas akan sepenuhnya dipegang oleh DJP, karena data pembayaran dapat dipantau langsung melalui sistem MPN yang terkoneksi dengan Bank Persepsi. Dialihkannya sistem pembayaran PPh Migas KKKS diharapkan dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan setoran pajak yang sering muncul, seperti permasalahan pada data rekening Koran BI, kelengkapan NPWP, dan lainnya. Selain itu, DJP juga tidak perlu melakukan rekonsiliasi setoran PPh Migas dengan pihak lain, karena setoran pajak dapat langsung dipantau seperti setoran pada pajak lainnya. Hal ini dapat memangkas waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh petugas pajak dalam memungut pajak KKKS. Setelah adanya revisi mengenai administrasi pembayaran PPh Migas tersebut, Fiskus tidak perlu lagi melakukan proses rekonsiliasi atas setoran PPh Migas yang rumit. Pembayaran langsung terpantau oeh DJP melalui sistem MPN
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
yang telah memiliki data NPWP dan data pembayaran pajak lainnya yang akurat. Proses pengawasan kewajiban perpajakan WP pun akan lebih lancer. Begitu juga dengan tanggung jawab administrasi perpajakan PPh Migas dapat lebih terstruktur dalam satu instansi.
Kesimpulan Implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan Pajak Penghasilan Minyak dan/atau Gas Bumi dari segi content of policy, kebijakan yang disusun telah mendukung proses implementasi agar pihak-pihak pelaksana dapat mencapai tujuan-tujuan dan dasar-dasar yang ditetapkan. Perubahan yang diinginkan dalam kebijakan ini tidak terlalu besar dan tidak bersifat long term dan oleh karena itu dapat mendukung proses implementasi sebab tidak terlalu sulit untuk melakukan adaptasi. Sedangkan dari segi context of implementation, proses implementasi berjalan dengan masih ada sedikit kendala dalam hal interpretasi waktu (periode) pelaksanaan kebijakan. Walaupun interpretasi terhadap hal apa yang direkonsiliasi sudah dipahami dengan baik, namun interpretasi terhadap waktu pelaksanaan belum dipahami secara seragam. Dilihat dari sisi administrasi perpajakan, proses rekonsiliasi setoran PPh Migas yang melibatkan tiga instansi, dinilai kurang efisien. Administrasi PPh Migas lebih tepat dipegang sepenuhnya oleh DJP, dari proses pendaftaran hingga pelaporan, termasuk administrasi pembayaran PPh Migas.
Saran Dalam implementasi kebijakan rekonsiliasi secara periodik terkait dengan Pajak Penghasilansss Minyak dan/atau Gas Bumi, terdapat ketidakpahaman mengenai kapan seharusnya pihak-pihak pelaksana melaksanakan rekonsiliasi terkait PPh Migas secara bersama-sama. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kebijakan prosedural, untuk mengikat pihak-pihak pelaksana melakukan instruksi kebijakan dengan konsisten. Selain itu, walaupun peran aktif DJA sebagai perantara komunikasi telah terlihat bagus, namun pihak-pihak pelaksana kebijakan juga seharusnya berperan aktif dan tidak hanya ‘menunggu’ instruksi dari DJA untuk melaksanakan kebijakan rekonsiliasi. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak memiliki keterlibatan dalam tanggung jawab penerimaan PPh Migas.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014
Daftar Referensi Buku Grindle, Merilee S. Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Princnton University Press, 1980. Rosdiana, dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. ___________________________. Panduan Tata Cara Lengkap Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia, 2011. Stoner, James A.F. Management. New Jersey: Prentice-Hall International, 1989. Winarno, Budi. Kebijakan Publik: teori dan proses. Yogyakarta: Media Pressindo, 2002. Lainnya Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2012. Mei 2013. __________________________________________. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2011. Mei 2012. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Laporan Hasil Penelaahan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2012. Juli 2013. Republik Indonesia. Nota Keuangan & Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. “BP Migas & Ditjen Pajak Lempar Tanggung Jawab” Rakyatmerdekaonline.com. 2011. 3 Maret 2014.
. Peraturan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.
Analisis Implementasi..., Ayumi Setyorini, FISIP UI, 2014